Anda di halaman 1dari 11

TUGAS TERSTRUKTUR

MATA KULIAH AGROKLIMATOLOGI

PENGELOLAAN DAN PERUBAHAN IKLIM 2023

Pengampu:
Dr. Ir. Ismangil, M.S.

Oleh:
Atika Ghonimatus Solihah
A1D022137

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2023
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan emisi gas rumah kaca menjadi salah satu faktor utama krisis
iklim di bumi. Hal tersebut merupakan akibat dari aktivitas manusia yang merusak
lingkungan sehingga menyebaban pemanasan global dan perubahan iklim. Sebagai
dampaknya, bumi mengalami peningkatan suhu rata-rata global di mana terjadi
peristiwa mencairnya es di Kutub Utara dan Selatan yang menyebabkan permukaan
air laut naik, serta munculnya fenomena cuaca ekstrem. Tidak hanya itu, perubahan
iklim menyebabkan ekosistem rusak dan mengganggu unsur-unsur cuaca, serta
mengancam keberadaan banyak spesies di muka bumi.

Masalah yang diakibatkan oleh perubahan iklim dapat ditangani dengan


menggunakan metode kebijakan iklim yang lebih baik. Perlu dilakukan eksplorasi
ide terkait penggunaan sumber energi terbarukan yang ada di bumi sehingga
mengurangi emosi gas rumah kaca. Dengan upaya tersebut, diyakini akan
menghasilkan inovasi teknologi dan transisi energi menuju solusi berkelanjutan
sehingga dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan
global. Selain itu, diperlukan kesadaran bagi setiap manusia di bumi ini untuk
senantiasa menjaga bumi sehingga tetap dalam kondisi yang stabil. Maka langkah
mengelola alam menjadi sangat penting oleh karena dampaknya yang luar biasa
bagi bumi demi menekan hasil emisi gas rumah kaca.

Kabupaten Banyumas merupakan bagian dari Provinsi Jawa Tengah yang


memiliki dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 108 mdpl. Berdasakan data
yang dikutip Dhaniasri dkk (2020), wilayah Banyumas terletak antara 7° 15’ 05” –
7° 37’ 10” Lintang Selatan dan antara 108° 39’ 17” – 109° 27’ 15” Bujur Timur.
Luas wilayah Kabupaten Banyumas, adalah berupa daratan seluas 1.327,59 km2.
Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 kecamatan, 301 desa dan 30 kelurahan.
Kabupaten Banyumas memiliki iklim tropis basah karena terletak di belahan selatan
katulistiwa dan diantara lereng pegunungan jauh dari permukaan pantai atau lautan

1
dengan tekanan rata-rata angin 1.001 mbs, dengan suhu udara berkisar antara
21,4°C hingga 30,9°C. Wilayah perbukitan, persawahan, perkebunan dan
pekarangan yang ditumbuhi banyak pohon mendominasi wilayah Kabupaten
Banyumas (Dhaniasri et al., 2020). Pada lembar tugas ini, akan dilakukan analisis
terkait awalan dan akhiran musim hujan, serta panjang musim hujan di kawasan
tersebut, juga akan dianalisa terkait potensi gas rumah kaca yang terdapat di
wikayah tersebut berdasarkan studi literatur.

B. Tujuan

Tugas ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut.

1. Mengetahui awal dan akhir, serta panjang musim hujan di wilayah


Kabupaten Banyumas.
2. Mengetahui potensi gas rumah kaca di wilayah Kabupaten Banyumas.

2
II. PEMBAHASAN

A. Musim Hujan di Wilayah Kabupaten Banyumas

Iklim merupakan kejadian fisik yang mencerminkan atmosfer dalam


jangka waktu yang cukup lama, yaitu hingga 30 tahun lamanya. Iklim dapat
disimpulkan berdasarkan hasil dari pengukuran unsur cuaca selama beberapa
periode di suatu wilayah. Salah satu faktor pembentuk cuaca sebagai acuan
dalam pengelompokan iklim adalah curah hujan. Curah hujan berkaitan erat
dengan jumlah air hujan yang jatuh di suatu wilayah dalam jangka waktu
tertentu.
Musim penghujan dan musim kemarau di Indonesia dipisahkan oleh
keberadaan angin monsun. Karakterisitik dari pola monsun adalah adanya
perbedaan yang tegas antara musim kemarau dengan musim hujan. Untuk
keperluan membuat prakiraan batasan musim hujan dengan musim kemarau,
BMKG juga memakai nilai curah hujan bulanan 150 mm (BMKG, 2010).
Musim penghujan terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, sedangkan pada
bulan April hingga September terjadi musim kemarau.
Variabilitas kondisi neraca air, surplus-defisit, mencerminkan
variabilitas curah hujan sebagai faktor input dalam sistem hidroklimatologi dan
neraca air. Kondisi defisit umumnya mengikuti pola distribusi sebaran hujan
tipe monsoon. Berdasarkan hasil penelitian dari Gunawan (2012) Maryanto dkk.
2012, pada bulan Januari-Maret, neraca air di kawasan G. Slamet khususnya
Kabupaten Banyumas, menunjukkan kondisi surplus dengan curah hujan antara
100 - 400 mm per harinya. Kemudian pada bulan April, kondisi wilayah tersebut
masih surplus namun mengalami penurunan curah hujan yang berkisar antara
100 - 300 mm. Kabupaten Banyumas baru mulai mengalami defisit air pada
bulan Mei, Juni dan Juli secara bertahap. Kemudian pada bulan Agustus,
Banyumas sudah mengalami defisit air dengan kisaran hanya 100 - 200 mm per
hari. Dilanjutkan bulan September, Kabupaten Banyumas masih berada pada
kondisi defisit. Mulai bulan Oktober kondisi neraca air sudah mulai surplus dan

3
nilai surplus tertinggi berkisar 300 - 400 mm. Pada bulan November kondisi
surplus sudah semakin merata termasuk nilai kisarannya yang seragam pada
100- 200 mm. Pada bulan Desember terjadi variabilitas curah hujan yang besar.
Sistem iklim klasifikasi Oldeman (1975) menggunakan variabel curah
hujan bulanan berupa kriteria bulan basah (curah hujan > 200 mm) dan bulan
kering (curah hujan < 100 mm) berturut-turut sebagai penentu kategori iklim
suatu wilayah. Metode ini merupakan metode baru yang dikenal di Indonesia
dan cocok untuk pengembangan lahan pertanian, khususnya tanaman pangan.
Metode ini memperhitungkan kebutuhan air pada tanaman per bulan di musim
penghujan maupun musim kemarau. Kebutuhan minimal tanaman padi tanpa
bantuan irigasi adalah surplus 200 mm/ bulan (Oldeman 1982 dalam Maryanto
dkk 2012). Oleh karena itu, berdasarkan pengimplementasian sistem Oldeman
tersebut perlu dilakukan penambahan air atau pengirigasian apabila nilai neraca
air surplus pada kisaran 0 - 100 mm terutama pada bulan-bulan defisit air.
Periode defisit di Kabupaten Banyumas berlangsung mulai bulan Mei
sampai bulan September. Keadaan ini sesuai dengan pengelompokan iklim
menggunakan metode Oldeman yaitu periode bulan kering (musim kemarau)
yang berlangsung dari Mei sampai Oktober. Sedangkan bulan November
sampai April kondisi neraca air kembali surplus sebagai pertanda dimulainya
periode bulan basah atau yang biasa dikenal sebagai periode musim penghujan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air Kabupaten
Banyumas pada tahun 2015, curah hujan rata-rata Kabupaten Banyumas dalam
10 tahun terakhir adalah 3.792,5 mm. Berdasarkan hal tersebut, kondisi surplus
lebih banyak terjadi di wilayah pegunungan dibandingkan dengan dataran
rendah oleh karena curah hujan yang lebih banyak jatuh di kawasan
pegunungan. Tentang konsentrasi hujan yang lebih tinggi di daerah pegunungan
oleh karena Kabupaten Banyumas memiliki lokasi yang dekat dengan Gunung
Slamet. Menurut Gunawan (2006) dan Qian et al. (2010) dalam Maryanto dkk
2012, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor topografi sebagai pemegang kunci
dalam proses pembentukan hujan.

4
B. Potensi Gas Rumah Kaca di Wilayah Kabupaten Banyumas

Global Warming atau pemanasan global suatu kenaikan suhu rata-rata bumi
secara bertahap selama beberapa dekade terakhir. Berdasarkan data dari IPPC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) yang merupakan badan yang
dibentuk oleh WMO (World Meteorological Organization) dan UNEP (The United
Nation of Enviroment Program) dalam Diposaptono (2011), suhu rata-rata bumi
meningkat sekitar 5ºC dalam waktu 100 tahun terakhir dengan laju kenaikan suhu
mencapai rekor tertinggi pada 10 tahun terakhir ini.
Pemanasan global atau Global Warming memiliki dampak signifikan yang
dapat dirasakan keberadaannya oleh indra manusia. Dampak tersebut antara lain
terjadinya ketidakpastian batas antara musim penghujan dengan musim kemarau.
Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu udara secara spontan, musim kemarau
berkepanjangan, serta dibarengi dengan curah hujan yang tinggi sehingga
menyebabkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor. Perubahan iklim
ini menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan manusia, dan mengancam
upaya pembangunan yang dilakukan termasuk pada ranah kesehatan. Selain itu,
fenomena ini menyebabkan melelehnya es di kutub Selatan dan Utara sehingga
permukaan air laut naik kemudian merendam pulau-pulau kecil dan mempersempit
luas daratan di bumi. Pemanasan tersebut apabila berlanjut maka akan
menyebabkan kegagalan panen beberapa komoditi pertanian dan juga
memunculkan masalah berhubungan dengan suhu bumi.
Para peneliti memaparkan beberapa hal yang dapat menjadi faktor
terjadinya pemanasan global di bumi. Salah satu faktor tersebut antara lain efek
rumah kaca dan beberapa proses umpan balik yang dihasilkannya. Panas bumi
sebagian besar berasal dari matahari yang masuk ke bumi berupa energi radiasi
gelombang pendek, dan berfungsi untuk menghangatkan bumi. Sebagian panas
tersebut akan di serap oleh permukaan bumi dan sebagian lainnya akan dipantulkan
kembali dalam bentuk radiasi inframerah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun pada kenyataannya, sebagian panas yang seharusnya dikembalikan tersebut
terperangkap di atmosfer bumi akibat penumpukan gas rumah kaca berupa uap air,

5
karbon dioksida, sulfur dioksida, dan metana sebagai residu dari kegiatan-kegiatan
manusia di muka bumi. Gas ini akan menyerap dan menahan radiasi tersebut
sehingga terjadi peningkatkan suhu rata-rata tahunan bumi. Gas-gas tersebut
diibaratkan sebagai gas dalam rumah kaca. Semakin meningkatnya konsentrasi gas
tersebut di atmosfer maka semakin banyak pula panas yang terperangkap di
bawahnya dan suhu bumi akan semakin naik. Sedangkan Indonesia sendiri
merupakan salah satu negara penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.
Emisi gas rumah kaca tersebut sebagian besar dihasilkan oleh aktivitas manusia
melalui penebangan hutan, pembakaran, degradasi lahan terbuka hijau (Measey;
2010 dalam Adriyani dan Sujono, 2019).
Inceptisol merupakan salah satu ordo tanah yang tersebar luas di Indonesia
yaitu sekitar 70,52 juta ha (37,5%) dari wilayah daratan Indonesia (Muyassir et al.
2012 dalam Darmawan et al, 2022). Tanah Inceptisol di Desa Kaliori, Banyumas
mempunyai kadar unsur hara esensial yang relatif rendah, terutama unsur hara
Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K), sehingga perlu penambahan unsur hara
(Setyastika dan Suntari 2019 dalam Darmawan et al, 2022). Namun tidak sedikit
pupuk yang menguap sebelum terserap oleh tanaman dan memenuhi atmosfer,
seperti keberadan unsur Nitrogen di udara dan menjadi emisi gas rumah kaca. Maka
untuk mengatasi masalah tersebut perlu penerapan penggunaan pupuk organik cair,
pupuk ini memiliki keunggulan antara lain bisa menjaga kelestarian tanah dan
kesehatan tanaman, dapat diintegrasikan dengan pengairan dan pemupukan,
efisiensi penggunaan unsur hara, dapat secara cepat mengatasi defisiensi hara, dan
hara tidak mudah tercuci (Toonsiri et al. 2016 dalam Darmawan etal, 2022).
Penggunaan pupuk organik cair ini juga berpengaruh terhadap dinamika gas
metana, dimana gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan
oleh lahan sawah irigasi (Wihardjaka et al. 2020).
Gas rumah kaca lain yang dihasilkan dari kegiatan pertanian selain
penguapan nitrogen dari pupuk organik adalah penguapan gas metana (CH4). Gas
ini terbentuk pada saat proses dekomposisi bahan organik secara anaerob di sekitar
zona perakaran tanaman padi, terutama yang pada bagian yang tergenang. Besarnya
emisi gas metana dari berbagai pengelolaan tanaman padi sawah pada tanah mineral

6
di pulau jawa berkisar 57-347 kg ha-1 setiap musim tanam. Sebagai perbandingan,
dalam jangka waktu 100 tahun, gas CH4 mempunyai umur di atmosfer 12 tahun
dan global warming potential (GWP) 21 kali lebih tinggi daripada gas
karbondioksida (Mambu 2012 dalam Nugratama 2020).
Berdasarkan penelitian dari Nugratama (2020), morfologi tanaman padi
seperti tinggi tanaman dan jumlah cabangnya berpengaruh terhadap jumlah gas
metana yang dilepaskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Das dan Baruah (2008)
pada penelitiannya, semakin tinggi tanaman padi maka gas metana yang diemisikan
akan semakin tinggi, begitupula sebaliknya. Jumlah cabang tanaman juga berperan
dalam melepaskan gas metana, semakin banyak cabangnya maka akan semakin
banyak dan rapat jaringan aerenkim sebagai jembatan untuk melepaskan gas
metana dari rhizosfer ke atmosfer. Jaringan aerenkim merupakan kunci yang
berperan dalam transportasi gas metana dari tanaman ke atmosfer (Tokarz dan
Urban 2015 dalam Nugratama, 2020).

7
III. KESIMPULAN

Kabupaten Banyumas mengalami musim penghujan pada bulan Oktober


dan berakhir pada bulan Mei. Musim ini terjadi selama kurang lebih 7 bulan
lamanya. Tercatat pada tahun 2015, berdasarkan data dari Dinas Sumber Daya Air
Kabupaten Banyumas bahwasanya curah hujan rata-rata Kabupaten Banyumas
dalam 10 tahun terakhir adalah 3.792,5 mm.

Potensi Gas Rumah Kaca (GRK) di wilayah Kabupaten Banyumas


didominasi oleh lahan pertanian seperti lahan sawah irigasi. Penguapan nitrogen
dan gas metana menjadi penyumbang emisi utama penyebab gas rumah kaca di
wilayah tersebut. Alternatif yang dapat diterapkan dalam mengurangi emisi pupuk
adalah penggunaan pupuk cair, sedangkan pengurangan emisi gas metana masih
dalam proses pengkajian.

8
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, T., Sarjito, A., Tini, E. W., & Khusna, R. N. 2023. Variabilitas Gulma di
Bawah Tegakan Pohon Karet (Hevea brasiliensis) di Perkebunan Rakyat
Desa Pageralang, Kecamatan Kemranjen, Banyumas. Biofarm: Jurnal
Ilmiah Pertanian, 19(1), 151-159.

Istiana, I., & Zulfiah, Z. 2023. Perubahan Iklim Pada Pliosen Akhir Berdasarkan
Studi Palinologi Formasi Tapak, Daerah Bentarsari, Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah Geologi PANGEA, 9(1sp), 45-52.

Darmawan, A. A., Saputra, A., Anwar, A. S., Budiono, M. N., Rif’an, M., Sambodo,
R., & Sudrajat, A. 2022. Subtitusi Pupuk N dengan POC Rumen Sapi dan
Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan, Serapan N, Hasil Padi dan Emisi Gas
Metana pada Inceptisol di Desa Kaliori, Banyumas. Jurnal Tanah dan Iklim
Vol, 46(2), 181-190.

Dhaniasri, D., Rejeki, D. S. S., & Raharjo, S. 2020. Analisis spasial kasus malaria
di Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2018. BALABA: JURNAL LITBANG
PENGENDALIAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG
BANJARNEGARA, 169-180.

Nugratama, S. 2020. ESTIMASI BESARAN EMISI KARBON DI KABUPATEN


BANYUMAS (Studi Kasus Tahun 2005-2016). GEOGRAPHIA Jurnal
Ilmiah Pendidikan Geografi, 1(1), 32-45.

awadz, U. R. H., Prasetijo, H., & Purnomo, W. H. 2019. Studi Potensi Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Di Aliran Sungai Desa Kejawar
Banyumas. Dinamika Rekayasa, 15(1), 11-24.

Maryanto, I., dkk. 2012. Ekologi Gunung Slamet: Geologi, Klimatologi,


Biodiversitas dan Dinamika Sosial. LIPI Press.

9
Adriyani, R., dan Sujoso, A. 2019. Ekologi, Pemanasan Global dan Kesehatan.
Aseni.

Diposaptono, S. 2011. Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim: Gempa


Bumi, Tsunami, Banjir, Abrasi, Pemanasan Global, dan Semburan Lumpur
Sidoarjo. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

10

Anda mungkin juga menyukai