Oleh:
DIAN WIDIANINGRUM
JNR0200011
i
A. Konsep Dasar Persalinan
1. Pengertian Persalinan
Kadar hormon progesteron akan mulai menurun pada kira – kira 1-2
minggu sebelum persalinan dimulai.
1
Terjadinya kontraksi otot polos uterus pada persalinan akan
menyebabkan rasa nyeri yang hebat yang belum diketahui secara pasti
penyebabnya, tetapi terdapat beberapa kemungkinan, yaitu:
d. Teori Prostagladin
2
e. Teori hipotalamus – pituitari – glandula suprarenalis
3
3. Manifestasi Klinis Mulainya Persalinan
a. His / kontraksi
His atau kontraksi uterus yang terjadi secara teratur dan menimbulkan
ketidaknyamanan serta kadang-kadang nyeri merupakan tanda persalinan
yang sebenarnya kalau his tersebut berlanjut terus dan semakin meningkat
frekuensinya.
b. Bloody show
Bloody show diartikan sebagai terlihatnya mukus atau lendir yang
mengandung bercak darah dan keluar dari vagina. Lendir tersebut berasal
dari serviks dan selama kehamilan berfungsi sebagai sumbatan pelindung.
Kemunculannya menunjukkan bahwa serviks sudah mulai berdilatasi.
c. Dilatasi serviks
Dilatasi yang terjadi secara bertahap merupakan indikator yang
menunjukkan kemajuan persalinan tersebut disertai dengan kontraksi uterus.
Dilatasi serviks diketahui atau dipastikan dengan pemeriksaan pervaginam.
d. Engagement presenting part
Presenting part (yang biasanya kepala janin) akan mengalami
“engagement” atau “tertanam” kedalam panggul. Pada primigravida,
peristiwa ini terjadi 3–4 minggu sebelum proses persalinan dimulai. Dinding
abdomen pada multipara tidak begitu kencang sehingga engagement baru
terjadi setelah proses persalinan dimulai (Kuswanti, 2014).
4. Tahapan Persalinan
4
c) Pada umumnya, fase laten berlangsung hampit atau hingga 8 jam.
5
pada multipara berlangsung 0,5 jam – 1 jam.
c. Kala III (Kala Pengeluaran Plasenta)
Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir
dengan lahirmya plasenta dan selaput ketuban, yang berlangsung tidak lebih
dari 30 menit. Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit setelah bayi
lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan fundus uteri. Dan pada
pengeluran plasenta biasanya disertai dengan pengeluara darah kira – kira
100 – 200 cc.
d. Kala IV (Kala Pengawasan)
Kala IV dimulai setelah lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama Post
Partum. Tahap ini digunakan untuk melakukan pengawasan terhadap
bahaya perdarahan. Dalam tahap ini ibu masih mengeluarkan darah dari
vagina, tapi tidak banyak, yang berasal dari pembuluh darah yang ada di
dinding rahim tempat terlepasnya plasenta, dan setelah beberapa hari akan
mengeluarkan cairan sedikit darah yang disebut lokia yang berasal dari sisa
– sisa jaringan
2. Jenis – jenis persalinan
6
tetapi pada multigravida biasanya baru terjadi pada permulaan persalinan.
c. Masuknya kepala ke dalam pintu atas panggul biasanya dengan sutura sagitalis,
melintang dan dengan fleksi yang ringan.
d. Masuknya sutura sagitalis terdapat ditengah – tengah jalan lahir, ialah tepat di
antara simpisis dan promontorium, maka kepala dikatakan dalam synclitismus
os parietal depan dan belakang sama tingginya.
e. Jika sutura sagitalis agak ke depan mendekati simpisis atau agak ke belakang
mendekati promontorium maka posisi ini disebut asynclitismus. Pada pintu
atas panggul biasanya kepala dalam asynclitismus posterior yang ringan,
asynclitismus posterior ialah jika sutura sagitalis mendekati simpisis dan os
parietal belakang lebih rendah dari os parietal depan.
f. Asynclitismus anterior ialah jika sutura sagitalis mendekati promontorium
sehingga os parietal depan lebih rendah dari os parietal belakang.
g. Majunya kepala pada primigravida terjadi setelah kepala masuk ke dalam
rongga panggul dan biasanya baru dimulai pada kala 2. Pada multigravida
sebaiknya maju kepala dan masuknya kepala ke dalam rongga panggul terjadi
bersamaan. Yang menyebabkan majunya kepala: tekanan cairan intrauteri,
tekanan langsung oleh fundus pada bokong, kekuatan meneran, melurusnya
badan janin oleh peubahan bentuk rahim.
h. Penurunan terjadi selama persalinan oleh karena daya dorong dari kontraksi
dan posisi, serta peneranan selama kala 2 oleh ibu.
i. Fiksasi (engagement) merupakan tahap penurunan pada waktu dimeter
biparetal dari kepala janin telah masuk panggul ibu.
j. Desensus merupakan syarat utama kelahiran kepala. Terjadi karena adanya
tekanan cairan amnion, tekanan langsung pada bokong saat kontraksi, usaha
meneran, ekstemsi dan pelurusan badan janin.
k. Fleksi, sangat penting bagi penurunan kepala selama kala 2 agar bagian terkecil
janin masuk panggul dan terus turun. Dengan majunya kepala, fleksi
bertambah hingga ubun – ubun besar. Keutungan melalui jalan lahir yaitu
diameter suboccipito bregmatika (9,5 cm). Fleksi tahanan dari pinggir pintu
atas panggul, serviks, dinding panggul ini terjadilah fleksi, karena moment
yang menimbulkan fleksi lebih besar dari moment yang menimbulkan defleksi
7
l. Putaran paksi dalam/rotasi internal, pemutaran dari bagian depan memutar ke
depan ke bawah sympisis. Pada presentasi belakang kepala bagian terendah
ialah daerah ubun – ubun kecil dan kepala bagian inilah yang akan memutar ke
bawah simpisis. Putaran paksi dalam mutlak perlu untuk kelahiran kepala
karena kepala dengan bentuk jalan lahir ksususnya bentuk bidang tengah dan
pintu bawah panggul. Putaran paksi dalam tidak terjadi tersendiri, tetapi selalu
kepala sampai ke hodge III, kadang – kadang baru setelah kepala sampai di
dasar panggul. Sebab – sebab putaran paksi dalam: pada letak fleksi, bagian
belakang kepala merupakan bagian terendah kepala. Pada bagian terendah dari
kepala ini mencari tahapan yang paling sedikit yaitu pada sebelah depan atas
dimana terdapat hiatus genetalis antara M. Levator ani kiri dan kanan. Pada
ukuran terbesar dari bidang tengah panggul ialah diameter anteroposterior.
m. Rotasi internal dari kepala janin akan membuat diameter anteriorposterior
(yang lebih panjang) dari kepala akan menyesuaikan diri dengan diameter
anteriorposterior dari panggul.
n. Ekstensi, setelah putaran paksi selesai dan kepala sampai didasar panggul,
terjadilah ekstensi atau defleksi dari kepala. Hal ini terjadi pada saat lahir
kepala, terjadi karena gaya tahanan dari dasar panggul dimana gaya tersebut
membentuk lengkungan Carrus, yang mengarahkan kepala ke atas menuju
lubang vulva sehingga kepala harus mengadakan ekstensi untuk melaluinya.
Bagian leher belakang di bawah occiputnya akan bergeser di bawah simpisis
pubis dan bekerja sebagai titik poros. Uterus yang berkontraksi kemudian
memberi tekanan tambahan atas kepala yang menyebabkan ekstensi kepala
lebih lanjut saat lubang vulva-vagina membuka lebar. Pada kepala bekerja dua
kekuatan, yang satu mendesaknya ke bawah dan satunya karena disebabkan
tahanan dasar panggul yang menolaknya ke atas. Resultantenya ialah kekuatan
ke arah depan atas.
o. Setelah subocciput tertahan pada pinggir bawah sympisis maka yang dapat
maju karena kekuatan tersebut di atas adalah bagian pada pinggir atas perineum
atas ubun – ubun besar, dahi hidung dan mulut dan akhirnya dagu dengan
gerakan ekstensi. Subocciput yang menjadi pusat pemutaran disebut
hypomoclion.
8
p. Rotasi eksternal/putaran paksi luar, terjadi bersamaan dengan perputaran
interior bahu. Setelah kepala lahir, maka kepala anak memutar kembali ke arah
punggung anak untuk menghilangkan torsi pada leher yang terjadi karena
putaran paksi dalam. Gerakan ini disebut putaran restistisusi adalah perputaran
kepala sejauh 450 baik ke arah kiri atau kanan bergantung pada arah dimana ia
mengikuti perputaran menuju posisi oksiput anterior. Selanjutnya putaran
dilanjutkan hingga belakang kepala berhadapan dengan tuber ischidium.
Gerakan yan terakhir ini adalah gerakan paksi luar yang sebenarnya dan
disebabkan karena ukuran bahu, menempatkan diri dalam diameter
anteroposterior dari pintu bawah panggul.
q. Ekspulsi, setelah putaran paksi luar bahu depan sampai di bawah sympisis dan
menjadi hypomoclion untuk kelahiran bahu belakang. Kemudian bahu depan
menyusul dan selanjutnya seluruh badan anak lahir searah dengan paksi jalan
lahir mengikuti lengkung carrus (kurva jalan lahir).
5. Adaptasi Psikologi Ibu Post Partum
9
B. Konsep Dasar Episiotomi
1. Pengertian Episiotomi
Episiotomi adalah insisi yang dibuat pada vagina dan perineum untuk
memperlebar bagian lunak jalan lahir sekaligus memperpendek jalan lahir.
Robekan perineum atau ruptur terjadi pada hampir setiap persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Pada seorang primipara atau orang
yang baru pertama kali melahirkan terjadi ketika kepala janin keluar. Luka-luka
biasanya ringan tetapi juga terjadi luka yang luas dan berbahaya. Dari jahitan
perineum tadi pasti menimbulkan rasa nyeri. Nyeri dapat terjadi pada hari
pertama sampai hari ke empat post episiotomi karena proses inflamasi dan terjadi
pelepasan zat-zat kimia seperti prostaglandin yang dapat meningkatkan
transmisi nyeri (Rukiyah dkk, 2010).
Post partum dengan episiotomi adalah suatu masa yang dimulai setelah
partus selesai dan berakhir kira-kira 6 minggu dimana pada waktu persalinan
dilakukan tindakan insisi pada perineum yang bertujuan untuk melebarkan jalan
lahir dan memudahkan kelahiran. Nyeri perineum (perineal pain) didefinisikan
sebagai nyeri yang terjadi pada badan perineum (perineal body), daerah otot dan
jaringan fibrosa yang menyebar dari simpisis pubis sampai ke coccyges oleh
karena adanya robekan yang terjadi baik di sengaja maupun yang ruptur spontan.
Kondisi nyeri ini dirasakan ibu berbeda dengan nyeri lainnya. Nyeri perineum
cenderung lebih jelas dirasakan oleh ibu dan bukan seperti rasa nyeri dialami
saat berhubungan (intercourse). Nyeri perineum akan dirasakan setelah
persalinan sampai beberapa hari pascasalin. Nyeri ini berbeda dengan
dispareunia yaitu nyeri atau rasa tidak nyaman yang terjadi selama hubungan
10
seksual (sexual intercourse), termasuk nyeri saat penetrasi. Dispareunia dapat
dikategorikan menjadi dyspareuniasuperfisial dan dalam.
2. Etiologi
Faktor dilakukan episiotomi menurut Depkes RI adalah :
3. Patofisiologi
Ibu dengan persalinan episiotomi disebabkan adanya persalinan yang
lama : gawat janin (janin prematur, letak sungsang, janin besar), tindakan
operatif dan gawat ibu (perineum kaku, riwayat robekan perineum lalu, arkus
pubis sempit). Persalinan dengan episiotomi mengakibatkan terputusnya
jaringan yang dapat menyebabkan menekan pembuluh syaraf sehingga timbul
rasa nyeri dimana ibu akan merasa cemas sehingga takut BAB dan ini
menyebabkan resti konstipasi.
11
Terputusnya jaringan juga merusak pembuluh darah dan menyebabkan
resiko defisit volume cairan. Terputusnya jaringan menyebabkan resti infeksi
apabila tidak dirawat dengan baik kuman mudah berkembang karena semakin
besar mikroorganisme masuk ke dalam tubuh semakin besar resiko terjadi
infeksi.
12
Pathway
4. Manifestasi Klinis
a. Laserasi Perineum
Biasanya terjadi sewaktu kepala janin dilahirkan, luas robekan
didefinisikan berdasarkan kedalaman robekan :
1) Derajat pertama (robekan mencapai kulit dan jaringan)
2) Derajat kedua (robekan mencapai otot-otot perineum)
3) Derajat tiga (robekan berlanjut ke otot sfinger ari)
4) Derajat empat (robekan mencapai dinding rektum anterior)
13
b. Laserasi Vagina
Sering menyertai robekan perineum, robekan vagina cenderung
mencapai dinding lateral (sulci) dan jika cukup dalam, dapat mencapai
levator ani.
c. Cedera Serviks
Terjadi jika serviks beretraksi melalui kepala janin yang keluar.
Laserasi serviks akibat persalinan Laserasi serviks akibat persalinan terjadi
pada sudut lateral ostium eksterna, kebanyakan dangkal dan pendarahan
minimal (Bobak,2004: 344-345).
5. Penatalaksanaan
a. Perbaikan Episiotomi
1) Jika terdapat hematoma, darah dikeluarkan, jika tidak ada tanda infeksi
dan pendarahan sudah berhenti, lakukan penjahitan.
2) Jika infeksi, buka dan drain luka
3) Jika infeksi mencapai otot dan terdapat nekrosis, lakukan debridemen
dan berikan antibiotika secara kombinasi sampai pasien bebas demam
dalam 48 jam (Prawirohardjo, 2002).
b. Perawatan luka episiotomi di rumah sakit
Perawatan luka episiotomi pada jam- jam pertama setelah bersalin,
biasanya dilakukan setelah mengkaji stabilitas fisik ibu, dan untuk 2 jam
berikutnya perawatan luka episiotomi dilakukan setelah buang air kecil,
buang air besar, ataupun pada saat personal higiene.
Menurut Morison (2004), prinsip-prinsip pencegahan infeksi luka
didasarkan pada pemutusan rantai kejadian yang menyebabkan organisme
makin berkembang dan menginfeksi luka. Hal yang penting dilakukan untuk
pencegahan infeksi luka tersebut ialah mengisolasi sumber infeksi potensial
dengan barier perawatan, membersihkan dan melakukan desinfeksi secara
efektif terhadap lingkungan fisik, perawat dan bidan melakukan cuci tangan
yang benar, teknik pembalutan yang aseptik serta melindungi pasien yang
rentan. Dalam Perawatan Luka epsiotomi dilakukan sesuai dengan standar
operasional yang ada.
14
Menurut Sulistiawaty (2009), perawatan luka episiotomi dilakukan
bersamaan dengan vulva hygiene sehingga perlu menyediakan botol berisi
air hangat untuk membersihkan bagian vulva yang kotor karena lochea,
bekas BAK, dan BAB.
6. Komplikasi
a. Pendarahan
Karena proses episiotomy dapat mengakibatkan terputusnya jaringan
sehingga merusak pembuluh darah terjadilah pendarahan.
b. Infeksi
Infeksi terkait dengan jalannya tindakan episiotomy berhubungan dengan
ketidaksterilan alat-alat yang digunakan.
c. Hipertensi
Penyakit hipertensi berperan besar dalam morbiditas dan mortalitas
maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar
7% sampai 10% seluruh kehamilan.
d. Gangguan Psikososial
Kondisi psikososial mempengaruhi integritas keluarga dan menghambat
ikatan emosional bayi dan ibu. Beberapa kondisi dapat mengancam
keamanan dan kesejahteraan ibu dan bayi.
15
ingin buang air kecil, bila buang air kecil hanya sedikit-sedikit. (Rohani,
2011).
c. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan yang lalu dikaji untuk mengetahui apakah ibu
mempunyai riwayat penyakit seperti diabetes mellitus, dll. Riwayat
penyakit keluarga dikaji untuk mengetahui adakah riwayat penyakit
menurun atau menular, adakah riwayat keturunan kembar atau tidak
(Wiknjosastro, 2009).
d. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Dalam pengkajian ditemukan ibu hamil dengan usia kehamilan antara
38-42 minggu disertai tanda-tanda menjelang persalinan yaitu nyeri
pada daerah pinggang menjalar ke perut, his makin sering, teratur, kuat,
adanya show (pengeluaran darah campur lendir), kadang ketuban pecah
dengan sendirinya. (Mitayani, 2009).
2) Riwayat penyakit sistemik
Untuk mengetahui apakah adanya penyakit jantung, hipertensi, diabetes
mellitus, TBC, hepatitis, penyakit kelamin, pembedahan yang pernah
dialami, dapat memperberat persalinan.
3) Riwayat penyakit keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit
menular seperti TBC dan hepatitis, menurun seperti jantung dan DM.
4) Riwayat Obstetri
Riwayat haid. Ditemukan amenorrhea (aterm 38-42 minggu), prematur
kurang dari 37 minggu.
5) Riwayat keturunan kembar
Untuk mengetahui ada tidaknya keturunan kembar dalam keluarga.
6) Riwayat operasi
Untuk mengetahui riwayat operasi yang pernah dijalani.
7) Riwayat perkawinan
Untuk mengetahui status perkawinan klien dan lamanya perkawinan.
8) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
16
(a) Kehamilan : Untuk mengetahui berapa umur kehamilan ibu dan hasil
pemeriksaan kehamilan (Wiknjosastro, 2009)
(b) Persalinan : Spontan atau buatan, lahir aterm atau prematur, ada
perdarahan atau tidak, waktu persalinan ditolong oleh siapa, dimana
tempat melahirkan. (Wiknjosastro, 2009)
(c) Nifas : Untuk mengetahui hasil akhir persalinan (abortus, lahir
hidup, apakah dalam kesehatan yang baik) apakah terdapat
komplikasi atau intervensi pada masa nifas, dan apakah ibu tersebut
mengetahui penyebabnya.
9) Riwayat kehamilan sekarang
Riwayat kehamilan sekarang perlu dikaji untuk mengetahui apakah ibu
resti atau tidak, meliputi :
(a) Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)
Digunakan untuk mengetahui umur kehamilan (Wiknjosastro, 2009)
(b) Hari Perkiraan Lahir (HPL)
Untuk mengetahui perkiraan lahir (Wiknjosastro, 2009)
(c) Keluhan-keluhan
Untuk mengetahui apakah ada keluhan-keluhan pada trimester I,II
dan II (Wiknjosastro, 2009)
(d) Ante Natal Care (ANC)
Mengetahui riwayat ANC, teratur / tidak, tempat ANC, dan saat
kehamilan berapa
10) Riwayat keluarga berencana
Untuk mengetahui apakah sebelum kehamilan ini pernah menggunakan
alat kontrasepsi atau tidak, berapa lama penggunaan nya (Nursalam,
2013).
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum
Untuk mengetahui keadaan umum baik, sedang, jelek (Prawirohardjo,
2010). Pada kasus persalinan normal keadaan umum pasien baik (Nugroho,
2010).
17
b. Kesadaran
Untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien composmentis, apatis,
somnolen, delirium, semi koma dan koma. Pada kasus ibu bersalin dengan
persalinan normal kesadarannya composmentis (Rohani, 2011).
c. Tanda vital
1) Tekanan darah : Untuk mengetahui faktor resiko hipertensi dan
hipotensi. Batas normalnya 120/80 mmHg (Saifuddin, 2010)
2) Nadi : Untuk mengetahui nadi pasien yang dihitung dalam menit
(Saifuddin, 2010). Batas normalnya 69-100x/ menit (Taufan, 2014)
3) Respirasi : Untuk mengetahui frekuensi pernafasan pasien yang
dihitung dalam 1 menit (Saifuddin, 2010). Batas normalnya 1222x/
menit (Taufan, 2014)
4) Suhu : Untuk mengetahui suhu tubuh klien, memungkinkan febris/
infeksi dengan menggunakan skala derajat celcius. Suhu wanita saat
bersalin tidak lebih dari 38°C (Wiknjosastro, 2009). Suhu tubuh pada
ibu bersalin dengan persalinan normal 38°C (Taufan, 2014)
d. Head to toe
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat
adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan.
2) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tiroid, karena
adanya proses menerang yang salah.
3) Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva, dan
kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses
persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kuning.
4) Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya,
adakah cairan yang keluar dari telinga.
18
5) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada pos partum kadang-kadang
kadang ditemukan pernapasan cuping hidung.
6) Dada
Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi areola
mamae dan papila mamae.
7) Abdomen
Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa
nyeri.
8) Fundus uteri
3 jari dibawa pusat.
9) Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam
kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.
a) Lochea
Lochea rubra berlanjut sampai hari ke-23, menjadi lochea serosa
dengan aliran sedang. Bila darah mengalir dengan cepat, dicurigai
terjadinya robekan servik.
b) Perineum
Episiotomi dan perineum harus bersih, tidak berwarna, dan tidak
edema dan jahitan harus utuh.
Tabel Tanda REEDA Normal dan Tidak Normal
Tanda REEDA Normal Tidak Normal
19
10) Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena ruptur.
11) Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk melihat kelainan-kelainan karena
membesarnya uterus, karena preeklamsia atau karena penyakit jantung
atau ginjal.
12) Muskuluskeletal
Pada klien post partum biasanya terjadi keterbatasan gerak karena
adanya luka episiotomi.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, konsentrasi, bau dan
PHnya.
1) Tes lakmus (tes nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi
biru ,menunjukkan adanya air ketuban (alkalis).
2) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering, pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis.
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam
kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit
(Manuaba, 2009)
4. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a) Kekurangan Volume cairan berhubungan dengan perdarahan pada luka
jalan lahir yang berlebihan
b) Nyeri akut berhubungan dengan luka episiotomy
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan pasca persalinan
d) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan menganai keadaannya
dan bayinya
e) Resiko Infeksi berhubungan dengan luka episiotomy
20
5. Rencana Asuhan Keperawatan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu
2. D.0077 L.08066 Manajemen Nyeri (I. 08238)
Setelah dilakukan
Nyeri Akut intervensi keperawatan. Observasi
Maka Tingkat nyeri
1. Lokasi, karakteristik,
menurun, dengan kriteria
hasil : durasi, frekuensi, kualitas,
Definisi: intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
Pengalaman sensorik atau menurun
3. Identifikasi respon nyeri
emosional yang berkaitan 2. Gelisah menurun
non verbal
dengan kerusakan jaringan 3. Kesulitan tidur
4. Identifikasi faktor yang
aktual atau fungsional, menurun
memperberat dan
dengan onset mendadak memperingan nyeri
atau lambat dan 5. Identifikasi pengetahuan
berintensitas ringan hingga dan keyakinan tentang nyeri
21
berat yang berlangsung 6. Identifikasi pengaruh
kurang dari 3 bulan. budaya terhadap respon
nyeri
Penyebab: 7. Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
1. Agen pencedera 8. Monitor keberhasilan terapi
fisiologis (mis. komplementer yang sudah
Inflamasi, iskemia, diberikan
neoplasma) 9. Monitor efek samping
2. Agen pencedra kimiawi penggunaan analgetik
(mis. Terbakar, bahan
Terapeutik
kimia iritan)
3. Agen pencidra fisik 1. Berikan teknik
(mis. Abses, trauma, nonfarmakologis untuk
amputasi, terbakar, mengurangi rasa nyeri (mis.
terpotong, mengangkat TENS, hypnosis, akupresur,
berat,prosedur terapi musik, biofeedback,
operasi,trauma, latihan terapi pijat, aroma terapi,
fisik berlebihan teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Ambulasi
22
2. Konsevasi energi 1. Identifkasi gangguan fungsi
3. Tingkat keletihan tubuh yang mengakibatkan
Definisi: menurun kelelahan
2. Monitor kelelahan fisik dan
Ketidakcukupan energi emosional
untuk melakukan aktivitas 3. Monitor pola dan jam tidur
sehari-hari. 4. Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Penyebab
Terapeutik
1. Ketidak seimbangan
antara suplai dan 1. Sediakan lingkungan
kebutuhan oksigen nyaman dan rendah
2. Tirah baring stimulus (mis. cahaya,
3. Kelemahan suara, kunjungan)
4. Imobilitas 2. Lakukan rentang gerak pasif
5. Gaya hidup monoton dan/atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi
yang menyenangkan
4. Fasilitas duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi
Kolaborasi
Observasi
23
3. Identifikasi sumber daya
untuk aktivitas yang
diinginkan
4. Identifikasi strategi
meningkatkan partisipasi
dalam aktivitas
5. Identifikasi makna aktivitas
rutin (mis. bekerja) dan
waktu luang
6. Monitor respon emosional,
fisik, social, dan spiritual
terhadap aktivitas
Terapeutik
24
12. Fasilitasi aktivitas motorik
untuk merelaksasi otot
13. Fasilitasi aktivitas dengan
komponen memori implicit
dan emosional (mis. kegitan
keagamaan khusu) untuk
pasien dimensia, jika sesaui
14. Libatkan dalam permaianan
kelompok yang tidak
kompetitif, terstruktur, dan
aktif
15. Tingkatkan keterlibatan
dalam aktivotasrekreasi dan
diversifikasi untuk
menurunkan kecemasan (
mis. vocal group, bola voli,
tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana,
permaianan sederhana,
tugas rutin, tugas rumah
tangga, perawatan diri, dan
teka-teki dan kart)
16. Libatkan kelarga dalam
aktivitas, jika perlu
17. Fasilitasi mengembankan
motivasi dan penguatan diri
18. Fasilitasi pasien dan
keluarga memantau
kemajuannya sendiri untuk
mencapai tujuan
19. Jadwalkan aktivitas dalam
rutinitas sehari-hari
20. Berikan penguatan positfi
atas partisipasi dalam
aktivitas
Edukasi
25
atas partisipasi dalam
aktivitas
Kolaborasi
Edukasi
26
2. Informasikan secara factual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien, jika
perlu
4. Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai
kebutuhan
5. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
6. Latih kegiatan pengalihan,
untuk mengurangi
ketegangan
7. Latih penggunaan
mekanisme pertahanan diri
yang tepat
8. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
Terapi Relaksasi
Observasi
1. Identifikasi penurunan
tingkat energy,
ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau gejala
lain yang menganggu
kemampuan kognitif
2. Identifikasi teknik relaksasi
yang pernah efektif
digunakan
3. Monitor respons terhadap
terapi relaksasi
Terapeutik
27
3. Gunakan nada suara lembut
dengan irama lambat dan
berirama
4. Gunakan relaksasi sebagai
strategi penunjang dengan
analgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai
Edukasi
1. Anjurkan mengambil
psosisi nyaman
2. Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi relaksasi
3. Demonstrasikan dan latih
teknik relaksasi (mis. napas
dalam, pereganganm atau
imajinasi
5. D.0142 Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi (I.14539)
tindakan keperawatan,
Resiko Infeksi diharapkan : Observasi
28
6) Ketuban pecah Kolaborasi
sebelum waktunya
7) Merokok 1. Kolaborasi pemberian
8) Status cairan tubuh imunisasi, jika perlu
6. Ketidak adekuatan
pertahanan tubuh
sekunder
1) Penurunan
hemoglobin
2) Imununosupresi
3) Leukopenia
4) Supresi respon
inflamasi
5) Vaksinasi tidak
adekuat
29
Daftar Pustaka
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia
30