Anda di halaman 1dari 11

No.

Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
1 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI 8
FERMENTASI CUKA DAN TEMPE

Disusun oleh:
Nama : Farida Noor Irfani
Nim : 11/316218/BI/08762
Golongan : Selasa/V
Asisten : Anjar Lestari

LABOATORIUM MIKROBIOLOGI
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
2 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

YOGYAKARTA
2013

FERMENTASI CUKA DAN TEMPE

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cuka merupakan sebuah produk yang dihasilkan dari oksidasi cairan alkohol
menjadi asam asetat dengan bantuan bakteri spesifik (Salle, 1961). Asam cuka dapat
diperoleh dari semua bahan yang dapat difermentasikan menjadi alkohol yaitu, cairan
buah, madu, sirup, melase dan sebagainya. Fermentasi asam cuka merupakan satu
contoh fermentasi yang berlangsung dalam keadaan aerob. Fermentasi ini biasa
dilakukan oleh bakteri asam cuka (Acetobacter) dengan substrat etanol. Secara umum
proses pembuatan cuka melibatkan dua tahapan besar, yaitu pembentukan alkohol dan
pembentukan asam asetat. Sebelum terjadi pembentukan asam asetat, gula harus
diubah terlebih dahulu menjadi alkohol dengan fermentasi khamir. Alkohol yang
didapatkan harus mencapai konsenterasi 10-13%. Jika lebih dari itu maka alkohol
tidak teroksidasi sempurna menjadi asam asetat (Prescott dan Dunn, 1959).
Mikrobia yang digunakan dalam proses pembuatan fermentasi asam cuka ada 2
macam, yaitu khamir dan bakteri dari genus Acetobacter. Acetobacter membutuhkan
khamir untuk memproduksi zat yang akan dioksidasi lebih lanjut. Khamir yang terlibat
dalam proses fermentasi biasanya adalah saccharomyces sp. yang mampu mengubah
glukosa menjadi etil alkohol dan gas CO2. Alkohol yang dihasilkan akan dioksidasi
lebih lanjut oleh Acetobacter menjadi asam cuka. Reaksinya sebagai berikut :

aerob
C6H12O6 —————> 2 C2H5OH ———————————————> 2 CH3COOH + H2O + 116 kal
(glukosa) bakteri asam cuka asam cuka

(Black, 1999)
Bahan pangan yang berprotein nabati yang banyak dipergunakan sebagai
bahan dasar fermentasi pangan adalah kedelai atau jenis kacang-kacangan. Salah satu
makanan yang dibuat dari fermentasi kedelai adalah tempe. Tempe memiliki ciri-ciri
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
3 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

warna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik. Tekstur yang kompak disebabkan
adanya miselia-miselia jamur yang merekatkan biji-biji kedelai. Flavor spesifik ada
karena terjadi degradasi komponen-komponen dalam kedelai (Rahayu dkk., 1989).
Fermentasi tempe terjadi akibat aktivitas mikrobia yaitu jamur benang. Jamur
benang yang pertama kali diketahui melakukan fermentasi adalah Rhizopus oryzae.
Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar proses fermentasi tempe dilakukan oleh
Rhizopus oligosporus. Perubahan-perubahan yang terjadi selama fermentasi meliputi
perubahan komponen lemak yang diubah menjadi asam-asam lemak. Protein
didegradasi menjadi asam-asam amino oleh enzim proteolitik. Perubahan-perubahan
tersebut disebabkan oleh aktivitas mikrobia yang tumbuh pada kedelai. Hal itu dapat
dilihat dengan adanya kenaikan temperatur selama inkubasi dan selanjutnya menurun
perlahan sesuai dengan aktivitas pertumbuahan mikrobia. Selama fermentasi, protein
dirombak menjadi asam amino seperti serin, lisin, alanin. Faktor yang perlu
diperhatikan selama fermentasi adalah aerasi, kelembaban, dan temperatur (Soetarto
dkk, 2013).

B. Tujuan
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas mikrobia selama
fermentasi asam cuka dengan bahan dasar air kelapa. Selain itu, bertujuan pula untuk
mengetahui mengamati morfologi Rhizopus sp. dan aktivitasnya pada fermentasi
tempe.

II. METODE
A. Alat dan Bahan
a. Fermentasi tempe
Bahan yang digunakan adalah tempe dengan bungkus daun pisang dan plastik.
Sedangkan alatnya berupa mikroskop cahaya untuk mengamati jamur Rhizopus sp.,
jarum ose untuk mengambil jamur, larutan laktofennol untuk membuat preparat, gelas
benda ,penutup untuk membuat preparat dan kamera untuk mengambil gambar.

b. Fermentasi cuka
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
4 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

Bahan yang digunakan air kelapa, larutan bayerinck, indikator pp. Sedangkan
alatnya berupa buret untuk alat titrasi, erlenmeyer sebagai tempat larutan, pipet tetes
untuk menambil larutan dalam jumlah sedikit, kertas indikator universal untuk
mengukur pH larutan.
B. Cara Kerja
a. Fermentasi tempe
Dilakukan uji organoleptik yaitu dengan membedakan warna, aroma dan rasa
pada tempe bungkus plastik dan daun pisang. Kemudian dibuat preparat dari tempe
yang sudah mengalami pembentukan spora dengan menggunakan gelas benda dan
penutup yang ditetesi larutan laktofenol. Preparat diamati dibawah mikroskop dan
difoto untuk mengetahui bentuk mikrobia yang membentuk spora.

b. Fermentasi cuka
Air kelapa dimasukkan ke dalam tabung reaksi besar lalu ditutup dengan kertas
yang dilubangi kecil untuk aerasi. Hal yang sama dilakukan pada larutan Bayerinck.
Kemudian dibuat pula sampel air kelapa dan larutan Bayerinck dengan perlakuan
tanpa aerasi (ditutup rapat tanpa dilubangi). Selanjutnya, kedua tabung diinkubasikan
pada temperatur kamar selama 7 hari. Pada hari-hari ke-0, ke-4, ke-6, dan ke-7,
bahan-bahan tersebut diukur pHnya dengan kertas indikator universal dan diukur
jumlah asam totalnya secara titrasi. Mula-mula sebanyak 5 ml bahan diambil secara
aseptik lalu dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer. Kemudian diencerkan dengan
10 ml akuades netral, tambahkan 2-3 tetes larutan indikator phenolphetalein 1 %.
Titrasi dengan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah jambu. Dicatat volume NaOH
dan dihitung jumlah asam yang ada, semua dinyatakan persen sebagai kadar asam
cuka:

Kadar asam cuka = mL NaOH x normalitas NaOH x 6%


mL bahan (Soetarto dkk, 2013)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
5 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

Pada percobaan ini diperoleh hasil sebagai berikut :


- Fermentasi tempe

Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik Tempe Hasil Fermentasi

Kenampakan
Bahan Warna Bau Rasa
Produk

Tempe Plastik Putih Halus Menyengat Gurih

Putih Lebih
Tempe Daun Lebih Halus Lebih Gurih
Keruh Menyengat

Tabel 2. Hasil Pengamatan Mikroskopi Fermentasi Tempe


No Gambar Keterangan/Spesifikasi Genus
1 Jamur Tempe:
Rhizopus orizae

Warna Kolonisasi:
Putih pucat, ada
bagian yang kehitaman

Bentuk miselia/hifa: Rhizopus


hifa bersporangium

Keterangan:
Hifa lebih banyak
sehingga tempe kurang
kompak
Preparat : Tempe daun pisang
Perbesaran : 10x10
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
6 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

2 Jamur Tempe: Rhizopus


Rhizopus oryzae

Warna Kolonisasi:
Putih bersih

Bentuk miselia/hifa:
tanpa sporangium
hanya ada miselium

Keterangan:
Hifa lebih sedikit
sehingga tempe lebih
Preparat : Tempe plastik kompak
Perbesaran : 10x10

- Fermentasi cuka
Tabel 3. Hasil pengamatan fermentasi asam cuka
Jumlah NaOH 0,1 N pH Kadar Asam Cuka
Bahan
0 2 7 0 2 7 0 2 7
Air kelapa
5 6,5 15,6 4 4 4 0,6 0,78 1,872
aerasi
Air kelapa
3,7 6,5 13,3 5 4 4 0,44 0,78 1,596
non aerasi
Bayerink
5 4,9 3,5 7 7 6 0,6 0,588 0,42
aerasi
Bayerink
5,78 4,9 3,4 7 7 6 0,694 0,588 0,408
non-aerasi

B. Pembahasan
- Fermentasi tempe
Tahapan fermentasi tempe dimulai dengan proses pencucian bahan dasar,
yakni kedelai. Jamur akan mudah tumbuh pada permukaan kedelai yang bersih,
empuk, dan berair sehingga pencucian dan pengkulitan biji kedelai dimaksudkan agar
jamur mudah tumbuh. Proses pengkulitan dapat dilakukan setelah pemasakan. Setelah
itu, dilakukan prafermentasi yaitu biji derendam semalam pada suhu kamar 25 0 C.
Dalam hal ini biji akan mengalami hidrasi dan terjadi penyerapan air. Proses
perendaman ini untuk menurunkan pH biji menjadi 4,5 – 5,3 sehingga menghambat
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
7 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

tumbuhnya bakteri kontaminan yang bersifat membusukkan dan memberi kesempatan


tumbuhnya bakteri asam laktat. Proses hidrasi juga memacu pertumbuhan jamur.
Setelah prafermentasi, dilakukan proses perebusan untuk membunuh bakteri
kontaminan dan membantu membebaskan senyawa dalam biji untuk pertumbuhan
jamur. Kemudian dilakukan pendinginan yang bertujuan untuk mengurangi kadar air
yang berlebih sehingga pertumbuhan jamur tidak terhambat dan mencegah
pertumbuhan bakteri kontaminan penyebab pembusukan. Setelah pendinginan
dilakukan inokulasi. Inokulasi dapat dilakukan dengan usar atau biakan murni
Rhizopus sp. Usar dibuat dari daun waru atau jati yang merupakan pembawa spora
jamur. Pembungkusan dapat dilakukan dengan plastik, daun waru, daun jati, dan daun
pisang. Setelah pembungkusan, biji kedelai diinkubasi pada suhu 32 0 C atau 25 – 370 C
selama 3-4 hari sehingga terjadi perubahan komponen dalam biji kedelai (Frazier and
Westhoff, 1984). Fermentasi meningkatkan kualitas nutrisi dari kedelai. Selain
menghancurkan penghambat tripsin dan lektin asam sitrat yang mengganggu nutrisi
mineral juga direduksi hingga sepertiganya. Dalam proses pembuatan tempe ada 3 hal
yang harus diperhatikan dalam rangka pertumbuhan jamur Rhizopus sp yaitu aerasi,
kelembaban dan suhu lingkungan.
Dari hasil pengamatan, tempe plastik tampak lebih padat, keras, dan miselium
lebih banyak jika dibandingkan tempe yang dibungkus daun. Hal ini disebabkan
karena jamur Rhizopus sp lebih banyak tumbuh. Dalam pengujian organoleptik
terdapat aroma khas seperti asam. Hal ini dikarenakan pada proses fermentasi tempe,
Rhizopus oryzae membentuk senyawa-senyawa asam fumarat, asam laktat dan asam
suksinat yang bereaksi dengan senyawa lain hasil penguraian substrat dan
menghasilkan senyawa yang memberikan aroma atau bau yang khas. Hal ini didukung
oleh Rhizopus oryzae yang mampu hidup pada kondisi pH asam yaitu sekitar 5,5.
Nilai gizi tempe bungkus plastik lebih tinggi daripada tempe daun karena Rhizopus sp
yang tumbuh lebih banyak sehingga protein (asam amino) yang didegradasi oleh
jamur juga lebih banyak. Selain itu lemak yang diubah menjadi asam lemak juga lebih
banyak. Akan tetapi, tempe yang dibungkus daun memiliki rasa yang enak dan gurih
karena daun dapat memperkuat aroma pada tempe. Tempe mengandung antioksidan
yang mencegah tempe menjadi cepat tengik, namun hanya bertahan selama dua hari
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
8 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

sampai terjadinya sporulasi yang akan menyebabkan tempe berbau amonia. Karena
baunya yang tidak sedap bisa dikatakan tempe busuk. Selain karena sporulasi, tempe
dapat busuk karena aktivitas bakteri.
Pada praktikum ini, dilakukan pengamatan jamur pada fermentasi tempe yaitu
Rhizopus oryzae. Rhizopus oryzae merupakan jamur benang. Menurut Pelezar and
Chan (1986), jamur benang tersusun oleh spora dan miselium. Struktur warna putih
dan halus tumbuh di sela-sela biji kedelai pada tempe tersebut adalah kumpulan hifa
(miselium) dan bersifat aseptae (tidak bersekat). Kapang ini berkembang biak secara
spora aseksual atau sporangiospora. Terkadang miselium tampak kehitaman karena
jamur telah dewasa dan berspora. Rhizopus oryzae merupakan jamur yang memiliki
sporangiophore (tangkai sporangium), kolumela (pendukung sporangium),
sporangium sebagai tempat disimpannya spora, dan stolon (Salle, 1961). Kolumela
Rhizopus oryzae berbentuk hemisperic. Pada pengamatan, kolumela Rhizopus oryzae
berbentuk cawan dan tenggelam sehingga ketika diamati dengan mikroskop
kolumelanya tidak kelihatan.

- Fermentasi cuka

Asam asetat yang umum dikenal juga sebagai asam cuka merupakan suatu
senyawa yang dibuat dari berbagai bahan yang mengandung gula atau pati melalui
fermentasi alkohol kemudian dilanjutkan dengan fermentasi asetat (Desrosier, 1980).
Pada praktikum ini dilakukan fermentasi asam cuka dengan bahan dasar air
kelapa. Asam cuka dibuat dari air kelapa sebagai media karena mengandung glukosa
cukup tinggi yang dapat memicu terjadinya fermentasi. Kemudian diinkubasikan
selama 7 hari. Pada hari ke 0, 2, dan 7 dilakukan pengukuran pH. Tabung reaksi ada
yang dilubangi (memberikan aerasi) dan tidak dilubangi (non aerasi). Selain itu juga
digunakan larutan Bayerinck yang diperlakukan sama seperti air kelapa (aerasi dan
non aerasi). Larutan ini berfungsi sebagai kontrol untuk membandingkan fermentasi
cuka air kelapa. Larutan Bayerinck merupakan larutan yang merupakan pencampuran
antara 100 ml air ledeng, alkohol 96 %, (NH 4)2PO4 0,05 gram dan KCl 0,01 gram.
Secara umum, pH air kelapa lebih rendah (asam) jika dibandingkan kadar pH
bayerink. Hal ini dikarenakan pada bayerink tidak terjadi aktivitas mikrobia
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
9 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

(fermentasi). pH air kelapa aerasi pada hari ke 0 adalah 4, sedangkan pada non aerasi
5. Hal ini dikarenakan proses fermentasi cuka ini berlangsung dengan cepat dengan
adanya oksigen. Adanya oksigen akan mengoksidasi etanol menjadi asam asetat.
Menurut Weiser (1971), pembuatan cuka tidak bisa dilakukan oleh satu jenis
organisme. Ada khamir dan bakteri yang mempunyai hubungan komensalisme.
Acetobacter xyllinum mengandalkan khamir untuk memproduksi zat yang dapat
dioksidasi. Khamir yang biasa dipakai adalah Saccharomyces cerevisae yang mampu
mengubah glukosa menjadi etil alkohol dan CO 2. Baru kemudian Acetobacter
xyllinum mengoksidasi alkohol menjadi cuka.

Glukosa 2 Piruvat
Ethanol 2 asetaldehid
Gambar 1. Perubahan glukosa menjadi alkohol melalui fermentasi ( Schlegel, 1994).

C2H5OH + ½ O2  CH3CHO + H2O


(Ethanol) (Asetaldehid)

CH3CHO + ½ O2 CH3COOH


(Asetaldehid) (Asam asetat)
Gambar 2. Perubahan ethanol menjadi asam cuka (Schlegel, 1994).
Acetobacter mampu mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat (asam cuka).
Bakteri ini bersifat aerob dan termasuk bakteri gram negatif. Proses perubahan alkohol
menjadi asam asetat disebut sebagai proses asetifikasi.
Pada uji organoleptik air kelapa aerasi memilki bau alkohol yang lebih
menyengat dengan warna lebih putih keruh jika dibandingkan dengan non aerasi. Hali
ini dikarenakan alkohol pada air kelapa dioksidasi oleh Acetobacter menjadi
acetaldehid kemudian acetaldehid dioksidasi menjadi asam asetat atau asam cuka.
Asam cuka yang dihasilkan menyebabkan pH air kelapa turun menjadi lebih asam.
Fermentasi alkohol menjadi asam cuka ini terjadi secara aerob karena terjadi oksidasi
alkohol yang membutuhkan oksigen (Talaro and Talaro, 2002).
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
10 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

Pengukuran kadar asam cuka dilakukan dengan metode titrasi. Titran yang
digunakan adalah NaOH 0,1N yang akan menetralkan asam asetat sehingga
diasumsikan jumlah titran yang digunakan adalah sama dengan jumlah ion H +.
Dengan mengetahui kadar ion H+ maka dapat diketahui kadar asam cuka. Pada titrasi
ini digunakan indikator phenolptalein 1% yang memiliki range antara 8-10 dan pada
saat larutan yang asam akan bening sedangkan pada larutan yang basa akan berwarna
merah muda (Pelczar and Chan, 1986). Berdasarkan hasil perhitungan kadar asam
cuka, secara keseluruhan rata-rata kadar alkohol pada air kelapa lebih tinggi daripada
larutaan bayerink. Pada medium yang diaerasi mempunyai kadar yang lebih tinggi
daripada non aerasi. Ini berlaku untuk air kelapa dan Bayerinck. Sebagai contoh, pada
air kelapa hari ke 7 kadar cuka pada medium aerasi adalah 1,87 sedangkan pada non
aerasi hanya 1,59. Hal ini sesuai menurut teori, bahwa Acetobacter xyllinum bersifat
aerobik obligat yang seharusnya dalam inkubasi yang diberi aerasi dapat terjadi
fermentasi dengan lebih baik. Sehingga kadar asam cuka pada medium yang di beri
aerasi lebih tinggi daripada non aerasi (Holf et al., 1994).

IV. KESIMPULAN
Jenis kamur benang yang umum digunakan dalam pembuatan tempe adalah
Rhizopus oryzae yang bersifat anaerob. Jika dilihat warna, kenampakan, bau dan rasa
tempe daun memiliki banyak keunggulan daripada tempe plastik, tetapi secara
kekompakan dan kepadatan tempe plastik lebih baik. Asam cuka dibuat dengan
fermentasi bahan dasar (air kelapa) yang diawali oleh Saccharomyces sp. dan
kemudian hasilnya dioksidasi oleh Acetobacter xyllinum yang bersifat aerob obligat
sehingga secara keseluruhan asam cuka lebih banyak terbentuk pada medium dengan
aerasi.

V. DAFTAR PUSTAKA
Black, J. G. 1999. Microbiology Principles and Exploration. Hall International Inc.
New Jersey. pp. 116-118.
Desroisier, N. W. 1980. Teknologi Pengawetan Makanan. UI-Press. Jakarta. Hal. 121.
No. Dokumen FO-UGM-BI-07-09
BORANG Berlaku sejak 03 Maret 2008
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI Revisi 00
11 dari 13
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI Halaman

Frazier, W. C and Westhoff, D. C. 1984. Food Microbiology. 4th edition. McGraw


Hill, inc. New Delhi. p. 389
Holf, J. G., N. R. Krieg, P. H. A. Sneath, J. T. Staley and S. T. Williams. 1994.
Bergey`s Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. Lippincott Williams
and Wilkons. Philadelphia. p. 71.
Pelczar, M. J. and R. D. Chan. 1986. Microbiology.McGraw-Hill Book Company Inc.
New-York. pp. 82-83.
Prescott, S. C. and C. G. Dunn. 1959. Industrial Microbiology third edition.
McGraw-Hill Book Company, Inc. Tokyo. p. 432.
Rahayu, K. K dan Sudarmadji, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat antar Universitas
Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. pp. 217-282.
Salle, A. J. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. McGraw-Hill Book
Company, Inc. New York. pp. 384-385.
Schlegel, H. G. 1994. Mikrobiologi Umum. Edisi keenam. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. Hal. 307.
Soetarto, E.S, T.T. Suharni, S.Y. Nastiti, L.Sembiring. 2013. Petunjuk Praktikum
Mikrobiologi. Laboratorium. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal 67.
Talaro, K. P and A. Talaro. 2002. Foundation of Microbiology. McGraw Hill Book
Company, Inc. New York. p. 237.
Weiser, H. H., G. J. Mountney, and W. A. Gould. 1971. Practical Food Microbiology
and Technology. 2nd ed. The AVI Publ Company. Connecticut. pp. 148-149.

Anda mungkin juga menyukai