ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 1
2982.8/mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 167 hari/tahun. Identitas dan kepastian
curah hujan setiap daerah atau kabupaten di Jawa Barat tidak sama. Curah hujan tertinggi
mencapai 3656,80 mm/tahun sebanyak 340 hari terjadi di Kota Bogor sedangkan curah
hujan terendah mencapai 1761,80 mm/tahun sebanyak 87 hari. Kota-kota dengan curah
hujan mencapai 2000-3000 mm/tahun antara lain Bogor, Sukabumi, Cianjur,
Tasikmalaya dan Subang sedangkan Kota dengan curah hujan 1000-2000 mm/tahun
berada di Majalengka, Cirebon dan Bandung. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata curah
hujan di Jawa Barat tergolong tinggi sehingga berpengaruh terhadap arsitektur rumah
tradisional sunda.
b. Suhu
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 2
Gambar 4: Data Kecepatan Angin di Jawa Barat Tahun 2018-2019
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika 2020
Kecepatan angin tahun 2019 maksimum mencapai angka 18 mm/det sedangkan
suhu minimum mencapai 0,2 m/det sehingga kecepatan angin rata-rata mencapai 1,08
mm/det. Kondisi kecepatan angin rata-rata tahun 2018 dan 2019 mengalami penurunan
dari 2,82 mm/det menjadi 1,08 mm/det. Dapat disimpulkan bahwa kecepatan angin di
Jawa Barat tergolong tinggi berdasarkan BSN (2001) berkisar antara 0,15-0,25 m/det.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 3
iklim tropis yakni tropis kering dan tropis lembab. Menurut Lippsmeier (1994) Indonesia
termasuk dalam daerah hutan hujan tropis atau tropika basah yang meliputi daerah sekitar
khatulistiwa sampai sekitar 15° utara dan selatan. Karakter iklim tropis lembab ditandai
dengan presipitasi (hujan) dan kelembaban tinggi dengan temperatur yang hampir selalu
tinggi (suhu tahunan berkisar antara 23°C pada musim hujan sampai dengan 38°C pada
musim panas), angin sedikit, radiasi matahari sedang sampai kuat, pertukaran panas kecil
karena tingginya kelembaban. Curah hujan tinggi. Terdapat dua musim dalam tiap
tahunnya, yakni musim kemarau yang berlangsung antara bulan maret sampai Agustus
dan musim penghujan yang berlangsung antara bulan September sampai Pebruari
(Szokolay, 1981). Intensitas radiasi sinar matahari ini dipengaruhi oleh posisi tempat atau
lokasi terhadap garis edar matahari, arah hadap bangunan, bentuk bangunan
Kelembaban yang cocok berkisar antara 40% sampai 70%. Pada kelembaban
yang tinggi, dinding akan cenderung basah serta mengurangi isolasi kalor. Kelembaban
yang tidak dihalau pergi oleh angin dapat menjadi penyebab ketidak nyamanan dalam
ruangan. Kelembaban juga dapat menyebabkan kerusakan bahan bangunan, kayu
membusuk, logam berkarat serta muai susut yang berlebihan. Pergerakan udara terjadi
apabila ada perbedaan suhu, angin mengalir dari daerah bersuhu rendah ke daerah
bersuhu tinggi. Pada daerah tropis lembab angin diperlukan untuk mengurangi suhu dan
kelembaban. Pergerakan udara yang diinginkan adalah angin sepoi-sepoi, yakni pada
kecepatan sampai 1 m/detik. Pergerakan angin dalam skala permukiman ditentukan oleh
kepadatan serta pola kelompok bangunan. Dalam skala rumah ditentukan oleh bentuk
masa, lebar dan letak ventilasi, tata ruang, serta vegetasi di sekitar bangunan (Lippsmeier,
1994).
Dalam konteks respon terhadap iklim tropis, bangunan dianggap baik apabila
dapat merubah kondisi iklim luar yang relatif tidak nyaman menjadi kondisi yang
nyaman bagi manusia yang tinggal di dalam bangunan tersebut. Dengan demikian
arsitektur tropis akan mengacu pada kualitas fisik ruang dalamnya, yakni: suhu ruang
yang rendah, kelembaban relatif tidak terlalu tinggi, pencahayaan alam cukup,
pergerakan udara memadai, terhindar dari hujan dan terik matahari. (Juhana, 2001).
Namun anggapan tersebut kiranya perlu dikaji lebih jauh, kaitannya dengan masyarakat
tradisional Sunda serta umumnya di nusantara. Penilaian terhadap baik buruknya sebuah
karya arsitektur tropis diukur secara kuantitatif menurut kriteria-kriteria tertentu, meliputi:
suhu ruang, kelembaban, intensitas cahaya, aliran udara, adakah air hujan masuk
bangunan, serta adakah terik matahari mengganggu penghuni dalam bangunan. Dalam
bangunan yang dirancang menurut kriteria semacam ini, penghuni bangunan diharapkan
dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di alam luar.
(Karyono, 2000)
Beberapa kriteria rancangan bangunan tropis: Bentuk dan Denah bangunan
sebaiknya segi panjang dimana sisi panjang menghadap utara selatan dengan bukaan
secukupnya pada arah ini. Bangunan tipis untuk menjamin sirkulasi udara silang, lobang
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 4
ventilasi terletak berhadapan. Lebar bukaan sekitar 20% luasan dinding. Bukaan-bukaan
dinding untuk ventilasi dan penerangan. Atap mempunyai kemiringan yang mencukupi
untuk mengurangi intensitas radiasi matahari serta pengaliran air hujan. Material atap
dipilih yang memungkinkan aliran udara panas, isolasi panas serta meredam bunyi ketika
hujan. Overstek atau pelindung penting untuk pembayangan, air hujan dan penahan silau.
Penanggulangan aliran panas akibat konveksi dilakukan dengan atap ganda dengan atap
bawah berfungsi sebagai isolator. Penggunaan material serta warna yang dapat
memantulkan sinar.
Pematah sinar matahari dapat menciptakan bayangan pada fasade bangunan.
Terciptanya bayangan berarti berkurangnya jumlah radiasi sinar matahari yang diterima
fasade bangunan, dengan demikian akan berkurang jumlah panas yang diterima yang
akan menyebabkan temperaturnya menjadi lebih rendah (Zulfikri,2008). Pada figurasi
kelompok bangunan, bangunan terbuka dengan jarak antar bangunan mencukupi untuk
menjamin sirkulasi udara serta mempunyai lorong-lorong yang menerus untuk
mengalirkan angin. Gerakan udara menimbulkan pelepasan panas dari permukaan kulit
oleh penguapan. Semakin cepat semakin banyak panas yang hilang.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 5
Menurut Info Budaya (2018) struktur dan konstruksi rumah panggung Masyarakat
Sunda terlihat ringan dan sederhana, karena bahan-bahan yang dipakai seluruhnya berasal
dari alam sekitar dan dibuat sendiri. Menurut Nuryanto (2014) rumah tradisional Sunda
disusun berdasarkan kosmologi dari tubuh manusia yang juga merupakan perwujudan
alam semesta. Susunan rumah tradisional menurut Nuryanto (2014) terdiri dari tiga
bagian yaitu :
a. Kepala (Hulu)
Kepala sebagai posisi yang agung, mulia, tinggi dan terhormat. Dalam struktur
bangunan, kepala merupakan atap bangunan. Bentuk umum atap rumah
tradisional Sunda adalah bentuk pelana dan jure/ suhunan.
b. Badan (Awak)
Badan merupakan bagian tengah yang bermakna keseimbangan (area netral) dan
kehidupan. Di dalam bagian tengah ini digunakan sebagai tempat tinggal manusia
dan pusat dunia.
c. Kaki (Suku)
Kaki sebagai posisi paling bawah (tanah). Posisi tersebut sebagai tempat tinggal
makhluk-makhluk gaib, roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Tanah
merupakan simbol kematian. Oleh karena itu lantai dibuat tidak menempel
langsung dengan tanah. Lantai ditinggikan dengan menggunakan umpak.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 6
1.4.1 Tipologi Rumah Tradisional Sunda
Rumah tradisional Sunda memiliki berbagai macam tipologi. Menurut Deny
(2008) dan Ilham dkk (2012) terdapat beberapa tipologi rumah tradisional Sunda dengan
berbagai bentuk atapnya, yakni sebagai berikut :
a. Suhunan Jolopong
Suhunan jolopong (suhunan panjang) memiliki arti tergolek lurus. Bentuk
jolopong ini memiliki dua bidang atap saja. Kedua bidang atap dengan jalur
suhunan di tengah bangunan rumah (Deny, 2008). Menurut Ilham dkk (2012)
bentuk atap suhunan jolopong ini merupakan bentuk dasar atap rumah adat Sunda.
Hampir di seluruh rumah adat Sunda di perkampungan Jawa Barat menggunakan
bentuk ini.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 7
c. Suhunan Perahu Kumerep
Bentuk atap ini memiliki empat bidang atap. Sepasang atap yang berseberangan
memiliki luas bidang yang sama. Letak kedua bidang atap lainnya berbentuk
segitiga sama kaki dengan kedua titik ujung suhunan sebagai titik puncak segitiga
itu.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 8
Gambar 11: Suhunan Buka Pongpok
Sumber: Ilham dkk, 2012
f. Badak Heuay
Bentuk atap badak heuay ini menyerupai bentuk badak dengan mulut yang
menganga. Bentuk atap badak heuay ini sangat mirip dengan bentuk atap tagog
anjing. Perbedaannya pada bidang atap yang belakang. Bidang atap yang
belakang ini dilebihkan sedikit hingga melewati bidang atap yang ada di
depannya. Bidang atap yang melewati ini dinamakan rambu (Ilham dkk.,
2012).
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 9
Gambar 13: Togo Anjing/Tagog Anjing
Sumber: Ilham dkk, 2012
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 10
Gambar 14: Fungsi simbolik Rumah Tradisional Sunda
Sumber: Iswanto, 2013
Fungsi secara simbolik didasarkan pada kepercayaan Orang Sunda, bahwa dunia
terbagi tiga: buana larang, buana panca tengah, dan buana nyuncung. Buana panca tengah
merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan diri sebagai pusat alam
semesta, karena itulah tempat tinggal manusia harus terletak di tengah-tengah, tidak ke
buana larang (dunia bawah/bumi) dan buana nyuncung (dunia atas/langit). Dengan
demikian, rumah tersebut harus memakai tiang yang berfungsi sebagai pemisah rumah
secara keseluruhan dengan dunia bawah dan atas. Tiang rumah juga tidak boleh terletak
langsung di atas tanah, oleh karena itu harus di beri alas yang berfungsi memisahkannya
dari tanah yaitu berupa batu yang disebut umpak sebagainya (Adimihardja dalam
Nuryanto, 2006).
Secara teknis, rumah tradisional Sunda memiliki ciri yang khas, yaitu bentuk atap
yang menyesuaikan terhadap keadaan alam, fungsi, dan adat istiadat dari kampung
setempat (Anwar dan Nugraha, 2013). Material yang digunakan untuk membangun
semua bersumber dari alam. Hasil karya mereka tampak harmoni dengan lingkungan
sekitarnya sehingga keberlangsungan hidup generasi pada masa yang akan datang tetap
terjaga dengan baik.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 11
Sawah
Irigasi
Samah
Irigasi
Sawah
Irigasi
Hutan
Lapang
an
Gambar 15: Siteplan Permukiman Sindang Barang
Sumber: ARTEKS (Hutomo et al., 2020)
Tata Ruang Secara tipologi bentuk bangunan secara rumah tradisional sunda
berbentuk panggung memiliki ketinggian 40 cm- 1,5 m. Rumah panggung sangat berguna
menghindari binatang buas dan banjir, tahan terhadap gempa serta memperlancar
sirkulasi udara segar. Bentuk massa bangunan berbentuk persegi Panjang. Pola tata ruang
membagi tatanan bagian atas,tengah dan bawah.
Tata ruang kampung sindang barang memiliki kamar tidur,ruang tidur dan dapur.
Tata ruang kampung ini tidak memiliki kamar di dalam bangunan. Konsep tata ruang
seperti pada umumnya rumah tradisional sunda bagian depan berfungsi sebagai penerima
tamu dan bagian ruang depan bersifat publik
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 12
Pergerakan Udara, Kelembaban serta Hujan akan menjadi sub bahasan yang dihubungkan
dengan pola kelompok rumah, orientasi, tata ruang serta penggunaan bahan. Menurut DR.
Ir. RM. Sugiyatmo, kondisi yang berpengaruh dalam perancangan bangunan pada iklim
tropis lembab adalah, yaitu:
a. Kenyamanan Termal
Menurut Givoni (1976) dan Szokolay (1980) tingkat kenyamanan thermal secara
alamiah sulit dan tidak akan mungkin dicapai tetapi hanya akan mendekati, kecuali
apabila memakai sistem penghawaan buatan. Kenyamanan hanya akan dicapai apabila
pada suatu kondisi suhu udara tertentu terdapat suatu kecepatan angin tertentu yang
mampu menghasilkan proses penguapan tubuh yang seimbang.
Pada arsitektur rumah tradisional sunda dengan aplikasi material dinding, lantai
pintu dan jendela yang banyak rongga dapat membuat pergerakan udara didalam rumah
lancar sehingga dapat memenuhi kenyamanan termal. bahan atau material yang
menggunakan kayu dan bambu dengan tingkat penyerapan panas sedikit, sehingga laju
aliran panas yang menembus bahan tersebut akan terhambat. Sedangkan bahan atap
terbuat dari ijuk yang disusun berlapis-lapis selain mempunyai tahanan panas dan
kapasitas panas yang lebih kecil dari dinding juga dapat menahan turunnya air hujan.
b. Aliran Udara
Aliran udara terjadi karena adanya gaya thermal yaitu terdapat perbedaan
temperatur antara udara di dalam dan diluar ruangan dan perbedaan tinggi antara lubang
ventilasi. Kedua gaya ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendapatkan jumlah
aliran udara yang dikehendaki. Jumlah aliran udara dapat memenuhi kebutuhan kesehatan
pada umumnya lebih kecil daripada yang diperlukan untuk memenuhi kenyamanan
thermal. Pergerakan udara merupakan faktor terpenting untuk sebuah ruang demi
mencapai kenyaman termal di dalam ruang.angin yang diterima dari luar bangunan ke
dalam bangunan seharusnya dapat diperkirakan dengan baik,untuk itu pergerakan udara
dapat menentukan orientasi bukaan dan besar ventilasi pada suatu bangunan tersebut.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 13
c. Radiasi Panas atau Pencahayaan
Radiasi panas atau pencahayaan dapat terjadi oleh sinar matahari yang langsung
masuk ke dalam bangunan dan dari permukaan yang lebih panas dari sekitarnya, untuk
mencegah hal itu dapat digunakan alat-alat peneduh (Sun Shading Device) (Aprita, 2020).
Menurut Satwiko (2004) cahaya alami merupakan cahaya yang didapatkan dari sinar
matahari secara langsung dari awal matahari terbit hingga terbenam . pencahayaan adalah
proses lengkap dalam mendesain bangunan untuk memanfaatkan cahaya alami secara
maksimal. Hal ini meliputi aktivitas berikut (karlen,2007 ; 31):
1. Menempati bangunan, yaitu mengorientasikan bangunan untuk memperoleh
cahaya matahari secara optimal.
2. Pembentukan massa bangunan, menampilkan permukaan bangunan yang secara
optimum menghadap kearah matahari
3. Memilih bukaan bangunan yang memungkinkan jumlah cahaya yang cukup
masuk ke dalam bangunan, dengan memperhitungkan siklus matahari, musim,
cuaca
4. Menambahkan peralatan pelindung yang tepat dan dapat diatur, seperti kerai atau
tirai, untuk memungkinkan penghuni bangunan untuk mengontrol cahaya
matahari yang masuk kedalam bangunan
Kenyamanan termal berdasarkan permukiman dapat dilihat dari keadaan sekitar.
Pada permukiman sindang barang terdapat vegetasi hal ini yang akan berpengaruh
terhadap sirkulasi udara dan radiasi sinar matahari. Dari segi aspek radiasi matahari pada
permukiman panas matahari diserap oleh vegetasi hal ini mengakibatkan udara yang
dihasilkan lingkungan sekitar terasa sejuk. Aspek radiasi akan berpengaruh pada radiasi
yang dipaparkan ke massa bangunan menjadi sedikit dan berpengaruh terhadap bayangan
yang dihasilkan.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 14
lebar ini berfungsi untuk menghalangi air agar tidak mudah mengenai bagian dinding
pada bangunan,hal ini juga dilakukan agar dinding lebih lama. Karena dinding yang
terbuat dari bambu jika terkena air terus menerus akan mudah rusak.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 15
2.2 Elemen arsitektur yang beradaptasi dengan iklim
a. Pondasi/Umpak
b. Lantai
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 16
Gambar 22: Detail Balok Penahan Lantai
Sumber: Frans, 2011
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 17
seperti rumah tradisional lain pada umumnya yaitu berkisar antara 50 – 60 centi
meter dari permukaan tanah.
Gambar 25: Material Dinding (Kiri), Konstruksi Dinding dan Detail (kanan)
Sumber: Frans, 2011
Selain itu ada juga pintu dan jendela yang mempunyai daun pintu dan daun
jendela tunggal. Materialnya terbuat dari kisi – kisi bambu yang dapat ditembus
oleh udara, hal ini membuat suasana di dalam rumah tetap nyaman.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 18
Gambar 27: Plafon
Sumber: Frans, 2011
e. Atap
Atap sebagai mahkota dari sebuah bangunan mempunyai fungsi untuk melindungi
penghuni yang berada di dalamnya. Atap dari rumah Sunda terbuat dari ijuk,
alasan pemilihan ijuk sebagai material atap karena ijuk merupakan material yang
dapat menyerap panas dengan baik sehingga tidak menimbulkan suasana gerah di
dalam rumah. Tritisan pada sisi depan rumah mempunyai panjang 2 meter. Hal ini
membuat dinding bangunan tidak langsung terkena cahaya matahari sehingga
dinding sebagai penyekat tidak panas dan ruang di dalamnya tetap dingin. Selain
itu ada juga sisi yang disebut sebagai bidang atap terbuat dari anyaman bambu
dan berfungsi sebagai ventilasi atap.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 19
Gambar 29: Struktur Atap
Sumber: Frans, 2011
Menarik pada masyarakat tradisional begitu kaya akan filosofi dan pandangan hidup
mereka terhadap alam semesta. Falsafah hidup tersebut mempengaruhi desain arsitektur
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 20
mereka. Mari kita diskusikan hal ini. Beberapa yang saya catat tentang konsep berkelanjutan
(sustainable) pada arsitektur tradisional sunda dirangkum ke dalam tiga aspek yaitu pada
bentuk bangunan, struktur bangunan dan material yang digunakan untuk membangun.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 21
● Atap, masyarakat Sunda menggunakan material ijuk atau alang-alang untuk penutup
atap rumahnya. Material ijuk atau alang-alang dapat menyerap hawa panas dari
radiasi sinar matahari sehingga suhu di bawah atap menjadi tetap sejuk.
4. KESIMPULAN
Sebagaimana dikatakan Rapoport (1969) bahwa iklim merupakan salah satu
pertimbangan penting dalam pembentukan rumah. Namun pada bagian lain dikatakannya
bahwa iklim bukan faktor yang dominan dalam menentukan bentuk melainkan budaya.
Pada Rumah tradisional Sunda, arah hadap rumah ke Selatan menjadi salah satu faktor
yang penting dalam merespon Iklim yang ada, walau sebenarnya orientasi ini lebih
dipengaruhi unsur kepercayaan hinduisme masyarakat Sunda sendiri.
Adanya konstruksi panggung pada bangunan utama akan mengurangi lembab
yang berasal dari tanah. Elemen maupun faktor tersebut tidak semata-mata ada karena
pemikiran terhadap iklim, namun lebih pada pemikiran mengenai kepercayaan serta
wadah dari aktivitas yang dilakukan masyarakat setempat. Jadi adalah mungkin bahwa
bentuk yang tercipta lebih dikarenakan budaya sekalipun respon terhadap iklim cukup
baik, atau sebaliknya bahwa sekalipun ada di daerah tropis namun bentuk yang terjadi
tidak begitu baik merespon iklim karena pertimbangan budaya lebih berperan.
Fatthy (1986) dalam bukunya Natural Energy and Vernacular Architecture
menyanggah anggapan bahwa arsitektur vernakular yang dibangun dengan dasar tradisi
tersebut tidak ilmiah dan tidak tanggap terhadap lingkungan. Pembelajaran masyarakat
tradisional yang berulang berdasarkan pengalaman serta diuji serta diperbaiki selama
kurun waktu yang panjang merupakan bukti cara berfikir ilmiah mereka yang tanggap
terhadap lingkungan.
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 22
REFERENSI
Anwar H, Nugraha HA. (2013). Rumah Etnik Sunda. Jakarta : Griya Kreasi
Hartono, 2010, IMPLIKASI INTERAKSI DESA-KOTA TERHADAP PERKEMBANGAN
RUMAH TRADISIONAL MASYARAKAT SUNDA, Bandung
Ilham, A. N., & Sotyan, A. (2012). TlPOLOGI BANGUNAN RUMAH TINGGAL ADAT
SUNDA DI KAMPUNG NAGA JAWA BARAT. Jurnal Tesa Arsitektur Vol 10 no 1, 18
Iswanto HY. (2013). Kajian Konsep Green Architecture Berbasis Arsitektur Tradisional Sebagai
Manifestasi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. File Presentasi
Kasepuhan Ciptarasa ke Ciptagelar di Kab.Sukabumi-Jawa Barat. Laporan Tesis Magister
Arsitektur, SAPPK-ITB. Tidak diterbitkan
Muanas, D. (1998). Arsitektur Tradisional Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Nuryanto. (2006). Kontinuitas dan Perubahan Pola Kampung dan Rumah Tinggal
RAPOPORT, AMOS, 1969, House Form and Culture. London: Prentice-Hall
SATWIKO, PRASASTO, 2003, Fisika Bangunan I, Yogyakarta, Penerbit Andi
Suharjanto, G. (2014). Konsep Arsitektur Tradisional Sunda Masa Lalu dan Masa Kini. Jurnal
COMTECH Vol 5 No 1, 505-521.
ZUBAIDI, FUAD, 2009, Arsitektur Kaili Sebagai Proses Dan Produk Vernakular, Jurnal Ruang
Volume 1 Nomor 1 September 2009, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Tadulako
ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUNDA DAN KEBERLANJUTANNYA STUDI KASUS: PERMUKIMAN SINDANG BARANG 23