Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1.1 Pengertian Tuberculosis Paru

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis yang dapat menular melalui percikan dahak

(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Tuberculosis adalah penyakit yang

disebabkan Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang

paru-paru, dan dapat juga menyerang organ tubuh lain (Depkes, 2017).

Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahap

asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit (Price

2005 dalam Sara, 2020).

Tuberkulosis adalah contoh lain infeksi saluran nafas bawah.

Penyakit ini disebabkan oleh mikroorganisme Mycobacterium

tuberculosis (Corwin, 2016).

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dapat ditularkan melalui udara, ketika

seseorang yang sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis batuk dan

mengeluarkan percikan ludah dihirup oleh orang lain saat bernapas

(Widoyono, 2017).

7
8

2.1.2 Klasifikasi Tuberculosis

Menurut American thoracic society dalam buku aplikasi asuhan

keperawatan NANDA &NIC-NOC (2015):

a. Kategori 0: tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat

negatif, tes tuberculin negative.

b. Kategori 1: terpajan tuberculosis tapi tidak terbukti ada infeksi.

Disini riwayat kontak positif dan tes tuberculin negatif.

c. Kategori 2: terinfeksi tuberculosis tetapi tidak sakit, tes tuberculin

positif, radiologis dan sputum negatif.

d. Kategori 3: terinfeksi tuberculosis dan sakit.

Klasifikasi di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis,

radiologis, dan makrobiologis:

a. Tuberculosis paru

b. Bekar tuberculosis paru

c. Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam:

 TB tersangka yang diobati: sputum BTA (-) tetapi tanda-tanda

lain (+).

 TB tersangka yang tidak diobati : sputum BTA (-) dan tanda-

tanda lain juga meragukan.

2.1.3 Etiologi

Penyebab Tuberculosis adalah mycobacterium tuberculosis. Basil

ini tidak berspora sehingga mudah di basi dengan pemanasan, sinar

matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua macam mycobacterium


9

tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada

pada susu sapi yang menderita mastitis tuberculosis usus. Basil tipe

human bisa berada dibercak ludah (droplet) dan diudara yang berasal

dari penderita TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila

menghirupnya (Amin H, dkk. 2015).

Setelah organism terinhalasi dan masuk paru-paru bakteri dapat

bertahan hidup dan menyebar ke nodus limfatikus local. Penyebaran

melalui aliran darah ini dapat menyebabkan TB pada organ lain, dimana

infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-tahun (Amin H, dkk.

2015).

Dalam perjalanan penyakitnya terdapat 4 fase menurut wim de

jong dalam buku aplikasi asuhan keperawatan NANDA & NIC-NOC

(2015):

a. Fase 1 (fase tuberculosis primer)

Masuk kedalam paru dan berkembang biak tanpa menimbulkan

reaksi pertahanan tubuh.

b. Fase 2

Setelah kuman Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui

pernafasan, kuman Tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru

kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran

nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

c. Fase 3 (fase laten)


10

Fase dengan kuman yang tidur (bertahun-tahun atau seumur hidup)

dan reaktifitas jika terjadi perubahan keseimbangan daya tahan

tubuh, dan bisa terdapat tulang panjang, vertebra, tuba fallopi, otak,

kelenjar limfahilus, leher dan ginjal.

d. Fase 4

Dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga dapat menyebar ke

organ yang lain dan yang kedua keginjal setelah paru.

2.1.4 Anatomi Fisiologi Paru

2.1.4.1 Anatomi

Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi

utama sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik

memiliki peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon

dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru

melalui sistem kapiler (Wherdhani, 2017). Paru terdiri atas 3 lobus pada

paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan

lobus – lobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan

lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya terdapat lobus superior

dan lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian di lobus

superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni

disebut sebagai lingula pulmonis.

Di antara lobus – lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni

fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus

superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua (Wherdhani,
11

2017). Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan

untuk mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru

untuk mengembang dan mengempis ini di sebabkan karena adanya

surfactan yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2. Namun selain itu

mengembang dan mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh otot –

otot dinding.

Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut,

faring, laring, trakea, bronkus, bronkulus, alvelus dan paru. Laring

membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni saluran pernafasan

atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui paru-paru

atau pernafasan external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut.

Pada waktu bernafas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronchial

ke alveoli dan dapat erat hubungan dengan darah didalam kapiler

pulmunaris (John B.West, 2012 dalam Sara 2020). Hanya satu lapis

membran yaitu membran alveoli, memisahkan oksigen dan darah

oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel

darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri

kesemua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan

oksigen 100 mmhg dan tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paru-

paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan. Metabolisme menembus

membran alveoli, kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah

melalui pipa bronchial, trakea, dinafaskan keluar melalui hidung dan

mulut ( Wartonah & dkk,2016).


12

Gambar 2.1

Anatomi Paru-Paru (Sumber: Corwin, 2012)

2.1.4.2 Fisiologi Paru

Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada

selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat

kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui, dinding

toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume

toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat

akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus

mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan

interkostalis eksternus mengangkat iga-iga (Price 2005 dalam

Sara 2020).

Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan

pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu


13

otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan

lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks,

menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume

toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan

intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir

menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru

sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada

akhir ekspirasi (Price, 2006 dalam Sara 2020).

Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses

difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis

(tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk

pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan

fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada

permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen

diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan

mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan

tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara

inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic

saluran udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan

karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah

menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.

Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir (Price,

2005 dalam Sara 2020).


14

Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan

keseimbangan oksigen di kapiler darah paru-paru dan alveolus

berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama

0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal

memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit

misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat

sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu

berolahraga dimana waktu kontak total berkurang. Jadi, blok

difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak

diakui sebagai faktor utama (Rab, 2016).

Gambar 2.2

Bagian- Bagian Pada Paru-Paru Manusia (Sumber: Mertaniasih,

2019)
15

2.1.5 Patofisiologi TB Paru

Seorang penderita tuberkulosis ketika bersin atau batuk

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).

Bakteri kemudian menyebar melalui jalan nafas ke alveoli, di mana pada

daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran

basil ini dapat juga melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian

tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri) dan area lain dari paru-paru

(Soemantri, 2015). Pada saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang

biak dengan cara membelah diri di paru, terjadilah infeksi yang

mengakibatkan peradangan pada paru, dan ini disebut kompleks primer.

Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer

adalah 4-6 minggu. Setelah terjadi peradangan pada paru,

mengakibatkan terjadinya penurunan jaringan efektif paru, peningkatan

jumlah secret, dan menurunnya suplai oksigen (Yulianti & dkk, 2014).

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon

imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan

limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Tipe imunitas

seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di

tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai

reaksi hipersensitivitas (lambat). Nekrosis bagian sentral lesi

memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi nekrosis

ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa

dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan
16

fibroblast, menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi

lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk

suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Gohn dan gabungan

terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan

kompleks Gohn respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis

adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan

menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding

kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkhial. Proses ini

dapat akan terulang kembali ke bagian lain dari paru-paru, atau basil

dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang

kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan

jaringan parut bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit

dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga

bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat

mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan

bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas

keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau

membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat

peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh

darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai

aliran darah dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai
17

organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran

limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen

merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan

tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh

darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskular dan

tersebar ke organ-organ tubuh (Soemantri, 2015).


19

2.1.6 Manifestasi Klinis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur darah, batuk darah,sesak nafas, badan lemas, nafsu

makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari

tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes,

2015).

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-

macam atau malah banyak pasien ditemukan Tb paru tanpa keluhan

sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala tambahan yang sering

dijumpai (Asril, 2014) :

a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang

kadang dapat mencapai 40-41°C. Keluhab ini sangat dipengaruhi

berat atau ringannnya infeksi kuman yang masuk. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul

kembali. Begitulah seterusnya sehingga pasien merasa tidak pernah

terbebas dari demam influenza ini.

b. Batuk/Batuk Darah

Terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk

membuang produk-produk radang keluar (Bahar,2015). Keterlibatan

bronkus pada tiap penyakit tidaklah sama, maka mungkin saja batuk

baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni


20

setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.

Keadaan yang berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah

yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada

kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

c. Sesak Napas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak

napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,

yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

d. Nyeri Dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan

napasnya.

e. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise

sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan

makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,

dan keringat pada malam hari tanpa aktivitas. Gejala malaise ini

makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak

teratur.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Batuk yang lebih dari 2 minggu setelah dicurigai berkontak

dengan pasien tuberkulosis dapat diduga sebagai tuberkulosis


21

(Manurung, 2008:108). Untuk menegakkan diagnosa maka pemeriksaan

sering dilakukan pada klien adalah:

a. Pemeriksaan radiologis

foto rotgen thoraks Pada pemeriksaan rotgen thoraks, sering

didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala

subyektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan

pada paru seperti:

 Apabila lesi terdapat terutama dilapangan diatas paru

 Bayangan berwarna h itam atau bercak

 Lesi pada tuberkulosis yang meluas maka akan terjadi

perkijauan, yang apabila dibatukkan akan menimbulkan kavitas

tunggal atau multiple

 Terdapat klasifikasi

 Apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas

paru

 Bayangan abnormal yang menetap pada foto thoraks setelah foto

ulang beberapa minggu kemudian

b. Pemeriksaan Laboratorium

 Darah

Pada Tb paru aktif biasanya ditemukkan peningkatan

leukosit dan laju endap darah (LED).

 Sputum BTA
22

Pemeriksaan bakteorologik dilakukan untuk menemukkan

kuman tuberkulosis. Diagnosa pasti ditegakkan bila pada

biakan ditemukkan kuman tuberkulosis. Pemeriksaan

penting untuk diagnosa definitive dan menilai kemajuan

klien. Dilakukan tiga kali berturut-turut dan biakan/kultur

BTA selama 4-8 minggu.

c. Test Tuberculin (Mantoux Test)

Biasanya diberikan suntikan PPD (Protein Perified Derivation)

secara intra cutan 0,1 cc. Lokasi penyuntikan pada ½ bagian atas

lengan bawah sebelah kiri bagian depan. Penilain test tuberkulosis

dilakukan 48-72 jam penyuntikan dengan mengukur diameter dari

pembengkakan (indurasi) yang terjadi pada lokasi suntikan. Indurasi

kemerahan dengan hasil sebagai berikut:

 Indurasi 0-5 mm: negative

 Indurasi 6-9 mm : meragukan

 Indurasi > 10 mm : positif

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi pada penderita tuberkulosis stadium lanjut (Depkes

RI, 2017):

a. Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau

tersumbatnya jalan nafas.

b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.


23

c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada

paru.

d. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan :

kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan

sebagainya.

f. insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency)

Pembesaran kelenjar servikalis yang superficial.

g. Pleuritis tuberculosa

h. Efusi pleura

2.1.9 Penatalaksanaan TB Paru

2.1.9.1 Penatalaksanaan Keperawatan (Smeltzer & Bare, 2013).

a. Pertahankan kapatenan jalan napas

b. Posisikan semi-fowler

c. Berikan minum hangat

d. Lakukan fisioterapi dada

e. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

f. Berikan oksigen

g. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,

2.1.9.2 Penatalaksaan non- keperawatan

a. Kunyit

b. Jahe
24

c. Teh hijau

d. Asam lemak omega

e. Vitamin D

f. Minyak eukaliptus

2.1.9.3 Panatalaksanaan medis

a. Jangka panjang

Tata cara pengobatan : setiap 2x seminggu, selama 13-18

bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan ditemukan

terapi. Terapi TB Paru dapat dilakukan dengan meminum

obat : I NH, Rivampicin, Etambutol. (Somantri, 2015).

b. Jangka pendek

Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka

waktu 1-3 bulan

2.2 KONSEP POSISI SEMI FOWLER

2.2.1 Pengertian Posisi Semi Fowler

Posisi Semi Fowler adalah memposisikan pasien dengan posisi

setengah duduk dengan menopang bagian kepala dan bahu

menggunakan bantal, bagian lutut ditekuk dan ditopang dengan bantal,

serta bantalan kaki harus mempertahankan kaki pada posisinya (Ruth,

2015).

Menurut Supadi (2018) bahwa posisi semi fowler membuat

oksigen dalam paru-paru semakin meningkat sehingga memperingan


25

kusukaran bernafas. Posisi ini akan mengurangi kerusakan membrane

alveolus akibat tertimbunnya cairan atau secret. Hal tersebut dipengaruhi

oleh gaya gravitasi sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak nafas

akan berkurang dan akhirnya perbaikan kondisi klien lebih cepat.

Metode yang paling sederhana dan efektif yang bisa dilakukan

untuk mengurangi resiko terjadinya penurunan pengembangan dinding

dada adalah dengan pengaturan posisi istirahat yang nyaman dan aman,

salah satunya yaitu posisi semi fowler dengan kemiringan 30-45 derajat.

2.2.2 Tujuan Posisi Semi Fowler

Pemberian posisi semi fowler dapat diberikan selama 25-30

menit. Adapun tujuan lain dari pemberian posisi semi fowler yaitu :

a. Untuk menurunkan konsumsi oksigen dan menurunkan sesak nafas

b. Meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga meningkatkan

ekspansi dada dan ventilasi paru

c. Mempertahankan kenyamanan posisi klien agar dapat mengurangi

resiko statis sekresi pulmonary

d. Untuk membantu mengatasi masalah kesulitan pernafasan dan

cardiovaskuler

e. Mengurangi tegangan intra abdomen dan otot abdomen

f. Memperlancar gerakan pernafasan pada pasien yang bedrest total

g. Pada ibu post partum akan memperbaiki drainase uterus

h. Menurunan pengembangan dinding dada (Marwah, 2014)


26

2.2.3 Manfaat posisi fowler

a. Memenuhi mobilisasi pada pasien

b. Membantu mempertahankan kestabilan pola nafas

c. Mempertahankan kenyamanan, terutama pada pasien yang

mengalami sesak nafas

d. Memudahkan perawatan dan pemeriksaan klien

2.2.4 Indikasi

Indikasi pemberian posisi semi fowler dilakukan pada :

a. Pasien yang mengalami kesulitan mengeluarkan sekresi atau cairan

pada saluran pernafasan

b. Pasien dengan tirah baring lama

c. Pasien yang memakai ventilator

d. Pasien yang mengalami sesak nafas

e. Pasien yang mengalami imobilisasi

2.2.5 Kontraindikasi

Pemberian posisi semi fowler tidak dianjurkan dilakukan pada

pasien dengan hipermobilitas, efusi sendi, dan inflamasi.

2.3 KONSEP MASALAH

2.3.1 Pengertian Bersihan Jalan Nafas tidak efektif


27

Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan

membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk mempertahankan

jalan nafas tetap paten (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

bersihan jalan nafas tidak efektif adalah suatu keadaan dimana

individu tidak mampu membersihkan sekresi atau obstruksi saluran

nafas untuk mempertahankan jalan nafas yang paten (Andarmoyo,

2012:81).

2.3.2 Pemeriksaan Fisis Dada dan Paru

Keluhan yang sering didapatkan menurut Hermayudi

(2017:178), pada penyakit paru dan saluran napas antara lain:

a. Batuk

Batuk merupakan suatu keadaan yang normal atau

abnormal. Dalam keadaan abnormal penyebab tersering adalah

infeksi virus umumnya bersifat akut dan self-limiting. Batuk

berfungsi untuk mengeluarkan sekret dan partikel-partikel pada

faring dan saluran napas. Batuk biasanya merupakan suatu refleks

sehingga bersifat involunter, namun dapat bersifat volunter.

Involunter merupakan gerakan refleks yang dicetuskan karena

adanya rangsangan pada reseptor sensorik mulai dari faring hingga

alveoli.

b. Berdahak (sputum)

Ada 4 jenis sputum yang mempunyai karakteristik berbeda:


28

 Serous memiliki karakteristik jernih dan encer pada edema

paru akut serta berbusa, kemerahan, pada alveolar cell

cancer

 Mukoid memiliki ciri berwarna jernih keabu-abuan, pada

bronkitis kronik dan putih kental, pada asma

 Purulen memiliki ciri berwarna kuning, pada pneumonia

dan kehijauan pada bronkiektasis pada abses paru

 Rusty (Blood-stained) berwarna kuning tua atau coklat

seperti warna karat, pada pneumococcal pneumonia dan

edema paru

c. Batuk berdarah

Batuk berdarah (Hemoptisis) terjadi karena adanya darah

yang dikeluarkan pada saatu batuk yang berasal dari saluran napas

bagian bawah. Batuk darah dapat bervariasi jumlahnya mulai dari

blood-straked sputum hingga batuk darah masif. Hemoptisis

dengan sputum purulen dapat terjadi pada bronkiektasis terinfeksi.

Batuk darah masif yang potensial fatal sering didapatkan pada

bronkiektasis, tuberkulosis dan kanker paru.

d. Nafas Berbunyi (Wheezing)

Wheezing adalah bunyi siulan yang bernada tinggi yang

terjadi akibat aliran udara yang melalui saluran napas yang sempit.

Pasien sering menggambarkan wheezing sebagai bunyi yang


29

mendesir akibat adanya sekret pada saluran napas atas. Adapun

pada pemeriksaan fisis terdapat adanya suara tambahan antar lain:

 Ronkhi basah (crackles atau rales): Suara napas yang terputus-

putus, bersifat non-musical, dan biasanya terdengar pada saat

inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam saluran

napas. Sifat ronkhi basah ini dapat bersifat nyaring (misal pada

pneumonia) ataupun tidak nyaring (pada edema paru).

 Ronkhi kering: Suara napas kontinu, yang bersifat musical,

dengan frekuensi yang relatif rendah, terjadi karena udara

mengalir melalui saluran napas yang menyempit, misalnya

akibat adanya sekret yang kental.

 Bunyi gesekan pleura (Pleura Friction Rub): Terjadi karena

pleural pariental dan viseral yang meradang saling bergesekan

satu dengan yang lainnya.

 Hipprocrates succusion: Suara cairan pada rongga dada yang

terdengar bila pasien digoyangkan. Biasanya didapatkan pada

pasien dengan hidropneumothoraks.

2.3.3 Penyebab

a. Fisiologis

 Spasme jalan nafas

 Hipersekresi jalan nafas

 Disfungsi neuromuskuler

 Benda asing dalam jalan nafas


30

 Adanya jalan nafas buatan

 Sekresi yang tertahan

 Hyperplasia dinding jalan nafas

 Proses infeksi

 Respon alergi

 Efek agen farmakologis (mis. Anastesi)

b. Situasional

 Merokok aktif

 Merokok pasif

 Terpajan polutan

2.3.4 Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif Objektif

(Tidak tersedia) 1. Batuk tidak efektif


2. Tidak mampu batuk
3. Sputum berlebih
4. Mengi, wheezing, dan atau ronchi kering
5. Mekonium di jalan nafas (pada neonates)

2.3.5 Gejala dan Tanda Minor

Subjektif Objektif

1. Dispnea 1. Gelisah
2. Sulit bicara 2. Sianosis
3. Ortopnea 3. Bunyi nafas menurun
4. Frekuensi nafas berubah
31

5. Pola nafas berubah

2.3.6 Mekanisme Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif

Mekanisme bersihan jalan nafas tidak efektif Kuman TBC masuk

ke dalam tubuh melalui udara pernafasan (droplet infeksion). Bakteri

masuk melewati jalan nafas dan berkumpul/ menempel pada paru-paru.

Bakteri Mycobacterium menginfeksi paru-paru sehingga

mengakibatkan terjadinya proses peradangan. Saat Mycobacterium

tuberculosis sudah menginfeksi daerah paru-paru selanjutnya basil TBC

dapat tumbuh dan berkembang di sitoplasma makrofag. Setelah infeksi

akan terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi penyebaran basil

TBC dengan cara menginaktifasi basil TBC dalam makrofag dan

selanjutnya membentuk sarang primer/afek primer (fokus ghon).

Fokus ghon bersama-sama dengan saluran limfe (limfangitis) dan

kelenjar limfe regional (limfadenitis regional) disebut dengan kompleks

ghon. Selanjutnya dapat menyebar ke organ lain (paru lain, saluran

pencernaan, tulang) melalui media (bronhogen, percontinuitum,

hematogen, limfogen). Apabila 15 pertahanan primer tidak adekuat

maka kuman akan bersarang di paru-paru dengan membentuk turbekel

(biji-biji kecil sebesar kepala jarum) dan membentuk suatu ruang di

daerah paru-paru, ruang yang terbentuk inilah yang akan menjadi

sumber utama produksi sputum. Sistem di dalam tubuh akan berespon

melalaui proses inflamasi atau peradangan sehingga akan terjadi

penumpukan eksudat. Tumpukan eksudat akan tertahan dan susah untuk


32

dikeluarkan dalam bentuk sputum yang mengakibatkan bersihan jalan

nafas tidak efektif (Nurarif & Kusuma, 2013).

Sesak nafas timbul pada tahap lanjut ketika inflitrasi radang

sampai setengah paru-paru (Somantri, 2012). Sesak nafas merupakam

gejala yang nyata terhadap gangguan pada trakeobronkial, parenkim

paru, dan rongga pleural. Sesak nafas terjadi karena terdapat

peningkatan pernafasan akibat meningkatnya 19 resistensi elastik paru-

paru, dinding dada, atau meningkatnya resistensi nonelastisitas

(Muttaqin, 2014).

2.4 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Menurut Wherdhani, (2015) dasar data pengkajian pasien tergantung

pada tahap penyakit dan derajat yang terkena. Pada pasien dengan tuberkulosis

paru pengkajian pasien meliputi:

2.4.1 Pengkajian

Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan TB paru

(Irman Somantri, 2015):

a. Data Pasien

Penyakit TB paru dapat menyerang manusia mulai dari usia anak

sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara laki

laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada

pasien yang tinggal didaerah dengan tingkat kepadatan tinggi

sehingga masuknya cahaya matahari kedalam rumah sangat minim.

TB paru pada anak dapat terjadi pada usia berapapun, namun usia
33

paling umum adalah antara 1-4 tahun. Anak-anak lebih sering

mengalami TB diluar paru-paru (extrapulmonary) dibanding TB paru

dengan perbandingan 3:1. TB diluar paru-paru adalah TB berat yang

terutama ditemukan pada usia<3 tahun. angka kejadian (prevalensi)

TB paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat

setelah usia remaja dimana TB paru menyerupai kasus pada pasien

dewasa (sering disertai lubang / kavitas pada paru-paru).

b. Riwayat Kesehatan

keluhan yang sering muncul antara lain:

1. demam: subfebris, (febris 40°C - 41°C) hilang timbul

2. Batuk

terjadi karena adanya iritasi pada bronkus batuk ini terjadi untuk

membuang/mengeluarkan produksi radang yang dimulai dari

batuk kering sampai dengan atuk purulent (menghasilkan

sputum).

3. Sesak nafas

bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru-

paru.

4. Keringat malam. Nyeri dada

jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang sampai

ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

5. Malaise
34

ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat badan

menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam.

6. Sianosis, sesak nafas, kolaps

merupakan gejala atelektasis. Bagian dada pasien tidak bergerak

pada saat bernafas dan jantung

7. terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi yang sakit

nampak bayangan hitam dan diagfragma menonjol keatas.

8. Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya ini

muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan tetapi merupakan

penyakit infeksi menular.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

1. Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh

2. Pernah berobat tetapi tidak sembuh

3. Pernah berobat tetapi tidak teratur

4. Riwayat kontak dengan penderita TB paru

5. Daya tahan tubuh yang menurun

6. Riwayat vaksinasi yang tidak teratur

7. Riwayat putus OAT

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Keluarga Biasanya pada keluarga pasien ditemukan ada yang

menderita TB paru.Biasanya ada keluarga yang menderita penyakit

keturunan seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung dan lainnya.

e. Riwayat Sosial Ekonomi


35

Riwayat pekerjaan: Jenis pekerjaan, waktu, dan tempat bekerja,

jumlah penghasilan.

f. Aspek Psikososial

Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikasi dengan bebas,

menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang mampu, masalah

berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu

yang lama dan biaya yang banyak, masalah tentang masa

depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.

g. Faktor Pendukung:

1. Riwayat lingkungan

2. Pola hidup: nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola

istirahat dan tidur, kebersihan diri.

3. Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang

penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.

h. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: biasanya KU sedang atau buruk

TD : Normal ( kadang rendah karena kurang istirahat)

Nadi : Pada umumnya nadi pasien meningkat

Pernafasan : biasanya nafas pasien meningkat (normal : 16- 20x/i)

Suhu : Biasanya kenaikan suhu ringan pada malam hari. Suhu

mungkin tinggi atau tidak teratur. Seiring kali tidak ada demam

1. Kepala
36

Inspeksi : Biasanya wajah tampak pucat, wajah tampak meringis,

konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik, hidung tidak sianosis,

mukosa bibir kering, biasanya adanya pergeseran trakea.

2. Thorak

Inpeksi : Kadang terlihat retraksi interkosta dan tarikan dinding

dada, biasanya pasien kesulitan saat inspirasi

Palpasi : Fremitus paru yang terinfeksi biasanya lemah

Perkusi : Biasanya saatdiperkusi terdapat suara pekak

Auskultasi : Biasanya terdapat bronki

3. Abdomen

Inspeksi : biasanya tampak simetris

Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar

Perkusi : biasanya terdapat suara tympani

Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar

4. Ekremitas atas

Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat, tidak

ada edema

5. Ekremitas bawah

Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat, tidak

ada edema

i. Pemeriksaan Diagnostik

1. Kultur sputum: Mikobakterium TB positif pada tahap akhir

penyakit.
37

2. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15

mm terjadi 48-72 jam).

3. Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas; pada tahap

dini tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas

tidak jelas; pada kavitas bayangan, berupa cincin; pada

klasifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan densitas

tinggi.

4. Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atatu kerusakan

paru karena TB paru.

5. Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).

6. Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital

menurun.

j. Pola Kebiasaan Sehari-hari

1. Aktivitas / istirahat

Gejala :

Kelelahan umum dan kelemahan, nafas pendek karena kerja,

kesulitan tidur pada malam atau demam pada malam hari,

menggigil dan/atau berkeringat.

Tanda:

Takikardi, takipnea/dispnea pada saat kerja , kelelahan otot,nyeri,

sesak (tahap lanjut).

2. Integritas Ego

Gejala:
38

Adanya faktor stres lama, masalah keuangan, perasaan

tidakberdaya/putus asa.

Tanda:

Menyangkal (khususnya pada tahap dini), ansietas,

ketakutan,mudah terangsang.

3. Makanan dan cairan

Gejala:

Kehilangan nafsu makan, tidak dapat mencerna, penurunanberat

badan.

Tanda:

Turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik, kehilangan

otot/hilanglemak subkutan.

4. Nyeri dan kenyamanan

Gejala :

Nyeri dada meningkat karena batuk berulang

Tanda:

Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah

5. Pernafasan

Gejala:

Batuk, produktif atau tidak produktif , nafas pendek, riwayat

tuberkulosis/terpajan pada individu terinfeksi.

Tanda:
39

Peningkatan frekuensi pernafasan Penyakit luas atau

fibrosisparenkim paru dan pleura). Pengembangan pernafasan tak

simetris (efusi pleural). Perkusi pekak dan penurunan fremitus

(cairan pleural atau penebalan pleural). Bunyi nafas menurun

atau tak ada secara bilateral atau unilateral (efusi pleural/

pneumotorak). Bunyi nafas tubuler dan atau bisikan pektoral di

atas lesi luas. Krekel tercatat diatas apek pru selama inspirasi

cepat setelah batuk pendek (krekels pasttussic).

6. Keamanan

Gejala :

Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker, tes HIV

positif.

Tanda : Demam rendah atau sakit panas akut.

7. Interaksi Sosial

Gejala :

Perasaan terisolasi/ penolakan karena penyakit menular,

perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan

kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.

Tanda: tampak sendiri

8. Penyuluhan

Gejala :

Riwayat keluarga TB, ketidakmampuan umum/ status kesehatan

buruk, gagal untuk membaik/ kambuhnya TB, tidak berpartisipasi


40

dalam terapi. Rencana Pemulangan : Memerlukan bantuan dengan/

gangguan dalam terapi obat dan bantuan perawatan diri dan

pemeliharaan/ perawatan rumah.

2.4.2 Diagnosa Keperawatan Yang Muncul

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis

mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan yang dialami baik

secara aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk

dapat mengidentifikasi berbagai respon klien baik individu, keluarga dan

komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI,

2016). Diagnosa yang sering muncul pada pasien TB paru dengan

gangguan sistem respirasi yaitu bersihan jalan napas tidak efektif dan

gangguan pertukaran gas (Amin H, dkk 2015).

Diagnosa keperawatan yang di fokuskan pada masalah ini yaitu

bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang

tertahan. Dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia bersihan

jalan napas tidak efektif termasuk kedalam kategori fisiologis dengan

sub kategori respirasi (PPNI, 2016).

Secara teoritis diagnosa keperawatan yang dapat muncul dengan

klien TB:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat

pernapasan, hambatan upaya nafas, deformitas dinding dada,

deformitas tulang dada, gangguan neurofaskular, gangguan

neurologis, imaturitas neurologis, penurunan energi, obesitas, posisi


41

tubuh yang menghambat ekspansi paru, sindrom hipoventilasi,

kerusakan inervasi diafragma, cedera pada medula spinal, efek agen

farmakologis, kecemasan dibuktikan dengan mengunaaan otot bantu

pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola nafas abnormal.

b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan

nafas, hipersekresi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler, benda asing

dalam jalan nafas, adanya jalan nafas buatan,sekresi yang tertahan,

hiperplasia dinding jalan nafas, proses infeksi, respon alergi, efek

agen farmakologis dbuktikan dengan batuk tidak efektif atau tidak

mampu batuk, sputum berlebihan/ obstruksi di jalan nafas/

mekonium di jalan nafas, mengi, wheezing dan ronkhi.

c. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurang asupan makanan,

ketidakmampuan menelan makan, ketidakmampuan mencerna

makan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, peningkatan

kebutuhan metabolisme, faktor ekonomi, faktor psikologis

dibuktikan dengan berat badan menurun minimal 10% dibawa

rentang ideal.

d. Hipertermia berhubungan dengan dehidrasi, terpapar lingkungan

panas, proses penyakit, (mis:infeksi, kanker), ketidak sesuaian

pakaian dengan suhu lingkungan, peningkatan laju metabolisme,

respon trauma, aktivitas berlebihan, penggunaan inkubator

dibuktikan dengan suhu tubuh diatas nilai normal.


42

e. Gangguan pertukaran gas berubungan dengan ketidak seimbangan

ventilasi perfusi, perubahan membran alveolus-kapilern dibuktikan

dengan dispnea PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardi,

pH arteri meningkat/menurun, bunyi nafs tambahan.


2.4.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan perawatan Manajemen Jalan Nafas:

Penyebab: depresi pusat selama 3 jam diharapkan pola Observasi:

pernapasan, hambatan nafas membaik dengan kriteria  Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha

upaya nafas, deformitas hasil: nafas)

dinding dada, penurunan a. Tekanan ekspirasi dan  Monitor bunyi nafas tambahan(gurgling, mengi,

energi, obesitas, posisi inspirasi cukup meningkat wheezing, ronchi kering)

tubuh yang menghambat b. Dispnea cukup menurun  Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

ekspansi paru. c. Penggunaan otot bantu nafas Terapeutik:

Gejala dan tanda mayor: cukup menurun  Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head tilt
Subjektif: d. Pernafasan cuping hidung dan chin lift (jaw trust jika curiga trauma servikal)
- Dispnea cukup menurun  Posisikan semi fowler atau fowler

43
Objektif: e. Frekuensi nafas dan  Berikan minum hangat

- Penggunaan otot bantu kedalaman nafas cukup  Lakukan fisioterapi dada jika perlu

pernafasan membaik  Lakukan pengisapan lender >15 detik


- Fase ekspirasi
 Berikan oksigen jika perlu
memanjang
Edukasi:
- Pola nafas abnormal
 Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
(mis. Takipnea,
kontraindikasi
bradipnea, kusmaul,
 Ajarkan teknik batuk efektif
cheyne-stokes)
Kolaborasi:
Gejala dan tanda minor
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
Subjektif:
mukolitik, jika perlu
- Ortopnea

Objektif:

- Pernafasan pursed-lip

44
- Pernafasan cuping

hidung

- Diameter thorax

anterior-posterior

meningkat

- Ventilasi semenit

menurun

- Kapasitas vital menurun

- Tekanan ekspirasi

menurun

- Tekanan inspirasi

menurun

- Ekskursi dada berubah

45
2. Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan perawatan Latihan Batuk Efektif

efektif selama 2 jam diharapkan Observasi:

Penyebab: spasme jalan bersihan jalan nafas meningkat  Identifikasi kemampuan batuk

nafas, hipersekresi jalan dengan kriteria hasil:  Monitor adanya retensi sputum

nafas, disfungsi a. Batuk efektif cukup  Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
neuromuskuler, sekresi membaik
 Monitor input dan output cairan (jumlah dan
yang tertahan, proses b. Produksi sputum cukup
karakteristik)
infeksi. membaik
Terapeutik:
Gejala dan Tanda Mayor c. Mengi, wheezing, dispnea
 Atur posisi semi fowler atau fowler
Subjektif : (tidak tersedia) cukup membaik
 Pasang perlak dan bengkok dipangkuan pasien
Objektif : d. Sianosis dan gelisah cukup
 Buang sekret pada tempat sputum
- Batuk tidak efektif membaik
Edukasi:
- Tidak mampu batuk e. Frekuensi nadas dan pola

46
- Sputum berlebih nafas cukup membaik  Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif

- Mengi,wheezing, ronkhi  Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama

- Mekonium dijalan nafas 4 detik, ditahan 2 detik, kemudian keluarkan dari

(neonatus) mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8

Gejala dan tanda Minor detik

Subjektif:  Anjurkan mengulangi tarik nafas hingga 3 kali

- Dispnea  Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik


- Sulit bicara nafas dalam yang ke-3
- Ortopnea Kolaborasi:
Objektif:
 Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
- Gelisah
jika perlu
- Sianosis
Manajemen Jalan Nafas
- Bunyi nafas menurun
Observasi:
- Frekuensi nafas berubah
 Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha

47
- Pola nafas berubah nafas)

 Monitor bunyi nafas tambahan(gurgling, mengi,

wheezing, ronchi kering)

 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik:

 Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head tilt

dan chin lift (jaw trust jika curiga trauma servikal)

 Posisikan semi fowler atau fowler

 Berikan minum hangat

 Lakukan fisioterapi dada jika perlu

 Lakukan pengisapan lender >15 detik

 Berikan oksigen jika perlu

Edukasi:

 Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak

48
kontraindikasi

 Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi:

 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,

mukolitik, jika perlu

3. Defisit nutrisi Setelah dilakukan perawatan Manajemen Nutrisi

Penyebab: kurang asupan selama 3 hari diharapkan status Observasi:

makanan, ketidakmampuan nutrisi membaik dengan kriteria  Identifikasi status nutrisi

menelan makan, hasil:  Identifikasi alergi dan intoleransi makanan

ketidakmampuan mencerna a. Porsi akan yang dihabiskan  Identifikasi makanan yang disukai
makan, ketidakmampuan cukup meningkat
 Idntifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
mengabsorbsi nutrien, b. Kekuatan otot pengunyah
 Identifikasi perlunya penggunaan selang
peningkatan kebutuhan dan menelan cukup
nasogastrik
metabolisme, faktor meningkat

49
ekonomi, faktor psikologis c. Verbalisasi keinginan untuk  Monitor asupan makanan

dibuktikan dengan berat meningkatkan nutrisi cukup  Monitor berat badan

badan menurun minimal meningkat  Monitor hasil pemeriksaan laboratorium


10% dibawa rentang ideal. d. Perasaan cepat kenyang dan Terapeutik:
Gejala dan Tanda Mayor diare cukup menurun
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
Subjektif: (Tidak tersedia) e. Berat badan cukup membaik
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (piramida
Objektif: f. IMT cukup membaik
makanan)
- Berat badan menurun g. Nafsu makan dan frekuensi
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
minimal 10% dibawah akan cukup membaik
sesuai
rentang ideal h. Bising usus dan membran
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
Gejala dan Tanda Minor mukosa cukup membaik
konstipasi
Subjektif:
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
- Cepat kenyang setelah
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
makan
 Hentikan pemberian makan melalui selang

50
- Kram/nyeri abdomen nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi

- Nafsu makan menurun Edukasi:

Objektif:  Anjurkan posisi duduk, jika perlu

- Bising usus hiperaktif  Ajarkan diet yang diprogramkan

- Otot pengunyah lemah Kolaborasi:

- Otot menelan lemah  Pemberian medikasi sebelum makan (pereda nyeri,


- Membran mukosa pucat antiemetik), jika perlu
- Sariawan  Dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
- Serum albumin turun dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
- Rambut rontok

berlebihan

- Diare

4. Hipertermia Setelah dilakukan perawatan Manajemen Hipertermia

Penyebab: dehidrasi, selama 3 hari diharapkan Observasi:

51
terpapar lingkungan panas, termogulasi membaik dengan  Identifikasi penyebab hipertermia ( dehidrasi,

proses penyakit, kriteria hasil : terpapar lingkungan panas, penggunaan inkubator)

(mis:infeksi, kanker), a. Menggigil dan kejang cukup  Monitor suhu tubuh

ketidak sesuaian pakaian menurun  Monitor kadar elektrolit

dengan suhu lingkungan, b. Pucat dan hipoksia cukup  Monitor haluaran urin
peningkatan laju menurun
 Monitor komplikasi akibat hipertermia
metabolisme, respon c. Takikardia, takipnea, dan
Terapeutik:
trauma, aktivitas bradikardi cukup menurun
 Sediakan lingkungan yang dingin
berlebihan. d. Suhu tubuh, suhu kulit
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
Gejala dan tanda Mayor cukup membaik
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
Subjektif: (Tidak tersedia) e. Kadar glukosa darah dan
 Berikan cairan oral
Objektif: tekanan darah cukup
 Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika
- Suhu tubuh diatas nilai membaik
mengalami hiperhidrosis (keringat berlebih)
normal
 Lakukan pendingina eksternal (selimut hipotermia

52
atau kompres dingin pada dahi, leher, dada,

Gejala dan Tanda Minor abdomen dan aksila)

Subjektif: (Tidak tersedia)  Hindari pemberian antipiretik atau aspirin

Objektif:  Berikan oksigen, jika perlu


- Kulit merah Edukasi:
- Kejang
 Anjurkan tirah baring
- Takikardi
Kolaborasi:
- Takipne
 Pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika
- Kulit terasa hangat
perlu

5. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan perawatan Pemantauan Respirasi

Penyebab: ketidak selama 3 hari diharapkan Observasi:

seimbangan ventilasi pertukaran gas meningkat  Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya

perfusi, perubahan dengan kriteria hasil: nafas

membran alveolus-kapilern a. Tingkat kesadaran cukup  Monitor pola nafas (bradipnea, takipnea,

53
dibuktikan dengan dispnea meningkat hiperventilasi, kusmaul, cheyne-stokes, biot,

PCO2 meningkat/menurun, b. Dispnea dan bunyi nafas ataksir)

PO2 menurun, takikardi, tambahan cukup menurun  Monitor kemampuan batuk efektif

pH arteri c. Gelisah dan nafas cuping  Monitor adanya produksi sputum

meningkat/menurun, bunyi hidung cukup menurun  Monitor adanya sumbatan jalan nafas
nafs tambahan. d. PCO2dan PO2 cukup
 Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
Gejala dan Tanda Mayor membaik
 Auskultasi bunyi nafas
Subjektif: e. Pola nafas cukup membaik
 Monitor saturasi oksigen
- Dispnea
 Monitor nilai AGD
Objektif:
 Monitor hasil x-ray thoraks
- PCO2
Terapeutik:
meningkat/menurun
 Atur interval pemantauan respirasi sesuia kondisi
- PO2 Menurun
pasien
- Takikardia

54
- PH arteri  Dokumentasikan hasil pemantauan

meningkat/menurun Edukasi:

- Bunyi nafas tambahan  Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

Gejala dan Tanda Minor  Informasikan hasil pemantauan, jika perlu


Subjektif:

- Pusing

- Penglihatan kabur

Objektif:

- Sianosis

- Diaforesis

- Gelisah

- Nafas cuping hidung

- Pola nafas abnormal

- Kesadaran menurun

55
56

2.4.4 Implementasi

Implementasi adalah perencanaan dari rencana intervensi untuk

mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi ini dimulai setelah

rencana intervensi disusun dan ditujukan kepada nursing orders yang

digunakan untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan

(Nursalam, 2016). Oleh karena itu, rencana intervensi yang spesifik

dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap masalah kesehatan klien.

Menurut Doengoes (2014), implementasi adalah tindakan

pemberian keperawatan yang dilakasanakan untuk membantu mencapai

tujuan pada rencana tindakan keperawatan yang sebelumnya telah

disusun. Setiap tindakan keperawatan yang dilaksanakan dicatat dalam

catatan keperawatan, yaitu cara pendekatan pada klien efektif, teknik

komunikasi terapeutik, serta penjelasan untuk setiap tindakan yang

diberikan kepada pasien.

2.4.5 Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian terakhir dari proses keperawatan yang

merupakan perbandingan dan sistematik dan terencana antara hasil akhir

yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu (Nursalam, 2016).

Perumusan evaluasi formatif meliputi empat komponen yang disebut

dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan klien),


57

objektif (data hasil pemeriksaan), analisa data (pembandingan data

dengan teori), planning (perencanaan).

Jenis evaluasi yang digunakan adalah evaluasi berjalan dengan

menggunakan format SOAP yaitu:

S : Data subyektif Berisi perkembangan keadaan yang didasarkan pada

apa yang dirasakan, dikeluhkan dan dikemukakan.

O : Data Obyektif Berisi perkembangan keadaan yang bisa diamati dan

diukur oleh perawat atau petugas kesehatan lainnya.

A : Analisis Penelitian dari kedua jenis data (subyektif maupun obyektif)

apakah perkembangan ke arah perbaikan atau kemunduran.

P : Perencanaan Rencana penanganan pasien yang didasarkan pada hasil

anilisis diatas yang terdiri dari melanjutkan perencanaan sebelumnya

apabila masalah belum teratasi

Anda mungkin juga menyukai