Anda di halaman 1dari 17

Makalah Perkebunan Presisi

MANAJEMEN PENGELOLAAN GULMA


TANAMAN KELAPA SAWIT

Disusun Oleh:
Kelompok 5

Prima Nur Anggraini 01.02.20.155


Riko Prasetya 01.02.20.156
Risa Rahayu Putri 01.02.20.157
Saphira Asti Dewi 01.02.20.158
Septi Arlina Pulungan 01.02.20.159

DOSEN PENGAMPU :
FIRMAN RL SILALAHI, STP, MSi

Catatan:
1. Tulisan ini plagiat dari Buku Precision Farming karya Annie
Bobby Zachariah
2. Daftar pustaka tidak sesuai dengan badan tulisan,
PROGRAM STUDI PENYULUHAN PERKEBUNAN PRESISI

Nilai: 65
POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN MEDAN
KEMENTRIAN PERTANIAN
2022

1
DATAR ISI

DATAR ISI.................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4
A.Definisi Precision Farming....................................................................................4

B.Implementasi Perkebunan Presisi Dalam Manajemen Pengelolahan Gulma


Tanaman Kelapa Sawit..............................................................................................4

BAB III PENUTUP.....................................................................................................13


DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................14

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia telah diganggu oleh tanaman yang tidak diinginkan di antara ladang
yang dibudidayakan sejak zaman kuno. Meskipun pengendalian gulma hanya
menerima sedikit tanggapan atau upaya penelitian sampai akhir 1800-an dan awal
1900-an, dan selama berabad-abad, pengendalian gulma telah dipraktekkan sebagai
produk sampingan dari persiapan persemaian. Upaya mekanisasi pertanian sebagian
besar mengabaikan peralatan pengendalian gulma sampai tahun 1914 ketika batang
weeder diketahui terutama untuk pengendalian gulma. Sistem awal pengendalian
gulma terdiri dari cangkul tangan padat karya dan tangan menarik gulma serta praktik
budaya, seperti rotasi tanaman. Meskipun tangan cangkul jarang terjadi di negara
maju, pemindahan gulma dengan tangan masih lazim sebagai bentuk pengendalian
gulma yang dominan di banyak negara berkembang.
Praktik rotasi sebagian besar digantikan oleh sistem monokultur dan
pengendalian gulma kimia pada tahun 1940-an.Perkiraan saat ini menunjukkan 1,2
hektar diperlukan untuk memberi makan satu orang (Giampietro & Pimentel, 1994).
Total daratan dunia adalah sekitar 149 juta km2 di mana 12-18% adalah lahan subur
yang cocok untuk produksi tanaman. Jika dibutuhkan 1,2 hektar untuk memberi
makan satu orang dan hanya ada 27 juta km2 tanah yang bisa ditanami, kita hanya
bisa memberi makan 5,5 miliar orang, yang sangat pendek sekarang dan di masa
depan. Dari perspektif praktis, pilihan konseptual adalah untuk mengurangi populasi
dunia, meningkatkan jumlah lahan yang subur, atau meningkatkan efisiensi produksi
dari jumlah hektar untuk memberi makan satu orang. Jelas bahwa dua yang pertama
tidak mungkin terjadi, jadi kita dibiarkan dengan opsi terakhir. Maka pengelolaan
gulma juga harus diperhatikan baik dari segi kualitas dan kuantitas yang ada pada
suatu areal komoditas tanaman yang ada.
Pengelolaan tanaman presisi yang lebih baik. Ketepatan dalam pengelolaan
tanaman mengharuskan mengetahui lebih banyak tentang tanaman, tanah, dan kondisi
iklim dan bagaimana menyesuaikan dan mengakomodasi berbagai kondisi tanah dan
lingkungan.
Di masa depan, sangat mungkin bahwa pupuk komersial (misalnya, fosfor,
nitrogen) dan air untuk menanam tanaman tidak akan tersedia secara bebas, dan,
akibatnya, kita akan ditantang dengan bagaimana memasok tanaman kita dengan
pupuk dan air secara memadai. Tantangan-tantangan ini dapat ditangkap di bawah
gagasan yang luas tentang kesenjangan hasil (Lobell et al., 2009). Kesenjangan hasil

1
dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara potensi hasil yang dapat dicapai di
bawah produksi ideal dan hasil yang diperoleh di bawah produksi yang ada. Menutup
kesenjangan hasil ini akan berkontribusi untuk memenuhi permintaan makanan dan
serat untuk populasi global kita yang membengkak.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peningkatan pengelolaan
gulma dan pertanian presisi memiliki potensi untuk berkontribusi dalam memecahkan
tantangan kesenjangan hasil. Gulma bersaing dengan tanaman untuk mendapatkan
cahaya, nutrisi, dan air. Gulma dan tanaman invasif merugikan ekonomi dunia
miliaran dolar setiap tahun karena kerusakan tanaman dan kehilangan pendapatan. Di
Amerika Serikat, berbagai negara bagian telah menyatakan biaya pengendalian gulma
tahunan dalam ratusan juta dolar. Herbisida menyumbang lebih dari 72% dari semua
pestisida yang digunakan pada tanaman pertanian. Selanjutnya, diperkirakan bahwa
$4 miliar dihabiskan untuk herbisida di Amerika Serikat pada tahun 2006 dan 2007
(Grube et al., 2011)
Tanaman kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati
unggulan dan berpengaruh besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia
memiliki potensi yang tinggi dalam memproduksi minyak kelapa sawit (MKS) karena
Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa mikroklimat yang optimal untuk
pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Tingginya pertumbuhan industri kelapa sawit di
Indonesia berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan penambahan
devisa negara.
Data dari Kementrian Perindustrian (2022) Produksi minyak sawit dan inti
sawit pada tahun 2018 tercatat sebesar 48,68 juta ton, yang terdiri dari 40,57 juta ton
crude palm oil (CPO) dan 8,11 juta ton palm kernel oil (PKO). Jumlah produksi
tersebut berasal dari Perkebunan Rakyat sebesar 16,8 juta ton (35%), Perkebunan
Besar Negara sebesar 2,49 juta ton (5%,) dan Perkebunan Besar Swasta sebesar 29,39
juta ton (60%).
Data statistik perkebunan 2015-2017 menunjukkan terdapat 8 (delapan) usaha
perkebunan strategis nasional yang di dominasi oleh perkebunan rakyat (berdasarkan
luas penguasaan lahan), yaitu perkebunan lada (100,0%); kapas (100,0%; jambu mete
(99,8%); kelapa (99,0%); cengkeh (98,3%), kakao (97,5%); kopi (96,2%); dan
perkebunan karet (84,9%). Sementara itu, pada perkebunan kelapa sawit dan teh,
penguasaan lahan didominasi oleh perkebunan besar, masing-masing 59,7% dan
53,4%. Pada perkebunan teh penguasaan lahan oleh perusahaan swasta relatif sama
dengan perusahaan negara, yaitu masing-masing 24,6% dan 28,8%. Sedangkan pada
perkebunan tebu, meskipun perkebunan rakyat mendominasi penguasaan lahan tetapi
total lahan yang dikuasai perkebunan besar mencapai 41,2%.

2
Tingginya pertumbuhan industri kelapa sawit merupakan hal positif yang perlu
dipertahankan dan ditingkatkan lagi. Usaha untuk mempertahankan dan
meningkatkan produktivitas tanaman dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan
yang tepat. Salah satu unsur pemeliharaan kebun kelapa sawit pada periode tanaman
menghasilkan (TM) adalah pengendalian gulma.Kehadiran gulma di perkebunan
kelapa sawit dapat mengakibatkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi tandan
buah segar (TBS), gangguan terhadap pertumbuhan tanaman, peningkatan serangan
hama dan penyakit, gangguan tata guna air, dan secara umum akan meningkatkan
peningkatan biaya usaha tani (Pahan 2006).
Pengendalian gulma menjadi topik penting yang penulis pilih untuk diamati
sebagai bahan kajian tugas akhir magang karena pengendalian gulma memiliki
pengaruh yang besar terhadap produksi TBS tanaman kelapa sawit.Tujuan umum
kegiata ini adalah meningkatkan pemamaham proses kerja secara nyata,
meningkatkan kemampuan teknis lapangan, meningkatkan kemampuan manajerial
dan analisis kegiatan di lapangan perkebunan kelapa sawit. Tujuan khusus kegiata ini
adalah meningkatkan pemahaman, keterampilan, dan pengalaman tentang
pemeliharaan tanaman kelapa sawit terutama pengendalian gulma yang terdiri dari
dominansi gulma, teknik pengendalian gulma, faktor penentu keberhasilan
pengendalian gulma, dan estimasi biaya pengendalian gulma.
B. Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan precision farming?
2. Bagaimana penerapan sistem SSWM dalam manajemen pengelolaan gulma pada
tanaman kelapa sawit

C.Tujuan
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan precision farming dan penerapan
sistem SSWM dalam pengelolaan gulma pada tanaman kelapa sawit.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi Precision Farming
Pertanian presisi adalah konsep pertanian dengan pendekatan sistem untuk
menuju pertanian dengan rendah pemasukan (low-input),efisiensi tinggi,dan
pertanian berkelanjutan (Shibusawa,1998).Definisi lain menyebutkan
bahwa,pertanian presisi adalah sistem pertanian yang mengoptimalkan penggunaan
sumberdaya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan juga mengurangi dampak
terhadap lingkungan.Konsep yang diperhatikan diantarannya dengan pendekatan
sistem yang memperhatikan input,proses,Output.

B.Implementasi Perkebunan Presisi Dalam Manajemen


Pengelolahan Gulma Tanaman Kelapa Sawit
Kekhawatiran utama dengan pengendalian gulma kimia adalah biaya, dan
efek pada produktivitas tanaman dan lingkungan (Ortiz-Monasterio & Lobell, 2007;
Martin et al., 2011). Salah satu solusi potensial untuk mengurangi jumlah herbisida
adalah dengan menerapkan herbisida di lokasi gulma yang tepat, pada waktu yang
tepat, dan konsentrasi yang tepat. Hal ini memerlukan pencatatan secara tepat di
mana setiap gulma berada sehingga penyemprot herbisida dapat diaktifkan untuk
menyemprot hanya untuk setiap gulma atau petak gulma (Ortiz-Monasterio &
Lobell, 2007; Birch et al., 2011). Identifikasi gulma yang terpisah dari tanaman
pangan dapat dilakukan dengan metode pengolahan citra yang sesuai (Lee et al.,
2010).
Ageratum conyzoides, Paspalum conjugatum, dan anakan sawit (kentosan).
Sistem penginderaan gulma, mengidentifikasi, melokalisasi, dan mengukur
parameter tanaman dan gulma.
•              Model pengelolaan gulma, menerapkan pengetahuan dan informasi tentang
persaingan tanaman-gulma, dinamika populasi, kemanjuran biologis dari metode
pengendalian dan algoritme pengambilan keputusan, dan mengoptimalkan perawatan
sesuai dengan kepadatan dan komposisi spesies gulma, tujuan ekonomi, dan kendala
lingkungan.
•              Alat pengendalian gulma yang presisi, misalnya, penyemprot dengan
bagian boom yang dapat dikontrol sendiri-sendiri atau serangkaian nozel yang dapat
dikontrol yang memungkinkan aplikasi herbisida yang bervariasi secara spasial.
Bagian penting lain dari teknologi pengendalian gulma spesifik lokasi terkait dengan
persepsi agroekosistem.
Karakteristik morfologi daun tanaman, seperti kompleksitas, momen pusat,
sumbu utama momen inersia, momen invarian pertama, rasio aspek, permutasi radius,

4
rasio keliling terhadap sumbu terpanjang, kelengkungan, kekompakan dan
pemanjangan, telah digunakan untuk mengklasifikasikan spesies tanaman. dengan
beberapa keberhasilan (Lee et al., 1999; strand & Baerveldt, 2002). Tang dan Tian
(2002) telah membuat prototipe sistem pengukuran pusat tanaman, menggunakan
segmentasi warna dengan tabel pencarian ganda untuk segmentasi vegetasi dan pusat
batang tanaman, kalibrasi spasial kamera, metode identifikasi berbasis geometri,
metode pemasangan baris tanaman, dan prosedur koreksi layar manual . Sistem
dilakukan dengan akurasi <10 mm untuk penentuan posisi tanaman, tetapi oklusi
daun tanaman dan tanaman gulma membatasi sistem pada tahap dua daun tanaman
jagung. Angin dan kurangnya pengaturan parameter otomatis adalah kelemahan
utama. Setelah tanaman individu diekstraksi, mereka dapat diklasifikasikan
menggunakan metode fitur bentuk dan tekstur. Parameter bentuk tanaman individu
telah berhasil digunakan untuk membedakan antara spesies gulma yang berbeda
(Petry & Kühbauch, 1989; Woebbecke et al., 1995; Perez et al., 2000; Søgaard, 2005;
Hague, Tillett, & Wheeler, 2006) .
Jenis gulma yang tumbuh di suatu tempat berbeda-beda. Faktor utama yang
menyebabkan perbedaan komunitas gulma yang tumbuh antara satu daerah ekologi
gulma yaitu struktur tanah, curah hujan, altitud, dan pola kultur teknis perkebunan
(Nasution, 1981). Jenis gulma yang ditemui di areal pertanaman kelapa sawit Bukit
Pinang Estate dilakukan inventirasi gulma. Inventirisasi gulma bertujuan untuk
mencatat gulma penting dan mempelajari pola komunitas gulma di kawasan tersebut.
BPE memiliki daerah rendahan dan lahan darat dengan topografi dari miring sampai
sangat miring. Daerah rendahan adalah daerah yang umumnya masih sangat lembab
karena daerah ini terdapat di DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan gulma yang
dominan adalah Scleria sumatrensis, Chromolaena odorata, Dicranopteris linearis,
dan Clidemia hirta. Daerah lahan darat adalah daerah dengan media tumbuh tanah
mineral dengan gulma dominan
Sistem berbasis khasiat membantu pengambil keputusan dalam memilih
herbisida (misalnya, SELOMA) (Stigliani & Resina, 1993) dan dosis herbisida
(Perlindungan Tanaman Online) (Rydahl, 2004). Model berbasis populasi
menggabungkan biologi dan ekologi gulma melalui model deterministik sederhana,
misalnya, HERB (Wilkerson et al., 1991) WEEDSIM (Swinton & King, 1994)
GWM, PALWEED (Kwon et al., 1995; Wiles et al. , 1996) dan GESTINF (Berti &
Zanin, 1997). Sistem berbasis kemanjuran terdiri dari database besar dengan kinerja
herbisida di berbagai tanaman, spesies gulma, tahap pertumbuhan, dll.,
memungkinkan peringkat dan rekomendasi herbisida atau dosis herbisida yang
paling efisien terhadap campuran gulma. Sejauh ini, tidak satu pun dari sistem ini
yang menghubungkan pengendalian gulma dengan kerugian hasil yang dihindari.

5
Dalam sistem berbasis populasi, perkiraan kehilangan hasil atau perubahan di bank
benih tanah tanpa pengendalian gulma menentukan perlunya pengendalian gulma
dan menentukan apakah pengendalian gulma akan hemat biaya.
Asumsi penting dalam sistem berbasis populasi adalah respons gulma biner terhadap
perlakuan herbisida, yaitu bahwa gulma yang bertahan hidup dengan perlakuan
herbisida memiliki daya saing yang sama dan memberikan kehilangan hasil yang
sama dengan gulma yang tidak diberi perlakuan (Swinton & King, 1994).
Christensen (1994) menunjukkan, bagaimanapun, bahwa pengurangan dosis
herbisida yang diterapkan pada tanaman kompetitif seringkali tidak mematikan dan
mengurangi daya saing gulma dan produksi bahan kering gulma secara signifikan.
Christensen, Heisel, Walter, & Graglia (2003) memasukkan kompetisi tanaman-
gulma dalam model keputusan terkomputerisasi. Model tersebut terdiri dari model
kompetisi, model respon dosis herbisida dan algoritma yang memperkirakan dosis
optimal secara ekonomis.
Model-model yang dijelaskan sebelumnya semuanya bergantung pada asumsi
gulma yang tersebar merata. Oleh karena itu, model-model ini mungkin melebih-
lebihkan kehilangan hasil dan populasi. pertumbuhan (Brain & Cousens, 1990),
terutama ketika teknologi pengendalian gulma spesifik lokasi beroperasi pada tingkat
resolusi lapangan 1 dan 2. Termasuk efek agregasi spasial gulma, Brain dan Cousens
(1990) menunjukkan bahwa pada kepadatan gulma yang sangat rendah menghasilkan
kehilangan hampir sama untuk tingkat agregasi yang berbeda, sedangkan pada
kepadatan tinggi, agregasi mengurangi dampak per tanaman gulma karena persaingan
intra-spesifik.
Model spasial atau lingkungan banyak digunakan dalam studi tentang
dinamika populasi tanaman di habitat alami dan memasukkan persaingan secara
implisit (misalnya, Weiner, 1982; Hara & Wyszomirski, 1994). Sebuah lingkungan
didefinisikan secara sederhana sebagai daerah terbatas di mana sejumlah tanaman
bersaing satu sama lain untuk sumber daya (Ellison, Dixon, & Ngai, 1994). Model-
model ini berangkat dari asumsi bahwa tanaman, karena masuk akal, hanya
dipengaruhi secara langsung oleh tetangga dekat, yaitu, bahwa kinerja tanaman
individu adalah fungsi gabungan dari jumlah individu dan jarak timbal balik mereka.

Alat pengendalian gulma yang presisi

Paling sederhana, alat pengendalian gulma presisi dapat terdiri dari sistem deteksi
gulma otomatis yang dipasang di bagian depan traktor atau penyemprot self-
propelled yang mengidentifikasi gulma dan meneruskan informasi ke algoritme
keputusan yang mengontrol sistem penyemprotan. Penelitian pengendalian dengan

6
teknologi tersebut telah dilaksanakan untuk pengendalian gulma di tunggul oleh
Felton dan Mccloy (1992) dan pada perkerasan oleh Kempenaar dan Leemans
(2005). Beberapa penyemprot telah dikembangkan untuk pengobatan patch gulma
atau subbidang dengan kelompok tanaman gulma (misalnya, Paice et al., 1995).
Sebagian besar penyemprot beroperasi secara spasial dengan kontrol selektif bagian
kecil dari boom semprotan. Dosis herbisida sebagian besar diatur oleh tekanan dalam
sistem hidrolik dan nozel standar. Patch sprayer yang dikembangkan oleh Gerhards
dan Oebel (2006) memiliki sistem penyemprotan yang memberikan perawatan
berdasarkan GIS yang berisi tiga peta perawatan. Peta dibuat sebelum penyemprotan
dengan platform yang
11
dipasang dengan sistem computer vision. Gambar dianalisis dan spesies gulma
diidentifikasi diklasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai dengan komposisi spesies.
Penyemprot memiliki tiga tangki terpisah, dengan satu atau lebih herbisida, tiga jalur
pengiriman dan sistem kontrol yang menerapkan herbisida dan dosis yang berlaku
untuk tiga kategori perlakuan. Penyemprot memiliki boom 21 m yang dibagi menjadi
tujuh bagian 3,0 m yang dikontrol secara terpisah.
Komponen sistem yang dipilih akan dipengaruhi oleh situasi pengendalian gulma
masing-masing individu.
1.            Pemetaan sebelumnya versus deteksi waktu nyata: Pemetaan sebelum
penyemprotan lebih mudah, tetapi mungkin memerlukan lintasan ekstra. Deteksi
waktu nyata memerlukan sensor dan komputer terpasang untuk memproses citra dan
mengontrol nozel.
2.            Biomassa gulma/tanaman versus spesies gulma ID: Sistem reflektansi
sederhana dapat mengukur total biomassa tanaman—ini mengukur tanaman dan
gulma secara bersamaan dan dapat menyesatkan. Memindai hanya di antara baris
lebih menantang, tetapi lebih akurat. Sistem yang lebih kompleks menggunakan
reflektansi dan bentuk gambar untuk mengidentifikasi jenis tanaman. Sistem
penelitian yang lebih maju dapat mengidentifikasi hingga 25 spesies gulma.
Keputusan perawatan: Yang paling sederhana adalah sistem ON/OFF untuk
menerapkan perawatan lain hanya pada patch. Sistem yang lebih kompleks
mengidentifikasi variasi spasial dalam spesies dan kepadatan gulma dan dapat
menerapkan hingga tiga herbisida pada tingkat yang bervariasi. Sistem ini
menggunakan sistem pakar pengendalian gulma yang canggih. Sebagian besar
penelitian SSWM berkonsentrasi pada perawatan patch (berukuran meter)
menggunakan boom
1.            kontrol bagian, tetapi penelitian terbaru di Denmark bekerja pada “sel” (11
cm × 3 cm) atau bahkan target tanaman tunggal.

7
2.            Jenis sensor: Sensor yang paling tersedia dan canggih adalah mata manusia,
tetapi pemetaan manual sebelum penyemprotan memakan waktu dan kontrol manual
waktu nyata mungkin tidak dapat diandalkan karena gangguan berkala dari operator.
Citra digital dapat ditangkap dari tanah atau satelit atau pesawat yang ditempatkan
dari jarak jauh, tetapi untuk sistem yang bertujuan untuk menangani patch yang lebih
kecil dari beberapa meter, citra jarak jauh memiliki resolusi spasial yang tidak
memadai. “WeedSeeker” saat ini adalah satu-satunya sensor penghubung sistem
yang dikomersialkan yang terhubung dengan kontrol semprotan. Sistem ini
mendeteksi biomassa tanaman hijau menggunakan rasio reflektansi merah dan
inframerah dekat
14
(NIR) dan terutama digunakan untuk pengendalian gulma non-selektif di area non-
tanaman. Ada sensor lain yang tersedia secara komersial (CropCircles,
GreenSeekers, dan Yara N-Sensor) yang dapat memetakan biomassa menggunakan
red/NIR. Sistem yang lebih canggih sedang dikembangkan di Denmark dan Jerman,
menggunakan kombinasi citra merah/NIR dengan analisis bentuk citra untuk
mengidentifikasi spesies gulma.
3.            Dokumentasi: Sebagian besar sistem yang sedang dikembangkan mencatat
peta aplikasi herbisida “sebagaimana diterapkan” sebagai catatan aplikasi yang
berguna.
Dalam banyak penelitian, pendekatan berbasis peta pengelolaan gulma spesifik
lokasi telah berhasil diterapkan (Gerhards & Oebel, 2006). Hasil percobaan ini
menunjukkan bahwa pengelolaan gulma spesifik lokasi mengurangi biaya untuk
pengendalian gulma dan menghasilkan dampak yang lebih kecil terhadap
lingkungan. Namun, untuk penerimaan yang lebih luas dari pengelolaan gulma
spesifik lokasi dalam pertanian praktis, sistem online akan diperlukan, yang
menggabungkan deteksi gulma dan aplikasi herbisida dalam satu langkah. Untuk
pengendalian gulma secara real-time, teknik pengambilan sampel gulma berbasis
sensor otomatis perlu dikembangkan. Dammer dkk. (2003) menggunakan sensor
reflektansi dalam dua pita gelombang 650 dan 830 nm untuk mengukur total tutupan
tanaman di jalur roda traktor untuk mengidentifikasi tambalan dengan tingkat
infestasi gulma yang tinggi. Girma dkk. (2005) mampu membedakan gulma rumput
dari gandum dengan mengukur reflektansi pada panjang gelombang yang berbeda.
Weis dan Gerhards (2007) menyegmentasikan tanaman, tanah dan mulsa dalam citra
digital menggunakan sistem kamera bi-spektral. Fitur bentuk dihitung untuk setiap
tanaman dan disimpan di database.
Kemudian fitur-fitur tersebut digunakan untuk klasifikasi spesies tumbuhan
secara otomatis. Peningkatan teknologi aplikasi untuk pengendalian gulma spesifik

8
lokasi diperlukan yang memungkinkan tingkat variabel dan campuran herbisida
secara real-time berdasarkan spesies gulma yang diamati. Vondricka (2007)
mengembangkan sistem injeksi nosel langsung, yang mampu menyesuaikan dosis
dan campuran herbisida dengan kepadatan gulma aktual dan komposisi spesies dalam
jarak kurang dari 500 m. Akhirnya, aturan keputusan untuk pengelolaan gulma
spesifik lokasi diperlukan yang menentukan dosis dan campuran herbisida yang tepat
untuk setiap posisi di lapangan. Sejauh ini, sistem pendukung keputusan memberikan
rekomendasi untuk aplikasi pengendalian gulma yang seragam di seluruh lahan
berdasarkan tingkat infestasi gulma rata-rata (Rydahl & Thonke, 1993). Tak satu pun
dari model ini memperhitungkan distribusi heterogen gulma di lapangan. Hanya
beberapa model telah dikembangkan untuk keputusan pengelolaan gulma spesifik
lokasi (Christensen et al., 2003). Christensen dkk. (2003) mempertimbangkan fungsi
kehilangan hasil dari gulma, fungsi respon dosis dari beberapa herbisida dan aspek
dinamika populasi untuk setiap sel 8 m × 8 m di ladang gandum musim dingin.
Eksperimen oleh Gutjahr et al. (2008) menunjukkan bahwa aplikasi herbisida
mengurangi hasil gabah di daerah tanpa atau rendah serangan gulma.
Dengan demikian, pengaruh herbisida pada tanaman harus dipertimbangkan
dalam algoritme keputusan untuk pengendalian gulma spesifik lokasi. Selektivitas
banyak herbisida disebabkan oleh kinetika metabolisme yang berbeda di dalam
tanaman. Herbisida dapat merusak tanaman ketika serapan dan translokasi di dalam
tanaman meningkat karena kondisi cuaca yang kurang menguntungkan untuk
pembentukan kutikula. Namun, sangat sulit untuk memberikan perkiraan umum
tentang efek hasil herbisida. Ini berbeda secara signifikan antara bahan aktif, dosis
herbisida dan kondisi cuaca sebelum, selama dan setelah aplikasi, tanaman dan tahap
pertumbuhan. Pengelolaan gulma spesifik lokasi layak dan bahkan mungkin
memiliki manfaat ekonomi ketika penghematan herbisida mengimbangi biaya untuk
pemetaan gulma dan penyemprotan patch (Schwarz et al., 1999). Karena distribusi
spesies gulma bervariasi di lapangan, diperlukan teknologi aplikasi yang
memungkinkan variasi bahan aktif secara real-time. Inspirasi untuk pengelolaan
gulma spesifik lokasi adalah untuk mengurangi penggunaan herbisida, dan fokus
penelitian adalah penyemprotan patch. Meskipun distribusi spesies individu di suatu
lahan biasanya tidak sesuai dan spesies yang ada bervariasi di antara petak-petak.
Regulasi mungkin lebih hemat biaya dengan beberapa herbisida ketika populasi
gulma lokal berbeda di dalam lahan. Teknologi penyemprotan patch sekarang sudah
memadai untuk pengelolaan gulma spesifik lokasi dengan beberapa herbisida
diterapkan dalam satu lintasan melintasi lahan
(Gerhards & Oebel, 2006). Ada dua metode untuk meresepkan beberapa
herbisida untuk satu lahan dari peta populasi gulma di lapangan (Gerhards & Oebel,

9
2006). Metode paling sederhana adalah dengan mengenali dua atau lebih kelompok
spesies yang akan dijadikan target dengan herbisida yang berbeda di lapangan dan
kemudian secara mandiri membuat peta aplikasi penyemprotan patch untuk setiap
herbisida. Contoh umum adalah penargetan daun lebar dan rumput dengan herbisida
yang berbeda. Metodologi kedua bergantung pada model keputusan pengelolaan
gulma. Sebuah ladang dialokasikan ke dalam subunit dan herbisida yang
memaksimalkan laba bersih disarankan untuk setiap subunit (Wilkerson et al., 2004).
Manajemen peresepan lebih mudah dengan herbisida yang ditujukan untuk
kelompok gulma yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, jika ada herbisida yang
secara efisien mengendalikan spesies di lebih dari satu kelompok yang telah
ditentukan, penyemprotan patch mungkin tidak lebih hemat biaya daripada aplikasi
seragam. Metode kedua memaksimalkan laba bersih untuk setiap subunit
menegaskan bahwa ketika pengendalian gulma dengan beberapa herbisida
direkomendasikan, itu lebih hemat biaya daripada aplikasi seragam.

Gambar 2: Penyemprot patch eksperimental/prototipe yang dijelaskan oleh Gerhards


dan Oebel (2006)
Penyemprotan patch: Pengelolaan gulma spesifik lokasi dengan banyak herbisida
atau kombinasi herbisida di lapangan akan membutuhkan teknologi yang lebih
kompleks dan mahal, dan lebih banyak waktu pengelolaan daripada penyemprotan
patch. Penyemprotan patch didorong sebagai strategi untuk mengurangi penggunaan
herbisida. Penggunaan dua atau lebih herbisida untuk penyemprotan patch
kemungkinan akan lebih sedikit
metode yang mahal bagi petani untuk mengurangi penggunaan herbisida dari waktu
ke waktu atau di seluruh lahan pertanian dibandingkan dengan patch spraying
dengan satu herbisida. Namun demikian, tidak dapat diduga bahwa penggunaan
herbisida akan berkurang di setiap lahan dan luas lahan yang tidak disemprot akan
menjadi indikator yang kurang dapat diandalkan untuk penurunan penggunaan
herbisida dengan penyemprotan tempel dengan dua atau lebih herbisida
dibandingkan dengan penyemprotan tambalan. dengan satu herbisida. Jika tujuannya

10
adalah untuk mengurangi penggunaan herbisida di setiap lahan, penggunaan
herbisida harus direncanakan ketika penyemprotan tambalan dengan dua herbisida
direkomendasikan berdasarkan hasil bersih yang maksimal dari lahan. Penyemprotan
gulma secara patch tidak dapat disarankan secara antusias kepada petani berdasarkan
hasil bersih rata-rata di antara ladang. Penggunaan beberapa herbisida di dalam lahan
dapat meningkatkan hasil bersih dan mengatasi kekhawatiran petani tentang gulma
yang tersisa di lahan.
Pengelolaan gulma spesifik lokasi mungkin lebih memuaskan bagi petani jika
beberapa herbisida digunakan di dalam lahan selain membiarkan beberapa area tidak
dirawat, dan jika kita belajar mengenali karakteristik populasi gulma di lahan yang
pengelolaan gulma spesifik lokasinya akan paling menguntungkan. . Petani akan
membutuhkan model keputusan untuk mendukung tugas yang kompleks dalam
memilih kombinasi herbisida yang tepat untuk suatu lahan. Mungkin ada sedikit
keuntungan dalam
menggunakan lebih dari dua herbisida dalam suatu lahan ketika tujuan utamanya
adalah untuk mengurangi penggunaan herbisida. Peningkatan penggunaan herbisida
menjadi lebih mungkin dengan lebih dari dua herbisida. Untuk petani yang lebih
khawatir tentang gulma yang tersisa di lapangan daripada tentang penggunaan
herbisida, menggunakan lebih dari dua herbisida bisa menjadi pendekatan yang lebih
baik. Peningkatan pengembangan dalam pengendalian gulma lebih mungkin bila
lebih dari dua herbisida digunakan. Menggunakan lebih dari dua herbisida untuk
penyemprotan patch semakin mengurangi gulma yang lolos, tetapi penggunaan
herbisida lebih besar daripada aplikasi seragam di lapangan. Petani mungkin lebih
bersemangat untuk mengadopsi penyemprotan patch jika lebih dari satu herbisida
digunakan di lapangan. Pengaruh herbisida pada tanaman bergantung pada bahan
aktif, dosis yang diterapkan, kondisi cuaca selama dan setelah aplikasi dan kondisi
tumbuh untuk tanaman sampai panen. Jadi, lebih banyak percobaan lapangan selama
beberapa musim diperlukan untuk menjelaskan, apakah, dan bagaimana, stres
herbisida tanaman harus dimasukkan dalam model keputusan untuk penyemprotan
patch.
Hambatan utama untuk SSWM adalah sistem pemetaan/pemindaian yang efisien dan
akurat serta sistem injeksi langsung yang sesuai untuk herbisida. Kemajuan terbaru
menunjukkan bahwa masalah ini dapat diatasi. Prototipe pencitraan canggih dapat
mengidentifikasi 25 spesies gulma secara real time. Sistem injeksi langsung saat ini
mengalami jeda waktu yang lama karena waktu yang dibutuhkan herbisida untuk
bergerak dari titik injeksi ke nozzle (4–30 detik). Tim peneliti Jerman
mengembangkan nozel injeksi langsung yang efektif yang memungkinkan herbisida
pekat disuntikkan langsung ke nozel dengan jeda waktu kurang dari satu detik.

11
Keragaman gulma dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa di antaranya adalah
kelembaban tanah dan intensitas cahaya. Kelembaban tanah pada pertanaman tahun
tanam yang lebih tua relatif lebih lembab dibandingkan dengan pertanaman tahun
tanam yang lebih muda. Intensitas cahaya yang diteruskan ke permukaan tanah pada
pertanaman thun tanam yang lebih tua juga relatif lebih sedikit. Hal ini disebabkan
oleh penutupan tanah yang lebih luas oleh tajuk tanaman kelapa sawit tua. Penutupan
ini menjaga suhu permukaan tanah tetap sejuk, penguapan berjalan lambat, tanah
tetap lembab, sinar matahari yang sampai ke permukaan tanah relatif sedikit, dan
pertumbuhan gulma tertekan.

12
PENUTUP

Pengendalian gulma manual yang rutin dilaksanakan adalah piringan, pasar


pikul, & TPH manual dan gawangan manual. Pengendalian gulma kimiawi yang rutin
dilaksanakan adalah semprot piringan, pasar pikul, & TPH, semprot gawangan, dan
pemberantasan lalang. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengendalian gulma
adalah lingkungan, manusia, metode, alat, dan material. Kegiatan semprot kentosan
pada salah satu divisi di BKLE kurang berjalan dengan baik. Hal tersebut ditandai
dengan adanya kentosan yang belum terkendali pada waktu 4 minggu setelah
aplikasi. Pengendalian gulma membutuhkan biaya yang relatif tinggi dengan
persentase biaya upah mencapai 90.12% dan
Biaya herbisida mencapai 9.88%.pengelolaan gulma menunjukkan bahwa
potensi dampak ekonomi dan lingkungan pada hasil panen meningkatkan resolusi
pengendalian gulma menyiratkan integrasi informasi spesifik lokasi tentang
komposisi spesies gulma, kepadatan, kemunculan, daya saing spesies, arsitektur
kanopi, dll. Khasiat spesifik spesies, misalnya herbisida yang berbeda, juga
menentukan potensi penghematan. Sistem penginderaan gulma otomatis yang
mengenali spesies dan tanaman gulma merupakan prasyarat untuk menghemat
herbisida untuk pengelolaan gulma spesifik lokasi. Sebuah platform penginderaan
dapat digunakan untuk memetakan gulma dan membuat peta pengobatan dengan
model pengelolaan gulma sebelum pengendalian gulma dilakukan. Namun, beberapa
penulis mengklaim bahwa penginderaan gulma secara real-time merupakan prasyarat
untuk penerapan pengelolaan gulma spesifik lokasi. Berbagai macam teknik
penginderaan gulma telah dipelajari selama 10 tahun terakhir. Sejauh ini, belum ada
yang dikembangkan menjadi produk komersial. Tampaknya kekokohan sistem
penginderaan, yaitu kemampuannya untuk mengatasi variasi alami dari karakteristik
spektral atau morfologis dan naungan timbal balik di antara spesies gulma di suatu
lapangan memerlukan penerapan kombinasi kamera spektral berkecepatan tinggi,
pemrosesan gambar dan algoritma tertanam dalam model pengelolaan gulma.
Beberapa penyemprot telah dikembangkan untuk pengendalian gulma di lapangan
pada resolusi 3 dan 4. Sebagian besar penyemprot memiliki sistem berbasis GIS yang
berisi peta gulma dan pengobatan. Kategori lain dari penyemprot presisi adalah
penyemprot injeksi langsung, yang memungkinkan adaptasi online jenis dan dosis
herbisida dengan permintaan spesifik lokasi untuk pengendalian gulma. Penyemprot
ini beroperasi dengan serangkaian nozel, bagian boom atau seluruh boom. Beberapa
prototipe alat presisi telah dikembangkan untuk resolusi lapangan 1 dan 2.

13
DAFTAR PUSTAKA

1.strand, B., & Baerveldt, A-J. (2002). Robot bergerak pertanian dengan persepsi
berbasis penglihatan untuk pengendalian gulma mekanis. Robot Otonom, 13, 21-35.
2. Awan, S. Sebuah tinjauan masa lalu, sekarang dan masa depan pertanian presisi di
Inggris (Research Review No. 87). Badan Pengembangan Pertanian dan Hortikultura.
3. Barosso, J., Fernandez-Quintanilla, C., Maxwell, B. D., & Rew, L. J. (2004).
Mensimulasikan efek pola spasial gulma dan resolusi pemetaan dan penyemprotan
pada ekonomi pengelolaan spesifik lokasi. Penelitian Gulma, 44, 460-468.
4. Langkah-langkah dasar dalam pertanian presisi. Diperoleh dari
http://agropedia.iitk. ac.in/content/basic-steps-precision-farming
5. Berti A., & Zanin, G. (1997). GESTINF: Model keputusan untuk pengelolaan
gulma pascatumbuh pada kedelai (Glycine max (L) Merr). Perlindungan Tanaman,
6, 109-116. 6. Bontsema, J., Van Asselt, C. J., Lempens, P. W. J., & Van Straten, G.
(1998). Pengendalian gulma intra-baris: Pendekatan mekatronik. Dalam N Sigrimis &
Pgroumpos (Eds.), Prosiding Aplikasi Kontrol Lokakarya IFAC 1 dan Ergonomi
dalam Pertanian (hlm. 93-97). Federasi Internasional Kontrol Otomatis.
7. Brown, R.B., & Noble, S.D. (2005). Pengelolaan gulma spesifik lokasi:
Persyaratan penginderaan – Apa yang perlu kita lihat? Ilmu Gulma, 53, 252-258.
8. Christensen, S. (1994). Kompetisi gulma tanaman dan kinerja herbisida pada
varietas dan spesies sereal. Penelitian Gulma, 34, 29-37.
9. Christensen, S., & Heisel, T. (1998). Penyemprotan patch menggunakan
pemantauan gulma historis, manual dan real-time dalam sereal. Zeitschrift untuk
Pflanzenkrankheiten dan Pflanzenschutz Sonderheft, 16, 257-263 22
10. Christensen, S., Heisel, T., Walter, A., & Graglia, E. (2003). Sebuah algoritma
keputusan untuk penyemprotan patch. Penelitian Gulma, 43, 276-284.
11.Christensen, S., Sgaard, H. T., Kudsk, P., Nørremark, M., Lund I., Nadimi, E. S.,
& Jørgensen, R. Teknologi pengendalian gulma spesifik lokasi. Diakses pada 2 Juli
2017, dari https://www.researchgate.net/publication/227828041_Site-
specific_weed_control_technologies. 12. Christensen, S., Sgaard, H. T., Kudsk, P.,
Nrremark, M., Lund, I., Nadimi, E. S., & Jørgensen, R. (2009). Teknologi
pengendalian gulma spesifik lokasi. Penelitian Gulma, 49(3), 2
13. Gerhards, R., Sökefeld, M., Schulze-Lohne, K., Mortensen, D. A., & Kuhbauch,
W. (1997). Pengendalian gulma spesifik lokasi pada gandum musim dingin. Jurnal
Agronomi dan Ilmu Tanaman, 178, 219-225.
14. Gerhards, R. & Christensen, S. (2003). Deteksi gulma waktu nyata, pengambilan
keputusan, dan penyemprotan patch pada jagung, bit gula, gandum musim dingin,
dan jelai musim dingin. Penelitian Gulma, 43, 385-392
15. Gerhards, R. & Oebel, H. (2006). Pengalaman praktis dengan sistem untuk
pengendalian gulma spesifik lokasi pada tanaman yang dapat ditanami menggunakan
analisis gambar waktu nyata dan penyemprotan tambalan yang dikendalikan GPS.
Penelitian Gulma, 46, 185193.
16. Gonzalez-Andujar, J. L., & Saavedra, M. (2003). Distribusi spasial populasi
gulma rumput tahunan di sereal musim dingin. Perlindungan Tanaman, 22, 629-633.
17. Goudy, HJ (2000). Evaluasi pengelolaan gulma spesifik lokasi dan implikasinya
terhadap biologi spasial gulma (tesis Master, University of Guelph).

14
18 . Den Haag, T., Tillett, N. D. & Wheeler, H. (2006). Pemantauan tanaman dan
gulma otomatis pada sereal dengan jarak yang luas. Pertanian Presisi, 7, 21-32.
19. Hahn, F., & Muir, A. Y. (1993). Spektrum reflektansi tanaman brassica dan
beberapa gulma
20. Adi, P. 2010. Kaya dengan Bertani Kelapa Sawit.Yogyakarta (ID): Pustaka Baru
Press.
21. Corley, R.H.V., Tinker, P.B. 2003. The Oil Palm. 4th ed. United Kingdom (GB):
Blackwell Scientific. 562 p.
22. [DIRJENBUN] Direktorat Jenderal Perkebunan.2012. Produksi, Luas Areal dan
Produktivitas Perkebunan di Indonesia internet]. [diunduh 2013 Nov 26].Tersedia
pada:www.deptan.go.id/Indikator/tabel-3-prod-lsareal-prodvitas-bun.pdf.
23. Fitriana, M., Parto, Y., Munandar, Budianta, D. 2013. Pergeseran Jenis Gulma
Akibat Perlakuan Bahan Organik pada Lahan Kering Bekas Tanaman Jagung (Zea
maysL.) J Agron Indonesia. 41(2): 118-125.
24. [KEMENPERIN] Kementerian Perindustrian. 2012. Prospek dan Permasalahan
Industri Sawit [internet]. [diunduh 2013 Nov 26]. Tersedia pada:
http://kemenperin.go.id/artikel/494/Prospek-Dan-Permasalahan-Industri-Sawit
25. Moenandir, J. 1993. Ilmu Gulma dalam Sistem Pertanian. Jakarta (ID): Raja
Grafindo Persada.Monaco,
26. T.J., Weller, S.M., Ashton, F.M. 2002. Weed Science: Principles and Practices.
4th ed. United States of America (US):
27. John Wiley & Sons. 671 p.Pahan, I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit:
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
28. Palijama, W., Riry, J., Wattimena, A.Y. 2012. Komunitas Gulma pada
Pertanaman Pala (Myristica fragrans H) Belum Menghasilkan dan Menghasilkan di
Desa Hutumuri Kota Ambon. Agrologia. 1(2):91-169.
29.Pardamean, M. 2008. Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa
Sawit. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
30. Perdana, E. 2009. Pengendalian Gulma Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di
Kebun Bukit Pinang, PT Bina Sains Cemerlang, Kabupaten Musi Rawas, Propinsi
Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

15

Anda mungkin juga menyukai