Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu unit pelayanan di

rumah sakit dengan risiko yang tinggi serta menjadi titik masuk yang sangat

penting untuk pelayanan kesehatan bagi pasien yang membutuhkan penanganan

dan perawatan mendesak (Sunyoto ,dkk. 2014). Pelayanan gawat darurat

diwajibkan untuk melayani pasien 24 jam sehari selama 7 hari secara terus

menerus. Menurut Undang- undang RI No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

pasal 1 menyatakan bahwa kondisi gawat darurat adalah keadaan klinis pasien

yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan

pencegahan kecacatan lebih lanjut, sesuai prinsip “time saving is life and limb

saving dengan waktu penanganan paling lama lima menit setelah pasien sampai

di IGD (KepMenKes RI, 2009).

Data kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat menurut Department

of Health (2012) menyatakan bahwa di United Stated beberapa tahun terakhir

mengalami peningkatan volume kunjungan pasien ke IGD sekitar 30 juta pasien

per tahun. Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI (2009)

menyatakan data kunjungan masuk pasien ke IGD adalah sebanyak 4.402.205

pasien (13,3%) dari total seluruh kunjungan di rumah sakit umum. Di

Kalimantan Tengah khusunya di Rumah Sakit Dorys Sylvanus data kunjungan

pasien IGD sebanyak 19.426 pasien. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan

1
2

Provinsi Kalimantan Tengah cakupan kunjungan rawat jalan tahun 2017 adalah

54.7% lebih tinggi dibandingkan tahun 2016 sebesar 50.4% sedangkan cakupan

rawat inap tahun 2017 sebeasr 4.6% lebih tinggi dibandingkan tahun 2016

sebesar 3.6%. Data Medical Record RSUD Jaragah Sasameh tahun 2017 jumlah

pasien yang masuk ke IGD sebanyak 7.401 pasien sedangkan tahun 2018 jumlah

kunjungan pasien yang masuk ke IGD sebanyak 8.171 pasien. Rata-rata jumlah

kunjungan pasien perbulan sebanyak 700 pasien dengan kunjungan perhari

pasien ke IGD rata-rata sebayak 30 pasien. Dari data tersebut terlihat bahwa

jumlah kunjungan pasien masuk ke IGD terus meningkat. Jumlah yang signifikan

ini kemudian memerlukan perhatian yang cukup besar sehingga diperlukan

standar pelayanan instalasi gawat darurat yang berorientasi pada keselamatan

pasien dan mutu pelayanan, maka rumah sakit harus memiliki sistem triase

dalam pelayanan gawat darurat (PerMenKes RI, 2014).

Triase merupakan aspek penting dalam organisasi rumah sakit untuk

memastikan keselamatan pasien, terutama dalam IGD yang penuh (crowded),

karena triase merupakan poin kontak awal pasien sebelum dilayani di IGD.

Triase adalah pemeriksaan awal atau skrining secara cepat terhadap semua

pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk mengidentifikasi

status kegawatdaruratannya dan prioritas penanaganan (Permenkes RI No.69

tahun 2014). Triase dilakukan secara formal pada setiap pasien yang datang di

IGD sebagai suatu bentuk manajemen risiko klinis, dalam rangka meningkatkan

keselamatan dengan memastikan ketepatan waktu penanganan dan pemanfaatan

sumber daya sesuai dengan kondisi penyakit atau cidera. Triase juga memegang
3

kunci penting terkait penggunaan sumber daya IGD yang terbatas agar lebih

dimanfaatkan bagi pasien yang paling membutuhkan, karena tidak semua pasien

yang datang ke IGD dengan kondisi gawat darurat yang mengancam jiwa, tetapi

ada beberapa kasus yang termasuk kategori false emergency sehingga

pelaksanaan triase sangat penting untuk memastikan keselamatan pasien yang

kritis. Oleh karena itu penanganan pasien harus dilakukan berdasarkan tingkat

kegawatan atau triase dan bukan berdasarkan urutan kedatangan pasien.

Penanganan pasien tanpa dilakukan triase akan mengakibatkan penundaan

penanganan pada pasien kritis sehingga berpotensi mematikan bagi pasien yang

kritis ( Aloyce,et al., 2014).

Anderson, Omberg dan Svedlund (2006 dalam Ainiyah et al, 2015)

menyatakan bahwa perawat merupakan petugas kesehatan yang mempunyai

peran dan tanggung jawab utama dalam melakukan triase di IGD. Kemampuan

perawat dalam melakukan triase sangat berpengaruh terhadap tingkat

keberhasilan pertolongan pada pasien yang mengalami kegawat daruratan.

Kewajiban perawat secara umum terhadap keselamatan pasien adalah mencegah

kejadian yang tidak diinginkan dan sedapat mungkin berupaya menyelamatkan

pasien sebanyak banyaknya dalam waktu sesingkat singkatnya. Dengan demikian

tugas dan tanggung jawab perawat bukan merupakan hal yang ringan. Pelayanan

yang di haruskan 24 jam secara terus menerus dengan kondisi pasien yang

banyak serta adanya tugas tambahan non keperawatan yang juga harus dilakukan

secara bersamaan dapat menimbulkan kejenuhan dan menambah beban kerja

perawat. Menurut Anderson, Omberg dan Svedlund (2007 dalam Ainiyah et al,
4

2015) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan triase dibagi

menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

mencerminkan keterampilan perawat dan kapasitas pribadi. Faktor eksternal

mencerminkan lingkungan kerja, termasuk beban kerja tinggi, pengaturan shift,

kondisi klinis pasien dan riwayat klinis pasien. Beban kerja perawat yang tinggi

mengakibatkan penurunan kinerja perawat (Destifiana, 2015).

Hasil penelitian World Health Organization (1997) menyatakan bahwa

perawat-perawat yang bekerja di rumah sakit di Asia Tenggara termasuk

Indonesia, memilki beban kerja yang berlebih akibat dibebani tugas-tugas non

keperawatan. Perawat yang diberi beban kerja berlebih dapat berdampak pada

penurunan tingkat kesehatan, motivasi kerja, kegagalan dalam melakukan

tindakan pertolongan terhadap pasien dan penurunan kualitas pelayanan

keperawatan. Selain dengan dibebani oleh tugas non keperwatan, kondisi ini juga

di pengaruhi oleh peningkatan jumlah pasien yang tidak sebanding dengan

jumlah perawat sehingga menyebabkan beban kerja perawat meningkat

(Lumintang, 2015).

Beban kerja merupakan keadaan dimana seseorang dihadapkan pada

tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu. Berdasarkan junal penelitian

mengenai hubungan antara beban kerja dengan motivasi perawat dalam

melaksanakan triase, didapatkan hasil yang menyatakan bahwa ada hubungan

yang bermakna. Artinya semakin berat beban kerja perawat maka semakin

rendah motivasi perawat untuk melaksanakan triase (Nurhanifah, 2015)


5

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di IGD Jaraga Sasameh

selama 3 hari dari tanggal 20 Maret 2019 sampai tanggal 22 Maret 2019, dari

hasil observasi tampak bahwa sistem triase yang digunakan di IGD Jaraga

Sasameh adalah Emergency Severity Index (ESI) dari Amerika. Konsep pada

triase ESI ini tidak mengharuskan pemeriksaan mendetail termasuk tanda vital

lengkap guna menetapkan level triase sehingga proses triase ini sebenarnya

sangat mudah dilakukan. Di dalam SOP triase menyatakan bahwa setiap pasien

yang datang ke IGD akan dilakukan triase oleh perawat bersama-sama dengan

dokter di area drop zone untuk skrining penyakit menular, kemudian masuk ke

ruang triase dan dilakukan assesmen oleh perawat, setelah itu pasien di

tempatkan sesuai disposisi petugas triase berdasarkan prioritas

kegawatdaruratannya. Namun dari observasi tersebut peneliti melihat bahwa

triase dilakukan secara bergantian oleh perawat yang berdinas dan perawat yang

standbay di ruang triase tidak selalu ada, sehingga sebagian pasien yang datang

langsung masuk ke ruang tindakan IGD tanpa melewati proses triase. Dari 32

pasien yang datang ke IGD sebanyak 5 pasien (15,63%) dilakukan triase sesuai

SOP, 17 pasien (53,12%) dilakukan triase tidak sesuai SOP dan 10 pasien

(31,25%) tidak dilakukan triase sama sekali. Berdasarkan hasil observasi yang

diperoleh, hanya 30% perawat yang menerapkan triase sesuai dengan SOP dan

70% perawat yang belum menerapkan triase sesuai dengan SOP, seperti pasien

langsung masuk ke area penanganan IGD tanpa dilakukan triase.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan saat studi pendahuluan

pada tanggal 21 Maret 2019 di IGD Jaraga Sasameh dengan 10 orang perawat
6

pelaksana yang masing-masing pendidikannya Diploma III keperawatan, Sarjana

Keperawatn dan memiliki pengalaman kerja di atas 2 tahun. Sebanyak 50%

perawat mengatakan bahwa triase tidak selalu dilakukan karena jumlah perawat

yang jaga pada setiap shift sedikit yaitu 4 orang pada shift pagi, 3 orang pada

shift sore dan malam, sedangkan jumlah kunjungan pasien yang masuk ke IGD

setiap hari rata-rata 30 pasien, ditambah lagi dengan adanya pelimpahan tugas

non keperawatan yang harus dilakukan seperti melakukan tugas administrasi

laporan pasien masuk dan keluar, melakukan entri data tagihan pasien, mengurus

rujukan pasien, dan tugas non keperawatan lainnya seperti melakukan

pengambilan sampel laboratorium, pengamprahan BHP (Barang Habis Pakai)

pasien, pengaplusan obat dan mengantar alat ke bagian CSSD. Disisi lain

tindakan keperawatan yang harus dilakukan secara cepat dan tepat terhadap

pemenuhan kebutuhan prosedur tindakan ke pasien seperti pemasangan infus,

perawatan luka, pemasangan NGT, monitoring untuk pasien emergensi,

resusitasi pada pasien kritis membuat perawat menjadi lelah dan frustasi. Perawat

lainnya sebanyak 30% mengatakan bahwa selama berdinas di IGD dirinya selalu

merasakan tengkuk tegang, susah tidur, dan emosi tidak stabil sehingga mudah

marah dan sering merasa malas, hal tersebut membuat perawat sering

mengabaikan pelaksanaan triase walaupun mereka sadar bahwa triase penting

untuk dilakukan. Sedangkan 20% perawat lainnya mengatakan selain jumlah

pasien dan perawat yang tidak imbang dan banyaknya pekerjaan non

keperawatan, hal lain seperti karakteristik pasien di IGD yang bermacam-

macam, contoh: pasien yang tidak kooperatif sehingga menyulitkan perawat


7

melalukan tindakan, banyaknya keluhan dan tuntutan dari keluarga pasien yang

mengharapkan kesembuhan bagi keluarganya. . Hal tersebut ikut menambah

beban kerja perawat sehingga perawat merasa kelelahan dan berpengaruh pada

pelayanan keperawatan seperti pada pelaksanaan triase. Dari 10 perawat yang

diwawancara 7 orang (70%) mengatakan beban kerja dirasakan cukup tinggi

terutama pada shift sore, sedangkan 3 orang (30%) mengatakan beban kerja yang

dirasakan sedang saja.

Hasil wawancara dengan kepala ruangan pada studi pendahuluan tanggal

22 Maret 2019 menyatakan bahwa jumlah perawat di IGD ada 19 orang , terdiri

dari 17 orang perawat pelaksana, 1 orang perawat penanggung jawab asuhan dan

1 orang kepala ruangan. Menurut kepala ruangan IGD jumlah perawat yang ada

saat ini masih kurang bila dihitung berdasarkan rumus pola ketenagaan Depkes

tahun 2005. Jumlah perawat di IGD seharusnya adalah sebanyak 22 orang

perawat. Dengan rata-rata jumlah kunjungan pasien perbulan pada tahun 2018

sebanyak 700 pasien dengan kunjungan perhari pasien ke IGD rata-rata sebayak

30 pasien dengan Jumlah bad di IGD sebanyak 11 bad dan kasus terbanyak

adalah pasien penyakit dalam yaitu Dyspepsia. Perawat jaga pada setiap shift

yaitu shift pagi sebanyak 3-4 orang, sore sebanyak 3 orang dan malam sebanyak

3 orang. Masa kerja perawat rata-rata diatas 2 tahun dan sudah memiliki

sertifikat pelatihan seperti BTCLS, PPGD, dan 1 orang perawat sudah memiliki

serifikat Triase. Untuk pendidikan, dari 19 orang perawat ( 3 perawat lulusan S1

Ners dan 16 perawat lulusan D3 keperawatan. Menurut kepala ruangan IGD

RSUD Jaraga Sasameh pasien yang masuk ke IGD kebanyakan adalah pasien
8

dengan kasus tidak gawat darurat atau kategori false emergency. Sedangkan

untuk pelaksanaan triase menurut kepala ruangan IGD Jaraga Sasameh masih

belum optimal.

Kurangnya perawat dibandingkan jumlah pasien menyebabkan perawat

akan mengalami kelelahan dalam bekerja karena kebutuhan pasien terhadap

asuhan keperawatan lebih besar dari kemampuan perawat (Haryanti, 2013).

Menurut Manuho (2015) menyatakan bahwa beban kerja yang berlebihan atau

beben kerja yang di tanggung melebihi dari kapasitas pelaksana akan

menyebabkan produktivitas kerja yang buruk. Baik atau buruknya suatu kinerja

sangat dipengaruhi oleh beban kerja, semakin tinggi beban kerja maka akan

berdampak buruk terhadap kinerja dari seorang perawat (Hannani, 2016).

Peningkatan beban kerja dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja

seperti penurunan konsentrasi, terlambat bekerja, konflik antar individu dan

peningkatan kesalahan (Sahin, 2013). Beban kerja yang tidak sesuai juga dapat

memicu stres kerja perawat (Jundillah, 2017).

Kondisi beban kerja yang berat atau kelelahan menjadi faktor pemicu

terhadap menurunnya kualitas dan kuantitas pelayanan keperawatan. Dengan

demikian, beban kerja akan mempengaruhi perawat dalam melaksanakan

pekerjaannya termasuk pada pemberian pelayanan keperawatan seperti

pelaksanaan triase. Sehingga upaya peningkatan pelayanan keperawatan di IGD

terutama terhadap pelaksanaan triase perlu mendapat perhatian pihak manajemen

dalam menyelesaikan masalah beban kerja, antara lain dengan adanya


9

penambahan tenaga perawat, dengan harapan jumlah perawat pada setiap shift

dapat mengimbangi jumlah kunjungan pasien.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Hubungan Beban Kerja Perawat dengan

Pelaksanaan Triase di IGD RSUD Jaraga Sasameh”.

B. Rumusan Masalah

Peningkatan kunjungan pasien ke IGD setiap tahunnya dan beban kerja

perawat yang dirasa melebihi tugas pokok perawat serta masih kurangnya tenaga

perawat di IGD Jaraga Sasameh, maka berdasarkan latar belakang tersebut

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana hubungan antara

beban kerja perawat dengan pelaksanaan triase di IGD RSUD Jaraga Sasameh?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara beban

kerja perawat dengan pelaksanaan triase di IGD RSUD Jaraga Sasameh.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi beban kerja perawat di IGD RSUD Jaraga Sasameh

b. Mengidentifikasi pelaksanaan triase di IGD RSUD Jaraga Sasameh

c. Menganalisis hubungan antara beban kerja perawat IGD dengan proses

pelaksanaan triase di IGD RSUD Jaraga Sasameh

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis
10

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan

bagi perkembangan ilmu keperawatan dan praktek pekerjaan perawat serta

dapat menambah kajian ilmu keperawatan terkait dengan hubungan beban

kerja perawat dengan pelaksanaan triase di IGD.

2. Praktis

a. Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi

yang dapat mengatur sistem manajemen sehingga dapat mengurangi

beban kerja perawat di IGD dan bahan evaluasi untuk pelaksanaan triase

ESI di IGD RSUD Jaraga Sasameh.

b. Perawat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan perawat

tentang pentingnya pelaksanaan triase dalam memberikan pelayanan

keperawatan untuk meningkatkan kualitas mutu pelayanan kesehatan

yang berorientasi pada keselamatan pasien di IGD RSUD Jaraga

Sasameh.

c. Pasien

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada pasien

tentang pelayanan pasien di IGD sesuai dengan triase.

d. Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dan

sumber data untuk peneliti selanjutnya, terutama mengenai hubungan


11

beban kerja perawat dengan pelaksanaan triase di IGD secara lebih

dalam.

E. Keaslian Penelitian

Banyak penelitian yang telah dilakukan terkait beban kerja dengan triase

tetapi penelitian untuk judul Hubungan Beban Kerja Perawat Dengan

Pelaksanaan Triase di IGD RSUD Jaraga Sasameh masih belum ada. Penelitian

yang mirip dengan topik yang akan peneliti lakukan adalah sebagai berikut:

1. Dewi Nurhanifah (2015) “ Hubungan Karakteristik Beban Kerja dan

Supervisi dengan Motivasi Perawat dalam Melaksanakan Triase di IGD

RSUD Ulin Banjarmasin Yahun 2015”. Hasil penelitian didapat nilai R

Square 0,506 berarti 50,6% motivasi perawat dalam melaksanakan triase

dipengaruhi oleh beban kerja (p=0,014) dan supervisi (p=0,012).

Persamaan dalam penelitian ini yaitu, sama-sama membahas tentang beban

kerja dan pelaksanaan triase tetapi terdapat perbedaan yaitu penelitian ini

membahas tentang beban kerja dan hubungan terhadap supervisi dengan

motivasi perawat dalam melaksanaan triase di IGD RSUD Ulin Banjarmasin

dan pengambilan data sama-sama menggunakan lembar observasi dan

kuesioner. Perbedaan penelitian terletak pada variabel, waktu penelitian dan

tempat penelitan.

2. Widia Irawati (2017) “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan

Pelaksanaan Triase Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr.Soedirman

Kebumen”. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan faktor yang

mempengaruhi ketepatan pelaksanaan triase adalah pengetahuan (p=0,033),


12

beban kerja (p=0,030) dan motivasi kerja (p=0,011). Sedangkan faktor yang

paling dominan adalah motivasi kerja dengan nilai odd ratio 18,418.

Persamaan dalam penelitian ini yaitu sama-sama membahas tentang

pelaksanaan triase, dengan tehnik sampling menggunakan total sampel

dengan alat ukur kuesioner dan lembar observasi. Perbedaan penelitian

terletak pada variabel, waktu penelitian dan tempat penelitian.

3. Janssen MA, et al. J Clin Nurs (2012) “Factors Influencing The

Implementatiaon of The Guideline Triage in Emergency Departments: a

kualitatif study”. Hasil penelitian menunjukkan faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan triase versi pedoman 2004 yaitu: tingkat pengetahuan, wawasan,

keterampilan, prefensi kerja, motivasi atau komitmen, deskripsi tugas dan

tanggung jawab, serta beban kerja dan sumber daya.

Persamaan dalam penelitian ini yaitu sama-sama membahas tentang

pelaksanaan triase. Perbedaan penelitian terletak pada variabel, waktu

penelitian dan tempat penelitian


13

Anda mungkin juga menyukai