Anda di halaman 1dari 9

NAMA : MUHAMMAD FATTURRAHMAN RIZKY DJAFAR

STAMBUK : D101 15 208

KELAS/BT : D/14

MATA KULIAH : HUKUM LAUT

KASUS PEMBAJAKAN SOMALIA

A. FAKTA HUKUM

· Pembajakan kapal dan perompakan bersenjata di laut “off the coast” Somalia (Laut Arabia/
Laut Hindia) merebak sejak perang saudara pada permulaan abad 21/ tahun 1990‐an; Somalia
bisa dikatakan menjadi “Failed State”.

· Pemerintahan Somalia tidak berfungsi secara efektif sejak tejadi perang saudara pada tahun
1991.

· Faktor kriminogin di belakang kejahatan internasional (International Crime) tersebut yang


merupakan penyebabnya, yaitu: protes para nelayan Somalia terhadap “illegal fishing” dan
pembuangan sampah beracun di perairan Somalia oleh kapal‐kapal asing, yang
menghancurkan mata pencaharian nelayan Somalia dan mendorongnya menjadi pembajak,
perkembangan menunjukkan bahwa para “warlord” akhirnya memperalat mereka, mengingat
keuntungan finansial yang menjanjikan.

· Para pembajak rata‐rata berasal dari wilayah Puntland, tergabung dalam 5 kelompok dan
terdiri atas kurang lebih 1000 orang; terdiri atas para nelayan lokal yang merupakan otak
karena pengalaman, pengetahuan dan ketrampilannya serta merasa terzolimi oleh “illegal
fishing” dan rusaknya lingkungan laut; kemudian bekas anggota milisi yang semula
berjuangan untuk “warlord” lokal atau bekas anggota militer dari pemerintahan sebelumnya;
dan ahli‐ahli teknik yang mampu mengoperasikan alat‐alat canggih seperti GPS.

· 70% masyarakat pantai justru mendukung sepenuhnya pembajakan dan perompakan di laut
tersebut sebagai bentuk “national defence” terhadap laut territorial Negara, untuk melindungi
daerah perikanan, refleksi keadilan dan kompensasi terhadap sumberdaya laut yang dicuri.
Dengan demikian selama belum ada “effective coast guard” setelah perang saudara dan
pecahnya persatuan angkatan bersenjata, mereka menjadi pembajak dengan tujuan untuk
melindungi laut territorial. Mereka menyebut dirinya sebagai “The National Volunteer Coast
Guard”.

· Pembajakan tersebut tepatnya terjadi di wilayah perairan Teluk Aden, pada jalur pelayaran
terbuka di Laut Arab antara Yaman dan Somalia lintas Teluk dari Asia ke Eropa serta
Terusan Suez.
· Teluk Aden berhubungan dengan Lautan Hindia dan mempunyai link dengan Terusan Suez
dan Laut Tengah (laut Mediterania), dimana setiap tahunnya dilewati sekitar 20.000 kapal
laut. Hal tersebut mengakibatkan kapal-kapal pengangkut minyak ke Teluk Aden semakin
rawan ancaman serangan perompak.

· Serangan tersebut tidak hanya dilakukan terhadap kapal pengangkut minyak, bahkan,
berdasarkan  data dari International Maritime Bureau (Biro Maritim International) sebuah
organisasi nirlaba dan divisi khusus dari International Chamber Of Commerce (Kamar
Dagang Internasional) yang berjuang untuk melawan kejahatan dan malpraktek di bidang
kelautan, serangan pembajakan juga dilakukan terhadap kapal pembawa bantuan
kemanusiaan, kapal pesiar, serta kapal pembawa persenjataan.

· Tahun 2006, kelompok-kelompok perlawanan Islam menguasai hampir seluruh wilayah


selatan Somalia, banyak dilaporkan terjadi peristiwa perompakan. Hampir seluruh kejadian
perompakan berlangsung di sekitar Teluk Aden dan di lepas pantai Somalia.

· Pada tahun 2007 telah terjadi sebanyak 31 kasus perompakan.

· Menurut Menteri Luar Negeri Kenya, Moses Wetangula, perompak asal Somalia bisa
meraup uang sebesar $ 150 juta dollar AS dari hasil uang tebusan atas kapal-kapal laut yang
dibajak dan disanderanya.

· Januari 2008, 88 kapal diserang di kawasan tersebut. Para perompak menggunakan kapal
kecil cepat (speed boat) dan melengkapi dirinya dengan senjata Kalashnicov beserta pelontar
granat ketika sedang beraksi.

· 14 November 2008, sebuah kapal tanker raksasa (berbobot mati 318.000 ton) berukuran 3
kali lebih besar dari kapal induk, milik perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, bernama
Sirius Star, yang membawa penuh muatan minyak mentah sebanyak 2 juta barrel seharga
$100 juta AS, berhasil dikuasai oleh para pembajak Somalia. Aksi ini dilakukan jauh dari
Teluk Aden. Kapal tanker ini digiring ke Eyl di utara Somalia oleh para perompak. Perompak
meminta uang tebusan $25 juta AS. Mereka siap diserang dan tidak mau melepas kapal milik
Arab Saudi yang disandera itu, berawak kapal 25 orang (19 Filipina, 2 Inggris, 2 Polandia
dan 2 Arab Saudi). Para pembajak memberi batas waktu 10 hari.

· Berdasarkan surat kabar Perancis, le monde 19 November 2008, perompak berkewargaan


negara Somalia mempunyai tujuan utama untuk mendapatkan uang tebusan dari pemilik
kapal yang ditahan. Mereka mengancam akan mengancurkan kapal dan barang hasil
rampasan bila tidak dipenuhinya tuntutan

· Pembajakan kapal dan perompakan di laut tersebut dinilai sangat membahayakan


perdamaian dan keamanan internasional (Chapter VII UN Charter), sehingga PBB/ DK PBB
menaruh perhatian yang besar.

· Complains diajukan terutama oleh International Maritime Organization dan World Food
Programme yang sebagian besar mendayagunakan kapal untuk melaksanakan program‐
programnya dan banyak negara kemudian mendukungnya dengan eskort militer.

B. PERMASALAHAN HUKUM
1. Apakah pembajakan oleh Somalia itu termasuk yurisdiksi negara Somalia atau diluar
yuridiksi Somalia?

2. Apakah Negara selain Negara yang berdaulat (selain Somalia), berhak menangkap dan
mengadili pelaku perompakan?

3. Apakah ada tindakan nyata dari Perserikatan Bangsa Bangsa?

C. LANGKAH INTERNASIONAL

1. Atas dasar resolusi DK PBB 1838 Tahun 2008, negara‐negara diharapkan menggunakan
kekuatan militer (naval task force) dalam bentuk “counter piracy operations” untuk
memberantas pembajakan dan perompakan di laut; 

2. Ocean Shields (NATO and partners);  

3. “Combined Task Force 150”, suatu koalisi internasional untuk memberangi pembajakan di
Somalia dengan membetuk “Maritime Security Patrol Area” di teluk Aden; demikian juga
perusahaan keamanan Inggris “Saracen International”;  

4. “Combined Task Force 151”, yang dibentuk tahun 2009;  

5. Yang dibentuk oleh EU yaitu Operation Atlanta;  

6. Independent Mission seperti Jepang, India, Russia, RRC, Korsel, Iran, dan Malaysia;  

7. Semuanya dikoordinasikan oleh Shared Awareness and Deconfliction (SHADE) yang


terdiri atas lebih dari 20 negara;  

8. Data menunjukkan bahwa sekalipun banyak penguasa di Somalia termasuk “transitional


federal government” yang juga berusaha memerangi pembajak termasuk operasi darat
terhadap tempat persembunyiannya di darat (daerah otonomi Puntland) beberapa penguasa
wilayah di Somalia (Galmudug) terlibat pembajakan untuk pelbagai kepentingan seperti
menggunakan gang pembajak untuk pertahanan menghadapi pemberontak‐pemberontak
(Muslim) dari negara‐negara konflik di Selatan.  

9. Dalam beberapa kasus, sejak tahun 1998 PBB mengeluarkan resolusi yang mengijinkan
ngeara lain atau organisasi regional atau kapal perang internasional untuk mengejar pembajak
masuk dalam laut territorial Somalia. Contoh AL India Tgl. 21 November 2008.

Perkembangan Tahun 2000 di Dewan Keamanan PBB (Res. 1897/2009)

1. Setiap negara harus menghormati kedaulatan, integritas territorial, kemerdekaan politik


dan persatuan Somalia, termasuk hak Somalia terhadap SDA lepas pantai, perikanan, sesuai
dengan hukum internasional;  

2. DK PBB mensyaratkan bagi setiap negara dan organisasi regional yang akan memasuki
laut territorial Somalia untuk memerangi dengan segala cara (use allo necessary means) untuk
memerangi pembajakan dan perampokan bersenjata di laut di lepas pantai Somalia, agar
berkerjasama dengan Somali Transitional Federal Government (TFG), yang akan
memberikan “advance notification” kepada sekretaris jenderal PBB, dan akan diperbaharui
setiap 12 bulan; 

3. Penegasan perlunya diperhatikan hukum international yang diatur dalam UNCLOS 10


Desember 1982, yang mengatur kerangka hukum yang dapat diterapkan untuk memerangi
pembajakan dan perampokan bersenjata di laut, termasuk segal aktivitas di laut yang lain;

4. Setiap negara yang memiliki kemampuan diharapkan turut serta mengambil bagian dalam
memerangi pembajakan dan perompakan di laut lepas pantai Somalia, dengan menggelar
kapal perang, senjata dan pesawat udara militer dan berusaha mensita perahu, kapal, senjata
dan lain‐lain yang berkaitan dengan peralatan yang diguanakan untuk melakukan pembajakan
dan perompakan di laut.

D. ANALISIS

Pembajakan di laut (piracy) merupakan kejahatan internasional (international crime) yang


memberikan yurisdiksi kepada Negara manapun untuk mengambil langkah tegas
terhadapnya. Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (1982 UNCLOS) mendefinisikan “piracy”
sebagai pembajakan laut yang dilakukan di luar yurisdiksi Negara pantai, sehingga kemudian
praktek Negara membedakan antara pembajakan laut yang terjadi di luar yurisdiksi Negara
yang disebut sebagai pembajakan di laut bebas (piracy) dimana yurisdiksinya bersifat
universal (universal jurisdiction) dan pembajakan laut yang terjadi di dalam wilayah satu
Negara yang lebih dikenal dengan istilah “perampokan di laut” (sea armed robbery) dimana
yurisdiksinya berada di bawah Negara pantai. Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah Somalia
mempunyai yurisdiksi untuk memberantas pembajakan laut tersebut karena pembajakan
terjadi di sekitar Teluk Aden yakni yuridiksi territorial Somalia. Tetapi hukum Somalia sejak
tahun 2006 telah mati, dikarenakan didudukinya pemerintahan oleh sekelompok
pemberontak.

Persoalan pembajakan laut yang berlangsung sejak berabad-abad khususnya di wilayah yang
kerap dilewati oleh pelayaran internasional bisa dilihat dari beberapa sudut pandang.

1. Pembajakan di laut tidak dapat dibenarkan dari segi pertimbangan apapun, baik dilakukan
karena alasan ekonomis ataupun alasan politik. Kejahatan ini telah berlangsung sejak laut
menjadi jalur transportasi bagi masyarakat dunia. Hukum Laut Internasional memang
kemudian membagi kewenangan untuk menumpasnya dengan melihat dimana pembajakan
laut itu terjadi. Jika di laut bebas maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara
manapun yang ingin menumpasnya, bahkan Negara-negara diwajibkan untuk bekerjasama
menumpas pembajakan tersebut,  akan tetapi jika di wilayah satu Negara khususnya laut
teritorial maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara pantainya.

Dalam kasus pembajakan laut di Somalia ini, yurisdiksi harusnya jatuh kepada Negara
Somalia untuk menumpasnya akan tetapi sudah terbukti bahwa Pemerintah Somalia tidak
pernah berdaya menghadapi masalah ini yang sudah sangat sering terjadi sampai akhirnya
mengundang keluarnya beberapa Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Security Council Resolution) mulai dari  Nomor 1814 Tahun 2008 sampai dengan Nomor
1976 Tahun 2011 (11 April 2011)  yang intinya memanggil kerjasama internasional untuk
memberantas pembajakan di Somalia dengan mempertimbangkan ketidakmampuan
Pemerintah Somalia dalam memberantas pembajakan laut di wilayahnya sendiri. Serangkaian
resolusi ini antara lain menekankan:
(1) Urges States whose naval and military aircraft operate on the high seas and airspace off
the coast of Somalia to be vigilant to acts of piracy and armed robbery and encourages States
using the commercial maritime routes off the coast of Somalia to increase and coordinate
their efforts to deter acts of piracy and armed robbery” (Resolusi DK No. 1816-2008);

(2) “calls on all States, including States in the region, to criminalize piracy under their
domestic law and favourably consider the prosecution of suspected, and imprisonment of
convicted, pirates apprehended off the Coast of Somalia” (Resolusi DK  No. 1918-2010);

(3) “re-authorizes States, Regional Groups to intervene at sea in the case of Piracy and Armed
Robbery off Somalia’s coast” (Resolusi DK No. 1950-2010),

(4) “calls upon States to cooperate as appropriate on the issue of hostage taking” (Resolusi
DK No. 1976-2011).

Pemerintah setiap negara yang berperan sebagai anggota PBB memiliki kewajiban untuk
melaksanakan Resolusi ini terutama ketika kejadian tersebut menimpa kapal berbenderanya
dan warga negaranya.

2. Penebusan para sandera antara pihak perusahaan dengan pihak pembajak akan ditanggung
oleh pihak asuransi. Persoalan tidak selesai pada saat itu. Hal yang harus dilakukan adalah
upaya untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku pembajakan tersebut. Misalnya dengan
dilakukannya penyerangan sistematis kepada para pembajak. Jika pembajakan ini dibiarkan
diselesaikan perkasus dengan cara pembayaran uang tebusan, maka dampak ganda akan
terlihat. Pertama, para pembajak akan tergoda untuk mencoba lagi karena yakin bahwa pasti
akan dibayar. Kedua, setiap kapal akan berlomba-lomba memakai asuransi dan pihak
asuransi akan menerapkan biaya asuransi yang cukup mahal mengingat resiko yang akan
ditanggungnya. Hal ini berarti secara tidak langsung membiarkan pembajakan tetap terjadi
dan akan semakin menaikkan biaya pengiriman barang yang akibatnya akan mempengaruhi
harga jual barang sehingga perdagangan internasional terganggu, karena tidak lagi efisien dan
berbiaya tinggi.

3. Setiap Negara memiliki yurisdiksi dalam hukum internasional, termasuk yurisdiksi


terhadap warga negaranya dimanapun dia berada, baik yurisdiksi nasionalitas aktif (dimana
warga negaranya menjadi korban kejahatan) maupun yurisdiksi nasionalitas pasif (dimana
warga negaranya menjadi korban dari kejahatan). Setiap Negara berbeda-beda dalam
meng”exercise” yurisdiksinya tersebut.

Untuk menumpas pembajakan di laut, maka seharusnya negara yang dirugikan menurunkan
pasukannya untuk mengejar dan menangkap pembajak tersebut, kalau perlu membawanya
Pengadilan Internasional untuk mengadilinya, karena negara yang dirugikan itu memiliki
yurisdiksi terhadapnya apalagi diperkuat dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Perompakan menurut PBB adalah sebuah kehajahatan. Dan tidak bisa ditoleransi lagi karena
telah merusak keseimbangan disuatu negara dan berdampak kenegara lain. Yang menjadi
permasalahan adalah Somalia sebagai negara yang berdaulat dan mempunyai yurisdiksi
dinegaranya tersebut yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Menurut J. G. Starke,
konsep “kedaulatan teritorial” yang menandakan bahwa didalam wilayah kekuasaan ini
yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-orang dan harta benda yang
menyampingkan negara lain.  Kedaulatan teritorial adalah kedaulatan yang dimiliki oleh
suatu negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksekutif diwilayahnya. Didalam wilayah inilah
negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya.

Apabila kedaulatan suatu negara dicampuri oleh negara lain, maka negara yang bersangkutan
dibolehkan untuk memberikan sikap tegas kepada negara yang mencampuri urusan
kedaulatannya, tetapi yurisdiksi itu tidak berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah
asing yang menikmati kekebalan. Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat beberapa
prinsip yang sering dianut oleh suatu negara. Menurut Jawahie Tantowi dan Pranoto Iskandar
prinsip-prinsip tersebut adalah:

1.      Teritorial

2.      The ‘Effect’ Doctrine

3.      Kebangsaan

4.      Prinsip Nasionalitas Pasif

5.      Prinsip Protektif

6.      Prinsip Universal

7.      Treaty-Bassed Extensions of Jurisdiction

Negara yang memasuki kedaulatan negara lain (kedaulatan negara atas wilayah laut) juga
telah melanggar Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Convention on The Law of the Sea
of 1982) di Teluk Montego Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982.

Kejahatan atau dalam istilah yuridis disebut tindak pidana yang kadangkala tidak saja
menyangkut kepentingan satu negara, tetapi juga menyangkut kepentingan lebih dari satu
negara. Peristiwa itu juga dapat terjadi pada dua negara baik secara serentak atau secara
beruntun. Misalnya, peristiwanya terjadi didalam suatu negara tetapi menimbulkan akibat di
negara lain; pelaku tersebut melarikan diri ke negara lain; dan lain sebagainya.

Negara yang dirugikan oleh perompak Somalia berhak menangkap dan mencampuri
kedaulatan disuatu negara (Prinsip Universal). J.G.Starke menyatakan bahwa:

“Perompakan merupakan suatu tindak pidana yang berada di yurisdiksi semua negara
dimanapun tindakan itu dilakukan, tindakan pidana itu merupakan bertentangan dengan
kepentingan masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebgai delik Jure
Gentium dan setiap negara berhak menangkap dan menghukum semua pelakunya”.

Kejahatan-kejahatan delik Jure Gentium selain dari pada Perompak dan Kejahatan Perang,
menimbulkan Pertimbangan-pertimbangan yang agak perbeda,. Oleh karena itu tindak pidana
perdagangan obat bius, perdagangan wanita dan anak-anak dan pemalsuan mata uang telah
dimasukkan dalam ruang lingkup konvensi-konvensi Internasional. Tetapi ditangani atas
dasar aut punire, aut dedere, yaitu para pelakunya dihukum oleh negara dimana dalam
wilayahnya mereka ditangkap atau di-ektradisikan kepada negra yang memiliki kewenangan
dan kewajiban melaksanakan yurisdiksi terhadap mereka.
Masalah perompak dan Prinsip Universalitas ini dibahas dan dikukuhkan di Konvensi Jenewa
1949 berkenaan dengan tawanan-twanan perang, perlindungan penduduk sipil dan personel
yang mendeita sakit dan luka-luka serta dilengkapi dengan protokol I dan II yang disahkan
pada tahun 1977 oleh Konferensi Diplomatik di Jenewa tentang penanggulangannya, baik
pencegahan maupun pemberantasanya, tidaklah cukup bila hanya dilakukan oleh negara-
negra secara sendiri-sendiri, melainkan membutuhkan kerjasama internasional. Kerjasama
Pencegahan dan Pemberantasan baik lembaga-lembaga internasional seperti International
criminal Police Organization (ICPO-INTERPOL) maupun kerjasama bilateral dan
multilateral.

United Charter, atau yang kita kenal dengan piagam PBB adalah norma tertinggi bagi
organisasi internasional PBB. Secara tegas dan jelas tercantum pada awal bab pertama Pasal
1 ayat 1 bahwa:

“Les buts des Nations Unies sont les suivants: (1) Maintenir la paix et la sécurité
internationales et à cette fin : prendre des mesures collectives efficaces en vue de prévenir et
d’écarter les menaces à la paix et de réprimer tout acte d’agression ou autre rupture de la
paix, et réaliser, par des moyens pacifiques, conformément aux principes de la justice et du
droit international, l’ajustement ou le règlement de différends ou de situations, de caractère
international, susceptibles de mener à une rupture de la paix”

Tujuan PBB adalah menjaga perdamaian dan keamanan internasional dengan cara mengambil
tindakan secara bersama-sama dengan tujuan mencegah dan menghindari ancaman keamanan
serta menekan seluruh aksi penyerangan atau pemutusan terhadap keamanan, dan
mengadakan, secara damai, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional,
penyesuaian atau menyelesaikan perbedaan atau situasi, yang bersifat internasional, yang
dapat diubah ke arah  terciptanya perdamaian.

Berdasarkan piagam ini, sangat jelas diatur bahwa sebagai anggota PBB berhak menuntut
kepada PBB agar segera menciptakan keamanan di wilayah Teluk Aden. Wilayah wilayah
tersebut adalah laut teritorial Somalia, namun dikarenakan lemahnya Penegakan hukum di
Somalia serta berbagai krisis yang melanda negara tersebut, maka Pemerintah Somalia tidak
dapat berbuat banyak dalam rangka mengamankan wilayah tersebut. Salah satu jalan yang
dapat dilakukan oleh PBB adalah dengan meningkatkan keamanan di wilayah tersebut,
melalui organ keamanannya dan bekerjasama dengan negara-negara tetangga atau negara
yang memiliki kepentingan melewati jalur tersebut. Selain ketentuan di atas, pengaturan
terhadap perompakan secara khusus telah dilakukan oleh PBB, yaitu dengan disahkannya
Konvensi Hukum Laut, 10 Desember 1982 (KHL 1982). Di dalam Konvensi ini secara umum
telah dibahas mengenai pembajakan laut pada Pasal 100-107. Di dalam pasal-pasal tersebut
tercantum ketentuan sebagai berikut:

1. Pasal 100 mengenai kewajiban bekerjasama terhadap  pemberantasan pembajakan laut,

2. Pasal 101 mengenai definisi pembajakan laut,

3. Pasal 102 mengenai pembajakan oleh kapal perang, kapal negara atau pesawat dimana
digunakan untuk memberontak,

4. Pasal 103 mengenai definis kapal dan pesawat pembajak,


5. Pasal 104 mengenai kepemilikan atau hilangnya warga negara pembajak,

6. Pasal 105 mengenai penangkapan kapal atau pesawat pembajak,

7. Pasal 106 mengenai tanggung jawab ketika melakukan penanggkap tanpa pertimbangan,

8. Pasal 107 mengenai kapal dan pesawat yang berwenang melakukan penangkapan untuk
alasan pembajakan.

Konvensi ini berlaku bagi setiap negara yang telah meratifikasi dan juga berlaku bagi negara
yang belum meratifikasi. Hal ini dikarenakan permasalahan dalam konvensi ini menyangkut
keamanan secara umum dan kejahatannya bersifat umum, yaitu seluruh negara mengakui
bahwa perompakan merupakan kejahatan.

Dalam peristiwa hukum internasional ini, yang perlu diangkat dan dijadikan dasar
pelaksanaan penegakan hukum oleh PBB adalah Pasal 1 “Semua Negara akan bekerja sama
sejauh mungkin dengan pemberantasan pembajakan laut di laut lepas atau di tiap tempat lain
di luar daerah kekuasaan hukum sesuatu Negara”. Selanjutnya hal ini dipertegas oleh Pasal
105 yang memberikan kewenangan kepada setiap negara untuk menangkap perompakan lalu
memberikan sanksi terhadap pelaku perompakan tersebut.

Selain negara, organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional berhak melakukan
pengamanan atau penangkapan terhadap perompakan. Misalnya yang dilakukan oleh North
Atlantic Treaty Organization (NATO), organisasi internasional ini memiliki misi khusus
menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah Atlantik dan sebagaimana dilontarkan oleh
Sekjen NATO Hoop Scheffer NATO berkomitmen membantu pengamanan di Afrika.

Melihat sifat gangguan keamanan berupa perompakan oleh sebagian kecil warga negara
Somalia, PBB dalam rangka meningkatkan keamanan di wilayah Teluk Aden harus
bekerjasama dengan subjek HI lainnya, yaitu dengan organisasi internasional yang memiliki
tujuan yang sama dan dengan negara-negara yang memiliki kemampuan untuk mengirimkan
bantuan ke wilayah tersebut dan memiliki kepentingan terhadap keamanan diwilayah itu.
Tindakan ini merupakan tindakan yang paling cepat dan efektif sebelum kejahatan tersebut
membesar dan semakin membahayakan kewasan lainnya. Hal ini berdasarkan Pasal 107
“Penangkapan lantaran perampokan hanya boleh dilakukan oleh kapal-kapal perang atau
pesawat terbang militer atau kapal atau pesawat terbang lain yang sedang menjalankan tugas
pemerintahan dengan tugas untuk maksud itu”.

Terhadap pelaku perompakan akan segera diadili menurut hukum negara yang
memungkinkan mengadili kejahatan tersebut. Jika Somalia tidak memiliki kemampuan dalam
meneggakkan hukumnya, maka Negara tatangga yang memiliki kepentingan dalam rangka
meningkatkan keamanan dan memiliki peraturan mengenai kejahatan perompakan berhak
untuk mengadili para perompak. Hal ini apa yang telah dilakukan oleh angkatan laut Inggris,
yang menyerahkan tindak pelaku kejahatan perompak kepada pengadilan Kenya.

Resolusi PBB tentang Perompak Somalia ini telah disepakati.Resolusi No. 1816 tersebut
disahkan dengan suara bulat oleh 15 anggota Dewan Keamanan di Markas Besar PBB, New
York, Senin (2/6), dan intinya memberikan kewenangan kepada negara-negara untuk
melakukan penegakan hukum terhadap perompak di sekitar perairan Somalia[40].
Permasalahan lain muncul, yaitu walaupun telah dilakukan pengamanan di wilayah laut
merah dan Telauk Aden oleh beberapa negara, namun tetap saja korban perompakan
meningkat. Hal ini dikarenakan luasnya wilayah yang harus dipantau dan hukum
internasional tidak menghukum mereka yang ditangkap karena akan merompak.

E. KESIMPULAN

Peristiwa ini tidak hanya mengganggu keamanan nasional Somalia, yang sedang mengalami
krisis lemah penegakan hukum, bahkan mengancam keamanan internasional. Hal ini
disebabkan kejahatan telah dilakukan pada taraf internasional, yaitu kejahatan yang telah
dilakukan terhadap bendera kapal asing dan warga negara asing yang melintasi perairan
tersebut.

Kedaulatan suatu negara memang tidak boleh dilanggar dan/atau dicampuri oleh negara lain,
akan tetapi dalam hal ini, suatu negara diperbolehkan untuk “memakai” yurisdiksinya, selagi
dalam batasan Kebiasaan Hukum Internasional, Ketentuan Konvensi-konvensi dan Piagam
PBB. Tetapi ditangani atas dasar aut punire, aut dedere, yaitu para pelakunya dihukum oleh
negara dimana dalam wilayahnya mereka ditangkap atau di-ektradisikan kepada negra yang
memiliki kewenangan dan kewajiban melaksanakan yurisdiksi terhadap mereka.

Bahwa Perompak merupakan Kejahatan ayang sulit untuk ditundukan bila mana hanya
dilakukan oleh satu negara saja, melainkan semua negara harus bersatu dengan satu tujuan.
Kerjasama Pencegahan dan pemberantasan baik lembaga-lembaga internasional seperti
International kriminal Police Organization (ICPO-INTERPOL) maupun kerjasama bilateral
dan multylateral.

PBB dan Dewan keamananya sebagai yang aktif dalam masalah ini telah melakukan
beberapa tindakan tegas tentang perompak somalaia ini dan bahkan PBB telah mengeluarkan
Resolusi tentang Perompak ini.

Sumber : https://farahfitriani.wordpress.com/2011/10/30/kasus-pembajak-somalia/

Anda mungkin juga menyukai