Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Ansietas


2.1.1 Definisi
Ansietas atau kecemasan adalah suatu perasaan tidak santai yang
samar – samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu
respon (penyebab tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu).
Perasaan takut dan tidak menentu sebagai sinyal yang menyadarkan bahwa
peringatan tentang bahaya akan datang dan memperkuat individu
mengambil tindakan menghadapi ancaman. Kejadian dalam hidup seperti
menghadapi tuntunan, persaingan, serta bencana dapat membawa dampak
terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Salah satu contoh dampak
psikologis adalah timbulnya kecemasan (Yusuf., dkk, 2014).

Kecemasan merupakan respon umum setiap orang, namun


sejatinya kecemasan merupakan respon yang wajar apabila koping yang
digunakan untuk menghadapi suatu masalah adalah adaptif, namun jika
kecemasan tersebut diiringi dengan respon koping maladaptive maka dapat
mengancam, membahayakan hingga mengakibatkan penurunan kualitas
hidup. Menurut Kaplan, Sadock dan dan Grebb kecemasan dibagi dalam
beberapa tahap yakni facilitating anxiety (kecemasan masih di tahap
rendah) contohnya ketika seorang mahasiswa akan menghadapi OSCE ia
merasakan cemas sehingga membuatnya mempersiapkan diri menghadapi
ujian. Kemudian debilitating anxiety (kecemasan pada tahap tinggi)
contohnya ialah kecemasan berlebih yang muncul hingga membuat
mahasiswa tersebut sehingga mengakibatkan blank atau tidak dapat
menjalankan OSCE dengan baik (Fausiah & Widury, 2017).

Ansietas idefinisikan sebagai ganguan kejiwaan yang ditandai


dengan kecemasan berlebih serta ketakutan yang kontraproduktif dan
melemahkan. Walaupun tidak terlihat seperti skizofrenia dan gangguan
jiwa berat lainnya namun ansietas dapat memperburuk keadaan seseorang,

6
7

biasanya ansietas dikaitkan dengan penyakit yang diderita seseorang.


Menurut hasil survei epidemiologi, sepertiga penduduk dunia hidup
dengan ansietas, prevalensi kejadiannya 38% dengan wanita sebagai
gender yang dominan terpapar ansietas dengan perbandingan 2:1 dengan
laki-laki. Sedangkan prevalensi berdasarkan usia ditemukan pada paruh
baya, semakin menua seseorang maka semakin rentan untuk terpapar
ansietas (Hutasoit, 2020).

2.1.2 Rentang Kecemasan


Rentang respon tingkat kecemasan terbagi menjadi berikut :

1. Ansietas ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan


sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan presepsinya. Ansietas menumbuhkan motivasi
belajar serta menghasiljan pertumbuhan dan kreativitas.
2. Ansietas sedang, memungkinkan seseoraang untuk memusatkan
perhatian pada hal yang penting da mengesampingkan yang lain,
sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif tetapi dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah.
3. Ansietas berat sangat, megurangi lahan presepsi seseorang. Adanya
kecenderungan untuk memusatkan pada suatu yang terinci dan spesifik
dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan
untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak
pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
4. Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan ketakutan dan merasa
di terror, sera tidak mampu melakukan apapun walau dengan
pengarhan. Panik meningkatkan aktivitas motoric, menurunkan
kemampuan berhubungan dengan orang lain, presepsi menyimpang,
serta kehilangan pemikiran rasional (Yusuf, 2015).
8

2.1.3 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya kecemasan terdiri dari
beberapa aspek diantaranya :

1. Faktor biologis
Pada organ manusia yakni otak mengandung reseptor khusus untuk
benzodiazepine. Reseptor ini membantu mengatur ansietas.
Penghambat GABA yang berperan utama dalam mekanisme biologis
berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya dengan endofrin.
Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya
menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor (Stuart,
2016).

2. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai
berikut :
a. Pandangan psikoanalaitik. Ansietas adalah konflik emosional yang
terjadi antara dua elemen kepribadian-id dan superego. Id mewakili
dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan superego
mencerminkan hati Nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-
norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntunan dari
dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah
meningkatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Pandangan interpersonal. Ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.
Ansietas berhubungan dengan perkembanagn trauma, seperti
perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik.
Orang yang mengalami harga diri rendah terutama mudah
mengalami perkembangan ansietas yang berat.
c. Pandangan perilaku. Ansietas merupakan produk frustasi yaitu
segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku menganggap
sebagai dorongan belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk
menghindari kepedihan. Individu yang terbiasa dengan kehidupan
9

dini dihadapkan pada ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan


ansietas dalam kehidupan selanjutnya (Heni, 2020).

3. Usia
Laraia M.T (2017) menyatakan bahwa maturitas atau kematangan
individu akan mempengaruhi kemampuan koping mekanisme seseorang sehingga individ

karena individu mempunyai kemampuan adaptasi yang lebih besar


4. Jenis Kelamin
terhadap kecemasan dibandingkan usia yang belum matur.
Sebuahpada
Terbukti penelitian yangdidapatkan
penelitian dilakukan oleh
usia Maryam dan Kurniawan
yang matur yaitu usia
5. Status Pendidikan
A (2018) lebih
dewasa menyatakan bahwatingkat
prevalensi faktor jenis kelamin secara
kecemasannya lebihsignifikan
sedikit
Hasil penelitian ini sesuai dengan konsep yang menyatakan bahwa
dapat mempengaruhi
dibandingkan tingkat
dengan usia kecemasan
remaja. Hal ini pasien, dalam usia
membuktikan penelitian
yang
tingkat pendidikan individu berpengaruh terhadap kemampuan
tersebut disebutkan
matur memiliki juga bahwa
kemampuan jenis
koping yangkelamin
cukup perempuan lebih
dalam mengatasi
berfikir. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka individu semakin
beresiko
kecemasan.mengalami kecemasan dibandingkan dengan jenis
mudah berfikir rasional dan menangkap informasi baru, sehingga
Pada hasil pengkajian askep ansietas pasien berusia 22 tahun
semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pengetahuan
mengalami kecemasan tingkat rendah namun sesekali mengganggu
seseorang (Stuart G. T, 2017).
pola tidur. Walaupun pasien telah melakukan rapid namun pasien
tetap merasa cemas.
10

6. Sosial Budaya
Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga. Ada
tumpeng tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas
dan depresi. Faktor ekonomi dan latar belakang Pendidikan
berpengaruh terhadap terjadinya ansietas. Faktor sosial seperti
memiliki pengalaman buruk seperti pernah ditindas, kekerasan dalam
keluarga, malu saat di depan publik dan orangtua yang terlalu
overprotective pada anaknya dapat memicu kecemasan pada individu
(National Institute for Health and Care Excellence, 2013).

2.1.4 Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi dibedakan menjadi menjadi berikut :

1. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan


fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk
melakukan aktivitas hidup sehari – sehari.
2. Ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan
identias, harga diri, dan fungsi social yang terintegrasi seseorang
3. Faktor presipitasi lainnya seperti genetik; putus obat sebagai pencetus
pasien mengalami risiko perilaku kekerasan (Kandar, 2020).

2.1.5 Penatalaksanan
Menurut Eko Prabowo (2014) penatalaksanaan ansietas pada tahap
pencegahaan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang
bersifat holistik, yaitu mencangkup fisik (somatik), psikologik atau
psikiatrik, psikososial dan psikoreligius. Selengkpanya seperti pada uraian
berikut :
1. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :
a. Makan makan yang bergizi dan seimbang.
b. Tidur yang cukup.
c. Cukup olahraga.
d. Tidak merokok.
11

e. Tidak meminum minuman keras.

2. Terapi psikofarmaka
Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengan
memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan
neuro-transmitter (sinyal penghantar saraf) di susunan saraf pusat
otak (limbic system). Terapi psikofarmaka yang sering dipakai
adalah obat anti cemas (anxiolytic), yaitu seperti diazepam,
clobazam, bromazepam, lorazepam, buspirone HCl, meprobamate
dan alprazolam.
1. SRRIs
2. SNRI
3. Benzodiazepin
4. TCAs

3. Terapi somatic
Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala
ikutan atau akibat dari kecemasan yang bekerpanjangan. Untuk
menghilangkan keluhan- keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan
obat-obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.

4. Psikoterapi
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain:
a. Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan
dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus
asa dan diberi keyakinan serta percaya diri.
b. Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan
koreksi bila dinilai bahwa ketidakmampuan mengatsi
kecemasan.
c. Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki
kembali (re- konstruksi) kepribadian yang telah mengalami
goncangan akibat stressor. Psikoterapi kognitif, untuk
12

memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu


d. kemampuan untuk berpikir rasional, konsentrasi dan daya ingat.
e. Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan
menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat
menjelaskan mengapa seseorang tidak mampu menghadapi
stressor psikososial sehingga mengalami kecemasan.
f. Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan
kekeluargaan, agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor
penyebab dan faktor keluarga dapat dijadikan sebagai faktor
pendukung.

5. Terapi psikoreligius
Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya
dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai
problem kehidupan yang merupakan stressor psikososial

6. Napas Dalam
Napas dalam yaitu bentuk latihan napas yang terdiri atas
pernapasan abdominal (diafragma) Prosedur :
1) Atur posisi yang nyaman
2) Fleksikan lutut klien untuk merelaksasi otot abdomen
3) Tempatkan 1 atau 2 tangan pada abdomen, tepat dibawah tulang iga.
4) Tarik napas dalam melalui hidung, jaga mulut tetap tertutup. Hitung
sampai 3 selama inspirasi.
5) Hembuskan udara lewat bibir seperti meniup secara perlahan – lahan.

2.2 Konsep Covid


2.2.1 Definisi
Novel Corona Virus atau (nCov-2019) pertama kali di laporkan
oleh pemerintahan Cina kepada World Health Organization (WHO) pada
Jumat tanggal 31 Desember 2019. Virus ini ditemukan pada pasien dengan
penyakit
13

pneumonia, yang berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, dan Cina pada 28
Januari. Pada 2019 Covid 19 memiliki masa inkubasi diantara 2 sampai 14
hari, inkubasi terjadi pada seseorang yang berpotensial terinfeksi baik dengan
gejala dan tanpa gejala. Pasien yang terinfeksi Covid 19 memiliki berbagai
macam tanda gejala. Kebanyakan mengalami sakit ringan, sekitar 20%
berkembang menjadi penyakit parah termasuk pneumonia, gagal napas, dan
beberapa kasus yang menyebabkan kematian (Pramana, Cipta 2020).

Penyakit Covid 19 adalah penyakit pandemik global yang


disebabkan oleh SARS-CoV-2 virus. SARS-CoV-2 merupakan virus yang
2.2.2 mengandung
Etiologi genom single-stranded RNA yang positif. Morfologi virus
corona Etiologi coronavirus
mempunyai disease
proyeksi 2019 (COVID-19)
permukaan (spikes) adalah virus dengan
glikoprotein yang
nama spesies gambaran
menunjukkan severe acute respiratory
seperti syndrome
menggunakan virus
mahkota dancorona 2, yang
berukuran 80-
disingkat
160 SARS-CoV-2.
nM dengan Patogenesis
polaritas positif 27- 32infeksi COVID-19
kb. Struktur proteinbelum
utamadiketahui
SARS-
seutuhnya.
CoV-2 Pada
adalah awalnya
protein diketahui (N),
nukleokapsid virusprotein
ini mungkin
matriksmemiliki kesamaan
(M), glikoprotein
spike (S), protein envelope (E) selubung, dan protein aksesoris lainnya.
Virus ini terbagi menjadi empat jenis genus, yakni alpha coronavirus,
beta corona virus, gamma coronavirus, serta delta coronavirus(𝛼𝛽𝛾𝛿).
Namun, virus korona yang seringkali menyerang manusia hanya berasal
dari genus alpha dan genus beta (paling berbahaya). Sementara virus korona
yang menyerang hewan adalah genus delta serta genus gamma. Tujuh jenis
virus korona yang menulari manusia adalah HCoV-229E (alpha
coronavirus), HCoV-NL63 (alphacoronavirus), HCoV-OC43

(beta coronavirus), serta HCoV-HKU1 (beta coronavirus). Tiga lainnya


merupakan genus beta yang bisa menginfeksi hewan sekaligus manusia
14

dengan SARS dan MERS CoV, tetapi dari hasil evaluasi genomik isolasi
dari 10 pasien, didapatkan kesamaan mencapai 99% yang menunjukkan
suatu virus baru, dan menunjukkan kesamaan (identik 88%) dengan
batderived severe acute respiratory syndrome (SARS, bat-SL-CoVZC45 dan
bat- SLCoVZXC21, yang diambil pada tahun 2018 di Zhoushan, Cina
bagian Timur, kedekatan dengan SARS-CoV adalah 79% dan lebih jauh lagi
dengan MERS-CoV (50%).

Analisis filogenetik menunjukkan COVID-19 merupakan bagian dari


subgenus Sarbecovirus dan genus Betacoronavirus. Penelitian lain
menunjukkan protein (S) memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel
target. Proses ini bergantung pada pengikatan protein S ke reseptor selular
dan priming protein S ke protease selular. Penelitian hingga saat ini
menunjukkan kemungkinan proses masuknya COVID-19 ke dalam sel mirip
dengan SARS. Hai ini didasarkan pada kesamaan struktur 76% antara SARS
dan COVID-19. Sehingga diperkirakan virus ini menarget Angiotensin
Converting Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor masuk dan menggunakan
serine protease TMPRSS2 untuk priming S protein, meskipun hal ini masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut. Proses imunologik dari host
selanjutnya belum banyak diketahui. Dari data kasus yang ada, pemeriksaan
sitokin yang berperan pada ARDS menunjukkan hasil terjadinya badai
sitokin (cytokine storms) seperti pada kondisi ARDS lainnya. Dari
penelitian sejauh ini, ditemukan beberapa sitokin dalam jumlah tinggi, yaitu
interleukin-1 beta (IL- 1β), interferon-gamma (IFN-γ), inducible
protein/CXCL10 (IP10) dan monocyte chemoattractant protein 1 (MCP1)
serta kemungkinan mengaktifkan T-helper-1 (Th1). Selain sitokin tersebut,
COVID-19 juga meningkatkan sitokin T-helper-2 (Th2) (misalnya, IL4 and
IL10) yang mensupresi inflamasi berbeda dari SARS-CoV. Data lain juga
menunjukkan, pada pasien COVID-19 di ICU ditemukan kadar granulocyte-
colony stimulating factor (GCSF), IP10, MCP1, macrophage inflammatory
proteins 1A (MIP1A) dan TNFα yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang
tidak memerlukan perawatan ICU. Hal ini mengindikasikan badai sitokin
akibat
15

infeksi COVID-19 berkaitan dengan derajat keparahan penyakit


(Handayani, Dyah., dkk., 2020).

2.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan Panduan Surveilans Global WHO untuk novel Corona-
virus 2019 (COVID-19) per 20 Maret 2020, definisi infeksi COVID-19 ini
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kasus Terduga (suspect case)
1) Pasien dengan gangguan napas akut (demam dan setidaknya satu
tanda/gejala penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak napas), DAN
riwayat perjalanan atau tinggal di daerah yang melaporkan penularan
di komunitas dari penyakit COVID-19 selama 14 hari sebelum onset
gejala; atau
2) Pasien dengan gangguan napas akut DAN mempunyai kontak
dengan kasus terkonfirmasi atau probable COVID-19 dalam 14 hari
terakhir sebelum onset; atau c. Pasien dengan gejala pernapasan
berat (demam dan setidaknya satu tanda/gejala penyakit pernapasan,
seperti batuk, sesak napas DAN memerlukan rawat inap) DAN tidak
adanya alternatif diagnosis lain yang secara lengkap dapat
menjelaskan presentasi klinis tersebut.

2. Kasus probable (probable case)


1) Kasus terduga yang hasil tes dari COVID-19 inkonklusif; atau
2) Kasus terduga yang hasil tesnya tidak dapat dikerjakan karena alasan
apapun.

3. Kasus terkonfirmasi
yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan laboratorium infeksi COVID-19
positif, terlepas dari ada atau tidaknya gejala dan tanda klinis. Kontak
adalah orang yang mengalami satu dari kejadian di bawah ini selama 2
hari
16

sebelum dan 14 hari setelah onset gejala dari kasus probable atau kasus
terkonfirmasi
1) Kontak tatap muka dengan kasus probable atau terkonfirmasi dalam
radius 1 meter dan lebih dari 15 menit.
2) Kontak fisik langsung dengan kasus probable atau terkonfirmasi
3) Merawat langsung pasien probable atau terkonfirmasi penyakit
Covid-19 tanpa menggunakan alat pelindung diri yang sesuai; atau
4) Situasi lain sesuai indikasi penilaian lokasi lokal.

Klasifikasi infeksi COVID-19 di Indonesia saat ini didasarkan


pada buku panduan tata laksana pneumonia COVID-19 Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Terdapat sedikit
perbedaan dengan klasifikasi WHO, yaitu kasus suspek disebut dengan
Pasien dalam Pengawasan (PdP) dan ada penambahan Orang dalam
Pemantauan (OdP). Istilah kasus probable yang sebelumnya ada di
panduan Kemenkes RI dan ada pada panduan WHO saat ini sudah tidak
ada. Berikut klasifikasi menurut buku Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disesase (COVID-19) per 27 Maret 2020 14-
16
1. Pasien dalam Pengawasan (PdP)
1) Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam
(≥38ºC) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda
penyakit pernapasanseperti: batuk/sesak nafas/sakit
tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat DAN tidak ada
penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi
lokal.
2) Orang dengan demam (≥38ºC) atau riwayat demam atau ISPA DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak
dengan kasus konfirmasi COVID-19.
17

3) Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan


perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan.

2. Orang dalam Pemantauan (OdP)16


1) Orang yang mengalami demam (≥38ºC) atau riwayat demam; atau
gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan DAN pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal.
2) Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti
pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum
timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi
COVID-19.
3) Orang Tanpa Gejala (OTG)16 Seseorang yang tidak bergejala dan
memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi COVID-19. Orang
tanpa gejala merupakanseseorang dengan riwayat kontak erat dengan
kasus konfirmasi COVID-19.
4) Kasus Konfirmasi Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil
pemeriksaan tes positif melalui pemeriksaan polymerase chain
reaction (PCR) (Handayani, Dian. dkk., 2020).

2.2.4 Manifestasi Klinis

Tanda tanda yang sering dijumpai pada pasien covid diantaranya,


demam, batuk kering dan dispnea, nyeri otot, fatigue, jumlah leukosit yang
normal atau menurun, dan bukti radiografi pneumonia pada kasus awal dari
Wuhan, Cina. Tambahan tanda dan gejala berupa sakit kepala, pusing,
muntah dan diare. Sekarang diketahui secara luas bahwa gejala pernapasan
COVID-19 sangat heterogen, mulai dari gejala minimal hingga hipoksia
berat dengan ARDS. Dalam laporan dari Wuhan disebutkan di atas, waktu
antara
18

timbulnya gejala dan perkembangan ARDS hanya dalam waktu 9 hari,


menunjukkan bahwa gejala pernapasan dapat berkembang pesat. Penyakit
ini bisa jadi juga berakibat fatal (Xiaowei Li 2020).

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan derajat morbiditas. Pada
pneumonia dilakukan foto toraks, bisa dilanjutkan dengan computed
tomography scan (CT scan) toraks dengan kontras. Gambaran foto toraks
pneumonia yang disebabkan oleh infeksi COVID-19 mulai dari normal
hingga ground glass opacity, konsolidasi. CT scan toraks dapat dilakukan
untuk melihat lebih detail kelainan, seperti gambaran ground glass opacity,
konsolidasi, efusi pleura dan gambaran pneumonia lainnya.
2) Pemeriksaan prokalsitonin (PCT) menunjukkan hasil normal kecuali
bila dicurigai terjadinya infeksi bakteri maka PCT akan meningkat.
Pemeriksaan lain dilakukan untuk melihat komorbid dan evaluasi
kemungkinan komplikasi pneumonia yaitu fungsi ginjal, fungsi hati,
albumin serta analisis gas darah (AGD), elektrolit, gula darah dan biakan
kuman dan uji kepekaan untuk melihat kemungkinan penyebab bakteri
atau bila dicurigai terjadi infeksi ganda dengan infeksi bakter
3) Diagnosis pasti atau kasus terkonfirmasi ditentukan berdasarkan
hasil pemeriksaan ekstraksi RNA virus severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2 (SARS-CoV-2). COVID-19 menggunakan reverse
transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mengekstraksi 2
gen SARS-CoV-2. Contoh uji yang dapat digunakan adalah dari sampel
berupa swab tenggorok. Swab nasofaring baik untuk evaluasi influenza
tetapi untuk virus corona lain swab nasofaring yang diambil menggunakan
swab dari dacron atau rayon bukan kapas
4) Contoh uji dari saluran napas bawah lebih baik dari pada yang
diambil dari saluran napas atas terutama pada pasien dengan pneumonia,
berupa sputum, aspirat trakea dan bronchoalveolar lavage (BAL) dengan
memperhatikan pengendalian infeksi dan APD. Bila pasien menggunakan
ventilasi mekanis dianjurkan untuk memprioritaskan contoh uji dari
saluran
19

napas bawah. Kelebihan contoh uji dari saluran napas bawah dapat
digunakan juga untuk memeriksa biakan mikroorganisme dan jamur yang
mungkin menyertai atau diagnosis banding. Identifikasi COVID-19 yang
dilakukan pertama adalah pemeriksaan pan corona, yaitu termasuk HCoV-
229E, HCoV-NL63, HCoV-HKU1 dan HCoV- OC43, kemudian
dilakukan pemeriksaan spesifik SARS-CoV-2. 2
5) Pemeriksaan ulang perlu dilakukan untuk menentukan respons terapi
seiring proses perbaikan klinis. Bila didapatkan perbaikan klinis dan hasil
RTPCR negatif 2 kali berturut turut dalam 2-4 hari negatif pasien
dinyatakan sembuh (Handayani, 2020).

Anda mungkin juga menyukai