Editor
Dewa Kadek Adi Surya Antara
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang
melaksanakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Bedasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, rumah sakit umum
diklasifikasikan menjadi: Rumah Sakit Umum Kelas A, Rumah Sakit Umum
Kelas B, Rumah Sakit Umum Kelas C, Rumah Sakit Umum Kelas D.
Klasifikasi Rumah Sakit Umum ditetapkan berdasarkan: Pelayanan,
SumberDaya Manusia, Peralatan, Sarana dan Prasarana; dan Administrasi
dan Manajemen (Menteri Kesehatan RI, 2010).
Mutu pelayanan kesehatan menjadi hal yang penting dalam organisasi pelayanan
kesehatan di rumah sakit, peningkatan kesadaran masyarakat tentang kesehatan
dan pelayanan kesehatan mendorong setiap organisasi pelayanan kesehatan untuk
sadar mutu dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa organisasi
pelayanan kesehatan. Setiap permasalahan yang muncul dalam organisasi
pelayanan kesehatan khususnya berkaitan dengan mutu layanan kesehatan,
terdapat tiga konsep utama yang selalu muncul. Konsep tersebut adalah akses,
biaya, dan mutu (Herlambang, 2016).
Tentu saja, akses mencakup akses fisik, keuangan, dan mental atau intelektual
terhadap perawatan dan layanan kesehatan yang tersedia. Masalah keterjangkauan
dan efisiensi juga merupakan hal yang penting. Namun, layanan yang disediakan
dalam suatu institusi kesehatan harus memiliki karakteristik tertentu, di samping
persoalan keterjangkauan dan ketersediaan. Karakteristik itu harus mencakup
elemen dan karakteristik mutu (Pohan, 2006).
Masalah antrian di IGD diperparah dengan adanya pasien tunggu (pasien transisi).
Pasien tunggu di IGD merupakan kontributor signifikan terhadap antrian di IGD.
Pasien yang menginap (pasien transisi) di IGD meningkatkan beban layanan di
IGD. Adanya pasien transisi di IGD menyebabkan lama rawat pasien di IGD
meningkat 57 menit. Selain itu, adanya pasien transisi berhubungan
denganterbatasnya daya tampung (White et al., 2013). Penelitian Litvak, et.al
(2002) menyebutkan fakta lain terkait beban adanya pasien transisi di IGD, yaitu
sepertiga tempat tidur (TT) di IGD digunakan oleh pasien transisi. Keterlambatan
transfer pasien dari IGD ke rawat inap memberikan pengalaman yang tidak
memuaskan bagi pasien.
Kondisi tersebut juga terjadi di RSUP Sanglah yang merupakan salah satu rumah
sakit rujukan tersier. Pasien yang dirujuk ke rawat inapRSUPSanglah dari rumah
sakit lain maupun pasien IGD yang membutuhkan observasi di rawat inap
seringkali harus menunggu terlebih dahulu di ruang transisi (saat ini disebut MS
dan MS Ratna) bahkan di IGD untuk menunggu ketersediaan tempat tidur (TT) di
bangsal rawat inap. Standar waktu tunggu pasien di IGD sejak datang hingga
ditransfer/diantar ke bangsal rawat inap RSUPSanglah adalah maksimal 8 jam
yang dimana dibagi menjadi 6 jam desposisi dan 2 jam boarding time. Hasil
observasi yang telah dilakukanpada pasien di IGD RSUP Sanglah pada bulan
November 2018 ditemukan bahwa rata-rata waktu disposisi adalah 4 jam 9 menit,
boarding time 4 jam 43 dan total 8 jam 52 menit dengan waktu terlama pasien di
IGDadalah 54 jam 49 menit. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
waktu pasien di IGD RSUP Sanglah telah lebih dari SOP waktu tunggu pasien dan
indicator mutu di IGD.
Berdasarkan pemaparan data di atas, kami tertarik untuk mengidentifikasi waktu
dan penyebab delay perpindahan pasien dari IGD ke rawat inap.
1.3. Tujuan
a. Mengidentifikasi rata-rata LOS pasien di IGD RSUP Sanglah
b. Mengidentifikasi penyebab tingginya Disposition time pasien di IGD RSUP
Sanglah
c. Mengidentifikasi penyebab tingginya Boarding time pasien di IGD RSUP
Sanglah
BAB 2
LANDASAN TEORI
Menurut Azrul Azwar (1999) dalam Bustami (2011) menyebutkan bahwa mutu
pelayanan kesehatan adalah derajat dipenuhinya kebutuhan masyarakat atau
perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi yang
baik dengan pemanfaatan sumber daya secara wajar, efisien, efekif dalam
keterbatasan kemampuan pemerintah dan masyarakat, serta diselenggarakan
secara aman dan memuaskan pelanggan sesuai dengan norma dan etika yang baik.
1. Masukan (Input)
Masukan (Input) yang dimaksud disini adalah sarana fisik, perlengkapan dan
peralatan, organisasi dan manajemen, keuangan, serta sumber daya manusia dan
sumber daya (resources) lainnya di puskesmas dan rumah sakit. Beberapa aspek
penting yang harus mendapat perhatian dalam hal ini adalah kejujuran, efektifitas
dan efisiensi, serta kuantitas dan kualitas dari masukan yang ada.
Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang bermutu
pula. Semua sumber daya yang ada perlu diorganisasikan dan dikelola sesui
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prosedur kerja yang berlaku
dengan maksud pelayanan kesehatan tersebut dapat diterima oleh pelanggan
secara baik.
2. Proses yang dilakukan
Proses adalah semua kegiatan atau aktvitas dari seluruh karyawan dan tenaga
profesi dalam interaksinya dengan pelanggan, baik pelanggan internal (sesama
petugas atau karyawan) maupun pelanggan eksternal (pasien, pemasok barang,
masyarakat yang datang ke puskesmas atau rumah sakit untuk maksud tertentu).
Baik atau tidaknya proses yang dilakukan di puskesmas atau di rumah sakit dapat
diukur dari:
a. Relevan atau tidaknya proses yang diterima oleh pelanggan
b. Efektif atau tidaknya proses yang dilakukan
c. Mutu proses yang dilakukan.
Variabel proses merupakan pendekatan langsung terhadap mutu pelayanan
kesehatan. Semakin patuh petugas (profesi) terhadap standar pelayanan, maka
semakin bermutu pula pelayanan kesehatan yang diberikan.
3. Hasil yang Dicapai
Hasil (outcome) yang dimaksud di sini adalah tindak lanjut dari keluaran berupa
hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga profesi serta seluruh karyawan terhadap
pelanggan. Hasil yang diharapkan dapat berupa perubahan yang terjadi pada
pelanggan, baik secara fisik-fisiologis maupun sosial-psikologis, termasuk
kepuasan pelanggan. Hasil merupakan pendekatan secara tidak langsung, namun
sangat bermanfaat untuk mengukur mutu pelayanan di puskesmas, rumah sakit,
atau institusi pelayanan kesehatan lainnya.
Logika yang dipakai adalah jika masukan telah tersedia sesuai rencana, maka
proses akan bisa terlaksana. Apabila proses dilaksanakan sesuai yan direncanakan
berdasarkan standar yang ada, maka hasil akan tercapai dengan baik.
2.3. LOS
Lama rawat atau Lama Hari Rawat atau Length of Stay (LOS) adalah suatu
ukuran berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada suatu periode
perawatan. Satuan lama hari rawat adalah hari. Kemudian, cara menghitung lama
hari rawat ialah dengan menghitung selisih antara tanggal kepulangan (keluar dari
rumah sakit, baik hidup atau meninggal) dengan tanggal masuk ke rumah sakit. 10
Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk dan keluar pada hari yang sama, lama
rawatnya dihitung sebagai 1 hari. Angka rerata lama rawat ini dikenal dengan
istilah average Length of Stay (aLOS). Mengukur rata-rata lama hari rawat yaitu
membagi jumlah hari perawatan pasien rawat inap (hidup dan mati) di rumah sakit
pada periode tertentu dengan jumlah pasien rawat inap yang keluar (hidup dan
mati) di rumah sakit pada periode waktu yang sama (Karaca et al., 2012).
Length of Stay (LOS) patients admission merupakan lamanya pasien dirawat
mulai kedatangan sampai dipindahkan ke ruangan atau unit lain, sebagai indikator
pengukuran terhadap proses pelayanan dan penanda kepadatan pasien. Waktu
tunggu memiliki esensi penting dalam mengkaji proses perawatan di IGD karena
membantu mengidentifikasi penyebab keterlambatan tindakan dan LOS yang
memanjang(Yoon et al, 2004; McCarty et al., 2009; Brick et al., 2014). Asplin et
al., (2003) mengenalkan sebuah konsep model overcrowding yang dibaginya
dalam tiga komponen yakni input, troughput dan output. Input faktor merupakan
gambaran kondisi pasien sebelum tiba di IGD: usia, waktu tiba dan cara tiba,
status kesehatan:keluhan utama dan komorbiditas, asuransi kesehatan dan fasilitas
pelayanan/terapi sebelumnya. Troughput faktor: triage level, door to doctor,
kecepatan pemeriksaan laboratorium, kecepatan konsultasi spesialis dan transfer
pasien ke ruangan, regulasi staf dan sistem informasi dan komunikasi. Ketiga
komponen tersebut berhubungan dengan peningkatan LOS patients admission di
IGD. Penelitian serupa oleh Yoon et al., (2004) menyatakan bahwa adanya faktor
internal dan eksternal seperti karakteristik klinis pasien, regulasi staf, akses cepat
brankar oleh health care provider, waktu kedatangan pasien, manajemen praktis,
dan berbagai jenis pemeriksaan dan tindakan berkontribusi terhadap peningkatan
LOS pasien di IGD. Waktu tunggu pasien saat kedatangan pasien < 5 menit. Pada
kondisi kepadatan pasien manajemen IGD dapat menerapkan lama rawat < 6-8
jam (Depkes, 2011). Keberhasilan pencapaian target sangat tergantung dari
manajemen leadership lingkup IGD dan rumah sakit (Ningsih, 2015). Hasil ini
didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bernstein et al.,(2008)
bahwa padatnya pasien di ruangan perawatan disertai jumlah staf dokter dan
perawat yang terbatas berpotensi menimbulkan keterlambatan tindakan dan
pengobatan tidak adekuat akibat peningkatan kebutuhan perawatan. Standar baku
LOS IGD belum ada namun Canadian Association of Emergency Physician
(CAEP) merekomendasikan target nasional yang dapat digunakan untuk
mengurangi dampak negatif dari overcrowding yakni pada median 8 - 12 jam
(Affleck et al., 2013).
LOS terdiri dari disposition time dan boarding time. Disposition time idealnya 6
jam terhitung mulai pasien masuk IGD. Enam jam tersebut biasanya dibagi
menjadi empat jam pertama yang digunakan untuk pengambilan keputusan untuk
penentuan penunjang medis, pemberian therapy dan penegakan diagnosa pasien.
Dua jam terakhir digunakan untuk memberikan tindakan sesuai terapi seperti
pemberian infus, pemasangan cateter, injeksi dan lain-lain serta untuk pengurusan
administrasi pasien. Boarding time merupakan waktu setelah pasien sudah dapat
dipindah dari IGD dimana ideal boarding time adalah dua jam. Hal dilakukan
pada boarding time adalah persiapan pindah pasien. Saat boarding time sudah
tidak ada tindakan yang diperlukan. Pasien tinggal pindah kecuali ada observasi.
Penyakit yang akut dan kronis akan memerlukan lama hari rawat yang berbeda,
dimana kasus yang kronis akan memerlukan lama hari rawat lebih lama daripada
penyakit yang bersifat akut.
2. Tenaga Medis yang menangani
Dari sisi administrasi rumah sakit, prosedur penerimaan dan pemulangan pasien
dapat menjadi hambatan yang menyebabkan lambatnya kepulangan pasien dari
rumah sakit. Sebagai contoh, pasien yang masuk rumah sakit hari Sabtu dan
Minggu akan memperpanjang lama hari rawatnya. Hal ini dikarenakan
pemeriksaan dokter dan pemeriksaan penunjang lain mungkin akan diundur
sampai hari kerja. Pasien masuk rumah sakit saat pergantian jaga atau di luar jam
kerja rumah sakit, dan berbagai alasan administrasi lainnya.
1. Umur Pasien
Walaupun pekerjaan tidak secara langsung mempengaruhi lama hari rawat, tapi
mempengaruhi cara pasien dalam membayar biaya perawatan. Pekerjaan akan
menentukan pendapatan dan ada atau tidaknya jaminan kesehatan untuk
menanggung biaya perawatan.
4. Alasan Pulang
Pasien akan pulang atau keluar dari rumah sakit apabila telah mendapat
persetujuan dari dokter yang merawatnya. Tetapi ada beberapa penderita yang
walaupun dinyatakan sembuh dan boleh pulang harus tertunda pulangnya. Hal
tersebut karena masih menunggu pengurusan pembayaran oleh pihak penanggung
biaya (perusahaan/ asuransi kesehatan) atau surat keterangan tidak mampu,
jamkesmas dari pihak yang berwenang bagi yang kurang mampu. Sehingga lama
hari rawat menjadi memanjang. Sedangkan ada pula pasien-pasien yang pulang
atas permintaan sendiri/ keluarga (pulang paksa), sehingga lama rawat memendek.
Tingkat kerapuhan pasien terutama pasien lanjut usia dapat menjadi salah satu
petanda awal memanjangnya lama rawat. Pada penelitian sebelumnya,
peningkatan skor kerapuhan pada Edmonton Frail Scale yang diberikan saat
sebelum penerimaan operasi elektif non-kardiak dihubungkan dengan komplikasi
post-operasi, peningkatan lama tinggal di rumah sakit dan ketidakmampuan untuk
dipulangkan ke rumah, terlepas dari umur. Selain itu juga meningkatkan risiko
mortalitas dan memanjangnya perawatan setelah operasi jantung.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Fatimah M., et al. 2016 yang menjelaskan
ahwa LOS IGD dipengaruhi oleh input dan troughput factor. Input faktor: usia,
waktu tiba, keluhan utama dan komorbiditas. Troughput faktor: triage level, door
to doctor, kecepatan pemeriksaan laboratorium, kecepatan konsultasi spesialis dan
transfer pasien ke ruangan. Penelitian Fatimah E.W.F 2016 menemukan bahwa
Faktor -faktor yang memiliki hubungan yang signifikan secara statistik (p value
< 0,05 ) dengan LOS patients admission yakni komorbiditas, kecepatan konsultasi
spesialis dan transfer pasien ke ruangan. Sedangkan faktor waktu tiba,keluhan
utama, triage level, door to doctor, kecepatan pemeriksaan laboratorium, jumlah
dokter dan perawat dalam setiap shift tidak memiliki hubungan yang signifikan
secara statistik (p value < 0,005) dengan LOS patient admission. Faktor – faktor
penyebab keterlambatan yang paling dominan berhubungan dengan LOS patients
admission adalah keterlambatan transfer pasien ke ruangan. Hal ini paling banyak
disebabkan oleh keterbatasan ketersediann tempat tidur di ruangan sehingga
pasien tidak dapat ditranfer ke ruangan dengan segera setelah keputusan untuk
disposisi pasien ke ruangan.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Karaca et al., (2012) menyatakan bahwa
lamanya pasien dirawat di IGD dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama
waktu kedatangan pasien yakni jam 8 pagi sampai jam 10 malam, hari senin dan
minggu, peningkatan volume pasien, karakteristik pasien, karakteristik rumah
sakit dan lokasi IGD rumah sakit. Handel et al., (2013) juga menyatakan bahwa
karakteristik IGD seperti tipe IGD rumah sakit, jumlah kunjungan pasien yang
dirawat, rujukan dan dipulangkan dan karakteristik rumah sakit seperti status
rumah sakit, kapasitas tempat tidur rawat inap dan letak rumah sakit berhubungan
dengan LOS pasien. Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa semakin tinggi
BOR pasien rawat inap semakin tinggi pula LOS pasien yang dirawat. Semakin
tinggi persentase pasien yang rawat inap semakin tinggi pula LOS pasien di IGD.
Sedangkan Veen et al (2016) menyatakan bahwa proses konsultasi yang dilakukan
dapat meningkatkan LOS sebesar 55% dengan kekuatan hubungan sebesar (OR)
5.6 (4.0-7.8), terutama pada pasien yang akan dirawat dan dilakukan follow up di
rumah sakit lain.
BAB 3
HASIL dan PEMBAHASAN
Tabel 3.1 Jumlah jam rata-rata Disposition time, Boarding time, dan LOS (dalam
jam) diambil dari 38 pasien
Jumlah total Rata-rata Min – Max
jam
Disposisi 314:38:00 8:16:00 1:20:00 - 23:30:00
Boarding 191:17:00 5:02:00 0:30:00 - 23:00:00
LOS 505:55:00 13:18:00 3:50:00 - 4:41:00
Berdasarkan Tabel 3.1 didapatkan bahwa dari 38 sampel pasien yang terpilih
didapatkan data rata-rata disposition time adalah delapan jam 16 menit dengan
waktu tercepat yaitu satu jam 20 menit dan waktu terlama 23 jam 30 menit. Mutu
pelayanan di unit gawat darurat memaparkan kriteria ideal disposition time adalah
maksimal enam jam. Berdasarkan data disposition time pasien yang sudah terukur
diketahui waktu disposition time pasien melebihi standar kriteria mutu yang sudah
ditetapkan rumah sakit.
Rata-rata boarding time adalah lima jam dua menit dengan waktu tercepat 30
menit dan waktu terlama adalah 23 jam. Mutu pelayanan di unit gawat darurat
memaparkan kriteria ideal boarding time adalah maksimal dua jam. Berdasarkan
data boarding time pasien yang sudah terukur diketahui waktu disposition time
pasien melebihi standar kriteria mutu yang sudah ditetapkan rumah sakit.
Rata-rata LOS (Lenght of Stay) adalah 13 jam 18 menit dengan waktu tercepat
tiga jam 50 menit dan waktu terlama empat jam 41 menit. Mutu pelayanan di unit
gawat darurat memaparkan kriteria ideal LOS (Lenght of stay) adalah maksimal 8
jam. Berdasarkan data LOS pasien yang sudah terukur diketahui waktu LOS
pasien melebihi standar kriteria mutu yang sudah ditetapkan rumah sakit.
3.2 Penyebab Memanjangnya Disposition Time di IGD
Permasalahan tersebut juga sejalan dengan Ekawati dan Afridah (2015) yang
mengemukakan terdapat faktor esternal dan internal yang berpengaruh terhadap
LOS pasien saat dirawat di IGD. Faktor internal yang berpengaruh diantaranya
jenis dan derajat penyakit, tenaga medis yang menangani, tindakan yang
dilakukan, administrasi rumah sakit. Selain itu terdapat faktor eksternal yang juga
dapat mempengaruhi LOS pasien saat dirawat di IGD diantaranya umur pasien,
pekerjaan pasien, penanggung jawab biaya, alasan pulang, komorbiditas dan
tingkat kepatuhan pasien. Hasil penelitian lain yang juga memperoleh hasil yang
senada dengan hasil observasi mahasiswa adalah penelitian yang dikemukakan
oleh Karaca et al., (2012) dan Handel et al., (2013). Kedua hasil tersebut
menyatakan jenis penyakit, jumlah pasien yang diwawat kapasias tempat tidur
rawat inap berpengaruh terhadap waktu tunggu pasien saat dirawat di IGD.
Penelitian dari Veen et al (2016) juga menyatakan proses konsultasi yang
dilakukan dapat meningkatkan waktu tunggu sebesar 55%.
Kesiapan dari sarana pendukung dalam penegakan diagnose pasien yang dirawat
juga akan berpengaruh terhadap desposition time pasien di IGD. Selama praktik
peminatan mahasiswa menemukan terjadi beberapa gangguan dari sarana
pendukung dalam pemeriksaan penunjang seperti alat pemeriksa AGD yang tidak
dapat digunakan lebih kurang 3 jam, alat X-Ray yang tidak dapat digunakan
hingga lebih dari 6 jam sehingga pasien harus di transfer menggunakan ambulan
hanya untuk dilakukan X-ray. Hal-hal tersebut juga akan mengakibatkan waktu
tungu perawatan pasien di IGD memanjang.
Jumlah tenaga medis yang merawat pasien akan sangat berpengaruh terhadap
disposition time pasien saat dirawat di IGD. Selama praktik pemimatan
mahasiswa menemukan beberapa permasalahan yaitu waktu tanggap dokter saat
akan memeriksa pasien di IGD terkadang terlambat. Waktu tunggu tanggap dokter
di ruang IGD idealnya kurang dari lima menit sedangkan selama praktik
mahasiswa mengobservasi waktu tanggap dokter di beberapa divisi lebih dari lima
menit. Hal tersebut akan sangat berpegaruh terhadap disposition time saat
merawat pasien di ruang IGD.
Boarding time merupakan waktu tunggu pasien yang telah mendapatkan terapi
sampai pindah ke ruang perawatan. Ideal boarding time pelayanan di IGD adalah
kurang dari dua jam. Selama melaksanakan praktik mahasiswa beberapa kali
mendapatkan memanjangnya boarding time dalam rencana pemindahan pasien
dari IGD. Keterlambatan tersebut dari sudut pandang mahasiswa kemungkinan
dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
Hasil penelitian yang dikemukanan oleh Deviantony, Ahsan dan Setyoadi (2017)
mengungkapkan bahwa secara berurut beberapa hal yang mempengaruhi boarding
time pasien di IGD adalah wak tu persiapan ruang, waktu hasil pemeriksaan
laboratorium, dan waktu diagnosis. Ketiga hal tersebut akan sangat berpengaruh
cepat atau lambatnya pasien pindah dari IGD ke ruang perawatan. Senada dengan
hasil observasi masiswa penelitian yang dilakukan Mulyono (2003)
mengungkapkan pengambilan keputusan tindakan medis di Indonesia ditentukan
oleh budaya, dimana pengambilan keputusan terkait tindakan medis biasanya
diambil oleh anggota keluarga tertua. Senada dengan hal tersebut penelitian yang
dilakukan Hodgins et al (2011) memperoleh hasil dari 41256 pasien yang dirawat
di IGD pada saat kondisi IGD penuh dan mengakibatkan waktu tunggu pasien
setelah keputusan rawat inap diputuskan akan menimbulkan kematian.
Ketersediaan jumlah alat yang diperlukan diruangan dalam merawat pasien juga
memiliki pengaruh yang besar terhadap boarding time di IGD. Ruangan
perawatan yang dituju akan menyiapkan kebutuh alat dalam perwatan pasien yang
membutuhkan waktu yang bervariasi. Hal tersebut akan berdampak pada boarding
time di IGD karena ruang harus benar-benar siap dan lengkap sebelum pasien
dikirim.
Belum objektifnya kriteria pemindahan dan kriteria keluar dari satu ruangan akan
sangat berpengaruh terhadap boarding time pasien di IGD. RSUP Sanglah
memeiliki 2 buah ruang yang dikatakan sebagai ruang intermediate untuk
penyakit bedah trauma dan interna yang menjadi lokasi pindah pasien triage
paling sering. Namun dari observasi dan sudut pandang mahasiswa kriteria masuk
ke ruang tersebut kurang objektif karena tidak dijelaskan standar kriteria pasien
pindah ruangan intermediate. Kriteria pindah dari ruang intermediate juga kurang
objektif karena saat observasi mahasiswa tidak mendapatkan perbedaan isi
formulir antara kriteria masuk dan kriteria keluar ruang intermediate. Kurang
objektifnya penilaian tersebut mengakibatkan hampir keseluruhan pasien akan
dipindah ke ruang intermediate.
Terdapat beberapa pasien setelah mendapatkan tempat memberikan pengobatan
yang memerlukan observasi ketat. Hal tersebut akan mengakibatkan lebih
memanjangnya boarding time karena harus melakukan observasi di IGD sebelum
dipindahkan ke ruang rawat.
4.2 Saran
a. Disposition Time
1) Kolaborasi lebih intens dengan residen senior dan DPJP mengenai
tindakan perawatan pasien
2) Meningkatkan intensitas follow up ke admission untuk mengurus rawat
inap pasien
3) Meningkatkan intensitas follow up ke penunjang medis guna mengetahui
hasil pemeriksaan lebih cepat
4) Apabila memungkinkan konsultasi pada pasien dengan diagnosa kompleks
dilakukan di ruangan
b. Boarding Time
1) Observasi ketat pada pasien dengan pemberian medikasi apabila
memungkinkan dilakukan di ruangan.
2) Ketersediaan transporter jika memungkinkan diperbanyak.
3) Peran supervisor lebih ditingkatkan dalam mencari solusi untuk
mengurangi bed block.