Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteric) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti
kesadaran adanya komunkasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Esensi tasawuf
sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW. Tasawuf merupakan hasil kebudayaan
islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti fiqh dan ilmu tauhid. Sehingga ilmu tasawuf
tidak terlepas dari berbagai kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya.

Para penentang ini, menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rasulullah SAW. dan
bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka menganggap bahwa ajaran tasawuf ini merupakan
ajaran sesat dan menyesatkaN. Disini kami akan mencoba membahas tentang studi kritis terhadap ilmu
tasawuf.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja prinsip-prinsip dasar ajaran tasawuf yang menyimpang dari petunjuk al-Qur’an dan as-
sunnah ?

2. Bagaimana kritik terhadap aliran-aliran dalam tasawuf ?

3. Apa saja contoh penyimpangan dan kesesatan ajaran tasawuf ?

4. Apa yang menjadi latar belakang kritik terhadap tasawuf ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al-Qur’an dan
As-sunnah.

2. Mengetahui Kritik terhadap Aliran-Aliran dalam Ajaran Tasawuf.

3. Mengetahui Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf.

4. Mengetahui Latar Belakang Kritik terhadap Tasawuf

BAB II
STUDI KRITIS TERHADAP TASAWUF

A. KRITIK TERHADAP SUMBER TASAWUF

Sebagai sistem keagamaan yang utuh, Islam memberikan tempat kepada dua jenis penghayatan
sekaligus, yaitu eksoteris (zhahiri) dan esoteris (bathini) Tekanan yang berlebihan kepada salah satu jenis
penghayatan akan melahirkan kepincangan yang menyalahi prinsip keseimbangan (tawazun). Di antara
kaum muslim ada yang hanya memihak salah satu dimensi. Tidaklah megherankan jika dalam sejarah
perjalanan umat Islam telah terbentuk dua kelompok yang sama sekali berbeda. Satu kelompok
menitikberatkan pada ketentuan-ketentuan "luhur" (ahkam azh-zhahiri) dan satu kelompok lehih
tertarik pada ketentuan-ketentuan "dalam" (ahkam al-bawathin).

Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam sekaligus perwujudan ihsan yang menyadari adanya
komunikasi langsung dengan Tuhan. Esensi ajaran ini sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah .
Meskipun demikian. Tasawuf merupakan hasil kebudayaan sebagaimana ilmu keislaman lainnya sperti
ilmu fikih dan ilmu tauhid. Oleh karena itu, tasawuf tidak lepas dari berbagai kritik.

Ada pihak yang menganggap buhwa tasawuf tidak berasal dari Rasulullah ‫ ﷺ‬dan para sahabat. Mereka
menganggap ajaran ini merupakan ajaran sesat yang diambil dari ajaran Nasrani, Hindu, Yahudi, dan
Buddha.

Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan konspirasi yang tersusun rapi
untuk menghancurkan Islam. Menurut mereka, di antara tujuan terpenting dari konspirasi tersebut,
yaitu (1) menjauhkan kaum muslim dari ajaran yang hakiki dengan kedok Islam; dan (2) menyebarkan
akidah Yahudi, Kristen, Buddha, Hindu, Zoroaster, Al-Manawiyah, dan Platonisme

Para kritikus memiliki persepsi bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam. Berikut ini komentar mereka.

1. Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir

Jika kita memperhatikan dengan teliti tentang tasawuf dan pendapat para sufi, maka kita akan melihat
dengan jelas perbedaannya dengan Alquran dan sunnah. Kita juga tidak melihat adanya bibit-bibit
tasawuf di dalam perjalanan hidup Nabi ‫ ﷺ‬dan para sahabat. Mereka itu manusia pilihan Allah. Namun
Kita dapat melihat bahwa tasawuf diambil dari kependetaan Nasrani, Brahmana Hindu, ibadah Yahudi,
dan zuhud agama Buddha.

2. Syaikh Shabir Tha'imah

Jelas bahwa tasawuf terpengaruh oleh kehidupan para pendeta Nasrani. Mereka suka memakai pakaian
dari bulu domba dan berdiam di biara. Kebiasaan ini dimulai ketika Islam melakukan ekspansi.

3. Syaikh Abdur Rahim AL-Wakil


Sesungguhnya tasawuf itu makar yang paling hina. Setan telah membuatnya untuk memerangi Allah ‫ُس ْب َحا‬
‫ نَهُ َو تَ َعا َل‬dan Rasulullah serta menipu para hamba-Nya. Sesungguhnya tasawuf adalah topeng kaum
Majusi agar terlihat seperti orang yang rabbani (taat pada Tuhan), bahkan juga topeng semua musuh
Islam. Apabila diteliti, maka akan ditemui ajaran Hindu, Buddha, Zoroaster, Yahudi, Nasrani, Pagan, dan
Platonisme.

4. Syaikh AL-Fauzan

Jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran dari luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari
kebiasaan-kebiasaan yang dinisbahkan kepadanya. Tasawuf adalah ajaran yang asing di dalam Islam dan
jauh dari petunjuk Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬.

Kalangan "sufi generasi terkemudian" sudah banyak melakukan kebohongan. Sementara itu, kalangan
"sufi generasi terdahulu" masih berada di dalam keadaan yang netral, seperti Al-Fudha'il bin Iyadh, Al-
Junaid, dan ibrahim bin Adham.

5. Syaikh Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) mengkritik paham tasawuf melalui lisan dan tulisan. Apa yang
dilakukannya dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnu Qayyim Damaskus (1292-1350 M), Ibnu-
Katsir (w. 774 H), dan Al-Hafish Adz-Dzahabi.

Pada abad XII(12) Hijriyah, muncullah seorang reformis yarng bernama Imam Muhammad bin Abdul
Wahab (1703-1787 M). la mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyah yang kemudian ikut mengkritisi
dan memerangi tasawuf.

Gerakannya dikenal dengan paham Wahabiyyah. Paham ini menyebar Ke berbagai negara. Banyak
simbol tasawuf ia kritisi. Seperti makam yang dikultuskan, syaikh yang mengajarkan doktrin sesat, dan
akidah yang menyimpang.

Kritikan-kritikan para tokoh yang menganggap bahwa tasawuf bukan berasal dari Islam sesungguhnya
telah sejak lama muncul. Sebagaimana telah dibahas dalam bagian "Sejarah Timbulnya Tasawuf, istilah
tasawuf memang belum dikenal pada masa Rasulullah ‫ﷺ‬. Menurut beberapa sumber, istilah tasawuf
baru muncul pada abad lI Hijriah. Artnya, istilah tasawuf baru muncul pada masa setelah kehidupan
beliau.

Ibnu Taimiyah, seorang penganut mazhab Hanbali, banyak melontarkan anggapan kritis terhadap
tasawuf. Sebagai seorang reformis yang ingin memurnikan pelaksanaan ajaran Islam, ia memberikan
kritik tajam terhadap perilaku dan pemikiran tasawuf yang dianggapnya bertentangan dengan Alquran
dan sunnah. Namun tidak sebagaimana para ulama Hanbali yang dikenal antitasawuf, Ibnu Taimiyah
tidaklah menyerang seluruh ajaran tasawuf. Dalam hal-hal tertentu ia sangat apresiatif, kendati di saat
yang sama ia juga mengutuk ritus-ritus tertentu kaum sufi, praktik pemujaan makam, serta pengultusan
para wali."
Menurut Ibnu Al-Jauzi dan Ibnu Khaldun, secara garis besar kehidupan kerohanian dalam Islam terbagi
menjadi dua, yaitu zuhud dan tasawuf. Diakui bahwa keduanya merupakan istilah baru, sebab belum
ada pada zaman Rasulullah ‫ ﷺ‬dan tidak terdapat dalam Alquran, kecuali kata zuhud yang disebut dalam
Surah Yasuf (12) ayat 20

Akan tetapi sumber-sumber tasawuf, jika dikatakan tidak bersumber dari ajaran islam, yaitu Alquran dan
hadis, maka sesungguhnya pendapat ini tidaklah cukup beralasan, mengingat bahwa banyak sekali
sumber-sumber tasawuf yang berasal dart ayat-ayat Alquran maupun hadis yang menjadi sumber atau
dasar dart tasawuf. Kehidupan Rasulullah sendiri adalah merupakan sumber tasawuf, mengingat
kehidupan Rasulullah adalah kehidupan yang menunjukkan kesederhanaan dan sama dengan perilaku
kehidupan para sufi atau pengamal tasawuf.

Adapun jika dikatakan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh ajaran-ajaran di luar Islam, hal tersebut bukan
berarti tasawuf bukan berasal dari sumber Islam, melainkan ada beberapa kesamaan dan kemiripan
antara ajaran tasawuf dengan sumber-sumber yang berasal dari luar Islam, seperti filsafat Yunani,
Persia, Nasrani, Buddha, Hindu, atau Arab sendiri. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam beberapa
ajaran agama akan ditemukan inti dari ajaran mengenai kedekatan seorang hamba dengan Tuhan,
demikan pula inti ajaran tasawuf, yaitu menuju kedekatan dengan Tuhan. Kesamaan ajaran inilah yang
kemudian dianggap oleh beberapa pengkritik bahwa ajaran tasawuf bukan berasal dari sumber Islam.
Padahal jika direnungi secara mendalam sangatlah banyak sumber ajaran Islam yang menjadi landasan
dari ajaran dan perilaku tasawut.

Menurut Wilberforce-Clarke, tasawuf lahir bukan lantaran diperkenalkannya sistem filsafat dari India
atau Yunani, melainkan secara murni berasal dari Islam dan merupakan bagian penting yang tidak boleh
diabaikan. Tanpa ada pengaruh dari luar pun, Islam sendiri memungkinkan untuk menumbuhkan ajaran
tasawuf.

Reynold A. Nicholson, seorang orientalis moderat, menolak adanya generalisasi yang menganggap
bahwa tasawuf sebenarnya merupakan bentuk reaksi pemikiran Arya terhadap agama Semit yarng
hasilnya adalah adanya tasawuf pemikiran India atau Persia. Nicholson menambahkan, apabila tasawuf
hanyalah sebuah revolusi dari semangat Arya, maka bagaimana kita dapat menjelaskan bahwa sebagian
besar perintis tasawuf adalah orang-orang yang berasal dari Syiria dan Mesir, yang secara ras adalan
orang-orang Arab?

Demikian pula, orang yang mengemukakan adanya pengaruh agama Buddha dan Hindu, ia melupakan
satu fakta penting banwa pengaruh (budaya) India terhadap peradaban Islam baru terjadi agak
belakangan, yaitu tatkala ilmu kalam (teologi), filsafat, dan sains di kalangan umat Islam telah berhasil
menunjukkan keunggulanya ketika lahan budaya yang ada telah jenuh dengan budaya Hellenistik

Penulis sufisme awal, seperti As-Sarraj (w. 378 H/988 M), AL-Kalabadzi (w. 390 H/1000 M), Abu Nu'aim
(w. 430 H/1038 M), AL-Qusyairi (w. 465 H/ 1072 M) mendalilkan bahwa sufisme merupakan ekspresi
murni dari rohani ajaran Islam, dan merupakan perwujudan yang sempurna dari nilai-nilai rohaniah.
Mereka mengemukakan bahwa kaum sufi mempunyai keyakinan sebagaimana yang dirumuskan para
ahli ilmu kalam (teologi) bahwa mereka mengikuti aturan sebagaimana yang dirumuskan oleh para
fuqaha (ahli hukum Islam) dengan metode dan pengalaman yang sepenuhnya sesuai dengan Alquran
dan sunnah. Mereka menafsirkan dan merujukkan ucapan kaum sufi yang terlihat kurang taat asas
(inkonsisten) dan meninggalkan hal-hal yang tidak sesuai.

Dengan demikian, dari semua uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu
bersumber dari ajaran Islam itu sendiri, Nabi Muhammad dan para sahabatnya pun telah
mempraktikkannya. Hal ini dapat ilihat dari asas-asasnya yang banyak berlandaskan Alquran dan
sunnah. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran pemikiran
(misalnya, tasawuf Filsafat), tasawuf mendapat berbagai pengaruh, seperti budaya Yunani, Hindu, dan
Persia.

B. KRITIK TERHADAP PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN TASAWUF YANG DIANGGAP MENYIMPANG


Para sufi mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan Islam.
Namun, apa yang mereka yakini bertentangan dengan Alquran dan sunnah. Mereka membangun tata
cara peribadatan mereka atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri.

Menurut Abdullah Taslim, penyimpangan-penyimpangan ajaran tasawut antara lain sebagai berikut.

Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek tertentu dan mengesampingkan aspek lainnya.
Hal ini sebagaimana yang diucapkan seorang sufi, "Aku beribadah kepada Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬bukan
karena aku mengharap kan masuk surga, juga bukan karena takut masuk neraka." Memang benar
bahwa aspek mahabbah merupakan landasan berdirinya ibadah, tetapi tidak hanya terbatas pada aspek
itu. Hal itu dikarenakan ibadah memiliki banyak aspek seperti aspek khauf, raja, dzull (penghinaan diri),
khudhu (ketundukan), dan doa.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Kebanyakan orang yang menyimpang dari jalan َ ‫ُسب َْحا نَهُ َو تَ َع‬
Allah ‫ال‬
adalah orang-orang yang mengikuti bid'ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi
ilmu sekaligus tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah. Mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti
yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, tetapi bersamaan dengan
itu, mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk ber-mujahadah dalam menjalankan agama-
Nya."

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek mahabbah, tidaklah disebut
ibadah. Ajaran ini dapat menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan, bahkan menyebabkan
keluar dari agama Islam.

Kedua, pada umumnya para sufi beribadah tidak berpedoman pada Al-qur'an dan sunnah. Pedoman
mereka adalah bisikaln Jiwa, ajaran syaikh (berupa tarekat, bid'ah, dzikir, dan wirid), cerita-cerita yang
tidak jelas kebenarannya, mimpi-mimpi, dan hadis-hadis palsu.

Syaikh lbnu Taimiyah berkata, "Para sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬. berpegang
teguh pada ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya centa-cerita yang bersumber dari orang yang
tidak dIkenal kejujurannya. Cerita-cerita itu kalaupun ternyata berasal dari orang yang Jujur, tetap saja ia
bukan nabi atau rasul yang terjaga dari kesalahan. Selain itu, mereka menjadikan para guru mereka
sebagai penbuat Syari'at. Sebagaimana yang Juga dilakukan oleh orang-orang Nasrani.

Ketiga, harus berpegang teguh pada dzikir yang sudah ditentukan oleh guru. Ketika beribadah, para sufi
selalu membacanya. Mereka merasa cukup dengannya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa
membaca dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Alquran. Mereka menamakannya dengan
dzikir "orang-orang khusus"

Adapun dzikir yang tercantum di dalam Alquran dan sunnah, mereka namakan dengan dzikir "orang-
orang umum". Kalimat la iaha illallah adalah dzikir "orang-orang umum" dan dzikir "orang-orang khusus"
adalah kata tunggal Alah‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬. Sementara itu, dzikir "orang-orang yang lebih khusus" adalah kata
Huwa (Dia).
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Barangsiapa yang berpendapat bahwa kalimat la ilaha illallah adalah
dzikirnya orang-orang umum, lalu dzikirmya orang-orang khusus adalah kata tunggal Allah ‫ال‬ َ ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َع‬,
dan dzikirnya orang-orang yang lebih khusus adalah kata ganti Huwa, maka ia adalah orang yang sesat."
Di antara mereka, ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini dengan firman Allah ‫ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬

Katakanlah, "Allah-lah (yang menurunkannya), kemudian (setelah itu) biarkanlah mereka bemain-main
dalam kesesatannya. (QS. Al-An'âm (6):91)

Berdalil dengan cara seperti ini adalah kesalahan paling nyata dilakukan oleh sebaglan ahli tasawuf,
bahkan ini termasuk menyelewengkan Alquran dari makna sebenarnya. Sesunggguhnya kata Allah
dalam ayat ini disebuttkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya yaitu
sebagai berikut.

Katakanlah (Muhammad), "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa Musa sebagai
cahaya dan petunjuk bagi mansia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai,
kamu memperlihatkan (sebagiannya) dan banyak yang kamu sembunyikan, padahal telah diajar- kan
kepadamu apa yang tidak diketahui, baik olehmu maupun oleh nenek moyangmu. Katakamlah, "Allah-
lah (yang menurunkannya). (Q5. Al-An' âm (6): 91)

Jadi, maknanya yang benar adalah Katakanlah, "Allah. Dialah yang meruerunkan kitab (Taerat) yang
dibawa oleh Nabi Musa

Keempat, sikap ghuhuw (berlebihan atau ekstrem) terhadap orang-orang yang dianggap wali. Hal ini
bertentangan dengan akidah Ahl As-Sunnah wa Al-Jama'ah yang memiliki prinsip wala (mencintai atau
َ ‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َع‬dan membenci musuh-musuh-Nya.
berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‫ال‬

Allah‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َعا َل‬berfirman:

Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah). (QS. Al-Mä'idah (5): 55)

Allah‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َعا َل‬juga berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi temm-
teman setia. (Q5. Al-Mumtahanah (60): 1)

َ ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َع‬ialah orang yang beriman, bertakwa, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
Wali Allah‫ال‬
tunduk kepada-Nya. Kita wajib mencintai, menghormati, dan meneladani mereka. Akan tetapi, derajat
kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang-orang tertentu, sebab setiap orang yang beriman dan
bertakwa adalah wali-Nya. Sekalipun demikian, kedudukan sebagai wali Allah tidaklah menjadikan
seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah pemahaman Ahl As-Sunnah wa Al-Jama'ah
mengenai makna wali, kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka.

Sementara itu, makna wali menurut orang-orang ahli tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahl
As-Sunnah wa Al-Jama'ah. Mereka memiliki beberapa pertimbangan tertentu yang bertentangan dengan
petunjuk Alquran dan sunnah. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang
tertentu tanpa dilandasi syariat. Tidak jarang mereka menobatkannya kepada orang yang tidak diketahui
keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang menyimpangkan keimanannya, seperti orang
yang melakukan praktik perdukunan dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬.
Terkadang, mereka menganggap bahwa kedudukan wali melebihi kedudukan Nabi ‫ ﷺ‬sebagaimana
ucapan salah seorang dari mereka, "Kedudukan para nabi di alam Barzakh sedikit di atas kedudukan
rasul dan di bawah kedudukan wali.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Kamu akan dapati mayoritas ahli tasawuf menobatkan seseorang sebagai
wali hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah atau orang
tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang
kemudian orang itu mati, terbang menuju Mekah, berjalan di atas air, mengisi Teko dari udara dengan
air sampai penuh, mengetahui keberadaan barang-barang yang hilang, dan memberitakan hal-hal yang
ghaib. Padahal, ke mampuan melakukan semua ini tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya ialah wali
Allah‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َعا َل‬. Orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat bahwa jika ada orang yang mampu
terbang atau berjalan di atas air, kita tidak boleh teperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita
melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Alquran dan sunnah atau tidak. Hal-hal yang di luar
kemampuan manusia ini dapat saja dilakukan oleh orang kafir dengan bantuan jin. Kita tidak boleh
menganggap setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah. ‫ال‬ َ ‫ُسب َْحا نَهُ َو تَ َع‬

Kelima, termasuk doktrin ajaran tasawuf yang sesat jika menganggap nyanyian, tarian, tabuhan rebana,
dan tepukan tangan sebagai amalan ibadah kepada Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬yang dapat mendekatkan diri
kepada-Nya

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Ketahuilah bahwa perbuatan orang- orang ahli tasawuf ini sama sekali
tidak pernah dilakukan tiga generasi yang utama di semua negeri Islam, yaitu Hijaz, Syiria, Yamarn,
Mesir, Maghrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shaleh pada masa itu tidak pernah berkumpul
untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana, dan ketukan
tongkat. Perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid'ah) yang muncul di penghujung abad II.
Ketika para imam Ahl As-Sunnah melihat perbuatan ini, mereka langsung mengingkarinya.

Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), ia menjawab, "Aku tidak menyukainya (karena)
perbuatan ini adalah bid'ah." la ditanya lagi, "Apakah Anda mau duduk bersama orang-orang yang
melakukan perbuatan ini?" la menjawab, "Tidak." Demikian pula, imam-imam besar lainnya tidak
menyukai perbuatan ini. Para ulama tidak mau menyaksikan perbuatan ini, seperti Ibrahim bin Adham,
Fudha'il bin lyadh, Ma'ruf AL-Karkhi, Abu Sulaiman Ad-Darani, Ahmad bin Abil Hawari, dan As-Sariy As-
Saqti."

Ahli tasawuf yang mendekatkan diri kepada Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬dengan cara- cara sesat seperti orang-
orang penghuni neraka dicela oleh-Nya dalam firman berikut.

(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan
kehidupan dunia telah menipu miereyka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka
sebagaimana mereka melupakan Pertemumm mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu
mengigkari yat-ayat Kami. (QS. Al-A'raf(7): 51)

Keenam, juga termasuk doktrin ajaran tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai
suatu tingkatan yang Jika telah mencapainya, maka akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat.
Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tasawuf. Sementara itu, asal mula ajaran
tasawuf sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu AL-Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan
watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang buruk dan membawanya pada akhlak-
akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas, dan jujur.

Syaikh Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka
telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, ia menjawab, "Tidak diragukan
lagi menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan beriman bahwa ucapan ini termasuk kekufuran
yang paling besar, bahkan lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
mengimani sebagian kitab suci dan mengingkari sebagian lainnya."

Demikian kritikan-kritikan dari pihak yang tidak setuju dengan tasawuf. Mereka menganggap dalam
beberapa ajaran ini terdapat penyimpangan,

Polemik terhadap tasawuf ini sebenarnya berkisar mengenai persepsi yang berbeda dalam memahami
ajaran-ajarannya. Para sufi yakin bahwa tasawuf sesungguhnya bersumber dari Alquran dan sunnah.
Sementara itu, para kritikus menganggap bahwa tasawuf telah menyimpang dari Islam.
Walaupun demikian, memang diákui bahwa ada sejumlah penyimpangan dalam ajaran dan amalan
tasawuf. Jika itu semua telah menyimpang, maka harus dikembalikan kepada ajaran yang benar.

C. KRITIK TERHADAP ALIRAN-ALIRAN DALAM AJARAN TASAWUF

Menurut Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, ajaran tasawuf yang ekstrem dibag menjadi tiga sekte.

Pertama, sekte A-lsyraqi. Aliran ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. A-Isyraqi
(penyinaran) ialah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati sebagai hasil dari pembinaan
jiwa dan penggemblengan roh yang disertal dengan penyiksaan badan. Ajaran ini sebenarnya ada pada
semua sekte tasawuf, tetapi ajaran ini hanya sebatas pada penyimpangan dan tidak membawa kepada
ajaran hulul dan wahdah al-wujud. Meskipun demikian, ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran
Islam karena diambil dari ajaran agama lain, seperti Buddha dan Hindu.

َ ‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َع‬dapat bertempat atau menitis ke


Kedua, sekte Al-Hulul. Sekte ini berkeyakinan bahwa Allah ‫ال‬
dalam diri manusia-Mahasuci Dia dari sifat ini. Keyakinan ini diserukan oleh Hasan bin Manshur Al-Hallaj,
sehingga para ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan mengharuskannya dihukum mati. Al-Hallaj
pun dibunuh dan disalib pada tahun 309 Hijriah. Di dalam syair yang dinisbatkan kepadanya, ia berkata:

"Mahasuci (Allah) yang nasut (unsur atau sifat kemanusiaan)-Nya telah menampakkan rahasia cahaya
lahut (unsur atau sifat ketuhanan) -Nya yang menembus. Lau, tampaklah Dia dengan jelas pada (diri)
makhluk-Nya dalam bentuk seorang yang sedamg makan dan sedang minum hingga (sangat jelas). Dia
terlihat oleh makhluk-Nya seperti (jelasnya) pandamgan alis mata dengan alis mata.

Dalam syair lain, ia berkata:

"Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku Kami adalah dua roh yang bertempat di
dalam satu jasad. Jika kamu melihatku, (berarti) kamu melihat Dia. Dan jika kamu melihat Dia, (berarti)
kamu melihat kami."

Al-Hallaj adalah pengikut sekte Al-Hulul. la meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan
bahwa Al-Ilah(Allah) memiliki dua tabiat, yaitu lahir (unsur atau sifat) keudian lahut menitis ke dalam
nasut. Menurutnya, roh manusia adalah lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu
adalah nasut.

Ketiga, sekte Wahdah AL-Wiujud. Sekte ini berkeyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah
َ ‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َع‬.
satu dan segala sesuatu yang kita lihat dialam semesta ini merupakan perwujudan Allah ‫ال‬
َ ‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َع‬dari Segala keyakinan kotor mereka. Tokoh sekte ini adalah lbnu Arabi AL-
Mahasuci Allah‫ال‬
Hatimi Ath-Tha'i.

Dalam kitabnya, Al-Futuhat AI-Makkiyyah," ibnu Arabi menyatakan keyakinan kufur dengan ucapannya:

Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba

Duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat) ?

Jika kau katakan, "Hamba," maka dia adalah tuhan Atau kau katakan, "Tuhan," maka mana miungkin
tuham diberi tugas?

Dalam kitabnya yang lain, Fushüsh Al-Hikâm (hlm. 192), ia mengigau, Sesungguhnya orang-orang yang
menyembah anak sapi, mereka menyembah Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬."

Meskipun demikian, ahli tasawuf bahkan memberikan gelar kehormatan yang tinggi kepadanya, seperti
َ ‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َع‬dengan sebenarnya), "Al-Quthb Al-Akbar"
"Al-'Arif Billah" (orang yang mengenal Allah ‫ال‬
(pemimpin para wali yang paling agung), "Al-Misk Al-Adzfar" (minyak kesturi yang paling harum), dan
"AL-Ahmar" (permata yang merah berkilau); padahal ia terang-terangan memproklamasikan wahdah al-
wujud. Selain itu, ia memuji Firaun yang mati Setelah beriman, mencela Nabi Harun karena mengingkari
kaumnya yang menyembab anak sapi, dan meyakini bahwa kafirnya orang-orang Nasrani karena mereka
hanya mengkhususkan Nabi Isa sebagai Tuhan Menurutnya, apabila kaum Nasrani tidak mengkhususkan
Nabi lsa, mereka tidak dikafirkan. Aliran-aliran dan ajaran tasawuf yang ekstrem, seperti sekte Al-lsyraqi
(penyinaran), Al-Hulul (kemenyatuan), dan Wahdah ALWujud (panteisme) merupukan paham yang
dianggap menyimpang oleh sebagian besar kaum muslimin, karena bertentangan denggan paham Ahl
As-Sunnah wa Al-Jama'ah dan dapat membahayakan akidah kaum awam.

Adapun mengenai tasawuf Falsafi, terjadi perdebatan yang berkepanjangan antara para penganutnya
dan para penentangnya. Sebagai sebuah tasawuf yang bercampur dengan pemahaman filsafat, tasawuf
Falsafi memiliki karakteristik yang berbeda dengan tasawuf Sunni. Karakteristik tasawuf Falsafi secara
umum mengandung kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat
dipahami oleh kalangan tertentu. Selanjutnya, tasawut ini tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena
ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Di samping itu, tasawuf ini tidak pula dapat
dikategorikan sebagai tasawuf, karena ajarannya sering diungkapkan dalam terminologi filsafat dan
cenderung mengarah ke panteisme.

Dengan demikian, pandangan tasawuf Falsafi bertentangan dengan pandangan tasawuf murni pada
umumnya dan kajiannya pun berbeda dari segi pendekatan.

lbnu Taimiyah mencatat beberapa kisah seputar keshalehan dan ibadah mereka para sufi yang dianggap
berlebihan. Misalnya, jatuh pingsan lalu meninggal dunia saat mendengar bacaan Alquran. Sufi itu di
antaranya Zurarah bin Aufa yang merupakan seorang qadhi di Bashrah. Ketika shalat shubuh ia
membaca, "Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit." Setelah
membaca, mendadak ia jatuh pingsan dan akhirnya meninggal dunia. Peristiwa yang sama dialami oleh
Abu Hajir Al-A'ma yang meninggal dunia tatkala dibacakan ayat quran oleh Shalih Al-Murri kejadian yang
sama juga pernah menimpa Asy-Syafi dan Fudha-il bin Iyadh. Di mata Ibnu Taimiyah, fenomena
berlebihan dalam beribadahi ni kuranglah bagus. Terbukti banyak para sahabat yang mencelanya,
seperti Asma' binti Abu Bakar, Abdullah bin Zubair dan Muhammad bin Sirrin. Menurut lbnu Taimiyah,
keadaan yang benar ketika mendengar Alquran dibacakan adalah seperti yang digambarkan dalam ayat,
yaitu hati yang gemetar dan keimanan yang bertambah .

Ibnu Taimiyah juga mengkritik aktivitas kerohanian yang dilakukan Kaum sufi, sebagaimana yang
dipraktikan oleh para sufi Bashrah. Ibnu Taimiyah mengatakan,

"Oang-orang berbeda pendapat tentang jalan yang dilalui kaum sufi Sekelompok imam, ahli fiqh, serta
mutakalim mencela dan menudu mereka sebagai pelaku bid'ah, sekaligus berada di luar jalur sunnah.
Sebaliknya, ada yang berkata bahwa mereka adalah orang-orang utama dan sempurna setelah para
nabi. Kedua belah pihak dalam hal ini tidak benar. Pendapat yang benar adalah bahwa para sufi adalah
mereka yang bersungguh-sungguh (berijtihad) dalam rangka taat kepada Allah. Sama halnya seperti
kelompok lain yang juga taat kepada-Nya."

Menurut ibnu Taimiyah, ada sejumlah sufi tercela yang disebabkan aktivitas asketisnya tidak sesuai
dengan ajaran syariah. la memetakan mereka secara stratifikatif menjadi tiga tingkatan.

Tingkatan pertama, masyayikh Islam atau a-'aimat al-huda, yaitu guru-guru sufi yang menempuh jalan
kebenaran. Mereka yang termasuk golongan ini adalah Fudha-il bin Iyadh (w, 187 H/802 M), Ibrahim bin
Adham (w, 160 H/877 M) Syaqiq Al-Balkhi (w, 194 H/910 M), Abu Sulaiman Ad-Darani (w. 204 H/844 M),
Ma'ruf Al-Karkhi (w, 220 H/835 M), Bishr Al-Hafi (w. 227 H/841 M), Sari As Sagathi (w. 253 H/867 M), Al-
Junaidi bin Muhammad (w. 289 H/910 M), Sahl hin Abdillah At Iutstari (w. 283 H/896 M), dan Umar bin
Utsman Al-Makki (w. 291 H/903 M), Selain itu, termasuk juga para sufi terkemudian, seperti Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani (w. 561 H/1166 M), Syaikh Hammad Ad-Dabbas (w. 525 H/1130 M), dan Syaikh
Abu Al-Bayan (w. 522 H/56 M). Menurut Ibnu Taimiyah, mereka tidak pernah mabuk (sukr) dan tidak
kehilangan perasaan untuk membedakan atau berkata tentang sesuatu yang bertentangan dengan
Alquran dan sunnah. Ringkasnya, kehidupan mereka senantiasaa selaras dengan tuntunan syara
(mustaqim al-ahwal). la menamakan mereka dengan sebutan para syaikh yang istiqamah (al-masyaryikh
ahl al-istiqamah) atau Orang yang istiqamah dalam menempuh jalan kepada Tuhan (al-mstaqim min ash-
shalihim).

Tingkatan kedua, yaitu para sufi yang pengalamannya dalam tana telah melemahkan pikiran mereka.
Mereka telah kehilangan kemampuan untuk membedakan dan kata-katanya tidak beraturan karena
tidak terkontrol oleh nalar. Dalam keadaan demikian, sebagian mereka melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan syariat, namun cepat atau lambat keadaan akan berangsur membaik. Mereka
yang termasuk ke dalam golongan ini, yaitu Abu Yazid Al Busthami (w. 261 H/875 M), Abu Bakar Ash-
Shibli (w. 334 H/946 M), dann Abu Husain An-Nuri (w. 295 H). Meskipun demikian, perbuatan mereka
masih termaafkan, karena dilakukan dalam kondisi tidak tersadarkan diri.

Sementara itu dalam lapis ketiga, adalah para sufi yang menempuh jalan sesat. Mereka mempercayai
gagasan dan doktrin yang bertentangan dengan Isam. Orang-orang yang termasuk dalam golongan ini
adalah Al Hallaj (w. 638 H/1240 M), Ibnu Arabi (w. 638 H/1240 M), Sadruddin ALQunawi (w. 672 H/1273
M), dan At:Tilmisani (w. 690 H/1291 M).

Terhadap kelompok ketiga ini, Ibnu Taimiyah memuntahkan kritik pedasnya. Al-Hallaj dituduh sebagai
penganut doktrin inkarnasi sebagian. Doktrin ini mirip dengan keyakinan orang Nasrani terhadap Yesus.
Tidak hanya itu dimata Ibnu Taimiyah, Al-Hallaj merupakan conton sosok yang penuh khayal diri dan
kesurupan; menyatukan aspek-aspek yang paling mengerikan dari pengalaman spiritual dengan
penilaian individual yng tidak mempunyai aturan."

Dengan demikian, Ibnu Taimiyah sesungguhnya tidak membenci seluruh perngamal tasawuf. Beberapa
di antara mereka memang yang kurang semnpurna seperti sufi pada tingkatan kedua. Sebagian yang lan
dianggapnya sesat, seperti kelompok sufi ketiga. Akan tetapi, ada banyak nama sufi yang dianggapnya
tidak melanggar syariat dan boleh diikuti, seperti kelompok pertama.

Beberapa di antara ajaran tasawuf ada yang menjadi Korntroversi dan menimbulkan kritikan para
penentangnya karena diarnggap menyalahi ajaran Islam, seperti ungkapan-ungkapan syatahat yang
rancu darn membingungkan kaum awam. Ungkapan-ungkapan demikian seringkali sulit dipahami oleh
orang kebanyakan dan dapat menyesatkan orang lain.

Menurut Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A., dalam bukunya Tasawuf Sebagai Kritik Sosial," bahwa hal
demikian dikarenakan ikhtiar atau pelatihan sufi yang kemudian mempengaruhi penajaman hati.
Manusia mempunyai hati yang tingkat ketajamannya bertangga-tangga, tidak tunggal, dan seragam.
Dengan pelatihan yang intensif dan tepat sasaran, maka akan tersingkap segala selubung dalam hati
manusia. Dalam istilah tasawuf ada beberapa nama untuk menyebut hati, yaitu bashirah (mata hati),
dhamir (sikap moral), fuad (nurani), dan sirr (kekuatan spiritual yang bersifat misteri). Tingkatan yang
tertinggi

Dalam khazanah sufi disebut lathifah (kekuatan spiritual yang sangat lembut). Empat jetnis hati manusia
ini sifatnya kronologis (melalui tahapan-tahapan tertentu) yiang akan tersingkap melalui tahapan
pelatihan spiritual. Jadi, terlihat buhwa puncak capaian hati adalah meraih kebijaksanaan (hikmah
uisdom) yang berbasis pada kekuatan spiritual. Pada tingkatan ini, manusta akan merasakan
ma'rifatuilah karena sifat-sifat llahiah telah menempel lekat pada dirinya. Perasaan llahiah tertinggi ini
sulit untuk diungkapkan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam bentuk ungkapan verbal.

Penjelajahan mendalam yang dilakukan para sufi inilah yang kerap kali memicu perbedaan pandangan.
Perbedaan ini terjadi bukan semata karena pertentangan ide (conflict of ideas), melainkan lebih pada
perbedaan dalam pendalaman hati menuju pengenalan dan pendekatan terhadap Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬.
Logika yang linier dan baku, barangkali akan sulit menerima kata-kata yang muncul dari Al-Hallaj, "Ana
AL-Haqq." (Akulah Allah Yang Mahabenar) atau ucapan Abu Yazid Al-Busthami "Subhani, (Mahasuci
Aku). Kata-kata yang terucap spontan dari hasil kondisi yang dialami sang sufi ini disebut syatahat. Selain
itu, syatahat biasanya sering memunculkan aneka reaksi, bahkan kecaman dari sebagian orang yang
tidak senang.
Oleh karena itu, sebenarnya logis jika para kritikus melontarkan tuduhan bahwa ada beberapa
penyimpangan dan kesesatan dalam ajaran tasawuf. Hal itu disebabkan kaum sufi yang melakukan
pendekatan terhadap Allah dengan cara syatahat yang sulit dicerna akal. Sementara itu, para pengkritik
menggunakan pendekatan rasional dan pendekatan tekstual.

Di samping yang disebutkan di atas, kritikan terhadap ajaran tasawut juga disampaikan oleh beberapa
ulama yang memandang bahwa konsep ajaran tasawuf haruslah berpedoman kepada sumber ajaran
Islam, yaitu Alquran dan sunnah. Jika ada ajaran dan pengamalan tasawuf yang bertentangan dengan
sumber tersebut, maka harus diluruskan.

Sehubungan dengan itu, KH. Hasyim Asy'ari mendirikan Nahdhatul Ulama (NU), di mana organisasi ini
termasuk organisasi yang mendukung ajaran tasawuf dan tarekat. Akan tetapi, Hasyim mengakui ada
ajaran-ajaran tasawuf yang harus diluruskan oleh pengamalnya, agar tidak menyimpang dari esensi
ajaran Islam yang murni. Beberapa pokok pikiran tasawuf Hasyim antara lain berkenaan dengan perilaku
yang dianggap menyimpang dari syariat Islam misalnya, Hasyim tidak suka dihormati secara berlebihan
sehingga mengakibatkan adanya pengultusan individu terhadapnya. Ia sangat mengecam perilaku
seperti ini. Pengultusan semacam ini biasanya ditujukan kepada seorang mursyid yang dianggap mampu
enghubungkan manusia (Jamaah) dengan Tuhan. Hal ini yang kemudian mengakibatkan munculnya
anggapan bahwa seorang Mursyid adalah orang keramat yang jauh dari kesalahan. Hal demikianlah yang
ditentang oleh Hasyim karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Inilah yang menyebabkan
la melarang murid-muridnya memanggilnya syaikh sufi dan melarang anak cucunya untuk memperingati
hari kematiannya (haul). ---sebuah tradisi di kalangan kaum muslimin di Jawa untuk mengenang
perjuangan dan Jasa-Jasa seorang tokoh ulama.

Hasyim Asy'ari juga sangat selektif dalam masalah tarekat, termasuk pemberian predikat wali kepada
seorang mursyid. la sangat menentang hal itu dan tidak pernah mengenal kompromi. Sikap demikian
dapat dilihat melalui pernyataannya berikut.

"Wali tidak akan memamerkan diri, meskipun dipaksa membakar diri mereka. Siapa pun yang
berkeinginan menjadi figur yang populer, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai kelompok sufi mana
pun." Di antara cobaan (fitnah) yang merusak hamba pada umumnya adalah pengakuan guru tarekat
dan pengakuan wali. Bahkan, ada yang mengaku dirinya sebagai wali quthb dan ada pula yang mengaku
dirinya Imam Mahdi. Barangsiapa yang mengaku dirinya wali, tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat
Rasulullah ‫ﷺ‬, orang tersebut adalah pendusta yang membuat-buat perkara tentang Allah ‫ال‬ َ ‫ ُسب َْحا نَهُ َو تَ َع‬.
Orang yang mengabarkan dirinya itu wali, bukanlah wali yang sesungguhnya. Ia hanya wali bohongan
yang jelas jelas salah, karena ia mengatakan sir al-khushushiyyah (rahasia-tahasia kekhususan) dan ia
membuat kedustaan atas Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬."

Hasyim tentang tarekat sangat moderat. la tidak segan-segan mengkritik tarekat yang pengamalannya
menyalahi prinsip ajaran tasawuf sendiri. MIsalnya, memberikan otoritas yang berlebihan kepada
mursyid. Sejalan dengan itu, buku Ad-Durar Al-Mumtasyirah ditulis untuk meluruskan prinsip tasawuf
atau tarekat yang menyimpang.
Menurut Hasyim, dengan mengutip pendapat Suhrawardi, Jalan kaum sufi adalah membersihkan jiwa;
menjaga nafsu; serta melepaskan diri dari berbagai bentuk sifat buruk, seperti ujub, takabbur, riya, dan
hub ad-dunya. Selain itu, menjalani budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti ikhlas, tawadhu
(rendah hati), tawakkal (bersandar dan percaya kepada Tuhan), memperkenankan hati kepada orang
lain dan setiap kejadian (ridha), serta memperoleh ma' rifat dari Allah ‫ ُس ْب َحا نَهُ َو تَ َعا َل‬."

Di sini jelas tampak betapa gigihnya Hasyim membentengi lslam dan umatnya dari pengaruh-pengaruh
luar yang menyimpang dari Alquran dan Sunnah. Kritik kerasnya terhadap tiga persoalan, yaitu tarekat,
konsep kewalian, dan haul semata-mata ia ingin mendudukkan posisi tasawuf pada tempat yang
semestinya. la ingin tasawuf dilihat dari aspek substansinya, bukan aspek kulturalnya. Hal itu dilakukan
agar tasawuf tidak lepas kendali dari syariat yang lurus."

Hasyim merupakan sufi yang moderat. la memang pengikut tasawuf, tetapl bersikap kritis dalam
beberapa hal. Ia berharap tasawuf dapat tetap berjalan sesuai dengan syariat dan nilai-nilai pokok
ajaran Islam.

Demikian kritik-kritik terhadap ajaran tasawuf yang dianggap bertentangan dan menyalahi ajaran Islam.
Bagaimanapun harus diakui bahwa pengamalan agama haruslah sesuai dengan sumber asalnya, yaitu
Alquran dan hadis.

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

"Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Engkau tidak akan tersesat selamanya jika engkau berpegang
kepada dua perkara tersebut, yaitu Alquran dan sunnah Nabi-Nya." (HR. Hakim).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Tasawuf dan asal katanya menjadi perdebatan para ahli bahasa. Ada yang mengatakan dari kata “shifa’’
artinya suci, bersih ibarat kilat kaca, sebagian ulama mengatakan dari kata “shuff”, artinya bulu domba
sebab orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu domba, dan sebagian yang mengatakan
diambil dari kata “shuffah”, ialah sekelompok sahabat Nabi yang mengasingkan dirinya di suatu tempat
di beranda mesjid.

Para penentang tasawuf menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rasulullah dan
bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka menganggap bahwa ajaran tasawuf merupakan
ajaran sesat dan menyesatkan yang diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah
Yahudi, dan zuhud Budha. Sebagian berpendapat, praktik tasawuf telah merusak umat Islam, dikatakan
dibawah pesona sufi, orang Muslim menjadi apolitis, asosial, amiliter, anetika, dan tidak produktif.

Salah seorang cendikia muslim (Hasan Hanafi 2000: 44) mencoba merekonstruksi tasawuf. Beliau
mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari
empat besar ilmu rasional (‘aql) yang bersifat tradisional (naql). Hanafi berusaha merekonstruksi nilai
mistik jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantu generasi-
generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang dihadapi.

Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami menyarankan
kepada teman-teman sesama mahasiswa untuk mencari informasi lain sebagai tambahan dari apa yang
telah kami uraikan di atas.

Anda mungkin juga menyukai