MODUL SESI 7
PERAN SERTA INDONESIA DALAM GLOBALISASI PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
DISUSUN OLEH
IKRAMINA LARASATI HAZRATI HAVIDZ, SH., MBA., Ph.D
Indonesia sebagai salah satu Negara yang ikut serta dalam pertemuan
double wto, tidak terlepas dari rangkaian kebijaksanaan di sector perdagangan.
Persetujuan – persetujuan hasil putaran Uruguay yang disepakati di Marrakech
(Morocco) thun 1994, telah mengikat Indonesia untuk mematuhi segala kaidah –
kaidah yang di sepakati dalam persetujuan tersebut, termasuk melakukan
perubahan, baik terhadap instrument hokum maupun kebijaksanaan pembangunan
di bidang perdagangan.
Sebagai salah satu dari sejumlah Negara yang menjadi “original member”
dari World Trade Organization (WTO) Indonesia telah menerima hasil putaran
Uruguay dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994, tentang
persetujuan berdirinya WTO. Keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pembangunan ekonomi khususnya didalam sektor-sektor
industry, pertanian dan perdagangan. Undang-undang ini sangat mendukung upaya
Indonesia dalam mengembangkan perdagangan luar negeri, khusunya ekspor non
migas yang merupakan pendukung utama pembangunan perekonomian nasional.
Melalui keanggotaannya di WTO, Indonesia berharap dapat berperan dalam
mendorong perwujudan tatanan baru di bidang perdagangan internasional.
c. Pasar bebas tidak mampu memihak kepada bekas kaum Inlander (kaum
terjajah) yang jauh di bawah martabat kaum Eropa dan Timur Asing.
d. Pasar bebas menutup hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa
daya beli akan menjadi penonton belaka, berada di luar pagar pagar
transaksi ekonomi
Oleh karena itu, apabila usulan negara-negara industri diterima oleh negara-
negara dunia ketiga yang umumnya sebagai negara berkembang. maka mereka
akan kehilangan sebagian besar dari hak mereka untuk mengatur ekonomi,
lingkungan, kesehatan dan kebudayaan mereka. Hak ini akan beralih kepada
perusahaan-perusahan yang diberi berbagai kebebasan dari campur tangan dan
intervensi negara di Negara Dunia Ketiga.
Sehubungan dengan pendapat di atas, agar tata ekonomi dunia seperti itu
dapat terwujud, seharusnya negara-negara utara (negara negara industri)
mengakui bahwa mereka memiliki utang historis yang besar terhadap selatan
(dunia ketiga) karena selama berabad-abad mereka melakukan eksploitasi baik
Kebijaksanaan WTO itu ternyata tidak saja mendapat kecaman dari negara-
negara berkembang, akan tetapi juga mendapat protes keras dari Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan orgaisasi buruh di negara maju, baik di
Amerika Serikat maupun di Inggris. Di Seattle, Amerika Serikat, ketika Sidang
WTO diselenggarakan dari tanggal 30 November hingga 3 Desember 1999,
sekitar 30.000 orang dari LSM dan organisasi buruh melakukan demonstrasi
turun ke jalan memprotes sidang WTO. Paral pemprotes beranggapan bahwa
perdagangan bebas hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar dengan
mengorbankan lapangan kerja dan lingkungan hidup. (WTO Bersidang
Demonstran Beraksi, Kompas, 3 Desember 1999).
Salah satu dampak yang dirasakan oleh Indonesia, ialah dalam bidang
pangan/produk pertanian. Setiap tahun produk-produk pertanian dan pangan
Indonesia selalu dihambat masuk pasar Amerika Serikat melalui instansi Food
and Drug Administration (FDA). Selama tahun 1999 sebanyak 1.300 kasus
produk Indonesia yang ditolak dan ditahan (automatic detention) oleh FDA,
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id
10 / 20
dengan alasan tidak memenuhi persyaratan standar mutu. Tahun 1998 sebanyak
550 kasus dan 1997 sebanyak 450 kasus. Penolakan FDA terhadap masuknya
produk-produk pertanian Indonesia, telah mengakibatkan Indonesia menderita
kerugian sampai 100-an juta dolar AS Selain itu. Amerika Serikat balikan akan
mengancam untuk menghentikan CPO (crude palm oit) dari Indonesia, karena
tidak memenuhi aturan standar baru mengenai kadar minyak dan lemak dalam
makanan. FDA impor mewajibkan kepada Indonesia agar mencantumkan label
(food labelling). yakni label asam lemak jenuh (trans patty acid) bagi setiap
kemasan pangan berbahan minyak tropis (kelapa sawit dan inti sawit), padahal
minyak sawit tidak mengandung trans fat. Kebijaksanaan tersebut sebenarnya
adalah upaya proteksi dagang Amerika Serikat untuk melindungi American
Soybean Association (ASA) selaku produsen minyak kedelai yang dihasilkan
melalui rekayasa genetika (genetically modified organism).
Bali, antara lain perajin perak dan kulit buaya (crocodile). Menurut mereka
justru orang-orang asinglah yang meniru dan menjiplak hasil karya mereka, hal
ini sangat merugikan pengrajin Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang memiliki sumber daya
alam yang melimpah, diharapkan mampu bersaing secara bebas dengan negara-
negara anggota AFTA lainnya. Namun dalam perkembangannya ternyata
produk komoditas Indonesia belum mampu bersaing dengan negara anggota
AFTA lainnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini karena
kondisi ekonominya Indonesia masih lemah, demikian juga dengan tingkat
pembangunan industrialisasi yang relatif cenderung masih rendah. Selain itu,
Indonesia masih cenderung menerima produk-produk impor, atau sebagai
tempat pemasaran produk-produk dari negara-negara anggota AFTA lainnya
tanpa mampu bersaing dengan produk negara tersebut. Keadaan ini akan
mengakibatkan industri-industri dalam negeri mengalami kemunduran karena
tidak memiliki modal yang cukup untuk bersaing dengan industri dari negara
anggota lainnya, baik dari segi jumlah produksi maupun pemasaran produk.
Sebagai suatu negara yang tingkat pertumbuhan industrinya masih dalam masa
perkembangan, Indonesia masih menjalankan kebijakan proteksi yang cukup
tinggi terhadap barang-barang impor untuk melindungi industri dalam negeri.
Perbedaan kebijakan pengenaan bea cukai tersebut mencerminkan perbedaan
daya saing komoditas-komoditas yang dihasilkan oleh masing-masing negara.
Demikian pula dengan tingkat efisiensi produksi negara-negara anggota AFTA
yang lebih maju, umumnya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia,
sehingga negara negara tersebut mampu menerapkan bea masuk yang sangat
rendah yang memberikan dampak positif bagi perdagangannya. Sementara
Indonesia belum berani menerapkan kebijakan tarif yang rendah, hal ini tentu
Dalam situasi kebijakan pengenaan bea masuk yang masih sangat bervariasi
tersebut, penerapan konsep kawasan perdagangan bebas akan menimbulkan
dampak yang berbeda-beda. Negara-negara yang telah mampu menerapkan
kebijakan bea masuk yang cukup rendah, diperkirakan akan dapat menarik
keuntungan besar dalam bentuk peningkatan volume ekspornya ke negara-
negara anggota AFTA. Sebaliknya untuk Indonesia, negara yang masih rendah
peningkatan volume ekspornya, tentu tidak banyak mendapat keuntungan dalam
bentuk perdagangan bebas, karena industri-industri Indonesia belum mampu
bersaing dengan industri industri negara anggota lainnya.
Impor Indonesia pada 2019 mencapai USD171.275,7 juta, yang terdiri dari
impor migas USD21.885,3 juta dan nomigas USD149.390,4 juta. Jika dibanding
2018, nilai impor turun 9,24 persen dipicu oleh turunnya impor migas 26,73
persen (USD7.983,5 juta) dan nonmigas 5,95 persen (USD9.452,1 juta).
Demikian halnya dengan ekspor Indonesia mengalami penurunan 6,95 persen
Tingginya peningkatan nilai impor yang tidak diimbangi oleh meningkatnya nilai
ekspor menyebabkan défisit neraca perdagangan pada 2019 sebesar USD3.778,7
juta. Apabila dilihat lebih lanjut, defisit neraca perdagangan Indonesia 2019 dipicu
oleh defisit neraca perdagangan sektor migas sebesar USD9.380,5 juta walaupun
neraca perdagangan sektor nonmigas surplus USD5.601,8 juta. Sepuluh negara
mitra dagang utama Indonesia selama 2019 adalah Tiongkok, Jepang, Singapura,
Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Vietnam, Australia, dan
Taiwan.
Bagi pengusaha Indonesia yang sudah efisien, AFTA merupakan peluang bagi
kemajuan mereka, sedangkan bagi yang belum efisien sulit ntuk mampu bersaing.
Dampak nyata dialami oleh produsen Indonesia antuk komoditi yang masuk
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id
17 / 20
persetujuan CEPT (Common Effective Preferential Triff Agreement) akan
berhadapan langsung dengan produsen ASEAN yang sudah siap bersaing,
sementara masih banyak produsen Indonesia yang selama ini masih
mengandalkan bantuan dan perlindungan pemerintah. Hal ini akan merupakan
ancaman bagi produsen Indonesia dalam menghadapi pasar bebas ASEAN.
Dengan demikian, pasar ASEAN hanya akan memberikan peluang usaha bagi
para produsen ASEAN yang sudah efisien dan mampu bersaing baik secara
regional maupun global.
Further Reading
The ASEAN Secretariat, 2020, “Asean Statistical Yearbook 2020”, Jakarta:
ASEAN Secretary
Badan Pusat Statistik Indonesia, 2019, “Statistik Perdagangan Luar Negeri
Indonesia Ekspor”, Jilid 1, Jakarta: BPS RI