Anda di halaman 1dari 66

DAFTAR ISI

BAB I…………………………………………………………………………………………………………………..……. 3

A. PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………………… 3
B. PENGERTIAN………………………………………………………………………………………………………………….10

BAB II……………………………………………………………………………………………………………………………………15

RUANG LINGKUP

1. PELAYANAN PASIEN SERAGAM………………………………………………………………………………………15


2. PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI DAN PENYEDIAAN PELAYANAN RISIKO TINGGI……….22
3. PEMBERIAN MAKANAN DAN TERAPI GIZI…………………………………………………………………...…23
4. PENGELOLAAN NYERI…………………………………………………………………………………………………….24
5. PELAYANAN MENJELANG AKHIR HAYAT…………………………………………………………………………25

BAB III………………………………………………………………………………………………………………………..………..26

KEBIJAKAN

1. PELAYANAN PASIEN SERAGAM……………………………………………………………………………………..26


2. PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI DAN PENYEDIAAN PELAYANAN RISIKO TINGGI……….29
3. PEMBERIAN MAKANAN DAN TERAPI GIZI………………………………………………………….………..…30
4. PENGELOLAAN NYERI……………………………………………………………………………………….………..….32
5. PELAYANAN MENJELANG AKHIR HAYAT………………………………………………………….………..…..33

BAB IV………………………………………………………………………………………………………………………………….34

TATA LAKSANA

1. PELAYANAN PASIEN SERAGAM………………………………………………………………………………………34


2. PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI DAN PENYEDIAAN PELAYANAN RISIKO TINGGI……….50
3. PEMBERIAN MAKANAN DAN TERAPI GIZI………………………………………………………………………54
4. PENGELOLAAN NYERI…………………………………………………………………………………………………….58
5. PELAYANAN MENJELANG AKHIR HAYAT…………………………………………………………………………62

BAB V…………………………………………………………………………………………………………………………………..63

DOKUMENTASI

1. PELAYANAN PASIEN SERAGAM………………………………………………………………………………………63


2. PELAYANAN PASIEN RISIKO TINGGI DAN PENYEDIAAN PELAYANAN RISIKO TINGGI……….63
3. PEMBERIAN MAKANAN DAN TERAPI GIZI………………………………………………………………………63
4. PENGELOLAAN NYERI…………………………………………………………………………………………………….63
5. PELAYANAN MENJELANG AKHIR HAYAT………………………………………………………………………..64

1
BAB 1

A. PENDAHULUAN

Rumah sakit adalah organisasi yang berkiprah dalam bidang jasa pelayanan
kesehatan perorangan. Dalam penyelenggaraan upaya pelayanan pada pasien rumah sakit
didukung oleh banyak jenis keterampilan SDM baik yang berbentuk profesi maupun non
profesi.

Dalam menjalankan kegiatannya rumah sakit menyadari bahwa pelayanan yang


diberikan kepada pasien dalam bentuk bermacam macam asuhan yang merupakan bagian
dari suatu sistem pelayanan yang terintegrasi dengan para profesional di bidang pelayanan
kesehatan. Dengan adanya pedoman ini diharapkan rumah sakit dapat menerapkan model
pelayanan yang akan membangun suatu kontinuitas pelayanan, menyelaraskan kebutuhan
asuhan pasien dengan pelayanan yang tersedia di rumah sakit, mengkoordinasikan
pelayanan, kemudian merencanakan pemulangan dan tindakan selanjutnya. Hasilnya
adalah meningkatnya mutu asuhan pasien dan efisiensi penggunaan sumber daya yang
tersedia di rumah sakit.

Setiap pasien yang datang kerumah sakit harus dijamin aksesnya untuk mendapatkan
pelayanan yang dibutuhkan, terjamin pula kontinuitas pelayanan yang didapat, serta
mendapatkan pelayanan yang terkoordinasi dan terintegrasi dari berbagai asuhan dari
para profesional pemberi asuhan pasien. Sehingga dapatlah diharapkan hasil pelayanan
yang efektif, efisien dan menjamin keselamatan pasien, yang akhirnya bermuara pada
kepuasan pasien dan pemenuhan hak pasien.

Beberapa hal penting yang harus dikelola oleh rumah sakit adalah mengenali dengan
baik kebutuhan pasien yang mana yang dapat dilayani oleh rumah sakit, mengatur
pemberian pelayanan yang efisien kepada pasien, dan melakukan rujukan ke pelayanan
yang tepat baik di dalam maupun keluar rumah sakit serta mengatur pemulangan pasien
yang tepat ke rumah.
Tanggung jawab rumah sakit dan staf yang terpenting adalah memberikan asuhan dan
pelayanan pasien yang efektif dan aman. Hal ini membutuhkan komunikasi yg efektif,

2
kolaborasi, dan standardisasi proses untuk memastikan bahwa rencana, koordinasi, dan
implementasi asuhan mendukung serta merespons setiap kebutuhan unik pasien dan
target.
Asuhan tersebut dapat berupa upaya pencegahan, paliatif, kuratif, atau rehabilitatif
termasuk anestesia, tindakan bedah, pengobatan, terapi suportif, atau kombinasinya, yang
berdasar atas asesmen dan asesmen ulang pasien. Area asuhan risiko tinggi (termasuk
resusitasi, transfusi, transplantasi organ/jaringan) dan asuhan untuk risiko tinggi atau
kebutuhan populasi khusus yang membutuhkan perhatian tambahan. Asuhan pasien
dilakukan oleh profesional pemberi asuhan (PPA) dengan banyak disiplin dan staf klinis
lain. Semua staf yg terlibat dalam asuhan pasien harus memiliki peran yg jelas, ditentukan
oleh kompetensi dan kewenangan, kredensial, sertifikasi, hukum dan regulasi,
keterampilan individu, pengetahuan, pengalaman, dan kebijakan rumah   sakit atau uraian
tugas wewenang (UTW).Beberapa asuhan dapat dilakukan oleh pasien/keluarganya atau
pemberi asuhan terlatih (care giver). Pelaksanaan asuhan dan pelayanan harus
dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh semua profesional pemberi asuhan (PPA) dapat
dibantu oleh staf klinis lainnya.

Pelayanan yang beresiko tinggi merupakan pelayanan yang memerlukan peralatan


yang kompleks untuk pengobatan penyakit yang mengancam jiwa, resiko bahaya
pengobatan, potensi yang membahayakan pasien atau efek toksik dari obat beresiko
tinggi. Rumah sakit memberi pelayanan bagi berbagai macam pasien dengan berbagai
variasi kebutuhan pelayanan kesehatan. Pasien dapat digolongkan masuk kategori pasien
risiko tinggi, karena umurnya, kondisinya dan kebutuhan pada keadaan kritis. Anak-anak
dan Lansia biasanya dimasukkan ke dalam golongan ini krn mereka biasanya tidak dapat
menyampaikan keinginannya, tidak mengerti proses asuhan yg diberikan dan tidak dapat
ikut serta dalam mengambil keputusan terkait dirinya.

Demikian pula, pasien yang ketakutan, bingung atau koma tidak mampu memahami
proses asuhan bila asuhan harus diberikan secara cepat dan efisien. Rumah sakit juga
menyediakan berbagai variasi pelayanan, sebagian termasuk yang beresiko tinggi karena
memerlukan peralatan yang kompleks, yang diperlukan untuk pengobatan penyakit yang
mengancam jiwa (pasien dialisis), sifat pengobatan (penggunaan darah atau produk

3
darah), potensi yang membahayakan pasien atau efek toksik dari obat beresiko tinggi
(misalnya kemoterapi).

Pelayanan pada pasien beresiko tinggi berorientasi untuk dapat secara optimal
memberikan pelayanan dan perawatan pasien dengan menggunakan sumber daya, obat-
obatan dan peralatan sesuai standar pedoman yang berlaku. Asuhan bagi pasien risiko
tinggi juga harus didukung oleh penggunaan PPK, dan  regulasi lainnya dan rencana
asuhan, Clinical Pathway dsb.

Keselamatan pasien merupakan suatu variabel untuk mengukur dan mengevaluasi


kualitas pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan memiliki konstribusi yang besar
terhadap citra sebuah rumah sakit sehingga perlu untuk melakukan evaluasi atas
pelayanan yang diberikan (Nursalam, 2015). Joint Commission International (2017) adalah
komisi internasional yang mendedikasikan diri dalam peningkatan kualitas dan
keselamatan kesehatan di dunia. Indonesia telah mencanangkan Gerakan Nasional
Keselamatan Pasien (GNKP) rumah sakit oleh Menteri Kesehatan RI sejak bulan agustus
tahun 2005. Selanjtnya dibentuk Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Depkes (dalam
Jurnal Susanti, 2015). Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan
angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang terjadi pada pasien selama dirawat di rumah
sakit. KTD dapat bermula dari Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Potensial Cedera
(KPC) dan Kejadian Tidak Cedera (KTC). KTD meliputi pasien jatuh hingga kejadian sentinel.
KTD disebabkan oleh berbagai faktor antara lain beban kerja perawat yang tinggi, alur
komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana dan prasarana yang kurang tepat dan
lain-lain (Nursalam, 2015). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Foster & Rose (dalam
jurnal Yulia 2010) di UGD RS Pendidikan Otawa Kanada terhadap 399 pasien, didapatkan
KTD sebanyak 24 kasus (6%), KTD dapat dicegah 17 kasus (71%), KTD tidak dapat dicegah 6
kasus (25%), dan perpanjangan masa perawatan 15 kasus (62%). Amerika Serikat juga
menerbitkan pelaporan bahwa jumlah KTD di RS Colorado sebanyak 2,9 % dimana 6,6%
meninggal dan KTD di New York Sebesar 3,7% dengan angka kematian sebesar 13,6%
(Suparna, 2015). Sedangkan penelitian yang dilakukan Mustikawati (2011) menyebutkan
laporan insiden keselamatan pasien berdasarkan provinsi pada tahun 2007 ditemukan di
DKI Jakarta 37,9%, Jawa Tengah 15,9%, DIY 13,8%, Jawa Timur 11,7%, Sumatera Selatan
6,9%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%, Aceh 10,7%, Sulawesi Selatan (0,7%). Sesuai pasal 8 ayat

4
1 dan 2 peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011, mewajibkan
setiap rumah sakit untuk mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien yang
meliputi dan tercapainya hal-hal sebagai berikut, ketepatan identifikasi pasien,
peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai,
kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi, pengurangan risiko infeksi
terkait pelayanan kesehatan dan pengurangan resiko pasien jatuh. Resiko jatuh adalah
peningkatan kerentanan terhadap jatuh yang dapat menyebabkan bahaya fisik (Wilkinson,
2011). Penilaian pencegahan pasien jatuh terdiri dari Humpty Dmupty pada anak-anak,
Penilaian Geriatri pada lansia dan morse fall score (MFS) pada orang dewasa. MFS atau
Pengkajian resiko jatuh skala morse bertujuan untuk menentukan besar resiko atau
kerentanan pasien untuk jatuh (Nursalam, 2015). Pengkajian resiko jatuh skala morse
dilakukan dengan cara mengisi format pengkajian dengan melakukan cecklist untuk
menentukan nilai besaran berdasarkan variabel atau indikator penilaian resiko dan
dilaksanakan mulai dari pasien masuk rumah sakit hingga keluar sesuai perkembangan
pasien. Untuk melakukan pengkajian resiko jatuh skala morse dibutuhkan pengetahuan
yang baik bagi perawat. Pengetahuan perawat tentang pengkajian resiko jatuh sangat
menentukan dalam pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien (Nursalam,
2015). Pengetahuan merupakan faktor penting bagi seseorang dalam mengambil
keputusan namun, tidak selamanya pengetahuan seseorang dapat menghindarkan dirinya
dari kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya perawat yang pengetahuannya baik tidak
selamanya melaksanakan tindakan keselamatan pasien dengan baik karena segala tidakan
yang dilakukan beresiko untuk terjadi kesalahan Notoatmodjo (dalam jurnal Oktaviani dkk,
2015). Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala ruangan Instalasi Rawat Darurat (IRD)
RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe pada 2 februari 2017 terdapat 2 kejadian pasien jatuh bulan
november 2016. Pasien A mengeluh nyeri, kemudian diberikan anti nyeri oleh perawat.
Setelah beberapa jam pasien pergi ke kamar mandi tanpa pengawasan perawat dan tiba-
tiba jatuh. Pasien B terpasang pampres, karena merasa tidak nyaman pasien memaksakan
diri untuk BAK di toilet tanpa pengwasan perawat dan kemudian pasien jatuh.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat diruang IRD, perawat
mengatakan pengkajian resiko jatuh skala morse dilaksanakan pada saat pasien masuk
dengan melakukan ceklist pada format pengkajian resiko jatuh skala morse yang
kemudian dijumlahkan skor setiap variabel untuk menentukan besar resiko jatuh pasien.

5
10 status pasien didapatkan 3 status pasien tidak dilakukan cecklist pada variabel
pengkajian riwayat jatuh pasien tiga bulan terkahir, status mental dan gaya berjalan. 4
status pasien tidak dilakukan cecklist pada variabel pengkajian riwayat jatuh pasien tiga
bulan terkahir dan 3 status pasien dilakukan cecklist pada seluruh variabel pengkajian
resiko jatuh skala morse. Hal tersebut dapat mempengaruhi hasil serta penentuan besar
resiko jatuh pasien yang tentunya dapat membahayakan pasien. Berdasarkan latar
belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan
Tingkat Pengetahuan Dengan Pelaksanaan Pengkajian Resiko Jatuh Skala Morse di Ruang
Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo”. Dalam upaya
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan akreditasi rumah sakit.

Makanan merupakan kebutuhan dasar dan kebutuhan langsung bagi manusia.


Makanan yang dibutuhkan manusia harus dalam keadaan sehat dan bergizi dalam arti
memiliki nilai gizi optimal seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan lain
lain

Pada umumnya rumah sakit memiliki standar makanan bagi pasien yaitu makanan
standar diet dan makanan standar non-diet yang disesuaikan dengan keadaan pasien di
rumah sakit. Pengaturan makanan dan diet merupakan upaya perawatan dan pengobatan
untuk penyembuhan penyakit pasien. Pemberian makanan diet digunakan untuk
memberikan asupan sesuai kebutuhan pasien untuk mencegah dan mengurangi kerusakan
tubuh di saat sakit, tetapi makanan ini tidak diperbolehkan yang merangsang atau
menimbulkan gangguan pencernaan.

Upaya peningkatan status gizi pasien merupakan tanggungjawab petugas kesehatan,


salah satunya adalah tenaga gizi (Ahli Gizi). Asuhan Gizi diberikan oleh tenaga gizi
berdasarkan Permenkes RI Nomor 26/2013, yang dimaksud Tenaga Gizi adalah :
Nutrisionis (Technical Register Dietisien/TRD) dan Dietisien (Register Dietisien/RD).
Instalasi Gizi RS mempunyai 4 (empat) tugas pokok yaitu : Pelayanan asuhan gizi rawat
inap, Pelayanan asuhan gizi rawat jalan, Penyelenggaraan Makanan & Dietetik, Penelitian
& Pengembangan Pelayanan asuhan gizi rawat inap merupakan pelayanan gizi yang
dimulai dari proses Asesmen gizi (pengkajian gizi), Diagnosis gizi, Intervensi gizi,
Monitoring dan Evaluasi gizi, yang sering disingkat ADIME (Asesmen, Diagnosa, Intervensi,

6
Monitoring & Evaluasi). Sebelum dilakukan asesmen gizi (pengkajian gizi), diperlukan
skrining gizi untuk mengetahui risiko penurunan status gizi. Jika hasil skrining menyatakan
pasien berisiko terjadi penurunan status gizi, maka dilakukan dukungan gizi melalui Proses
Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) atau Nutrition Care Process (NCP).Pada saat ini dituntut
pelayanan gizi yang berkualitas sesuai dengan standar Nasional dan Internasional.
Pelayanan asuhan gizi rawat inap merupakan pelayanan gizi yang dimulai dari proses
Asesmen gizi (pengkajian gizi), Diagnosis gizi, Intervensi gizi, Monitoring dan Evaluasi gizi,
yang sering disingkat ADIME (Asesmen, Diagnosa, Intervensi, Monitoring & Evaluasi).
Sebelum dilakukan asesmen gizi (pengkajian gizi), diperlukan skrining gizi untuk
mengetahui risiko penurunan status gizi. Jika hasil skrining menyatakan pasien berisiko
terjadi penurunan status gizi, maka dilakukan dukungan gizi melalui Proses Asuhan Gizi
Terstandar (PAGT) atau Nutrition Care Process (NCP).Pada saat ini dituntut pelayanan gizi
yang berkualitas sesuai dengan standar Nasional dan Internasional.

Makanan dan terapi nutrisi yang sesuai sangat penting bagi kesehatan pasien dan
penyembuhannya. Pilihan makanan disesuaikan dengan usia, budaya,pilihan, rencana
asuhan, diagonsa pasien termasuk juga antara lain diet khusus seperti rendah kolesterol
dan diet diabetes mellitus. Berdasarkan pengkajian kebutuhan dan rencana asuhan, maka
DPJP atau PPA lain yang kompeten memesan makanan dan nutrisi lainnya untuk pasien.
Pasien berhak menentukan makanan sesuai dengan nilai yang dianut. Bila memungkinkan
pasien ditawarkan pilihan makanan yang konsisten dengan status gizi.

Dalam meningkatkan pelayanan rumah sakit, aspek kenyamanan pasien harus


selalu diperhitungkan. Salah satu yang sering dirasakan pasien dalam menghadapi
penyakitnya adalah keluhan nyeri.
Keluhan nyeri merupakan keluhan yang paling umum ditemukanpada pasien
pelayanan rawat jalan maupun rawat inap, yang kadang kala sering dianggap hal yang
biasa sehingga pelayanan yang diberikan kurang memuaskan di mata pasien.
Manusia merupakan makhluk unik, yang memiliki perilaku dan kepribadian yang
berbeda-beda dalam kehidupannya, Perilaku dan kepribadian didasarkan dari berbagai
macam faktor penyebab, salah satunya faktor lingkungan, yang berusaha beradaptasi
untuk bertahan dalam kehidupannya.
Begitu pula fisik manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar dalam

7
beradaptasi menjaga kestabilan dan keseimbangan tubuh dengan cara selalu berespon
bila terjadi tubuh terkena hal yang negatif dengan berusaha menyeimbangkannya
kembali, sehingga dapat bertahan atas serangan negatif, misal mata kena debu maka
akan berusaha dengan mengeluarkan air mata.
Nyeri sesunggguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi, tetapi
berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi dan perilaku,
sehingga dalam penangananyapun memerlukan perhatian yang serius dari semua unsur
yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan.Untuk itu pemahaman tentang nyeri dan
penanganannya sudah menjadi keharusan bagi setiap tenaga kesehatan, terutama
perawat yang dalam rentang waktu 24 jam sehari beri iteraksi dengan pasien.
Sebagai pemberi pelayanan medis, rumah sakit harus dapat mengetahui
berbagai perilaku dan budaya yang ada di Indonesia sehingga dalam penanganan
terhadap nyeri yang dirasakan oleh setiap orang, dapat dilakukan pengkajian dan
tindakan pemberian terapi secara obyektif. Berdasarkan hal tersebut, RSIA Permata Hati
menyusun panduan manajemen nyeri sehingga dapat dijadikan sebagai panduan dalam
melaksanakan tindakan penanganan nyeri pasien.

Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan


baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru
obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit
genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan lebih
lanjut, disamping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative

Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan


pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut
dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar
mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.

Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami
berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan
aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi
kualitas hidup pasien dan keluarganya.Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut
suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya

8
dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan
pendekatan interdisiplin.

Pada perawatan pasien dalam kondisi terminal menekankan pentingnya


integrasi perawatan lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi
dengan baik.

B. PENGERTIAN
1. Pelayanan pasien seragam
Adalah asuhan yang menghormati dan responsif terhadap pilihan,
kebutuhan dan nilai-nilai pribadi pasien, serta memastikan bahwa nilai-nilai pasien
menjadi panduan bagi semua keputusan klinis
Penyediaan pelayanan yang paling sesuai di suatu rumah sakit untuk
mendukung dan merespon setiap kebutuhan pasien yang unik, memerlukan
perencanaan dan koordinasi tingkat tinggi. Ada beberapa aktivitas tertentu yang
bersifat dasar bagi pelayanan pasien. Untuk semua disiplin yang memberikan
pelayanan pasien, aktivitas ini termasuk :

a) Perencanaan dan pemberian asuhan kepada setiap/masing-masing pasien;

b) Pemantauan pasien untuk mengetahui hasil asuhan pasien;

c) Modifikasi asuhan pasien bila perlu;

d) Penuntasan asuhan pasien; dan

e) Perencanaan tindak lanjut.

Banyak praktisi kesehatan yaitu ; dokter, perawat, apoteker, nutrisionis,


terapis rehabilitasi, dan praktisi pelayanan kesehatan lain melaksanakan aktivitas
tersebut.
Masing-masing praktisi pelayanan kesehatan mempunyai peran yang jelas dalam asuhan
pasien. Peran tersebut ditentukan oleh lisensi;kredensial; sertifikat; undang-undang dan
peraturan; ketrampilan (skill) khusus individu, pengetahuan, pengalaman, juga kebijakan
rumah sakit atau uraian tugas. Sebagian pelayanan bisa dilaksanakan oleh pasien,
keluarganya, atau pembantu pelaksana asuhan lainnya yang terlatih.

9
a. Asuhan Pasien

Adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien oleh


praktisi para Professional Pemberi Asuhan (PPA) yang multi profesi yaitu :
Dokter, Perawat, Ahli Gizi, Fisioterapis, Radiografer, Analis Laboratorium,
Apoteker/Petugas Farmasi, Pekerja Sosial, dsb.
Proses asuhan pasien bersifat dinamis dan melibatkan semua PPA tersebut diatas, sehingga
pengintegrasian dan koordinasi aktivitas asuhan pasien menjadi tujuan agar menghasilkan
proses asuhan yang efisien, penggunaan yang lebih efektif sumber daya manusia dan sumber
daya lain, dengan kemungkinan hasil asuhan pasien yang lebih baik, dimana Dokter (DPJP)
bertindak sebagai Team Leader.

2. Pelayanan Pasien Risiko Tinggi Dan Penyediaan Pelayanan Risiko Tinggi


Rumah sakit memberi pelayanan bagi berbagai variasi pasien dengan berbagai
variasi kebutuhan pelayanan kesehatan. Beberapa pasien yang digolongkan risiko-
tinggi karena umur, kondisi, atau kebutuhan yang bersifat kritis. Anak dan lanjut usia
umumnya dimasukkan dalam kelompok ini karena mereka sering tidak dapat
menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti proses asuhan dan tidak dapat ikut
memberi keputusan tentang asuhannya. Demikian pula, pasien yang ketakutan,
bingung atau koma tidak mampu memahami proses asuhan bila asuhan harus
diberikan secara cepat dan efisien.
Pelayanan yang beresiko tinggi merupakan pelayanan yang memerlukan
peralatan yang kompleks untuk pengobatan penyakit yang mengancam jiwa, resiko
bahaya pengobatan, potensi yang membahayakan pasien atau efek toksik dari obat
beresiko tinggi. Rumah sakit memberi pelayanan bagi berbagai macam pasien dengan
berbagai variasi kebutuhan pelayanan kesehatan. Pasien dapat digolongkan masuk
kategori pasien risiko tinggi, karena umurnya, kondisinya dan kebutuhan pada
keadaan kritis. Anak-anak dan Lansia biasanya dimasukkan ke dalam golongan ini krn
mereka biasanya tidak dapat menyampaikan keinginannya, tidak mengerti proses
asuhan yg diberikan dan tidak dapat ikut serta dalam mengambil keputusan terkait
dirinya.

3. Pemberian makanan dan terapi nutrisi

10
Terapi gizi merupakan bagian dari perawatan penyakit dan kondisi klinis yang
harus diperhatikan agar pemberian diet pasien harus sesuai dengan fungsi organ,
kemudian harus dievaluasi. Gizi mempengaruhi penyembuhan penyakit pada pasien di
rumah sakit. Malnutrisi berdampak pada lamanya perawatan, terjadinya komplikasi
penyakit, meningkatnya biaya pengobatan dan kematian.Kondisi tersebut disebabkan
karena ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi.

Kegiatan pelayanan gizi di ruang rawat inap merupakan salah satu kegiatan
yang dimulai dari proses pengkajian gizi, diagnose gizi, intervensi gizi meliputi
perencenaan, penyediaan makanan, penyuluhan/edukasi dan konseling gizi, serta
monitoring dan evaluasi gizi. Tujuan kegiatan pelayanan gizi rawat inap adalah
memberikan pelayanan gizi kepada pasien rawat inap agar memperoleh asupan
makanan yang sesuai dengan kondisi kesehatannya dalam upaya mempercepat proses
penyembuhan, mempertahankan dan meningkatkan status gizi. (Depkes RI, 2013).

Makanan dan terapi nutrisi yang sesuai sangat penting bagi kesehatan pasien
dan penyembuhannya. Pilihan makanan disesuaikan dengan usia, budaya,pilihan,
rencana asuhan, diagonsa pasien termasuk juga antara lain diet khusus seperti rendah
kolesterol dan diet diabetes mellitus. Berdasarkan pengkajian kebutuhan dan rencana
asuhan, maka DPJP atau PPA lain yang kompeten memesan makanan dan nutrisi
lainnya untuk pasien. Pasien berhak menentukan makanan sesuai dengan nilai yang
dianut. Bila memungkinkan pasien ditawarkan pilihan makanan yang konsisten dengan
status gizi.

Jika keluarga pasien atau ada orang lain mau membawa makanan untuk pasien,
maka mereka diberikan edukasi tentang makanan yang merupakan kontraindikasi
terhadap rencana, kebersihan makanan dan kebutuhan asuhan pasien, termasuk
informasi terkait interaksi antara obat dan makanan. Makanan yang dibawa oleh
keluarga atau orang lain disimpan dengan benar untuk mencegah kontaminasi.
Skrining risiko gizi dilakukan pada pengkajian awal. Jika pada saat skrinning ditemukan
pasien dengang risiko gizi maka terapi gizi teritegrasi diberikan, dipantau, dan
dievaluasi

4. Pengelolaan Nyeri

11
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional akibat adanya kerusakan
jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang
merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan.

Berdasarkan onsetnya, nyeri dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

- Nyeri akut : nyeri dengan onset segera dan durasi terbatas


- Nyeri kronis : nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama, lebih dari 6
minggu. Nyeri kronik yang terus menerus ada meskipun telah terjadi proses
penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti.

Berdasarkan derajatnya, nyeri dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

- Nyeri ringan : sedikit mengganggu aktifitas sehari-hari (system skala 1-3)


- Nyeri sedang : gangguan nyata pada aktifitas sehari-hari (system skala 4-6)
- Nyeri berat : tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari (system skala 7-10)
- Skala 0 : tidak ada nyeri

Manajemen nyeri adalah penatalaksanaan pasien dengan keluhan nyeri pada


pasien rawat inap maupun rawat jalan dengan melakukan assesmen sampai dengan
pemberian terapi sehingga keluhan nyeri pasien berkurang/hilang.

A. Tujuan Umum
Dengan dilakukannya manajemen nyeri pasien dapat berkurang/hilang sehingga dapat
meningkatkan kualitas pelayanan
B. Tujuan Khusus
1. Petugas dapat melakukan assesmen nyeri
2. Petugas dapat memberikan intervensi sesuai kewenangannya
3. Petugas dapat melakukan evaluasi pada pasien yang sudah mendapatkan
pengelolaan nyeri.
4. Manajemen nyeri terdokumentasi sesuai ketentuan.

5. Pelayanan Menjelang Akhir Hayat


Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan
lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu

12
penyakit atau suatu kecelakaan. Pelayanan yang diberikan pada seseorang yang
mengalami sakit atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan
menuju pada proses kematian dalam 6 bulan atau kurang.

Menjelang ajal adalah bagian dari kehidupan, yang merupakan proses menuju
akhir. Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir
dari kehidupan manusia. Lahir menjelang ajal dan kematian bersifat universal.
Meskipun unik bagi setiap individu, kejadian-kejadian tersebut bersifat normal dan
merupakan proses hidup yg diperlukan.

Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup pasien


yang sekarat sampai teknologi eksperimental canggih. Pengobatan paliatif dapat juga
diberikan pada pasien segala usia, dari anak-anak dengan penyakit kanker sampai
orang tua yang hampir meninggal. Satu aspek dala pengobatan paliatif yang
memerlukan perhatian lebih adalah kontrol rasa sakit. Semua dokter yang merawat
pasien sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup ketrampilan dalam
masalah ini, dan jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai dari
ahli pengobatan paliatif.Dan di atas semuanya itu, dokter tidak boleh membiarkan
pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika
sudah tidak mungkin disembuhkan.

13
BAB 2

RUANG LINGKUP

1. Pelayanan pasien seragam


a) Pelayanan Instalasi :
 Pelayanan Instalasi Gawat Darurat, Rawat Inap, Rawat Intensif,
Laboratorium dan Radiologi dilaksanakan dalam 24 jam. Pelayanan Rawat
Jalan sesuai dengan jadwal praktik dokter.
 Pelayanan Kamar Operasi dilaksanakan dalam jam kerja, dan dilanjutkan
dengan sistem on call.
 Pelayanan harus selalu berorientasi pada mutu dan keselamatan pasien.
 Seluruh staf Rumah Sakit Umum Dadi Keluarga harus bekerja sesuai
dengan standar profesi, pedoman/panduan dan standar prosedur
operasional yang berlaku, serta sesuai dengan etika profesi, etika Rumah
Sakit Umum Dadi dan peraturan perundangan yang berlaku.
 Seluruh staf Rumah Sakit Umum Dadi Keluarga dalam melaksanakan
pekerjaannya wajib selalu sesuai dengan ketentuan Kesehatan dan

14
Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3), termasuk dalam penggunaan alat
pelindung diri (APD).
a) Skrining dan triase :
 Skrining dilakukan pada kontak pertama untuk menetapkan apakah pasien
dapat dilayani oleh Rumah Sakit Umum Dadi Keluarga.
 Skrining dilaksanakan melalui kriteria triase, visual atau pengamatan,
pemeriksaan fisik, psikologik, laboratorium klinik atau diagnostik imajing
sebelumnya.
 Kebutuhan darurat, mendesak, atau segera diidentifikasi dengan proses
triase berbasis bukti untuk memprioritaskan pasien dengan kebutuhan
emergency.
b) Identifikasi :
• Setiap pasien yang masuk rawat inap harus dipasangkan gelang identitas
pasien.

 Pasien selalu diidentifikasi sebelum pemberian obat, sebelum transfusi


darah atau produk darah lainnya, sebelum pengambilan darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan laboratorium klinis, sebelum
pemeriksaan radiologi, serta sebelum dilakukan tindakan
c) Transfer/ perpindahan di dalam rumah sakit :

• Transfer dilaksanakan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

• Pasien yang ditransfer harus dilakukan stabilisasi terlebih dahulu sebelum


dipindahkan.
d) Transfer keluar rumah sakit / rujukan :
• Stabilisasi terlebih dahulu sebelum dirujuk.
• Rujukan ke rumah sakit atau sarana kesehatan ditujukan kepada unit atau
individu secara spesifik.
• Merujuk berdasarkan atas kondisi kesehatan dan kebutuhan akan
pelayanan berkelanjutan.
• Rujukan menunjuk siapa yang bertanggung jawab selama proses rujukan
serta perbekalan dan peralatan apa yang dibutuhkan selama transportasi.
• Kerjasama yang resmi atau tidak resmi dibuat dengan rumah sakit

15
penerima.
• Proses rujukan didokumentasikan di dalam rekam medis pasien.

e) Penundaan pelayanan :
• Memperhatikan kebutuhan klinis pasien pada waktu menunggu atau
penundaan untuk pelayanan diagnostik dan pengobatan
• Memberikan informasi apabila akan terjadi penundaan pelayanan atau
pengobatan
• Memberi informasi alasan penundaan atau menunggu dan memberikan
informasi tentang alternatif yang tersedia sesuai dengan keperluan klinis
mereka
f) Pemulangan pasien :
• DPJP yang bertanggung jawab atas pelayanan pasien tersebut, harus
menentukan kesiapan pasien untuk dipulangkan.
• Keluarga pasien dilibatkan dalam perencanaan proses pemulangan
yang terbaik atau sesuai kebutuhan pasien.
• Rencana pemulangan pasien meliputi kebutuhan pelayanan
penunjang dan kelanjutan pelayanan medis.
• Identifikasi organisasi dan individu penyedia pelayanan kesehatan di
lingkungannya yang sangat berhubungan dengan pelayanan yang ada
di rumah sakit serta populasi pasien.
• Resume pasien pulang dibuat oleh DPJP sebelum pasien pulang. f.
Resume berisi pula instruksi untuk tindak lanjut.
• Salinan resume pasien pulang didokumentasikan dalam rekam medis.
• Salinan resume pasien pulang diberikan kepada praktisi kesehatan
yang dirujuk.
g) Transportasi :
• Transportasi milik rumah sakit, harus sesuai dengan hukum dan
peraturan yang berlaku berkenaan dengan pengoperasian, kondisi dan
pemeliharaan
• Transportasi disediakan atau diatur sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pasien
16
• Semua kendaraan yang dipergunakan untuk transportasi, baik kontrak
maupun milik rumah sakit, dilengkapi dengan peralatan yang
memadai, perbekalan dan medikamentosa sesuai dengan kebutuhan
pasien yang dibawa
h) Hak pasien dan keluarga :
• Menghormati kebutuhan privasi pasien.
• Melindungi barang milik pasien dari pencurian atau kehilangan.
• Melindungi pasien dari kekerasan fisik.
• Anak-anak, individu yang cacat, lanjut usia dan lainnya yang berisiko,
mendapatkan perlindungan yang layak.
• Membantu mencari second opinion dan kompromi dalam pelayanan
didalam maupun diluar rumah sakit.
• Pernyataan persetujuan (lnformed Consent) dari pasien didapat
melalui suatu proses yang ditetapkan rumah sakit dan dilaksanakan
oleh staf yang terlatih, dalam bahasa yang dipahami pasien.
• Informed consent diperoleh sebelum operasi, anestesi, sedasi,
penggunaan darah atau produk darah dan tindakan serta
pengobatan lain yang berisiko tinggi
i) Penolakan pelayanan dan pengobatan :
• Memberitahukan hak pasien dan keluarga untuk menolak atau tidak
melanjutkan pengobatan.
• Memberitahukan tentang konsekuensi, tanggung jawab berkaitan
dengan keputusan tersebut dan tersedianya alternatif pelayanan dan
pengobatan.
• Memberitahukan pasien dan keluarganya tentang Menghormati
keinginan dan pilihan pasien untuk menolak pelayanan resusitasi
atau memberhentikan pengobatan bantuan hidup dasar (Do Not
Resuscitate)
• Rumah sakit telah menetapkan posisinya pada saat pasien menolak
pelayanan resusitasi dan membatalkan atau mundur dari pengobatan
bantuan hidup dasar.
• Posisi rumah sakit sesuai dengan norma agama dan budaya

17
masyarakat, serta persyaratan hukum dan peraturan
j) Pelayanan pasien tahap terminal :
• Mendukung hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang penuh
hormat dan kasih sayang pada akhir kehidupannya
• Perhatian terhadap kenyamanan dan martabat pasien mengarahkan
semua aspek pelayanan pada tahap akhir kehidupan
• Semua staf harus menyadari kebutuhan unik pasien pada akhir
kehidupannya yaitu meliputi pengobatan terhadap gejala primer dan
sekunder, manajemen nyeri, respon terhadap aspek psikologis,
sosial, emosional, agama dan budaya pasien dan keluarganya serta
keterlibatannya dalam keputusan pelayanan.
k) Asesmen pasien :
• Semua pasien yang dilayani rumah sakit harus diidentifikasi
kebutuhan pelayanannya melalui suatu proses asesmen yang baku.
• Asesmen awal setiap pasien meliputi evaluasi faktor fisik, psikologis,
sosial dan ekonomi, termasuk pemeriksaan fisik dan riwayat
kesehatan
• Hanya mereka yang kompeten sesuai perizinan, undang-undang dan
peraturan yang berlaku dan sertifikasi dapat melakukan asesmen
• Asesmen awal medis dilaksanakan dalam 24 jam pertama sejak rawat
inap atau lebih dini/cepat sesuai kondisi pasien atau kebijakan rumah
sakit.
• Asesmen awal keperawatan dilaksanakan dalam 24 jam pertama
sejak rawat inap atau lebih cepat sesuai kondisi pasien atau
kebijakan rumah sakit.
• Asesmen awal medis yang dilakukan sebelum pasien di rawat inap,
atau sebelum tindakan pada rawat jalan di rumah sakit, tidak boleh
lebih dari 30 hari, atau riwayat medis telah diperbaharui dan
pemeriksaan fisik telah diulangi.
• Untuk asesmen yang berumur kurang dari 30 hari, apabila ada
perubahan kondisi pasien yang signifikan, maka perubahan dicatat
dalam rekam medis pasien pada saat masuk rawat inap

18
• Asesmen awal termasuk menentukan kebutuhan rencana
pemulangan pasien (discharge planning)
• Semua pasien dilakukan asesmen ulang pada interval tertentu atas
dasar kondisi dan pengobatan untuk menetapkan respons terhadap
pengobatan dan untuk merencanakan pengobatan atau untuk
pemulangan pasien.
• Data dan informasi asesmen pasien dianalisis dan diintegrasikan
l) Manajemen obat :

• Elektrolit konsentrat tidak boleh berada di unit pelayanan pasien


kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk
mencegah pemberian yang tidak sengaja di area tersebut, bila
diperkenankan dengan kebijakan khusus.
• Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien diberi
label yang jelas dan disimpan dengan cara yang membatasi akses
(restricted access).
m) Manajemen nutrisi :
• Pasien di skrining untuk status gizi.
• Respon pasien terhadap terapi gizi dimonitor.
• Makanan disiapkan dan disimpan dengan cara mengurangi risiko
kontaminasi dan pembusukan.
• Produk nutrisi enteral disimpan sesuai rekomendasi pabrik.
• Distribusi makanan secara tepat waktu, dan memenuhi permintaan
khusus
n) Manajemen nyeri:
• Semua pasien rawat inap dan rawat jalan di skrining untuk rasa sakit
dan dilakukan asesmen apabila ada rasa nyerinya.
• Pasien dibantu dalam pengelolaan rasa nyeri secara efektif.
• Menyediakan pengelolaan nyeri sesuai pedoman dan protokol.
• Komunikasi dengan dan mendidik pasien dan keluarga tentang
pengelolaan nyeri dan gejala dalam konteks pribadi, budaya dan
kepercayaan agama masingmasing.

19
o) Surgical Safety Checklist :
• Digunakan suatu tanda yang segera dikenali untuk identifikasi lokasi
operasi dan melibatkan pasien dalam proses penandaan / pemberian
tanda.
• Menggunakan suatu checklist untuk melakukan verifikasi praoperasi
tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-pasien dan semua dokumen
serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat / benar, dan
fungsional.
• Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat/
mendokumentasikan prosedur “sebelum insisi / time-out” tepat
sebelum dimulainya suatu prosedur / tindakan pembedahan
p) Hand hygiene :
• Mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang baru-baru ini
diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient
Safety).
• Menerapkan program hand hygiene yang efektif.
q) Risiko jatuh :
• Penerapan asesmen awal risiko pasien jatuh dan melakukan
asesmen ulang terhadap pasien bila diindikasikan terjadi perubahan
kondisi atau pengobatan.
• Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi
mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko.
• Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik tentang keberhasilan
pengurangan cedera akibat jatuh maupun dampak yang berkaitan
secara tidak disengaja.
r) Komunikasi efektif :
• Perintah lisan dan yang melalui telepon ataupun hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah atau hasil
pemeriksaan tersebut.
• Perintah lisan dan melalui telpon atau hasil pemeriksaan secara
lengkap dibacakan kembali oleh penerima perintah atau hasil
pemeriksaan tersebut.

20
• Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh individu yang
memberi perintah atau hasil pemeriksaan tersebut.
s) Manajemen di Instalasi :
• Semua petugas instalasi wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
• Penyediaan tenaga harus mengacu kepada pola ketenagaan.
• Melaksanakan koordinasi dan evaluasi wajib dilaksanakan rapat
rutin bulanan minimal satu bulan sekali
• Setiap bulan Instalasi wajib membuat laporan.
t) Manajemen Fasilitas dan Keselamatan RS :
• Peralatan di instalasi harus selalu dilakukan pemeliharaan dan
kaliberasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk menjamin
semua peralatan tetap dalam kondisi yang baik.
• Perbaikan peralatan dilaksanakan dengan memperhatikan
kontinuitas pelayanan RS terutama pada pelayanan yang
menyangkut emergency dan bantuan hidup.
• Dalam melaksanakan tugasnya setiap petugas wajib mematuhi
ketentuan dalam K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja

2. Pelayanan Pasien Risiko Tinggi Dan Penyediaan Pelayanan Risiko Tinggi


a) Ruang Lingkup manajemen risiko tinggi rumah sakit meliputi
• Pasien dan keluarga
• Pengunjung
• Staf medis
• Tenaga kesehatan lain yang bekerja di rumah sakit
• Fasilitas dan lingkungan rumah sakit yang terdiri dari :
 Keselamatan Dan Keamanan
 Keselamatan : keadaan tertentu karena gedung, lantai, halaman
dan peralatan rumah sakit yang menimbulkan bahaya atau risiko
21
bagi pasien, staf dan pengunjung.
 Keamanan : risiko terhadap kehilangan, pengrusakan dan
kerusakan, atau penggunaan akses oleh mereka yang tidak
berwenang.
 Bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbahnya : risiko
penanganan, penyimpanan, dan penggunaan bahan radioaktif serta
bahan berbahaya lainnya
 Penanggulangan bencana (emergency) : risiko kemungkinan terjadi
bencana, respon bila terjadi wabah.
 Proteksi kebakaran (fire safety) : risiko kebakaran dari property /
bangunan dan penghuninya.
 Peralatan medis : risiko pemilihan, pemeliharaan dan penggunaan alat
medis.
b) Pengelompokan berdasarkan jenis risiko
• Risiko klinis :
 Risiko terkait dengan sistem manajemen obat
 Risiko jatuh
 Pengendalian risiko infeksi
 Risiko terkait dengan masalah gizi
• risiko nonklinis :
 risiko keuangan
 risiko hokum
 risiko properti

3. Pemberian makanan dan terapi nutrisi

 Pengkajian status gizi

a. Antropometri , dilakukan dengan melakukan pengukuran BB dan TB. Bila


pasien tidak dapat melakukan pengukuran tersebut, dapat dilakukan
pengukuran LLA.

22
b. Pemeriksaan fisik, dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainana klinis yang
berhubungan dengan gangguan gizi atau untuk menentukan hubungan
sebab akibat antara status gizi dengan kesehatan, serta menentukan terapi
obat dan diet. Pemeriksaan fisik meliputi : tanda tanda klinis kurang gizi
( sangat kurus, pucat atau bengkak) atau gizi lebih (gemuk atau sangat
gemuk/obesitas).

c. Laboratorium, dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan biokimia


dalam rangka mendukung diagnosa penyakit serta menegakkan masalah
gizi klien/pasien. Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk menentukan
intervensi gizi dan memonitor/mengevaluasi terapi gizi

 Riwayat gizi

Setiap pasien rawat inap dianalisis kebiasaan makan sebelum dirawat


yang meliputi asupan zat gizi, pola makan, bentuk dan frekuensi makan, serta
pantangan makan. Asupan zat gizi diukur dan selanjutnya dianalisis zat gizinya
dengan menggunakan DBMP. Analisis asupan gizi memberikan informsai
perbandingan antara asupan dengan kebutuhan gizi dalam sehari.

 Penentuan kebutuhan, diberikan kepada klien/pasien atas dasar status


gizi,pemeriksaan klinis dan data laboratorium. Selain itu perlu juga
memperhatikan kebutuhan untuk penggantian zat gizi, kebutuhan harian,
kebutuhan tambahan karena kehilangan serta tambahan untuk pemulihan
jaringan atau organ yang sedang sakit.

 Penentuan macam dan jenis diet, setelah dokter menentukan diet pasien, ahli
gizi akan mempelajari dan menyusun rencana diet yang akan diberikan pada
pasien dan selanjutnya akan dimasukkan ke dalam menu dan porsi makanan
serta frekuensi makan yang akan diberikan. Makanan diberikan dalam berbagai
bentuk sesuai kebutuhan pasien. Apabila dari rencana diet tersebut diperlukan
penyesuaian, maka ahli gizi akan mengkonsultasokan kepada dokter.

23
 Konseling dan penyuluhan gizi, tujuan konseling gizi adalah membuat
perubahan pengetahuan,sikap,dan peilaku makan, serta pola makan sesuai
kebutuhan klien/pasien.

Pemantauan, Evaluasi dan Tindak lanjut, aktivitas utama proses evaluasi


pelayanan gizi pasien adalah memantau pemberian makanan secara
berkesinambungan untuk menilai proses penyembuhan dan status gizi pasien.
Untuk pasien yang dirawat walaupun tidak memerlukan diet khusus tetapi
tetap perlu mendapatkan perhatian agar tidak terjadi “Hospital Malnutrition”
terutama pada pasien-pasien yang mempunyai masalah dalam asupan
makanannya seperti adanya mual, muntah dan penurunan nafsu makan

4. Pengelolaan Nyeri
Panduan pelayanan nyeri ini diperuntukkan bagi pelayanan seluruh pasien di
Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Inap dan Kamar Bersalin
RSIA Permata Hati.
Ruang lingkup pelayanan nyeri yaitu semua pasien dengan kondisi nyeri yang
membutuhkan pelayanan manajemen nyeri, pengobatan dan observasi nyeri. Pada
tahun 1986, The Nasional Institutes of Health Consensus Conference on Pain
mengkategorikan nyeri menjadi 2 tipe yaitu :
a) Nyeri Akut, merupakan hasil dari injuri acut,penyakit dan pembedahan. Nyeri akut
adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan
temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
b) Nyeri Kronik :
• Non keganasan di hubungkan dengan kerusakan jaringan yang dalam masa
penyembuhan atau tidak progresif
• Keganasan adalah nyeri yang di hubungkan dengan kanker atau proses penyakit
lain yang progresif.
• Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri
kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan
dan sering sekali tidak diketahui penyebab yang pasti
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
24
5. Pelayanan Menjelang Akhir Hayat
Pelayanan pasien tahap terminal di lakukan di semua instalasi rawat inap. Ruang lingkup
pelayanan :

a) Membantu Memenuhi Kebutuhan Fisiologis


b) Bantuan Emosional/ Psikososial
• Kebersihan Diri
• Mengontrol Rasa Sakit
• Membebaskan Jalan Nafas
• Bergerak
• Nutrisi
• Eliminasi
• Perubahan Sensori

BAB 3

KEBIJAKAN

1. Pelayanan pasien seragam


Kebijakan Pelayanan Kesehatan (medis, keperawatan, penunjang)
a) Pelayanan kesehatan harus diberikan kepada pasien sesuai ilmu kedokteran,
keperawatan,farmasi,nutrisi yang teruji dan terjangkau.
b) Pelayanan kesehatan dalam mengupayakan kesembuhan dilakukan secara optimal
dan dapat dipertanggung jawabkan.
c) Pelayanan kesehatan dilakukan secara komprehensif dan holistik mulai dari
promosi kesehatan, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

25
d) Pelayanan kesehatan yang diberikan mengacu pada panduan praktik klinis (PPK)
yang telah ditetapkan di Rumah Sakit Umum Dadi Keluarga.
e) Dalam melakukan pelayanan kesehatan semua pihak harus selalu memperhatikan
konsep keselamatan pasien dan berfokus pasien.

KEBIJAKAN PELAYANAN PASIEN YANG SERAGAM

KEBIJAKAN UMUM
1. Pelayanan rumah sakit di seluruh unit pelayanan harus selalu dilandasi dengan
cinta kasih, tidak membedakan suku, ras, agama, golongan dan memperhatikan
mereka yang lemah dan kurang mendapat perhatian.
2. Pelayanan rumah sakit di seluruh unit pelayanan harus selalu berorientasi pada
mutu layanan, keselamatan pasien, dan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
bagi pasien, keluarga dan masyarakat serta karyawan sesuai dengan visi, misi,
falsafah dan tujuan RSIA Permata Hati.
3. Pelayanan rumah sakit di seluruh unit pelayanan harus selalu berfokus pada
pasien dengan melaksanakan akses ke pelayanan dan kontinuitas pelayanan,
memenuhi hak pasien dan keluarga, assesmen pasien, pemberian pelayanan
pasien, serta memberikan edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat.
4. Pelayanan rumah sakit dilaksanakan selama 24 jam setiap hari, kecuali beberapa
unit pelayanan tertentu.
5. Setiap unit pelayanan harus menjalankan upaya peningkatan mutu melalui
kegiatan Plan-Do-Check-Action (PDCA).
6. Setiap unit pelayanan harus menjalankan kewaspadaan universal melalui
kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi yang menjangkau setiap
pelayanan di rumah sakit dan melibatkan berbagai individu.
7. Rumah sakit memberikan pelayanan terlebih dahulu tanpa memungut uang
muka.
8. Rumah sakit bisa memberikan keringanan biaya untuk pasien kurang mampu.
9. Setiap pimpinan unit pelayanan harus mampu memberikan arahan,
mengendalikan, mengelola, dan memimpin unit pelayanan masing-masing untuk
mencapai visi-misi unti pelayanan maupun visi misi rumah sakit.

26
10. Dalam melaksanakan tugasnya setiap petugas rumah sakit wajib mematuhi
ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (k3) dengan melakukan upaya untuk
mengurangi dan mengendalikan bahaya, resiko, mencegah kecelakaan dan
cedera, dan memelihara kondisi lingkungan dan keamanan, termasuk dalam
penggunaan alat pelindung diri (APD)
11. Semua individu yang terlibat dalam pelayanan rumah sakit wajib melakukan 6
(enam) sasaran keselamatan pasien.
12. Peralatan di unit pelayanan harus selalu dilakukan pemeliharaan dan kalibrasi
secara teratur sesuai ketentuan yang berlaku dan selalu dalam kondisi siap pakai.
13. Penyediaan tenaga harus mengacu pada pola ketenagaan rumah sakit
14. Semua petugas rumah sakit wajib memiliki ijin/ lisensi/ sertifikat sesaui dengan
proesi dan ketentuan yang berlaku.
15. Setiap petugas rumah sakit harus bekerja sesuai standar profesi, standar
kompetensi, standar prosedur operasional, etika profesi, kode etik rumah sakit
dan semua peraturan rumah sakit yang berlaku.
16. Setiap unit pelayanan harus mampu mengelola data yang dapat dijadikan
sebagai sumber informasi dan pengambilan keputusan bagi kepentingan
manajemen dan pelayanan kepada masyarakat.
17. Setiap unit pelayanan harus berupaya memperoleh, mengelolah dan
menggunakan informasi secara terintegrasi yang dikomunikasikan secara benar
untuk meningkatkan kesehatan pasien serta kinerja rumah sakit baik secara
benar untuk meningkatkan kesehatan pasien serta kinerja rumah sakit baik
secara keseluruhan maupun individu.
18. Koordinasi dan evaluasi pelayanan disetiap unit pelayanan wajib dilaksanankan
melalui rapat rutin minimal 1 kali dalam satu bulan.
19. Semua unit pelayanan wajib membuat laporan harian, bulanan, semester dan
tahunan kepada manajemen rumah sakit.
20. Rumah sakit menjalankan program keselamatan pasien melalui 6 ( enam )
standar keselamatan pasien.
21. RSIA Permata Hati bukan rumah sakit yang ditunjuk untuk melakukan
pelayanan pasien dengan HIV / AIDS, sehingga pelayanan yang diselenggarakan
RSIA Permata Hati meliputi pelayanan Voluntary Consulting Dan Testing (VCT),

27
pelayanan rujukan HIV ke rumah sakit lain yang ditunjuk melayani HIV/AIDS
dan menerapkan Universal Precountion terhadap pasien.
22. Rumah sakit melaksanakan penanggulangan Tuberkulosa (TB) sesuai dengan
pedoman strategi DOTS.
23. Jika pelayanan yang dibutuhkan pasien tidak tersedia di rumah sakit,maka
pasien harus dirujuk ke rumah sakit lain yang bias melayani setelah mendapat
persetujuan pasien/keluarga.
24. Rumah sakit menghargai dan mematuhi hak pasien yang dilayani
25. Seluruh karyawan rumah sakit berkewajiban menjaga dan melindungi rahasia
medis pasien yang dilayani.
26. Rumah sakit melakukan pengumpulan,validasi dan analisis data baik internal
ataupun eksternal untuk pengembangan pelayanan rumah sakit.

KEBIJAKAN KHUSUS
Berdasarkan UU RI No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit maka RSIA permata Hati
mempunyai kewajiban untuk :
1. Pelayanan di RSIA Permata Hati dilaksanakan secara seragam di semua tempat
pelayanan tanpa membedakan status, golongan, agama, ras, suku bangsa,
social dan ekonomi.
2. Akses untuk asuhan dan pengobatan yang memadai tidak tergantung atas
kemampuan pasien untuk membayar atau sumber pembiayaan.
3. Akses untuk asuhan dan pengobatan serta yang memadai yang diberikan oleh
praktisi yang kompeten tidak tergantung atas hari-hari tertentu atau waktu
tertentu.
a. Ketepatan (acuity) mengenali kondisi pasien menentukan alokasi sumber
daya untuk memantau kebutuhan pasien.
b. Tingkat asuhan yang diberikan kepada pasien adalah sama sesuai dengan
standar RSIA Permata Hati.
c. Pasien dengan kebutuhan asuhan keperawatan yang sama akan menerima
asuhan keperawatan yang setingkat sesuai dengan standar RSIA Permata
Hati
d. Pelayanan perawatan dilakukan secara kolaboratif dan multi disiplin.

28
e. Pelayanan asuhan terkait penunjang medis lainnya ( Gizi, laboratorium,
farmasi) diberikan sesuai dengan kebutuhan dan standar di RSIA Permata
Hati.
f. Seluruh dokumentasi dan tindakan yang diberikan oleh pemberi pelayanan
didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
g. Hasil asuhan pengobatan dan perawatan diinformasikan kepada pasien dan
keluarga termasuk kejadian tidak diharapkan.
h. Bahwa pelayanan asuhan keperawatan dan medis mencakup kebutuhan
akan edukasi yang diberikan sejak pasien dirawat sampai dengan pasien
pulang sesuai kebutuhannya.
i. Rencana asuhan medis, keperawatan, dan penunjang medis
dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh coordinator asuhan (DPJP) dan
didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

2. Pelayanan Pasien Risiko Tinggi Dan Penyediaan Pelayanan Risiko Tinggi


a) Rumah sakit mempunyai regulasi berupa pedoman majamen risiko terintegrasi
dan progam manajemen risiko yang luas tidak terbatas pada pasien, staf medis,
tenaga kesehatan lainnya, fasilitas rumah sakit, lingkungan rumah sakit dan bisnis
rumah sakit.
b) Rumah sakit menyusun program manajemen risiko berkelanjutan digunakan
untuk melakukan identifikasi dan mengurangi risiko.
c) Rumah sakit mempunyai daftar risiko di tingkat unit dan tingkat rumah sakit.
d) Rumah sakit telah membuat strategi untuk mengurangi risiko yang ada
e) Manajemen risiko harus diterapkan secara terintegrasi seluruh area program dan
kegiatan.
f) Dalam rangka pencapaian tujuan penyelenggaraan manajemen risiko terintegrasi
dibentuk tim penyelenggara majamen risiko terintegrasi yang terdiri atas
bidang /bagian K3RS, PPI, KMKP. Instalasi sebagai penanggung jawab pada unit
kerja.
g) Setiap satuan kerja harus membuat dan menetapkan daftar risiko dan menyusun
rencana perlakuan risiko.
h) Daftar risiko yang telah ditetapkan harus disampaikan kepada direktur.

29
i) Manajemen risiko harus diterapkan secara terintegrasi diseluruh area program
dan kegiatan.

3. Pemberian makanan dan terapi nutrisi

KEBIJAKAN UMUM :

1. Pelayanan Unit Gizi dilaksanakan dalam 24 jam.


2. Pelayanan di Unit Gizi harus selalu berorientasi kepada mutu dan keselamatan
pasien.
3. Peralatan di Unit Gizi harus selalu dilakukan pemeliharaan dan kalibrasi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
4. Setiap petugas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional yang berlaku, etika profesi. Peraturan rumah sakit, dan
menghormati hak pasien.
5. Semua petugas Unit Gizi wajib memiliki ijin sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
6. Dalam melaksanakan tugasnya setiap petugas wajib memenuhi ketentuan
dalam K3 RS (keselamatan kerja, kebakaran, dan keaspadaan bencana).
7. Penyediaan tenaga di Unit Gizi harus mengacu kepada pola ketenagaan.
8. Untuk melaksakan koordinasi dan evaluasi wajib di laksanakan rapat rutin
bulanan minimal satu kali sebulan.
9. Setiap bulan Unit Gizi wajib membuat laporan kinerja.
KEBIJAKAN KHUSUS:

1. Pelayanan Gizi rawat inap yaitu melakukan asuhan Gizi rawat inap mulai dari
penyediaan makanan pasien, konsultasi dan penyuluhan gizi rawat inap.
2. Pelayanan Gizi rawat jalan yaitu pemberian konsultasi gizi rawat jalan dan
penyuluhan Gizi masyarakat.
3. Semua penyelenggaran makanan untuk pasien dan pegawai tersedia secara
regular sesuai dengan standar yang telah di tetapkan RSIA permata Hati.
4. Pelayanan Gizi RSIA Permata Hati menyediakan bermacam-macam variasi
pilihan makanan bagi pasien yang konsisten dengan kondisi dan pelayanannya.
5. Pengadaan bahan makanan dan barang yang mendukung proses pelaksanaan
30
kegiatan atau bahan makanan kering dan basah sesuai dengan anggaran
belanja tahunan Unit gizi.
6. Penerimaan barang atau bahan makanan di cek sesuai permintaan dan
spesifikasi.
7. Penyimpanan bahan makanan di sesuaikan dengan jenis dan cara penyimpanan
dengan sistem FIFO ( First in first out), FEFO (first Expired firs out) sesuai
dengan ketentuan yang telah di tetapkan di rumah sakit.
8. Bahan makanan kering, bahan makanan basah dan bahan makanan jadi di
gunakan dengan memperhatiakan masa kadaluarsanya.
9. Produk Nutrisi enteral di simpan sesuai dengan rekomendasi pabrik.
10. Makanan yang disimpan, diolah dan disiapkan di Unit Gizi dengan cara
mengurangi resiko kontaminasi dan pombusukan.
11. Makanan yang disimpan, diolah dan disiapkan di pengelola makanan milik
RSIAPermata Hati selain Unit Gizi dengan cara mengurangi resiko kontaminasi
dan pembusukan.
12. Pengelolan produksi dan distribusi makanan dengan sistem sentralisasi
(terpusat) sesuai dengan alur kerja gizi yang telah ditetapkan oleh RSIA
Permata Hati.
13. Distribusi makanan secara tepat waktu, dan memenuhi permintaan khusus
14. Praktek pelaksanaan pelayanan Gizi memnuhi peraturan dan perundangan
yang berlaku.
15. Penentuan preskripsi diet ( order diet) awal, preskripsi diet lanjutan dan
perubahan atau penambahan diet di ruang rawat inap di lakukan oleh DPJP
yang berkoordinasi dengan ahli Gizi.
16. Kegiatan skirining resiko nutrisi dilakukan oleh gizi ruangan maksimal 1x 24 jam
sejak pasien baru masuk, dan apabila ditemukan pasien dengan resiko nutrisi
akan dilakukan asesmen gizi.
17. Pasien dengan resiko nutrisi dan kondisi khusus mendapat terapi gizi.
18. Respon pasien terhadap terapi nutrisi dimonitor dan di catat dalam rekam
medic.
19. Pemberian penyuluhan dan konsultasi Gizi untuk pasien dan keluarga
berdasarkan hasil asesmen pasien, permintaan pasien dan keluarga, serta

31
rujukan dari dokter yang merawat.
20. Apabila keluarga pasien menyediakan makanan maka petugas akan
memberikan edukasi tentang pembatasan diet pasien.
21. Penanganan alat makan untuk pasien dan penyakit inefksi menular akan
dipisahkan dari alat makan pasien dengan penyakit yang tidak menular, sesuai
dengan ketentuan.
22. Penelitian, pengembangan gizi terapan, monitoring, evaluasi dan peningkatan
mutu pelayanan gizi sesuai dengan program peningkatan mutu RSIA Permata
Hati.
23. Pemeliharaan,perbaikan ruang dan alat dilakukan secara terprogram dan
kontinyu diatur didalam program kerja tahunan gizi dan menjadi tanggung
jawab bagi seluruh mitra gizi dengan bantuan dari petugas pemeliharaan unit
sarana prasarana.

4. Pengelolaan Nyeri
a) Rumah sakit mempunyai Tim Pain Managemen
b) Menetapkan alur pengelolaan nyeri di ruang rawat inap dan rawat jalan
c) Menetapkan sistem pengelolaan nyeri dari pengkajian sampai evaluasi
d) Semua pasien wajib dilakukan pangkajian nyeri sebagai vital sign ke 5
e) Setiap pasien yang mendapat intervensi terhadap penatalaksanaan nyeri
diobservasi efektifitasnya

5. Pelayanan Menjelang Akhir Hayat


a) Rumah sakit melakukan pengkajian terhadap perubahan-perubahan tanda-
tanda vital
b) Menyiapkankan bantuan yang dapat diberikan pada tahap terminal
 Bantuan emosional
 Bantuan fisiologis
 Bantuan social
 Bantuan / kebutuhan spiritual

32
BAB 4

TATA LAKSANA
1. Pelayanan pasien seragam

1) Konsep dasar Pelayanan Asuhan Seragam :


a) Martabat dan rasa hormat.
1) Pemberi pelayanan kesehatan mendengarkan & menghormati
pandangan dan pilihan pasien & keluarga.
2) Pengetahuan, nilai-nilai, kepercayaan, latar belakang kultural pasien &
33
keluarga dimasukkan dlm perencanaan dan pemberian pelayanan
kesehatan

b) Berbagi informasi.
1) Pemberi pelayanan kesehatan mengkomunikasikan dan berbagi
informasi secara lengkap pasien & keluarga.
2) Pasien & keluarga menerima informasi tepat waktu, lengkap, dan akurat

c) Partisipasi.
1) Pasien & keluarga didorong dan didukung utk berpartisipasi dlm
asuhan dan pengambilan keputusan / pilihan mereka

d) Kolaborasi / kerjasama.
1) Pimpinan pelayanan kesehatan bekerjasama dgn pasien & keluarga
dalam pengembangan, implementasi dan evaluasi kebijakan dan
program;

Rumah sakit menetapkan staf medis, keperawatan dan staf lain yang
bertanggung jawab atas pelayanan pasien, bekerja sama dalam menganalisis
dan mengintegrasikan asesmen pasien.
2) DPJP sebagai team leader

Dalam semua fase pelayanan, ada staf yang kompeten sebagai orang yang
bertanggung jawab terhadap pelayanan pasien, dan staf yang kompeten inilah
yang disebut Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP), yang bertanggung
jawab menyiapkan dokumentasi rencana pelayanan pasien. Rencana asuhan
untuk tiap pasien direview dan di verifikasi oleh DPJP dengan mencatat
kemajuannya.DPJP mengatur pelayanan pasien selama seluruh waktu rawat inap,
dalam rangka meningkatkan kontinuitas pelayanan, pengintegrasian asuhan dari
para PPA, serta menjamin kualitas pelayanan dan hasil yang diharapkan. Ada
kebijakan rumah sakit yang mengatur proses transfer tanggung jawab pasien dari
satu ke orang lain, pada masa libur, hari besar dan lain-lain. Dalam kebijakan
ditetapkan dokter konsulen, dokter on call, atau dokter pengganti yang

34
bertanggung jawab.(lihat Panduan Pelaksanaan DPJP)

3) Manajer Pelayanan Pasien (Case Manager)

Manajer Pelayanan Pasien (case manager) adalah profesional dalam RS


yang bekerja secara kolaboratif dengan PPA, memastikan bahwa pasien dirawat
serta ditransisikan ke tingkat asuhan yang tepat, dalam perencanaan asuhan yang
efektif dan menerima pengobatan yang ditentukan, serta didukung pelayanan
dan perencanaan yang dibutuhkan selama maupun sesudah perawatan RS. Untuk
mempertahankan kontinuitas pelayanan selama pasien tinggal di rumah sakit,
staf yang bertanggung jawab secara umum terhadap koordinasi dan
kesinambungan pelayanan pasien atau pada fase pelayanan tertentu
teridentifikasi dengan jelas. Staf yang dimaksud adalah Manajer Pelayanan Pasien
(case manager) yang dapat seorang dokter atau tenaga keperawatan yang
kompeten. Nama staf (manajer pelayanan pasien) ini tercantum didalam rekam
medis pasien atau dengan cara lain dikenalkan kepada semua staf rumah sakit.,
serta sangat diperlukan apalagi bagi pasien-pasien tertentu yang kompleks dan
pasien lain yang ditentukan rumah sakit. Manajer Pelayanan Pasien perlu
bekerjasama dan berkomunikasi dengan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
Fungsi Manajer Pelayanan Pasien diuraikan secara rinci dalam Panduan
Pelaksanaan Manajer Pelayanan Pasien (MPP)

4) Asesmen Awal

Tujuan utama pembuatan asesmen awal pasien adalah untuk memahami


kebutuhan pelayanan medis dan pelayanan keperawatan sehingga pelayanan
dan pengobatan dapat dimulai. Untuk mencapai ini, rumah sakit menetapkan isi
minimal dari asesmen awal medis dan keperawatan serta asesmen lain. Juga
ditetapkan kerangka waktu yang disyaratkan untuk menyelesaikan asesmen dan
pendokumentasi asesmen awal tersebut. Selain asesmen medis dan keperawatan
adalah penting untuk inisiasi pelayanan, kemungkinan diperlukan asesmen
tambahan dari praktisi pelayanan kesehatan lain termasuk asesmen khusus dan
asesmen individual. Semua asesmen ini harus terintegrasi dan kebutuhan
pelayanan yang paling urgen harus di identifikasi/ditetapkan. Rencana asuhan
35
pasien harus dibuat berdasarkan data asesmen awal ini. Pada keadaan gawat
darurat, asesmen awal medis dan keperawatan, dapat dibatasi pada kebutuhan
dan kondisi yang nyata. Juga apabila tidak ada waktu untuk mencatat riwayat
kesehatan dan pemeriksaan fisik yang lengkap dari seorang pasien gawat darurat
yang perlu dioperasi, dibuat catatan pada diagnosis praoperatif sebelum tindakan
dilaksanakan.

5) Asesmen Lanjut (Ulang)

Asesmen ulang atau asesmen lanjut atau biasa disebut dengan follow up
perjalanan pasien adalah asesmen yang dilakukan sepanjang proses pelayanan
pasien untuk mengevaluasi kemajuan pasien dan untuk memahami kebutuhan
akan perencanaan asuhan selanjutnya atau memodifikasi asuhan sesuai dengan
respons yang diberikan oleh pasien. Asesmen ulang oleh para praktisi pelayanan
kesehatan adalah kunci untuk memahami apakah keputusan pelayanan sudah
tepat dan efektif. Oleh karena itu sangat perlu bahwa asesmen ulang ini baik
medis, keperawatan dan asesmen lain yang berarti, didokumentasikan dengan
baik dan dapat dengan cepat dan mudah ditemukan kembali dalam rekam medis.
Berdasarkan asesmen ulang pasien oleh praktisi pelayanan kesehatan, maka
rencana diperbaharui sesuai dengan perubahan kondisi pasien. Hasil asesmen
ulang dicatat dalam rekam medis pasien untuk informasi dan digunakan oleh
semua staf yang memberi pelayanan.Tempat di rekam medis untuk mencatat
asesmen ulang ini adalah pada Catatan Perkembangan Terintegrasi.

6) Interval Waktu untuk melakukan Asesmen Ulang

Pasien dilakukan asesmen ulang selama proses pelayanan pada


interval tertentu berdasarkan kebutuhan dan rencana pelayanan atau sesuai
kebijakan dan prosedur rumah sakit. Asesmen ulang oleh dokter terintegrasi
dalam proses asuhan pasien yang sedang berlangsung. Dokter melakukan
asesmen pasien gawat darurat setiap hari, termasuk akhir minggu, dan bila
sudah ada perubahan yang signifikan pada kondisi pasien.
36
Asesmen ulang dilaksanakan dan hasilnya dicatat dalam rekam medis pasien :

a. Pada interval yang reguler selama pelayanan (contoh, secara periodik


perawat mencatat tanda-tanda vital sesuai kebutuhan berdasarkan kondisi
pasien).
b. Setiap hari oleh dokter pada pasien akut atau lebih jarang sesuai kebijakan
rumah sakit.
c. Sebagai respons terhadap perubahan kondisi pasien yang signifikan.

d. Bila diagnosis pasien telah berubah dan kebutuhan asuhan memerlukan


perubahan rencana.
e. Untuk menetapkan apakah obat-obatan dan pengobatan lain telah
berhasil dan pasien dapat dipindahkan atau dipulangkan.

7) Asessmen Lanjut Lainnya

Informasi yang didapat pada asesmen awal medis dan keperawatan,


melalui penerapan kriteria skrining/penyaringan, dapat memberi indikasi bahwa
pasien membutuhkan asesmen lebih lanjut / lebih mendalam tentang status gizi
atau status fungsional, termasuk asesmen risiko jatuh. Asesmen lebih mendalam
ini mungkin penting untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan intervensi
nutrisional, dan pasien yang membutuhkan pelayanan rehabilitasi medis atau
pelayanan lain terkait dengan kemampuan fungsional yang independen atau
pada kondisi potensial yang terbaik. Cara yang paling efektif untuk
mengidentifikasi pasien dengan kebutuhan gizi atau fungsional adalah melalui
kriteria skrining, dimana formulir asesmen awal keperawatan dapat memuat
kriteria ini. Pada setiap kasus kriteria skrining dikembangkan oleh staf yang
kompeten yang mampu melakukan asesmen lanjutan, dan bila perlu, membuat
persyaratan pengobatan pasien. Contoh, kriteria skrining untuk risiko nutrisional
dapat dikembangkan oleh perawat yang akan menerapkan kriteria tersebut, ahli
gizi yang akan menyediakan intervensi diet yang direkomendasikan dan
nutrisionis yang mampu mengintegrasikan kebutuhan nutrisi dengan kebutuhan
lain dari pasien, sedangkan skrining status fungsional dikembangkan kriterianya

37
oleh staf medis rehab medis.

1. Assesmen Nyeri
Pada saat asesmen awal dan asesmen ulang, prosedur skrining
dilakukan untuk mengidentifikasi pasien dengan rasa sakit, pasien dapat
diobati di rumah sakit atau dirujuk untuk pengobatan. Lingkup pengobatan
berdasarkan pelayanan yang tersedia di rumah sakit. Bila pasien diobati di
rumah sakit, dilaksanakan asesmen yang lebih komprehensif. Asesmen
disesuaikan dengan umur pasien dan mengukur intensitas dan kualitas rasa
nyeri, seperti karakter rasa nyeri, frekuensi, lokasi dan durasi. Asesmen ini
dicatat sedemikian rupa agar memfasilitasi /memudahkan asesmen ulang
yang reguler dan follow up sesuai kriteria yang dikembangkan oleh rumah
sakit dan kebutuhan pasien.

2. Assesmen Tambahan
Asesmen awal dari tipe-tipe pasien atau populasi pasien tertentu
memerlukan modifikasi proses asesmen. Modifikasi ini didasarkan atas
karakteristik yang unik atau menentukan setiap populasi pasien. Rumah sakit
mengidentifikasi kelompok pasien khusus dan memodifikasi proses asesmen
untuk memenuhi kebutuhan khusus ini. Secara khusus, apabila rumah sakit,
melayani satu atau lebih pasien atau populasi dengan kebutuhan khusus
seperti daftar di bawah ini, maka rumah sakit melakukan asesmen
individual untuk :

a. Anak-anak

b. Dewasa Muda

c. Lanjut usia yang lemah

d. Sakit terminal

e. Pasien dengan nyeri kronis


f. Wanita dalam proses terminasi kehamilan

g. Pasien dengan kelainan emosional atau gangguan jiwa

h. Pasien diduga ketergantungan obat atau alcohol

38
i. Korban kekerasan atau terlantar
j. Pasien dengan infeksi atau penyakit menular
k. yang mendapatkan kemoterapi atau radiasi
l. Pasien yang daya imunnya direndahkan

Asesmen pasien yang diduga ketergantungan obat dan atau alkohol


dan asesmen pasien korban kekerasan dan yang terlantar, dipengaruhi oleh
budaya dari populasi dimana pasien berada. Asesmen disini tidak
dimaksudkan untuk penemuan kasus secara proaktif. Tetapi asesmen pasien
tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan dan kondisi yang dapat
diterima oleh budaya dan diperlakukan konfidensial. Proses asesmen
dimodifikasi agar konsisten dengan undang-undang dan peraturan dan
standar profesi terkait dengan populasi dan situasi demikian dengan
melibatkan keluarga bila perlu.

3. Assesmen pasien di akhir kehidupan/hayat


Kepada pasien yang akan meninggal dan keluarganya, dilakukan
asesmen dan asesmen ulang sesuai kebutuhan individual mereka
Asesmen dan asesmen ulang perlu dilaksanakan secara individual untuk
memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga apabila pasien mendekati kematian.
Asesmen dan asesmen ulang, sesuai kondisi pasien, harus mengevaluasi :

a) Gejala seperti mau muntah dari kesulitan pernapasan

b) Faktor-faktor yang meningkatkan dan membangkitkan gejala fisik

c) Manajemen gejala saat ini dan hasil respon pasien

d) Orientasi spritual pasien dan keluarga dan kalau perlu keterlibatan kelompok
agama
e) Urusan dan kebutuhan spiritual pasien dan keluarga, seperti putus asa,
penderitaan, rasa bersalah atau pengampunan
f) Status psikososial pasien dan keluarga seperti hubungan keluarga, lingkungan
rumah yang memadai apabila diperlukan perawatan di rumah, cara mengatasi
dan reaksi pasien dan keluarga atas penyakit pasien
g) Kebutuhan dukungan atau kelonggaran pelayanan (respite services) bagi
39
pasien, keluarga dan pemberi pelayanan lain

h) Kebutuhan akan alternatif atau tingkat pelayanan lain

i) Faktor risiko bagi yang ditinggalkan dalam hal cara mengatasi dan potensi
reaksi patologis atas kesedihan.

4. Asuhan pasien di akhir kehidupan yang diberikan rumah sakit :


a) pemberian pengobatan yang sesuai dengan gejala dan keinginan pasien dan
keluarga;
b) menyampaikan isu yang sensitif seperti autopsi dan donasi organ;

c) menghormati nilai yang dianut pasien, agama dan preferensi budaya;

d) mengikutsertakan pasien dan keluarganya dalam semua aspek pelayanan;

e) memberi respon pada masalah-masalah psikologis, emosional, spiritual dan


budaya dari pasien dan keluarganya.
Untuk mencapai tujuan ini semua staf harus menyadari akan kebutuhan
pasien yang unik pada akhir hidupny. Rumah sakit mengevaluasi mutu asuhan
akhir-kehidupan, berdasarkan evaluasi (serta persepsi) keluarga dan staf,
terhadap asuhan yang diberikan.

Rumah sakit perlu mengupayakan :


1. Semua staf harus diupayakan memahami kebutuhan pasien yang unik
menjelang akhir kehidupan.
2. Asuhan akhir kehidupan oleh rumah sakit mengutamakan kebutuhan pasien
menjelang akhir kehidupan dengan memperhatikan, sedikitnya termasuk
elemen a) s/d e) tersebut diatas.
3. Kualitas asuhan akhir kehidupan dievaluasi oleh staf dan keluarga pasien.

5. Rencana Pemulangan (discharge planning)


awal termasuk menentukan kebutuhan rencana pemulangan
pasien(discharge) Kontinuitas pelayanan mempersyaratkan persiapan dan
pertimbangan khusus untuk beberapa pasien tertentu seperti rencana
pemulangan pasien. Rumah sakit mengembangkan mekanisme seperti daftar
40
kriteria untuk mengidentifikasi pasien, yang rencana pemulangannya kritis,
antara lain karena umur, kesulitan mobilitas /gerak, kebutuhan pelayanan
medis dan keperawatan berkelanjutan atau bantuan dalam aktivitas hidup
sehari- hari. Karena perencanaan proses pemulangan pasien dapat
membutuhkan waktu agak lama, maka proses asesmen dan perencanaan dapat
dimulai segera setelah pasien diterima sebagai pasien rawat inap.

6. Pelayanan Yang Seragam bagi Semua Pasien


Pasien dengan masalah kesehatan dan kebutuhan pelayanan yang
sama berhak mendapat kualitas asuhan yang sama di rumah sakit. Untuk
melaksanakan prinsip “kualitas asuhan yang setingkat” mengharuskan
pimpinan merencanakan dan mengkoordinasi pelayanan pasien. Secara
khusus, pelayanan yang diberikan kepada populasi pasien yang sama pada
berbagai unit kerja, dipandu oleh kebijakan dan prosedur yang menghasilkan
pelayanan yang seragam. Sebagai tambahan, pimpinan harus menjamin
bahwa rumah sakit menyediakan tingkat kualitas asuhan yang sama setiap
hari dalam seminggu dan pada setiap shift. Kebijakan dan prosedur tersebut
harus sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku yang
membentuk proses pelayanan pasien dan dikembangkan secara kolaboratif.
Asuhan pasien yang seragam terefleksi sebagai berikut dalam :

a) Akses untuk asuhan dan pengobatan, yang memadai, tidak tergantung


atas kemampuan pasien untuk membayar atau sumber pembiayaan.
b) Akses untuk asuhan dan pengobatan, serta yang memadai, yang
diberikan oleh praktisi yang kompeten tidak tergantung atas hari-hari
tertentu atau waktu tertentu.
c) Ketepatan (acuity) mengenali kondisi pasien menentukan alokasi sumber
daya untuk memenuhi kebutuhan pasien.
d) Tingkat asuhan yang diberikan kepada pasien (misalnya pelayanan
anestesia) sama di seluruh rumah sakit.
e) Pasien dengan kebutuhan asuhan keperawatan yang sama menerima
asuhan keperawatan yang setingkat diseluruh rumah sakit.

41
f) Asuhan pasien yang seragam menghasilkan penggunaan sumber daya
yang efisien dan sehingga mendapatkan evaluasi hasil (outcome) yang
sama untuk asuhan di seluruh rumah sakit.

g) Catatan Perkembangan Terintegrasi (Integrated Progress Note)


Adalah lembar pada berkas rekam medis pasien dimana semua
kondisi dan perkembangan penyakit pasien serta tindakan yang dialami
pasien dicatat. Rumah sakit menetapkan bahwa mereka yang diizinkan
memberikan perintah / order menuliskan perintah ini dalam rekam medis
pasien di lokasi yang seragam, dan lokasi itu adalah pada lembat Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT). Aktivitas asuhan pasien
termasuk pemberian perintah, (misalnya, untuk pemeriksaan
laboratorium, pemberian obat, pelayanan keperawatan dan terapi
nutrisi). Prosedur diagnostik, operasi dan prosedur lain diperintahkan
oleh mereka yang kompeten untuk hal tersebut. Perintah ini harus
mudah diakses untuk dapat dilaksanakan tepat waktu. Penempatan
perintah pada suatu lembar umum atau lokasi yang seragam di rekam
medis pasien membantu terlaksananya perintah. Perintah tertulis
membantu staf untuk mengerti kekhususan perintah, kapan harus
dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan. Perintah dapat ditulis
pada suatu lembar perintah yang kemudian dimasukkan ke rekam medis
pasien secara periodik atau pada waktu pemulangan pasien.

Setiap rumah sakit memutuskan :


a) Perintah mana yang harus tertulis daripada lisan;

b) Permintaan pemeriksaan diagnostik imajing dan pemeriksaan


laboratorium klinik termasuk indikasi klinis/ rasional;
c) Tiap pengecualian di pelayanan khusus seperti IGD dan Unit Pelayanan
Intesif;

42
d) Siapa yang diizinkan menuliskan perintah;

e) Dilokasi mana perintah tersebut dicatat dalam rekam medis pasien.

Jadi semua para PPA (dokter,perawat,nutrisionis, farmasis,


fisioterapis dll) akan mencatatkan semua perkembangan pasien yang
dievaluasinya pada lembar yang sama yaitu CPPT, dengan ciri penulisan
dan identitas masing masing.

7. Pemberian Informasi dan Edukasi pada Pasien dan Keluarga


Peraturan mengharuskan bahwa pasien dan keluarga diberi tahu
tentang hasil asuhan termasuk kejadian tidak diharapkan. Serta rumah sakit
menyediakan pendidikan/edukasi untuk menunjang partisipasi pasien dan
keluarga dalam pengambilan keputusan dan proses pelayanan. Asuhan dan
proses pengobatan merupakan siklus berkelanjutan dari asesmen dan
asesmen ulang, perencanaan dan pemberian asuhan, dan asesmen hasil.
Pasien dan keluarga diberitahukan tentang hasil dari proses asesmen, tentang
perencanaan asuhan dan pengobatan dan diikutsertakan dalam pengambilan
keputusan. Jadi untuk melengkapi siklus informasi dengan pasien, mereka
perlu diberitahu tentang hasil asuhan dan pengobatan, termasuk informasi
tentang hasil asuhan yang tidak diharapkan.
Rumah sakit mendidik pasien dan keluarganya, sehingga mereka
mendapat pengetahuan dan ketrampilan untuk berpartisipasi dalam proses
dan pengambilan keputusan asuhan pasien. Setiap rumah sakit
mengembangkan/memasukkan pendidikan ke dalam proses asuhan berbasis
misi, jenis pelayanan yang diberikan dan populasi pasien. Pendidikan
direncanakan untuk menjamin bahwa setiap pasien diberikan pendidikan
sesuai kebutuhannya. Rumah sakit menetapkan bagaimana
mengorganisasikan sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien. Oleh
karena itu, rumah sakit perlu menetapkan koordinator pendidikan atau
komite pendidikan, menciptakan pelayanan pendidikan, mengatur penugasan
seluruh staf yang memberikan pendidikan secara terkoordinasi. Semua
kegiatan pemberian informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarganya,
haruslah tercatat dalam berkas medis pasien. Oleh karenanya rumah sakit

43
akan menyediakn lembar khusus dalam berkas rekam medis untuk mencatat
kegiatan ini.

8. Tindakan Sedasi, Anestesi dan Pembedahan pada Pasien

a) Sedasi :
Sedasi baik sedasi yang moderat maupun dalam, menghadapkan
risiko kepada pasien, karenanya perlu dilengkapi dengan definisi,
kebijakan serta prosedur yang jelas. Derajat sedasi terjadi dalam suatu
kontinuum, seorang pasien dapat bergerak dari satu derajat tertentu
menuju derajat yang lain, berdasarkan medikasi yang diberikan, rute dan
dosisnya. Pertimbangan penting mencakup kemampuan pasien untuk
mempertahankan refleks protektif; saluran pernafasan yang paten-
independen-berkesinambungan; dan mampu berespon terhadap stimulasi
fisik atau instruksi lisan.

Kebijakan dan prosedur sedasi memuat :


a) penyusunan rencana termasuk identifikasi perbedaan antara populasi
dewasa dan anak atau pertimbangan khusus lainnya;
b) dokumentasi yang diperlukan tim pelayanan untuk dapat bekerja dan
berkomunikasi secara efektif;
c) persyaratan persetujuan (consent) khusus, bila diperlukan;

d) frekuensi dan jenis monitoring pasien yang diperlukan;

e) kualifikasi atau ketrampilan khusus para staf yang terlibat dalam proses
sedasi; dan

f) ketersediaan dan penggunaan peralatan spesialistik.

b) Anestesi :
Pelayanan anestesi direncanakan secara seksama dan
didokumentasikan dalam catatan anestesi. Perencanaan
mempertimbangkan informasi dari asesmen pasien dan mengidentifikasi
anestesi yang akan digunakan, termasuk metode pemberiannya,
pemberian medikasi dan cairan lain, serta prosedur monitoring dalam
mengantisipasi pelayanan pasca anestesi. Berhubung anestesi membawa
44
risiko tinggi, maka pemberiannya harus direncanakan dengan seksama.
Asesmen pra anestesi pasien merupakan basis untuk perencanaan
tersebut dan untuk penggunaan analgesia pasca operatif. Asesmen pra
anestesi memberikan informasi yang diperlukan bagi :

a) Pemilihan pelayanan anestesi dan merencanakan anestesi;


b) Pemberian layanan anestesi yang aman dan tepat; dan
c) Penafsiran temuan pada monitoring pasien
spesialis anestesi atau petugas lain yang kompeten menjalankan
asesmen pra anestesi. Proses perencanaan anestesi mencakup
mengedukasi pasien, keluarganya, atau pembuat keputusan atas risiko,
manfaat dan alternatif yang berhubungan dengan perencanaan anestesia
dan analgesia pasca operatif. Diskusi ini terjadi sebagai bagian dari proses
untuk memperoleh persetujuan anestesi (termasuk sedasi moderat dan
dalam) sebagaimana disyaratkan dalam hak hak pasien. Seorang
anestesiolog atau petugas yang kompeten memberikan edukasi ini.
Proses asesmen pra anestesi dijalankan beberapa waktu sebelum rawat
inap atau sebelum tindakan pembedahan atau sesaat sebelum operasi
(khusus pada pasien emergensi atau obstetri) Sedangkan asesmen pra
induksi terpisah dari asesmen pra anestesi, karena fokusnya pada
stabilitas fisiologis dan kesiapan pasien untuk anestesi dan terjadi sesaat
sebelum induksi anestesi. Bila tindakan anestesi harus dilakukan secara
darurat, asesmen pra anestesi dan asesmen pra induksi dapat segera
dilaksanakan secara berurutan atau secara serempak, tetapi masing-
masing didokumentasikan sendiri.

Jadi pada pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi harus dilakukan :
a) Asesmen pra anestesi dikerjakan pada setiap pasien.

b) Asesmen pra induksi dilaksanakan untuk re-evaluasi pasien segera


sebelum induksi anestesi, sesaat sebelum diberikan induksi anestesi
c) Kedua asesmen dikerjakan oleh staf yang kompeten untuk
melakukannya

d) Kedua asesmen didokumentasikan dalam rekam medis


45
c) Monitoring selama tindakan Anestesi
Selama pemberian anestesi, status fisiologis setiap pasien terus
menerus dimonitor dan dituliskan dalam rekam medis pasien. Monitoring
fisiologis memberikan informasi yang dapat diandalkan tentang status
pasien selama pemberian anestesi (umum, spinal dan regional) dan
periode pemulihan. Metode monitoring tergantung pada status pra
anestesi pasien, anestesi yang dipilih dan kompleksitas dari pembedahan
atau prosedur lain yang dikerjakan selama anestesi. Namun demikian,
dalam semua kasus, proses monitoring dilakukan terus menerus dan
hasilnya dituliskan ke dalam rekam medis pasien.

d) Masa Pemulihan pasca Anestesi


Setiap pasien pasca anestesi dimonitor dan didokumentasikan dan
pasien dipindahkan dari ruang pemulihan oleh staf yang kompeten atau
dengan menggunakan kriteria baku. Monitoring selama anestesi adalah
dasar dari monitoring selama periode pemulihan pasca anestesi.
Pengumpulan data secara sistematik dan analisis data yang berlangsung
terhadap kondisi pasien yang dalam pemulihan, mendukung keputusan
untuk memindahkan pasien ke setting pelayanan lain dengan pelayanan
yang kurang intensif. Pencatatan data monitoring merupakan
dokumentasi untuk mendukung keputusan untuk memindahkan pasien.

e) Tindakan Pembedahan
Karena pembedahan membawa risiko dengan tingkatan yang
tinggi, maka penggunaannya haruslah direncanakan secara seksama.
Asesmen pasien adalah dasar untuk memilih prosedur pembedahan yang
tepat. Asesmen memberikan informasi penting terhadap :

a) Pemilihan prosedur yang tepat dan waktu yang optimal;

b) Melaksanakan prosedur secara aman;

c) Menginterpretasi temuan dalam monitoring pasien

Pemilihan prosedur tergantung pada riwayat pasien, status fisik,


dan data diagnostik termasuk risiko dan manfaat prosedur bagi pasien.

46
Pemilihan prosedur mempertimbangkan informasi dari asesmen saat
masuk rawat inap, tes diagnostik, dan sumber lain yang tersedia. Proses
asesmen dijalankan dalam kerangka waktu dipersingkat bilamana pasien
secara darurat membutuhkan pembedahan. Asuhan bedah yang
direncanakan bagi pasien didokumentasikan dalam status pasien,
termasuk diagnosis pra operatif. Nama dari prosedur bedah saja tidak bisa
untuk menegakkan suatu diagnosis.

f) Persetujuan Tindakan (Informed Consent)


Manfaat, risiko, dan alternatif didiskusikan dengan pasien dan
keluarganya atau orang yang berwenang membuat keputusan bagi
pasien. Pasien dan keluarganya atau para pembuat keputusan menerima
informasi yang adekuat untuk berpartisipasi dalam keputusan pemberian
asuhan dan memberikan persetujuan (informed consent) yang diperlukan
dalam pemenuhan hak pasien.

g) Laporan Operasi
Pada setiap pasien yang dioperasi ada laporan operasi yang berisi
catatan operasi dalam rekam medis pasien untuk keperluan pelayanan
berkesinambungan. Pelayanan pasca bedah tergantung pada kejadian dan
temuan dalam tindakan bedah. Jadi, status pasien termasuk diagnosis
pasca bedah, deskripsi dari prosedur bedah dan temuan- temuan
(termasuk spesimen bedah yang dikirim untuk pemeriksaan) dan nama ahli
bedah dan asisten bedah. Guna mendukung suatu kontinuum dari
pelayanan suportif pasca bedah, catatan laporan operasi tersedia sebelum
pasien meninggalkan ruang pulih pasca anestesi. Sebelum pasien
meninggalkan lokasi pemulihan pasca anestesi, suatu catatan singkat
tindakan bedah bisa digunakan sebagai pengganti laporan tertulis tindakan
bedah. Laporan tertulis tindakan bedah atau catatan singkat operasi
tersebut minimum memuat :

a) diagnosa pasca operasi;


b) nama dokter bedah dan asisten-asisten;
c) nama prosedur;

47
d) spesimen bedah untuk pemeriksaan;
e) catatan spesifik komplikasi atau tidak adanya komplikasi selama
operasi, termasuk jumlah kehilangan darah; dan
f) tanggal, waktu, dan tandatangan dokter yang bertanggung jawab.

9. Penatalaksanaan Pasca bedah


Pada setiap pasien yang dilakukan pembedahan, asuhan pasien pasca
pembedahan direncanakan dan didokumentasikan. Asuhan medis dan
perawatan pasca bedah setiap pasien perlu dibedakan. Oleh karenanya, penting
untuk merencanakan asuhan tersebut, termasuk tingkatan asuhan, serta
tempat (setting) asuhan, pemantauan tindak lanjut atau pengobatan dan
kebutuhan obat. Perencanaan asuhan pasca bedah dapat dimulai sebelum
pembedahan berdasarkan asesmen kondisi dan kebutuhan pasien. Asuhan yang
direncanakan didokumentasikan dalam status pasien untuk memastikan
kelanjutan pelayanan selama periode pemulihan atau rehabilitasi.

10. Pelayanan Pasien Risiko Tinggi dan Pelayanan Risiko Tinggi


Rumah sakit memberi pelayanan bagi berbagai variasi pasien dengan
berbagai variasi kebutuhan pelayanan kesehatan. Beberapa pasien yang
digolongkan risiko-tinggi karena umur, kondisi, atau kebutuhan yang bersifat
kritis. Anak dan lanjut usia umumnya dimasukkan dalam kelompok ini karena
mereka sering tidak dapat menyampaikan pendapatnya, tidak mengerti proses
asuhan dan tidak dapat ikut memberi keputusan tentang asuhannya. Demikian
pula, pasien yang ketakutan, bingung atau koma tidak mampu memahami
proses asuhan bila asuhan harus diberikan secara cepat dan efisien. Rumah
sakit juga menyediakan berbagai variasi pelayanan, sebagian termasuk yang
berisiko tinggi karena memerlukan peralatan yang kompleks, yang diperlukan
untuk pengobatan penyakit yang mengancam jiwa (pasien dialisis), sifat
pengobatan (penggunaan darah atau produk darah), potensi yang
membahayakan pasien atau efek toksik dari obat berisiko tinggi (misalnya
kemoterapi).
Kebijakan dan prosedur merupakan alat yang sangat penting bagi staf
untuk memahami pasien tersebut dan pelayanannya dan memberi respon yang
cermat, kompeten dan dengan cara yang seragam. Rumah sakit dapat pula
48
melakukan identifikasi risiko sampingan sebagai akibat dari suatu prosedur atau
rencana asuhan (contoh, perlunya pencegahan trombosis vena dalam, ulkus
dekubitus dan jatuh). Bila ada risiko tersebut, maka dapat dicegah dengan cara
melakukan pelatihan staf dan mengembangkan kebijakan dan prosedur yang
sesuai.
11. Pelayanan gizi bagi Pasien di RS
Makanan dan nutrisi yang memadai penting bagi kondisi kesehatan dan
proses pemulihan pasien. Makanan yang sesuai dengan umur pasien, budaya
pasien dan preferensi diet, rencana pelayanan, harus tersedia secara rutin.
Pasien berpartisipasi dalam perencanaan dan seleksi makanan, dan keluarga
pasien dapat, bila sesuai, berpartisipasi dalam menyediakan makanan, konsisten
dengan budaya, agama, dan tradisi dan praktik lain.

Berdasarkan asesmen kebutuhan pasien dan rencana asuhan, DPJP atau


pemberi pelayanan lainnya yang kompeten memesan makanan atau nutrien lain
yang sesuai bagi pasien. Bila keluarga pasien atau pihak lain menyediakan
makanan pasien, mereka diberikan edukasi tentang makanan yang dilarang /
kontra indikasi dengan kebutuhan dan rencana pelayanan, termasuk informasi
tentang interaksi obat dengan makanan. Bila mungkin, pasien ditawarkan
berbagai macam makanan yang konsisten dengan status gizinya. Pada asesmen
awal, pasien diperiksa / ditapis untuk mengidentifikasi adanya risiko nutrisional.
Pasien ini akan dikonsulkan ke nutrisionis untuk asesmen lebih lanjut. Bila
ternyata ada risiko nutrisional, dibuat rencana terapi gizi. Tingkat kemajuan
pasien dimonitor dan dicatat dalam rekam medisnya. Dokter, perawat dan ahli
diet dan kalau perlu keluarga pasien, bekerjasama merencanakan dan
memberikan terapi gizi.

12. Pelayanan Obat untuk Pasien di RS


sakit mengidentifikasi petugas yang kompeten yang diijinkan untuk
menuliskan resep atau memesan obat-obatan. Seleksi obat untuk mengobati
pasien membutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang spesifik. Setiap rumah
sakit bertanggung jawab untuk mengidentifikasi petugas yang berpengetahuan
dan berpengalaman yang disyaratkan dan yang juga diijinkan dengan lisensi,
sertifikasi, hukum, atau peraturan untuk menuliskan resep atau memesan obat-

49
obatan. Suatu rumah sakit dapat menentukan batas-batas untuk penulisan resep
maupun pemesanan oleh perseorangan, misalnya untuk bahan yang
dikendalikan, bahan-bahan kemoterapi, atau radioaktif serta obat investigatif.
Petugas-petugas yang diperkenankan untuk penulisan resep dan pemesanan
obat dikenal oleh bagian pelayanan farmasi atau orang-orang lain yang
mengeluarkan obat. Dalam situasi emergensi, rumah sakit mengidentifikasi
setiap petugas tambahan yang diijinkan untuk penulisan resep atau pemesanan
obat.

Hal yang harus dipatuhi terkait obat :


1. Hanya orang yang diijinkan oleh rumah sakit dan peraturan perundangan
yang dapat menuliskan resep atau memesan obat
2. Ada proses untuk menetapkan batas bagi petugas, bila perlu, untuk praktek
penulisan resep atau pemesanan obat.
3. Petugas-petugas yang diijinkan untuk menuliskan resep dan memesan obat
dikenal oleh unit pelayanan farmasi atau orang lain yang mengeluarkan obat-
obat.

2. Pelayanan Pasien Risiko Tinggi Dan Penyediaan Pelayanan Risiko Tinggi


1) Pelayanan kasus emergency/gawat darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat
dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) hila tidak
dilakukan pertolongan secepatnya. Pengkajian pada kasus gawat darurat
dibedakan menjadi dua, yaitu: pengkajian primer dan pengkajian sekunder.
Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan survei pnmer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
mengancam hidup pasien barulah selanjutnya dilakukan survey sekunder. Tahapan
pengkajian primer meliputi: A (Airway) memeriksa jalan nafas dengan tujuan
menjaga jalan nafas disertai control servikal. B (Breathing) memeriksa pernafasan
dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat. C (Circulation)
memeriksa system sirkulasi disertai control perdarahan. D (Disability) memeriksa
status neurologis. E (Exposure) enviromental control, buka baju penderita tapi
cegah hipotermia. Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi
50
yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial
sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan
dalam tempo waktu yang singkat (kurang 3 dari 10 detik) difokuskan pada Airway
Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan
penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah
system pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh
yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam
kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi
kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih
dari 10 menit akan menyebakan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada
penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.

2) Pelayanan pasien yang rentan, lanjut usia dengan ketergantungan bantuan.


Pada usia lanjut gejala klinik gangguan jiwa seringkali berbeda dengan
penderita usia lebih muda. Perubahan yang terjadi pada lanjut usia sejalan dengan
periode penuaan menunjukkan adanya kelainan patologi yang multiple merupakan
suatu tantangan dalam menilai gejala klinik, pemberian pengobatan dan
rehabilitasi. Menua sehat seringkali digunakan sebagai sinonim dari bebas dari
ketidakmampuan pada lanjut usia. Jadi menua sehat harus diikuti dengan lanjut
usia yang aktif, senantiasa berperan serta pada aktifitas. social, budaya, spiritual,
ekonomi dan peristiwa di masyarakat. Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran
yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan
psikologis ataupun psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah
berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik analog dengan psikiatrik anak
(Brcoklehurts Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia
memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam
manifestasi klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara
pathogenesis dewasa muda dan lanjut usia (Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982).
Faktor penyulit pada lanjut usia juga perlu dipertimbangkan. antara lain sering
adanya penyakit dan kecatatan medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat
(Polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif (Weinberg,
1995; Gunadi, 1984). Oleh karena itu pasien lansia dan cacat merupakan salah satu

51
pasien yang beresiko tinggi yang perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena
itu pasien lansia dan cacat merupakan salah satu pasien yang beresiko tinggi yang
perlu mendapat perhatiam khusus.
3) Pelayanan pasien dengan alat pengikat (restraint)
Definisi restraint ini berlaku untuk semua penggunaan restraint diunit dalarn
rumah sakit. Pada urnumnya, jika pasien dapat melepaskan suatu alat yang dengan
mudah, maka alat tersebut tidak dianggap sebagai suatu restraint. Jika suatu
tindakan memenuhi definisi restraint, hal ini tidak secara otomatis dianggap
salahltidak dapat diterima. Penggunaan restraint secara berlebihan dapat terjadi,
tetapi pengambilan keputusan untuk mengaplikasikan restraint bukanlah suatu hal
yang mudah. Suatu diskusi yang rnendalam mengenai aspek etik, hukum, praktek
dan profesionalisme dilakukan untuk membantu tenaga kesehatan (misalnya
perawat) memahami perbedaan antara penggunaan restraint yang salah/tidak
dapat ditolerir dengan kondisi yang memang memerlukan tindakan restraint.
Tidaklah memungkinkan untuk membuat suatu daftar mengenai jenis restraint apa
saja yang dapat diterapkan kepada pasien dikarenakan mengaplikasikannya
bergantung pada kondisi pasien saat itu. Suatu pembatasan fisik/mekanisme/kirnia
dapat diterapkan pada suatu kondisi tertentu, tetapi tidak pada kondisi lainnya.
4) Pasien risiko kekerasan
Kekerasan Fisik adalah ekspresi dari apa baik yang dilakukan secara fisik yang
mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan ataumartabat
seseorang. Kekerasan fisik dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok
orang. Perlindungan Pasien Terhadap Kekerasan Fisik adalah suatu upaya rumah
sakit untuk melindungi pasien dari kekerasan fisik oleh pengunjung, pasien lain atau
staf rumah sakit. Kekerasan fisik di rumah sakit dapat dialami oleh bayi baru lahir
(neonatus) dan anak-anak, lansia, pasien koma dan perempuan. Pasien dengan
gangguan nwa terkadang tidak bias mengendalikan perilakunya, sehingga pasien
tersebut perlu dilakukan tindakan pembatasan gerak (restraint) atau menempatkan
pasien di kamar isolasi. Tindakan bertujuan agar pasien dibatasi pergerakannya
karena dapat menciderai orang lain atau diciderai orang lain. Bila tindakan isolasi
tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahava. herpotensi melukai diri

52
sendiri atau orang lain maka alternative lain adalah dengan melakukan
pengekangan/pengikatan fisik (restraint).

53
3. Pemberian makanan dan terapi nutrisi
1) Asuhan gizi pasien rawat jalan
Pengertian dari asuhan gizi pasien rawat jalan adalah serangkaian proses
kegiatan pelayanan gizi yang berkesinambungan dimulai dari perencanaan diet,
pelaksanaaan konseling diet hingga evaluasi rencana diet kepada klien/pasien
rawat jalan.
Tujuannya adalah memberikan pelayanan gizi kepada klien/pasien rawat jalan
agar memperoleh asupan makanan yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.

 Pengkajian status gizi

a. Antropometri , dilakukan dengan melakukan pengukuran BB dan TB. Bila


pasien tidak dapat melakukan pengukuran tersebut, dapat dilakukan
pengukuran LLA.

b. Pemeriksaan fisik, dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainana klinis yang


berhubungan dengan gangguan gizi atau untuk menentukan hubungan sebab
akibat antara status gizi dengan kesehatan, serta menentukan terapi obat dan
diet. Pemeriksaan fisik meliputi : tanda tanda klinis kurang gizi ( sangat kurus,
pucat atau bengkak) atau gizi lebih (gemuk atau sangat gemuk/obesitas).

c. Laboratorium , dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan biokimia dalam


rangka mendukung diagnosa penyakit serta menegakkan masalah gizi
klien/pasien. Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk menentukan intervensi gizi
dan memonitor/mengevaluasi terapi gizi

 Riwayat gizi

Anamnesa riwayat gizi pasien ada dua macam, yaitu secara kualitatif dan
kuantitatif, Anamnesa kualitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran
kebiasaan makan/pola makan sehari hari berdasarkan frekuensi penggunaan
bahan makanan, sedangkan anamnesa kuantitatif dilakukan untuk mendapatkan
gambaran asupan zat gizi sehari.

54
 Konseling gizi, tujuan konseling gizi adalah membuat perubahan
pengetahuan,sikap,dan peilaku makan, serta pola makan sesuai kebutuhan
klien/pasien.

2) Asuhan Gizi Pasien Rawat Inap

Pengertian dari asuhan gizi pasien rawat inap adalah serangkaian proses
kegiatan pelayanan gizi yang berkesinambungan dimulai dari perencanaan diet
hingga evaluasi rencana diet pasien di ruang rawat inap. Tujuannya adalah
memberikan pelayanan kepada pasien rawat inap agar memperoleh gizi yang
sesuai dengan kondisi penyakit.

 Pengkajian status gizi

d. Antropometri , dilakukan dengan melakukan pengukuran BB dan TB. Bila


pasien tidak dapat melakukan pengukuran tersebut, dapat dilakukan
pengukuran LLA.

e. Pemeriksaan fisik, dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainana klinis yang


berhubungan dengan gangguan gizi atau untuk menentukan hubungan sebab
akibat antara status gizi dengan kesehatan, serta menentukan terapi obat dan
diet. Pemeriksaan fisik meliputi : tanda tanda klinis kurang gizi ( sangat kurus,
pucat atau bengkak) atau gizi lebih (gemuk atau sangat gemuk/obesitas).

f. Laboratorium, dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan biokimia dalam


rangka mendukung diagnosa penyakit serta menegakkan masalah gizi
klien/pasien. Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk menentukan intervensi gizi
dan memonitor/mengevaluasi terapi gizi

 Riwayat gizi, Setiap pasien rawat inap dianalisis kebiasaan makan sebelum
dirawat yang meliputi asupan zat gizi, pola makan, bentuk dan frekuensi
makan, serta pantangan makan. Asupan zat gizi diukur dan selanjutnya
dianalisis zat gizinya dengan menggunakan DBMP. Analisis asupan gizi
memberikan informsai perbandingan antara asupan dengan kebutuhan gizi
dalam sehari.

55
 Penentuan kebutuhan, diberikan kepada klien/pasien atas dasar status
gizi,pemeriksaan klinis dan data laboratorium. Selain itu perlu juga
memperhatikan kebutuhan untuk penggantian zat gizi, kebutuhan harian,
kebutuhan tambahan karena kehilangan serta tambahan untuk pemulihan
jaringan atau organ yang sedang sakit.

 Penentuan macam dan jenis diet, setelah dokter menentukan diet pasien, ahli gizi
akan mempelajari dan menyusun rencana diet yang akan diberikan pada pasien
dan selanjutnya akan dimasukkan ke dalam menu dan porsi makanan serta
frekuensi makan yang akan diberikan. Makanan diberikan dalam berbagai bentuk
sesuai kebutuhan pasien. Apabila dari rencana diet tersebut diperlukan
penyesuaian, maka ahli gizi akan mengkonsultasokan kepada dokter.

 Konseling dan penyuluhan gizi, tujuan konseling gizi adalah membuat perubahan
pengetahuan,sikap,dan peilaku makan, serta pola makan sesuai kebutuhan
klien/pasien.

 Pemantauan, Evaluasi dan Tindak lanjut, aktivitas utama proses evaluasi


pelayanan gizi pasien adalah memantau pemberian makanan secara
berkesinambungan untuk menilai proses penyembuhan dan status gizi pasien.
Untuk pasien yang dirawat walaupun tidak memerlukan diet khusus tetapi tetap
perlu mendapatkan perhatian agar tidak terjadi “Hospital Malnutrition” terutama
pada pasien-pasien yang mempunyai masalah dalam asupan makanannya seperti
adanya mual, muntah dan penurunan nafsu makan.

3) Penyediaan Makanan Pasien


Langkah langkah penyediaan makanan sesuai dengan kebutuhan pasien :
 Petugas gizi merencanakan menu
 Petugas gizi menghitung kebutuhan bahan makanan
 Petugas dapur melakukan pembelian dan penerimaan bahan makanan
 Petugas dapur melakukan penyimpanan bahan makanan
 Petugas dapur mencuci tangan
 Petugas dapur melakukan pengolahan bahan makanan
 Petugas dapur mencuci tangan
56
4) Pemesanan Makanan Pasien Rawat Inap
Langkah-langkah pemesanan makanan pasien rawat inap
 Petugas melakukan pemeriksaan jumlah pasien rawat inap
 Petugas memeriksa apakah pasien ada pantangan makan atau alergi makanan
pada tiap pasien rawat inap.
 Petugas menghitung kebutuhan gizi berdasarkan atas status gizi dan kebutuhan
pasien rawat inap.
 Petugas mengisi buku permintaan makanan yang tersedia sesuai dengan
jumlah pasien di ruang rawat inap
 Petugas menyerahkan buku permintaan yang berisi label etiket makanan
(Nama, No Rekam Medis, tanggal lahir dan Jenis Diet) kepada petugas
pramusaji

E. PENDISTRIBUSIAN MAKANAN
Langkah langkah pendistribusian makanan antara lain :
1. Persiapan Alat :
 Alat makan pasien
 Troli makanan
2. Persiapan Petugas :
 Memakai pakaian kerja bersih yang tidak di pakai untuk memasak
 Sebelum dan sesudah kontak dengan alat makan/makanan cuci tangan
dengan sabun dan air mengalir
 Jika badan dalam keadaan kurang bugar/fit (flu) memakai masker ketika
mendistribusikan makanan, alihkan muka dari makanan dan peralatan
makan bila batuk atau bersin. Tutup mulut/hidung dengan
tangan/saputangan serta cuci sesudah itu
3. Pelaksanaan :
 Cek kembali makanan yang telah disajikan pada peralatan makan pasien
dengan stiker pesanan diet pasien
 Bersihkan alat makan pasien jika terkena tumpahan/noda saat
penyajian makanan pasien

57
 Masukkan baki ke dalam troli makanan, hindari makanan/sayur tumpah
dengan melakukannya perlahan
 Tutup dan kunci pintu troli
 Mengantar troli makanan hingga ke depan kamar pasien
 Mengambil baki makanan pasien sesuai dengan identitas pada stiker
diet
 Mengetuk pintu kamar pasien kemuadian 3S (Senyum, Salam, Sapa)
 Meletakkan baki makanan di tempat yang terjangkau pasien, atau
diletakkan di meja jika ada keluarga pasien.
4. Waktu pengantaran makanan
Makan pagi : 07.00 WITA
Makan siang : 11.30 WITA
Snack Sore : 14. 00 WITA
Makan malam : 18.00 WITA
5) EDUKASI GIZI RAWAT INAP
Langkah langkah edukasi gizi rawat inap antara lain :
1. Pasien baru segera dikunjungi oleh petugas pelaksana gizi ruangan untuk
melakukan anamnesa diet. Data anamnesa dicatat pada formulir asuhan gizi
2. Petugas pelaksana gizi ruangan memberikan edukasi dan konseling kepada
pasien dan keluarga pasien tentang diet yang akan dijalankan selama dirawat
di ruang rawat inap.
3. Selama dirawat,konseling gizi dilakukan kembali apabila
a. Pasien tidak mengikuti dietnya
b. Ada perubahan diet
c. Pasien ingin makan makanan dari luar
4. Melakukan monitoring dan evaluasi dengan melakukan kunjungan ulang ke
ruang rawat inap pasien, sehingga dapat diketahui tingkat keberhasilan dan
intervensi yang dilakukan
5. Mencatat hasil konseling gizi dan hasil monitoring evaluasi di formulir asuhan
gizi

4. Pengelolaan Nyeri
58
A. CARA PENGKAJIAN/ASESMEN
Semua pasien yang masuk di RSIA Permata Hati, petugas harus melakukan anamnesa
dan dinilai skala nyerinya.
1. Anamnesa
Anamnesa yang dilakukan terhadap pasien dengan cara menanyakan kepada
pasien meliputi :
a. P (Provokes) : Faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri
b. Q (Quality) : Bagaimana rasa nyerinya R (Radiation / Relief) : Melacak daerah
nyeri dari titik yang paling nyeri
c. S ( Severity ) : Keparahan atau intensitas nyeri
d. T (Time / On set) :Waktu atau lama serangan atau frekuensi Nyeri
2. Asesmen/Penilaian Skala Nyeri
Asesmen nyeri yang dilakukan di RSIA Permata Hati menggunakan 3 cara yaitu :
a. Numeric Scale digunakan untuk pasien dewasa dan anak yang usianya lebih 8
tahun. Cara mengukur skala nyeri dengan numeric scale adalah dengan
menanyakan pada pasien mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0 – 10. Setelah mendapatkan hasil
numeriknya dikategorikan :

-0 : tidak nyeri
-1–3 : nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
-4–6 : nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
- 7 – 10 : nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)

59
b. Wong baker faces pain scale digunakan untuk pasien (dewasa dan anak lebih 3
tahun) yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.
Cara mengukur nyerinya adalah dengan mencocokan ekspresi wajah pasien
dengan gambar yang ada dipanduan (seperti dibawah ini)

Kemudian dari gambar yang cocok tentukan numeriknya.


Dari hasil numeric bias didapatkan keterangan atau kondisi pasien yaitu :
-0 : ekspresi rilek, tidak merasa nyeri sama sekali
-2 : sedikit nyeri
-4 : cukup nyeri
-6 : lumayan nyeri
-8 : sangat nyeri
- 10 : amat sangat nyeri (tak tertahankan)

c. FLACC Behavioral pain scale digunakan pada bayi dan pasien tidak sadar yang
tidak dapat dinilai dengan Numeric Scale dan Wong baker faces pain scale.
Cara penilaian adalah petugas mencocokan kondisi pasien dengan standar
pada table berikut :

Kategori Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Smile Smile / ceria Perubahan Ekspresi wajah


(tidak ada ekspresi / sedih, stress, dagu
ekspresi sedih) sesekali mengatup rapat,
menyeringai /
60
meringis gemetar

Legs Normal posisi / Sulit, tegang, Menendang –


rileks kaku nendang, tidak
kooperatif

Activity Tiduran normal, Posisi tidak Tidak kooperatif


posisi nyaman, nyaman,
pindah posisi menggeliat, geser
kebelakang dan
kedepan, kaku

Cry Tidak menangis Merengek, Melenguh, series


saat bangun / sesekali menangis,
sadar menangis / complain, suara
Nampak tidak tidak jelas,
nyaman, merintih berteriak

Consolability Perasaan Nampak rileksbila Sangat sulit


nyaman dan disentuh, nyeri menjadi nyman
relaksasi berkurang
dengan
sentuhan /
massage

Setelah mendapatkan nilai dari ke lima skor diatas kemudian dijumlahkan,


apabila :
- Nilai 1-3 termasuk nyeri ringan
- Nilai 4-6 termasuk nyeri sedang
- Nilai 7-10 termasuk nyeri berat

B. PENATALAKSANAAN

61
Setelah petugas mengetahui skala nyeri pasien maka akan dilakukan intervensi sesuai
dengan skala nyeri pasien. Tindakan yang dilakukan adalah :
1. Pasien yang mengalami nyeri derajat ringan (skala 1-3) dilakukan edukasi untuk
relaksasi dan distraksi
2. Apabila dengan tehnik relaksasi dan distraksi, keluhan nyeri tidak berkurang
dilakukan kolaborasi medis untuk pemberian therapy jenis NSAID
3. Pasien yang mengalami nyeri derajat sedang (skala 4-6) dilakukan kolaborasi
medis untuk pemberian therapy jenis NSAID / opioid dosis ringan
4. Pasien yang mengalami nyeri derajat berat (skala 7- 10) dilakukan kolaborasi
medis untuk pemberian therapy jenis opioid
5. Apabila dengan pemberian therapy farmako jenis opioid, tetapi keluhan nyeri
belum teratasi maka, bila diperlukan Dokter DPJP akan merujuk kepada Tim nyeri
intervensi

C. EVALUASI
Evaluasi atau reasesmen dilakukan sesuai dengan derajat nyeri pasien yaitu :
1. Semua pasien dirawat inap dilakukan reasesmen terhadap nyeri minimal tiap 8 jam
(saat pergantian shift b. Perawat )dan bila diperlukan
2. Satu jam setelah dilakukan tindakan keperawatan distraksi / relaksasi
3. 15 - 30 menit setelah pasien mendapatkan therapy analgetik oral dan injeksi
analgetik
4. 5 menit setelah pemberian nitrat dan obat intra vena pada pasien nyeri jantung
/cardiac
5. Lima menit setelah pasien yang mendapatkan therapi injeksi opioid.

5. Pelayanan Menjelang Akhir Hayat

a. Lakukan assesment problem yang berkaitan dengan kematian (problem psikologi,


fisiologi, sosial, spiritual).
b. Berikan pengobatan untuk mengurangi rasa nyeri gejala primer atau sekunder
sesuai permintaan pasien dan

62
c. Lakukan intervensi dalam hal keagamaan dan kebudayaan pasien dan keluarga
(pastoral care )
d. Lakukan pelayanan tahap terminal pada pasien dengan hormat dan
e. KIE keluarga mengenai kondisi.

BAB 5
DOKUMENTASI

1. Pelayanan pasien seragam


Semua proses asuhan pasien oleh Profesional Pemberi Asuhan (PPA) harus
dicatat dalam berkas rekam medis pasien secara runtut sesuai dengan perjalanan
asuhan yang dialami pasien di RS, mulai dari Assesmen Awal sampai pada Resume
Pulang.
Pencatatan dalam berkas rekam medis mengikuti kaidah Problem Oriented
Medical record (POMR) yaitu dengan pola S (subyektif, keterangan/keluhan pasien), O
(objektif, fakta yang ditemukan pada pasien melalui pemeriksaan fisik dan penunjang),
A (analisis, merupakan kesimpulan/diagnose yang dibuat berdasarkan S dan O) dan P
(plan, rencana asuhan yang akan diterapkan pada pasien).

2. Pelayanan Pasien Risiko Tinggi Dan Penyediaan Pelayanan Risiko Tinggi


1) Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
2) Formulir Observasi Pasien

3. Pemberian makanan dan terapi nutrisi


63
Pencatatan asuhan gizi pasien rawat inap :
1) FORM Pengkajian Gizi
2) FORM Edukasi Gizi

4. Pengelolaan Nyeri
1) Asesmen nyeri didokumentasikan pada RM
2) Diagnosa keperawatan nyeri disokumentasikan pada RM
3) Intervensi nyeri didokumentasikan pada RM
4) Implementasi nyeri didokumentasikan pada RM
5) Evaluasi nyeri didokumentasikan pada RM terintegrasi
6) Edukasi nyeri
 Pada derajat ringan (1-3) yaitu dilakukan edukasi dengan relaksasi dan
distraksi didokumentasikan pada RM pada kolom perawat/bidan
 Edukasi nyeri dengan derajat sedang sampai berat dilakukan edukasi oleh
dokter dan didokumentasikan pada RM kolom dokter spesialis/RMO
Edukasi nyeri dengan derajad berat dilakukan edukasi oleh tim nyeri
intervensi didokumentasikan pada kolom manajemen nyeri
 Semua edukasi yang dilakukan didokumentasikan pada Form (Buku
Registrasi Edukasi Pasien)

5. Pelayanan Menjelang Akhir Hayat


1) Rekam medis pasien
2) Form pasien tahap terminal

Ditetapkan di : M a k a s s a r
Pada Tanggal : 9 / 1 /2022
DIREKTUR
RSIA PERMATA HATI

64
dr. H. Andi Alamsyah
NIK : 20201102230001

65
66

Anda mungkin juga menyukai