Anda di halaman 1dari 3

Hukum Perbankan Syariah

Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Perbankan
Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan
prinsip kehati-hatian.

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.

Demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan,
pemerataan, dan kemanfaatan. Sementara, yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah
pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan
efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut UU 10/1998, Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank
dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli
barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan
prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Prinsip Syariah menurut UU 21/2008 adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa
di bidang syariah.

Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsur:

1.Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran
barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi
pinjam meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);

2.Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-
untungan;

3.Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau
tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

4.Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau


5.Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Pada Penjelasan Umum UU 21/2008 juga dikatakan bahwa Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai
keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut
diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan
Syariah. Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi.
Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan
menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil (mudharabah).

Mengenai penekanan prinsip syariah dalam perbankan syariah juga dapat dilihat dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (“PBI 9/2007”)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 Tahun 2008 (“PBI
10/2008”).

Dalam PBI 10/2008, bagi hasil termasuk salah satu bentuk pembiayaan. Yang dimaksud dengan
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa (Pasal 1 angka
8 PBI 10/2008):

1.transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

2.transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

3.transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

4.transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

5.transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa,

Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil
sebagaimana dimaksud dalam UU 21/2008. Mudharabah dan Wadi’ah adalah merupakan jenis kontrak
atau akad muamalah dalam bisnis perbankan syariah.

Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (“UUS”) dan pihak lain
yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.

Wadi’ah atau ida’ secara harfiah berarti titipan. Hal ini telah didefinisikan oleh para ahli hukum sebagai
sebuah kontrak dimana seseorang memberikan properti kepada pihak lain untuk dijaga/dipelihara.
Kemudian yang dimaksud dengan “akad wadi’ah” adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak
yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.

Mudharabah adalah perjanjian perkongsian yang samar. Artinya, meski tidak bernama perkongsian,
namun hakikatnya juga perkongsian. Definisi dari mudharabah adalah sebuah kontrak dimana sang
pemilik modal memberikan modal kepada seorang pengelola untuk menjalankan perniagaan atas nama
mereka berdua dan keuntungan dibagi berdasarkan kepada sebuah formula tertentu yang disepakati.

Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi yang
menggunakan antara lain prinsip bagi hasil (mudharabah) dan dilarang adanya unsur riba. Mengenai
perbankan syariah sendiri di Indonesia secara umum diatur dalam UU 10/1998 dan UU 21/2008.

Kemudian, Mudharabah dan Wadi’ah adalah jenis dari kontrak atau akad muamalah dalam bisnis
perbankan syariah yang merupakan bagian dari ajaran Islam di bidang ekonomi. Meskipun Mudharabah
dan Wadi’ah berasal dari ajaran Hukum Islam, tetapi pengaturannya sudah ada dalam peraturan
perundang-undangan tentang perbankan syariah.

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, memberikan perluasan ruang lingkup kewenangan terhadap Pengadilan
Agama, yang semula hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara dibidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan shadaqah, kini perkara mengenai ekonomi syariah menjadi
kewenangan Pengadilan Agama, yakni perbuatan-perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip Syariah.

Penyelesaian sengketa Perbankan Syariahsecara litigasi menjadi kewenangan absolut Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama, karena para pihak tidak boleh memperjanjikan lain akibat terikat dengan
Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kewenangan mutlak bagi suatu badan peradilan untuk
menyelesaikan sengketa, namun secara non litigasi para pihak dibebaskan untuk membuat pilihan
forum penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya diluar
pengadilan, seperti melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang putusannya bersifat final
dan binding.

Anda mungkin juga menyukai