Anda di halaman 1dari 6

Si KECIL SME DALAM ERA LIBERALISASI DAN GLOBALISASI

PERDAGANGAN
(Oleh : Janardono Tanuhito)
Divisi Penelitian & Pengembangan

Pro dan kontra tentang Liberalisasi dan Globalisasi

Tidak disangkal lagi bahwa globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia


pada beberapa tahun terakhir ini telah membuktikan kekompleksitasan
perdagangan dunia telah demikian rumit. Persaingan tidak saja terjadi antara
negara-negara maju saja namun juga terjadi antara sesama negara
berkembang. Pada awalnya semangat globalisasi adalah win-win solution,
namun demikian perkembangan yang terjadi adalah one win-one loss.
Siapakah yang salah ? dan mengapa hal itu dapat terjadi ?. Memang tidak
mudah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan sederhana tersebut,
mengingat perdagangan dan bisnis itu sendiri pada dasarnya adalah "War".
Perang dalam kualitas barang dan delivery, perang dalam harga dan lain
sebagainya. Pemain yang pandai meningkatkan produktifitas usahanya
dibarengi dengan efisiensi yang tinggi, tentu mempunyai peluang 50% untuk
menang. Sedangkan pemain yang tidak pandai dalam meningkatkan
produktifitas dan efisiensi maka kekalahan demi kekalahan akan menjadi
catatan buruk dalam karir bisnisnya.
Semangat liberalisasi di Indonesia pernah demikian menggelora di Era
Presiden Soeharto dan bahkan Forum APEC pada tahun 1994 dalam
pertemuan di Bogor, di bawah masa kepemimpinan Indonesia, Indonesia
berani mengusulkan proses percepatan liberalisasi perdagangan dan
investasi terutama di kawasan Asia Pasifik, sekaligus mengusulkan 4 (empat)
program utama APEC, yaitu
1). Pengembangan SDM,
2). Peningkatan peran dan kemampuan usaha kecil dan menengah,
3). Peningkatan peranan sektor swasta dan bisnis serta
4). Pembangunan infrastruktur bagi publik dan komersial.

Disadari atau tidak disadari, bahwa semangat Indonesia pada waktu itu bak
peperangan dalam era mengusir penjajah dengan bermodalkan merah putih yang
diikatkan dikepala dan bambu runcing serta parang di kedua belah tangannya,
sementara musuh menggenggam senapan mitraliur dan meriam. Pandangan pesimistis
pada saat itu adalah bahwa Indonesia tinggal menghitung ingin kalah berapa banyak,
sehingga dengan demikian kekalahan demi kekalahan adalah agenda yang pasti.
Alasanya adalah bahwa bangsa Indonesia masih dibelit masalah korupsi dan inefisiensi
yang masih begitu tinggi, mutu tenaga kerja yang masih rendah, akses ke informasi,
teknologi dan pendanaan yang masih sangat lemah, termasuk kurangnya pengalaman
dalam orientasi perdagangan yang mendunia. Indikator yang mendukung tentang hal ini
adalah bahwa 79% angkatan kerja di Indonesia masih berkutat di sektor usaha kecil dan
menengah, sehingga secara bisnis sektor usaha kecil dan menengah tidak akan mampu
menjembatani dunia ini dengan jaringan distribusi outlet-nya. Namun bagi para pakar
yang optimistis mencoba mengurainya dalam slogan yang terbalik bahwa kelemahan
struktur industri kecil dan menengah sebagai penyerap tenaga kerja terbesar tersebut
justru diletakkan sebagai kekuatan potensial yang perlu diakomodir kepentingannya
dalam deklarasi Bogor 1994 tersebut. Perdebatan demi perdebatan terjadi, hingga pada
akhirnya, muncul fatwa "Mau tidak Mau, Suka Tidak Suka, bangsa Indonesia akan
memasuki pasar liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan investasi".

Diplomasi RI Dalam Bidang Industri dan Perdagangan Internasional serta Struktur


Industri Indonesia

6 (enam) tahun telah berlalu setelah pelaksanaan Forum APEC di Bogor dan
berbagai diplomasi industri dan perdagangan internasional telah dilakukan baik dalam
kerangka kerjasama multilateral, kerjasama regional, kerjasama antar regional maupun
kerjasama bilateral. Di bawah ini diuraikan berbagai kerjasama di bidang industri dan
perdagangan.

1. Kerjasama Multilateral.
Dalam kerjasama multilateral, kerangka diplomasi Indonesia adalah untuk
mewujudkan kesepakatan antara negara maju dan negara berkembang dalam
hal mengurangi berbagai hambatan tarif dan non tarif serta aspek-aspek lainnya
di bidang perdagangan barang dan jasa melalui World Trade Organization
(WTO). Isu yang paling sering dibahas dalam kerangka WTO dimaksud adalah
melakukan implementasi hasil-hasil Putaran Uruguay-WTO Agreements, dimana
negara-negara anggota dituntut melaksanakan komitmennya dalam menerapkan
kebijaksanaan perdagangan secara terbuka dan bebas, dimana negara anggota
diperkenankan juga untuk melakukan perlindungan bagi industrinya, tetapi hanya
dapat dilakukan melalui tarif yang semakin hari-semakin rendah serta tidak
melakukan tindakan diskriminatif, tindakan national treatment, kategori subsidi,
technical barriers to trade dlsb. Disamping kerjasama multilateral dalam
kerangka WTO, juga dilakukan diplomasi dalam bidang kerjasama

perkomoditian, misalnya International Natural rubber Organization (INRO),


Perhimpunan Negara-Negara Produsen Karet Alam (ANRPC), Masyarakat
Perkelapaan Asia pasifik (APCC), Masyarakat Lada International (IPC) serta
organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO).

2. Kerjasama Regional.
Pada prinsipnya kerjasama ini bertujuan untuk menciptakan perdagangan bebas
antara negara di suatu kawasan tertentu. Diplomasi Indonesia dalam hal ini
dilakukan di dalam forum APC (Asia Pacific Economic Cooperation). Kerjasama
lainnya adalah dalam forum ASEAN melalui skema Common Effective
Preferential Tariff (CEPT), yaitu program yang mengatur penurunan tarif dan
penghapusan berbagai hambatan non tarif di antara negara anggota ASEAN.
Dalam forum ASEAN tersebut telah dihasilkan kesepakatan program percepatan
realisasi AFTA dari tahun 2003 menjadi tahun 2002. Disamping itu dihasilkan
pula program ASEAN Industrial Cooperation (AICO) untuk mendorong sharing
kegiatan industri dengan fasilitas penurunan tarif bea masuk hingga 0-5%. Bagi
kepentingan UKM, maka diperbolehkan trading companies yang membantu
pemasaran produk UKM untuk memanfaatkan skema ASEAN Industrial
Cooperation ini. Di dalam bidang investasi, telah dibentuk ASEAN Investment
Area, tujuannya adalah untuk meningkatkan daya tarik investasi dan bantuan
ekonomi dari negara-negara Barat maupun Jepang.
3. Kerjasama Antar Regional.
Kerjasama antar regional yang cukup penting dalam upaya diplomasi
perdagangan dan industri bagi Indonesia adalah forum ASEM (Asia-Europe
Investment Area). ASEM bertujuan untuk meningkatkan kerjasama di bidang
pengembangan ekspor melalui Trade Facilitation Action Plan (TFAP) dan
partisipasi pemerintah dan dunia usaha dalam Asia Europe Business Forum
(AEBF).

4. Kerjasama Bilateral
Kerjasama Bilateral ditujukan dalam rangka pembinaan hubungan perdagangan yang
telah ada serta menjalin hubungan kerjasama perdagangan dengan negara mitra
dagang baru. Pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian perdagangan dan
ekonomi di kawasan Asia Pasifik dengan 14 negara, di Afrika/Timur Tengah dengan 10
negara, di Eropa Timur dengan 9 negara, di Eropa Barat dengan 12 negara dan di
Amerika Latin dengan 7 negara. Dalam upaya merealisaikan perjanjian perdagangan
bilateral maka dibentuk pula forum konsultasi bilateral yang bertujuan untuk
mengevaluasi pelaksanaan perdagangan, langkah-langkah dalam mengatasi hambatan,
penyelesaian kasus dlsb.

Kesemua bentuk kerjasama baik multilateral, regional, antara regional dan bilateral
tersebut baru memiliki fungsi strategis pada tataran diplomasi. Dalam tataran
operasional, masih diperlukan langkah-langkah taktis, mengingat bangun struktur
industri di Indonesia masih belum kembali diketahui bentuknya. Pada masa sebelum
krisis, struktur industri Indonesia adalah dualistik, dimana pada satu sisi dikuasai oleh
kelompok usaha berskala besar yang dipercaya sebagai motor penggerak roda ekonomi
Indonesia, sehingga sangatlah mudah dikenali bahwa melalui strategi ini, maka
kelompok ini diberikan berbagai kemudahan serta perlakuan khusus. Di sisi lain, bangun
industri Indonesia dikuasai oleh kelompok usaha kecil dan menengah. Kelompok ini
secara teknis operasional tidak mendapatkan kemudahan serta perlakuan khusus.
Bahkan terdapat kecenderungan yang kuat hanya dipergunakan sebagai bagian dari
komoditi politik dan vehicle politik. Terjadinya perbedaan perlakuan mengakibatkan
kelompok usaha besar menikmati margin keuntungan yang besar melalui pola quasimonopoli/oligopolistik dan memiliki barrier of entry yang sangat tinggi sebagai akibat
proteksi baik tarif maupun non tarif. Akibat dari perlakuan ini maka pada kelompok
usaha besar terjadi penumpukan modal yang berlangsung sangat cepat. namun di sisi
lain mengakibatkan perekonomian yang tidak efisien dan memperlebar kesenjangan
ekonomi relatif. Ketidakefisienan dibuktikan melalui industri yang padat modal dengan
tingkat kontribusi penyerapan tenaga kerja yang rendah, sekitar 20% saja dan nilai
tambah yang diberikan sangat rendah, sehingga di pasar internasional tidak mampu
bersaing secara baik.
Pada kelompok usaha kecil dan menengah tidak terjadi barrier to entry yang tinggi.
Persaingan berlangsung sangat kompetitif sehingga tingkat drop out terjadi dengan
sangat tinggi. Oleh karena itu, pada kelompok kecil ini tingkat margin keuntungan
menjadi cukup rendah. Kelompok ini cenderung lebih efisien ketimbang kelompok usaha
besar dan kurang padat modal. Hal ini dibuktikan bahwa tingkat penyerapan pada
tenaga kerja mencapai 80%. Karena sifatnya yang kurang padat modal, maka sektor
usaha kecil dan menengah mempersyaratkan individual skill dan know how yang tinggi.

Kelemahan dan Peluang SME dalam Era Liberalisasi dan Globalisasi Perdagangan
Internasional

Terdapat pandangan para pakar, bahwa era liberalisasi dan globalisasi perdagangan
dunia adalah era bagi "Si Besar". Kelompok SME (Small Medium Enterprises) dengan
distribusi outletnya yang tidak mampu menjembatani dunia tidak akan mampu bertahan.
SME diyakini tidak akan mampu melakukan pemikiran yang besar dengan kesempatankesempatan yang besar yang ditawarkan oleh luas cakupan era liberalisai perdagangan
dan pasar global. Terobosan pasar hanya akan dapat ditanggung kerugiannya oleh "Si
Besar" pada saat awal memasarkan produk-produknya. Capital, dengan demikian
memegang peranan yang sangat penting. Masuknya SME dalam pasar global seperti
ini, sama saja aksi bunuh diri. Apakah memang demikian ?, benarkah tak ada
kesempatan bagi SME Indonesia yang mampu menyerap jumlah tenaga kerja hingga
80% ini ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka peluang berupa playing field bagi SME
harus ditemukan terlebih dahulu. Jawaban akan mudah ditemukan apabila kita mencoba
mendiferensiasi terminologi dari pasar berdasarkan karakteristik dan elemen-elemen
penyusunnya terlebih dahulu.
Tabel di bawah ini menampilkan kotak morfologi dari kombinasi elemen-elemen
pasar tersebut.

Tabel Karakteristik Pasar dan Elemen-Elemennya


Pasar
Domestik

Multidomestik

Global

Produk

Pembeli

Outlet

Elemen

D'

E'

E'

Kelompok kombinasi CCC, merupakan pasar global murni dan pasar inilah yang
merupakan wilayah operasi bagi usaha berskala besar. Wilayah ini tidak akan
memberikan kesempatan bagi usaha kecil dan menengah untuk berkompetisi, karena
barrier to entry pada pasar ini berupa capital dan risiko perdagangan yang tidak akan
mampu diatasi oleh SME. Namun demikian global approach dapat dilakukan oleh SME,
melalui spesialisasi suplai parts dan komponen kepada usaha bersakala besar tersebut
dan memberikan keuntungan yang besar pula bagi SME. Kesempatan ini muncul
bersamaan dengan terjadinya relokasi industri secara besar-besaran sebagai suatu
bagian strategi marketing dalam upaya menurunkan biaya melalui relokasi salah satu
bagian dari proses bisnis dan production stage-nya.
Kelompok kombinasi D, E dan F menunjukkan pasar yang paling tidak memiliki
salah satu elemen global tetapi masih mengandung elemen domestik maupun
multidomestik oleh karena itu disebut pula sebagai global mixed market. Karakter pasar
ini, merupakan playing field bagi SME, apabila SME dapat memilihnya secara hati-hati
dan jenius. Bentuk lain dari global mixed market adalah kombinasi EEE, yaitu pasar
yang memiliki elemen produk Global, tetapi customer dan outletnya berada di dalam
negeri atau Lokal. Komoditi untuk kelompok kombinasi EEE ini sangat
mempersayaratkan individual skill dan know how yang tinggi dan pada umumnya
produk-produk di bidang seni dan kerajinan, sebagai misal : gamelan, kulintang, rumah
bali, rumah kudus serta kerajinan lainnya. Pembelinya dapat berupa institusi sebagai

misal museum, gedung opera ataupun individu-individu rumah tangga. Reparasi atas
barang seni dan kerajinan tersebut akan memberikan peluang baginya untuk menjadi
produk jasa dari pasar global. Kompetisi global dengan masuknya industri skala besar,
hampir dipastikan tidak akan pernah terjadi mengingat komoditi ini akan lebih efektif dan
ekonomis dikelola oleh jenis usaha berskala kecil, karena mereka lebih unggul pada
tingkat fleksibilitas dan cost effectiveness-nya.
Kombinasi DDD juga merupakan pasar yang dimanfaatkan oleh global customer
tetapi outlet dan produknya adalah lokal. Komoditi yang berada pada kombinasi DDD ini
adalah yang sangat berdekatan dengan dunia kepariwisataan. Kepariwisataan
merupakan bentuk pasar global yang tipikal bagi usaha kecil dan menengah. Klien
global akan cepat diperoleh bagi si SME dalam dunia kepariwisataan ini.
Kombinasi FFF, adalah bentuk pasar dengan elemen produk yang bersifat global,
namun klien dan outletnya adalah multidomestik. Contoh komoditi dalam global mixed
market ini adalah produk-produk farmasi. Kecenderungan perusahaan farmasi
melakukan spesialisasi ke dalam segmen yang beraneka ragam dalam OTC market
sangatlah tinggi, karena suplai kepada daerah-daerah yang berbeda mungkin saja diatur
atas dasar pattern konsumsi dan regulasinya, namun produk farmasi pada dasarnya
dapat memenuhi dan memuaskan penggunanya berdasarkan atas fungsi fisiologis
tubuh manusianya, sehingga dengan demikian peluang merajalela di segala belahan
dunia untuk produk-produk farmasi tidak dapat dihambat-hambat lagi.
Dari penjelasan di atas maka bukanlah tidak mungkin bahwa SME akan menjadi
penggerak perekonomian Indonesia dalam tataran liberalisasi dan globalisasi
perdagangan internasional. Sifat dan karakter SME telah dibuktikan ketangguhannya
mampu menahan badai krisis di Indonesia, bahkan telah terbukti pula, sementara
kelompok usaha sedang lumpuh, justru telah terjadi pertumbuhan ekonomi di indonesia,
ini membuktikan pula bahwa pertumbuhan tersebut berasal dari SME, berasal dari
perekonomian kerakyatan. Maka tidak perlu malu-malu lagi sebelum dipermalukan,
bahwa SME merupakan industri yang perlu didukung oleh dunia perbankan. Ini pula
menjadi bagian penting dari diplomasi pemerintah di sektor perbankan.
http://www.bexi.co.id/artkel/artikel/2000/id_art_sme.asp

Anda mungkin juga menyukai