Anda di halaman 1dari 8

MEMINIMALKAN TRANSPORTASI PASIEN INTRAHOSPITAL DAN

INTERHOSPITAL

Oleh:

Monika Wulan Sapta Ridha

196070300111051

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
MEMINIMALKAN TRANSPORTASI PASIEN KRITIS INTRAHOSPITAL
DAN INTERHOSPITAL

Gawat darurat merupakan suatu kondisi dimana pasien memerlukan


penanganan segera, apabila tidak dilakukan segera akan mengakibatkan fatal bagi
penderita. Pelayanan gawat darurat meeruapakan pelayanan kesehatan terarah dan
terpadu untuk mencapai kesehatan yang optimal yang bertujuan untuk menangani
pasien gawat darurat dengan cepat dan tepat. Pelayanan gawat darurat meliputi
serangkaian kegiatan dengan fasilitas yang lengkap dan mendukung termasuk
sumberdaya yang dapat diandalkan, sehingga dapat mencegah kematian maupun
kecacatan yang mungkin akan terjadi (Kartikawati dewi, 2013).

Transportasi pasien kritis ke dalam rumah sakit dan antar rumah sakit
merupakan salah satu bagian dalam pelayanan gawat darurat. Pasien dengan keadaan
kritis memiliki resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi selama transportasi
(Dunn, Gwinnutt, & Gray, 2007). Perawat yang berkerja di IGD wajib memiliki
ketrampilan tersebut. Oleh sebab itu dalam transportasi pasien, perawat memiliki
peranan yang sangat penting. Tidak semua boleh melakukan transportasi pasien
kecuali petugas kesehatan ataupun orang yang telah mendapatkan pelatihan tentang
transportasi pasien (Stratis health, 2014). Namun masih banyak ditemukan bahwa
transportasi pasien dilakukan oleh bukan tenaga kesehatan baik ketika pasien di
pindahkan dari ruangan ke ruangan lain maupun saat pertama kali datang ke rumah
sakit (Kurniawan, Rahman, & Nataligunawati, 2017).

Menurut penelitian yang dilakukan (Johnson, George, & Tran, 2011) bahwa
insiden yang terjadi ketika transportasi pasien cukup tinggi, tercatat sebanyak 40
insiden jatuh yang terjadi ketika transportasi pasien ke tempat tidur, yang menjadi
peringkat teratas insiden tersebut adalah rumah sakit – rumah sakit di Australia. Pada
tahun 2014, tercatat insiden yang berakibat kematian terjadi akibat kelalaian dalam
transportasi pasien yang yang akan di transportasikan dari IGD ke ruang rawat inap.
Kelalaian ini berupa kondisi alat yang tidak memenuhi standart yang kurang menjadi
perhatian petugas kesehatan terutama perawat (Kurniawan et al., 2017).

Prinsip transportasi pasien yang aman dan efektif adalah dengan


memperhatikan kondisi pasien yaitu kestabilan kondisi pasien, prioritas pasien
(bagimana transportasi dilakukan dengan segera), kebutuhan perawatan selama proses
transfer pasien, kelayakan petugas transportasi dan kelayakan alat transportasi. Upaya
untuk mencegah terjadinya efek perburukan saat transportasi pasien yang perlu
diperhatikan organisasi transprotasi, personel dan monitoring (Apriyanto, Wawan
Joko., Setyarini, Sri., 2007). Pelaksanaan transportasi pasien kritis idelanya dilakukan
oleh 2 orang petugas kesehatan yaitu seorang dokter dengan pelatihan dalam
manajemen jalan nafas, pengalaman dalam perawatan kritis dengan kondisi pasien
yang tidak stabil. Dokter harus berpengalaman dan kompeten dalam obat-obatan
transportasi, dan petugas lainnya haruslah seorang perawat dengan berpengalama
dalam perawatan intensif (Dunn et al., 2007).

Yang sering terjadi bahwa transportasi pasien kritis di dalam rumah sakit
maupun antar rumah sakit adalah dilakukan oleh petugas kesehatan 1 orang yaitu
perawat dan petugas non medis. Melihat fenomena tersebut dihrapakan melalui essay
ini, dapat bermanfaat untuk untuk rumah sakit dapat membuat standart operasional
prosedur (SOP) sebagai panduan dalam transportasi pasien kritis. Standart
operasional prosedur (SOP) transportasi pasien merupakan panduan yang wajib
dipatuhi oleh petugas kesehatan karena sebagai dasar hukum bila terjadi
penyimpangan. Standart prosedur operasional transportasi pasien meliputi tahap
persiapan alat, persiapan pasien dan tahap pelaksanaan (Tambunan, 2011).

Perlengkapan alat sebelum transfer pasien perlu diperhatikan karena peralatan


pendukung transportasi setiap pasien berbeda-beda tergantung kondisi pasien.
peralatan pendukung transportasi pasien bertujuan untuk mempertahankan pasien
tetap stabil dan mengurangi intervensi selama transfer pasien (Apriyanto, Wawan
Joko., Setyarini, Sri., 2007). Peralatan yang perlu di perhatikan dalam transportasi
pasien kritis adalah syirng pump yang digunakan untuk memungkinkan pengiriman
semua cairan dan obat intravena, karena tetesan yang diberikan ketika mentransfer
pasien tidak tepat. Kemudian semua peralatan listrik harus dapat berfungsi dari
sumber baterai ketika tidak dicolokkan ke listrik dan baterai cadangan harus tersedia
jika terjadi kegagalan daya. Selama pengangkutan, pasokan oksigen dan listrik harus
digunakan sesuai kebutuhan. Peralatan manajemen jalan nafas lanjutan, ukuran yng
sesuai untuk pasien harus dibawa, misalnya obat resusitasi dasar. Peralatan untuk
hisal lender juga harus dibawa atau tersedia selama transportasi. Ventilator mekanik
yang digunakan untuk memberikan ventilasi secara manual kepada pasien harus
tersedia. Troli penganggkut pasien harus dirancang sedemikian rupa supaya dapat
mengangkut monitor, ventilator mekanik, syring pump dan cadangan oksigen. Jika
memungkinkan, sebagian besar peralatan harus dipasang pada atau di bawah tingkat
pasien untuk memudahkan akses tanpa hambatan ke pasien (Dunn et al., 2007).

Peneltiian yang dilakukan Waters, Nelson, & Proctor (2007) bahwa pelayanan
kesehatan yang aman bagi pasien bukan merupakan sebuah pilihan melainkan hak
pasien untuk mendapatkan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan, oleh sebab itu
penggunaan alat dalam transportasi pasien adalah hal yang tidak boleh diabaikan dan
harus sesuai dengan SOP, dimana menentukan kondisi pasien atau kesiapan alat
sangatlah penting karena terkait dengan keselamatan pasien. Hal lain yang perlu
dilakukan ketika transportasi pasien kritis antar rumah sakit adalan informed consent.
Proses informed consent termasuk diskusi mengenai risiko dan manfaat transfer.
Diskusi ini didokumentasikan dalam rekam medis sebelum pasien di transfer.
Persetujuan yang ditandatangani harus oleh keluarga pasien terutama pada kasus yang
mengancam atau gawat darurat. Beberapa elemen dalam informed consent adalah
tentang proses transfer antar rumah sakit (Warren, Fromm, Orr, Rotello, & Mathilda
Horst, 2004).

Pengambilan keputusan untuk transfer pasien adalah proses yang dinamis.


Sebagai tenaga kesehatan harus mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
terburuk yang akan terjadi selama perjalanan, tujuannya adalah untuk meminimalkan
intervensi selama transportasi. Pemantauan berkelanjutan sangat penting untuk
transfer yang aman. Pemantauan tekanan darah secara berkelanjutan juga harus
dilakukan, meskipun ini mungkin tidak diperlukan untuk transportasi singkat ke
rumah sakit pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Pada pasien dengan
ventilasi mekanik, pasokan oksigen, konsentrasi oksigen inspirasi, pengaturan
ventilator dan tekanan jalan nafas juga harus dipantau. Gas darah arteri harus di
analisis setelah pasien di pasang ventilator transfer sebelum keberangkatan (Dunn et
al., 2007). Sebelum dilakukan transportasi, pasien harus dalam kondisi stabil yaitu
jalan nafs tidak ada sumbatn, atau adanya patensi jalan nafas, tidak mengalami
kesulitan bernafas atau henti nafas, serta sirkulasi pasien dalam keadaan baik dan
tidak mengalami syok (Apriyanto, Wawan Joko., Setyarini, Sri., 2007).

Proses transportasi dilakukan petugas non kesehatan akan memungkinkan


terjadinya komplikasi, oleh sebab itu petugas yang melakukan adalah petugas
kesehatan yang memiliki ketrampilan khusus dan kompeten dalam melakukan
transportasi pasien. personel minimum ada 2 orang perawat yang mendampingi
pasien kritis sedangkan untuk transportasi pasien tidak stabil disertai oleh dokter yang
terlatih. Tingkat kecakapan skill petugas tergantung dari kondisi pasien yang akan di
transportasikan. Pasien stabil tanpa resiko dapat didampingi oleh perawat dan asisten
perawat atau porter, pasien stabil resiko medium dapat didampingi oleh perawat dan
dokter, sedangkan pasien stabil resiko tinggi dan tidak stabil didampingi oleh dokter
anesthesia dan perawat ICU (Warren et al., 2004).

Kesimpulannya transportasi pasien kritis merupakan salah satu bagian penting


dari pelayanan kesehatan. Hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah kejadian
buruk ketika transportasi pasien kritis adalah tahap persiapan alat, persiapan pasien
dan tahap pelaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto, Wawan Joko., Setyarini, Sri., S. (2007). Gambaran Pelaksanaan


Transportasi Pasien Cedera Kepala Di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Speradji
Tirtonegoro Klaten, Jawa Tengah. JIK, 02(01).

Dunn, M. J. G., Gwinnutt, C. L., & Gray, A. J. (2007). Critical care in the emergency
department: Patient transfer. Emergency Medicine Journal, 24(1), 40–44.
https://doi.org/10.1136/emj.2006.042044

Johnson, M., George, A., & Tran, D. T. (2011). Analysis of falls incidents: Nurse and
patient preventive behaviours. International Journal of Nursing Practice, 17(1),
60–66. https://doi.org/10.1111/j.1440-172X.2010.01907.x

Kartikawati dewi. (2013). Buku Ajar Dasar – Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta: Salemba Medika.

Kurniawan, R., Rahman, I. A., & Nataligunawati, R. L. (2017). Penatalaksanaan


transportasi pasien di instalasi gawat darurat rumah sakit. XV(1).

Stratis health. (2014). Quality Improvement Toolkit for Emergency Department


Transfer Communication Measures. Stratis Health.

Tambunan, R. M. (2011). Pedoman Teknis Penyusunan SOP. Jakarta: Maiestas


Publishing.

Warren, J., Fromm, R. E., Orr, R. A., Rotello, L. C., & Mathilda Horst, H. (2004).
Guidelines for the inter- and intrahospital transport of critically ill patients.
Critical Care Medicine, 32(1), 256–262.
https://doi.org/10.1097/01.CCM.0000104917.39204.0A

Waters, T. R., Nelson, A., & Proctor, C. (2007). Patient Handling Tasks with High
Risk for Musculoskeletal Disorders in Critical Care. Critical Care Nursing
Clinics of North America, 19(2), 131–143.
https://doi.org/10.1016/j.ccell.2007.02.008

Anda mungkin juga menyukai