Anda di halaman 1dari 10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Belajar
Menilai pencapaian hasil belajar siswa merupakan tugas pokok
seseorang guru sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan perencanaan
pembelajaran yang telah disusun setiap awal semester. Penilaian ini
dimaksudkan untuk mengambil keputusan tentang keberhasilan siswa dalam
mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
Kompetensi yang harus dikuasai siswa untuk setiap mata pelajaran
tidak sama, tergantung pada karakteristik mata pelajaran tersebut. Tetapi
secara garis besar dapat dikatakan bahwa pencapaian kompetensi suatu mata
pelajaran mencakup kompetensi dalam ranah kognetif, afektif, dan
psikomotor.
Untuk mengetahui apakah seseorang siswa sudah berhasil mencapai
kompetensi atau belum, diperlukan informasi hasil belajar. Informasi hasil
belajar dapat diperoleh dari tagihan-tagihan yang harus dipenuhi oleh siswa.
Setiap jenis tagihan memerlukan seperangkat alat ukur atau penilaian.
Perwujudan hasil belajar akan selalu berkaitan dengan kegiatan evaluasi
pembelajaran sehingga diperlukan adanya teknik dan prosedur evaluasi
belajar yang dapat menilai secara efektif proses dan hasil belajar.
Untuk melihat hasil belajar yang berkaitan dengan kemampuan
berpikir kritis dan ilmiah pada siswa sekolah dasar, dapat dikaji proses
maupun hasil berdasarkan; 1) kemampuan membaca, mengamati dan atau
menyimak apa yang dijelaskan atau diinformasikan; 2) kemampuan
mengidentifikasi atau membuat sejumlah (sub-sub) pertanyaan berdasarkan
suubstansi yang dibaca, diamati dan atau didengar; 3) kemampuan
mengorganisasi hasil-hasil identifikasi dan mengkaji dari sudut persamaan
dan perbedaan; dan 4) kemampuan melakukan kajian secara menyeluruh.
Kemampuan tersebutsudah diterapkan di sekolah dasar khusuhnya pada
kelas tinggi.

B. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar


Pengetahuan alam sudah jelas artinya adalah pengetahuan tentang alam
semasta dengan segala isinya. Adapun pengetahuan itu sendiri artinya segala
sesuatu yang diketahui oleh manusia. Jadi secara singkat IPA adalah
pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala
isinya (Darmojo, 1992: 3).
Selain itu, Nash 1993 (Darmojo, 1992: 3) dalam bukunya The Natureof
Sciences, menyatakan bahwa IPA adalah suatu cara atau metode untuk
mengamati alam. Nash juga menjelaskan bahwa cara IPA mengamati dunia
ini bersifat analisis, cermat, serta menghubungkan antara satu
fenomenadengan fenomena lain, sehingga keseluruhannya membentuk suatu
perspektif yang baru tentang obyek yang diamatinya. Sistematis (teratur)
artinya pengetahuan itu tersusun dalam suatusistem, tidak berdiri sendiri,
satu dengan yang lainnya saling berkaitan, salingmenjelaskan sehingga
seluruhnya merupakan satu kesatuan yang utuh, sedangkan berlaku umum
artinya pengetahuan itu tidak hanya berlaku atau oleh seseorang atau
beberapa orang dengan cara eksperimentasi yang sama akan memperoleh
hasil yang sama atau konsisten.
Selanjutnya Winaputra (1992:123) mengemukakan bahwa tidak hanya
merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda atau mahluk hidup, tetapi
merupakan cara kerja, cara berpikir dan cara memecahkan masalah. Jadi,
kesimpulan dari uraian diatas sains adalah ilmu pengetahuan yang
mempunyai objek serta menggunakan metode ilmiah.
Setiap guru harus paham akan alasan mengapa IPA harus diajarkan di
Sekolah Dasar. Ada beberapa alasan yang menyebabkan satu mata pelajaran
itu dimasukkan ke dalam kurikulum suatu sekolah. Alasan itu dapat
digolongkan menjadi empat golongan yakni :
a. Bila diajarkan IPA menurut cara yang tepat, maka IPA merupakan
suatumata pelajaran yang memberikan kesempatan berfikir kritis,
misalnya IPA diajarkan dengan mengikuti metode “menemukan
sendiri”. IPA melatih anak berfikir kritis dan objektif. Pengetahuan
yang benar artinya pengetahuan yang dibenarkan menurut tolok ukur
kebenaran ilmu, yaitu rasional dan objektif. Rasional artinya masuk
akal atau logis, diterima oleh akal sehat. Obyektif artinya sesuai dengan
obyeknya, sesuai dengan kenyataan, atau sesuai dengan pengalaman
pengamatan melalui pancaindera.
b. Bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri
oleh anak, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat
hafalan belaka.
c. Mata pelajaran ini mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai
potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan.

C. Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang
dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Slavin dalam Isjoni (2009: 15)
pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa
belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya 5 orang dengan struktur kelompok heterogen. Sedangkan
menurut Sunal dan Hans dalam Isjoni (2009:15) mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian
strategi yang khusus dirancang untuk member dorongan kepada siswa agar
bekerja sama selama proses pembelajaran. Selanjutnya Stahl dalam Isjoni
(2009: 15) menyatakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan belajar
siswa lebih baik dan meningkatkan sikap saling tolong-menolong dalam
perilaku sosial.
Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang berfokus
pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Sugiyanto,
2010: 37). Anita Lie (2007: 29) mengungkapkan bahwa model
pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam
kelompok. Ada lima unsur dasar pembelajaran cooperative learning yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan.
Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif dengan benar akan
menunjukkan pendidik mengelola kelas lebih efektif.
Cooperative learning menurut Slavin (2005: 4-8) merujuk pada
berbagai macam model pembelajaran di mana para siswa bekerja sama
dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari berbagai tingkat prestasi,
jenis kelamin, dan latar belakang etnik yang berbeda untuk saling membantu
satu sama lain dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif,
para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan, dan
berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu
dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Cooperative
learning lebih dari sekedar belajar kelompok karena dalam model
pembelajaran ini harus ada struktur dorongan dan tugas yang bersifat
kooperatif sehingga memungkinkan terjadi interaksi secara terbuka dan
hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi efektif antara anggota
kelompok.
Slavin (2005) mengemukakan tujuan yang paling penting dari model
pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan para siswa pengetahuan,
konsep, kemampuan, dan pemahaman yang mereka butuhkan supaya bias
menjadi anggota masyarakat yang bahagia dan memberikan kontribusi.
Wisenbaken (Slavin, 2005) mengemukakan bahwa tujuan model
pembelajaran kooperatif adalah menciptakan norma-norma yang
proakademik di antara para siswa, dan norma-norma pro-akademik memiliki
pengaruh yang amat penting bagi pencapaian siswa.
Lungdren dalam Isjoni (2009: 16) mengemukakan unsur-unsur dalam
pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “ tenggelam atau
berenang bersama”;
b. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau siswa lain
dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam
mempelajari materi yang dihadapi;
c. Para siswa harus berpendapat bahwa mereka semua memiliki tujuan yang
sama;
d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para
anggota kelompok;
e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi kelompok;
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar;
g. Setiap siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Thompson, et al (Isjoni,2009: 17) mengemukakan bahwa pembelajaran
kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran.
Di dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-
kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam
kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan yang heterogen.
Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan
siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa
menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar
belakangnya.
Isjoni (2009: 17) menguraikan bahwa pada pembelajaran kooperatif
yang diajarkan adalah keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja
sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang
baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang
direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota
kelompok adalah mencapai ketuntasan.
Miftahul (2011) memaparkan beberapa aspek pembelajaran kooperatif
sebagai berikut.

a. Tujuan
Semua siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil (sering kali
yang beragam/ ability grouping/ heterogenous group) dan diminta
untuk mempelajari materi tertentu dan saling memastikan semua
anggota kelompok juga mempelajari materi tersebut.
b. Level kooperatif
Kerja sama dapat diterapkan dalam kelas (dengan cara memastikan
bahwa semua siswa di ruang kelas benar-benar mempelajari materi
yang ditugaskan) dan level sekolah (dengan cara memastikan bahwa
semua siswa di sekolah benar-benar mengalami kemajuan secara
akademik).
c. Pola interaksi
Setiap siswa saling mendorong kesuksesan antarsatu sama lain. Siswa
mempelajari materi pembelajaran bersama siswa lain, saling
menjelaskan cara menyelesaikan tugas pembelajaran, saling menyimak
penjelasan masingmasing, saling mendorong untuk bekerja keras, dan
saling memberikan bantuan akademik jika ada yang membutuhkan.
Pola interaksi ini muncul di dalam dan di antara kelompok-kelompok
kooperatif.
d. Evaluasi
Sistem evaluasi didasarkan pada kriteria tertentu. Penekanannya
biasanya terletak pada pembelajaran dan kemajuan akademik setiap
siswa, bisa pula difokuskan pada setiap kelompok, semua siswa,
ataupun sekolah. Koes (Isjoni, 2009: 20) menyebutkan bahwa belajar
kooperatif didasarkan pada hubungan antara motivasi, hubungan inter
personal, strategi pencapaian khusus, suatu ketegangan dalam individu
memotivasi gerakan ke arah pencapaian hasil yang diinginkan.
Nurhadi (Isjoni, 2009) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif
memuat elemen-elemen yang saling terkait di dalamnya, diantaranya adalah
saling ketergantungan positif, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual,
keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan
sosial yang sengaja diajarkan. Keempat elemen tersebut tidak bisa
dipisahkan dalam pembelajaran kooperatif karena sangat mempengaruhi
kesuksesan dari pembelajaran koperatif sendiri.
Effandi Zakaria (Isjoni, 2009: 21) berpendapat bahwa pembelajaran
kooperatif dirancang bagi tujuan untuk melibatkan pelajar secara aktif
dalam proses pembelajaran melanjutkan perbincangan dengan teman-teman
dalam kelompok kecil. Ia memerlukan siswa bertukar pendapat, memberi
Tanya jawab serta mewujudkan serta membina proses penyelesaian kepada
suatu masalah. Kajian eksperimental dan diskriptif yang dijalankan
mendukung pendapat yang mengatakan pembelajaran kooperatif dapat
memberikan hasil yang positif kepada siswa.

D. Model Team Game Tournament (TGT)


Secara umum TGT sama saja dengan STAD kecuali satu hal: TGT
menggunakan Turnamen Akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan sistem
skor kemajuan individu, di mana para siswa berlomba-lomba sebagai wakil
tim meraka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya
setara seperti mereka. TGT sangat sering digunakan dengan STAD, dengan
menambahkan turnamen tertentu pada struktur STAD yang biasanya.
(Robert E. Slavin, 2010)
Dalam TGT peserta didik memainkan permainan-permainan dengan
anggota tim lain untuk memperoleh skor bagi tim mereka masing-masing.
Penyusunan permainan dapat disusun dalam bentuk kuis berupa pertanyaan
yang berkaitan dengan materi pelajaran. Model Pembelajaran Kooperatif
tipe Teams Games Tournament (TGT), atau pertandingan permainan tim
dikembangkang secara asli oleh David De Vries dan Keath Edward (1995).
Pada Model ini siswa memainkan permainan dengan anggota-anggota tim
lain untuk memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka. (Trianto,
2010).
Adapun komponen-komponen model pembelajaran kooperatif tipe team
game tournament sebagai berikut:
1. Presentasi Kelas (Penyajian Kelas)
Sama seperti dalam STAD, yaitu: Materi dalam TGT pertama- tama
diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan
pengajaran langsung seperti yang sering kali dilakukan atau diskusi
pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi bisa juga memasukkan
presentasi Audiovisual. Bedanya presentasi kelas dengan pengajaran
biasa hanyalah bahwa presentasi tersebut haruslah benar-benar berfokus
pada TGT. Dengan cara ini, para siswa akan menyadari bahwa mereka
harus benar-benar memberi perhatian penuh selama presentasi kelas,
karena dengan demikian akan sangat membantu mereka mengerjakan
kuis-kuis/game-game, dan skor kuis mereka menentukan skor tim
mereka.
2. Kelompok (tim)
Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian
dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnistas.
Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim
benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi, adalah untuk
mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik.
Setelah guru menyampaikan materinya, tim berkumpul untuk
mempelajari lembar-kegiatan atau materi lainnya. Yang paling sering
terjadi, pembelajaran itu melibatkan pembahasan permasalahan
bersama, membandingkan jawaban, dan mengoreksi tiap kesalahan
pemahaman apabila anggota tim ada yang membuat kesalahan.
3. Game
Gamenya terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan
yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya
dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerjaa tim. Game tersebut
dimainkan di atas meja dengan tiga orang siswa, yang masing-masing
mewakili tim yang berbeda. Kebanyakan game hanya berupa nomor-
nomor pertanyaan yang ditulis pada lembar yang sama. Seorang siswa
mengambil sebuah kartu bernomor dan harus menjawab pertanyaan
sesuai nomor yang tertera pada kartu tersebut. Sebuah aturan tentang
penantang memperbolehkan para pemain saling menantang jawaban
masingmasing.
4. Turnamen
Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Biasanya
berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah guru
memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja
kelompok terhadap lembar-kegiatan. Pada turnamen pertama, guru
menunjuk siswa untuk berada pada meja turnamen, tiga siswa
berprestasi tinggi sebelumnya pada meja 1, tiga berikutnya pada meja 2,
dan seterusnya. Kompetisi yang seimbang ini, seperti halnya sistem
skor kemajuan individual dalam STAD, memungkinkan para siswa dari
semua tingkat kinerja sebelumnya berkontribusi secara maksimal
terhadap skor tim mereka jika mereka melakukan yang terbaik.
5. Team Recognize (Penghargaan Kelompok)
Sama seperti dalam STAD, yaitu: Tim akan mendapat sertifikat atau
bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai
kriteria tertentu. Skor tim dapat juga digunakan untuk menentukan dua
puluh persen dari peringkat mereka. (Robert E. Slavin, 2010)
Adapun langkah-langkah model pembelajaran team game tournament
sebagai berikut, siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat
orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin,
dan suku. Guru menyiapkan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja di
dalam tim mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah
menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya, seluruh siswa dikenai kuis, pada
waktu kuis ini mereka tidak dapat saling membantu.
E. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
Masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang
berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira sebelas atau dua belas
tahun. Oleh karena itu, pada usia ini anak pertama kalinya mendapatkan
pendidikan formal. Masa-masa tersebut dinamakan masa usia anak sekolah
dasar. Karena masa ini anak telah menyelesaikan masa-masa pendidikan
kanak-kanak dan mulai berkembang kepembelajaran yang lebih matang dan
berkembang di sekolah tingkat lanjut dan setelah itu anak akan mengalami
masa matang.
Menurut Darmodjo (dalam http://khadijah2sby.com) anak usia sekolah
dasar adalah anak yang sedang mengalami pertumbuhan baik pertumbuhan
intelektual., emosional maupun pertumbuhan badaniyah, dimana kecepatan
pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga
terjadi berbagai versi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini
suatu factor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-
anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.
Piaget (S. Nasution, 2005:7-8) menjelaskan tentang perkembangan
intelektual anak yang dapat dibagi ke dalam empat fase, yaitu:
1. Fase Sensomotorik (0 – 2 tahun)
2. Fase Pra-Operasional (5 – 6 tahun)
3. Fase Operasional Konkrit (7 – 11 tahun)
4. Fase Operasional Formal (11 – 15 tahun)
Berdasarkan pendapat Piaget, perkembangan kognisi pada anak usia
sekolah dasar untuk kelas tinggi termasuk kelas VI berada pada stadium
operasional formal, anak dapat berpikir secara abstrak, dapat menduga apa
yang akan terjadi, serta dapat menyelesaikan masalah secara sekaligus.

Anda mungkin juga menyukai