Anda di halaman 1dari 15

PERLAKUAN AKUNTANSI PADA SAAT LIKUIDASI PERSEKUTUAN

(LANJUTAN) DAN USAHA PATUNGAN

Dosen Pengampu : Ida Ayu Ratih Manuari, SE., M.Si

Oleh :

Kelompok 3

Ni Putu Sintya Ristayanti (01 / 2002622010061)

Ida Ayu Made Adinda Yaswari (02 / 2002622010062)

Luh Putu Diah Pradnyani Utari (22 / 2002622010082)

Ni Kadek Devi Yustina (31 / 2002622010296)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Akuntansi

Universitas Mahasaraswati Denpasar

Tahun Ajaran 2021/2022


PEMBAHASAN

1.1 Laporan Likuidasi Bertahap


Likuidasi bertahap (installment liquidation) merupakan likuidasi yang secara
umum memerlukan beberapa bulan dalam penyelesaiannya dan mencakup
pembayaran periodik, atau cicilan/bertahap, kepada para sekutunya selama periode
likuidasi. Kebanyakan likuidasi persekutuan dilakukan dalam periode yang
diperpanjang dengan tujuan memperoleh jumlah realisasi aset yang sebesar mungkin.
Umumnya, para sekutu menerima pembayaran periodik selama likuidasi karena
mereka memerlukan dana tersebut untuk keperluan pribadi.
Likuidasi bertahap mencakup distribusi kas ke para sekutu sebelum
menyelesaikan likuidasi aset yang terjadi. Pihak akuntan secara khusus harus berhati-
hati pada saat mendistribusikan kas, karena dapat saja terjadi suatu peristiwa di masa
mendatang yang mungkin mengubah jumlah yang harus dibayarkan kepada masing-
masing sekutu. Untuk alasan ini, panduan praktis berikut ini dapat digunakan untuk
membantu para akuntan dalam menentukan pembayaran angsuran yang aman kepada
para sekutu.
1. Tidak mendistribusikan uang tunai kepada para sekutu hingga seluruh
liabilitas dan beban likuidasi aktual maupun potensial telah dibayarkan atau
telah dicadangkan seperlunya.
2. Antisipasi kemungkinan yang terburuk, atau lebih membatasi sebelum
menentukan jumlah angsuran tunai yang diterima oleh masing-masing sekutu:
a) Asumsikan bahwa seluruh aset nonkas yang tersisa akan dihapuskan
sebagai kerugian; yaitu dengan mengasumsikan bahwa tidak ada yang
dapat direalisasikan pada pelepasan aset.
b) Asumsikan bahwa defisit yang timbul dalam akun modal para sekutu
akan didistribusikan kepada sekutu yang tersisa; yaitu dengan
mengasumsikan bahwa defisit tersebut tidak akan dihapuskan oleh
kontribusi modal tambahan para sekutu.
3. Setelah akuntan mengasumsikan kasus terburuk yang dapat terjadi, maka sisa
saldo kredit pada akun modal menunjukkan distribusi kas yang aman yang
dapat didistribusikan kepada para sekutu dalam jumlah yang sesuai.
Ilustrasi Likuidasi Bertahap
Aldi, Bayu, dan Citra memutuskan untuk melakukan likuidasi terhadap usaha mereka
selama beberapa periode waktu dan menerima distribusi kas yang tersedia secara
bertahap selama proses likuidasi. Ringkasan neraca saldo persekutuan ABC per
tanggal 1 Mei 2015, pada saat para sekutu memutuskan untuk melikuidasi usaha,
adalah sebagai berikut. Persentase pembagian laba dan rugi masing-masing sekutu
juga ditunjukkan.

Berikut adalah penjelasan mengenai kasus tersebut.


1. Laporan kekayaan bersih para sekutu pada tanggal 1 Mei 2015 adalah sebagai
berikut.

Bayu secara pribadi insolven; sedangkan Aldi dan Citra secara pribadi masih
solven.
2. Aset nonkas yang dijual adalah sebagai berikut.

3. Kreditor akan dibayar sebesar Rp42.000.000 pada tanggal 20 Mei.


4. Para sekutu bersepakat untuk mengelola cadangan kas sebesar Rp10.000.000
selama proses likuidasi yang digunakan untuk membayar beban likuidasi.
5. Para sekutu bersepakat untuk mendistribusikan kas yang tersedia pada akhir
setiap bulan; yaitu likuidasi bertahap akan dilakukan pada tanggal 31 Mei dan
30 Juni. Distribusi kas final kepada para sekutu akan dilakukan pada tanggal
31 Juli 2015, akhir proses likuidasi.
Laporan realisasi dan likuidasi persekutuan untuk likuidasi bertahap persekutuan
ABC disajikan pada Figur 16-4.
Transaksi Selama Bulan Mei 2015
Peristiwa yang terjadi selama bulan Mei 2015 menghasilkan distribusi sebesar
Rp5.000.000 kepada para sekutu. Prosedur yang digunakan untuk menghasilkan
jumlah ini adalah sebagai berikut.
1. Penjualan aset yang bernilai Rp55.000.000 menghasilkan kerugian sebesar
Rp10.000.000, yang didistribusikan kepada ketiga sekutu berdasarkan rasio
pembagian kerugian.
2. Pembayaran sebesar Rp42.000.000 dilakukan kepada kreditor persekutuan
atas liabilitas yang diketahui.
3. Kas yang tersedia didistribusikan pada tanggal 31 Mei 2015.
Untuk menentukan pembayaran kas yang aman untuk didistribusikan kepada
para sekutu, pihak akuntan harus membuat beberapa asumsi mengenai likuidasi masa
depan atas aset yang tersisa. Dengan mengasumsikan situasi terburuk yang mungkin
terjadi, sisa aset yang bernilai Rp35.000.000 akan mengakibatkan total kerugian.
Sebelum melakukan distribusi kas ke para sekutu, seorang akuntan menyusun skedul
pembayaran yang aman kepada para sekutu (schedule of safe payments to partners)
dengan menggunakan asumsi kasus terburuk. Figur 16-5 menunjukkan skedul
pembayaran yang aman kepada para sekutu pada tanggal 31 Mei 2015.
Skedul ini dimulai dengan saldo modal para sekutu pada tanggal 31 Mei.
Skedul ini secara logika hanya menggunakan akun modal yang berasal dari
persamaan akuntansi: Aset - Liabilitas = Saldo modal sekutu. Dengan demikian,
misalnya, jika ada kenaikan liabilitas yang membuat aset neto berkurang, kesetaraan
persamaan akuntansi juga akan menghasilkan penurunan total saldo modal para
sekutu. Oleh karena akun modal sekutu yang menjadi fokus pembayaran kepada
sekutu, maka tidak perlu memasukkan aset dan liabilitas ke dalam skedul pembayaran
aman kepada para sekutu. Skedul mencakup seluruh informasi yang diperlukan agar
para sekutu mengetahui berapa besar kas yang akan mereka terima pada setiap tanggal
distribusi kas.
Aldi, Citra, dan Bayu bersepakat untuk menahan uang tunai sebesar Rp10.000.000
untuk menutupi beban likuidasi yang mungkin timbul. Selain itu, aset nonkas
memiliki saldo sisa sebesar Rp35.000.000 pada tanggal 31 Mei. Asumsi kasus
terburuk berupa kerugian total atas aset nonkas dan beban likuidasi sebesar
Rp10.000.000, menimbulkan total biaya sebesar Rp45.000.000 yang harus
didistribusikan ke akun modal para sekutu. Akun modal Aldi, Bayu, dan Citra
dikenakan beban masing-masing sebesar Rp18.000.000, Rp 18.000.000, dan
Rp9.000.000 untuk bagian dari kerugian yang diasumsikan sebesar Rp45.000.000
tadi. Asumsi ini menghasilkan pro forma defisit dalam akun modal Bayu. Ingat, ini
bukan defisit aktual yang harus dipulihkan. Ini hanya hasil dari penerapan asumsi
kasus terburuk.
Dengan melanjutkan perencanaan kasus terburuk tersebut, akuntan
mengasumsikan bahwa Bayu insolven (yang benar terjadi dalam contoh ini) dan
mendistribusikan pro forma defisit dalam akun modal Bayu kepada Aldi dan Citra
sesuai dengan rasio pembagian kerugian sebesar 40:60 untuk Aldi dan 20:60 untuk
Citra. Saldo kredit yang dihasilkan mengindikasikan jumlah kas yang dengan aman
dapat didistribusikan kepada para sekutu. Pembagian kas pada tanggal 31 Mei
ditunjukkan dalam Figur 16-5. Kas yang tersedia sebesar Rp3.000.000 didistribusikan
kepada Aldi. Saldo akhir seharusnya memenuhi kesetaraan jumlah aset dan ekuitas
pada persamaan akuntansi. Jika kesetaraan tidak terwujud, maka kemungkinan telah
terjadi kesalahan yang harus dikoreksi sebelum meneruskan lebih lanjut. Pada tanggal
31 Mei, setelah distribusi bertahap dilakukan, persamaan akuntansi akan menjadi:
Aset – Liabilitas = Ekuitas pemilik
Rp 45.000.000 – Rp 0 = Rp 45.000.000
Transaksi Selama Bulan Mei 2015
Figur 16-4 berlanjut dengan transaksi untuk bulan Juni 2015, yaitu sebagai berikut.
1. Aset nonkas sebesar Rp30.000.000 dijual pada tanggal 15 Juni dengan
kerugian sebesar Rp 15.000.000. Kerugian tersebut didistribusikan ke para
sekutu dengan rasio pembagian kerugian, yang menghasilkan saldo modal
Bayu sebesar nol.
2. Pada tanggal 30 Juni 2015, kas yang tersedia didistribusikan kepada para
sekutu sebagai pembayaran bertahap.
Skedul pembayaran yang aman kepada para sekutu pada tanggal 30 Juni 2015
dalam Figur 16-5 menunjukkan bagaimana jumlah distribusi dihitung. Rencana kasus
terburuk mengasumsikan bahwa aset nonkas yang tersisa sebesar Rp5.000.000 harus
dihapuskan sebagai kerugian dan bahwa kas dalam
cadangan sebesar Rp10.000.000 sepenuhnya akan digunakan untuk beban likuidasi.
Pro forma kerugian sebesar Rp15.000.000 ini dialokasikan kepada para sekutu sesuai
dengan rasio pembagian kerugian, sehingga menimbulkan defisit sebesar
Rp6.000.000 dalam akun modal Bayu. Dengan melanjutkan skenario kasus terburuk
ini, diasumsikan bahwa Bayu tidak dapat menghapus saldo debit dalam modal ini.
Oleh karena itu, potensi defisit sebesar Rp6.000.000 ini dialokasikan kepada Aldi dan
Citra menurut rasio pembagian laba dan rugi yang terjadi yaitu 40:60 untuk Aldi dan
20:60 untuk Citra, Saldo kredit yang terjadi dalam akun modal para sekutu
menunjukkan jumlah kas yang dapat didistribusikan dengan aman. Uang tunai yang
tersedia sebesar Rp15.000.000 akan didistribusikan kepada Aldi dan Citra pada
tanggal 30 Juni, sebagaimana ditunjukkan dalam Figur 16-4.
Transaksi selama Bulan Juli 2015
Bagian terakhir Figur 16-4 menunjukkan penyelesaian transaksi likuidasi selama
bulan Juli 2015.
1. Aset yang tersisa dijual pada nilai bukunya sebesar Rp5.000.000.
2. Biaya likuidasi yang sebenarnya sebesar Rp7.500.000 dibayarkan dan
dialokasikan kepada para sekutu dengan rasio pembagian kerugian,
menimbulkan defisit sebesar Rp3.000.000
dalam akun modal Bayu. Sisa sebesar Rp2.500.000 dari Rp10.000.000 yang
dicadangkan untuk biaya yang dikeluarkan untuk distribusi kepada para
sekutu.
3. Oleh karena Bayu secara pribadi insolven dan tidak dapat memberikan
kontribusi kepada persekutuan, maka defisit sebesar Rp3.000.000 tersebut
didistribusikan kepada Aldi dan Citra dengan rasio pembagian kerugian.
Perhatikan bahwa ini merupakan defisit aktual, bukan pro forma defisit.
4. Sisa kas sebesar Rp7.500.000 dibayarkan kepada Aldi dan Citra sampai
sebatas saldo modal mereka. Setelah distribusi akhir ini, semua saldo akun
menjadi nol, yang mengindikasikan penyelesaian proses likuidasi.
1.2 Rencana Distribusi Kas
Pada awal proses likuidasi, akuntan umumnya menyusun rencana distribusi
kas (cash distribution plan) yang memberikan gambaran kepada para sekutu mengenai
pembayaran kas secara bertahap yang akan diterima oleh masing-masing pada saat
telah tersedia kas dalam persekutuan. Distribusi bertahap aktual ditentukan dengan
menggunakan laporan realisasi dan likuidasi, yang dilengkapi dengan skedul
pembayaran aman kepada para sekutu sebagaimana yang disajikan pada bagian akhir
bab ini. Rencana distribusi kas merupakan proyeksi pro forma penggunaan kas
apabila telah tersedia uang tunai.
 Daya Serap Kerugian
Konsep dasar dari rencana distribusi kas pada awal proses likuidasi adalah daya serap
kerugian (loss absorption power-LAP). LAP seorang sekutu diartikan sebagai
kerugian maksimum yang dapat terjadi dalam persekutuan sebelum saldo akun modal
sekutu dilunasi. Daya serap kerugian merupakan fungsi dari dua elemen, sebagai
berikut.
Saldo akun modal sekutu
LAP =
Bagian kerugian sekutu
Sebagai contoh, pada 1 Mei 2015 Aldi memiliki saldo kredit akun modal sebesar
Rp34.000.000 dan 40 persen bagian dalam kerugian persekutuan ABC. LAP Aldi
adalah:
Rp 34.000 .000
LAP = = Rp 85.000.000
0,40
Ini berarti bahwa kerugian atas pelepasan aset nonkas atau dari biaya likuidasi
tambahan sebesar Rp85.000.000 akan menghapuskan saldo kredit dalam akun modal
Aldi, sebagai berikut:
Rp 85.000.000 x 0,40 = Rp 34.000.000
Ilustrasi Distribusi Kas
Ilustrasi berikut ini didasarkan pada contoh persekutuan ABC. Neraca saldo akun
laporan posisi keuangan persekutuan ABC pada tanggal 1 Mei 2015, hari saat para
sekutu memutuskan melikuidasi usaha, disajikan sebagai berikut.

Para sekutu meminta rencana distribusi kas pada tanggal 1 Mei 2015, untuk
menentukan distribusi atas kas setelah tersedia selama proses likuidasi. Rencana
semacam itu selalu memberikan pembayaran kepada kreditor persekutuan sebelum
distribusi dapat dilakukan kepada para sekutu. Figur 16-6 menyajikan rencana
distribusi kas pada tanggal 1 Mei, tanggal awal proses likuidasi.
Pengamatan penting dari contoh tersebut adalah sebagai berikut.
1. Daya serap kerugian masing-masing sekutu dihitung ketika saldo modal
sebelum likuidasi dibagi dengan persentase pembagian kerugian para sekutu.
Aldi memiliki LAP tertinggi (Rp85.000.000), Citra memiliki LAP tertinggi
berikutnya (Rp70.000.000), dan Bayu memiliki LAP terendah
(Rp25.000.000). LAP masing-masing sekutu merupakan jumlah kerugian yang
sepenuhnya mengeliminasi saldo kredit modal netonya. Aldi adalah sekutu
yang paling tidak rentan terhadap kerugian, dan Bayu adalah yang paling
rentan terhadap kerugian.

2. Sekutu yang paling tidak rentan akan menjadi yang pertama untuk menerima
pembayaran tunai setelah pembayaran kepada para kreditor. Aldi akan
menjadi satu-satunya sekutu yang menerima kas hingga LAP menurun ke
tingkat sekutu tertinggi berikutnya, yaitu Citra. Untuk menurunkan LAP Aldi
sebesar Rp 15.000.000 membutuhkan pembayaran sebesar Rp6.000.000
(Rp15.000.000 x 0,40) kepada Aldi. Setelah pembayaran sebesar Rp6.000.000
kepada Aldi, daya serap kerugian yang baru akan sama dengan Citra, yang
dihitung dengan saldo modal Aldi yang tersisa sebesar Rp28.000.000 dibagi
dengan persentase pembagian kerugiannya sebesar 40% (Rp28.000.000 + 0,40
= Rp70.000.000).
3. LAP Aldi dan Citra sekarang akan sama, dan mereka akan menerima distribusi
kas hingga LAP masing-masing menurun ke tingkat tertinggi berikutnya, yaitu
sebesar Rp25.000.000 sebagaimana LAP Bayu. Mengalikan LAP
Rp45.000.000 (Rp70.000.000 - Rp25.000.000) dengan rasio pembagian
kerugian kedua sekutu menunjukkan berapa banyak kas yang tersedia
berikutnya agar dapat dibayarkan dengan aman kepada masing-masing sekutu.
Aldi dan Citra akan menerima distribusi kas sesuai dengan rasio pembagian
kerugiannya. Dengan tersedianya kas sebesar Rp27.000.000, maka yang akan
didistribusikan kepada Aldi dan Citra masing-masing adalah dengan rasio
40:60 untuk Aldi dan 20:60 untuk Citra.
4. Terakhir, saat ketiga sekutu tersebut memiliki LAP yang sama, maka sisa kas
yang tersedia akan didistribusikan menurut rasio pembagian kerugian masing-
masing sekutu.
Ringkasan rencana distribusi kas pada bagian bawah Figur 16-6 diberikan
kepada masing masing sekutu. Dari ringkasan ini, para sekutu mampu menentukan
jumlah relatif yang akan diterima masing-masing apabila telah tersedia kas pada
persekutuan.
1.3 Sekutu dan Persekutuan yang Tidak Likuid
Untuk sekutu yang tidak likuid aturan yang berlaku untuk mengklaim harta dari
sekutu yang bangkrut adalah sebagai berikut:
 Jumlah terhutang kepada kreditur luar
 Jumlah terhutang kepada kreditur persekutuan
 Jumlah terhutang dari sekutu dari kontribusi
Kreditur persekutuan pertama kali menuntut pembayaran dari harta persekutuan, dan
kreditur dari sekutu individu harus mencri pemulihan klaim dari harta individu. Jadi,
harta individu dan persekutuan dipisahkan dalam menyusun prioritas klaim,
a) Persekutuan likuid–satu atau lebih sekutu tidak likuid
Dalam likuidasi persekutuan yang likuid, kreditur persekutuan mendapatkan
penggantian atas klaim mereka dari harta persekutuan. Persekutuan harus hati-
hati untuk tidak mendistribusikan harta persekutuan kepada sekutu yang tidak
likuid larena kreditur pribadi mereka mengklaim aktiva persekutuan atas
ketidaksanggupan sekutu membayar hutangnya. Begitu pula jika sekutu tidak
likuid memiliki saldo modal kredit dan sekutu yang likuid memiliki saldo
debit yang seimbang, maka kreditur pribadi sekutu yang tidak likuid  klaim
atas harta pribadi sekutu yang likuid sejumlah saldo debitnya.
Sekutu individu yang memiliki saldo debit memiliki kewajiban terhadap
sekutu yang memiliki ekuitas dalam persekutuan sebesar saldo debitnya
meskipun persekutan dalam keadaan likuid. Tetapi bila sekutu yang memiliki
saldo modal debit secara pribadi juga tidak likuid, seluruh jumlah dari aktiva
pribadi sekutu itu diberikan kepada kreditur pribadinya, dan jumlah dimiliki
sekutu dari kontribusinya tidak akan dibagi dalam distribusi aktiva pribadi
sekutu.
b) Persekutuan tidak likuid
Ketika persekutuan tidak likuid, kas yang tersedia setelah seluruh aktiva
nonkas dikonversi menjadi kas tidak akan cukup untuk membayar kreditur
persekutuan. Kreditur persekutuan akan mendapat penggantian sebagian dari
aktiva persekutuan dan mendesak sekutu sekutu untuk menggunakan harta
pribadi untuk menutupi sisa klaim. Walaupun kreditur pribadi mempunyai
klaim lebih dulu atas harta pribadi, kreditur persekutuan dapat mencari
penggantian atas klaim mereka dari aktiva pribadi sekutu yang secar pribadi
likuid. Sekutu harus memberikan sejumlah kontribusi untuk menutupi
kewajiban persekutuan. Sekutu yang membayar lebih dari bagian
kewajibannya dalam persekutuan mempunyai klaim atas sekutu yang memiliki
saldo modal debit.
1.4 Laporan Usaha Patungan
Pada dasarnya usaha patungan atau joint venture tidak berbeda banyak dengan
persekutuan, yaitu kerja sama beberapa pihak untuk menyelenggarakan usaha
bersama dalam jangka waktu tertentu. Kerja sama tersebut akan berakhir setelah
tujuan tercapai atau pekerjaan selesai. Perbedaan yang pokok antara joint venture
dengan persekutuan adalah umurnya, dalam arti bahwa umur joint venture jauh lebih
pendek jika dibanding kan dengan umur persekutuan yang biasa.
1. Pembagian Laba Joint Venture
Seperti halnya persekutuan, maka laba joint venture juga hak para anggota.
Oleh karena itu laba joint venture akan dibagikan kepada para sekutu. Cara
(metode) pembagian labanya juga akan diatur di dalam perjanjian. Metode
pembagian laba yang dapat dipakai juga sama dengan metode pembagian laba
persekutuan, yaitu:
1) Laba dibagi sama,
2) Laba dibagi dengan ratio tertentu,
3) Laba dibagi sesuai dengan ratio modal, yaitu:
 Modal mula-mula
 Modal awal periode
 Modal akhir periode, dan
 Modal rata-rata
4) Laba dibagi dengan memperhitungkan bunga modal dan sisanya dibagi
menurut cara a, b atau c.
5) Laba dibagi dengan memperhitungkan gaji dan bonus dan sisanya
dibagi menurut cara a, b atau c.
6) Laba dibagi dengan memperhitungkan bunga modal, gaji serta bonus
dan sisanya dibagi menurut cara a, b atau c.
2. Akuntansi Joint Venture
Pada dasarnya akuntansi joint venture dapat diselenggarakan dengan 2
metode, yaitu:
1) Metode Akuntansi Terpisah
Di dalam metode ini joint venture menyelenggarakan akuntansi
secara tersendiri. Akuntansi yang diselenggarakan oleh joint venture in
pada dasarnya sama dengan akuntansi yang diselenggarakan oleh
persekutuan. Dalam hal ini joint venture akan menyelenggarakan
rekening-rekening, yaitu aktiva, utang, modal untuk masing-masing
sekutu, penghasilan dan biaya.
Dalam metode ini masing-masing sekutu hanya akan mencatat
investasi sendiri saja. Jadi para sekutu hanya akan mencatat apabila
haknya berubah. Metode ini biasanya dipakai oleh joint venture yang
umurnya lebih Panjang.
Contoh :
Dalam rangka perayaan Sekaten tahun 1991 A, B dan C sepakat untuk
mengadakan joint venture yang bergerak dalam bidang penjualan
pakaian dan mainan anak-anak selama perayaan Sekaten di alun-alun
utara Yogyakarta. Setoran modal masing-masing sekutu disepakati:
A Rp10.000.000,00
B Rp10.000.000,00
C Rp15.000.000,00
Cara pembagian laba disepakati:
a. A sebagai managing partner mendapat bonus 20% dari laba.
b. Sisa laba setelah dikurangi bonus akan dibagi:
A 30%,
B 30%, dan
C 40%
Transaksi yang terjadi selama beroperasinya joint venture tersebut
adalah:
- A menyetor modal berupa kas sebesar Rp10.000.000,00.
- Joint venture membayar biaya sewa tempat sebesar
Rp2.500.000,00.
- B menyetor kas sebesar Rp10.000.000,00 sebagai setoran
modal.
- C menyerahkan barang dagangan sebagai setoran modal. Harga
perolehan barang dagangan tersebut Rp14.000.000,00, akan
tetapi nilainya disepakati Rp15.000.000,00.
- Joint venture membeli tambahan barang dagangan seharga
Rp9.000.000,00. Pembelian ini dilakukan oleh managing
partner.
- Joint venture membayar berbagai macam biaya usaha sebesar
Rp3.500.000,00.
- Joint venture berhasil menjual semua barang dagangan seharga
Rp35.000.000,00 secara tunai.
- Rugi-laba joint venture dihitung dan dibagikan kepada para
partner.
- Joint venture dibubarkan dan semua kas dibagikan kepada para
sekutu.
Apabila joint venture menyelenggarakan akuntansi secara terpisah,
maka pencatatan baik oleh joint venture maupun oleh masing-masing
partner dapat dilihat pada Tabel 5.1 pada halaman berikut ini. Per
hitungan pembagian laba dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Pembagian kas tersebut didasarkan pada saldo modal masing-masing


partner setelah pembagian laba.

2) Metode Akuntansi Tidak Terpisah


Dalam metode ini joint venture tidak menyelenggarakan akuntansi
secara tersendiri. Akuntansi terhadap joint venture diselenggarakan
oleh masing-masing sekutu (partner). Dalam hal ini akuntansinya dapat
dibagi menjadi 2, yaitu yang diselenggarakan managing partner
(sekutu manajer dan yang diselenggarakan oleh non-managing partner
(sekutu biasa).

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Richard E. 2016. Akuntansi Keuangan Lanjutan-Perspektif Indonesia Edisi 2 Buku 2.


Jakarta: Salemba Empat

Suparwoto, L. 1992. Akuntansi Keuangan Lanjutan (Persekutuan, Joint Venture, Penjualan


Angsuran Konsinyasi dan Hubungan Pusat-Cabang) Edisi 1 Bagian 1. Yogyakarta: BPFE

http://fekool.blogspot.com/2017/02/disolusi-dan-likuidasi-persekutuan.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai