Anda di halaman 1dari 69

LOGBOOK TUTOR

“KASUS I KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN”

Dosen Pembimbing:

Ns.Yosi Oktarina, S.Kep., M.Kep

Disusun oleh :

Khafivah Maisulvi (G1B119009)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN AJARAN 2022


SKENARIO KASUS 1

Pada jam 22.30.wib. Saat sedang bertugas jaga IGD di RSUD Raden Mattaher jambi,
Perawat TRIAGE mendapat pasien korban kecelakaan lalu-lintas seorang laki-laki berusia 35
tahun diantar oleh patroli polisi lalu lintas. Pasien sadar, mengeluh nyeri dada, sesak nafas
yang semakin bertambah, dan bahu kiri terasa nyeri. pada saat datang ke pasien perawat
segera melakukan primary survey dan secondary survey Menurut keterangan pengantar, 3
jam SMRS pasien mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi, menabrak pohon
ketika menghindari hewan yang melintas. Penderita terjungkal dan jatuh dari motor, dada
terbentur stang motor dan nyeri pada bahu sebelah kiri. Dari pemeriksaan fisik, kesadaran
GCS 8. Nafas cepat dan dangkal, suara tambahan didapatkan (gurgling dan snoring ). Vital
sign: Nadi 130x/menit, tekanan darah 90/70 mmHg, suhu 37C, RR 32x/menit. Terdapat jejas
pada thorax kanan, JVP meningkat, pergerakan dada kanan tertinggal, perkusi hipersonor,
auskultasi vesiculer menurun, emfisema sub cuti (+). Regio bahu kiri terdapat jejas (+),
perdarahan aktif di femur dextra (+), oedem (+), deformitas (+), nyeri tekan (+) dan krepitasi
(+). Pada pemeriksaan Fisik lanjutan Perawat IGD menduga adanya pneumothorax kanan dan
berencana melaporkan ke dokter jaga untuk melakukan thorakosintesis segera. Keluarga
pasien belum ada yang datang. Sambil menunggu keluarga, dokter melakukan
informedconsent pada pihak pengantar pasien, dilanjutkan permintaan cek lab darah dan
radiologi.

LO:

1. Bagaimana Konsep Gawat Darurat pada pasien?

2. Bagaimana sistem kolaborasi tim dalam penanganan pasien?

3. Bagaimana Etik legal dalam kegawatdaruratan?


STEP I (KLASIFIKASI ISTILAH SULIT DAN JAWABAN)

1. Thorakosintetsis (Putry)

2. Triage (Husnul)

3. Deformitas (Nurfajrindah)

4. Primary Survey (Khafivah)

5. Jejas (Yayu)

6. Snoring (Marta)

7. Informed Consent(Cika)

Jawaban:

1. Thorakosintesis atau penyedotan cairan di paru adalah suatu prosedur yang dilakukan
apabila terdapat banyak cairan dalam rongga pleura. Prosedur penyedotan cairan ini
dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam rongga pleura untuk mengeluarkan
cairannya, sehingga pasien dapat bernapas dengan lebih baik. Penyedotan cairan paru
bertujuan mengeluarkan cairan yang menumpuk dalam rongga pleura sehingga pasien dapat
bernapas dengan lebih lancar. (Helni)

2. Triase adalah proses identifikasi pasien dan pengambilan keputusan dalam


menentukan pasien mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami kecacatan, atau
berisiko memburuk keadaan klinisnya apabila tidak mendapatkan penanganan medis segera,
dan pasien mana yang dapat dengan aman menunggu. (Syifa)

3. Deformitas adalah perubahan bentuk anatomis, seperti menonjok atau tampak lebih
ekstrim yang membuat bagian tubuh tampak atau berfungsi berbeda dari yang seharusnya
(Hani)

4. Primary Survey (Penilaian Awal) merupakan usaha yang dilakukan untuk


mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami keadaan yang
mengancam jiwa, Kepedulian perawat pada saat menemukan klien yang membutuhkan
primary survey (penilaian awal) sangat mempengaruhi keberhasilan usaha pertolongan yang
akan di lakukan. (Nadia)

5. Jejas adalah suatu keadaan ketika sel dapat kembali ke fungsi dan morfologi semula
jika rangsangan perusak ditiadakan (Hanif)

6. Snoring merupakan suara ngorok atau mendengkur yang terjadi ketika saluran nafas
menyempit. Aliran udara yang terbatas menyebabkan suara bergetar. Volume dengkuran
dapat bervariasi tergantung pada seberapa terbatas udara di hidung, mulut, atau tenggorokan.
Penyebabnya antara lain dapat berupa membesarnya amandel sehingga membatasi aliran
udara yang lewat atau kelebihan berat badan karena penumpukan lemak pada leher. (Elvin)

7. Informed consent adalah penyampaian informasi dari dokter atau perawat kepada
pasien sebelum suatu tindakan medis dilakukan atau persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga yang telah mendapatkan penjelasan secara lengkap dan rinci mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan. (Reny)
STEP II (IDENTIFIKASI MASALAH)

1. Apa tindakan awal yang harus dilakukan oleh perawat? (Hanif)

2. Apa tujuan dilakukannya tindakan thorakosintesis? (Reny)

3. Apa yang harus diperhatikan perawat saat menghadapi situasi kegawatdaruratan pada
kasus tersebut? (Yuda)

4. Apa kemungkinan terparah yang bisa dialami pasien dan bagaimana dampaknya
terhadap sistem kardio dan respirasinya mengingat adanya cedera parah pada bagian thorax?
(Syifa)

5. Berdasarkan kasus disampaikan bahwa pada pemfis lanjutan, perawat IGD menduga
adanya pneumothorax kanan dan berencana melaporkan ke dokter jaga untuk melakukan
thorakosintesis segera. maka dari itu, dari berbagai data yang dilampirkan, data apa sajakah
yang memperkuat perawat sehingga menduga pasien megalami pneumothorax kanan dan apa
komplikasi yang mungkin ditimbulkan jika tidak segera dilakukan thorakosintesis? (Helni)

6. Bagaimana cara pengelompokkan triage dan masuk dalam kategori triage apa pasien
pada kasus? (Nadia)

7. Apa yang menyebabkan pasien diperlukan pemeriksaan cek lab darah dan radiologi?
(Hani)
STEP III (ANALISIS MASALAH)

1. Seorang perawat triage dituntut menjalankan sistem pelayanan bersifat darurat


sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, teknik
serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepada
pasien. Dari keseluruhan proses triage ditujukan untuk pengkajian pasien yang lebih awal dan
singkat, penentuan dari penanganan pasien yang mendesak, mendokumentasikan temuan,
mengontrol alur pasien di unit gawat darurat, menempatkan pasien pada area perawatan yang
sesuai, awal dari tindakan diagnostik dan intervensi terapeutik yang terbatas, dapat
mengontrol infeksi dan untuk pendidikan kesehatan bagi pasien (Nurfajrindah)

2. Tujuan dari thoracentesis terapeutik adalah untuk mengambil sebanyak mungkin


cairan pleura dalam satu tindakan. Hal ini dapat sangat mengurangi kesulitan bernapas
pasien. Selain itu, pasien dengan empiema atau nanah pada rongga pleura dapat menjalani
thoracentesis untuk menghilangkan cairan yang terinfeksi. Pengambilan cairan yang cukup
dari efusi yang terinfeksi dan pengendalian sumber cairan adalah langkah yang penting dari
penanganan empiema. Akhirnya, pengambilan cairan pleura dapat memberikan hasil evaluasi
radiografi pada paru-paru yang lebih jelas, yang dapat membantu dalam penanganan efusi
pleura. Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi gejala yang
ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang diakibatkan jumlah cairan yang besar
dan membutuhkan evakuasi segera. Kontraindikasi torakosentesis Tidak ada kontraindikasi
untuk torakosentesis. Studi terbaru menunjukkan bahwa jika torakosentesis dilakukan dengan
tuntunan USG, maka hal ini aman untuk dilakukan meskipun terdapat kelainan koagulasi.
Perhatikan pasien dengan kelainan koagulasi, termasuk gagal ginjal, tanda – tanda perdarahan
yang terjadi setelah prosedur. Hindari tempat yang terdapat selulitis maupun herpes zoster
dengan memilih lokasi torakosentesis alternatif/(Roberts JR et al, 2014) . (Husnul)

3. -Kaji jalan nafas (Airway) : Anda lakukan observasi pada gerakan dada,, apakah ada
gerakan dada atau tidak. Apabila ada gerakan dada spontan berarti jalan nafas lancar atau
paten, sedang apabila tidak ada gerakan dada walaupun diberikan bantuan nafas artinya
terjadi sumbatan jalan nafas - Kaji fungsi paru (breathing): Anda kaji/observasi kemapuan
mengembang paru, adakah pengembangan paru spontan atau tidak. Apabila tidak bisa
mengembang spontan maka dimungkinkan terjadi gangguan fungsi paru sehingga akan
dilakukan tindakan untuk bantuan nafas. lihat adanya memar atau luka - Kaji sirkulasi
(Circulation) : Anda lakukan pengkajian denyut nadi dengan melakukan palpasi pada nadi
radialis, apabila tidak teraba gunakan nadi brachialis, apabila tidak teraba gunakan nadi
carotis. Apabila tidak teraba adanya denyutan menunjukkan gangguan fungsi jantung.
kemudian liat ada nya syok seperti hipotensi (Khafivah)

4. LO

5. Pneumothorax. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
textbook of pediatric. Edisi ke-18 adalah kondisi ketika udara bocor ke ruang di antara paru-
paru dan dinding dada. Cedera dada akibat benda tumpul atau tusukan, prosedur medis
tertentu, atau penyakit paru-paru. Pada kasus tersebut perawat menduga pasien mengalami
pneumothorax kanan, data-data yang memperkuat hal tersebut yaitu.

a. Nafas cepat dan dangkal

b. Suara tambahan (gurgling dan snoring)

c. Jejas pada thorax kanan

d. JVP meningkat

e. Pergerakan dada kanan tertinggal

f. Perkusi hipersonor

g. Auskultasi vesiculer menurun

h. Emfisema sub cuti

i. Perdarahan aktif di femur dextra

j. Oedem

k. Deformitas

l. Nyeri tekan
m. Krepitasi

Thorakosintesis merupakan tindakan invasif dengan menginsersi jarum melalui dinding


toraks untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura. Jika tidak segera dilakukan
Thorakosintesis, udara yang masuk ke rongga pleura tidak dapat keluar, hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam rongga pleura secara progresif, kolapsnya jaringan paru secara
progresif dan menyebabkan pendorongan mediastinum ke sisi yang berlawanan dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi kardiopulmoner. (Yayu)

6. Pengelompokan triase berdasarkan tag label, yaitu:

• Prioritas Nol (Hitam)

Pasien meninggal atau cedera Parah yang jelas tidak mungkin untuk diselamatkan.
pengelompokan label Triase

• Prioritas Pertama (Merah)

Penderita Cedera berat dan memerlukan penilaian cepat dan tindakan medik atau transport
segera untuk menyelamatkan hidupnya. Misalnya penderita gagal nafas, henti jantung, Luka
bakar berat, pendarahan parah dan cedera kepala berat.

• Prioritas kedua (kuning)

Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera dan tingkat yang kurang berat dan
dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. misalnya cedera
abdomen tanpa shok, Luka bakar ringan, Fraktur atau patah tulang tanpa Shok dan jenis-jenis
penyakit lain.

• Prioritas Ketiga (Hijau)

Pasien dengan cedera minor dan tingkat penyakit yang tidak membutuhkan pertolongan
segera serta tidak mengancam nyawa dan tidak menimbulkan kecacatan. Nah mungkin anda
masuk dalam kategori yang ini, jadi Jangan marah-marah dan jangan heran kenapa anda tidak
langsung mendapatkan perawatan di Ruang UGD sementara mereka harus menolong pasien
lain yang lebih parah.
Kategori triage pada kasus adalah prioritas kedua (kuning) (Putry)

7. Pemeriksaan cek darah dan radiologi bertujuan untuk mendiagnosis suatu penyakit,
dengan begitu penangan tepat yang perlu dilakukan untuk jenis penyakit tersebut dapat
diketahui.. pasien diperlukaan pemeriksaan cek lab darah dan radiologi dikarenakan pada
kasus pasien mengalami kecelakaan. Dada pasien terbentur stang motor dan nyeri pada bahu
sebelah kiri, pergerakan dada kanan tertinggal, terdapat jejas pada thorax kanan. (Cika)
STEP IV (MIND MAPPING)

Laki-laki usia 35 tahun

Kecelakaan lalu lintas:

Pasien terjungkal, jatuh dari motor, dan dada


terbentur stang motor

Perawat melakukan primary


survey dan secondary survey

Data Objektif
Data Subjektif
- Pasien mengeluh nyeri
-GCS 8
- Pasien sesak napas
- Bahu kiri terasa nyeri -Napas cepat dan dangkal
- Menurut keterangan
pengantar, 3 jam SMRS -Adanya suara tambahan (gurgling
pasien mengendarai sepeda dan snoring)
motor dengan kecepatan
-Nadi: 130x/menit
tinggi, menabrak pohon
ketika menghindari hewan -TD: 90/70 mmHg
yang melintas. Penderita
terjungkal dan jatuh dari -suhu 30 derajat C
motor, dada terbentur stang
motor dan nyeri pada bahu -RR 32x/menit
sebelah kiri.
-Jejas pada thorax kanan

-JVP meningkat

-Pergerakan dada kanan tertinggal

-Perkusi hipersonor

Perawat menduga adanya


pneumothorax kanan

Thorakosintesis

Kegawatdaruratan pada pasien trauma


STEP 5 ( LEARNING OBJEKTIF)

1. Bagaimana Konsep Gawat Darurat pada pasien?

Jawab:
1) Definisi Gawat Darurat

Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44
tahun 2009). Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak
mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan atau pertolongan
segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak
mendapatkan pertolongan semacam itu maka korban akan kehilangan nyawanya atau
cacat yaitu kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup. (Saanin, 2012).

2) Klasifikasi Gawat Darurat

Perlu dibedakan :
a. Gawat darurat Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak
mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat jantung, kejang,
koma, trauma kepala dengan penurunan kesadaran.
b. Gawat tidak darurat Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi
tidak memerlukan tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut.
c. Darurat tidak gawat Pasien akibat musibah yang datang tibatiba tetapi tidak
mengancam nyawa atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.
d. Tidak gawat tidak darurat Pasien poliklinik yang datang ke UGD Pendekatannya :
- Segera tangani hal-hal yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan
- Diagnosis tidak boleh menunda tindakan yang jelas ada indikasi
- Anamnesis lebih mendetil tidak perlu, hanya untuk evaluasi dalam keadaan akut
- Empati Urutan evaluasinya untuk di stabilisasi : (1) Airway dengan proteksi
vertebrae servikal (2) Breathing (3) Circulation dan control pendarahan (4)
Exposure dan Environtment.
3) Prinsip Gawat Darurat

Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta
harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan atau mengetahui
(orang awam, perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit
karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja. Prinsip utama
adalah memberikan pertolongan pertama pada korban. Pertolongan pertama adalah
pertolongan yang diberikan saat kejadian atau bencana terjadi ditempat kejadian.

Tujuan pertolongan pertama :


a) Menyelamatkan kehidupan
b) Mencegah kesakitan makin parah
c) Meningkatkan pemulihan
a. Prinsip Gawat darurat:
- SDM perlu disiplin yang tinggi.
- Perlu pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari SDM.
- Ada antusias dan keratvitas yang tinggi dari SDM.
- SDM mengetahui hal-hal yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan
dalam waktu singkat.
- Harus dapat segera mencukupi kebutuhan oksigen dalam sel.
b. Prinsip penanganan gawat darurat :
- Airway harus segera dibebaskan
- Breathing harus adekuat
- Circulation stabil dan adekuat
- Mencari penyebab gangguan kesadaran dan neurogis
- Tindakan CITO bila diperlukan
- Ada dokumentasi, klien sebagai subyek, monitoring, manusiawi
c. Prinsip Manajemen Gawat Darurat
- Pertahankan jalan nafas, ventilasi yang adekuat dan lakukan respirasi bila perlu
- Kontrol adanya perdarahan dan resikonya
- Evaluasi dan pertahankan curah jantung
- Cegah dan lakukan perawatan pada keadaan syok
- Lakukan pengkajian fisik
- Evaluasi ukuran dan reaktifitas pupil dan respon motoric
- Lakukan EKG jika perlu
- Cek adanya fraktur, termasuk fraktur servikal
- Lakukan perawatan luka
- Lakukan pengukuran tanda vital

4) Perspektif Gawat darurat :

a. Merupakan hal yang sangat mencemaskan baik pasien, keluarga dan SDM,
pemerintah serta masyarakat secara luas.
b. Keadaaan gawat darurat dapat terjadi dimana saja dan kapan saja.
c. Perlu adanya system penanggulangan gawat darurat terpadu yang jelas.
d. Keadaan gawat darurat tidak dapat diprediksi baik jumlah korban maupun kondisi
pasiennya.
e. Masyarakat perlu memahami hal-hal yang dapat menyebabkan keadaan gawat
darurat dan cara menolongnya.
f. Perlu adanya evaluasi setelah kejadian

5) Sistem Penanganan Gawat Darurat

Yang perlu diperhatikan dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu


(SPGDT) mencakup :

a. Pra RS, terdiri dari :

- Akses masyarakat kedalam SPGDT dan respon timenya.


- Komunikasi, penanganan di TKP.
- Adanya system triase bila perlu.
- Ada ambulance.
b. Rumah Sakit :
- Ada kerjasama, koordinasi SPGDT atau bencana
- SDM yang terlatih dan alat yang memadai
- Ada system triage
- Direhabilitasi mental dan fisik

6) Ruang Lingkup Pengkajian Gawat Darurat

a. Primer : Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure


b. Sekunder : Head to toe, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, riwayat
Penyakit Sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat Penyakit
Keluarga (RPK), biodata pasien.

1. Bagaimana sistem kolaborasi tim dalam penanganan pasien?

Jawab:

Sistem kolaborasi tim pada kasus diatas idealnya dipimpin oleh 1 orang dokter, 4
orang perawat, 1 radiografer dan 1 orang analis kesehatan. Seluruh tenaga kesehatan ini
saling bekerjasama untuk menyelesaikan masalah kegawatdarurtan yang terjadi. Seperti
pada kasus diatas pasien dicurigai mengalami pneumothorax, maka dokter dan perawat
bersama melakukan primary dan secondary survey pada pasien. Untuk menemukan
masalah kesehatan yang terjadi secara spesifik pada pasien, maka perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium (analisis gas darah) yang tentunya dilakukan oleh seorang
analis kesehatan. Pemeriksaan foto thorax dan ct scan juga perlu dilakukan mengingat
pasien mengalami benturan pada dadanya dan pemeriksaan ini dilakukan oleh seorang
radiografer. Setelah dilakukan pemeriksaan ini tentunya dokter dapat memutuskan untuk
diberikan penatalaksanaan apa. Bisa berupa pemberian obat atau tindakan medis lainnya
yang dapat dilakukan kolaborasi antara dokter, perawat dan juga apoteker.
2. Bagaimana Etik legal dalam kegawatdaruratan?

Jawab:

Penanggulangan gawat darurat menekankan respon cepat dan tepat dengan prinsip
Time Saving is Life and Limb Saving. Public Safety Care (PSC) sebagai ujung tombak
safe community adalah sarana public/masyarakat yang merupakan perpaduan dari unsur
pelayanan ambulan gawat darurat, unsur pengamanan (kepolisian) dan unsur
penyelamatan. PSC merupakan penanganan pertama kegawatdaruratan yang membantu
memperbaiki pelayanan pra RS untuk menjamin respon cepat dan tepat untuk
menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan, sebelum dirujuk ke RS yang dituju. Hal
ini telah disebutkan dalam UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 32 ayat 1 yaitu
dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta
wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu serta ayat 2 yaitu dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan
kesehatan baik pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang
muka.

Dalam pelayanan  kesehatan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit tidak
tertutup kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga
kesehatan dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi atau antar
profesi). Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan gawat darurat fase pra-rumah
sakit terlibat pula unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. Dalam mencegah dan
mengatasi konflik biasanya digunakan  etika dan norma hukum yang mempunyai tolak
ukur masing-masing. Oleh karena itu, dalam praktek keperawatan harus diperhatikan
dalam dimensi yang berbeda.

Aspek etika dan hukum dalam pelayanan gawat darurat sangat penting
dilaksanakan sebagai pedoman agar pelayanan yang diberikan tidak melanggar norma atau
hukum yang dapat merugikan profesi keperawatan atau masyarakat yang berakibat pada
konflik. Kesehatan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit tidak tertutup
kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan
dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi atau antar profesi).
Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit
terlibat pula unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. Dalam mencegah dan
mengatasi konflik biasanya digunakan  etika dan norma hukum yang mempunyai tolak
ukur masing-masing. Oleh karena itu, dalam praktek keperawatan harus diperhatikan
dalam dimensi yang berbeda.

Aspek etika dan hukum dalam pelayanan gawat darurat sangat penting
dilaksanakan sebagai pedoman agar pelayanan yang diberikan tidak melanggar norma atau
hukum yang dapat merugikan profesi keperawatan atau masyarakat yang berakibat pada
konflik.

Kode Etik dalam Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat

Definisi Kode Etik

Kode etik merupakan persyaratan profesi yang memberikan penentuan dalam


mempertahankan dan meningkatkan standar profesi. Kode etik menunjukkan bahwa
tanggung jawab terhadap kepercayaan masyarakat telah diterima oleh profesi (Kelly,
1987). Jika anggota profesi melakukan suatu pelanggaran terhadap kode etik tersebut,
maka pihak organisasi berhak memberikan sanksi bahkan bisa mengeluarkan pihak
tersebut dari organisasi tersebut. Dalam keperawatan, kode etik tersebut bertujuan sebagai
pelindung antara perawat dengan tenaga medis, klien dan tenaga kesehatan lainnya,
sehingga tercipta kolaborasi maksimal.

Fungsi Kode Etik Keperawatan

Kode etik perawat yang berlaku saat ini berfungsi sebagai landasan atau pedoman
bagi status perawat professional yaitu dengan cara :
1) Menunjukkan kepada masyarakat bahwa perawat diharuskan memahami dan menerima
kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada perawat oleh masyarakat.
2) Menjadi pedoman bagi perawat dalam berperilaku dan menjalin hubungan keprofesian
sebagai landasan dalam penerapan praktek etika.
3) Menetapkan hubungan-hubungan professional yang harus dipatuhi yaitu hubungan
perawat dengan pasien/klien sebagai advocator, perawat dengan tenaga professional
lain sebagai teman sejawat, dengan profesi keperawatan sebagai seorang kontributor
dan dengan masyarakat sebagai perwakilan dari asuhan keperawatan.
4) Memberikan sarana pengaturan diri sebagai profesi

Tujuan Kode Etik Keperawatan

1) Menginformasikan kepada masyarakat mengenai standar minimum profesi dan


membantu mereka memahami perilaku keperawatan professional
2) Memberikan perawat komitmen profesi kepada masyarakat yang dilayani
3) Menguraikan garis besar pertimbangan etik utama profesi
4) Memberikan pedoman umum untuk perilaku professional
5) Membantu profesi dalam pengaturan diri
6) Mengingatkan perawat mengenai tanggung jawab khusus mereka pikul saat merawat
pasien

Kode Etik Keperawatan


1) Beberapa kode etik yang ada di Indonesia yang harus dimiliki oleh sorang perawat
professional yaitu:
2) Tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat
3) Perawat memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat-
istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat
4) Sikap dan perilaku perawat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur keperawatan.
5) Menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat dalam
mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan

Tanggung Jawab Perawat

1) Memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran professional


dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat
2) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas
yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3) Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan untuk
tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
4) Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha dengan
penuh kesadaran agar tidak tepengaruh oleh pertimbangan dari luar profesi
keperawatan.
5) Perawat senantiasa mengutamakan perlindungn dan keselamatan klien dalam
melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan
kemampuannya.
6) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan dengan
tenaga kesehatan lainnya.
7) Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya
kepada sesame perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi lain
dalam rangka meningkatkan kemampuannya.
8) Tanggung jawab terhadap profesi keperawatan
9) Perawat senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan professional secara mandiri
dan bersama-sama dengan cara menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan.
10) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan
menunjukan perilaku dan sifat pribadi yang luhur.
11) Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan
pelayanan keperawatan serat menerapkan dalam kegiatan dan pendidikan keperawatan
12) Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi
keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.

Prinsip Moral Etik

1) Otonomi (Autonomy) yaitu prinsip yang didasarkan pada keyakinan bahwa individu
mampu berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Prinsip otonomi
merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan
tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Dalam kasus ini perawat diharuskan
untuk berpikir secara logis melakukan pertolongan kepada pasien tanpa melihat
keadaan pasien tersebut.
2) Berbuat Baik (Beneficience) berarti melakukan sesuatu yang baik. Pada kasus ini
perawat dapat berperilaku baik untuk pelayanan terbaik, untuk pasien penerima
pelayanan kesehatan.
3) Tidak Merugikan (Non-maleficence) yaitu setiap tindakan harus berpedoman pada
prinsip primum non nocere (yang paling utama jangan merugikan). Resiko fisik,
psikologis dan sosial hendaknya diminimalisir semaksimalm mungkin.
4) Kejujuran (Veracity), yaitu dokter maupun perawat hendaknya mengatakan sejujur-
jujurnya tentang apa yang dialami klien serta akibat yang akan dirasakan oleh klien.
Informasi yang diberikan hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan klien agar
mudah memahaminya.
5) Keadilan (Justice), yaitu prinsip yang dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil
terhadp orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan.
Perawat diharapkan melakukan tindakan sesuai hukum, standar praktik dan keyakinan
yang benar.
6) Kerahasiaan (Confidentiality), yaitu perawat maupun dokter harus mampu menjaga
privasi klien meskipun klien telah meninggal dunia.
7) Menepati Janji (Fidelity), dibutuhkan untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain.
8) Akuntabilitas (Accountability), merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

Hukum dalam Pelayanan Kegawatdaruratan

Aspek etika dan hukum dalam pelayanan gawat darurat sangat penting
dilaksanakan sebagai pedoman gara pelayanan yang diberikan tidak melanggar norma atau
hukum yang dapat merugikan profesi keperawatan atau masyarakat yang berakibat pada
konflik.

Landasan hukum pelayanan gawat darurat yaitu :

 UU No. 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan


 UU No. 6 Tahun 1963 Tenaga Kesehatan
 UPP No. 23 Tahun 1996 Tenaga Kesehatan
 UU No. 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran
 UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
 UU No. 36 Tahun 2009 Kesehatan
 UU No. 44 Tahun 2009 Rumah Sakit
 UU No. 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian
 Bebagai Peraturan Menteri Kesehatan
 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
 UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
STEP 6
TUGAS MANDIRI

KONSEP INITIAL ASSESSMENT

1. Pengertian

Initial assessment atau sering disebut dengan pengakajian awal korban cedera
kritis karena cedera multipel. Dimana initial assessment merupakan proses penilaian
yang cepat dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian pada pasien gawat
darurat. (Wijaya, 2019)

2. Proses Initial Assessment

Menurut (Wijaya, 2019), ada beberapa hal yang meliputi:

1) Persiapan triase primary survey (ABCDE)


2) Resusitasi
3) Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
4) Secondary survey
5) Tambahan terhadap secondary survey
6) Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
7) Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik

a. Persiapan

1) Fase pra rumah sakit

Umumnya terdapat 3 kategori personel yaitu penerima pertama, Basic


Emergency Medical Technicians (EMT-B), serta paramedic (EMT-P). Penerima
utama merupakan orang yang sudah terlatih untuk memberikan pertolongan
pertama, EMT-B merupakan orang yang terlatih untuk melakukan bantuan hidup
dasar, sedangkan EMT-T merupakan otang yang terlatih atau berkompeten untuk
melakukan bantuan hidup lanjutan. Pada fase ini ada beberapa periapan
diantaranya: (Wijaya, 2019)

a) Kordinator dengan dokter dan petugas yang dilapangan


b) Pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum pasien diantar
c) Pengumpulan keterangan

2) Fase rumah sakit

Adapun persiapan pada fase ini secara umum yaitu:

a) Perencanaan sebelum pasien tiba


b) Perlengkapan airway sudah dipersiapkan dan diletakan ditempat yang mudah
terjangkau.
c) Pemberitahuan terhadap tenaga labolatorium dan radiologi apabilah
dibutuhkan sewaktu-waktu
d) Pemakaian alat-alat proteksi diri. (Wijaya, 2019)

b. Triase

Triase Merupakan cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi


dan sumber daya yang tersedia: (Wijaya, 2019)

1) Label hijau : penderita masih bisa berjalan


2) Label kuning: pasien hanya luka ringan
3) Label merah: cedera berat
4) Label biru : berat dan terancam jiwanya
5) Label hitam: pasien meninggal

3. Primary Survey

Diantaranya dengan konsep DR-ABC-DEFGH (Wijaya, 2019). Danger:


perhatikan bahaya yang mengancam sekitarnya Respon: cek kesadaran pasien
menggunakan AVPU.
1) A(Alert): pasien dapat berorientasi
2) V(Verbal): masih dapat diajak bicara
3) P(pain): respon setelah dikasih rangsangan nyeri

Airway: penilaian tentang mamou apa tidak pasien bernapas secara spontan.

Breathing: nilai look, listen, feel untuk mengetahui pernapasan baik apa tidak.

Circulation: control perdarahan

Disability: Nilai GCS/PTS, Nilai pupil, Nilai kekuatan otot motorik

Exposure Foley Catheter Gastric Tube Heart Monitor

4. Resusitasi

Menurut (Wijaya, 2019)

1) Re-evalution ABCDE
2) Pemberian Cairan
3) RJP

5. Secondary Survey

Menurut (Wijaya, 2019):

1) Anamnesis

S: Sign and symptom (Tanda dan gejala)

A: Alergi

M: Mekanisme dan sebab trauma

M: Medikasi ( obat yang sedang diminum)

P: Past illness

L: Last meal (makan minum terakhir)


E: Event yang berhubungan dengan kejadian perlukaan

2) Pemeriksaan fisik head to toe examination

B: Bentuk

T: Tumor

L: Luka

S: Sakit

KONSEP PNEUMOTHORAX

1. Definisi Pneumothorax

Pneumothoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga


potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal. Pada keadaan normal rongga
pleura di penuhi oleh paru – paru yang mengembang pada saat inspirasi disebabkan
karena adanya tegangan permukaaan ( tekanan negatif ) antara kedua permukaan
pleura, adanya udara pada rongga potensial di antara pleura visceral dan pleura parietal
menyebabkan paru-paru terdesak sesuai dengan jumlah udara yang masuk kedalam
rongga pleura tersebut, semakin banyak udara yang masuk kedalam rongga pleura akan
menyebabkan paru –paru menjadi kolaps karena terdesak akibat udara yang masuk
meningkat tekanan pada intrapleura.

Secara otomatis terjadi juga gangguan pada proses perfusi oksigen kejaringan
atau organ, akibat darah yang menuju kedalam paru yang kolaps tidak mengalami
proses ventilasi, sehingga proses oksigenasi tidak terjadi.

2. Klasifikasi Pneumothorax

1) Pneumothoraks Spontan Primer (primery spontaneous pneumothorax)

Dari kata “primer” ini dapat diketahui penyebab dari pneumothoraks belum
diketahui secara pasti, banyak penelitian dan teori telah di kemukakan untuk
mencoba menjelaskan tentang apa sebenarnya penyebab dasar dari tipe
pneumotoraks ini. Ada teori yang menyebutkan, disebabkan oleh faktor konginetal,
yaitu terdapatnya bula pada subpleura viseral, yang suatu saat akan pecah akibat
tingginya tekanan intra pleura, sehingga menyebabkan terjadinya pneumothoraks.
Bula subpleura ini dikatakan paling sering terdapat pada bagian apeks paru dan juga
pada percabangan trakeobronkial. Pendapat lain mengatakan bahwa PSP ini bisa
disebabkan oleh kebiasaan merokok. Diduga merokok dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dari protease, antioksidan ini menyebabkan degradasi dan
lemahnya serat elastis dari paru-paru, serta banyak penyebab lain yang kiranya dapat
membuktikan penyebab dari pneumothoraks spontan primer.

2) Pneumothoraks Spontan Sekunder (Secondary Spontaneus Pneumothorax)

Pneumothoraks spontan sekunder merupakan suatu pneumotoraks yang


penyebabnya sangat berhubungan dengan penyakit paru-paru, banyak penyakit paru-
paru yang dikatakan sebagai penyebab dasar terjadinya pneumotoraks tipe ini.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), infeksi yang disebabkan oleh
bakteri pneumocity carinii, adanya keadaan immunocompremise yang disebabkan
oleh infeksi virus HIV, serta banyak penyebab lainnya, disebutkan penderita
pneumothoraks tipe ini berumur diantara 60-65 tahun.

3) Pneumothoraks Trauma

Pneumothoraks trauma adalah pneumothoraks yang disebabkan oleh trauma


yang secara langsung mengenai dinding dada, bisa disebabkan oleh benda tajam
seperti pisau,atau pedang, dan juga bisa disebabkan oleh benda tumpul. Mekanisme
terjadinya pneumothoraks trauma tumpul, akibat terjadinya peningkatan tekanan
pada alveolar secara mendadak, sehingga menyebabkan alveolar menjadi ruptur
akibat kompresi yang ditimbulkan oleh trauma tumpul tersebut, pecahnya alveolar
akan menyebabkan udara menumpuk pada pleura visceral, menumpuknya udara
terus menerus akan menyebabkan pleura visceral rupture atau robek sehingga
menimbulkan pneumothorak. Jika pada mekanisme terjadinya pneumothoraks pada
trauma tajam disebabkan oleh penetrasi benda tajam tersebut pada dinding dada dan
merobek pleura parietal dan udara masuk melalui luka tersebut ke dalam rongga
pleura sehingga terjadi pneumothoraks.

4) Iatrogenik Pneumothoraks
Banyak penyebab yang dilaporkan mendasari terjadinya pneumothoraks iatrogenic,
penyebab paling sering dikatakan pemasangan thransthoracic needle biopsy.
Dilaporkan juga kanalisasi sentral dapat menjadi salah satu penyebabnya. Pada
dasarnya dikatakan ada dua hal yang menjadi faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya pneumothoraks iatrogenik yaitu pertama adalah dalamnya pemasukan
jarum pada saat memasukannya dan kedua, ukuran jarum yang kecil, menurut
sebuah penelitian kedua itu memiliki korelasi yang kuat terjadinya pneumothoraks.

Berdasarkan mekanisme dari terjadinya pneumothoraks dapat diklasifikasikan


menjadi pneumothoraks terdesak (tension pneumothorax), dan pneumuthoraks
terbuka (open pneumothorax).

a. Pneumothoraks Terdesak (Tension Pneumothorax)

Suatu pneumothoraks yang merupakan salah satu kegawat daruratan pada cedera
dada. Keadaan ini terjadi akibat kerusakan yang menyebabkan udara masuk
kedalam rongga pleura dan udara tersebut tidak dapat keluar, keadaan ini disebut
dengan fenomena ventil (one–way-valve). Akibat udara yang terjebak didalam
rongga pleura ssehingga menyebabkan tekanan intrapleura meningkat akibatnya
terjadi kolaps pada paru-paru, hingga menggeser mediastinum ke bagian paru-
paru kontralateral, penekanan pada aliran vena balik sehingga terjadi hipoksia.
Banyak literatur masih memperdebatkan efek dari pneumothoraks dapat
menyebabkan terjadinya kolaps pada sistem kardiovaskular. Dikatakan adanya
pergeseran pada mediastinum menyebabkan juga penekanan pada vena kava
anterior dan superior, disebutkan juga hipoksia juga menjadi dasar penyebabnya,
hipoksia yang memburuk menyebabkan terjadinya resitensi terhadap vaskular
dari paru-paru yang diakibatkan oleh vasokonstriksi. Jika gejala hipoksia tidak
ditangani secepatnya, hipoksia ini akan mengarah pada keadaan asidosis,
kemudian disusul dengan menurunnya cardiac output sampai akhirnya terjadi
keadaan henti jantung.

b. Pneumothoraks Terbuka (Open Pneumothoraks)

Keadaan pneumothoraks terbuka ini tersering disebabkan oleh adanya penetrasi


langsung dari benda tajam pada dinding dada penderita sehingga meninmbulkan
luka atau defek pada dinding dada. Dengan adanya defek tersebut yang merobek
pleura parietal, sehingga udara dapat masuk kedalam rongga pleura. Terjadinya
hubungan antara udara pada rongga pleura dan udara dilingkungan luar, sehingga
menyebabkan samanya tekanan pada rongga pleura dengan udara di diatmosper.
Jika ini didiamkan akan sangat membahayakan pada penderita. Dikatakan pada
beberapa literatur jika sebuah defek atau perlukaan pada dinding dada lebih besar
2/3 dari diameter trakea ini akan menyebabkan udara akan masuk melalui
perlukaan ini, disebabkan tekana yang lebih kecil dari trakea. Akibat masuknya
udara lingkungan luar kedalam rongga pleura ini, berlangsung lama kolaps paru
tak terhindarkan, dan berlanjut gangguan ventilasi dan perfusi oksigen kejaringan
berkurang sehingga menyebabkan sianosis sampai distress respirasi.

3. Patofisiologi

Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk
melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang – tulang yang
menyusun struktur pernapasan seperti tulang klafikula, sternum, scapula. Kemudian
yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan
ekspirasi. Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan
berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. contoh kasusnya, adanya fraktur
pada tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaaan
flail chest atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul, serta adanya
kerusakan pada organ viseral pernapasan seperti, paru-paru, jantung, pembuluh darah
dan organ lainnya di abdominal bagian atas, baik itu disebabkan oleh trauma tumpul,
tajam, akibat senapan atau gunshot. Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses
respirasi, udara tidak akan dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari
keseluruhan tekanan parsial dari udara pada kapiler pembuluh darah rata-rata (706
mmHg). Pergerakan udara dari kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan
tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sangat sulit terjadi pada
keadaan normal. Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah
akibat trauma yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral,
atau disebabkan kelainan konginetal adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika
terjadi peningkatan tekanan pleura.

4. Manifestasi Klinis
Menurut Sudoyo (2006), tanda dan gejala pneumothoraks berupa :

a. Sesak napas
b. Dada terasa sempit
c. Gelisah
d. Keringat dingin
e. Sianosis
f. Tampak sisi yang terserang menonjol dan tertinggal dalam pernapasan
g. Perkusi hipersonor
h. Pergeseran mediastinum ke sisi sehat
i. Pola napas melemah pada bagian yang terkena
j. Suara amforik
k. Saat diperkusi terdengar hiperosa
l. Nyeri pleura m) Hipotensi
m. Pemeriksaan radiologi
n. AGD : ↓ CO2, ↓ PO2, ↑ PCO2, ↑ pH

5. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Sudoyo (2006), untuk menentukan diagnosa pada pneumothoraks


dapat dilakukan cara sebagai berikut:
a. GDA Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanisme pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. P4CO2 mungkin normal
atau menurun, saturasi O2 biasanya menurun.
b. Sinar X dada Menyatakan akumulasi udara atau cairan pada era pleura, dapat
menunjukkan penyimpanan struktur mediatinal jantung.
c. Torasentesis, menyatakan darah atau cairan sero anguinora (hemotorak).
d. HB mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah (Doenges. 2005).

6. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi dari pneumothoraks adalah :

a. Infeksi sekunder sehingga dapat menimbulkan pleuritis, empyema,


hidropneumothoraks.
b. Gangguan hemodinamika, pada pneumothoraks yang hebat, seluruh mediastinum
dan jantung dapat bergeser kea rah yang sehat dan mengakibatkan penurunan
cardiac output sehingga dapat menimbulkan syok kardiogenik.
c. Emfisema dapat berupa emfisema kutis atau emfisema mediastinalis.

7. Penatalaksanaan Umum

Penatalaksanaan pneumothoraks bergantung pada jenis pneumothoraks yang


dialaminya, derajat kolaps, berat ringannya gejala, penyakit dasar, dan penyulit yang
terjadi saat melaksanakan pengobatan yang meliputi :

1) Tindakan dekompresi

a. Membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar

Dilakukan dengan cara menusukkan jarum melalui dinding dada hingga ke


rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif. Hal ini disebabkan karena udara keluar melalui jarum
tersebut. Cara lainnya adalah melakukan penusukan ke rongga pleura memakai
transfusion set.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil

- Penggunaan pipa Water Sealed drainage (WSD)

Pipa khusus (kateter thoraks) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan


perantara troakar atau dengan bantuan klem penjepit (pen) pemasukan pipa
plastik (kateter thoraks) dapat juga dilakukan melalui celah yang telah dibuat
dengan bantuan insisi kulit dari sela iga ke-4 pada garis klavikula tengah.
Selanjutnya, ujung sealng plastik di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan
melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.

- Pengisapan kontinu (continous suction)


Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan intrapleura tetap positif.
Pengisapan ini dilakukan dengan cara memberi tekanan negatif sebesar 10-20
cm H2O. Tujuannya adalah agar paru cepat mengaembang dan segera terjadi
perlekatan antara pleura visceral dan pleura parietalis.

- Pencabutan drain Apabila paru telah mengambang maksimal dan tekanan


negatif kembali, drain dapat dicabut. Sebelum dicabut, drain ditutup dengan
cara dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila paru tetap mengembang
penuh, drain dapat dicabut.

2) Tindakan Bedah

Pembedahan dinding thoraks dengan cara operasi, maka dapat dicari lubang yang
menyebabkan terjadinya pneumthoraks, lalu lubang tersebut dijahit. Pada
pembedahan, jika dijumpai adanya penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak
dapat mengembang, maka dapat dilakukan pengelupasan atau dekortisasi.
Pembedahan paru kembali dilakukan jika ada bagian paruparu yang mengalami
robekan atau bila ada fitsel dari paru yang rusak, sehingga paru tersebut tidak
berfungsi dan tidak dapat dipertahankan kembali.

3) Penatalaksanaan Tambahan

Apabila terdapat proses lain di paru, pengobatan tambahan ditujukan terhadap


penyebabnya, yaitu :

a. Terhadap proses tuberculosis paru diberi OAT.


b. Untuk pencegahan obstipasi dan memperlancar defekasi, penderita diberi obat
laktasif ringan, dengan tujuan agar saat defekasi, penderita tidak perlu mengejan
terlalu keras.
c. Istirahat total, klien dilarang melakukan kerja keras (mengangkat barang) batuk,
bersin terlalu keras, dan mengejan, (Sudoyo, dkk 2006)

8. Perbedaan Pneumothorax Dan Hemothorax

Pneumothoraks adalah suatu keadaan dimana udara dari paruparu bisa bocor ke
dinding dada dan ruang di antara paru-paru. Biasanya disebabkan oleh cedera dada,
yang dapat menyebabkan komplikasi lainnya. Hal ini juga bisa terjadi tanpa penyebab
yang signifikan. Orang yang memiliki kondisi seperti ini mungkin mengalami nyeri
dada parah yang tiba-tiba dan bahkan sesak nafas.

Penyebab dari pneumothoraks itu sendiri terbagi menjadi :

 Sederhana/spontan : primer (tanpa penyakit paru), sekunder (karena penyakit paru)


 Traumatika : trauma tusuk, trauma tumpul iatrogenik / prosedur medis

Dengan gejala : Sesak nafas, nyeri dada akut akibat adanya tekanan
intrathorakal, tekanan darah menurun karena efek tekanan pada jantung, saturasi
oksigen menurun karena paru mengalami kolaps, nadi meningkat sebagai kompensasi
akibat penurunan tekanan darah.

Sedangkan Hemothoraks adalah suatu kondisi dimana sejumlah darah


terperangkap diantara rongga pleura antara paru-paru dan dinding dada. Hal ini
biasanya disebabkan oleh trauma dada, kelainan pembekuan darah atau cedera dada.
Terkadang, itu bisa menjadi gejala penyakit yang jauh lebih rumit seperti kanker paru
yang hampir mirip dengan pneumothoraks. Hemothoraks 1 sisi dapat menyumbang
kehilangan cairan hingga 40%. Pada pasien dengan hemothoraks, permasalahannya
bukan hanya di respirasi, tetapi juga sirkulasi dan hemodinamiknya. Jika pasien dg
riwayat trauma, terlihat sesak, parameter hemodinamiknya menurun, nadinya
meningkat, tekanan darah menurun, berarti pasien mengalami gangguan hemodinamik
atau hipovolemia.

Penyebabnya :

 Traumatika : trauma tusuk, trauma tumpul iatrogenik / prosedur medis


 Non traumatika : penyakit paru, tumor, masalah vascular, infeksi, koagulopati

Dengan gejala : Sesak nafas, nyeri dada akut, tekanan darah menurun, saturasi oksigen
menurun, nadi meningkat, pucat, dan akral teraba dingin. Pneumothoraks dan
hemothotraks adalah hasil yang mungkin terjadi setelah cedera di dada seperti luka
tusuk maupun lainnya. Maka dari itu, perlu ketelitian yang sangat akurat dalam
menetapkan sebuah diagnosa sehingga penatalaksanaan yang diberikan dapat diberikan
secara tepat dan akurat pula.
KONSEP ASKEP PNEUMOTHORAX

1. Pengkajian

Identitas Klien
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Tanggal MRS
Diagnosa medis

Data Pre Hospital


Cara tiba ke RS
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan

Suhu
Tindakan & Pengobatan yang telah dilakukan :
a.
b.

c.

d.
Keluhan Utama :

Pengkajian Primer
Airway Paten
Tidak paten : Gurgling/snoring/stridor
Breathing Efektif / Tidak efektif
Warna Kulit :
Pola nafas :

Kerja nafas : normal/takipnea/bradipnea/…


Menggunakan otot bantu nafas :
Suara nafas : vesikuler/wheezing/ronkhi/stridor
Jejas :
Deviasi trakea :
Pengembangan dada : simetris/tidak
Distensi vena jugularis :
Circulation Kualitas nadi : kuat/lemah
Ritme jantung : regular/irregular
EKG : normal/tidak normal
CRT : … detik
Warna kulit :
Suhu kulit :
Diaphoresis :

Disability Tingkat kesadaran :

GCS :
Eksposure
Pengkajian Sekunder

1. Riwayat Kesehatan Sekarang :

2. Riwayat Kesehatan Lalu :


3. Riwayat Kesehatan Keluarga :
Pengkajian Head to Toe
Kepala Inspeksi & Palpasi

a. Rambut :
b. Wajah :
c. Mata :
d. Hidung :
e. Telinga :
f. Mulut :
Leher Inspeksi & Palpasi

a. Nyeri :
b. Bendungan vena jugularis :
Thorak a. Inspeksi (paru & jantung)

 Bentuk thorak :
 Jumlah nafas :
 Pola nafas :
 Pengembangan dada :
 Pulsasi :

b. Palpasi (paru & jantung)


 Nyeri :
 Krepitasi :
 Iktus cordis :
 Irama jantung :
c. Auskultasi (paru & jantung)
 Bunyi nafas : bronchial/bronkovesikuler/vesikuler
 Bunyi nafas abnormal : ronkhi/wheezing
 Bunyi jantung : normal/abnormal
 Kelainan bunyi jantung : BJ III/BJ IV
d. Perkusi (paru & jantung)
 Paru : Sonor/lainnya…
 Jantung : pekak/lainnya…
Abdomen a. Inspeksi
 Bentuk :
 Kelainan :
b. Palpasi
 Nyeri :
 Distensi :
c. Auskultasi
 Suara peristaltic :
 Jumlah :
d. Perkusi
 Timpani :
 Kelainan :
Ekstremitas a. Inspeksi
 Warna :
b. Palpasi
 Nyeri :
 Krepitasi :
 Edema :
 Pulse : ….. , Sensasi : ….. , Motorik : …..

Pemeriksaan Penunjang & Terapi Medis


Radiologi Laboratorioum Darah Pemeriksaan Lain Terapi Medis

2. Diagnosa Keperawatan

Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat terjadi pada pasien adalah :

1) Risiko/actual perubahan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane


alveoli-paru.
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret,
bronkospasme.
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
4) Nyeri akut berhubungan dengan peradangan paru, trauma dada.
5) Kecemasan/ketakutan berhubungan dengan ancaman kematian, perubahan
kesehatan.

3. Intervensi Dan Tindakan Keperawatan

1) Pemberian oksigen (nasal kanul, masker sederhana, masker


nonrebreathing/rebreathing dan ventilator)
2) Memasang Oksimetri
3) Melakukan suction melalui mulut/hidung
4) Memberikan bantuan nafas melalui BVM/Pocket Mask
5) Memasang OPA (Oropharyngeal Airway).

4. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi Keperawatan sistem pernafasan secar umum dibagian emergency


meliputi evaluasi jalan nafas, pernafasan, sirkulasi, dan disability (tingkat kesadaran).
Observasi jalan nafas, apakah paten atau tidak. Kaji sirkulasi, apakah tekanan darah
normal atau tidak, akral dingin atau tidak, capillary refill time ada gangguan atau tidak.
Periksa tingkat kesadaran apakah pasien sadar atau tidak.

FRAKTUR (FRAKTUR FEMUR)

1. Definisi

Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur
secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan
lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang
disebabkan oleh trauma langsung pada paha. (Helmi, 2014 : 508)

Fraktur femur adalah diskontuinitas dari femoral shaft yang bisa terjadi akibat
trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintasatau jatuh dari ketinggin), dan biasanya
lebih banyak dialami laki-laki dewasa. (Desiartama,2017)

2. Jenis Fraktur

a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke
patahan tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya
membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendon pada
daerah perlekatannnya. (Brunner dan Suddart, 2015)

3. Etiologi

Menurut Buku Saku Patofisiologi Elizabeth J.Corwin (2016) penyebab fraktur


adalah sebagai berikut :

1) Trauma

a. Trauma langsung : trauma yang menyebabkan fraktur pada titik terjadinya


trauma. Sering bersifat terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
Misalnya saat seseorang tertabrak mobil pada tungkai atas maka di tempat trauma
tersebut terjadi fraktur.
b. Trauma tidak langsung : trauma yang menyebabkan fraktur di tempat yang jauh
dari titik terjadinya trauma. Hal ini disebabkan karena tulang yang mengalami
trauma memiliki hantaran vektor yang lemah pada kekerasan. Seperti jatuh
dengan telapak tangan sebagai penyangga, dimana telapak tangan yang
mengalami trauma namun lokasi fraktur bisa pada lengan atas.
c. Trauma akibat tarikan otot : trauma yang dapat menyebabkan dislokasi dan patah
tulang. Contohnya fraktur pada patella dan olekranon karena kontraksi biseps dan
trisep secara mendadak.
d. Stress Kelelahan atau stress : terjadi pada orang - orang yang melakukan aktivitas
berulang - ulang pada satu daerah tulang misalnya pebulutangkis dan pelari.
e. Patologis Kelemahan tulang : tekanan yang normal dapat menyebaban fraktur
pada tulang yang lemah. Biasanya akibat infeksi dan penyakit metabolism seperti
osteoporosis, osteomyelitis, dan tumor pada tulang.
4. Manifestasi Klinis

Menurut Brunner dan Suddarth 2016 didalam buku Keperawatan Medikal


Bedah Edisi 12 menyatakan bahwa :

a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema.
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit f. Tidak semua manifestasi ini
terdapat dalam setiap fraktur

Tanda – tanda local :

1) Look : Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal, angulasi,


rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah
kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera
terbuka.
2) Feel : Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari
fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh darah
adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan.
3) Movement : Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting
untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi-sendi dibagian distal
cedera.

5. Patofisiologi

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka
bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan
di kulit (Smeltzer dan Bare, 2015).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf
yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Smeltzer dan Bare, 2015).

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak


seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur
tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan
pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2015). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah
tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan,
hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan perawatan diri (Carpenito,
2014).

Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di


pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan
terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2014).

6. Pemeriksaan Penunjang

a. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
b. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
c. Bone scans, Tomogram, atau MRI.
d. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vesikuler
e. CCT kalau banyak ada kerusakan otot
f. Pemeriksaan darah lengkap
g. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
(Muttaqin,2014)

7. Penatalaksanaan Medis

Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipertimbangkan pada saat menangani
fraktur:

1) Rekognisi Pengenalan riwayat kecelakaan, patah atau tidak, menentukan perkiraan


yang patah, kebutuhan pemeriksaan yang spesifik, kelainan bentuk tulang dan
ketidakstabilan, tindakan apa yang harus cepat dilakukan misalnya pemasangan
bidai.
2) Reduksi, Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Cara penanganan secara reduksi :

a. Pemasangan gips Untuk mempertahankan posisi fragmen tulang yang fraktur.


b. Reduksi tertutup (closed reduction external fixation) Menggunakan gips sebagai
fiksasi eksternal untuk memper-tahankan posisi tulang dengan alat-alat : skrup,
plate, pen, kawat, paku yang dipasang di sisi maupun di dalam tulang. Alat ini
diangkut kembali setelah 1-12 bulan dengan pembedahan.
3) Debridemen, Untuk mempertahankan/memperbaiki keadaan jaringan lunak sekitar
fraktur pada keadaan luka sangat parah dan tidak beraturan.
4) Rehabilitasi, Memulihkan kembali fragmen-fragmen tulang yang patah untuk
mengembalikan fungsi normal.
5) Perlu dilakukan mobilisasi kemandirian bertahap.

8. Penatalaksanaan Keperawatan

Tindakan yang harus diperhatikan agar ektremitas dapat berfungsi


sebaikbaiknya maka penanganan pada trauma ektremitas meliputi 4 hal (4 R) yaitu :

1) Recognition

Untuk dapat bertindak dengan baik, maka pada trauma ektremitas perlu diketahui
kelainan yang terjadi akibat cedernya. Baik jaringan lunak maupun tulangnya
dengan cara mengenali tanda-tanda dan gangguan fungsi jaringan yang mengalami
cedera. Fraktur merupakan akibat dari sebuah kekerasan yang dapat menimbulkan
kerusakan pada tulang ataupun jaringan lunak sekitarnya. Dibedakan antara trauma
tumpul dan tajam. Pada umumnya trauma tumpul akan memberikan kememaran
yang “diffuse” pada jaringan lunak termasuk gangguan neurovaskuler yang akan
menentukan ektremitas.

2) Reduction

Adalah tindakan mengembalikan ke posisi semula, tindakan ini diperlukan agar


sebaik mungkin kembali ke bentuk semula agar dapat berfungsi kembali sebaik
mungkin. Penyembuhan memerlukan waktu dan untuk mempertahankan hasil
reposisi (retaining) penting dipikirkan tindakan berikutnya agar rehabilitasi dapat
memberikan hasil sebaik mungkin.

3) Retaining

Adalah tindakan imobilisasi untuk memberi istirahat pada anggota gerak yang sehat
mendapatkan kesembuhan. Imobilisasi yang tidak adequat dapat memberikan
dampak pada penyembuhan dan rehabilitasi.

4) Rehabillitasi

Adalah mengembalikan kemampuan dari anggota/alat yang sakit/cedera agar dapat


berfungsi kembali. Falsafah lama mengenai rehabilitasi ialah suatu tindakan setelah
kuratif dan hanya mengatasi kendala akibat sequaele atau kecacatan; padahal untuk
mengembalikan fungsi sebaiknya rehabilitasi, yang menekankan pada fungsi, akan
lebih berhasil bila dapat dilaksanakan secara dini, mencegah timbulnya kecacatan.

5) Dislokasi

Dislokasi sendi perlu dilakukan reposisi segera karena akibat dari penundaan akan
dapat menimbulkan keadaan avaskuler nekrosis dari bonggol tulang yang
menyebabkan nyeri pada persendian serta kekakuan sendi. Dalam fase shock lokal
(antara 5-20 menit) dimana terjadi relaksasi dari otot sekitar sendi dan rasa baal
(hypestesia) reposisi dapat dilakukan tanpa narkose, lewat dari fase shock local
diperlukan tindakan dengan pembiusan untuk mendapatkan relaksasi waktu
melakukan reposisi. Apabila tidak berhasil maka perlu dipikirkan terjadi “button
hole ruptur” dari kapsul (simpai) sendi yang dapat “mencekik” sirkulasi perdarahan
daerah bonggol sendi, hal ini memerlukan tindakan reposisi terbuka. Untuk
mendapatkan lingkup gerak sendi yang baik, maka selama dilakukan imobilisasi
diberikan latihan isometrik kontraksi otot guna mencegah ”disuse Athrophy”.
(Sylvia, 2009).

Aspek Medikolegal Pasien Trauma


Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda dengan pengertian
medis.Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah hilangnya
diskontinuitas dari jaringan. Dalam pengertian medikolegal trauma adalah pengetahuan
tentang alat atau bendayang dapat menimbulkan gangguan kesehatan seseorang. Artiya
orang yang sehat, tiba-tibaterganggu kesehatannya akibat efek dari alat atau benda yang
dapat menimbulkankecelderaan. Aplikasinya dalam pelayanan kedokteran forensik adalah
untuk membuatterang suatu tindak kekerasan yang terjadi pada seseoang.
Berdasarkan tujuannya, paradigma yang digunakan dalam pemeriksaan medikolegal
sangat berbeda dibandingkan dengan pemeriksaan klinis untuk kepentingan pengobatan.
Tujuan pemeriksaan medikolegal pada seorang korban adalah untuk menegakkan hukum
pada peristiwa pidana yang dialami korban melalui penyusunan VeR (Visum et
Repertum) yang baik. Tujuan pemeriksaan klinis pada peristiwa perlukaan adalah untuk
memulihkan kesehatan pasien melalui pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medis
lainnya. Apabila seorang dokter yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan
medikolegal menggunakan orientasi dan paradigma pemeriksaan klinis, penyusunan VeR
dapat tidak mencapai sasaran sebagaimana yang seharusnya.
Dari segi medikolegal, orientasi dan paradigma yang digunakan dalam merinci luka
dan kecederaan adalah untuk dapat membantu merekonstruksi peristiwa penyebab
terjadinya luka dan memperkirakan derajat keparahan luka (severity of injury). Dengan
demikian pada pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa hal yang dianggap penting
dari segi medikolegal, tidak dianggap perlu untuk tujuan pengobatan, seperti misalnya
lokasi luka, tepi luka, dan sebagainya.
a. Penentuan Derajat Luka
Penentuan Derajat Luka Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan
sebuah VeR perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka.9 Dari aspek hukum,
VeR dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat
memenuhi delik rumusan dalam KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung
pada latar belakang individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan
dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya.
Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik,
psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun
jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi hakim
dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa
keadilan.
Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga
tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana
maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan
penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga
tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk
penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2)
KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus
dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang
memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam,
termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal
352 (1) KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai
penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh
sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut
dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana
diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit.
Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat
kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Akhirnya,
rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam
pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-
luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Luka berat itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga
bila kita memeriksa seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana
dicantumkan dalam pasal 90 KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam
kategori tersebut. 4 Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah :
a) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
b) tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian
c) kehilangan salah satu panca indera;
d) mendapat cacat berat;
e) menderita sakit lumpuh;
f) terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
g) gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak


menemukan masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara konseptual
masih berbeda pendapat untuk penetapan luka derajat satu dan dua. Variasi keputusan
klinis dalam menentukan kualifikasi luka tidak akan menguntungkan bagi
pengambilan keputusan oleh para penegak hukum dalam proses peradilan karena
tidak memberikan kepastian pendapat mana yang akan dijadikan sebagai dasar
pengambilan keputusan.

Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka derajat dua
akan terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi terganggu. Walaupun
masih terdapat kontroversi dalam penentuan kualifikasi luka dengan
mempertimbangkan jenis pekerjaan korban, namun pada umumnya para dokter
cenderung sepakat untuk tidak mempertimbangkan hal tersebut di masa mendatang.
Mereka lebih cenderung menggunakan rumusan ada atau tidak adanya penyakit dalam
menentukan kualifikasi luka karena hal tersebut masih dalam lingkup kompetensi
seorang dokter di bidang medis.

Hal-hal yang mempengaruhi penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis


yang terkena trauma. Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma,
walaupunpun kecil akibat yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk
memberikan kualifikasi luka yang lebih berat. Hal itu disebabkan karena pada daerah
leher terdapat organ-organ yang vital bagi kehidupan, seperti arteri karotis, vena
jugularis, serta saluran pernafasan. Kekerasan pada daerah wajah dan daerah kepala
lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor yang ikut meningkatkan kualifikasi luka.
Walaupun beberapa responden memperhatikan nilai laboratorium termasuk
peningkatan leukosit pada salah satu kasus, namun pada umumnya faktor-faktor
fisiologis yang terjadi akibat trauma seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic
inflamatory response syndrome), respons neurologik, fisiologik, dan metabolik belum
mendapatkan perhatian khusus dalam menentukan kualifikasi luka.

Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau hanya mengakibatkan


luka ringan yang tidak termasuk kategori “penyakit dan halangan” sebagaimana
disyaratkan dalam pasal 352 KUHP. Contoh luka ringan atatu luka derajat satu adalah
luka lecet yang superfisial dan berukuran kecil atau memar yang berukuran kecil.
Lokasi lecet atau memar tersebut perlu diperhatikan oleh karena lecet atau memar
pada beberapa lokasi tertentu mungkin menunjukkan cedera bagian dalam tubuh yang
lebih hebat dari yang terlihat pada kulit. Luka lecet atau memar yang luas dan
derajatnya cukup parah dapat saja diartikan sebagai bukan sekedar luka ringan. Luka
atau keadaan cedera yang terletak di antara luka ringan dan luka berat dapat dianggap
sebagai luka sedang.
b. Medikolegal Kegawat Daruratan Traumatologi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1)
dijelaskan bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan
mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes
No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus
mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No
585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya
disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak
sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika pasien tersebut sadar namun dalam
keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus pasien yang mengalami
kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan jiwa di tubuhnya
tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular berbisa
dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan
anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed
consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan
dimana :
a) Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari
pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
b) Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c) Suatu tindakan harus segera diambil
d) Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008


pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat
darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan
penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “
Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah
dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter
berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga
terdekat.

Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008,
apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin
mengajukan informed consent, maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang
pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau
perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah
mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka
secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusi urusan itu
sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri”. Dalam keadaan yang
demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu persetujuan pasien, tetapi
berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter berkewajiban untuk
mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter berkewajiban
memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan
mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.

Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan


persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.
Primary Survey Dan Secondary Survey
a. Primary survey
Primary survey adalah penilaian yang cepat dan sistematis yang
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengenali kondisi yang mengancam hidup
pasien dan menginisiasi treatment sesegera mungkin. Keadaan yang mengancam
jiwa seperti obstruksi jalan nafas, cedera dada dengan kesukaran bernafas,
perdarahan berateksternal dan internal, dan cedera abdomen. Primary
survey dilakukan dengan pendekatan pengkajian melalui inspeksi, auskultasi,
palpasi, dan perkusi.
1. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal inline
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang
rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal dan pasang airway definitif
sesuai indikasi
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita
multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas
klavikula.
5) Evaluasi
2. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan
terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian
otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
3. Circulation dengan kontrol perdarahan
1) Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber perdarahan internal
c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi masif segera.
d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia
subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-
pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3) Evaluasi
4. Disability
a) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
b) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda tanda
lateralisasi
c) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
5. Exposure/Environment
a) Buka pakaian penderita
b) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.
b. Secondary survey
1. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
S : Symptoms atau gejala
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada secondary survey meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, pupil, kepala, maksilofasial, leher, toraks, abdomen/pinggang, pelvis,
medula spinalis, kolumna vertebralis, ekstremitas. Masing-masing aspek
dilakukan identifikasi trauma terlebih dahulu, kemudian penilaian dengan
pemeriksaan fisik, kemudian temuan klinis dari pemeriksaan fisik dikonfirmasi
dengan pemeriksaan lanjutan sesuai dengan aspek.
Untuk pemeriksaan dibawah ini harus dilakukan tidak boleh lebih dari 3 menit
setelah terjadi trauma, yaitu :
a) Kepala : cek adanya deformitas, perdarahan, dan tanda perlukaan lain.
Pemeriksaan pada kepala meliputi mata, telinga, hidung dan mulut.
b) Leher : cek adanya deformitas pada servikal
c) Dada : cek adanya fraktur dan perlukaan benda tajam maupun tumpul.
d) Abdomen : cek adanya perlukaan benda tajam maupun tumpul, bengkak,
dan nyeri.
e) Pelvis : cek adanya fraktur dan deformitas.
f) Genital : cek adanya cairan yang mengalir dari saluran urogenital apakah
ada perdarahan atau inkontinensia.
g) Ekstremitas bawah : cek adanya perdarahan, fraktur, bengkak, nyeri, dan
denyut.
h) Ekstremitas atas : cek adanya perdarahan, fraktur, bengkak, nyeri, dan
denyut.

2.1 Patofisiologi, Etiologi Trauma Secara Umum


Pada kejadian trauma, ada dua hal penting yang harus dipahami:
1. Biomekanik trauma, yaitu proses trauma atau kecelakaan yang mengakibatkan
benturan pada tubuh manusia dan berdampak terjadinya cedera pada organ dalam
tubuh. Biomekanika trauma ini penting untuk diketahui karena membantu dalam
menyelidiki akibat trauma terhadap tubuh dan meingkatkan kewaspadaan terhadap
kemungkinan perlukaan yang lain.
2. Respon metabolik terhadap trauma. Tubuh manusia melakukan reaksi terhadap
trauma berupa perubahan metabolisme yang bertujuan untuk mengatasi akibat dari
trauma yang diterima.

Cedera organ-organ tersebut dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut:


1. Trauma tembus, biasanya terjadi karena tembakan atau tusukan pisau.
2. Trauma tumpul, biasanya terjadi pada tabrakan mobil dan sepeda motor, tabrakan
pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, dan trauma pada ledakan.
a. Cedera langsung
Misalnya pada hepar atau limpa yang menerima benturan langsung sehingga
terjadi ruptur atau laserasi, tergantung besarnya gaya yang diterima organ ini.
b. Cedera akselerasi-deselerasi
Timbul saat bagian yang menstabilkan organ seperti pedikel ginjal,
ligamentum teres, aorta desenden, sudah berhenti bergerak semnetara organ yang
mobile masih bergerak ke depan, contohnya ginjal, limpa, jantung, dan arkus aorta.
c. Cedera kompresi
Terjadi jika tubuh bagian depan sudah berhenti bergerak namun bagian
dalamnya masih bergerak. Organ-organ (umumnya paru dan organ abdomen) akan
terjepit oleh bagian belakang dinding thorakoabdominal dan kolumna vertebralis.
Contohnya pada benturan frontal pengemudi dan pengemudi tanpa seatbelt.
d. Cedera akibat memakai sabuk pengaman (seatbelt)
Sabuk pengaman yang baik adalah tipe lap-shoulder belt yang jika dipakai
dengan benar komponen panggul dari sabuk ini berada tepat di depan tulang panggul,
bukan di depan perut.
e. Cedera karena kantung udara (airbag)
Kantung udara biasanya hanya mengembang jika terjadi tabrakan dari arah
frontal. Airbag yang mengembang dapat menimbulkan perlukaan seperti patah tulang
lengan bawah, atau perlukaan mata jika memakai kaca mata. Pada anak kecil airbag
ini dapat menyebabkan kematian karena anak terbekap.

Trauma Dada
1. Pengertian
Trauma dada atau trauma thorax adalah kondisi terjadinya benturan baik
tumpul maupun tajam pada thorax yang menyebabkan abnormalitas bentuk pada
rangka thorax, sehingga menyebabkan gangguan fungsi atau cedera pada organ
bagian dalam thorax seperti jantung dan paru-paru, menyebabkan beberapa kondisi
patologis seperti hematothorax, pneumothorax, tamponade jantung, dan sebagainya.

2. Etiologi
Etiologi trauma thorax adalah sebagai berikut:
a. Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada
b. Penggunaan therapy ventilasi mekanik yang berlebihan
c. Penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.
d. Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh
vesikel flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM.
e. Tusukan paru dengan prosedur invasif.
f. Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa
benda berat.
g. Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
h. Pukulan daerah thorax dan Fraktur tulang iga
i. Tindakan medis (operasi)

3. Patofisiologi
Trauma benda tumpul pada thorax baik dalam bentuk kompresi maupun ruda
paksa (deselerasi atau akselerasi) biasanya menyebabkan memar atau jejas trauma
pada bagian yang terkena trauma.
Jika mengenai sternum, trauma tumpul dapat menyebabkan kontusio otot
jantung atau kontusio paru. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perubahan
tamponade pada jantung, atau kesulitan bernapas jika kontusio terjadi pada paru-paru.
Trauma benda tumpul yang mengenai dinding thorax juga seringkali
menyebabkan fraktur baik tertutup maupun terbuka. Kondisi fraktur tulang iga dapat
menyebabkan Flail Chest, yaitu segmen dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada karena fraktur pada dua atau lebih tulang iga
dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen iga yang mengambang
menyebabkan gangguan pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di
bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabakan
hipoksia yang serius.
Trauma thorax dengan benda tajam seringkali berdampak lebih buruk daripada
yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Benda tajam dapat langsung menusuk dan
menembus dinding dada dengan merobek pembuluh darah intercosta, dan menembus
organ yang berada pada posisi tusukannya. Kondisi ini menyebabkan perdaharan pada
rongga dada atau hemothorax, dan jika berlangsung lama akan menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam rongga thorax maupun rongga pleura jika tertembus.
Akibatnya akan muncul dalam waktu relatif singkat seperti Pneumothorax, penurunan
ekspansi paru, gangguan difusi, kolaps alveoli, hingga gagal nafas dan gagal jantung.
4. Manifestasi klinik
a. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi
b. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi
c. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek
d. Dyspnea, takipnea
e. Takikardi
f. Tekanan darah menurun
g. Gelisah dan agitasi
h. Kemungkinan sianosis
i. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah
j. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit
k. Ada jejas pada thorak
l. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
m. Bunyi muffle pada jantung
n. Perfusi jaringan tidak adekuat
o. Pulsus paradoksus (tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan
pernapasan) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.

Pneumothorax
a. Definisi Pneumothorax

Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana adanya udara


didalam rongga pleura akibat robeknya pleura. Udara yang ada dalam
rongga pleuradapat menigkatkan tekanan dalam rongga pleura sehingga
menyebabkan parumenjadi kolaps. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak
berisi udara sehinggafungsi paru-paru dapat berkerja secara optimal saat pernapasan.

b. Etiologi Pneumothorax
pneumothorax dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru pecah dan
memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke rongga pleura. Hal ini dapat terjadi
Ketika luka beberapa tusukan dinding dada yang memungkinkan udara luar masuk
keruang pleura. Pneumothorax spontan dapat terjadi tanpa trauma dada, dan biasanya
disebabkan oleh kista kecil pada permukaan paru-paru. Kista tersebut dapat terjadi
tanpa penyakit paru-paru yang berhubungan, atau mereka dapat berkembang karena
gangguan paru-paru yang mendasari, emfisema yang paling umum,

c. Manifestasi Klinik
Gejala klinis pneumothorax spontan bergantung pada ada tidaknya tension
pneumothorax serta berat ringan pneumothorax. Pasien secara spontan mengeluh
nyeri dan sesak nafas yang muncul secara tiba-tiba, gejala-gejala yang sering muncul
adalah:
1) Sesak nafas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
2) Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
3) Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien

Hemotorax
a. Definisi
Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-
paru (rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.
Trauma misalnya:
1) Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.
2) Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax oleh
pembuluuh internal.

b. Manifestasi klinis
Adapun tanda dan gejala pada pasien trauma thorax menurut Hudak, (2009)
yaitu :
1. Temponade jantung
a. Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung
b. Gelisah
c. Pucat, keringan dinginPeninggian TVJ (9Tekanan Vena Jugularis)
d. Pekak jantung melebar
e. Bunyi jantung melemah
f. Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure
g. ECG terdapat low Voltage seluruh lead
h. Perikardiosentesis kuluar darah (FKUI:2005)

2. Hematothorax
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
b. Gangguan pernapasan (FKUI:2005)
3. Pneumothoraks
a. Nyeri dada mendadak dan sesak napas
b. Gagal pernapasan dengan sianosis
c. Kolaps sirkulasi
d. Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas
yang terdapat jauh atau tidak terdengar sama sekali
e. Pada auskultasi terdengar bunyi klik

c. Pencegahan
Pencegah trauma thorax yang efektif adalah dengan cara menghindari faktor
penyebabnya, seperti menghindari terjadinya trauma yang biasanya banyak
dialami pada kasus kecelakaan dan trauma yang terjadi berupa trauma tumpul serta
menghindari kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
biasanya disebabkan oleh benda tajam ataupun benda tumpul yang menyebabkan
keadaan gawat thorax akut.

ASKEP KASUS

A).  PENGKAJIAN
1. IDENTITAS

a. Identitas pasien

      Nama :-

      Umur : 35 Tahun
      Jenis kelamin : Laki-laki

      Agama :-

      Pendidikan :-

      Pekerjaan :-

      Suku/bangsa :-

      Status perkawinan  :-

      Alamat :-

      Tanggal masuk RS :-

      No.RM :-

Diagnosa Medis : Pneumotorax

b. Identitas penanggung jawab

      Nama :-

      Umur :-

      Jenis kelamin :-

      Agama :-

      Pendidikan :-

      Pekerjaan :-

      Alamat :-

      Hubungan dg. Pasien :-


2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan utama

Nyeri dada

P : cedera yang diakibatkan karena terbentur stang motor

Q : Terbentur

R : Dada kanan

S:-

T:-
b. Riwayat kesehatan sekarang

Pasien mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin bertambah dan bahu kiri
terasa nyeri.
c. Riwayat kesehatan masa lalu

Tidak kerkaji
d. Riwayat kesehatan keluarga

Tidak terkaji
e. Riwayat alergi

Tidak terkaji

3. PENGKAJIAN PRIMER

Airway : Terdapat suara tambahan snoring dan gurgling

Breathing        :  Look : Nafas cepat dan dangkal, pergerakan dada


kanan tertinggal (krepitasi)

    Listen : Suara Nafas vesikuler menurun


    Feel : nyeri tekan
Circulating : nadi 130x /mnt

Disability : Somnolen GCS 8

4. PENGKAJIAN SEKUNDER

a. Kesadaran                 : Somnolen

b. Penampilan               : nafas pasien tampak cepat dan dangkal, nyeri dada,

c. Vital sign                   

Tekanan darah : 90/70 mmHg

Nadi                           : 130x/menit

RR                             : 32x/menit

Suhu                           : 37°C

d. Kepala             :

e. Leher : JVT Meningkat   

f. Mata              :-

g. Hidung              :-

h. Telinga             :-

i. Mulut & tenggorokan : -

j. Dada : terdapat jejas pada torax kanan

k. Jantung           

Inspeksi     :

Palpasi :
Perkusi : bunyi jantung hipersonor

Auskultasi :

l. Paru-Paru

  Inspeksi :

  Palpasi : nyeri tekan

  Perkusi :

   Auskultasi : vesikuler menurun & Tambahan bunyi (gurgling


dan snoring)

m. Abdoment

      Inspeksi      :

    Palpasi        :

    Perkusi        :

     Auskultasi   :

n. Genetalia

Inspeksi      :

o. Ekstemitas

 Atas      : bahu kiri terdapat jejas

    Bawah   : pendarahan aktif di femur dextra, udem,deformitas

p. Kulit

- ditemukannya jejas pagian torax kanan dan region bahu kiri

- udem
Data penunjang

emfisema subcutis (+)

ANALISA DATA

NO DATA PROBLEM ETIOLOGI


1 DS  DS : Gangguan pola nafas tidak Nyeri akut
efektif
Na
 nafas pasien tampak
cepat dan dangkal
 nyeri dada

DO :
 TD :  90/70 mmH
 Nadi   : 130x/menit
 RR     : 32x/menit
 Suhu   : 37°C
 Bunyi tambahan
gurgling & snoring
 Vesikuler menurun

2 DS : Gangguan rasa nyaman: injuri cedera fisik


 Nyeri dada Nyeri

DO :
 pergerakan dada kanan
tertinggal
 Nyeri tekan
 terdapat jejas pada
torax kanan
3 DS : Gangguan volume cairan : Kehilangan volume
kurang dari kebutuhan cairan secara aktif
tubuh

DO :
 Pendarahan aktif di
femur dextra
 Udem
 Deformitas
 GCS 8
 TD   :  90/70 mmHg
 Nadi : 130x/menit
 RR   : 32x/menit

DIAGNOSIS
1. Gangguan pola nafas tidak efektif b.d nyeri akut
2. Gangguan rasa nyaman: Nyeri b.d injuri cedera fisik
3. Gangguan volume cairan : kurang dari kebutuhan tubuh b.d Kehilangan volume
cairan secara aktif
INTERVENSI
NO DIAGNOSA Tujuan & Kriteria hasi INTERVENSI
1. Gangguan pola NOC : NIC :
nafas tidak
 Respiratory status : Airway
efektif b.d nyeri
Ventilation Management
akut
 Respiratory status :  Buka jalan nafas, guanakan
Airway patency teknik chin lift atau jaw
 Vital sign Status thrust bila perlu
 Posisikan pasien untuk
Kriteria Hasil :
memaksimalkan ventilasi

 Mendemonstrasikan  Identifikasi pasien perlunya

batuk efektif dan suara pemasangan alat jalan nafas

nafas yang bersih, tidak buatan

ada sianosis dan dyspneu  Pasang mayo bila perlu

(mampu mengeluarkan  Lakukan fisioterapi dada


sputum, mampu bernafas jika perlu
dengan mudah, tidak ada  Keluarkan sekret dengan
pursed lips) batuk atau suction
 Menunjukkan jalan nafas  Auskultasi suara nafas, catat
yang paten (klien tidak adanya suara tambahan
merasa tercekik, irama  Lakukan suction pada mayo
nafas, frekuensi  Berikan bronkodilator bila
pernafasan dalam perlu
rentang normal, tidak ada  Berikan pelembab udara
suara nafas abnormal) Kassa basah NaCl Lembab
 Atur intake untuk cairan
Tanda Tanda vital dalam
mengoptimalkan
rentang normal (tekanan
keseimbangan.
darah, nadi, pernafasan)
 Monitor respirasi dan status
O2

Terapi Oksigen
 Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
 Pertahankan jalan nafas
yang paten
 Atur peralatan oksigenasi
 Monitor aliran oksigen
 Pertahankan posisi pasien
 Onservasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
 Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring

 Monitor TD, nadi, suhu,


dan RR
 Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
 Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau
berdiri
 Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
 Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
 Monitor kualitas dari
nadi
 Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
 Monitor suara paru
 Monitor pola pernapasan
abnormal
 Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
 Monitor sianosis perifer
 Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
 Identifikasi penyebab
dari perubahan vital sign

2. Gangguan rasa NOC : NIC :


nyaman: Nyeri
 Pain Level, Pain Management
b.d injuri cedera
 Pain control,  Lakukan pengkajian nyeri
fisik
 Comfort level secara komprehensif
termasuk lokasi,
Kriteria Hasil :
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan
 Mampu mengontrol
faktor presipitasi
nyeri (tahu penyebab
 Observasi reaksi nonverbal
nyeri, mampu
dari ketidaknyamanan
menggunakan tehnik
 Gunakan teknik komunikasi
nonfarmakologi untuk
terapeutik untuk
mengurangi nyeri,
mengetahui pengalaman
mencari bantuan)
nyeri pasien
 Melaporkan bahwa
 Kaji kultur yang
nyeri berkurang
mempengaruhi respon nyeri
dengan menggunakan
 Evaluasi pengalaman nyeri
manajemen nyeri
masa lampau
 Mampu mengenali
 Evaluasi bersama pasien
nyeri (skala, intensitas,
dan tim kesehatan lain
frekuensi dan tanda
nyeri) tentang ketidakefektifan
 Menyatakan rasa kontrol nyeri masa lampau
nyaman setelah nyeri  Bantu pasien dan keluarga
berkurang untuk mencari dan
 Tanda vital dalam menemukan dukungan
rentang normal  Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi
nyeri
 Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi
 Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration

 Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
 Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
 Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
 Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala
(efek samping)
3. Gangguan NOC: NIC :
volume cairan : Fluid management
 Fluid balance
kurang dari
 Hydration  Timbang popok/pembalut
kebutuhan tubuh
 Nutritional Status : Food jika diperlukan
b.d Kehilangan
and Fluid Intake  Pertahankan catatan intake
volume cairan
dan output yang akurat
secara aktif
Kriteria Hasil :  Monitor status hidrasi
( kelembaban membran
 Mempertahankan urine
mukosa, nadi adekuat,
output sesuai dengan
tekanan darah ortostatik ),
usia dan BB, BJ urine
jika diperlukan
normal, HT normal
 Monitor vital sign
 Tekanan darah, nadi,
 Monitor masukan
suhu tubuh dalam batas
makanan / cairan dan hitung
normal
intake kalori harian
 Tidak ada tanda tanda
 Kolaborasikan pemberian
dehidrasi, Elastisitas
cairan IV
turgor kulit baik,
membran mukosa  Monitor status nutrisi

lembab, tidak ada rasa  Berikan cairan IV pada

haus yang berlebihan suhu ruangan


 Dorong masukan oral
 Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
 Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
 Tawarkan snack ( jus buah,
buah segar )
 Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul
meburuk
 Atur kemungkinan tranfusi
 Persiapan untuk tranfusi
HypovolemiaManagement

 Monitor status cairan


termasuk intake dan ourput
cairan
 Pelihara IV line
 Monitor tingkat Hb dan
hematokrit
 Monitor tanda vital
 Monitor responpasien
terhadap penambahan
cairan
 Monitor berat badan
 Dorong pasien untuk
menambah intake oral
 Pemberian cairan Iv
monitor adanya tanda dan
gejala kelebihanvolume
cairan

Monitor adanya tanda gagal


ginjal
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Dedi. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan
Derajat Luka. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 60, Nomor 4, April.

Wibisono E, Budianto IR. 2014. Pneumotoraks. Dalam: Tanto, C, et al. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi IV Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius. Hal 271-274

Anda mungkin juga menyukai