Anda di halaman 1dari 5

A.

Ciri Pembeda

Pada umumnya bunyi bahasa pertama-tama dibedakan atas

vokal dan konsonan (Chaer, 2009). Bunyi vokal dihasilkan dengan

pita suara terbuka sedikit. Pita suara yang terbuka sedikit ini

menjadi bergetar ketika dilalui arus udara yang dipompakan dari

paru-paru. Selanjutnya arus udara ke luar melalui rongga mulut

tanpa mendapat hambatan apa-apa, kecuali bentuk rongga mulut

yang terbentuk tertentu sesuai dengan jenis vokal yang dihasilkan.

Bunyi konsonan terjadi, setelah arus udara melewati pita suara yang

terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga mulut atau ke

rongga hidung dengan mendapatkan hambatan di tempat-tempat

artikulasi tertentu (Saussure, 2007).

Jadi, beda terjadinya bunyi vokal dan konsonan adalah arus

udara dalam pembentukan bunyi vokal, setelah melewati pita suara,

tidak mendapat hambatan apa-apa. Sedangkan dalam pembentukan

bunyi konsonan arus udara itu masih mendapat hambatan atau

gangguan. Bunyi konsonan ada yang bersuara dan ada yang tidak

(Verhaar, 2008b). Yang bersuara terjadi apabila pita suara terbuka

sedikit, dan yang tidak bersuara apabila pita suara terbuka agak

lebar. Bunyi vokal, semuanya adalah bersuara, sebab dihasilkan

dengan pita suara terbuka sedikit (Robins, 2000).

1. Fonem dan Grafem

Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional

atau dapat membedakan makna kata. Untuk menetapkan sebuah

bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan harus dicari pasangan


minimalnya, berupa dua buah kata yang mirip, yang memiliki satu

bunyi yang berbeda, sedangkan yang lainnya sama (Muslich, 2011).

Bila ternyata kedua kata itu memiliki makna yang berbeda, maka

kedua kata itu adalah dua buah fonem yang berbeda (Muslich,

2011). Fonem dianggap sebagai konsep abstrak, yang di dalam pertuturan direalisasikan oleh

alofon, atau alofon-alofon, yang sesuai

dengan lingkungan tempat hadirnya fonem tersebut (Muslich, 2011).

Salah satu asumsi dasar ialah bahwa tuturan terdiri dari

sederetan segmen diskret. Jadi kelihatannya segmen merupakan

satuan terkecil yang tak terbagi lagi dalam analisis fonologis.

Pandangan ini menunjukkan bahwa segmen-segmen harus secara

acak berbeda satu sama lian. Akan tetapi kenyataanya tidak

demikian. Jika kita membandingkan p, t, k dengan p, r, s, anggota

perangkat pertama mempunyai kaitan internal yang tidak dipunyai

anggota perangkat kedua, karena perangkat pertama memunyai sifat

yang sama, yaitu konsonan hambat tak bersuara (Kurshartanti,

2009).

Anda mungkin mengatakan bahwa p, t, k kebetulan

membentuk sebuah kelas hanya disebabkan sifat fonetis tertentu

yang kita pakai untuk menggolongkan pelbagai jenis proses

fonologis yang diamati dalam bahasa (Robins, 2010). Dalam Bahasa

Inggris, hanya p, t, k lah yang sebagai fonem mempunyai alofon

beraspirasi dalam konteks tertentu atau beralternasi dengan s dalam

lingkungan tertentu-elektrik (electricity). Dalam kondisi yang sama,

konsonan hambat velar lain, g, beralternasi analogius (analogy). Jadi,

k dan g juga membentuk, suatu kelas. Sekarang kita dapat mengerti


peranan fonetik dalam fonologi (Chaer, 2008).

2. Ciri sebagai Unsur Pembentuk Tuturan

Setelah jelas bahwa ada gunanya memandang segmen sebagai

kesatuan yang terbentuk dari perangkat-perangkat sifat, alih-alih

sebagai kesatuan tak terbagi, kita dapat memperhatikan kaitannya

dengan mendaftar secara eksplisit sifat atau ciri (fitur) tiap segmen

(Iwan, 2010).

Kemudian kita dapat membandingkan persamaan dan

perbedaan segmen-segmen. Misalnya, p dan b adalah konsonan, kemudian kita dapat

membandingkan persamaan dan perbedaan segmen-segmen. Misalnya p dan b adalah

konsonan hambat labial

yang penyuaraannya berbeda; b dan n dental bersuara yang cara

artikulasinya berbeda; dan p dan n tidak mempunyai kesamaan

(Hasan, 2009).

Apakah parameter fonetis yang dikemukakan sebelumnya

sudah cukup sebagai perangkat ciri? Pada umumnya, ya, tetapi

dengan istilah yang berbeda; dental juga diacu sebagai anterior dan

koronal; semivokal silabis ternyata merupakan vokal; atau

palatalisasi yang diterapkan pada kosonan mempunyai kemiripan

artikulatoris dengan posisi depan yang berlaku untuk vokal. Jadi ada

beberapa hal yang harus dilakukan untuk menentukan istilah yang

paling sesuai (Dola, 2006).

Secara ideal, ciri-ciri yang sesuai harus memenuhi tiga fungsi


1) ciri-ciri itu mampu memberikan fonetik sistematis fungsi fonetis;

2) pada tataran yang lebih abstrak, ciri-ciri itu berguna untuk

membedakan unsur-unsur leksikal fungsi fonemis; dan 3) ciri-ciri itu

menetapkan kelas-kelas wajar, yaitu segmen-segmen yang sebagai

suatu kelompok mengalami proses fonologis yang sama (Muslich,

2011). Kesulitannya ialah menemukan perangkat ciri yang bisa

dengan tepat memenuhi ketiga syarat ini (Chaer, 2009).

Jika kita melihat parameter fonetis itu, kita dapat

membedakan dua jenis ciri, yaitu:

1. Ciri-ciri yang berpasangan dan mewakili kehadiran atau ketidakhadiran suatu atribut,

Seperti nasal oral, bersuara-tak bersuara, tegang-kendur, beraspirasi-tak beraspirasi,

bundar-tak bundar, belakang-depan, atau sonoran-obstruen; dan

2. Ciri-ciri yang mewakili nilai-nilai pada skala, seperti tinggi, sedang, rendah untuk vokal;

atau ciri-ciri daerah artikulasi untuk konsonan labial dental, palatal-alveolar, velar, dan

sebagainya (Alisjahbana, 2008; Samsuri, 2010; Verhaar, 2008b).

3. Ciri Biner

Untuk ciri-ciri yang menunjukkan sifat-sifat yang berlawanan,

kita dapat menggunakan sistem Biner (plus dan minus) untuk

memperlihatkan apakah atribut itu hadir atau tidak (Verhaar, 2008b).

Kita tidak perlu menggunakan dua nama terpisah, seperti bersuara,

dan tak bersuara, tetapi hanya satu ciri saja, (bersuara); kemudian

bunyi dapat dirinci sebagai (+ bersuara), dan yang tak bersuara

sebagai (- bersuara). Notasi Biner itu ideal untuk semua ciri yang

menyatakan kualitas yang bertolak belakang (Alisjahbana, 2008).

Keuntungan dari Sistem Biner ialah bahwa orang dapat


memperlihatkan secara eksplisit bagaimana anggota suatu pasangan,

seperti bersuara-tak bersuara atau nasal-oral, berkaitan satu sama

lain dengan cara yang tidak terdapat pada pemasangan lain seperti

bersuara-oral atau tak bersuara-nasal. Setiap pasangan wajar; seperti

bersuara-tak bersuara digambarkan oleh nilai (+ atau -) (Chaer, 2008).

Kesederhanaan Sistem Biner memungkinkan kita bertanya

apakah semua ciri, termasuk ciri yang pada mulanya tampak tidak

Biner, misalnya ciri-ciri ketinggian untuk vokal atau ciri-ciri daerah

artikulasi untuk konsonan, bisa ditafsirkan dengan Sistem Biner.

Pertanyaan ini pertama-tama dijawab dengan ya oleh Jacobson

(Crystal, 2010).

Dalam menyajikan perangkat ciri pembeda yang disusunnya

sendiri, ia membuat pernyataan yang lantang bahwa skala dikotomi

dilapiskan oleh bahasa pada bunyi. Choamsky dan Halle juga

berpendapat bahwa ciri-ciri bersifat Biner hanya pada penggolongan

atau fonemis sistematis sedangkan pada tataran fonetis sistematis,

ciri-ciri itu tidak harus Biner (Fromkin, 2008).

Anda mungkin juga menyukai