Pengampu:
Dr. Ir. Ismangil, M.S.
Oleh:
Atika Ghonimatus Solihah
A1D022137
A. Latar Belakang
Peningkatan emisi gas rumah kaca menjadi salah satu faktor utama krisis
iklim di bumi. Hal tersebut merupakan akibat dari aktivitas manusia yang merusak
lingkungan sehingga menyebaban pemanasan global dan perubahan iklim. Sebagai
dampaknya, bumi mengalami peningkatan suhu rata-rata global di mana terjadi
peristiwa mencairnya es di Kutub Utara dan Selatan yang menyebabkan permukaan
air laut naik, serta munculnya fenomena cuaca ekstrem. Tidak hanya itu, perubahan
iklim menyebabkan ekosistem rusak dan mengganggu unsur-unsur cuaca, serta
mengancam keberadaan banyak spesies di muka bumi.
1
dengan tekanan rata-rata angin 1.001 mbs, dengan suhu udara berkisar antara
21,4°C hingga 30,9°C. Wilayah perbukitan, persawahan, perkebunan dan
pekarangan yang ditumbuhi banyak pohon mendominasi wilayah Kabupaten
Banyumas (Dhaniasri et al., 2020). Pada lembar tugas ini, akan dilakukan analisis
terkait awalan dan akhiran musim hujan, serta panjang musim hujan di kawasan
tersebut, juga akan dianalisa terkait potensi gas rumah kaca yang terdapat di
wikayah tersebut berdasarkan studi literatur.
B. Tujuan
2
II. PEMBAHASAN
3
nilai surplus tertinggi berkisar 300 - 400 mm. Pada bulan November kondisi
surplus sudah semakin merata termasuk nilai kisarannya yang seragam pada
100- 200 mm. Pada bulan Desember terjadi variabilitas curah hujan yang besar.
Sistem iklim klasifikasi Oldeman (1975) menggunakan variabel curah
hujan bulanan berupa kriteria bulan basah (curah hujan > 200 mm) dan bulan
kering (curah hujan < 100 mm) berturut-turut sebagai penentu kategori iklim
suatu wilayah. Metode ini merupakan metode baru yang dikenal di Indonesia
dan cocok untuk pengembangan lahan pertanian, khususnya tanaman pangan.
Metode ini memperhitungkan kebutuhan air pada tanaman per bulan di musim
penghujan maupun musim kemarau. Kebutuhan minimal tanaman padi tanpa
bantuan irigasi adalah surplus 200 mm/ bulan (Oldeman 1982 dalam Maryanto
dkk 2012). Oleh karena itu, berdasarkan pengimplementasian sistem Oldeman
tersebut perlu dilakukan penambahan air atau pengirigasian apabila nilai neraca
air surplus pada kisaran 0 - 100 mm terutama pada bulan-bulan defisit air.
Periode defisit di Kabupaten Banyumas berlangsung mulai bulan Mei
sampai bulan September. Keadaan ini sesuai dengan pengelompokan iklim
menggunakan metode Oldeman yaitu periode bulan kering (musim kemarau)
yang berlangsung dari Mei sampai Oktober. Sedangkan bulan November
sampai April kondisi neraca air kembali surplus sebagai pertanda dimulainya
periode bulan basah atau yang biasa dikenal sebagai periode musim penghujan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air Kabupaten
Banyumas pada tahun 2015, curah hujan rata-rata Kabupaten Banyumas dalam
10 tahun terakhir adalah 3.792,5 mm. Berdasarkan hal tersebut, kondisi surplus
lebih banyak terjadi di wilayah pegunungan dibandingkan dengan dataran
rendah oleh karena curah hujan yang lebih banyak jatuh di kawasan
pegunungan. Tentang konsentrasi hujan yang lebih tinggi di daerah pegunungan
oleh karena Kabupaten Banyumas memiliki lokasi yang dekat dengan Gunung
Slamet. Menurut Gunawan (2006) dan Qian et al. (2010) dalam Maryanto dkk
2012, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor topografi sebagai pemegang kunci
dalam proses pembentukan hujan.
4
B. Potensi Gas Rumah Kaca di Wilayah Kabupaten Banyumas
Global Warming atau pemanasan global suatu kenaikan suhu rata-rata bumi
secara bertahap selama beberapa dekade terakhir. Berdasarkan data dari IPPC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) yang merupakan badan yang
dibentuk oleh WMO (World Meteorological Organization) dan UNEP (The United
Nation of Enviroment Program) dalam Diposaptono (2011), suhu rata-rata bumi
meningkat sekitar 5ºC dalam waktu 100 tahun terakhir dengan laju kenaikan suhu
mencapai rekor tertinggi pada 10 tahun terakhir ini.
Pemanasan global atau Global Warming memiliki dampak signifikan yang
dapat dirasakan keberadaannya oleh indra manusia. Dampak tersebut antara lain
terjadinya ketidakpastian batas antara musim penghujan dengan musim kemarau.
Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu udara secara spontan, musim kemarau
berkepanjangan, serta dibarengi dengan curah hujan yang tinggi sehingga
menyebabkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor. Perubahan iklim
ini menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan manusia, dan mengancam
upaya pembangunan yang dilakukan termasuk pada ranah kesehatan. Selain itu,
fenomena ini menyebabkan melelehnya es di kutub Selatan dan Utara sehingga
permukaan air laut naik kemudian merendam pulau-pulau kecil dan mempersempit
luas daratan di bumi. Pemanasan tersebut apabila berlanjut maka akan
menyebabkan kegagalan panen beberapa komoditi pertanian dan juga
memunculkan masalah berhubungan dengan suhu bumi.
Para peneliti memaparkan beberapa hal yang dapat menjadi faktor
terjadinya pemanasan global di bumi. Salah satu faktor tersebut antara lain efek
rumah kaca dan beberapa proses umpan balik yang dihasilkannya. Panas bumi
sebagian besar berasal dari matahari yang masuk ke bumi berupa energi radiasi
gelombang pendek, dan berfungsi untuk menghangatkan bumi. Sebagian panas
tersebut akan di serap oleh permukaan bumi dan sebagian lainnya akan dipantulkan
kembali dalam bentuk radiasi inframerah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun pada kenyataannya, sebagian panas yang seharusnya dikembalikan tersebut
terperangkap di atmosfer bumi akibat penumpukan gas rumah kaca berupa uap air,
5
karbon dioksida, sulfur dioksida, dan metana sebagai residu dari kegiatan-kegiatan
manusia di muka bumi. Gas ini akan menyerap dan menahan radiasi tersebut
sehingga terjadi peningkatkan suhu rata-rata tahunan bumi. Gas-gas tersebut
diibaratkan sebagai gas dalam rumah kaca. Semakin meningkatnya konsentrasi gas
tersebut di atmosfer maka semakin banyak pula panas yang terperangkap di
bawahnya dan suhu bumi akan semakin naik. Sedangkan Indonesia sendiri
merupakan salah satu negara penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.
Emisi gas rumah kaca tersebut sebagian besar dihasilkan oleh aktivitas manusia
melalui penebangan hutan, pembakaran, degradasi lahan terbuka hijau (Measey;
2010 dalam Adriyani dan Sujono, 2019).
Inceptisol merupakan salah satu ordo tanah yang tersebar luas di Indonesia
yaitu sekitar 70,52 juta ha (37,5%) dari wilayah daratan Indonesia (Muyassir et al.
2012 dalam Darmawan et al, 2022). Tanah Inceptisol di Desa Kaliori, Banyumas
mempunyai kadar unsur hara esensial yang relatif rendah, terutama unsur hara
Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K), sehingga perlu penambahan unsur hara
(Setyastika dan Suntari 2019 dalam Darmawan et al, 2022). Namun tidak sedikit
pupuk yang menguap sebelum terserap oleh tanaman dan memenuhi atmosfer,
seperti keberadan unsur Nitrogen di udara dan menjadi emisi gas rumah kaca. Maka
untuk mengatasi masalah tersebut perlu penerapan penggunaan pupuk organik cair,
pupuk ini memiliki keunggulan antara lain bisa menjaga kelestarian tanah dan
kesehatan tanaman, dapat diintegrasikan dengan pengairan dan pemupukan,
efisiensi penggunaan unsur hara, dapat secara cepat mengatasi defisiensi hara, dan
hara tidak mudah tercuci (Toonsiri et al. 2016 dalam Darmawan etal, 2022).
Penggunaan pupuk organik cair ini juga berpengaruh terhadap dinamika gas
metana, dimana gas metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan
oleh lahan sawah irigasi (Wihardjaka et al. 2020).
Gas rumah kaca lain yang dihasilkan dari kegiatan pertanian selain
penguapan nitrogen dari pupuk organik adalah penguapan gas metana (CH4). Gas
ini terbentuk pada saat proses dekomposisi bahan organik secara anaerob di sekitar
zona perakaran tanaman padi, terutama yang pada bagian yang tergenang. Besarnya
emisi gas metana dari berbagai pengelolaan tanaman padi sawah pada tanah mineral
6
di pulau jawa berkisar 57-347 kg ha-1 setiap musim tanam. Sebagai perbandingan,
dalam jangka waktu 100 tahun, gas CH4 mempunyai umur di atmosfer 12 tahun
dan global warming potential (GWP) 21 kali lebih tinggi daripada gas
karbondioksida (Mambu 2012 dalam Nugratama 2020).
Berdasarkan penelitian dari Nugratama (2020), morfologi tanaman padi
seperti tinggi tanaman dan jumlah cabangnya berpengaruh terhadap jumlah gas
metana yang dilepaskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Das dan Baruah (2008)
pada penelitiannya, semakin tinggi tanaman padi maka gas metana yang diemisikan
akan semakin tinggi, begitupula sebaliknya. Jumlah cabang tanaman juga berperan
dalam melepaskan gas metana, semakin banyak cabangnya maka akan semakin
banyak dan rapat jaringan aerenkim sebagai jembatan untuk melepaskan gas
metana dari rhizosfer ke atmosfer. Jaringan aerenkim merupakan kunci yang
berperan dalam transportasi gas metana dari tanaman ke atmosfer (Tokarz dan
Urban 2015 dalam Nugratama, 2020).
7
III. KESIMPULAN
8
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, T., Sarjito, A., Tini, E. W., & Khusna, R. N. 2023. Variabilitas Gulma di
Bawah Tegakan Pohon Karet (Hevea brasiliensis) di Perkebunan Rakyat
Desa Pageralang, Kecamatan Kemranjen, Banyumas. Biofarm: Jurnal
Ilmiah Pertanian, 19(1), 151-159.
Istiana, I., & Zulfiah, Z. 2023. Perubahan Iklim Pada Pliosen Akhir Berdasarkan
Studi Palinologi Formasi Tapak, Daerah Bentarsari, Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah. Jurnal Ilmiah Geologi PANGEA, 9(1sp), 45-52.
Darmawan, A. A., Saputra, A., Anwar, A. S., Budiono, M. N., Rif’an, M., Sambodo,
R., & Sudrajat, A. 2022. Subtitusi Pupuk N dengan POC Rumen Sapi dan
Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan, Serapan N, Hasil Padi dan Emisi Gas
Metana pada Inceptisol di Desa Kaliori, Banyumas. Jurnal Tanah dan Iklim
Vol, 46(2), 181-190.
Dhaniasri, D., Rejeki, D. S. S., & Raharjo, S. 2020. Analisis spasial kasus malaria
di Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2018. BALABA: JURNAL LITBANG
PENGENDALIAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG
BANJARNEGARA, 169-180.
awadz, U. R. H., Prasetijo, H., & Purnomo, W. H. 2019. Studi Potensi Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Di Aliran Sungai Desa Kejawar
Banyumas. Dinamika Rekayasa, 15(1), 11-24.
9
Adriyani, R., dan Sujoso, A. 2019. Ekologi, Pemanasan Global dan Kesehatan.
Aseni.
10