Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

“MENERAPKAN PENGUKURAN UJI PSIKOLOGIS PADA NIFAS DAN


MENYUSUI”
Tugas Ini Disusun Untuk Melengkapi Tugas Psikologi Perkembangan
Dosen Pengampu:
Herawati Mansur.,S.ST.,M.Pd., M.Psi

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Ika Nur Diana (P17331215005)
Siska Agneisya Mega Renita (P17331215011)
Salsabila Mutiara Firdaus (P17331215023)
Avida Rizka Wardani (P17331215035)
Arik Nur Faridah (P17331215039)
Anissa Adrilianingsih (P17331215041)
Nur Laili Oktafia (P17331215044)
Nur Halimah (P17331215044)
Tursina Intan Bastian (P17331215048)
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN JEMBER
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, petunjuk, dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“MenerapkanPengukuran Uji Psikologis Pada Nifas dan Menyusui”
Tugas ini ditulis sesuai dengan literatur yang kami dapatkan dari buku
penunjang dan sumber-sumber lain. Dalam penyusunan makalah ini, kami
mendapatkan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal
tersebut,kami mengucapkanterimakasih kepada Ibu Herawati
Mansur.,S.ST.,M.Pd.,M.Psi yang telah memberikan bimbingan dalam
menyelesaikan makalah ini serta kepada semua pihak yang turut membantu dan
memberikan dorongan pemikiran, materi, waktu, dan tenaga.
Penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk lebih
menyempurnakan makalah ini. Namun demikian, kami berharap semoga makalah
ini bermanfaat.

Jember, Maret 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................

BAB I.......................................................................................................................

PENDAHULUAN...................................................................................................

1.1 Latar Belakang.................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................

1.3 Tujuan...............................................................................................................

BAB II......................................................................................................................

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................

2.1 Pengertian Psikologis.......................................................................................

2.1.1 JenisPsikologis...............................................................................................

2.1.2 Tujuan Psikologis..........................................................................................

2.1.3 Tujuan Pengukuran dan Uji Psikologis.....................................................7

BAB III

BAB IV................................................................................................................28

4.1 Kesimpulan...................................................................................................28

4.2 Saran..............................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengertian psikologi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan
pengaruhnya pada perilaku. Bisa juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
gejala dan kegiatan jiwa.Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun
kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan(Muhibbin Syah ,2001).
Masa nifas atau post partum atau disebut juga masa puerperium
merupakan waktu yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ
reproduksinya seperti saat sebelum hamil terhitung dari selesai persalinan
hingga dalam jangka waktu kurang lebih 6 Minggu atau 42 hari (Maritalia,
2017). Masa nifas merupakan proses yang dialami oleh wanita setelah
melahirkan. Pada masa ini terjadi banyak perubahan, diantaranya perubahan
fisiologis atau perubahan fisik, involusi uterus atau kembalinya uterus ke
kondisi sebelum hamil dan pengeluaran lochea atau darah yang keluar dari
rahim, perubahan psikis seperti tingkah laku dan sikap, serta laktasi.Ibu yang
baru pertamakali memiliki anak yang hidup dan baru pertamakali menjadi
seorang ibu disebut primipara (Yunita et al., 2013).Pengalaman melahirkan
dapat berpengaruh besar terhadap pembentukan peran sebagai seorang ibu.
Seorang ibu akan mengalami gejala-gejala psikiatrik setelah melahirkan
sehingga perlu mengetahui tentang perubahan psikologis yang umum terjadi
agar perubahan psikologi yang dialami tidak berlebihan. Masa pasca
persalinan merupakan awal keluarga baru bagi keluarga muda sehingga
mereka perlu beradaptasi dengan peran barunya (Oktafiani et al., 2014).
Sedangkan adaptasi psikologis masa nifas merupakan suatu proses
adaptasi yang sebenarnya sudah terjadi pada saat kehamilan. Menjelang
persalinan, perasaan senang karena akan berubah peran menjadi seorang ibu
dan segera bertemu dengan bayi yang dikandungnya selama berbulan-bulan
dan telah lama dinantikan. Selain itu, akan timbul perasaan cemas karena
5

khawatir terhadap calon bayi yang akan dilahirkannya nanti, apakah lahir
dengan sempurna atau tidak. Pada masa nifas, ibu menjadi lebih sensitif
sehingga perubahan psikologis ini memiliki peranan yang sangat
penting.Tentunya pada ibu primipara dan multipara memiliki kebutuhan yang
berbeda-beda. Multipara akan lebih mudah dalam mengantipasi keterbatasan
fisiknya dan lebih mudah beradaptasi terhadap peran dan interaksi sosialnya.
Sedangkan pada ibu primipara mungkin akan kebingungan dan frustasi
karenamerasa tidak mampu dalam merawat bayi dan tidak mampu mengontrol
situasi. Maka dari itu ibu primipara lebih memerlukan dukungan yang lebih
besar
(Maritalia, 2017).
Peran menjadi orang tua akan sulit bagi orang tua yang baru pertamakali
memiliki anak. Pada minggu pertama masih belum siap menerima tugas-tugas
barunya sebagai seorang ibu. Proses perubahan peran menjadi seorang ibu
bukanlah hal yang mudah. Ibu post partum harus mengalami adaptasi terlebih
dahulu setelah melahirkan. Periode nifas dibagi menjadi tiga tahap.Tahap I
Taking-in (fase menerima), tahap II Taking-hold (dependen-mandiri), tahap
III Letting-go (fase interdependen). Pada tahap-tahap ini, ibu sering
mengalami perasaan tidak mahir dan tidak mampu dalam melakukan
keterampilan perawatan bayi, misalnya menggendong bayi, memberikan ASI
atau menyusui bayi, memandikan bayi, melakukan perawatan tali pusat, dan
memasang popok. Kesulitan yang dialami oleh ibu primipara remaja meliputi
kendala dalam merawat bayi, dan adanya faktor penghambat dari dalam
dirinya seperti : perasaan tidak mampu, pengalaman yang kurang, perasaan
rendah diri, dan faktor dari luar seperti kurang dukungan dari suami ataupun
keluarga, tenaga kesehatan, serta kondisi dari bayi (Yunita et al., 2013).
Pada ibu yang tidak dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi
dapat menimbulkan gangguang psikologi, baik gangguan psikologi ringan
maupun berat.Gangguan psikologis utama pada ibu hamil disebut dengan
depresi maternal (antepartum atau postpartum). World Health Organization
(2020) depresi pada ibu hamil merupakan permasalahan yang diperkirakan
6

akan menjadi beban penyakit terbesar nomor dua (Masyuni, et al., 2019) Salah
satu gangguan psikologi yang bisa terjadi pada ibu postpartum yaitu depresi
postpartum (Syafrianti, 2018).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian dari psikologi ?
2. Apa yang dimaksud jenis dan tujuan dari pengukuran dari psikologi pada
bufas dan menyusui?
3. Metode apakah yang tepat uji psikologis pada nifas dan menyusui?
4. Apakah hasil telaah jurnal terkait dengan topic?
5. Apakah instrumen pengukuran psikologi sesuai dengan ruang lingkup
nifas dan menyusui?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu psikologi.
2. Untuk mengetahui jenis dan tujuan dari pengukuran dari psikologi pada
bufas dan menyusui.
3. Untuk mengetahuimetode apakah yang tepat uji pskologis pada nifas dan
menyusui.
4. Untuk mengetahui hasil telaah jurnal terkait dengan topic.
5. Untuk mengetahui instrumen pengukuran psikologi sesuai dengan ruang
lingkup nifas dan menyusui.
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masa Nifas


2.1.1 Pengertian Masa Nifas
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi,
plasenta, serta selapur yang diperlukan untuk memulihkan kembali
organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6
minggu (Saleha, Siti: 2009:5). Menurut Febi, dkk (2017) masa nifas
(puerperium) adalah masa pemulihan kembali, mulai dari persalinan
selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lama
masa nifas yaitu 6-8 minggu. Masa nifas (puerperium) di mulai setelah
kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali
seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-
kira 6 minggu.
2.1.2 Tahapan Masa Nifas
Nifas dibagi dalam 3 periode :
a. Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu diperolehkan berdiri dan
berjalan-jalan. Dalam agama islam dianggap telah bersih dan boleh
bekerja setelah 40 hari.
b. Puerperium intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat
genetalia yang lama 68 minggu.
c. Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan
sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan
mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna bisa
berminggu-minggu, bulan atau tahunan (Angreni, 2010).

2.1.3 Adaptasi Masa Nifas


Periode adaptasi nifas diuraikan oleh Yanti & Sundawati (2011)
menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Fase taking in, yaitu periode ketergantungan yang berlangsung pada
hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Ibu fokus pada
dirinya sendiri, sehingga cenderung pasif terhadap lingkungannya.
Ketidaknyamanan yang dialami antara lain; rasa mules, nyeri pada
luka jahitan, kurang tidur, kelelahan. Hal yang perlu diperhatikan
pada fase ini adalah istirahat cukup, komunikasi yang baik dan
asupan nutrisi.
Gangguan psikologis yang dapat dialami oleh ibu pada fase ini
adalah:
(1) Kekecewaan pada bayinya
(2) Ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik yang
dialami
(3) Rasa bersalah karna belum bisa menyusui bayinya
(4) Kritikan suami atau keluarga tentang perawatan bayinya.
8

b. Fase taking hold, yaitu periode yang berlangsung antara 3-10 hari
setelah melahirkan. Pada fase ini ibu merasa khawatir akan
ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat
bayi. Pada fase ini, ibu memerlukan dukungan dan merupakan
kesempatan yang baik menerima berbagai penyuluhan dalam
merawat diri dan bayinya sehingga timbul percaya diri.
c. Fase letting go merupakan fase menerima tanggung jawab akan
peran barunya yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan.
Ibu sudah dapat menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya sudah
meningkat. Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang
berkaitan dengan bayinya keadaan ini disebut baby blues.

Perubahan emosi ibu postpartum menurut Whibley (2006) dalam


Yusdiana (2009) secara umum antara lain adalah:
a. Thrilled dan excaited, ibu merasakan bahwa persalinan merupakan
peristiwa besar dalam hidup. Ibu heran dengan keberhasilan
melahirkan seorang bayi dan selalu bercerita seputar peristiwa
persalinan dan bayinya.
b. Overwhelmed, merupakan masa kritis bagi ibu dalam 24 jam
pertama untuk merawat bayinya. Ibu mulai melakukan tugas- tugas
baru.
c. Let down, status emosi ibu berubah-ubah, merasa sedikit kecewa
khususnya dengan perubahan fisik dan perubahan peran.
d. Weepy, ibu mengalami baby blues postpartum karena perubahan
yang tiba-tiba dalam kehidupannya, merasa cemas dan takut dengan
ketidakmampuan merawat bayinya dan merasa bersalah.
Perubahanemosi ini dapat membaik dalam beberapa hari setelah
ibu dapat merawat diri dan bayinya serta mendapat dukungan
keluarga.
e. Feeling beat up, merupakan masa kerja keras fisik dalam hidup
dan akhirnya merasa kelelahan.

2.1.4 Jenis Gangguan Psikologi Ibu Post Partum


Menurut Diagnoastic and Statistic Manual of Mental disorder
(American Psyhiatric Association, 2000) tentang petunjuk resmi untuk
pengkajian dan diagnosis penyakit psikiater, bahwa gangguan yang
dikenali selama postpartum adalah :
a. Postpartum Blues
Sindrom baby blues adalah perasaan sedih yang dibawa ibu sejak
hamil yang berhubungan dengan kesulitan ibu menerima kehadiran
bayinya. Perubahan ini sebenarnya merupakan respon alami dari
kelelahan pasca persalinan (Pieter dan Lubis, 2010). Sedangkan
Mansyur (2009), mengatakan bahwa sindrom baby blues merupakan
perasaan sedih yang dialami oleh ibu setelah melahirkan, hal ini
berkaitan dengan bayinya. Postpartum blues adalah gangguan
9

suasana hati yang berlangsung selama 3-6 hari pasca melahirkan.


Sindrom ini sering terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan,
dan cenderung lebih buruk pada hari ketiga dan keempat.
Menurut Saleha (2009) baby blues atau postpartum blues
merupakan suatu gangguan psikologis sementara yang ditandai
dengan memuncaknya emosi pada minggu pertama setelah
melahirkan. Suasana hati yang paling utama adalah kebahagiaan,
namun emosi penderita menjadi stabil. Baby blues atau sterss pasca
melahirkan merupakan kondisi umum yang sering dialami oleh
seorang wanita yang baru melahirkan dan biasanya terjadi pada 50%
ibu baru. Baby blues sendiri merupakan suatu perasaan gembira oleh
kehadiran sang buah hati, namun disertai oleh perasaan cemas, kaget
dan sedih sehingga dapat menimbulkan kelelahan psikis sang ibu
tersebut (Melinda, 2010).
Baby blues sindrom atau stress pasca persalinan, merupakan salah
satu bentuk depresi yang sangat ringan yang biasanya terjadi dalam
14 hari pertama setelah melahirkan dan cenderung lebih buruk
sekitar hari ketiga atau keempat pasca persalinan (Muhammad,
2011). Postpartum blues atau yang juga disebut dengan baby blues
merupakan reksi psikologis yang berupa gejala depresi postpartum
dengan tingkat ringan. Sindrom ini muncul pasca melahirkan dan
sering kali terjadi pada hari ketiga atau keempat pasca postpartum
dan memuncak pada hari kelima dan keempat belas pasca
melahirkan (Medicastore, 2012).
Hampir sebagian besar ibu yang melahirkan mengalami baby
blues. Sebuah kondisi depresi pasca persalinan, yang jika ditangani,
akan berdampak pada perkembangan anak. Baby blues atau
postpartum blues adalah kondisi yang dialami oleh hampir 50%
perempuan yang baru melahirkan. Kondisi ini dapat terjadi sejak hari
pertama setelah persalinan dan cenderung akan memburuk pada hari
ketiga samapi kelima setelah persalinan. Baby blues cenderung
menyerap dalam rentang waktu 14 hari terhitung setelah persalinan
(Conectique, 2011).

b. Depresi Postpartum
Depresi adalah gangguan perasaan (afek) yang ditandai dengan
afek disforik (kehilangan kebahagian/gairah) disertai dengan gejala-
gejala lain, seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan
(Wahyuni, 2010).
Depresi postpartum adalah perasaan sedih akibat berkurangnya
kebebasan bagi ibu, penurunan estetika dan perubahan tubuh,
berkurangnya interaksi sosial dan kemandirian yang disertai gejala
sulit tidur, kurang nafsu makan, cemas, tidak berdaya, kehilangan
kontrol, pikiran yang menakutkan mengenai kondisi bayi, kurang
memerhatikan bentuk tubuhnya, tidak menyukai bayi dan takut
menyentuh bayinya dimana hal ini terjadi selama 2 minggu berturut-
10

turut dan menunjukkan perubahan dari keadaan sebelumnya (Lubis,


2010).
Gejala yang sering timbul antara lain kehilangan harapan,
kesedihan, mudah menangis, tersinggung, mudah marah,
menyalahkan diri sendiri, kehilangan energi, selalu dalam keadaan
cemas, sulit berkonsentrasi, sakit kepala yang hebat, kehilangan
minat untuk malakukan hubungan seksual dan ada ide untuk bunuh
diri (Beck, 2001; Lynn dan Pierre, 2007 dalam Macmudah, 2010).

c. Postpartum Psikosis
Mengalami depresi berat seperti gangguan yang dialami penderita
depresi postpartum ditambah adanya gejala proses pikir (delusion,
hallucinations and inchorence of association) yang dapat
mengancam dan membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayinya
sehingga sangat memerlukan pertolongan dari tenaga profesional
yaitu psikiater dan pemberian obat (Olds, 2000, Pilliteri, 2003, Lynn
dan Pierre, 2007).

2.1.5 Gejala Post Partum Blues


Gejala postpartum blues ringan hanya terjadi dalam hitungan jam
atau 1 minggu pertama setelah melahirkan, gejala ini dapat sembuh
dengan sendirinya, sedangkan pada beberapa kasus postpartum
depresion dan postpartum psikosis, bisa sampai mencelakai diri sendiri
bahkan anaknya, sehingga pada penderita kedua jenis gangguan mental
terakhir perlu perawatan yang ketat di rumah sakit (Afrianto, 2012).
Gejala-gejala postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap
seorang ibu. Gejala tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau
hari ke-6 setelah melahirkan. Beberapa perubahan sikap tersebut
diantaranya: sering tiba-tiba menangis karena merasa tidak bahagia,
penakut, tidak mau makan, tidak mau bicara, sakit kepala, sering
berganti mood, mudah tersinggung, merasa selalu sensitif dan cemas
berlebihan, tidak bergairah, khususnya terhadap hal yang semula
sangat diminati, tidak mampu berkonsentrasi dan sangat sulit membuat
keputusan, merasa tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang
baru saja dilahirkan, insomnia yang berlebihan. Gejala- gejala ini mulai
muncul setelah persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam
waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari. Namun, jika masih
tetap berlangsung selama beberapa minggu atau beberapa bulan itu
dapat disebut postpartum depression (Murtiningsih, 2012).

2.1.6 Dampak Post Partum Blues


Jika kondisi baby blues syndrome tidak disikapi dengan benar,
bisa berdampak pada hubungan ibu dengan bayinya, bahkan anggota
keluarga yang lain juga merasakan dampak dari baby blues syndrome
tersebut. Jika baby blues dibiarkan, dapat berlanjut menjadi depresi
11

pasca melahirkan, yaitu berlangsung lebih dari hari ke-7 pasca


persalinan. Depresi setelah melahirkan rata-rata berlangsung tiga
sampai enam bulan, bahkan terkadang sampai delapan bulan. Pada
keadaan lanjut dapat mengancam keselamatan diri dan anaknya
(Kasdus, 2007).
a. Pada Ibu
1. Menyalahkan kehamilannya
2. Sering menangis
3. Mudah tersinggung
4. Sering terganggu dalam waktu istirahat atau insomnia berat
5. Hilang percaya diri mengurus bayi
6. Merasa takut dirinya tidak bisa memberikan ASI bahkan takut
apabila bayinya meninggal
7. Muncul kecemasan terus menerus ketika bayi menangis
8. Muncul perasaan malas untuk mengurus bayinya
9. Mengisolasi diri dari lingkungan masyarakat
10. Frustasi hingga berupaya untuk bunuh diri

b. Pada Anak
1. Masalah perilaku
Anak-anak yangdari ibu yang mengalami baby blues lebih
memungkinkan memiliki masalah perilaku, termasuk masalah
tidur, tantrum, agresif, dan hiperaktif.
2. Perkembangan kognitif terganggu
Anak nantinya mengalami keterlambatan dalam berbicara dan
berjalan jika dibandingkan dengan anak-anak dari ibu yang tidak
depresi. mereka akan mengalami kesulitan dalam belajar di
sekolah.
3. Sulit bersosialisasi
Anak-anak dari ibu yang mengalami baby blues biasanya
mengalami kesulitan membangun hubungan dengan orang lain.
Mereka sulit berteman atau cenderung bertindak kasar.
4. Masalah emosional

Anak-anak dari ibu yang mengalami baby blues cenderung


merasa rendah diri, lebih sering merasa cemas dan takut, lebih
pasif, dan kurang independen.

c. Pada Suami
Keharmonisan pada ibu yang mengalami baby blues biasanya
akan terganggu ketika suami belum mengetahui apa yang sedang di
alami oleh istrinya yaitu baby blues sindrom, suami cenderung akan
menganggap si ibu tidak becus mengurus anaknya bahkan dalam
melakukan hubungan suami istri biasanya mereka merasa takut
seperti takut mengganggu bayinya.
Dampak postpartum blues tidak hanya terjadi pada ibu, namun
12

juga terjadi pada bayinya. Dampak pada ibu adalah dapat


mengganggu kemampuan ibu dalam menjalankan peran, salah
satunya merawat bayi sehingga mempengaruhi kualitas hubungan
antara ibu dan bayi. Ibu yang mengalami postpartum blues
cenderung enggan untuk memberikan ASI (Air Susu Ibu) dan
enggan berinteraksi dengan bayinya. Dalam jangka waktu pendek
bayi akan mengalami kekurangan nutrisi karena tidak mendapat
asupan ASI dan hubungan emosional kurang terjalin. Dalam jangka
waktu panjang akan menyebabkan keterlambatan perkembangan,
mengalami gangguan emosional dan masalah sosial (Fiona, 2004).

2.1.7 Penatalaksanaan Postpartum Blues


Postpartum blues atau gangguan mental pasca persalinan seringkali
terabaikan dan tidak ditangani dengan baik. Banyak ibu yang berjuang
sendiri dalam beberapa saat setelah melahirkan. Mereka merasakan ada
suatu hal yang salah, namun mereka sendiri tidak benar-benar
mengetahui apa yang sedang terjadi. Apabila mereka pergi
mengunjungi dokter atau sumber-sember lainnya untuk meminta
pertolongan, sering kali hanya mendapat saran untuk beristirahat atau
tidur lebih banyak, tidak gelisah, minum obat atau berhenti
mengasihani diri sendiri atau mulai merasa gembira menyambut
kedatangan bayi yang mereka cintai (Murtininsih, 2012).
Para ibu yang mengalami postpartum blues membutuhkan
pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan
psikologis seperti kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi.
Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekpresikan pikiran dan
perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga mereka
membutuhkan pengobatan atau istirahat, dan seringkali akan merasa
gembira mendapat pertolongan yang praktis. Dengan bantuan dari
teman dan keluarga, mereka mungkin perlu untuk mengatur atau
menata kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin
menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep mereka
tentang keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat
diberikan pertolongan dari para ahli (Murtiningsih, 2012).
Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk
mempersiapkan para wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan
pental paska persalina dan segera membarikan penanganan yang tepat
bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk ahli
psikologi/konseling bila diperlikan. Dukungan yang memadai dari para
petugas obstetri, yaitu dokter dan bidan/perawat sangat diperlukan,
misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai/adekuat
tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit
yang mungkin timbul dalam masa-masa tersebut serta penanganannya
(Murtiningsih, 2012).
Postpartum blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang
dengan menarik nafas panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur,
13

berolahraga ringan, iklas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu,
membicarakan rasa cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap
fleksibel, bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru (Murtiningsih,
2012).
Dalam penanganan dibutuhkan pendekatan menyeluruh/ holistik.
Pengobatan medis, konseling emosional, bantuan-bantuan praktis dan
pemahaman secara intelekual tentang pengalaman dan harapan-harapan
mereka mungkin pada saat-saat tertentu. Secara garis besar dapat
dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku
emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama- sama,
dengan melibatkan lingkungan suami, keluarga dan juga teman dekat
(Murtiningsih, 2012).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Postpartum Blues


Untuk mengukur kejadian Postpartum blues menggunakan alat yaitu The
Ediburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), yaitu alat ukur yang telah teruji
validitasnya dan dikembangkan secara khusus untuk mengidentifikasi wanita
yang mengalami depresi postpartum baik status klinik atau dalam penelitian
(Cox dkk, dalam Elvira, 2006).
EPDS berguna sebagai pencegahan sekunder terjadinya depresi
postpartum dengan mengidentifikasi awal terjadinya gejala depresi. Skala ini
sangat berguna untuk skrining tahap awal, maupun penggunaan secara lebih
luas, seperti mengidentifikasi depresi selama kehamilan,
mengidentifikasi depresi pada waktu-waktu yang lain (Kusumadewi,
2010).

Intruksi penggunaan EPDS adalah sebagai berikut :


1. Ibu diminta untuk menyilang atau melingkari jawaban yang paling
sesuai dengan apa yang ia rasakan selama 7 hari terakhir.
2. Seluruh item (10 item) harus dilengkapi.
3. Perhatian perlu diberikan untuk mencegah ibu mendiskusikan
jawabannya dengan yang lain.
4. Ibu harus melengkapi sendiri skalanya, kesuali jika ia memiliki
pemahaman yang kurang terhadap bahasa atau memiliki kesulitan
membaca.
5. EPDS dapat diberikan pada ibu tiap waktu dari setelah persalinan
hingga 52 minggu yang diidentifikasikan mengalami gejala depresif
baik secara subjektif atau objektif.

Jawaban diskor 0, 1, 2, dan 3 berdasarkan peningkatan keparahan


gejala. Keseluruhan skor pada masing-masing item dijumlah kemudian
dikelompokan berdasarkan kategori sebagai berikut :
1. 0-8 point : kemungkinan rendah terjadinya depresi
2. 9-14 point : permasalahn dengan perubahan gaya hidup karena
adanya bayi baru lahir atau kasus postpartum blues. Terjadinya
gejala-gejala yang mengarah pada kemungkinan terjadinya depresi
14

postpartum.
3. 15+ point : tingginya probalitas atau mengalami depresi postpartum
komplikasi.

Postpartu blues dapat meningkat pada tahap selanjutnya yang


dinamakan postpartum deptession dengan karakteristik bisa terjadi
mimpi buruk lebih sering, insomnia lebih sering, phobia terus-
menerus, dan irasional yang dapat berlanjut pada postpartum psikosis,
dimana sudah terjadi pada tahap yang mengancam jiwa baik si ibu
maupun bayi. Postpartum psikosis bisa menetap sampai setahun dan
bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaan setiap persalinan.

2.1
3.1 Konsep Psikologi
3.1.1 Pengertian Psikologi

Psikologi adalah ilmu yang sudah mulai berkembang sejak abad 17


dan 18 serta nampak pesat kemajuannya pada abad 20. Pada awalya ilmu
ini adalah bagian daripada filsafat sebagaimana pula ilmu-ilmu yang lain
seperti misalnya ilmu hukum tatanegara maupun ilmu ekonomi, namun
kemudian memisahkan diri dan berdiri sebagai ilmu tersendiri. Semuanya
itu bersumber dari tuhan yang maha esa sebagai pencipta segala
sesuatu,dan hasil ciptaan itulah yang menjadi obyek atau sasaran dari
berbagai cabang ilmu pengetahuan. Karenanya sebagai sumber ilmu
pengetahuan adalah tuhan yang Maha Esa. Yang lahir pertama kali adalah
filsafat, yang membahas hakekat segala sesuatu. Dari padanya lahirlah
berbagai cabang ilmu pengetahuan, oleh karna itu dalam semua ilmu-ilmu
yang telah memisahkan diri dari filsafat itu akan dijumpai tokoh-tokoh
filsafat kuno seperti, socrates, plato dan aristoteles yang ikut
mengembangkan fikiran dan penemuannya dalam ilmu-ilmu tersebut
sehinga tokoh-tokoh nanti akan dijumpai juga dalam mempelajari
psikologi serta cabang-cabang psikologi “Psikologi“ berasal dari perkataan
Yunani ”Psyche” yang artinya jiwa, dan “Logos” yang artinya ilmu
pengetahuan. Secara etimologi psikologi artinya ilmu yang mempelajari
tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun
latarbelakangnya.
15

Menurut Rosleny Marlianypsikologi dapat diartikan ilmu jiwa.


Makna ilmu jiwa bukan mempelajari jiwa dalam pengertian jiwa sebagai
soul atau roh, tetapi lebih mempelajari kepada gejala-gejala yang tampak
dari manusia yang ditafsirkan sebagai latar belakang kejiwaan seseorang
atau spirit dari manusia sebagai mahluk yang berjiwa. Psikologi juga dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari sifat-sifat kejiwaan manusia
dengan cara mengkaji sisi perilaku dan kepribadiannya, dengan pandangan
bahwa setiap perilaku manusia berkaitan dengan latar belakang
kejiwaannya. Sesungguhnya tiap-tiap orang perlu sekali mengetahui dasar
Ilmu jiwa umum, dalam pergaulan hidup sehari-hari, Ilmu jiwa perlu
sebagai dasar pengetahuan untuk dapat memahami jiwa orag lain. Kita
dapat mengingat kembali sesuatu yang pernah kita amati. Gambaran
ingatan dari sesuatu pengamatan disebut tanggapan, pemakalah disini akan
mengupas habis tentang masalah tanggapan dan hal-hal yang ada
disekitarnya.
3.1.2 Pengertian Pengukuran
Pengukuran psikologi adalah pengukuran aspek-aspek tingkah laku
yang menampak, yang dianggap mencerminkan prestasi, bakat, sikap dan
aspek-aspek kepribadian yang lain. (T. Raka Joni, 1977. p.5.)
Dalam praktek, pengukuran psikologi pada umumnya banyak
menggunakan tes sebagai alatnya. Istilah test psikologis merupakan suatu
alat untuk menyelidiki reaksi atau disposisi seseorang atas dasar tingkah
lakunya. Dengan demikian pengertian pengukuran psikologi dan tes
psikologi pada dasarnya sama. Perbedaannya terletak pada proses dan
alatnya yang digunakan sebagai dasar penggunaan istilah dalam praktek.
Perbedaan antara pengukuran konvensional (alamiah) dengan pengukuran
psikologi:
a. Pengukuran konvensional
1) Dilakukan secara langsung.
2) Mempunyai satuan ukuran yang jelas/tegas.
3) Telah adanya kesepakatan tentang awal atau darimana harus
mulai mengukur

b. Pengukuran psikologis
1) Dilakukan secara tidak langsung.
2) Tidak mempunyai satuan ukuran.
3) Tidak adanya kesepakatan mengenai awal atau dari mana harus
mulai mengukur
Ciri-ciri khusus daripada pengukuran psikologi yang membedakan
dengan ciri-ciri pengukuran alamiah:
16

a. Variabel-variabel yang diukur berupa tingkah laku yang nampak


sebagai cerminan dari keadaan kejiwaan itu tidak selalu secara
konsisten mencerminkan suasana batin seseorang.
b. Bahwa dalam pengukuran psikologi sangat sukar atau bahkan
tidak mungkin diperoleh kesepakatan dalam kalibrasi satuan
ukuran.
c. Dalam pengukuran psikologis tidak terdapat adanya nol mutlak.
d. Bahwa kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengukuran
psikologi jauh lebih besar disbanding dengan kesalahan dalam
pengukuran alamiah.

3.1.3 Fungsi pengukuran psikologis dalam bimbingan


Pengukuran psikologis dalam bimbingan mengandung
pengertian implikatif bahwa hasil daripada pengukuran tingkah laku
sebagai cerminan daripada prestasi, bakat, sikap, dan aspek-aspek
kepribadian yang lain dimanfaatkan untuk dasar layanan bimbingan
kepada klien. Dapat dinyatakan bahwa hasil pengukuran tes psikologis
yang bersifat obyektif menjadi dasar bagi konselor dalam memberikan
layanan bimbingan sesuai dengan keadaan pribadi klien untuk
memahami dirinya, memahami masalahnya, memahami lingkungannya
serta mampu mengembangkan diri sehingga tercapai kesejahteraan
hidupnya. Fungsi dari pengukuran psikologis dalam bimbingan dapat
dilihat dari beberapa segi, yaitu:
a. Dilihat dari segi klien (konseli) Membantu mengenal dan
mengerti keadaan psikisnya yang menyangkut potensi psikis dan
prestasinya serta kelemahan dan kelebihan dalam aspek psikis
yang dimilikinya.
b. Dilihat dari segi konselor Membantu konselor dalam memahami
diri kliennya sehingga dapat menetapkan bentuk layanan
bimbingan yang sesuai dengan keadaan dan pribadinya.
c. Dilihat dari proses layanan bimbingan Pengukuran psikologis
mempunyai beberapa fungsi, antara lain:
1. Prediksi, yaitu dapat digunakan untuk meramalkan
kemungkinan tingkah laku klien di masa dating.
2. Komparasi, yaitu sebagai dasar membandingkan diri klien
dengan klien yang lain atau dengan ukuran lain, sehingga
dapat diketahui status individu dalam kelompoknya atau
dasar ukuran tertentu yang digunakan.
3. Diagnosa, bahwa hasil pengukuran psikologis sebagai dasar
menetapkan jenis masalah/kesulitan, letak kesulitan beserta
penyebab terjadinya. Hasil diagnosa ini juga dapat
digunakan untuk menetapkan alternatif jenis dan layanan
bimbingan yang sesuai.
4. Evaluasi, berfungsi sebagai bahan informasi untuk dasar
pengambilan keputusan tentang perlakuan terhadap klien.
17

5. Penelitian, sebagai informasi atau tata penelitian tentang


suatu hal tertentu berhubungan dengan tujuan pengukuran,
untuk menentukan tindak lanjut bimbingannya.

3.1.4 Tujuan pengukuran psikologis dalam bimbingan


Hal-hal yang mendorong dilaksananya atau perlunya
pengukuran psikologis dalam bimbingan adalah sebagai berikut:
a. Adanya tuntutan dalam memberikan layanan bimbingan harus
berdasarkan atas prinsip perbedaan individual.
b. Tuntutan dalam pemberian layanan bimbingan berdasarkan atas
kelengkapan informasi dan data klien.
c. Adanya kenyataan pembedaan manusia abnormal dengan manusia
normal.
d. Menetapkan aspek psikologis yang mana menjadi penyebab
masalah konseli.

Secara terperinci sesuai aspek-aspek yang di ukur, tujuan


pengukuran psikologis adalah sebagai berikut:
a. Yang menyangkut aspek kognitif
1. Untuk mendapatkan informasi tentang keberhasilan belajar
dalam wujud prestasi belajar konseli.
2. Untuk mendapatkan informasi tentang tingkat
kecerdasan/intelegensi konseli yang merupakan salah satu
factor utama keberhasilan belajar.
3. Untuk mendapatkan informasi tentang bakat atau
kemampuan khusus yang bersifat potensial sebagai bahan
studi lanjut bimbingan karir atau jabatan.
b. Yang menyangkut aspek Non-kognitif
1. Mendapatkan informasi tentang arah minat serta bakat
terhadap bidang tertentu.
2. Mendapatkan informasi tentang pendapat atau sikap konseli
terhadap dirinya maupun lingkungannya.
3. Mendapatkan informasi tentang system nilai daripada konseli.
Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa system nilai akan
sangat berpengaruh pada perilakunya.
4. Mendapatkan informasi tentang aspek kepribaadian yang lain,
misalnya penyesuaian diri, control diri, rasa kecukupan,
kepastian diri, harga diri, kematangan emosi, kecenderungan
neorotis, dan sebagainya.

3.1.5 Ciri-ciri Alat Ukur Psikologi


Ciri-ciri alat ukur psikologi meliputi:
1. Validitas
18

Validitas menunjukan hasil test sesuai kriteria yang dirumuskan.


Validitas hanya berlaku untuk kriteria tertentu. Ada 3 validitas
yaitu :
a. Validitas semu Hasilnya beraneka ragam dan tidak obyektif.
b. Validitas konten Di gunakan untuk test hasil belajar.
c. Validitas empiris Validitas yang memuaskan karena ada
korelasi antara hasil dan kriteria test. Ada 2 yaitu validitas
meramal dan status.
2. Reabilitas
Ketetapan dari nilai yang diperoleh sekelompok individu dalam
kesempatan yang berbeda dengan test yang sama/item yang sama.
Reabilitas ini dipengaruhi oleh koefisien stabilitas, ekuivalen,
Homogenitas test.
3. Norma
Norma merupakan status quo (tidak mutlak) dan disesuaikan
dengan kondisi. Norma dipakai pada kelompok yang besar,
representative, bahan test harus sama dengan bahan yang dijadikan
norma.

3.2 Uji Psikologis


3.2.1 Pengertian Uji
Psikologi Uji psikologis adalah bidang ditandai dengan
penggunaan contoh perilaku dalam rangka untuk menilai psikologis
membangun, seperti fungsi kognitif dan emosional, tentang individu
tertentu. Dimana uji psikologi ini merupakan:
a. Suatu cara untuk mengetahui seseorang seperti intelegensi,
ketekunan, bakat, minat dengan tujuan untuk menyelidiki watak
dan kemampuan seseorang.
b. Dengan pemberian tugas untuk menyelesaikan sesuatu/menelaah
masalah tertentu.
c. Dipakai untuk membedakan manusia normal dan abnormal.
d. Dalam uji psikologis kode etik harus diperhatikan,penjualan dan
distribusi test di batasi.
e. Teruji dan penguji tidak ada hubungan batin.
Menurut Dyer suatu test tidak pernah menunjukan tujuan akhir dari
suatu penyelidikan karena:
19

1. Suatu test tunggal tak cukup memberi gambaran mengenai


suatu kemampuan, sifat atau sikap perseorangan.
2. Bahwa test jangan dikirakan mutlak, abadi interpretasinya.
3. Bahwa tak dapat dianggap suatu mesin yang dapat diputar
begitu saja untuk mendapatkan suatu hasil. Tes adalah suatu
penilaian manusia, hasil pemikiran manusia setelah daya upaya
keras dan bukan sesuatu yang bersifat fisik belaka.

3.2.2 Tujuan Uji Psikologis


Dimana tujuan uji psikologis adalah sebagai berikut:
1. Mengenal diri lebih obyektif.
2. Menerima keadaan diri secara obyektif.
3. Mampu mengemukakan berbagai aspek di dalam dirinya.
4. Mampu mengelola informasi sebagai dasar pemecahan masalah
dan pengambilan keputusan.

3.2.3 Jenis Uji Psikologis


a. IQ prestasi tes
Tes IQ mengaku menjadi ukuran kecerdasan , sedangkan tes
prestasi adalah ukuran penggunaan dan tingkat perkembangan
penggunaan kemampuan. IQ (atau kognitif) tes dan tes prestasi tes
norma-referensi umum. Dalam jenis tes, serangkaian tugas disajikan
untuk orang yang sedang dievaluasi, dan tanggapan seseorang yang
dinilai dengan hati-hati sesuai dengan pedoman yang ditetapkan.
Sesudah pengujian selesai, hasilnya dapat dikompilasi dan
dibandingkan dengan respon dari kelompok norma, biasanya terdiri
dari orang-orang pada usia yang sama atau tingkat kelas sebagai
orang yang sedang dievaluasi. tes IQ yang berisi serangkaian tugas
biasanya membagi tugas ke dalam verbal (mengandalkan pada
penggunaan bahasa) dan kinerja, atau non-verbal (mengandalkan
tangan jenis mata tugas, atau penggunaan simbol atau objek).
Contoh tugas tes IQ verbal adalah kosakata dan informasi
(menjawab pertanyaan pengetahuan umum). contoh non-verbal
dihitung penyelesaian teka-teki (majelis obyek) dan gambar yang
cocok dengan mengidentifikasi pola (penalaran matriks). Tes IQ
(misalnya, WAIS-IV , WISC-IV , Cattell Culture Fair III ,
Woodcock-Johnson Tes Kognitif Kemampuan-III, Stanford-Binet
Intelligence Scales V) dan tes prestasi akademik (misalnya WIAT ,
WRAT , Woodcock-Johnson Pengujian Prestasi-III) dirancang untuk
diberikan kepada baik individu (oleh evaluator terlatih) atau
sekelompok orang (kertas dan pensil tes).
b. Tes Sikap Uji Sikap menilai perasaan seseorang tentang orang,
kejadian, atau objek. Sikap skala digunakan dalam pemasaran untuk
menentukan individu (dan kelompok) preferensi untuk merek, atau 10
20

item. Biasanya menggunakan tes sikap baik Skala Thurston, atau


Skala Likert untuk mengukur item tertentu.
c. Tes Neuropsikologis Tes ini terdiri dari tugas-tugas khusus dirancang
digunakan untuk mengukur fungsi psikologis diketahui terkait dengan
struktur otak tertentu atau jalur. Mereka biasanya digunakan untuk
menilai penurunan setelah cedera atau sakit diketahui mempengaruhi
neurokognitif berfungsi, atau bila digunakan dalam penelitian, untuk
kontras kemampuan neuropsikologi seluruh kelompok eksperimental.
d. Tes Kepribadian
Tindakan psikologis kepribadian sering digambarkan sebagai tes
objektif atau tes proyektif . Istilah "tes objektif" dan "test proyektif"
baru saja datang di bawah kritik dalam Journal of Personality
Assessment. Semakin deskriptif "rating skala atau ukuran laporan
diri" dan "tindakan respon bebas" yang disarankan, daripada istilah
"tes objektif" dan "tes proyektif," masing-masing. Tes kepribadian
adalah seperangkat alat tes yang disusun untuk mendeskripsikan
bagaimana kecenderungan seseorang bertingkah laku. Tes kepribadian
sebenarnya adalah deskripsi kualitatif dari kepribadian, bukannya
deskripsi kuantitatif (angka-angka), karena sebenarnya kepribadian
tidak dapat diukur, tetapi hanya dapat dideskripsikan. Untuk
membantu menjelaskan kepribadian, alat tes kepribadian
menggunakan bantuan angka-angka dan kemudian hasilnya
dintrepretasikan/dideskripsikan kedalam kualitatif.
21
BAB III
TELAAH ARTIKEL

No Peneliti Judul
dan Artikel Nomor
tahun Artikel/ Metode Ringkasan Hasil
publika Asal Artikel
si
1 Sukma, Masalah Vol. 2 No. 3: Desain: cross a. Pada penelitian ini dari
Febi dan Menyusui Agustus 2020 / sectional faktor sosiodemografi
Revinel, sebagai e-ISSN: 2654- Populasi : semua menunjukkan bahwa
2020 Determinan 9352 | p-ISSN: ibu dengan rentang terdapat hubungan yang
Terjadinya 2715-9965 / 2 – 6 minggu tidak signifikan antar
Risiko Jurnal Bidan postpartum di usia ibu (nilai p=0,435),
Depresi Cerdas Puskesmas wilayah pendidikan (nilai
Postpartum kerja Jakarta Pusat p=0,595), paritas (nilai
pada Ibu Sampel: 121 ibu p=1,000), jarak
Nifas nifas dengan rumus kehamilan (nilai
Normal Stanley Lameshow p=1,000), dan pekerjaan
untuk estimasi (nilai p=1,000) dengan
proporsi yang risiko kejadian depresi
jumlah populasinya postpartum.
tidak diketahui. b. Pada faktor risiko ini
Variabel: didapatkan hasil bahwa
Variabel independen tidak ada hubungan yang
: kuesioner untuk signifikan antara
mengetahui sosio komplikasi persalinan
demografi ibu, (nilai p=1,000),
meliputi ibu nifas, komplikasi perinatal
usia, pendidikan, (nilai p=1, 000), jenis
paritas, jarak persalinan (nilai
kehamilan, p=0,694), dan pemberian
pekerjaan, ASI (nilai p=0,206)
penghasilan. dengan risiko terjadinya
Variabel dependen : depresi postpartum.
komplikasi c. Hasil analisis data
persalian, multivariat didapatkan
komplikasi tiga faktor yang
perinatal, persalinan, menyebabkan terjadinya
pemberian ASI, risiko depresi
masalah menyusui, postpartum, yaitu
dan dukungan penghasilan, dukungan
suami. suami, dan masalah
Instrument: menyusui. Pada variabel
Lembar kuesioner penghasilan,
23

EPDS menunjukkan bahwa


Analisis: penghasilan dengan
analisis bivariat kategori dibawah UMR,
dengan uji Fisher peluang risiko terjadi
Extac depresi postpartumnya
lebih besar daripada
penghasilan dengan
kategori diatas UMR.

2 Fatmaw Hubungan ISSN 2088- Desain: Cross - kejadian depresi


ati, Kondisi 673X | e-ISSN sectional postpartum pada ibu
Ariani Psikososial 2597-8667 / Populasi : ibu remaja sebanyak 55,5%,
dan Nina Dan Paritas Faletehan postpartum yang kondisi psikososial
2021 Dengan Health Journal berusia remaja berisiko sebanyak 31,1%
Kejadian sebanyak 252 orang dan paritas paling banyak
Depresi Sampel: Diambil primipara (85,6%).
Postpartum dengan consecutive - sebagian besar responden
Pada Ibu sampling sebanyak mengalami depresi
Remaja 90 ibu. Teknik postpartum, sebagain besar
sampling yang primipara dan sebagian
digunakan dengan kecil memiliki kondisi
consecutive psikososial berisiko.
sampling. Terdapat hubungan antara
Variabel: kondisi psikososial dengan
Tidak disebutkan depresi postpartum.
Instrument:
Lembar kuesioner
EPDS
Analisis:
Analisis data
bivariat dengan chi
square
3 Desain : a.
Populasi :
Sampel :
Variabel :
Instrument :
Analisis :
4 Desain:
Populasi :
Sampel:
Variabel:
Instrument:
Analisis:
24

5 Desain:
Populasi :
Sampel:
Variabel:
Instrument:
Analisis:
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun simpulan yang dapat kami tarik dalam makalah ini adalah:
1. Pengukuran psikologi adalah pengukuran aspek-aspek tingkah laku
yang menampak, yang dianggap mencerminkan prestasi, bakat, sikap
dan aspekaspek kepribadian yang lain.
2. Ciri-ciri alat ukur psikologi meliputi: validitas, reabilitas, dan norma.
3. Uji psikologis adalah bidang ditandai dengan penggunaan contoh
perilaku dalam rangka untuk menilai psikologis membangun, seperti
fungsi kognitif dan emosional, tentang individu tertentu
5.2 Saran
Semua orang perlu menyadari dan memahami bahwa suatu pengujian
tidak pernah menunjukkan tujuan akhir dari suatu penyelidikan. Pengujian
adalah suatu penilaian manusia, Hasil pemikiran manusia setelah daya
upaya keras dan bukan sesuatu yang bersifat mutlak dan fisik belaka.
Kontrol terhadap tes-tes psikologi perlu untuk menghindari makin
dikenalnya isi tes tersebut untuk sembarang orang, dan untuk diyakini
bahwa tes tersebut dilakukan oleh seseorang. Kita sebagai calon perawat
tentunya harus mengetahui tentang pengukuran dan uji psikologis guna
untuk memberikan edukasi kepada orang yang akan melaksanakan uji
psikologis nantinya.
27

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Hakekat, Fungsi, dan Tujuan Pengukuran Psikologis. Dalam


(http://himcyoo.wordpress.com/2011/04/12/hakekat-fungsi-dan-
tujuanpengukuran-psikologis/).

Anonim. ____. Pengukuran dan Uji Psikologi. Dalam


(http://www.mediafire.com/view/yfdi27q7y8xfnnl/pengukuran+da
n+uji+psi kologi.docx).

Laksono. 2011. Pengukuran dan Uji Psikologis. Dalam


(http://hindramaidiantolaksono.blogspot.com/2011/06/makalahsosi
ologi.html).

Psychology Mania. 2010. Pengukuran Psikologi. Dalam


(http://www.psychologymania.net/2010/09/pengukuran-
psikologi.html).

sychology Mania. 2011. Pengukuran Psikologi: Definisi, Sejara. Dalam


(http://www.psychologymania.com/2011/07/pengukuran-
psikologi-defenisisejarah.html).

Psychology Mania. 2012. Tes Kepribadian. Dalam


(http://www.psychologymania.com/2012/04/tes-kepribadian-
personalitytest.html).

Anda mungkin juga menyukai