Anda di halaman 1dari 43

ANALISIS KEPATUHAN PERAWAT DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

BERHUBUNGAN DENGAN LAMANYA WAKTU TUNGGU RAWAT INAP


(BOARDING TIME) PADA PASIEN STROKE DI IGD RSD IDAMAN KOTA
BANJARBARU TAHUN 2023

(Studi Deskriptif Analitik pada Wilayah Kerja RSD Idaman Kota Banjarbaru)

Proposal Penelitian

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Mencapai Derajat S-2

Minat: Kebijakan dan Manajemen Kesehatan


Program Studi Kesehatan Masyarakat
Program Magister

Diajukan Oleh :
Dhemes Alin
NIM 2320930320051

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERITAS LAMBUNG MANGKURAT
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa
rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, rumah sakit
memiliki pintu utama yang salaH satunya adalah pelayanan gawat darurat. Gawat Darurat
adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Pelayanan gawat darurat
merupakan system yang kompleks dalam pelayanan rumah sakit, diperlukan alat kerja
yang tepat sehingga dalam pengelolaannya mampu menjamin keterkaitan kerja satu sama
lain serta saling ketergantungan antara tenaga kesehatan, alur kerja, dan kebutuhan akan
penunjang. Semua komponen tersebut saling berkaitan (Hospital- Based Emergency
Care: At the Breaking Point, 2006 dalam Eliawati et al 2020).
Tim pelayanan kesehatan merupakan sekelompok profesional yang mempunyai
aturan yang jelas, tujuan umum dan keahlian berbeda. Tim akan berjalan dengan baik bila
setiap anggota tim memberikan kontribusi yang baik. Anggota tim pembedahan gawat
darurat antara lain dokter bedah, anestesi, perawat, fisioterapis, radiolog, laboran, dan
juga apoteker. Kolaborasi antar profesi dalam pendidikan dan praktek sebagai suatu
strategi inovatif yang akan memainkan peran penting dalam mengurangi krisis tenaga
kerja kesehatan. Praktek kolaborasi memperkuat sistem kesehatan dan memperbaiki hasil
kesehatan. Kolaborasi yang kurang baik akan meningkatkan angka kesalahan dalam
proses pelayanan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Dalam suatu koordinasi terdapat adanya sifat saling tergantung dari setiap tim
yang sifatnya berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan organisasi
harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja. Jika
salah satu tim ada yang tidak bekerja dengan maksimal akan mempengaruhi outcome dari
tujuan yang ditetapkan (Titania, 2019).
Instalasi Gawat Darurat merupakan unit pelayanan pasien yang memberikan
pelayanan selama 24 jam untuk kasus-kasus gawat, darurat, gawat tidak darurat, darurat
tidak gawat, gawat dan darurat. Pasien Instalasi Gawat Darurat membutuhkan perlakuan
dan pelayanan khusus secara tepat dan cito, di mana penentuan kasus tersebut tergantung
dari keadaan pasien yang ditetapkan oleh dokter yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008; Shofari, 2010 dalam Indrawati et al
2020)
Pengelolaan alur yang tidak efektif di unit gawat darurat akan menimbulkan
ancaman serius dalam kualitas, keselamatan pasien serta waktu pelayanan dari unit gawat
darurat. Banyak faktor yang berkaitan menjadi penyebab tidak efektifnya alur di unit
gawat darurat, baik faktor external yang tidak bisa dikendalikan langsung oleh internal
rumah sakit maupun faktor operasional internal, salah satu faktor internal yang
menyebabkan tidak efektifnya alur pasien di unit gawat darurat adalah ketidakmampuan
memindahkan pasien ke rawat inap yang dituju sesuai dengan waktu yang diharapkan
atau yang disebut dengan boarding time (Smith, 2010). Definisi dari Boarding Time
adalah lamanya waktu tunggu rawat inap dari UGD sampai masuk ke ruang rawat inap,
diidentifikasi sebagai penyumbang utama terjadinya penumpukan pasien di UGD (United
States General Accounting Office 2003, Hoot & Aronsky 2008, Pines et.al., 2011 dalam
Eliawati et al 2020).
Waiting Time atau waktu tunggu pasien dalam hal ini terhadap pelayanan bedah
dan non bedah di ruangan IGD merupakan salah satu hal terpenting yang akan
menentukan citra pelayanan rumah sakit. Waktu tunggu pasien merupakan salah satu
komponen yang potensial menyebabkan ketidakpuasan. Pasien akan menganggap
pelayanan kesehatan jelek apabila sakitnya tidak sembuh – sembuh, lama mengantri, dan
petugas tidak ramah meskipun profesional (Ardiyani et al., 2015 dalam Indrawati et al
2020).
Pelayanan pasien gawat darurat memegang peranan yang sangat penting. Sebagai
pintu terdepan rumah sakit, IGD harus bisa memberikan pertolongan yang cepat dan tepat
untuk keselamatan pasien. (Wilde, 2009) telah membuktikan secara jelas tentang
pentingnya waktu tunggu (waiting time) bahkan pada pasien bedah maupun non bedah.
Mekanisme waiting time, berguna memastikan kesembuhan pasien dengan perawatan
yang cepat dan tepat. Kecepatan dan ketepatan pertolongan yang diberikan pada pasien
yang datang ke IGD memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya
sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan waiting time dengan
penanganan yang tepat. Kategori jarak antara waktu tunggu dan waktu periksa yang
diperkirakan bisa memuaskan atau kurang memuaskan pasien antara lain yaitu saat
pasien datang mulai dari mendaftar ke loket, antri dan menunggu panggilan ke poli
umum untuk dianamnesis dan diperiksa oleh dokter, perawat atau bidan lebih dari 6-8
jam (kategori lama), dan ≤ 90 menit (kategori cepat). Waktu tunggu di Indonesia
ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) melalui standar pelayanan minimal.
Setiap RS harus mengikuti standar pelayanan minimal tentang waktu tunggu ini. Standar
pelayanan minimal di rawat jalan ialah kurang atau sama dengan 4-6 jam (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2008 dalam Indrawati et al 2020).
Dalam standar yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan RI tentang Kamus
indikator kinerja terpilih (IKT) untuk tiap Rumah Sakit Daerah maupun Umum adalah
Emergency Response Time (ERT) yang merupakan waktu yang dibutuhkan pasien untuk
mendapatkan tindakan operasi cito. Pengumpulan data dilakukan dengan survey
observasi langsung sejak pasien diputuskan operasi sampai dengan pasien masuk ruang
operasi. Standart atau target yang ditetapkan adalah 4-6 jam dengan waktu tunggu itu.
Tujuannya agar pelayanan kegawatdaruratan cepat dan mampu menyelamatkan pasien
gawat Penyebab memanjangnya waktu tunggu (keterlambatan) operasi gawat darurat
adalah multifaktorial dan berbeda-beda pada tiap rumah sakit. Berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa penyebab pembatalan operasi dikarenakan tidak tersedia
waktu kosong kamar operasi sebesar 59,7%, adanya alasan medis dari pasien sebesar
10,8%, ketidakhadiran pasien pada hari operasi sebesar 16,2%, kemudian sebesar 5,4%
pembatalan operasi elektif dibatalkan oleh spesialis bedah karena perubahan rencana
operasi, 3,7% karena alasan administratif dan sekitar 4,2% dibatalkan karena alasan yang
bermacam-macam (Ardiyani et al., 2015 dalam Indrawati et al 2020).
Lamanya waktu tunggu rawat inap pada pasien yang masuk dari UGD yang
mencerminkan keefektifan proses alur di UGD disebabkan oleh berbagai faktor.
Beberapa penelitian menyatakan faktor- faktor yang mempengaruhi lamanya waktu
proses untuk rawat inap dari UGD atau boarding time diantaranya adalah tingkat
kegawatan, cara datang, pemeriksaan penunjang, diagnosa penyakit dan pemeriksaan
oleh dokter di UGD (Weir. 2006 dalam Eliawati et al 2020). Penelitian yang dilakukan
oleh Weir (2007) menggunakan model konseptual waktu tunggu
Input/Throughput/Output dalam mengukur lamanya alur proses di UGD. Penelitian lain
menyebutkan factor yang mempengaruhi lamanya waktu tunggu rawat inap dari UGD
adalah: pola pembayaran, banyaknya jumlah pasien yang ditangani di UGD serta
lamanya pemeriksaan penunjang (Litvak & Long, 2000 dalam Eliawati et al 2020).
Berdasarkan penelitian oleh Eliawati et al tahun 2020 didapatkan factor yang
berhubungan dengan Boarding Time di RS Awal Bros Pekanbaru adalah tingkat
kegawatdaruratan ternyata signifikan terhadap lamanya waktu tunggu rawat inap
(boarding time) dimana p value nya = 0,001, dengan OR= 4,66 , artinya pasien dengan
ESI 1-2 dapat mempengaruhi 4,66 kali waktu boarding time dibandingkan ESI 3-5.
Proporsi pasien ESI 1-2 dengan boarding time < 2 jam adalah 10,9%, sedangkan yang
boarding timenya > 2 jam sebesar 89,1%.Dari berbagai literature (Clark & Normile,
2006., Chalfin et.al, 2007., Wilper, et.el, 2008.) menyampaikan bahwa pasien dengan
kondisi emergency dan akut atau kritis agar lebih cepat dilakukan proses penanganan dan
transfer ke rawat inap. RS Awal Bros Pekanbaru dalam kebijakannya telah sesuai dengan
literature tersebut, dimana pada pasien dengan ESI 1-2 penangananya lebih cepat.
Gambaran jumlah pemeriksaan penunjang ; proporsi pasien dengan >2 pemeriksaan
adalah 73%, sedangkan < 2 pemeriksaan sebesar 27%. Pada uji analisis chi square antara
jumlah pemeriksaan penunjang dengan lamanya waktu tunggu, proporsi pasien > 2
pemeriksaan, 77% boarding timenya> 2 jam, sedangkan pada pasien dengan < 2
pemeriksaan, boarding time> 2 jam hanya 39,6%. Signifikansi adanya hubungan antara
jumlah pemeriksaan penunjang dengan lamanya waktu tunggu rawat inap (boarding time)
dibuktikan dengan p value=0,001. Dengan OR = 5,30, artinya pasien dengan pemeriksaan
penunjang > 2 dapat mempengaruhi boarding time 5,3 kali lebih lama disbanding pasien
dengan < 2 pemeriksaan. Pada uji statistik multivariat menggunakan regresi logistik,
faktor jumlah pemeriksaan penunjang juga memiliki hubungan yang signifikan dengan
lamanya waktu tunggu, dengan p value juga 0,001.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana analisis kepatuhan perawat
dan faktor-faktor yang berhubungan dengan lamanya waktu tunggu rawat inap (boarding
time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota Banjarbaru tahun 2023

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana analisis kepatuhan
perawat dan faktor-faktor yang berhubungan dengan lamanya waktu tunggu rawat
inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota Banjarbaru tahun
2023
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui hubungan kepatuhan perawat dengan lamanya waktu tunggu
rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota
Banjarbaru tahun 2023
b. Untuk mengetahui hubungan ketersediaan bed dengan lamanya waktu tunggu
rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota
Banjarbaru tahun 2023
c. Untuk mengetahui hubungan tingkat kegawatdaruratan dengan lamanya waktu
tunggu rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota
Banjarbaru tahun 2023
d. Untuk mengetahui hubungan pola pembayaran dengan lamanya waktu tunggu
rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota
Banjarbaru tahun 2023
e. Untuk mengetahui hubungan pola kedatangan dengan lamanya waktu tunggu
rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota
Banjarbaru tahun 2023
f. Untuk mengetahui hubungan kasus penyakit dengan lamanya waktu tunggu rawat
inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota Banjarbaru
tahun 2023
g. Untuk mengetahui hubungan pemeriksaan penunjang dengan lamanya waktu
tunggu rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota
Banjarbaru tahun 2023
h. Untuk mengetahui hubungan jumlah konsul dokter dengan lamanya waktu tunggu
rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD Idaman Kota
Banjarbaru tahun 2023

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sebagai pengembangan teori dan menambah referensi ilmu kesehatan masyarakat,
khususnya administrasi dan kebijakan kesehatan
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai informasi dan masukan untuk pimpinan dan manajemen RSD Idaman
Kota Banjarbaru dalam mengoptimalkan pelayanan di IGD khususnya mengenai
waktu tunggu ke ruang rawat inap pada pasien stroke.
b. Sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan kesehatan terkait dengan
SOP Boarding Time.

E. Keaslian Penelitian
Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian, maka dilakukan kajian terhadap
penelitian sebelumnya. Sepanjang penelusuran penulis belum ada penelitian yang secara
khusus meneliti tentang kepatuhan perawat dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
lamanya waktu tunggu rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di Wilayah Kerja
IGD RSD Idaman Kota Banjarbaru.
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Nama Judul Metode Perbedaan Hasil
1. Umi Analisis Penelitian ini merupakan Populasi dalam Hasil bivariat
Eliawati Faktor-Faktor penelitian kuantitatif penelitian ini ini Analisis
(2020) yang retrospektif dengan tidak ada rentang menunjukkan
berhubungan pendekatan cross usia ataupun bahwa di
dengan sectional. Model populasi tertentu antara semua
Lamanya konseptual waktu tunggu berbeda dengan variabel,
Waktu Tunggu atau model populasi yang faktor yang
Rawat Inap (I) Input/Throughput/Output ingin diteliti oleh berkontribusi
Di UGD RS adalah Kerangka kerja peneliti yaitu terhadap
Awal Bros yang digunakan dalam pada pasien waktu naik
Pekanbaru penelitian ini, yang stroke di wilayah pesawat
Tahun 2018 berfokus pada proses kerja RSD adalah triase
input dan throughput. Idaman Kota sistem (p
Banjarbaru value=
Jumlah sampel adalah 0,001), pola
374. Variable dalam pembayaran
penelitian ini (p value =
Pengumpulan data yaitu tingkat 0,017),
menggunakan instrumen kegawatdaruratan jumlah
penelitian dan gawat , pola pemeriksaan
darurat laporan kinerja. pembayaran, pola diagnostik (p
kedatangan, kasus value=0,001)
Analisis data penyakit, dan jumlah
menggunakan tabulasi pemeriksaan dokter yang
silang atau chi-square penunjang, berkonsultasi
untuk bivariat analisis, jumlah konsul (p value =
dan menggunakan dokter dan 0,041).
regresi logistik untuk lamanya waktu
analisis multivariat. tunggu (boarding Sedangkan
time). hal ini dari
berbeda dengan multivariat
variable yang Hasil analisis
akan diteliti yaitu menunjukkan
dengan bahwa
menambahkan variabel yang
variable memberikan
ketersediaan bed kontribusi
dan kepatuhan terhadap
perawat. waktu
boarding
adalah sistem
triage (p
value =
0,023) dan
jumlah
pemeriksaan
diagnostik (p
value =
0,001)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit dapat berfungsi sebagai tempat pelayanan akhir dalam penanganan
Pasien sesuai dengan kemampuannya. OIeh karena itu sarana, prasarana, dan sumber
daya Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus memadai, sehingga mampu menanggulangi
Pasien (“to save life and limb”) (Permenkes RI, 2018).
IGD adalah salah satu unit pelayanan di Rumah Sakit yang menyediakan
penanganan awal (bagi Pasien yang datang langsung ke Rumah Sakit)/lanjutan (bagi
Pasien rujukan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain ataupun dari PSC 119),
menderita sakit ataupun cedera yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. IGD
berfungsi menerima, menstabilkan dan mengatur Pasien yang membutuhkan
penanganan kegawatdaruratan segera, baik dalam kondisi sehari-hari maupun
bencana (Permenkes RI, 2018).
Secara garis besar kegiatan di IGD Rumah Sakit dan menjadi tanggung jawab
IGD secara umum terdiri dari (Permenkes RI, 2018):
a) Menyelenggarakan Pelayanan Kegawatdaruratan yang bertujuan menangani
kondisi akut atau menyelamatkan nyawa dan/atau kecacatan Pasien
b) Menerima Pasien rujukan yang memerlukan penanganan lanjutan/definitif dari
Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya.
c) Merujuk kasus-kasus Gawat Darurat apabila Rumah Sakit tersebut tidak mampu
melakukan layanan lanjutan/definitif.

Penanganan kegawatdaruratan di Rumah Sakit meliputi pelayanan kegawatdaruratan


level I, level II, level III, dan level IV. Adapun jenis pelayanan gawat darurat pada
level I sampai dengan level IV sebagai berikut:
Tabel 2.1 Pelayanan Kegawatdaruratan
Level I Level II Level III Level IV
Memberikan Memberikan Memberikan Memberikan
pelayanan sebagai pelayanan sebagai pelayanan sebagai pelayanan sebagai
berikut: berikut: berikut: berikut:
a) Diagnosis & a) Diagnosis & a) Diagnosa & a) Diagnosis &
penanganan: penanganan: penanganan penanganan:
permasalahan permasalahan permasalahan permasalahan
pada: A: jalan pada jalan nafas pada A, B, C, pada A,B,C
nafas (airway (airway dengan alat yang dengan alat
problem), B: problem), lebih lengkap lengkap
ventilasi ventilasi termasuk termasuk
pernafasan pernafasan ventilator ventilator
(breathing (breathing b) Melakukan b) Melakukan
problem), dan C: problem) dan resusitasi dasar, resusitasi dasar,
sirkulasi sirkulasi Penilaian Penilaian
pembuluh darah b) Melakukan disability, disability,
(circulation resusitasi dasar, penggunaan penggunaan
problem) Penilaian obat, EKG, obat, EKG,
b) Melakukan disability, defibrilasi defibrilasi
resusitasi dasar, penggunaan c) Evakuasi dan c) Observasi ROE
stabilisasi dan obat, EKG, rujukan antar (Ruang
evakuasi defibrilasi Fasyankes. Observasi
c) Evakuasi dan d) ROE (Ruang Emergensi)
rujukan antar Observasi d) Bedah
Fasyankes. Emergensi) emergensi
d) Bedah e) Bedah emergensi e) Anestesi
emergensi emergensi
Sumber : (Permenkes RI, 2018)

Rumah Sakit harus dapat melaksanakan pelayanan triase, survei primer, survei
sekunder, tatalaksana definitif dan rujukan. Apabila diperlukan evakuasi, Rumah
Sakit yang menjadi bagian dari SPGDT dapat melaksanakan evakuasi tersebut
(Permenkes RI, 2018).

a) Triase
Setiap Rumah Sakit harus memiliki standar triase yang ditetapkan oleh
kepala/direktur Rumah Sakit.
1) Triase merupakan proses khusus memilah Pasien berdasarkan beratnya cedera
atau penyakit untuk menentukan jenis penanganan/intervensi
kegawatdaruratan.
2) Triase tidak disertai tindakan/intervensi medis
3) Prinsip triase diberlakukan sistem prioritas yaitu penentuan/penyeleksian
mana yang harus didahulukan mengenai penanganan yang mengacu pada
tingkat ancaman jiwa yang timbul berdasarkan:
a. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit
b. Dapat mati dalam hitungan jam
c. Trauma ringan
d. Sudah meninggal
4) Prosedur triase :
a. Pasien datang diterima tenaga kesehatan di IGD Rumah Sakit
b. Di ruang triase dilakukan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas) untuk
menentukan derajat kegawatdaruratannya oleh tenaga kesehatan dengan
cara:
1. Menilai tanda vital dan kondisi umum Pasien
2. Menilai kebutuhan medis
3. Menilai kemungkinan bertahan hidup
4. Menilai bantuan yang memungkinkan
5. Memprioritaskan penanganan definitif
c. Namun bila jumlah Pasien lebih dari 50 orang, maka triase dapat
dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD Rumah Sakit).
d. Pasien dibedakan menurut kegawatdaruratannya dengan memberi kode
warna (Permenkes RI, 2018):
1. Kategori merah: prioritas pertama (area resusitasi) Pasien cedera berat
mengancam jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong
segera.
2. Kategori kuning: prioritas kedua (area tindakan) Pasien memerlukan
tindakan defenitif tidak ada ancaman jiwa segera.
3. Kategori hijau: prioritas ketiga (area observasi) Pasien degan cedera
minimal, dapat berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari
pertolongan.
4. Kategori hitam: prioritas nol Pasien meninggal atau cedera fatal yang
jelas dan tidak mungkin diresusitasi
e. Pasien kategori merah dapat langsung diberikan tindakan di ruang
resusitasi, tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut, Pasien
dapat dipindahkan ke ruang operasi atau di rujuk ke Rumah Sakit lain.
f. Pasien dengan kategori kuning yang memerlukan tindakan medis lebih
lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran setelah
Pasien dengan kategori merah selesai ditangani.
g. Pasien dengan kategori hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila
sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka Pasien diperbolehkan
untuk dipulangkan.
h. Pasien kategori hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar jenazah.
5) Rumah Sakit harus mampu (Permenkes RI, 2018):
a. Mengkategorikan status Pasien, apakah masuk ke dalam kategori merah,
kuning, hijau atau hitam berdasarkan prioritas atau penyebab ancaman
hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Environment).
b. Menilai ulang terus menerus (status triase karena kondisi Pasien berubah
maka dilakukan retriase).
c. Menggunakan Tag Triase (pemberian label pada Pasien) karena sangat
penting untuk menentukan prioritas pelayanan apabila Rumah Sakit
tersebut melayani Pasien saat terjadi bencana alam ataupun kejadian
bencana lainnya yang terdapat Pasien dalam jumlah banyak.

2. Boarding Time (Waktu Tunggu)


Emergency boarding time adalah waktu (dalam menit) yang diperlukan oleh
pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk ke ruang rawat inap setelah pasien
diputuskan untuk rawat inap oleh dokter IGD (Fogarty & Saunders, 2014). Boarding
time yang memanjang akan menyebabkan pelayanan menjadi terhambat dan
mengakibat kejadian yang tidak diinginkan (White & Biddinger, 2012). Menurut
Joint Commission International (JCI) dan Centre for Medicare & Medical Services
(CMS) memperpendek emergency boarding time harus menjadi prioritas rumah sakit
untuk menjaga keselamatan pasien dan kualitas pelayanan. Pada tahun 2012, The
Emergency Department Benchmarking Alliance (EDBA) melakukan pengukuran
rata-rata emergency boarding time. Waktu tunggu ratarata terlama di IGD dengan
jumlah pasien 80.000 – 100.000 per tahun adalah 160 menit, sedangkan IGD dengan
jumlah pasien kurang dari 20.000 per tahun waktu tunggu rata-ratanya adalah 65
menit. Hal ini merupakan salah satu indikator yang penting untuk pelayanan IGD.
Laporan The American Hospital Associaton (2002), waktu tunggu pasien transisi
yang menunggu ketersediaan tempat tidur untuk rawat inap untuk kasus pasien akut
mauput kritis lebih dari 3 jam. Waktu tunggu pasien transisi akan bertambah 2 kali
lipat saat IGD sibuk. Tidak ada standar baku untuk menetapkan waktu tunggu pasien
transisi. Bayley, et al (2005) mendefinisikan pasien transisi adalah pasien yang
menunggu tersedianya tempat tidur rawat inap lebih dari 3 jam pada kasus nyeri
jantung. Diercks, et al (2007) menyebutkan pasien transisi adalah pasien yang dirawat
di IGD lebih dari 8 jam pada kasus pasien dengan unstable angina. Hasil konsensus
pada kegiatan Emergency Department Performance Measures and Bechmarking
Summit (2007), pasien transisi didefinisikan sebagai pasien dengan waktu interval
lebih dari 2 jam antara kedatangan di IGD dengan pengambilan keputusan untuk
dirawat inap.
Aliran pasien yang terhambat, menyebabkan kesibukan yang meningkat dan dapat
berdampak luas. Kesibukan yang terjadi di IGD berdampak pada meningkatnya
beban kerja staf yang terbatas di IGD, ditambah dengan adanya beban pasien transisi.
Kondisi yang sangat sibuk ini tentu juga berdampak pada menurunnya kepuasan
pasien dan staf. Isu keselamatan pasien, seperti meningkatnya kesalahan. Kesibukan
di IGD berdampak pula pada kondisi di unit lainnya, seperti rawat inap maupun
layanan penunjang. Beban kerja yang bertambah, sedangkan jumlah staf yang terbatas
berpotensi meningkatkan kesalahan medis. Pasien transisi yang menunggu
ketersediaan tempat tidur rawat inap di unit lainnya juga berdampak pada IGD yang
tidak dapat menerima pasien rujukan karena sangat sibuk. Pasien transisi juga sangat
rentan terhadap pelayanan yang kurang berkualitas, isu keselamatan pasien,
pelayanan yang kurang sesuai standar, keterlambatan pelayanan, privacy patient yang
tidak terjaga dan kesalahan saat akan ditransfer. Adanya pasien transisi memerlukan
peningkatan rasio pasien-perawat di IGD (Rundolph, 2010).
Faktor utama yang berkontribusi terhadap lamanya waktu tunggu pasien transisi
di IGD adalah tidak tersedianya tempat tidur di rawat inap (Hodgins et al., 2011; Hoot
dan Aronsky, 2008; Prenney 2010). Pemaparan Hall et al., (2006) dari penelitian studi
kasus di Los Angeles County Hospital menjelaskan pengaturan tempat tidur
dilakukan oleh Bed Control Unit (BCU). Unit ini berkoordinasi dengan perawat di
IGD dan bangsal. Bed Control Unit (BCU) menempatkan pasien IGD berdasarkan
diagnosis, menghubungi staf di IGD dan bangsal dengan segera setelah tempat tidur
tersedia. Informasi ketersediaan tempat tidur didapatkan oleh BCU dari sistem
informasi dan komunikasi informal diantara staf. Kesulitan yang dihadapi oleh BCU
adalah mendapatkan gambaran secara menyeluruh ketersediaan tempat tidur, karena
keterlambatan penilaian tempat tidur oleh petugas kebersihan (housekeeping) dan
keterlambatan informasi.
Penelitian Powell et al., (2012) yang dilakukan di Rumah Sakit Pendidikan
Massachusetts, Boston menemukan adanya hubungan kepulangan pasien dari rawat
inap dengan adanya pasien yang menginap di IGD. Setiap harinya terdapat 77 pasien
yang menginap di IGD untuk di transfer ke rawat inap. Temuan menarik dari
penelitian ini, dengan adanya pergeseran pemulangan pasien 1 jam lebih awal dari
waktu puncak pada pukul 2 siang dan 3 sore dapat menurunkan pasien menginap di
IGD sebanyak 50%. Pemulangan pasien 4 jam lebih awal dan Pemulangan 75%
pasien diantara jam 8 pagi dan 4 sore dapat mengatasi antrian pasien yang menginap
di IGD. Mendukung hasil penelitian Powell, et.al., Graban (2012) menyatakan proses
pemulangan pasien juga merupakan faktor yang memperburuk aliran pasien.
Keterlambatan kepulangan pasien menghambat aliran pasien dari unit lain, seperti
IGD. Kondisi ini menyebabkan pasien tidak dapat ditransfer ke rawat inap dengan
segera sehingga mengakibatkan peningkatan LOS pasien. Peningkatan LOS pasien
memberi dampak langsung bagi rumah sakit yang melayani pasien asuransi, yaitu
meningkatnya biaya tanpa penggantian. Keterlambatan kepulangan pasien yang dapat
dicegah dan berkurangnya LOS, mampu memberi keuntungan pada rumah sakit
sebesar 6 juta dolar. Hasil penelitian studi kasus di Los Angeles County Hospital
menjelaskan ketepatan waktu dalam pemulangan pasien merupakan salah satu aspek
yang dapat memperlancar aliran pasien, yaitu dengan menghilangkan sumbatan
(bottleneck) dan mengurangi antrian. Ketepatan dalam pemulangan pasien akan tetap
menghambat ketersediaan tempat tidur, karena adanya keterlambatan informasi antara
perawat di rawat inap dan petugas kebersihan dalam mempersiapkan ruangan.
Kondisi ini seringkali menyebabkan perawat membersihkan sendiri ruangan dan
menimbulkan ambiguitas informasi tempat tidur yang tersedia (Hall et al., 2006).
Lamanya waktu tunggu rawat inap pada pasien yang masuk dari UGD yang
mencerminkan keefektifan proses alur di UGD disebabkan oleh berbagai faktor.
Beberapa penelitian menyatakan faktor- faktor yang mempengaruhi lamanya waktu
proses untuk rawat inap dari UGD atau boarding time diantaranya adalah tingkat
kegawatan, cara datang, pemeriksaan penunjang, diagnosa penyakit dan pemeriksaan
oleh dokter di UGD (Weir. 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Weir (2007)
menggunakan model konseptual waktu tunggu Input/Throughput/Output dalam
mengukur lamanya alur proses di UGD. Penelitian lain menyebutkan factor yang
mempengaruhi lamanya waktu tunggu rawat inap dari UGD adalah: pola
pembayaran, banyaknya jumlah pasien yang ditangani di UGD serta lamanya
pemeriksaan penunjang (Litvak & Long, 2000 dalam Eliawati et al, 2020).

3. Stroke
a. Pengertian Stroke
Stroke disebut juga dengan gangguan peredaran darah otak atau GPDO
yang dapat mengakibatkan kehilangan fungsi otak, dan merupakan penyakit
serebrosvaskular yang terjadi selama beberapa tahun. Stroke merupkan sindrom
klinis yang timbulnya mendadak, progresif cepat, serta berupa defisit neurologis
lokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih. Stroke dapat
menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non
traumatik (Ariani, 2012; Harsono 2003). Stroke adalah serangan otak yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah dan oksigen ke otak atau bisa disebabkan
oleh perdarahan (Al-Qazzaz, et al, 2014).
b. Frekuensi Stroke
1) Stroke pertama menurut WHO adalah stroke yang terjadi kepada seseorang
yang belum pernah mengalami stroke sebelumnya. TIA yang pernah terjadi
bukan merupakan stroke pertama, karena berlangsung kurang dari 24 jam
(WHO, 2006). Stroke iskemik pertama adalah adanya tanda gangguan
neurologi fokal yang mendadak, yang disebabkan karena obstruksi atau
penyempitan pembuluh darah arteri otak yang merupakan episode pertama dan
menunjukkan gambaran infark pada CT scan.
2) Stroke berulang, menurut WHO tahun 2006 stroke berulang adalah seseorang
yang memilki riwayat stroke sebelumnya (WHO, 2006). Definisi stroke
berulang pada dasarnya sama dengan stroke pertama atau stroke indeks, namun
dengan kriteria tambahan seperti defisit neurologi baru atau penururnan defisit
sebelumnya tidak dianggap sebagai karena edema, transmisi hemoragik, dan
intercurrent illness (Hillen, et al, 2003). Kriteria stroke ulang adalah terjadinya
defisit neurologis mendadak pada daerah vaskuler, berlangsung lebih dari 24
jam dan terjadi setiap saat (sering 1 minggu) setelah serangan sebelumnya dan
terjadi ≥ 2 kali. Gambaran CT scan menunjukkan infark akut.
c. Etiologi
Mekanisme vaskular yang menyebabkan stroke dapat dklasifikasikan sebagai
berikut (Ariani, 2012; Ginsberg, 2005):
1) Trombosis Serebral
Perlambatan sirkuasi serebral dan arteriosklerosis serebral adalah penyebab
utama trombosis serebral. trombosis ini dapat disebabkan oleh satu atau lebih
dari tria Virchow, yaitu abnormalitas dinding pembuluh darah, abnormalitas
darah (polisitemia) dan gangguan aliran darah. Sakit kepala merupakan onset
yang paling umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing, perubahan
kognitif, atau kejang dan beberapa mengalami onset yang tidak dapat
dibedakan dari hemoragik intraserebral atau embolisme serebral (Ariani,
2012; Ginsberg 2005).
2) Embolisme Serebral
Embolisme merupakan komplikasi dari penyakit degenaratif arteri dan dapat
juga berasal dari jantung. Embolisme dapat meyumbat arteri serebral tengah
atau cabang-cabangnya sehingga merusak sirkulasi serebral. Karakteristik
onset yang terjadi seperti hemiplegia tiba-tiba dengan afasia, tanpa afasia,
kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal
(Ariani, 2012; Ginsberg, 2005).
3) Iskemik Serebral
Iskemik serebral adalah insufisiensi suplai darah ke otak, yang terjadi karena
konstriksi ateroma pada arteri yang meyuplai darah ke otak (Ariani, 2012).
4) Hemoragik
a) Hemoragik ekstradural (hemoragik epidural) adalah kedaruratan bedah
neuro yang memerlukan perawatan segera. Dalam keadaan ini juga bisa
terjadi fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah dan arteri
meninges lain, sehingga pasien harus diatasi dalam beberapa jam cedera
untuk dapat mempertahankan hidup (Ariani, 2012).
b) Hemoragik subdural pada dasarnya sama dengan hemoragik epidural,
namun hematoma subdural biasanya terjadi karena jembatan vena robek.
Oleh karena itu, periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin mengalami
hemoragik subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau gejala (Ariani,
2012).
c) Hemoragik subaraknoid dapat terjadi akibat trauma atau hipertensi, tetapi
penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area
sirkulus Wilisi dan malformasi arteri vena kongenital pada otak.
Perdarahan subaraknoid paling sering terjadi akibat ruptur aneurisma
(Ariani, 2012; Ginsberg, 2005).
d) Hemoragik intraserebral adalah perdarahan di jaringan dalam otak,
biasanya terjadi pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral
yang disebabkan oleh perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya
menyebabkan ruptur pembuluh darah. Onset datang dengan tiba-tiba,
diikuti sakit kepala berat. Bila hemoragi membesar, makin jelas defisit
neurologi yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan
abnormalitas pada tanda vital (Ariani, 2012; Ginsberg, 2005).
d. Klasifikasi Stroke
Gangguan peredaran darah otak atau stroke dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu non-hemoragik/sikemik dan stroke hemoragik serta TIA (Transient
Ischemic Attack) dipertimbangkan menjadi klasifikasi yang ketiga atau disebut
dengan mini stroke, sebagai berikut (Al-Qazzaz, et al, 2014):
1) Stroke non-hemoragik
Stroke non hemoragik atau stroke iskemik (infark atau kematian jaringan)
yang sering terjadi pada usia 50 tahun atau lebih dan terjadi pada malam
hingga pagi hari. Stroke iskemik terbagi menjadi dua yaitu embolik yang
terjadi karena aliran darah terhalangi ke otak yang disebabkan oleh adanya
bekuan darah pada arteri, pembekuan berasal dari jantung yang melewati
aliran darah ke otak, dan trombolitik yang terjadi akibat aliran darah yang
mengalami gangguan simpanan lemak, sehingga menyebabkan sumbatan
didinding pembuluh darah (Al-Qazzaz, et al, 2014; Batticaca, 2008).
2) Stroke Hemoragik
Perdarahan intrakranial dibedakan berdasarkan tempat perdarahannya, yaitu
di rongga subaraknoid atau di dalam parenkim otak (intraserebral), dapat
juga terjadi secara bersamaan seperti perdarahan subaraknoid yang bocor ke
dalam otak atau sebaliknya. Selanjutnya gangguan-gangguan arteri yang
menimbulkan perdarahan otak spontan dibedakan lagi berdasarkan ukuran
dan lokasi regional otak (Ariani, 2012).
a) Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian
masuk ke dalam jaringan otak serta bukan disebabkan oleh trauma
(Ginsberg, 2008; Harsono, 2003)
b) Perdarahan subarakhnoid (PSA)
Perdarahan subarakhnoid ditandai oleh onset mendadak nyeri kepala
yang berat, dapat pula disertai hilangnya kesadaran, muntah, atau
kejang. Perdarahan pada rongga subaraknoid paling sering terjadi akibat
ruptur aneurisma, yaitu kelemahan kongenital yang terjadi umumnya
pada percabangan sirkulus wilisi, dan malformasi arteriovenosa
(angioma) yaitu pembuluh darah anomali yang malformasi, juga
kongenital yang membesar dan terjadi saat dewasa (Bradley, Rubenstein,
& Wayne, 2005; Ginsberg, 2008).
3) TIA (Transient Ischemic Attack)
Serangan iskemik sementara atau Transient Ischemic Attack (TIA)
dipertimbangkan sebagai tipe stroke yang ketiga dan biasa disebut sebagai
”mini stroke”. TIA merupakan serangan yang menghasilkan gangguan
sementara dari aliran darah ke bagian otak (Al-Qazzaz, et al, 2014).
e. Tanda dan Gejala Stroke
1) Defisit lapang penglihatan
Defisit lapang penglihatan yang terjadi terdiri atas a) Homonimus
hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan) dengan tanda gejalanya
seperti tidak menyadari orang atau objek di tempat kehilangan, mengabaikan
salah satu sisi tubuh, dan kesulitan manilai jarak hingga dapat terjadi buta
mendadak apabila terkena dibagian arteri karotis interna, b) Kehilangan
penglihatan perifer, tanda gejalanya yaitu kesulitan melihat pada malam hari
dan tidak menyadari objek atau batas objek, dan, c) Diplopia yaitu penglihatan
ganda (Ariani, 2012; Harsono, 2003).
2) Defisit motorik
Defisit motorik memiliki beberapa gejala yang terdiri atas a) Hemiparesis
yaitu kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama. Paralisis wajah
terjadi karena lesi pada hemisfer yang berlawanan. Kelumpuhan tungkai lebih
menonjol bila sumbatan yang terjadi dibagian arteri serebri anterior, b) Ataksia
yaitu berjalan tidak mantap,tidak mampu menyatukan kaki, dan perlu dasar
berdiri yang luas. c) Disartria yaitu kesulitan dalam membentuk kata. d)
Disfagia yaitu kesulitan dalam menelan (Ariani, 2012; Harsono, 2005).
3) Defisit verbal
Defisit verbal memilki tanda gejala seperti a) Afasia ekspresi yaitu
ketidakmampuan membentuk kata, hanya mampu bicara dalam respons kata
tunggal, b) Afasia reseptif yaitu ketidakmampuan untuk memahami kata yang
dibicarakan dan mampu bicara tetapi tidak masuk akal, dan c) Afasia global
yaitu kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif (Ariani, 2012).
4) Defisit Kognitif
Defisit kognitif terjadi pada penderita stroke seperti, kehilangan memori jangka
pendek dan panjang, penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk
berkonsentrasi, alasan abstrak buruk, perubahan penilaian (Ariani, 2012).
5) Defisit Emosional
Defisit emosional terjadi pada penderita stroke, yang akan mengalami hal
seperti kehilangan kontrol diri, labilitas emosional, penurunan toleransi pada
situasi yang menimbulkan stres, depresi, menarik diri, rasa takut, bermusuhan,
marah, dan mudah menangis, serta perasaan isolasi (Ariani, 2012; Harsono,
2005).
f. Patofisiologi Stroke
Otak sangat bergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan
oksigen. Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi darah pada otak
akan menyebabkan keadaan hopoksia atau anoksia. Bila terjadi anoksia maka
metabolisme di otak segera mengalami perubahan, kematian sel dan kerusakan
permanen dapat terjadi dalam 3 sampai 10 menit. Hipoksia yang berlangsung
lama bisa menyebabkan iskemik otak. Iskemik otak yang berlangsung singkat ≤
10-15 menit dapat menyebabkan defisit sementara, sedangkan iskemik otak yang
berlangsung lama dapat menyebabkan sel mati permanen dan mengakibatkan
infark pada otak yang disertai dengan edema otak karena pada daerah yang dialiri
darah terjadi penurunan perfusi dan oksigen, serta peningkatan karbondioksida
dan asam laktat (Ariani, 2012; Batticaca, 2012). Setiap defisit fokal permanen
akan bergantung pada daerah otak mana yang terkena. Daerah otak yan terkena
akan menggambarkan pembuluh darah otak yang terkena. Pembuluh darah yang
paling sering mengalami iskemik adalah arteri serebral tengah dan arteri karotis
interna. Defisit fokal permanen tidak dapat diketahui jika klien pertama kali
mengalami iskemik otak total yang dapat teratasi. Jika aliran darah ke tiap bagian
otak terhambat karena trombus atau emboli, maka suplai oksigen ke jaringan otak
berkurang. Kekurangan oksigen dalam satu menit dapat menunjukan gejala yang
dapat pulih seperti kehilangan kesadaran. Sedangkan kekurangan oksigen dalam
waktu yang lebih lama menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area
yang mengalami nekrosis disebut infark. Gangguan peredaran darah otak akan
menimbulkan gangguan pada metabolisme sel-sel neuron, di mana sel-sel neuron
tidak mampu menyimpan glikogen sehingga kebutuhan metabolisme glukosa dan
oksigen yang terdapat pada arteri-arteri yang menuju otak terganggu (Batticaca,
2012). Perdarahan intrakranial termasuk perdarahan ke dalam ruang subaraknoid
atau ke dalam jaringan otak sendiri. Hipertensi mengakibatkan timbulnya
penebalan dan degeneratif pembuluh darah yang dapat menyebabkan rupturnya
arteri serebral sehingga peredaran menyebar dengan cepat dan menimbulkan
perubahan setempat serta iritasi pada pembuluh darah otak (Batticaca, 2012).
Perdarahan biasanya berhenti karena pembentukan trombus oleh fibrin
trombosit dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu, darah mulai direabsorbsi.
Ruptur ulangan merupakan risiko serius yang terjadi sekitar 7-10 hari setelah
perdarahan pertama. Ruptur ulangan mengakibatkan terhentinya aliran darah ke
bagian tertentu, menimbulkan iskemik fokal, dan infark jaringan otak. Hal
tersebut menimbulkan gegar otak dan kehilangan kesadaran., peningkatan tekanan
cairan serebrospinal (CSS), dan menyebabkan gesekan otak (Ariani, 2012;
Batticaca, 2012). Perubahan sirkulasi CSS, obstruksi vena, adanya edema dapat
meningkatkan tekanan intrakranial yang membahayakan jiwa dengan cepat.
Peningkatan tekanan intrakranial yang tidak diobati mengakibatkan herniasi
unkus atau serebellum. Di samping itu, terjadi bradikardi, hipertensi sistemik, dan
gangguan pernapasan. Darah merupakan bagian yang merusak bila terjadi
hemodialisa, darah dapat meiritasi pembuluh darah, meningen dan otak. Darah
dan vasoaktif yang dilepas mendorong spasme arteri yang berakibat menurunnya
perfusi serebral. Spasme serebri atau vasospasme biasa terjadi pada hari ke-4
sampai ke-10 setelah terjadinya perdarahan dan menyebabkan konstriksi arteri
otak. Vasospasme merupakan komplikasi yang mengakibatkan terjadinya
penurunan fokal neurologis, iskemik otak dan infark (Batticaca, 2012).
g. Penanganan Stroke saat Periode Emas
Saat terjadi serangan stroke, maka pasien harus segera dibawa ke rumah
sakit untuk mendapatkan penanganan. Pasien tidak diperkenankan mendapatkan
penanganan dari orang yang belum ahli karena bisa berakibat fatal. Penyakit
stroke merupakan salah satu gangguan pada fungsi otak yang terjadi lebih dari 24
jam dan menyebabkan penyumbatan pembuluh darah. Lantaran terjadi cukup
singkat dan mendadak, periode stroke terjadi sekitar 4,5 jam semenjak serangan.
Dengan membawa ke rumah sakit, mampu mengurangi dampak yang
ditimbulkan.Meskipun periode emas penderita stroke sekitar 4,5 jam sebaiknya
pasien segera datang maksimal 2 jam setelah serangan berlangsung. Hal ini
lantaran serangan stroke yang terjadi selama 1 menit membuat 32 ribu sel mati.
Maka dalam waktu sekitar 1 jam, 120 juta sel mati. Semakin lama penanganan
pada penderita stroke, maka dampak yang ditimbulkan kompleks. Waktu menjadi
indikator paling penting bagi penderita stroke. Upaya penanganan pasien
berlangsung selama 6 jam dengan menggunakan alat bantu. Namun pada
beberapa kondisi, penanganan bisa lebih dari 12 jam. Semakin lama waktu
penanganan, maka kondisi pasien akan memburuk. Jika pasien penderita stroke
mengalami penyumbatan darah, maka penanganan akan dilakukan dengan
memberikan obat trombolisis untuk pelepasan penyumbatan kurang dari 1 jam.
Jika penyumbatan pembuluh darah besar, maka penanganan dilakukan dengan
memakai alat CathLab. Namun, jika pembuluh darah pecah penanganan
dilakukan dengan memakai alat kateterisasi untuk mengeluarkan pecahan darah.
Selanjutnya jika pendarahan pada pasien stroke terjadi cukup besar, maka harus
dilakukan operasi
h. Penatalaksanaan Stroke
Kematian dan deteriosasi neurologis minggu pertama stroke iskemik terjadi
karena adanya edema otak. Edema otak timbul dalam beberapa jam setelah stroke
iskemik dan mencapai puncaknya 24-96 jam. Edema otak mula-mula cytofosic
karena terjadi gangguan pada metabolisme seluler kemudian terdapat edema
vasogenik karena rusaknya sawar darah otak setempat. Untuk menurunkan edema
otak, dilakukan hal-hal berikut ini (Ariani, 2012):
1) Naikkan posisi kepala dan badan bagian atas setinggi 20-300
2) Hidarkan pemberian cairan intravena yang berisi glukosa atau cairan
hipotonik.
3) Pemberian osmoterapi
a) Bolus marital 1 gr/kgBB dalam 20-30 menit kemudian dilanjutkan dengan
dosis 0,25 gr/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target
osmolarita 300-320 mmol/liter.
b) Gliserol 50% oral 0,25-1 gr/kgBB dalam 3-4 jam (untuk edema serebri
ringan-sedang)
c) Furosemide 1 mg/kgBB intravena
4) Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik sampai PCO 2
= 29-35 mmHg.
5) Tindakan bedah dikompresif perlu dikerjakan apabila terdapat supratentoral 8,
dengan pergesern line mediarea atau serebral infark disertai efek rasa.
6) Steroid dianggap kurang menguntungkan untuk terapi udara serebral karena
menyebabkan hiperglikemia dan naiknya risiko infeksi.
i. Pencegahan Stroke
Sekitar 50% stroke, pencegahan yang dilakukan yaitu dengan cara
memodifikasi faktor resiko dan merubah gaya hidup. Strategi pencegahan primer
stroke iskemik dengan kontrol hipertensi, menggunakan statin dan ACEIs
(angiotension-converting enzyme inhibitors) serta antikoagulan. Sedangkan untuk
perubahan gaya hidup dengan melakukan rutinitas seperti erobik, kurangi berat
badan untuk seseorang yang obesitas, kontrol glukosa untuk seseorang yang
diabetes, berhenti merokok, dan diet (Ledge, et al, 2012).
j. Perubahan yang disebabkan oleh Stroke
1) Akibat stroke secara umum
American Heart Association pada tahun 2012 menyatakan stroke dapat
mengakibatkan berbagai macam gangguan seperti a) Hemiparesis yaitu
kelemahan pada satu sisi bagian tubuh atau hemiplegia yaitu paralisis pada
satu sisi bagian tubuh), b) Disartria yaitu kesulitan berbicara atau bicara tidak
jelas, atau dispagia yaitu sulit menelan, c) Keletihan, d) Kehilang kontrol
emosi dan perubahan mood, e) Perubahan kognitif seperti masalah terhadap
memori, mengambil keputusan, f) Perubahan perilaku seperti perubahan diri,
dan bahasa yang tidak benar, dan g) Penurunan jarak pandang yaitu
ketidakmampuan untuk melihat sekeliling) dan masalah terhadap persepsi
penglihatan.
2) Perubahan Karena Cidera Otak Kiri
American Heart Association pada tahun 2012 menyatakan perubahan yang
terjadi berupa a) kelemahan dibagian kanan tubuh b) Apasia (kesulitan untuk
berbicara atau memahami apa yang akan dibicarakan), dan c) prilaku yang
lebih diam dan berhati-hati.
3) Perubahan Karena Cidera Otak Kanan
American Heart Association pada tahun 2012 menyatkan perubahan yang
terjadi berupa a) paralisis atau kelemahan dibagian kiri tubuh b) Perilaku
yang lebih menuruti kata hati dan kurang hati-hati, dan c) Memiliki ekspresi
yang kurang dan suara yang lebih rendah saat berkomunikasi.
4) Akibat Stroke Secara Emosional
American Heart Association pada tahun 2012 menyatakan akibat stroke
secara emosional yaitu seperti a) Depresi, b) Apatis dan kurang motivasi, c)
Frustasi, marah dan sedih, serta d) Pengaruh pseudobullar, biasa disebut
dengan reflek menangis atau emosi yang labil (emosi dapat berubah secara
cepat dan terkadang tidak sesuai dengan mood).
4. Kepatuhan
a. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh yang berarti taat, suka menurut perintah.
Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku
yang disarankan dokter atau oleh orang lain (Santoso, 2005). Menurut
Notoatmodjo (2003) kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku
yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan
(Notoatmodjo,2003). Menurut Kozier (2010) kepatuhan adalah perilaku individu
(misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup)
sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak
mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi rencana. Menurut Safarino
(dalam Tritiadi, 2007) mendefinisikan kepatuhan atau ketaatan (compliance atau
adherence) sebagai: “tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku
yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain”. Pendapat lain dikemukakan
oleh Sacket (Dalam Neil Niven, 2000) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai
“sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
professional kesehatan”. Pasien mungkin tidak mematuhi tujuan atau mungkin
melupakan begitu saja atau salah mengerti instruksi yang diberikan.
b. Faktor-Faktor yang memengaruhi Kepatuhan
Faktor – factor yang mempengaruhi kepatuhan menurut Kamidah (2015)
diantaranya :
1) Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengar, pencium, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2007).
2) Motivasi
Motivasi adalah keinginan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk
berperilaku. Motivasi yang baik dalam mengkonsumsi tablet kalsium untuk
menjaga kesehatan ibu hamil dan janin, keinginan ini biasanya hanya pada
tahap anjuran dari petugas kesehatan, bukan atas keinginan diri sendiri.
Semakin baik motivasi maka semakin patuh ibu hamil dalam mengkonsumsi
tablet kalsium karena motivasi merupakan kondisi internal manusia seperti
keinginan dan harapan yang mendorong individu untuk berperilaku agar
mencapai tujuan yang dikehendakinya (Budiarni,2012).
3) Dukungan Keluarga
Upaya yang dilakukan dengan mengikutkan peran serta keluarga adalah
sebagai faktor dasar penting yang ada berada disekeliling ibu hamil dengan
memberdayakan anggota keluarga terutama suami untuk ikut membantu para
ibu hamil dalam meningkatkan kepatuhannya mengkonsumsi tablet kalsium .
Upaya ini sangat penting dilakukan, sebab ibu hamil adalah seorang individu
yang tidak berdiri sendiri, tetapi ia bergabung dalam sebuah ikatan
perkawinan dan hidup dalam sebuah bangunan rumah tangga dimana faktor
suami akan ikut mempengaruhi pola pikir dan perilakunya termasuk dalam
memperlakukan kehamilannya (Amperaningsih, 2011).
c. Cara Mengukur Kepatuhan
Menurut Feist (2014) setidaknya terdapat lima cara yang dapat digunakan untuk
mengukur kepatuhan pada pasien, yaitu :
1) Menanyakan pada petugas klinis
Metode ini adalah metode yang hampir selalu menjadi pilihan terakhir untuk
digunakan karena keakuratan atas estimasi yang diberikan oleh dokter pada
umumnya salah.
2) Menanyakan pada individu yang menjadi pasien
Metode ini lebih valid dibandingkan dengan metode yang sebelumnya.
Metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu: pasien mungkin saja berbohong
untuk menghindari ketidaksukaan dari pihak tenaga kesehatan, dan mungkin
pasien tidak mengetahui seberapa besar tingkat kepatuhan mereka sendiri. Jika
dibandingkan dengan beberapa pengukuran objektif atas konsumsi obat
pasien, penelitian yang dilakukan cenderung menunjukkan bahwa para pasien
lebih jujur saat mereka menyatakan bahwa mereka tidak mengkonsumsi obat.
3) Menanyakan pada individu lain yang selalu memonitor keadaan pasien.
Metode ini juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, observasi tidak
mungkin dapat selalu dilakukan secara konstan, terutama pada hal-hal tertentu
seperti diet makanan dan konsumsi alkohol. Kedua, pengamatan yang terus
menerus menciptakan situasi buatan dan seringkali menjadikan tingkat
kepatuhan yang lebih besar dari pengukuran kepatuhan yang lainnya. Tingkat
kepatuhan yang lebih besar ini memang sesuatu yang diinginkan, tetapi hal ini
tidak sesuai dengan tujuan pengukuran kepatuhan itu sendiri dan
menyebabkan observasi yang dilakukan menjadi tidak akurat.
4) Menghitung banyak obat
Dikonsumsi Pasien Sesuai Saran Medis Yang Diberikan Oleh Dokter.
Prosedur ini mungkin adalah prosedur yang paling ideal karena hanya sedikit
saja kesalahan yang dapat dilakukan dalam hal menghitung jumlah obat yang
berkurang dari botolnya. Tetapi, metode ini juga dapat menjadi sebuah metode
yang tidak akurat karena setidaknya ada dua masalah dalam hal menghitung
jumlah pil yang seharusnya dikonsumsi. Pertama, pasien mungkin saja,
dengan berbagai alasan, dengan sengaja tidak mengkonsumsi beberapa jenis
obat. Kedua, pasien mungkin mengkonsumsi semua pil, tetapi dengan cara
yang tidak sesuai dengan saran medis yang diberikan.
5) Memeriksa bukti-bukti biokimia
Metode ini mungkin dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada
metode-metode sebelumnya. Metode ini berusaha untuk menemukan bukti-
bukti biokimia, seperti analisis sampel darah dan urin. Hal ini memang lebih
reliabel dibandingkan dengan metode penghitungan pil atau obat diatas, tetapi
metode ini lebih mahal dan terkadang tidak terlalu ‘berharga’ dibandingkan
dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Lima cara untuk melakukan
pengukuran pada kepatuhan pasien yaitu menanyakan langsung kepada
pasien, menanyakan pada petugas medis, menanyakan pada orang terdekat
pasien, menghitung jumlah obat dan memeriksa bukti-bukti biokimia. Pada
kelima cara pengukuran ini terdapat beberapa kekurangan dan kekunggulan
masing-masing dalam setiap cara pengukuran yang akan diterapkan.
d. Cara Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Smet (1994) ada berbagai cara untuk meningkatkan kepatuhan,
diantaranya :
1) Segi Penderita
Usaha yang dapat dilakukan penderita untuk meningkatkan kepatuhan dalam
menjalani pengobatan yaitu:
a) Meningkatkan kontrol diri.
Penderita harus meningkatkan kontrol dirinya untuk meningkatkan
ketaatannya dalam menjalani pengobatan, karena dengan adanya kontrol
diri yang baik dari penderita akan semakin meningkatkan kepatuhannya
dalam menjalani pengobatan.
b) Meningkatkan efikasi diri.
Efikasi diri dipercaya muncul sebagai prediktor yang penting dari
kepatuhan. Seseorang yang mempercayai diri mereka sendiri untuk dapat
mematuhi pengobatan yang kompleks akan lebih mudah melakukannya.
c) Mencari informasi tentang pengobatan.
Kurangnya pengetahuan atau informasi berkaitan dengan kepatuhan serta
kemauan dari penderita untuk mencari informasi mengenai penyakitnya
dan terapi medisnya, informasi tersebut biasanya didapat dari berbagai
sumber seperti media cetak, elektronik atau melalui program pendidikan di
rumah sakit.
2) Segi Tenaga Medis
Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar penderita untuk
meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan antara lain:
a) Meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter.
Salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan adalah memperbaiki
komunikasi antara dokter dengan pasien. Ada banyak cara dari dokter
untuk menanamkan kepatuhan dengan dasar komunikasi yang efektif
dengan pasien.
b) Memberikan informasi yang jelas kepada pasien.
Tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah orang yang berstatus tinggi
bagi kebanyakan pasien dan apa yang ia katakan secara umum diterima
sebagai sesuatu yang sah atau benar.
c) Memberikan dukungan sosial.
Tenaga kesehatan harus mampu mempertinggi dukungan sosial. Selain itu
keluarga juga dilibatkan dalam memberikan dukungan kepada pasien,
karena hal tersebut juga akan meningkatkan kepatuhan, Smet (1994)
menjelaskan bahwa dukungan tersebut bisa diberikan dengan bentuk
perhatian dan memberikan nasehatnya yang bermanfaat bagi
kesehatannya.
d) Pendekatan perilaku.
Pengelolaan diri yaitu bagaimana pasien diarahkan agar dapat mengelola
dirinya dalam usaha meningkatkan perilaku kepatuhan. Dokter dapat
bekerja sama dengan keluarga pasien untuk mendiskusikan masalah dalam
menjalani kepatuhan.

B. Kerangka Teori
Pendekatan Teori yang dipakai untuk mengamati fenomena ini adalah Teori Feigenbaum
(1989) dan Teori Donabedian (1980). Menurut Armand V. Feigenbaum (1989: 7) mutu
adalah keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran rekayasa,
pembikinan dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan untuk
memenuhi harapan-harapan pelanggan. Feigenbaum menyebutkan bahwa mutu produk
dan jasa secara langsung dipengaruhi oleh sembilan faktor, antara lain (Feigenbaum,
1989: 54-56) :
1) Market (Pasar) : Jumlah produk baru dan lebih baik yang ditawarkan di oasar terus
tumbuh pada laju eksplosif. Pasar menjadi lebih luas ruang lingkupnya dengan
menyediakan produk yang lebih baik, dan secara fungsional lebih terspesialisasi di
dalam barang dan jasa yang ditawarkan.
2) Money (Uang) : Meningkatnya persaingan di dalam banyak bidang bersamaan
dengan fluktuasi ekonomi dunia telah menurunkan batas marjin laba. Bersamaan
dengan itu, kebutuhan akan otomatisai memaksa perusahaan mengeluarkan biaya
besar untuk investasi peralatan. Biaya mutu yang berkaitan denga pemeliharaan dan
perbaikan mutu perlu diturunkan untuk memperbaiki laba.
3) Management (Manajemen) : Tanggung jawab atas mutu produk yang sebelumnya ada
pada mandor dan teknisi, kini telah didistribusikan kepada para manajemen sesuai
dengan bidangnya. Sebagai contoh, kini manajemen pemasaran bertugas membuat
persyaratan produk, yang dulu menjadi tugas mandor.
4) Man (Manusia) : Bertumbuhnya pengetahuan dan penciptaan bidang-bidang baru
telah menciptakan permintaan yang besar akan pekerja dengan pengetahuan yang
khusus. Dan hal ini akan menciptakan suatu permintaan akan ahli teknik sistem untuk
bersama-sama merencanakan, menciptakan, dan mengoperasikan sistem yang akan
menjamin hasil yang dinginkan.
5) Motivation (Motivasi) : Penelitian tentang motivasi manusia menunjukkan bahwa
sebagai tambahan hadiah uang, para pekerja masa kini memerlukan sesuatu yang
memperkuat rasa keberhasilan di dalam pekerjaan mereka dan pengakuan yang positif
bahwa mereka secara pribadi memberikan sumbangan atas tercapainya tujuan
perusahaan.
6) Materials (Bahan) : Para ahli teknik memperketat spesifikasi dan keanekaragaman
bahan daripada sebelumnya untuk menekan biaya produksi dan memenuhi
persyaratan mutu.
7) Machines and mechanization (Mesin dan mekanisasi) : Usaha untuk mencapai
penurunan biaya dan volume produksi untuk memuaskan pelanggan dalam pasar yang
bersaing ketat telah mendorong penggunaan perlengkapan pabrik yang lebih rumit
dan jauh lebih bergantung pada mutu bahan yang dimasukkan ke dalam mesin
tersebut. Mutu yang baik menjadi sebuah faktor yang kritis dalam memelihara waktu
kerja mesin agar fasilitasnya dapat dimanfaatkan sepenuhnya.
8) Modern information methods (Metode informasi modern) : Evolusi teknologi yang
cepat telah membuka kemungkinan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengambil
kembali, dan memanipulasi informasi pada skala yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Hal tersebut memberi kemampuan untuk memberikan informasi yang
lebih bermanfaat, akurat, tepat waktu dan ramalan yang mendasari keputusan bisnis
masa depan.
9) Mounting product requirements (Persyaratan proses produksi) : Meningkatnya
kerumitan dan persyaratan prestasi yang lebh tinggi bagi produk telah menekankan
pentingnya keamanan produk. Perhatian yang konstan harus diberikan untuk
meyakinkan bahwa tidak ada faktor yang diketahui atau tidak diketahui, memasuki
proses untuk menurunkan keterandalan komponen atau sistem.

Menurut Prof. A. Donabedian, ada tiga pendekatan evaluasi (penilaian) mutu yaitu dari
aspek :

1) Input atau Struktur : Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan,
organisasi dan manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya
di fasilitas kesehatan. Yang dimaksud dengan struktur adalah masukan (input).
2) Proses : Proses adalah semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh
tenaga kesehatan dan interaksinya dengan pasien. Penilaian terhadap proses adalah
evaluasi terhadap dokter dan profesi kesehatan dalam me-manage pasien. Kriteria
umum yang digunakan adalah derajat dimana pengelolaan pasien, konform dengan
standar-standar dan harapan-harapan masing-masing proses.
3) Luaran : Hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap
pasien. Hasil pelayanan kesehatan / medis dapat dinilai antara lain dengan melakukan
audit medis pasca operasi/tindakan medis lain, audit maternal perinatal, studi kasus /
kematian 48 jam, review rekam medis dan review medis lainnya, adanya keluhan
pasien, dan informed consent (Wijono, 1999).
Adapun kerangka teorinya sebagai berikut :

1. Market (Pasar)
2. Money (Uang)
3. Management (Manajemen)
4. Man (Manusia)
5. Motivation (Motivasi)
6. Materials (Bahan)
7. Machines and mechanization
(Mesin dan mekanisasi)
8. Modern information methods
(Metode informasi modern) Mutu
9. Mounting product requirements Pelayanan :
(Persyaratan proses produksi) Lamanya Waktu
Tunggu Rawat
Inap (Boarding
1. Input atau Struktur : SDM, Perbekalan, Peralatan, Time)
Bahan, Fasilitas, Kebijaksanaan, Standar
2. Proses : Anamnesis, Pemeriksaan Fisik,
Pemeriksaan Penunjang medis, Peresepan Obat,
Penyuluhan Kesehatan, Merujuk Pasien
3. Luaran : Tingkat Kepatuhan Meningkat, Tingkat
kesembuhan meningkat, Tingkat kematian
menurun, Tingkat kecacatan menurun, Tingkat
Kepuasan pasien meningkat

Gambar 2.1 Kerangka Teori dari Teori Feigenbaum (1989) dan Teori Donabedian
(1980)
C. Kerangka Konsep
Adapun yang menjadi kerangka konsep dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar
berikut :

Ketersediaan Bed

Tingkat Kegawatdaruratan

Pola Pembayaran

Waktu Tunggu Rawat Inap (Boarding


Pola Kedatangan Time)

Kasus Penyakit

: Variabel Bebas
Pemeriksaan Penunjang
: Variabel Terikat

Jumlah Konsul Dokter

Tingkat Kepatuhan Perawat

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori dan konsep penelitian yang telah dikemukakan, maka didapat
perumusan hipotesis dalam penelitian ini. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu adanya
hubungan tingkat kepatuhan perawat, ketersediaan bed, tingkat kegawatdaruratan, pola
pembayaran, pola kedatangan, kasus penyakit, pemeriksaan penunjang, jumlah konsul
dokter dengan waktu tunggu rawat inap (Boarding Time) pada pasien stroke di wilayah
kerja RSD Idaman Kota Banjarbaru.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif analitik yaitu penelitian yang dilakukan
terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat gambaran fenomena yang
terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2012). Dengan pendekatan cross
sectional yaitu rancangan epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan faktor
penyebab yang mempengaruhi penyakit tersebut dengan mengamati secara serentak pada
individu atau kelompok pada satu waktu (Rajab, 2009).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di Wilayah Kerja RSD Idaman Kota Banjarbaru,
Kalimantan Selatan. Waktu penelitian ini berlangsung dari Maret 2024 hingga April 2024

C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh seluruh pasien stroke yang masuk IGD di
RSD Idaman Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
2. Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode consecutive

sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang

datang ke suatu tempat akan dijadikan sampel penelitian sampai jumlah sampel yang

dibutuhkan terpenuhi serta berdasarkan waktu pengumpulan data yang tersedia

(Swarjana, 2012). Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 8 minggu. Besar sampel

dalam penelitian ini menurut Gay yang berdasarkan deskriptif-korelasional minimal

adalah 30 Subjek (Umar, 2005).


D. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel independen pada penelitian ini adalah kepatuhan perawat, ketersediaan bed,
tingkat kegawatdaruratan, pola pembayaran, pola kedatangan, kasus penyakit,
pemeriksaan penunjang, jumlah konsul dokter. Sedangkan ariable dependen adalah
lamanya waktu tunggu rawat inap (boarding time) pada pasien stroke di IGD RSD
Idaman Kota Banjarbaru

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian


Definisi operasional dari ariable – ariable di atas dapat dijelaskan pada table berikut:

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Value Skala Data


1 Kepatuhan suatu perubahan Kuesioner 1: Tidak Ordinal
Perawat perilaku dari kepatuhan 2: Kurang

perilaku yang tidak 3: Sering


4 : Selalu
mentaati peraturan
ke perilaku yang
Kategori : 1.
mentaati peraturan
Patuh : jika
skor ≥ T
mean 2.
Tidak Patuh :
jika skor < T
mean Nilai T
mean = 50
2 Ketersediaan Bed Bahan dalam fasilitas Hasil rekam 1: Tersedia Nominal
kesehatan medic pasien 2: Tidak
tersedia
3 Tingkat Tingkatan pasien Hasil rekam 1: ESI 1-2 Nominal
Kegawatdarurata untuk mendapatkan medic pasien 2: ESI 3-4
n
penanganan segera
4 Pola Pembayaran Pembayaran Hasil rekam 1: Jaminan Nominal
penanganan di Rumah medic pasien 2: Umum
Sakit
5 Pola Kedatangan Kedatangan pasien ke Hasil rekam 1: Rujukan Nominal
Rumah Sakit medic pasien
berdasarkan rujukan 2: Non
atau tidak Rujukan
6 Kasus Penyakit Jenis kasus penyakit Hasil rekam 1: Trauma Nominal
yang di derita pasien medic pasien 2: Non
Trauma
7 Jumlah Pemeriksaan yang Hasil rekam 1: ≤ 2 Nominal
Pemeriksaan dilakukan untuk medic pasien pemeriksaan
Penunjang
menunjang diagnosis 2: ≥ 2
pemeriksaan
8 Jumlah Konsul Konsultasi kepada Hasil rekam 1: 1 Dokter Nominal
Dokter dokter untuk medic pasien 2: >1 Dokter
penanganan lanjutan
8 Lamanya Waktu Waktu yang Hasil rekam 1: ≤ 2 jam Nominal
Tunggu Rawat diperlukan dari IGD medic pasien 2: >2 jam
Inap (Boarding
ke ruang rawat inap
Time)

F. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data


1. Jenis Data
a) Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner.
b) Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari catatan atau
dokumen - dokumen yang berhubungan dengan penelitian, seperti Profil RSD
Idaman Kota Banjarbaru dan data rekam medis pasien
c) Data tertier diperoleh dari studi pustaka, jurnal dan textbook
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a) Data primer adalah data yang diperoleh dari responden dengan membuat daftar
pertanyaan (questionnaire) yang diberikan kepada perawat sebagai responden.
Jenis kuesioner yang digunakan yaitu kuesioner tertutup dimana daftar pertanyaan
yang alternatif jawabannya telah disediakan oleh peneliti
b) Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari catatan atau
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian, seperti Profil RSD
Idaman Kota Banjarbaru dan data rekam medis pasien.
c) Data tertier diperoleh dari studi pustaka, jurnal dan textbook
3. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur
apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun tersebut
mampu mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu di uji dengan uji korelasi
antara skor (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skor total kuesioner tersebut. Uji
validasi dapat dilakukan menggunakan kompetesi dengan aplikasi SPSS. Dimana
butir tes yang dikatakan valid apabila nilai r-hitung > r-tabel.
4. Uji Reliabilitas
Uji Reabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur, apakah alat
pengukur yang digunakan dapat diandalkan dan tetap konsisten jika pengukuran
tersebiut diulang. Dalam penelitian ini uji realibitas dengan menggunakan
komputerisasi dengan aplikasi SPSS. Dimana butir tes yang di katakan valid apabila
nilai Cronbach’s alpha > r-tabel, variable dikatakan realiabel jika nilai reabilitas
hitung lebih besar dari ketetapan Cronbach’s alpha.

G. Analisis Data Kuantitatif


1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap
variabel penelitian yang meliputi variabel independen serta variabel dependen.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara variabel
bebas (independent variabel) dengan variabelterikat (dependent variabel), dengan
menggunakan analisis Chi-square
a) Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak
b) Jika nilai p < 0,05 maka hipotesis penelitian diterima
3. Analissi Regresi Logistik
Analisis data multivariat dilakukan dengan uji regresi logistik, yang bertujuan untuk
mengetahui adanya pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat,
analisis data multivariat dengan uji regresi logistik dilakukan dalam dua langkah,
yaitu:
a) Memilih variabel-variabel bebas yang potensial dimasukkan ke dalam model
analisis data multivariat, yaitu variabel bebas dengan p-value < 0,05.
b) Memasukkan semua variabel bebas dengan p-value < 0,05 dalam model uji
regresi logistik dan diseleksi dengan metode backward stepwise (conditional)

H. Etika Penelitian
Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, peneliti mengajukan Ethical Clearance
kepada Komite Etik Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat.

I. Rencana Kerja
Tabel 3.1 Rencana Kerja Penelitian

Februari 2024 Maret 2024 April 2024


No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan proposal
2 Seminar proposal
3 Perbaikan hasil seminar
4 Pengajuan ethical
clearance
5 Pengumpulan data
6 Analisis data
7 Penyusunan laporan akhir
8 Seminar laporan akhir
9 Perbaikan hasil seminar
10 Pengumpulan tesis
J. Jalannya Penelitian
Berikut adalah tahapan penelitian yang dilakukan oleh peneliti secara terstruktur.
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 8 minggu.

Studi Pendahuluan

Kajian Pustaka Perencanaan penelitian;


Menentukan model
pengukuran

Uji Coba Alat Ukur

Pengumpulan Data;
data primer, sekunder dan tersier
menentukan indikator, pembuatan
kuesioner

Pengolahan Data

Analisa hasil pengolahan dan


interpretasi data

Evaluasi berupa rekomendasi serta


kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
Eliawati, U et al. 2020. Analisis Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Lamanya Waktu
Tunggu Rawat Inap (Boarding Time) di UGD RS Awal Bros Pekanbaru Tahun 2018. Jurnal
Administrasi Rumah Sakit. 1(1). 23-33.
Indrawati, et al. 2020. Perbedaan Waiting Time pada Pasien Bedah dan Non Bedah di Instalasi
Gawat Darurat RSUD Kabupaten Majene. J-HEST: Journal of Healt, Education, Economics,
Science, and Technology. 3(1). 12-18.
American Heart Association, 2015, ‘Heart Disease and Stroke Statistics‘,Journal Of American
Heart Association.
Athyros VG, Liberopoulus EN, Mikhailidis DP, Papageorgiou, AA, Ganotakis ES, Tziomalos
M, et al, 2008, Association of drinking pattern and alcohol beverage type with the prevalence of
metabolic syndrome, diabetes, coronary heart disease, stroke, and peripheral arterial disease in a
Mediterranean cohort, Angiology, 58 (6), 689-697.
Batticaca FB, 2012, Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Salemba Medika, Jakarta.
Black JM & Hawks JH, 2009, Medical surgical nursing clinical management for positive
outcomes 8th edition, St. Louis Missouri, Saunders Elsevier.
Bradley J, Rubenstein D, Wayne D dan, 2003, Lecture Notes: kedokteran Klinis Edisi Keenam,
Jakarta: Erlangga.
Bulechek GM dan Dochterman JM, 2004, Nursing Interventions Classification (NIC) 4th edition,
St. Louis, Missouri, Mosby Elsevier.
Cabrera G dan Caple C, 2010, Stroke: Prevention with antihypertensive medications, Glendale,
California, Cinahl Information Systems.
Caple C dan Pinto S, 2010, Stroke: Risk and protective factors. Glendale, California, Cinahl
Information Systems.
Bogle V dan Chapman B, 2014, ‘Adherence to medication and Self Management in Stroke
Patient’, British Journal of Nursing, Vol 23, No 3.
Dewi SR, 2014, Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Yogyakarta: CV Budi Utama.
Dillon PM, 2007, Nursing health assessment: A critical thinking, case studies approach 2nd
edition, Philadelphia: FA Davis Company.
Endres M, Haesles KG, dan Laufs U, 2011, ‘Chronic Heart Failure and Ischemic Stroke’,
American Heart Association, 42: 2977-2982.
Klinberg T, Olesen P dan Westerberg H, 2004, Increased prefrontal and parietal activity after
training of working memory, Nature Neuroscience, 7 (1), 75-79.
Notoatmodjo S, 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
World Health Organization, 2006, STEPS Stroke Manual (Version 1.2); The WHO STEPwise
Approach To Stroke Surveillance, Switzerland.

Anda mungkin juga menyukai