Anda di halaman 1dari 20

MODUL HUKUM BISNIS KORPORASI

(EU 1010/KJ 101)

MODUL SESI 7
PERAN SERTA INDONESIA DALAM GLOBALISASI PERDAGANGAN
INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH
IKRAMINA LARASATI HAZRATI HAVIDZ, SH., MBA., Ph.D

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2021

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 20
A. PERAN SERTA INDONESIA DALAM MENGHADAPI
GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Liberalisasi perdagangan internasional atau yang lebih popular disebut pula
dengan perdagangan bebas, baik dalam tataran global (GATT-WTO) maupun
regional (AFTA-ACFTA-APEC) diharapkan dapat memperlancar arus barang,
jasa, maupun modal dari suatu Negara ke Negara lain, sehingga dapat
mempermudah setiap Negara untuk memeasarkan produknya ke Negara lain tanpa
hambatan. Perdagangan bebas yang sekarang menjadi kecenderungan masyarakat
internasioanl, baik di tingkat regional seperti AFTA, ACTFA, APEC dan MEA
(Masyarakat EKonomi ASEAN), maupun dalam tataran global seoerti
GATT/WTO, memang diharapkan akan memperlancar arus barang, jasa maupun
modal, sehingga pada tahap selanjutnya diharapkan adanya pertumbuhan ekonomi
yang semakin baik.

1. Pro Dan Kontra Perdagangan Bebas

Perundingan putaran Uruguay yang merupakan perundingan multilateral


bertujuan untuk menata kembali segala regulasi di bidang perdagangan
internasional, telah berlangsung sejak bulan September 1986 di kota punta del Este
(Uruguay) dan berakhir pada bulan april 1994 di kota Marrakesh
(Marocco),perundingan tersebut merupakan suatu upaya untuk memperkuat system
GATT dan mencegah semakin meningkatnya kecenderungan proteksionisme dari
Negara maju, hal ini dapat menimbulkan pro dan kontra dari Negara berkembang
terhadap globalisasi perdagangan internasional.

Indonesia sebagai salah satu Negara yang ikut serta dalam pertemuan
double wto, tidak terlepas dari rangkaian kebijaksanaan di sector perdagangan.
Persetujuan – persetujuan hasil putaran Uruguay yang disepakati di Marrakech
(Morocco) thun 1994, telah mengikat Indonesia untuk mematuhi segala kaidah –
kaidah yang di sepakati dalam persetujuan tersebut, termasuk melakukan
perubahan, baik terhadap instrument hokum maupun kebijaksanaan pembangunan
di bidang perdagangan.

Melihat perkembangan internal di dalam kehidupan bangsa menyongsong


abad ke-21 ini, pandangan perlu di arahkan pula untuk melihat kepada kondisi
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id
1 / 20
global. Saat ini Indonesia telah menandatangani WTO dan menjadi salah satu motor
pertemuan AFTA, ACFTA, APEC dan MEA yang pelaksanaannya akan di
warnaioleh ciri-ciri perdagangan bebas liberalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi
bukan saja memiliki ciri-ciri tersendiri, tetapi juga mempunyai tuntutan yang
berbeda di dalam mewujudkan kerjasama ekonomi melalui WTO. Salah satu adalah
kewajiban untuk mantaati aturan main yang telah disepakati bersama yang disebut
perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Apbila hal ini tidak ditaati, akan
dapat timbul masalah. Contoh yang sudah ada, adalah kasus Mobil Nasional
(Mobnas).

Sebagai salah satu dari sejumlah Negara yang menjadi “original member”
dari World Trade Organization (WTO) Indonesia telah menerima hasil putaran
Uruguay dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994, tentang
persetujuan berdirinya WTO. Keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pembangunan ekonomi khususnya didalam sektor-sektor
industry, pertanian dan perdagangan. Undang-undang ini sangat mendukung upaya
Indonesia dalam mengembangkan perdagangan luar negeri, khusunya ekspor non
migas yang merupakan pendukung utama pembangunan perekonomian nasional.
Melalui keanggotaannya di WTO, Indonesia berharap dapat berperan dalam
mendorong perwujudan tatanan baru di bidang perdagangan internasional.

Menurut H.S. Kartadjoemena, dengan melihat masalah dalam konteks yang


lebih fundamentallagi, dapat dikemukakan bahwa kepentingan dasar Indonesia
untuk turut serta secara aktif dalam perundingan Uruguay Round. Perundingan
tersebut tidak terlepas dari kepentingan Indonesia, Yakni sebagai berikut :

a. Pembangunan nasional secara menyeluruh merupakan tujuan utama


pemerintah Indonesia.
b. Di bidang ekonomi, tujuan pembangunan hanya dapat tercapai apabila
Indonesia dapat mencapai dan mempertahankan laju pertumbuhan yang
cukup tinggi, dengan tingkat inflasi yang terkendali, serta tetap
mempertahankan aspek pemerataan.
c. Dalam upaya untuk mencapai laju pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut,
sektor luar negeri telah memegang peranan penting. Hal ini akan tetap
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id
2 / 20
berlaku sampai tahun – tahun mendatang, karena pasar dalam negeri tingkat
pendapatan nasional per kapita yang relatif masih terlalu rendah, tidak dapat
menjadi motor pendorong laju pertumbuhan pendapatan nasionla yang
cukup tinggi.
d. Berbeda dengan tahun 1970 – an, ketika penghasilan dari sektor migas
menjadi andalan dari program pembangunan, dan sejak tahun 1980-an,
Indonesia memusatkan perhatian terutama pada sektor non-migas.
e. Agar ekspor non-migas dapat terus berkembang dengan pesat, maka
pemerintah telah mengambil serangkaian langkah deregulasi dan
debirokratisasi untuk meningkatkan efisiensi dalam perekonomian.
Program tersebut akan terus dilakukan, karena kepentingan nasional
menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan suatu hal yang
strategis dan sangat tepat untuk mencapai tujuan pembangunan jangka
panjang yang telah ditentukan oleh pihak Indonesia.
f. Di luar negeri upaya pengamanan ekspor non-migas tergantung padaa
keterbukaan pasar nasional agar kepentingan ekspor non-migas Indonesia
teteap terjamin. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Indonesia bersama
negara-negara anggota lainnya berupaya untuk menjaga keterbukaan sistem
perdagangan internasional tersebut yang hingga sekarang ini dapat
dipertahankan melalui GATT.
Sistem perdagangan dunia pasca Putaran Uruguay yang ditandatangani oleh 125
negara anggota GATT di Marrakech ( Morocco) tanggal 15 April 1994 telah
menimbulkan sikap optimis dan pesimis di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Alasan optimisnya karena persetujuan perdagangan multilateral GATT
menjanjikan berlangsungnya perdagangan bebas di seluruh dunia, terbebas dari
hambatan tarif dan hambatan non tarif. Dengan demikian, semua komoditi yang
diperdagangkan di dunia berlangsung melalui ekonomi pasar yang diharapkan
tanpa distorsi dan bergantung pada permintaan dan penawaran pasar.

Kelancaran perdagangan antar bangsa diharapkan akan memberikan dampak


positif bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, negara-negara
perlu kesepakatan untuk menghilangkan berbagai hambatan perdagangan, baik
tingkat global (GATT/WTO) maupun tingkat regional (AFTA, ACFTA, APEC,).
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id
3 / 20
Hal ini menunjukkan harapan pertumbuhan ekonomi melalui keberhasilan
perdagangan luar negeri, dalam hal ini sebagai contoh adalah perkembangan non
migas Indonesia, seperti tekstil, produk pertanian, serta produk-produk lainnya.
Dengan terbentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade
Area) tahun 2003 merupakan tantangan besar bagi Indonesia terutama dalam
memposisikan para produsen atau pelaku usaha lokal atau domestik agar sejajar
dengan para pelaku usaha dari lainnya dalam menghadapi pasar bebas, baik di
kawasan regional ASEAN maupun di luar ASEAN. Kemudian semenjak 1 Januari
tahun 2010 terbentuk pula kawasan perdagangan bebas Cina-ASEAN (ASEAN-
Cina Free trade Area/ACFTA). Adanya kawasan pasar bebas tersebut diharapkan
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama peningkatan ekspor
non migas.

Sebaliknya pandangan yang pesimis terhadap Persetujuan Putaran Uruguay di


Marrakech (Morocco) tahun 1994, timbul karena adanya perbedaan kekuatan
ekonomi antara negara di dunia. Negara-negara maju mempunyai kekuatan
ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan negara berkembang di Selatan.
Negara-negara maju melalui kegiatan yang bersifat multinasional telah menguasai
teknologi, dana dan jaringan industri serta perdagangan dunia, sedangkan negara
berkembang relatif masih tergolong miskin. Kesepakatan Uruguay dikhawatirkan
akan dapat merugikan negara berkembang terutama dalam masalah produksi dan
perdagangan komoditi pertanian, industri, dan jasa. Hal ini dapat terjadi karena
produk-produk tersebut di negara berkembang masih merupakan masalah besar dan
belum efisiensi, baik karena rendahnya kemampuan teknologi maupun karena
kualitas sumber daya manusia masih rendah. Di sisi lain perdagangan bebas akan
menyebabkan penyerbuan produk-produk negara maju yang dipasarkan di negara
berkembang karena kualitasnya dan teknologinya baik, harganya lebih murah.
Lebih-lebih pemasaran tersebut dilakukan di Indonesia sebagai salah satu negara
yang sangat padat penduduknya dengan perilaku yang sangat konsumtif, hal ini
sangat penting sebagai kawasan pemasaran yang potensial bagi produk-produk
negara maju.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 20
Tidak dapat dihindari bahwa kontroversi tentang perdagangan bebas masih ada
di kalangan para ahli, baik yang berasal dari negara lain maupun dari dalam negeri
sendiri, antara lain Sri Edi Swasono dalam Nursalam Sianipar misalnya menilai
bahwa."3

a. Pasar bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi


seluruh rakyat Indonesia.

b. Pasar bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk


melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

c. Pasar bebas tidak mampu memihak kepada bekas kaum Inlander (kaum
terjajah) yang jauh di bawah martabat kaum Eropa dan Timur Asing.

d. Pasar bebas menutup hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa
daya beli akan menjadi penonton belaka, berada di luar pagar pagar
transaksi ekonomi

e. Pasar bebas melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang


produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
ke tangan partikelir dan asing.

f. Pasar bebas mencari keuntungan ekonomi. Pasar bebas menggeser, dan


menggusur rakyat dan tanah dan usaha-usaha ekonominya,

g. Pasar bebas memperkokoh ketimpangan struktural, lantas mendorong


terbentuknya polarisasi sosial ekonomi, memperenggang persatuan

h. Pasar bebas melihat sistem ekonomi subordinasi yang eksploitatif dan


diskriminatif terhadap yang lemah.

i. Kemudian pasar bebas mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi misi


mulia dan mendorong lidah kita bicara palsu, membabi buta anti subsidi,
anti proteksi demi efisiensi yang jarang memberi manfaat bagi si lemah....

Pendapat tersebut tampaknya termasuk ke dalam paham yang tidak


menyetujui negara-negara berkembang terlalu terlibat dalam perdagangan bebas

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 20
karena hanya akan lebih menyengsarakannya. Pendapatnya juga sangat
nasionalistik tanpa menghiraukan hasil-hasil konkret yang telah dicapai negara-
negara di dunia yang telah mengikuti perdagangan bebas.

Kritikan terhadap kesepakatan Uruguay juga dikemukakan oleh Martin


Khor Kok Peng yang menyatakan, "bahwa melalui Putaran Uruguay itu, negara-
negara industri berusaha untuk memperluas dan memperketat kontrol mereka
terhadap ekonomi dunia pada umumnya, maupun terhadap ekonomi nasional
negara-negara dunia ketiga. Dalam banyak bidang negosiasi negara-negara
industri berusaha untuk meremehkan atau menggeser sama sekali seluruh prinsip
pembangunan yang sampai saat ini telah diterima di lingkungan GATT".

Selanjutnya Arief Budiman dalam Martin Khor Kok Peng mengemukakan


bahwa perundingan internasional yang dikenal dengan nama Putaran Uruguay,
merupakan salah satu bentuk dari usaha memaksa prinsip pasar bebas ke negara-
negara dunia ketiga. Yang dirundingkan adalah supaya semua bentuk proteksi
dihilangkan, baik terhadap barang industri maupun terhadap jasa. Juga hak paten
yang banyak dikuasai oleh negara negara industri maju harus dihormati oleh
negara-negara dunia ketiga. Ini berarti bahwa pasar di semua negara di dunia ini
harus siap untuk diinternasionalisasikan".5

Perundingan GATT dalam Putaran Uruguay, merupakan agenda negara-


negara industri yang secara radikal melakukan restrukturisasi terhadap GATT,
sehingga mereka dapat memperluas kekuasaan mereka terhadap dunia ketiga
dalam bidang ekonomi. Dengan demikian mereka akan mampu memaksakan
berbagai peraturan baru untuk memaksimalkan kegiatan perusahaan mereka
berdasarkan prinsip perdagangan bebas (tanpa ada campur tangan negara) di
negara-negara dunia ketiga.

Penerapan liberalisasi ekonomi yang tercermin melalui perdagangan


internasional, bagi negara-negara berkembang ternyata banyak mengundang
masalah, terutama menyangkut kesiapan pelaku ekonomi dalam berkompetisi.
Demikian pula dengan kesiapan perangkat hukum sebagai penunjang atas
berlakunya liberalisasi perdagangan belum menampakkan supremasinya. Hal ini

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 20
merupakan persoalan yang paling krusial bagi negara berkembang terutama
mengenai eksistensi liberalisasi ekonomi yang dipercaya mampu menciptakan
kemakmuran yang optimal bagi masyarakat.

Slogan pasar bebas, perdagangan bebas, deregulasi, privatisasi dan


liberalisasi, bertujuan untuk memaksimalkan kebebasan dan sumber sumber
yang harus diberikan kepada berbagai perusahaan transnasional untuk
beroperasi. Pada saat yang sama negara industri maju menuntut minimalisasi
campur tangan pemerintah untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Upaya
berbagai perusahaan untuk merebut pasar bebas, deregulasi, dan privatisasi itu
dimulai pada tingkat nasional dan seterusnya diperluas ke tingkat internasional
dengan menggunakan konsep pasar bebas.

Oleh karena itu, apabila usulan negara-negara industri diterima oleh negara-
negara dunia ketiga yang umumnya sebagai negara berkembang. maka mereka
akan kehilangan sebagian besar dari hak mereka untuk mengatur ekonomi,
lingkungan, kesehatan dan kebudayaan mereka. Hak ini akan beralih kepada
perusahaan-perusahan yang diberi berbagai kebebasan dari campur tangan dan
intervensi negara di Negara Dunia Ketiga.

Menurut Martin Khor Kok Peng, "dalam Perundingan Putaran Uruguay


seharusnya yang diperjuangkan oleh negara-negara dunia ketiga adalah
perdagangan yang adil, bukan perdagangan bebas. Apa yang sangat dibutuhkan
adalah tatanan ekonomi internasional yang mengakui serta melayani berbagai
kebutuhan pembangunannya, yaitu kebutuhan untuk memproduksi berbagai
produk yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan manusiawi warga
masyarakat, kebutuhan akan pembagian sumber daya yang semakin adil dan
merata, serta kebutuhan akan bentuk bentuk pembangunan yang berkelanjutan
secara ekologis".6

Sehubungan dengan pendapat di atas, agar tata ekonomi dunia seperti itu
dapat terwujud, seharusnya negara-negara utara (negara negara industri)
mengakui bahwa mereka memiliki utang historis yang besar terhadap selatan
(dunia ketiga) karena selama berabad-abad mereka melakukan eksploitasi baik

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 20
terhadap sumber daya manusia, finansial maupun sumber daya alam negara-
negara selatan. Sebagai akibat dari eksploitasi tersebut, negara-negara selatan
secara ekonomis tidak mampu bersaing di bawah persyaratan yang sama dengan
negara-negara industri maju. Itulah sebabnya negara-negara dunia ketiga
menganggap prinsip pembangunan sebagai suatu konsep yang sangat penting
untuk diikuti dalam Putaran Uruguay. Mereka perlu diberi kesempatan untuk
mengutamakan kebutuhan pembangunan mereka sebagai prioritas dalam
melakukan negosiasi mengenai syarat persetujuan dalam berbagai bidang di
dalam Putaran Uruguay.

Sebagai salah satu negara yang telah menandatangani kesepakatan


liberalisasi perdagangan internasional (WTO) pada Putaran Uruguay di
Marakech (Marocco) tahun 1994, Indonesia harus menerima risiko menghadapi
persaingan yang semakin ketat, demikian pula dengan berlakunya AFTA
semenjak tahun 2003. Kesepakatan tersebut harus diterima oleh Indonesia jika
tidak ingin terisolasi dari Negara ASEAN lainnya, lebih-lebih di kawasan
ASEAN Indonesia adalah satu-satunya negara yang dulunya merupakan jajahan
Belanda yang menganut sistem hukum Kontinental (Civil Law). Sementara
sebagian besar negara anggota ASEAN lainnya merupakan bekas jajahan Inggris
yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Sebagai negara
bekas jajahan Inggris, negara-negara tersebut tidak akan banyak memberikan
harapan untuk mendukung Indonesia dalam bernegosiasi atau diplomasi guna
memperjuangkan hak dan kepentingannya dalam sidang WTO. Negara negara
tersebut secara emosional bahkan lebih cenderung untuk mendukung negara
bekas penjajahnya, misalnya melalui Organisasi Negara Persemakmuran
(Commonwealth). Hal ini merupakan problem bagi Indonesia untuk tidak dapat
menolak WTO meskipun kemungkinan lebih banyak merugikan Indonesia
sebagai negara berkembang. Selain itu kapabilitas wakil Indonesia di sidang
WTO dalam bernegosias masih lemah, mengingat keadaan ekonomi Indonesia
yang masih sangat bergantung pada bantuan luar negeri terutama bantuan dari
negara-negara maju yang menganut sistem hukum Common Law.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 20
Dalam menghadapi persaingan yang cenderung akan semakin ketat,
Indonesia memerlukan kesiapan, terutama upaya peningkatan sumber daya
manusia, efisiensi, teknologi, dan kualitas produk, serta perbaikan sistem dan
pranata hukum yang mampu mendukung kegiatan bisnis yang semakin modern
dan global. Menurut Sunaryati Hartono, "segala perubahan dengan berbagai
implikasi baik dalam lingkup nasional, regional maupun global perlu terus
dipantau dengan sikap terbuka, agar kita mencari jalan bagaimana kita dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan perubahan tersebut, tanpa merugikan
kepentingan nasional. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan hubungan
ekonomi dan perdagangan di masa depan khususnya untuk menunjang
pelaksanaan AFTA, GATT, dan Deklarasi Bogor, maka hukum ekonomi
nasional pun perlu diperbarui. baik hukum nasional yang berbentuk peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, keputusan arbitrase, maupun hukum
kebiasaan dagang, termasuk lembaga, mekanisme pranata maupun sarana
hukum, fisik maupun non fisik",8

Kondisi interdependensi dan kebutuhan perdagangan antarbangsa


memerlukan pengaturan sesuai dengan norma-norma hukum ekonomi
internasional, agar kelancaran perdagangan lebih terjamin guna memajukan
kondisi ekonomi suatu negara. Banyaknya hambatan perdagangan yang selama
ini telah menyebabkan kelesuan ekonomi, sehingga disadari perlunya
kesepakatan untuk memperlancar arus barang, jasa maupun modal antamegara.
Dengan dikuranginya atau dihapusnya hambatan perdagangan antar negara,
maka masing-masing negara akan saling berkompetisi untuk merebut pasar
negara lain, sekaligus juga mempertahankan pasar dalam negeri.

Adanya perdagangan internasional diharapkan dapat meningkatkan


pertumbuhan ekonomi dunia terutama bagi negara-negara berkembang
berdasarkan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang dituangkan dalam
GATT/WTO. Namun demikian, prinsip-prinsip tersebut masih dirasakan tidak
adil oleh negara-negara berkembang, maupun lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi buruh di negara maju. Kebijaksanaan tersebut bahkan kurang
memerhatikan masalah lingkungan dan nasib tenaga kerja, akan tetapi lebih

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 20
memberikan peluang bagi negara maju untuk menguasai pasar dalam negeri
negara-negara berkembang. Sementara negara-negara maju tetap ingin
mempertahankan pasar dalam negerinya terhadap masuknya barang maupun jasa
dari negara berkembang.

Kebijaksanaan WTO itu ternyata tidak saja mendapat kecaman dari negara-
negara berkembang, akan tetapi juga mendapat protes keras dari Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan orgaisasi buruh di negara maju, baik di
Amerika Serikat maupun di Inggris. Di Seattle, Amerika Serikat, ketika Sidang
WTO diselenggarakan dari tanggal 30 November hingga 3 Desember 1999,
sekitar 30.000 orang dari LSM dan organisasi buruh melakukan demonstrasi
turun ke jalan memprotes sidang WTO. Paral pemprotes beranggapan bahwa
perdagangan bebas hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar dengan
mengorbankan lapangan kerja dan lingkungan hidup. (WTO Bersidang
Demonstran Beraksi, Kompas, 3 Desember 1999).

Kegagalan sidang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Seattle


Amerika Serikat tahun 1999, menimbulkan kecemasan akan masa depan
penyelesaian masalah perdagangan global. Dalam sidang WTO di Seattle
Amerika Serikat, negara-negara anggota WTO mempunyai kepentingan yang
berbeda, yakni antara negara-negara berkembang dengan negara negara industri
maju. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, berusaha mendobrak
hambatan-hambatan dalam perdagangan, sebagai upaya meningkatkan
perekonomiannya. Sementara negara-negara maju senantiasa menerapkan
bebijaksanaan perdagangan yang dikaitkan dengan isu-isu baru yang sangat
memberatkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, seperti standar
ketenagakerjaan, isu lingkungan hidup, dipertahankannya kuota tekstil, proteksi
bidang pertanian dan aturan investasi.

Salah satu dampak yang dirasakan oleh Indonesia, ialah dalam bidang
pangan/produk pertanian. Setiap tahun produk-produk pertanian dan pangan
Indonesia selalu dihambat masuk pasar Amerika Serikat melalui instansi Food
and Drug Administration (FDA). Selama tahun 1999 sebanyak 1.300 kasus
produk Indonesia yang ditolak dan ditahan (automatic detention) oleh FDA,
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id
10 / 20
dengan alasan tidak memenuhi persyaratan standar mutu. Tahun 1998 sebanyak
550 kasus dan 1997 sebanyak 450 kasus. Penolakan FDA terhadap masuknya
produk-produk pertanian Indonesia, telah mengakibatkan Indonesia menderita
kerugian sampai 100-an juta dolar AS Selain itu. Amerika Serikat balikan akan
mengancam untuk menghentikan CPO (crude palm oit) dari Indonesia, karena
tidak memenuhi aturan standar baru mengenai kadar minyak dan lemak dalam
makanan. FDA impor mewajibkan kepada Indonesia agar mencantumkan label
(food labelling). yakni label asam lemak jenuh (trans patty acid) bagi setiap
kemasan pangan berbahan minyak tropis (kelapa sawit dan inti sawit), padahal
minyak sawit tidak mengandung trans fat. Kebijaksanaan tersebut sebenarnya
adalah upaya proteksi dagang Amerika Serikat untuk melindungi American
Soybean Association (ASA) selaku produsen minyak kedelai yang dihasilkan
melalui rekayasa genetika (genetically modified organism).

Dengan ditolak masuknya produk pangan Indonesia ke Amerika Serikat


jelas merugikan pihak Indonesia. Mengenai permasalahan tersebut, WTO belum
dapat berbuat banyak untuk melindungi negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Dalam setiap kali sidang WTO, negara-negara anggota WTO,
terutama negara maju selalu dengan gencar mendengungkan prinsip perfect
market compition. Namun dalam kenyataannya negara-negara maju sibuk
memproteksi pasar dalam negerinya dengan dalih yang dibuatnya sendiri.
Padahal misi terbentuknya WTO adalah untuk menciptakan perdagangan yang
fair, tanpa hambatan (tarif dan non tarif) serta tidak boleh ada diskriminatif.
Perlakuan yang tidak adil yang ditunjukkan oleh negara maju termasuk Amerika
Serikat terhadap masuknya produk pangan Indonesia, hal ini jelas memberikan
dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Demikian pula di bidang hak atas kekayaan intelektual, negara berkembang


juga sering dirugikan, produk-produk ekspor dari negara berkembang juga
sering dituduh melanggar hak kekayaan intelektual seperti paten, merek, desain
industri, dan hak cipta, karena model atau desain yang diproduksinya mirip
dengan produk serupa di negara maju, sehingga produk ekspor dari negara
berkembang tidak dibayar, melainkan diwajibkan membayar royalty, padahal

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 20
produk tersebut asli buatan negara berkembang. Salah satu contoh, Indonesia
dituduh menjiplak hasil karya perhiasan perak yang diklaim milik warga
Amerika Serikat. Tuduhan ini menyakiti masyarakat

Bali, antara lain perajin perak dan kulit buaya (crocodile). Menurut mereka
justru orang-orang asinglah yang meniru dan menjiplak hasil karya mereka, hal
ini sangat merugikan pengrajin Indonesia.

Meskipun perdagangan bebas tidak selamanya memberikan dampak positif


terhadap kemajuan ekonomi negara berkembang, namun Indonesia tidak dapat
menutup diri dari arus globalisasi dengan cara melakukan kebijakan
proteksionisme. Kepentingan bangsa dan negara kita ini tidak mungkin dapat
dicapai dengan cara menutup diri dari dunia lua Globalisasi harus diterima
sebagai realitas masyarakat internasional kontemporer tidak dapat dihindari.
Oleh karena itu Indonesia harus ikut bermain di dalam perdagangan bebas untuk
bersaing dengan negara-negara lain, sehingga dapat mengenal kelemahan dan
kekuatan sendiri serta mampu memanfaatkannya.

Demikian pula dengan para pembuat kebijakan hendaknya tidak lagi


melihat dunia secara konfrontatif, memandang negara-negara maju sebagai
penjajah dan negara berkembang sebagai terjajah, karena cara berpikir demikian
tidak bermanfaat. Kecenderungan negara-negara di dunia menerima
perdagangan bebas, hampir semua negara adalah anggota WTO atau tengah
menunggu menjadi anggota. Negara-negara berkembang telah menjadi anggota
dari organisasi perdagangan internasional, baik global maupun regional karena
banyak manfaat yang dapat diperolehnya. Untuk menjamin hak-hak dan
kewajibannya yang sudah disepakati bersama, maka diperlukan instrumen
hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan hukum bagi terwujudnya sistem
perdagangan yang bebas, tertib dan adil.

2. Peranan Indonesia dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA)


Konfrensi Tingkat Tinggi ASEAN free Trade Area (AFTA) yang dimulal di
Singapura pada tanggal 28 Januari tahun 1992 memberikan kesempatan kepada
negara-negara anggota untuk melakukan perdagangan bebas sesama anggota

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 20
AFTA. Pelaksanaan hasil kesepakatan ini dilakukan secara bertahap, dimulai
dengan komoditas-komoditas tertentu hingga seluruh komoditas selama 15
tahun.

Berbagai kebijakan dilakukan ASEAN dengan tujuan meningkatkan kerja sama


antar negara anggota untuk kemajuan ekonomi, sosial budaya, stabilitas
nasional, hingga perdamaian antarnegara ASEAN dibahas dalam Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) secara bertahap. Salah satunya adalah penyelenggaraan
perdagangan bebas tingkat ASEAN yang dikenal dengan AFTA (Asean Free
Trade Area), yang merupakan wujud kesepakatan dari anggota negara ASEAN
untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka
meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional di Asia Tenggara dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar
regional bagi 500 juta penduduk Asia Tenggara peserta AFTA. Sebenarnya isu
AFTA telah dimulai sejak penyelenggaraan KTT ASEAN IV di Singapura tahun
1992, namun baru direalisasikan setelah pertemuan ASEAN di Bali pada tahun
2015.

Kesiapan menghadapi AFTA tentu saja merupakan tantangan tersendiri bagi


Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya. Bagi negara-negara yang
ekonominya lebih kuat dan sudah siap, akan menjadi suatu keuntungan besar
sebaliknya hal ini akan menjadi ancaman bagi negara yang tidak kuat. Indonesia
sebagai salah satu negara peserta AFTA tentu saja mempunyai komitmen untuk
menghadapi AFTA, walau keadaan ekonomi Indonesia yang kini masih belum
pulih. Indonesia harus berusaha sebaik mungkin agar tidak semakin terpuruk
oleh penyelenggaraan AFTA. Sebagai salah satu negara dengan penduduk
terbanyak di dunia. Indonesia hendaknya menguasai ASEAN dengan persentase
40% dari total penduduk ASEAN yang mencapal 500-an juta jiwa.

Dengan jumlah penduduk yang besar, membuka kesempatan lebih bagi


Indonesia untuk tampil sebagai penentu pasar. Indonesia tidak saja akan menjadi
konsumen terbanyak produk negara-negara AFTA, melainkan diharapkan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 20
sebagai produsen yang mampu bersaing dengan negara lain baik anggota
maupun luar AFTA Melihas keadaan saat ini, Indonesia merupakan lahan
terbesar bagi pemasaran produk-produk luar, hampir semua produk teknologi
yang digunakan masyarakat Indonesia adalah produk impor dari negara Cina dan
Jepang, mulai dari perangkat elektronik hingga otomotif. Dengan kualitas yang
baik dan harga yang terjangkau mematikan produksi industri nasional karena
kalah bersaing baik di pasar domestik maupun pasar luar negeri.

Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang memiliki sumber daya
alam yang melimpah, diharapkan mampu bersaing secara bebas dengan negara-
negara anggota AFTA lainnya. Namun dalam perkembangannya ternyata
produk komoditas Indonesia belum mampu bersaing dengan negara anggota
AFTA lainnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini karena
kondisi ekonominya Indonesia masih lemah, demikian juga dengan tingkat
pembangunan industrialisasi yang relatif cenderung masih rendah. Selain itu,
Indonesia masih cenderung menerima produk-produk impor, atau sebagai
tempat pemasaran produk-produk dari negara-negara anggota AFTA lainnya
tanpa mampu bersaing dengan produk negara tersebut. Keadaan ini akan
mengakibatkan industri-industri dalam negeri mengalami kemunduran karena
tidak memiliki modal yang cukup untuk bersaing dengan industri dari negara
anggota lainnya, baik dari segi jumlah produksi maupun pemasaran produk.

Sebagai suatu negara yang tingkat pertumbuhan industrinya masih dalam masa
perkembangan, Indonesia masih menjalankan kebijakan proteksi yang cukup
tinggi terhadap barang-barang impor untuk melindungi industri dalam negeri.
Perbedaan kebijakan pengenaan bea cukai tersebut mencerminkan perbedaan
daya saing komoditas-komoditas yang dihasilkan oleh masing-masing negara.
Demikian pula dengan tingkat efisiensi produksi negara-negara anggota AFTA
yang lebih maju, umumnya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia,
sehingga negara negara tersebut mampu menerapkan bea masuk yang sangat
rendah yang memberikan dampak positif bagi perdagangannya. Sementara
Indonesia belum berani menerapkan kebijakan tarif yang rendah, hal ini tentu

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 20
dilakukan guna melindungi dan mempertahankan produksi dalam negeri dengan
mengenakan biaya masuk yang cukup tinggi, baik untuk menyaingi podukai
impor, maupun mengenakan kuota untuk barang-barang tertentu.

Dalam situasi kebijakan pengenaan bea masuk yang masih sangat bervariasi
tersebut, penerapan konsep kawasan perdagangan bebas akan menimbulkan
dampak yang berbeda-beda. Negara-negara yang telah mampu menerapkan
kebijakan bea masuk yang cukup rendah, diperkirakan akan dapat menarik
keuntungan besar dalam bentuk peningkatan volume ekspornya ke negara-
negara anggota AFTA. Sebaliknya untuk Indonesia, negara yang masih rendah
peningkatan volume ekspornya, tentu tidak banyak mendapat keuntungan dalam
bentuk perdagangan bebas, karena industri-industri Indonesia belum mampu
bersaing dengan industri industri negara anggota lainnya.

3. Pengaruh Perdagangan Bebas Bagi Perkembangan Ekonomi Indonesia

Dengan terbentuknya AFTA diharapkan dapat menciptakan perdagangan


pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kehadiran AFTA yang mulai berlaku tahun
2003, yang kemudian diikuti dengan terbentuknya MEA ( Masyarakat Ekonomi
ASEAN) Desember 2015, merupakan peluang bagi Indonesia untuk
meningkatkan perdagangan luar negeri Indonesia ke berbagai negara di kawasan
ASEAN maupun di luar negara ASEAN. Data statistik menunjukkan bahwa arus
perdagangan antara Indonesia dengan Negara ASEAN dalam lima tahun terakhir
ini semakin maju, baik terhadap produk migas maupun non migas. Kemajuan ini
akan memacu perkembangan industri dalam negeri. sehingga akhirnya dapat
maningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Impor Indonesia pada 2019 mencapai USD171.275,7 juta, yang terdiri dari
impor migas USD21.885,3 juta dan nomigas USD149.390,4 juta. Jika dibanding
2018, nilai impor turun 9,24 persen dipicu oleh turunnya impor migas 26,73
persen (USD7.983,5 juta) dan nonmigas 5,95 persen (USD9.452,1 juta).
Demikian halnya dengan ekspor Indonesia mengalami penurunan 6,95 persen

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 20
menjadi USD167.497,0 juta yang terdiri dari ekspor migas USD12.504,8 juta
(turun 27,18 persen) dan nonmigas USD154.992,2 juta (turun 4,82 persen).

Dilihat dari peranannya, selama periode 2005-2019 ekspor nonmigas selalu


melampaui ekspor migas. Rata-rata peranan ekspor nonmigas selama lima belas
tahun terakhir mencapai 83,95 persen per tahun. Peranan tertingginya dicatat pada
2019 sebesar 92,53 persen. Sementara rata-rata peranan ekspor migas hanya 16,05
persen per tahun, tertinggi terjadi pada 2005 sebesar 22,45 persen. Dalam periode
yang sama rata-rata peranan impor nonmigas mencapai 78,46 persen per tahun,
sedangkan impor migas hanya 21,54 persen. Peranan tertinggi impor nonmigas
terjadi di 2019 sebesar 87,22 persen sedangkan impor migas pada 2006 (31,05
persen). Jika dilihat dari peranannya, maka dapat dikatakan bahwa perdagangan
luar negeri Indonesia masih bertumpu kepada sektor nonmigas.

Apabila diamati perkembangan selama periode 2005-2019, nilai impor Indonesia


ratarata meningkat 11,59 persen per tahun, yaitu dari USD57.700,9 juta di 2005
menjadi USD171.275,7 juta di 2019. Impor migas ratarata meningkat 8,87 persen
dan impor nonmigas 12,68 persen per tahun. Dalam periode yang sama, ekspor
meningkat dari USD85.660,0 juta di 2005 menjadi USD167.497,0 juta di 2019 atau

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
16 / 20
naik 6,92 persen per tahun. Apabila dilihat dari komponen ekspor tercatat bahwa
ekspor migas rata-rata meningkat 2,25 persen dan nonmigas naik 7,83 persen per
tahun.

Tingginya peningkatan nilai impor yang tidak diimbangi oleh meningkatnya nilai
ekspor menyebabkan défisit neraca perdagangan pada 2019 sebesar USD3.778,7
juta. Apabila dilihat lebih lanjut, defisit neraca perdagangan Indonesia 2019 dipicu
oleh defisit neraca perdagangan sektor migas sebesar USD9.380,5 juta walaupun
neraca perdagangan sektor nonmigas surplus USD5.601,8 juta. Sepuluh negara
mitra dagang utama Indonesia selama 2019 adalah Tiongkok, Jepang, Singapura,
Amerika Serikat, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, Vietnam, Australia, dan
Taiwan.

Dengan berlakunya GATT/WTO dan AFTA 2003, bagi Indonesia selain


memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi nasional, di sisi lain juga
mempunyai dampak yang merupakan risiko yang harus ditanggung oleh
Indonesia. Hal ini kemungkinan bukan pilihan yang ideal, namun merupakan opsi
yang lebih baik dibandingkan jika kita menunda dalam keragu-raguan. Proteksi
pemerintah terhadap produk dalam negeri tidak dapat lagi dilakukan karena harus
dideregulasi sesuai dengan mekanisme pasar.

Bagi pengusaha Indonesia yang sudah efisien, AFTA merupakan peluang bagi
kemajuan mereka, sedangkan bagi yang belum efisien sulit ntuk mampu bersaing.
Dampak nyata dialami oleh produsen Indonesia antuk komoditi yang masuk
Universitas Esa Unggul
http://esaunggul.ac.id
17 / 20
persetujuan CEPT (Common Effective Preferential Triff Agreement) akan
berhadapan langsung dengan produsen ASEAN yang sudah siap bersaing,
sementara masih banyak produsen Indonesia yang selama ini masih
mengandalkan bantuan dan perlindungan pemerintah. Hal ini akan merupakan
ancaman bagi produsen Indonesia dalam menghadapi pasar bebas ASEAN.
Dengan demikian, pasar ASEAN hanya akan memberikan peluang usaha bagi
para produsen ASEAN yang sudah efisien dan mampu bersaing baik secara
regional maupun global.

Permasalahan penting lainnya adalah kecenderungan masyarakat konsumen


Indonesia yang berorientasi pada barang impor, hal ini dapat menimbulkan
kesulitan bagi industri domestik di Indonesia di pasar ASEAN. Untuk mengatasi
kesulitan ini, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah
peningkatan kualitas dan efisiensi dengan menggunakan teknologi, research dan
pengembangan produk, sehingga harapkan dapat meningkatkan daya saing
dengan produsen-produsen ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan
Thailand yang sudah a di pasar mancanegara.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
18 / 20
Referensi
Muhammad Sood, 2019, “Hukum Perdagangan Internasional Edisi Kedua”,
Cetakan ke 4, Depok: PT. RajaGrafindo Persada
Huala Adolf, 2004, Hukum Perdagangan Internasional: “Prinsip-prinsip dan
Konsepsi Dasar”, Bandung.
Badan Pusat Statistik Indonesia, 2019, “Statistik Perdagangan Luar Negeri Impor”,
Jilid 1, Jakarta: BPS RI

Further Reading
The ASEAN Secretariat, 2020, “Asean Statistical Yearbook 2020”, Jakarta:
ASEAN Secretary
Badan Pusat Statistik Indonesia, 2019, “Statistik Perdagangan Luar Negeri
Indonesia Ekspor”, Jilid 1, Jakarta: BPS RI

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
19 / 20

Anda mungkin juga menyukai