Pulau Bali yang dikenal dengan daerah wisata baik domestik maupun manca negara, bahkan
orang dari pelosok dunia mengenal Indonesia hanya di kenal bali. Masyarakat Bali sangat
kuat mempertahankan budayanya dan mayoritas mereka menganut agama Hindu.
Perayaan agama Hindu membuat masyarakat Bali membenahi pura-pura dengan
membutuhkan banyak bambu dan bunga-bunga. Di samping bambu untuk pura-pura, bambu
juga sangat dibutuhkan dijadikan souvenir untuk wisatawan yang berkunjung ke Bali.
Bertitik tolak dari budaya dan wisatawan yang berkunjung ke Bali, kebutuhan bambu sangat
penting sekali dikembangkan. Pengembangan bambu di provinsi Bali sejalan dengan program
Kementerian Kehutanan melalui pengembangan dan penggunaaan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) yang dituangkan dalam SK. Menteri Kehutanan P.35/Menhut-II/2007 tentang
HHBk dan SK. Dirjen BPDAS dan PS, SK.No.22/V-bps/2010 tentang penetapan Jenis
HHBK Unggulan Nasional dan Lokasi Pengembangan Klaster.
Bupati Bangli sangat mendukung kebijakan Kementerian Kehutanan dalam rangka
pengembangan bambu, dengan mengeluarkan Surat Keputusan No : 522.22/140/2013 tentang
Penetapan Bambu sebagai HHBK unggulan dan Kabupaten Bangli sebagai pengembangan
Klaster.
Bupati Bangli mewajibkan kepada SKPD terkait untuk berperan aktif dalam pengembangan
bambu sebagai unggulan kabupaten Bangli antara lain :
a. Menata usaha perbambuan dari hulu sampai hilir dan pemberdayaan kelompok-
kelompok tani dengan melibatkan berbagai pihak sehingga terjalin hubungan
kerjasama yang terintegrasi, terarah, efektif dan efisien.
b. Pengembangan budidaya bambu dilakukan dengan pengkayaan kebun-kebun bambu
yang sudah ada. Perluasan penanaman terutama di lahankan pada lahan kritis dan
lahan-lahan yang berfungsi sebagai perlindungan jurang Untuk meningkatkan
ekonomi masyarakat Bangli, pemerintah daerah membina pengrajin rumah tangga
dari bambu (home industri) dan toko-toko souvenir yang menjual produk bambu.
Masyarakat Bangli dengan kearifan lokal dan kuatnya agama Hindu. Serta aturan
masyarakat desa yang lebih dikenal awik-awik menjadikan kabupaten Bangli dengan
mudah mengembangan Bambu seperti Desa Penglipuran yang mempunyai Hutan adat
bambu seluas 40 ha masih dipelihara secara turun temurun dibawah pengawasa ketua
adat (I Wayan Supat).
Ketua adat I Wayan Supat menjelaskan tentang pengukuhan Desa tersebut sebagai
desa wisata. Hutan Bambu seluas ± 40 ha sudah ada sebelum desa tersebut
terbentuk.Pada awal nya pohon bambu dipunyai oleh 40 KK secara turun temurun.
Hutan Bambu tersebut dijadikan sebagai kearifan lokal yang diawasi oleh Ketua Adat
dengan pengelolaaan, pemungutan dan pemeliharaannya dibawah pengaturan yang
dikenal “Awik-awik” .Masyarakat wajib mematuhinya seperti aturan tata guna lahan
untuk hutan, tegakan dan pekarangan yang bertujuan untuk menjaga fungsi ekologi
sehingga dapat mencegah banjir, erosi dan lahan kritis. Disamping “awik-awik” yang
sangat dikenal di Bali, ketua adat terus mensosialisasikan UUD 45 pasal 33 “Hutan
tanah dan air dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan masyarakat mulai dari anak-
anak sampai tokoh masyarakatnya.
Masyarakat dengan kuatnya kepercayaan agama Hindu, mereka mempunyai 3 konsep
antara lain :
- Hubungan manusia dengan tanah
- Hubungan Manusia dengan alam/lingkungan
- Hubungan Manusia dengan manusia
Konsep dan aturan tersebut diatas menjadi daerah tersebut menjadi Desa Wisata
Tradisional Bagi masyarakat yang melanggar akan dikenakan sanksi social dan
sanksi lainnya.
Orang yang datang ke Desa Penglipuran setiap hari ±125 orang.
Orang yang datang ke Desa Pelipuran melihat tempat pembuangan sampah,rumah
baik dinding maupun kasaunya dan pagar dibuat dari bambu.Anjungan janur-janur
di sekitar desa dan pura-pura juga memanfaatkan bambu.Disamping itu,wisatawan
mengunjungi areal tanaman bambu (40 Ha) yang sudah di tata rapi.
Gambar : Tempat sampah dari bambu di desa Penglipuran