Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

PEMBUATAN SEDIAAN INFUS ISOTONIS KCL 0,38% CUM GLUCOSE SEBANYAK 100
ML

Hari/Tangga;l :
Jumat, 8 April 2022

Dosen Pengampu :
Dr. Apt. Yudi Wicaksono, S.Si., M.Si.

KELOMPOK A1-5
Made Dharma Wisesa K. 192210101064
Fikri Dwi Ramdani 192210101065
Naurah Nurulita Syafiin 192210101067
Viona Nazila Syaharani 192210101117
Intan Wahidah Nur M. A. 192210101118

BAGIAN FARMASETIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2022
I. TUJUAN PRAKTIKUM
I.1 Mempelajari cara pembuatan sediaan steril volume besar beserta cara sterilisasinya
I.2 Mempelajari cara perhitungan tonisitas
I.3 Membuat sediaan yang bebas dari pirogen

II. LATAR BELAKANG


Sterilisasi merupakan suatu proses yang bertujuan untuk membebaskan suatu
alat, benda atau bahan dari berbagai macam mikroorganisme dalam bentuk sel hidup,
spora dan jasad renik nya. Di Dalam bidang farmasi, sediaan steril biasa digunakan
pada saat operasi, diinfus, disuntik, mengobati luka yang terbuka dan sebagainya.
Sediaan yang termasuk dalam sediaan steril diantaranya sediaan suntik yang bervolume
besar dan kecil, cairan irigasi yang berfungsi meredam luka atau lubang operasi,
sediaan biologis seperti vaksin, toksoid, antidotum dan lain-lain. Sterilisasi merupakan
tahapan yang harus dilakukan karena sediaan tersebut akan berhubungan langsung
dengan jaringan tubuh yang menjadi tempat infeksi dapat terjadi dengan mudah (Ansel,
1989)
Menurut farmakope Indonesia Edisi III, sediaan infus merupakan sediaan steril
berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis
terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dengan volume relatif banyak.
Kecuali dinyatakan lain, infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel.
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, pengertian infus yaitu sediaan
parenteral volume besar merupakan sediaan cair steril yang mengandung obat yang
dikemas dalam wadah 100ml atau lebih dan ditujukan untuk manusia.
Tujuan dari administrasi sediaan infus adalah untuk memberikan atau
menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak
dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui pemberian peroral,
memperbaiki keseimbangan asam-basa, memperbaiki volume komponen-komponen
darah, memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh dan
memberikan nutrisi pada sistem pencernaan yang mengalami gangguan (Perry &
Potter, 2005). Dalam pembuatan infus, sering diberi zat tambahan untuk mendapatkan
larutan dengan nilai tonisitas dan pH yang sesuai. Biasanya cairan steril mengandung
obat, vitamin, nutrien (glukosa) dan zat elektrolit (Na+, Ca+, K+) dimana konsentrasi
dinyatakan dalam persen w/v, milliequivalent (mEq) atau milliosmol (mOsm)
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan sediaan steril infus KCl 0,38%
yang dibuat dalam kondisi isotonis yaitu tekanan osmosis sediaan sama dengan tekanan
osmosis plasma darah. Dibuat dalam kondisi isotonis untuk mengurangi kerusakan
jaringan dan iritasi serta mencegah terjadinya hemolisis. KCl sendiri merupakan
senyawa yang berkhasiat untuk terapi hypochloremic alkalosis yang sering terjadi pada
pasien kekurangan kalium (hypokalemia) dan dapat diatasi dengan ion klorida dari
sediaan ini. Selain itu juga terdapat tambahan glukosa yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan glukosa darah yang nantinya menjadi sumber energi. KCl dan glukosa yang
digunakan harus setara dengan larutan NaCl 0,9% untuk menghindari larutan infus
bersifat hipotonis maupun hipertonis..

III. PRA FORMULASI


3.1.Tinjauan Farmakologi
3.1.1. Efek Utama
Kalium klorida digunakan untuk mencegah atau mengobati kondisi
hipokalemia. Kadar normal kalium yaitu 3,4-5,0 mEq/L. Jika kadar
kalium berada dibawah rentang tersebut maka disebut dengan kondisi
hipokalemia. Kondisi hipokalemia merupakan gangguan klinis yang
harus segera diatasi karena dapat meningkatkan risiko terjadinya aritmia
jantung. Kalium klorida menjadi agen terapetik untuk mengatasi
hipokalemia. Kalium klorida mampu meningkatkan kadar kalium di
dalam tubuh (McMahon, 2022).
3.1.2. Efek Samping
Phlebitis, eritema, trombosis, ekstravasasi, hipervolemia, dan
hiperkalemia (McMahon, 2022; MIMS).
3.1.3. Kontraindikasi
Kontraindikasi dengan diuretik-sparing kalium, obat anti inflamasi
nonsteroid, dan ACE-inhibitor. Kontraindikasi dengan kondisi medis
tertentu misal, penyakit ginjal kronis, hiperkalemia atau kasus retensi
kalium (McMahon, 2022; MIMS).

3.2.Tinjauan Sifat Fisika-Kimia Bahan Obat


3.2.1. KCl (Kalium Klorida) (Farmakope Indonesia Edisi VI Hal 790; HPE
Hal 572; ASHP Injectable Drug Information; MIMS; Drugs.com)
● Nama Kimia
Kalium Klorida (KCl)
● Pemerian
Hablur bentuk memanjang, prisma atau kubus, atau serbuk granul
putih; tidak berbau; tidak berwarna; rasa asin; stabil di udara; larutan
bereaksi netral terhadap lakmus.
● Keasaman atau kebasaan
pH biasanya 4,6 dengan rentang 4 hingga 8
● Titik Didih
Sublimasi pada suhu 15000 C
● Berat Molekul
74,55 g/mol
● Titik Lebur
7900 C
● Inkompatibilitas
Bereaksi keras dengan brom trifluorida dan dengan campuran asam
sulfat dan kalium permanganat. Adanya asam hidroklorida, natrium
klorida, dan magnesium klorida dapat menurunkan kelarutan kalium
klorida dalam air. Larutan intravena kalium klorida inkompatibel
dengan protein hidrolisat.
● Kelarutan
Mudah larut dalam air (1:2,8;dan 1:1,8 pada suhu 1000 C); tidak larut
dalam etanol (1:250); tidak larut dalam aseton dan eter
● Wadah dan penyimpanan
Dalam wadah tertutup baik dan kering
● Kegunaan
Agen tonisitas, agen terapetik pada hipokalemia, digunakan dalam
sediaan parenteral dan optalmik untuk menghasilkan larutan isotonis
● Stabilitas
Larutan harus disimpan pada ruangan dengan suhu ruang yang
terkontrol.
● Cara Sterilisasi Bahan
Panas basah (autoklaf) atau filtrasi
● Cara Penggunaan dan Dosis
Menurut USP kalium klorida injeksi harus diencerkan terlebih
dahulu sebelum diberikan. Dosis dan laju pemberian bergantung
pada kondisi spesifik pasien. Jika kadar kalium dalam serum lebih
besar dari 2,5 mEq/L, kalium dapat diberikan dengan laju tidak lebih
dari 10 mEq/jam melalui infus jalur perifer atau sentral dengan
konsentrasi hingga 20-40 mEq/L lebih dari 6-8 jam (Mild-
Moderate). Jika kadar kalium kurang dari 2,5 mmol/L maka
diberikan infus kalium klorida 20-40 mmol dengan laju maksimum
20 mmol/jam (Severe). Dosis total selama 24 jam tidak boleh
melebihi 200 mEq. Jika digunakan pada keadaan terdesak dimana
kadar kalium serum kurang dari 2,0 mEq/L dengan perubahan
elektrokardiogram dan atau paralisis otot, maka kalium klorida dapat
diberikan melalui infus dengan laju mulai dari 40 mEq/jam.
3.2.2. Glukosa (Farmakope Indonesia VI, Hal 374)
● Pemerian
Habur tidak berwarna, serbuk hablur atau serbuk granul putih; tidak
berbau; manis
● Kelarutan
Sangat mudah larut dalam air mendidih; mudah larut dalam air; larut
dalam etanol mendidih; sukar larut dalam etanol
● Stabilitas
Stabil dalam bentuk larutan
● Inkompatibilitas
Inkompatibel dengan oksidator kuat (HPE 6 hal 282)
● Penggunaan
Larutan glukosa dalam air bersifat iso-osmotik dengan darah pada
konsentrasi glukosa anhidrat 5,05% atau glukosa monohidrat 5,51%.
Larutan glukosa 5% sering digunakan untuk kondisi kurang cairan
dan dapat diberikan melalui vena perifer. Sedangkan larutan glukosa
dengan konsentrasi lebih dari 5% bersifat hiperosmotik (Sweetman,
2009).
● Cara sterilisasi bahan
Panas basah (autoklaf) atau filtrasi
3.2.3. HCl (HPE 6 Hal 308)
● Pemerian
Jernih, tidak berwarna, berbau khas, pada suhu kamar berbentuk gas
yang tidak berwarna dengan bau menyengat.
● Kelarutan
Dapat campur air, larut dalam dietil eter, etanol 95% dan methanol
● Stabilitas
Harus disimpan dalam wadah tertutup, gelas atau wadah inert
lainnya pada suhu di bawah 38˚C. Penyimpanan di dekat alkali
terkonsentrasi, logam, dan sianida
● Inkompatibilitas
Asam klorida bereaksi kuat dengan basa, dengan evolusi sejumlah
besar panas. Asam klorida juga bereaksi dengan banyak logam,
membebaskan hydrogen
● Kegunaan
Sebagai zat pengasam suatu formulasi sediaan farmasi
● Cara sterilisasi bahan
Autoklaf atau filtrasi
3.2.4. Norit (Farmakope Indonesia VI Hal 151, Martindale)
● Pemerian
Serbuk halus, bebas dari butiran, hitam, tidak berbau, tidak berasa
● Kelarutan
Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
● Wadah Penyimpanan
Dalam wadah tertutup baik
● Inkompatibilitas
Interaksi dengan oksidator kuat, hindari kontak dengan asam kuat
● Kegunaan
Untuk kelebihan H2O2 dalam sediaan
● Alasan Pemilihan
Tidak bereaksi dengan zat aktif
3.2.5. Aqua Steril Bebas Pirogen (Farmakope Indonesia VI Hal 70)
● Aqua steril bebas pirogen merupakan air murni yang diproses
dengan destilasi atau pemurnian lain untuk menghilangkan bahan
kimia hasil metabolit mikroba dan patogen.
● Pemerian
Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa
● Kelarutan
Bercampur dengan banyak pelarut polar
● Penyimpanan
Wadah dosis tunggal dari kaca atau plastik, tidak lebih besar dari 1L
● Kegunaan
Pembawa dan pelarut
IV. FORMULASI
4.1.Permasalahan dan Penyelesaian
4.1.1. Sediaan tidak boleh mengandung pirogen
Penyelesaian: Digunakan aqua steril bebas pirogen sebagai pelarut, tidak
didiamkan pada udara terbuka lebih dari 4 jam dengan suhu 22oC, dan
digunakan carbo-adsorben (norit) untuk menghilangkan pirogen.
4.1.2. Pemberian carbo-adsorben dapat menyerap bahan yang termasuk zat
organic
Penyelesaian: Ditambahkan bahan yang dapat diserap carbo-adsorben
dalam jumlah yang sebanding, seperti glukosa 95% atau dengan
menambahkan bahan aktif sebanyak 5%.
4.1.3. Sediaan harus dibebaskan dari carbo-adsorben
Penyelesaian: Carbo-adsorben diaktifkan dengan pemanasan 70-80oC
sekitar 10 menit, kemudian disaring menggunakan kertas saring rangkap
2.
4.1.4. Perhitungan isotonis dengan menggunakan glukosa sebagai pengganti NaCl
Penyelesaian: Digunakan metode ekuivalensi NaCl
4.1.5. Sediaan sebisa mungkin dibuat isohidris agar tidak terasa sakit saat
disuntikkan
Penyelesaian: pH sediaan dibuat mendekati pH fisiologis, yaitu 7,4,
dengan penambahan NaOH jika kurang basa dan penambahan HCl jika
kurang asam.

4.2.Formula yang akan Dibuat

R/
KCl 0,38%
Glucose q.s.
HCl 0,1 N ad pH 5-6
Norit 0,1%
Aqua steril bebas pyrogen ad 100 ml
4.3.Perhitungan Berat dan Volume
● Volume infus yang dibuat (v)
𝑣 = 𝑣 ′ + 50 𝑚𝑙 → 100 𝑚𝑙 + 50 𝑚𝑙 = 150 𝑚𝑙
● KCL 0,38%
0,38 𝑔
KCl 0,38%= 100 𝑚𝑙 𝑥150 𝑚𝑙 = 0,57 𝑔𝑟𝑎𝑚

● Norit 0,1%
0,1 𝑔
Norit 0,1%= 100 𝑚𝑙 𝑥150 𝑚𝑙 = 0,15 𝑔𝑟𝑎𝑚

● Glukosa
Menurut tabel larutan isotonis Farmakope Indonesia Edisi VI halaman 2296,
KCl memiliki nilai E sebesar 0,76 terhadap NaCl atau 1 gram KCl setara
dengan 0,76 gram NaCl.
0,76 𝑔 𝑁𝑎𝐶𝑙
▪ 𝑁𝑎𝐶𝑙 = 𝑥 0,57 𝑔 𝐾𝐶𝑙 = 0,4332 𝑔𝑟𝑎𝑚
1 𝑔 𝐾𝐶𝑙

▪ 0,9% NaCl dalam 150 ml infus :


0,9 𝑔
▪ 𝑁𝑎𝐶𝑙 = 𝑥150 𝑚𝑙 = 1,35 𝑔𝑟𝑎𝑚
100 𝑚𝑙

▪ NaCl yang dibutuhkan : 1,35 gram - 0,4332 gram = 0,9168 gram

▪ Nilai E Glukosa sebesar 0,16 terhadap NaCl


1 𝑔 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎
▪ 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 = 𝑥0,9168 𝑔 = 5,73 𝑔𝑟𝑎𝑚
0,16 𝑔 𝑁𝑎𝐶𝑙
35
▪ Glukosa yang diserap norit = 100 𝑥0,15 = 0,0525 𝑔𝑟𝑎𝑚

▪ Glukosa yang ditambahkan = Glukosa yg dibutuhkan + glukosa


yang diserap norit = 5,73 g + 0,0525 g = 5,7825 gram

4.4.Cara Sterilisasi Bahan Sediaan yang akan Dibuat


Sediaan infus KCl 0,38% disterilisasi atau menggunakan autoklaf dengan suhu
115℃ selama 30 menit, dengan waktu kesetimbangan sekitar 10 menit.
V. ALAT DAN BAHAN
5.1.Alat

Alat Jumlah

Kaca Arloji (3 cm) 2


Kaca Arloji (5 cm) 2
Beaker Glass 250 mL 1
Beaker Glass 100 mL 1
Erlenmeyer 250 mL 2
Pengaduk 2
Pinset 2
Sendok Porselen 2
Botol Infus 100 mL 1
Pipet Tetes 3
Corong 2
Kertas Saring 3
Sumbat Karet 1
Gelas Ukur 50 mL 1
Tali q.s.

5.2.Bahan
● KCl ● Norit
● Glukosa ● Aqua Steril Bebas Pirogen
● HCl 0,1 N
VI. CARA KERJA
6.1.Penimbangan Bahan

Disiapkan alat dan bahan

Timbangan ditara

Penimbangan KCl sebanyak 0,57 gram,


glukosa 5,7825 gram dan norit 0,15
gram

Kalibrasi botol 150mL + 2%

Diperoleh bahan yang sudah siap digunakan

6.2.Pencampuran, Pelarutan

Disiapkan alat dan bahan yang sudah ditimbang

0,57 gram KCl dan 5,7825 gram glukosa dilarutkan


dalam 120 mL aqua steril bebas pirogen hingga
homogen

Dilakukan pengukuran pH dan diatur dengan sedikit


penambahan Hcl atau NaOH hingga pH dalam rentang
5-6

Ditambah aqua steril bebas pirogen ad 150 mL


kemudian dipanaskan pada suhu 80-90 celcius selama
15 menit

Ditambah dengan norit yang telah ditimbang kemudian


dipanaskan pada suhu 70-80 celcius selama 10 menit

Larutan siap untuk disaring


6.3.Penyaringan

Larutan yang siap untuk disaring

Disaring dengan kertas saring rangkap 2

Dipanaskan pada suhu 70-80 celcius selama


10 menit kemudian disaring lagi dengan
kertas saring yang sama satu lapis kemudian
filtrat ditampung

Filtrat dapat diisikan dalam botol

6.4.Pengisian, Penutupan

Filtrat jernih yang telah disaring

Dimasukkan dalam botol infus yang telah


dikalibrasi sebanyak 102 mL (V+2%)

Botol infus ditutup dengan sumbat karet


dan diikat dengan simpul champagne

Sediaan siap disterilkan


6.5.Sterilisasi Sediaan

Larutan infus yang telah dimasukkan dalam botol

Disterilisasi dengan autoklaf dengan


suhu 115 C selama 30 menit dengan
waktu kesetimbangan 10 menit

Dilakukan evaluasi sediaan, lalu


dipasang label dan etiket yang sesuai
pada sediaan

Sediaan dapat dikemas dalam kemasan kertas dan disimpan


VII. EVALUASI SEDIAAN
7.1.Pemeriksaan Kebocoran
7.1.1. Uji dengan Larutan Warna (Dye Bath Tests)

Dalam uji ini digunakan larutan metilen blue 0,0025% (b/v) dalam larutan
fenol 0,0025% (b/v).

Direndam botol infus dalam larutan.

Uji dilakukan dalam bejana yang dibuat dalam kondisi vakum sampai 70
mmHg dan dijaga selama tidak kurang dari 15 menit.

Dibuang botol infus yang larutannya berwarna biru.

7.1.2. Metode Penarikan Vakum Ganda (The Double Vacum Pull Method)

Uji dilakukan dalam bejana yang diberi alas kertas penyerap.

Bejana dibuat vakum sampai 70 mmHg dan dijaga selama tidak kurang dari 15
menit.

Setelah pompa vakum dimatikan, diamati ada tidaknya noda basah pada kertas
penyerap.

Botol infus yang menyebabkan noda basah harus dibuang.

Uji dilanjutkan dengan posisi terbalik dengan kertas penyerap yang baru.

Pada akhir uji, botol infusyang menyebabkan noda basah harus dibuang.
7.2.Uji Sterilitas
7.2.1. Inokulasi Langsung

Disiapkan media cair tioglikolat (FTM) dan soybean casein digestmedium


dalam tabung media (jika tidak dinyatakan media lain)

Dipindahkan cairan dari wadah uji menggunakan piper atau jarum suntik steril

Diinokulasikan bahan uji (sampel infus) sesuai volume sekitar 1 mL dari


wadah uji ke tabung

Dicampurkan cairan tersebut dengan media tanpa aerasi berlebihan

Diinkubasi selama 14 hari (untuk media FTM dengan suhu inkubasi 30oC –
35oC dan soybean casein digest medium pada suhu inkubasi 20oC

Diamati pertumbuhan pada media secara visual sesering mungkin, sekurang-


kurangnya pada hari ke-3 atau ke-4 atau ke-5 dan pada hari ke-7 atau ke-8 dan
pada hari terakhir masa uji

Jika zat uji menyebabkan media menjadi keruh sehingga keberadaan mikroba
tidak dapat diamati secara visual, dipindahkan sejumlah media ke dalam
tabung baru dengan media yang sama sekurang-kurangnya dilakukan 1 kali
pada hari ke-3 dan ke-7 sejak pengujian dimulai

Dilanjutkan inkubasi media awal dan media baru selama total waktu tidak
kurang dari 14 hari sejak inokulasi awal
7.2.2. Filtrasi Membran

Dilakukan penyaringan menggunakan membran filter porositas 0,22 m


diameter 47 mm, kecepatan aliran 57-75 mL/menit dan tekanan 700 mmHg

Dipotong membran menjadi dua bagian

Dimasukkan ke dalam media FTM, diinkubasi dengan suhu 30o–35oC selama


7 hari dan media soybean casein digestdiinkubasi pada suhu 20o–25oC selama
7 hari

7.3.Uji Pirogen

Uji dilakukan dalam ruang terpisah yang dirancang untuk pengujian pirogen
dan pada kondisi lingkungan yang sama dengan ruang pemeliharaan hewan
dan bebas dari gangguan yang menimbulkan kegelisahan.

Kelinci tidak diberi makan selama pengujian. Boleh diberi minum setiap saat,
tetapi terbatas.

Jika termistor pengukur suhu rektum digunakan untuk pengujian, kelinci


diletakkan dalam penyekap yang dapat menahan kelinci dengan leher yang
longgar sehingga dapat duduk dengan bebas

Ditetapkan suhu kontrol dari tiap kelinci tidak lebih dari 30 menit sebelum
penyuntikan larutan uji. Suhu tersebut digunakan sebagai awal untuk
penetapan setiap kenaikan suhu yang dihasilkan dari penyuntikan larutan uji.

Dalam setiap kelompok kelinci uji, digunakan kelinci yang mempunyai


perbedaan suhu kontrol antara satu dengan lainnya tidak lebih dari 1°, dan
suhu kontrol setiap kelinci tidak boleh lebih dari 39,8°.

Larutan uji dihangatkan pada suhu 37±2°.

Disuntikkan 10 mL larutan uji per kg berat badan kedalam vena telinga setiap
tiga kelinci dalam waktu 10 menit.

Direkam suhu berturut-turut antara jam ke-1 dan ke-3 setelah penyuntikan
dengan selang waktu 30 menit
Interpretasi:
Setiap penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat apabila tidak ada
satupun kelinci yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5°atau lebih. Bila ada kelinci
yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5°atau lebih, dilanjutkan uji menggunakan
lima ekor kelinci lain. Sediaan memenuhi syarat bebas pirogen bila tidak lebih dari
3 dari 8 ekor masing-masing menunjukkan kenaikan suhu 0,5°atau lebih dan jumlah
kenaikan suhu maksimum 8 kelinci tidak melebihi 3,3°.

7.4.Uji Endotoksin Bakteri

Uji dilakukan menggunakan LAL yang diperoleh dari ekstrak air amebosit
dalam kepiting ladam kuda (Limulus Polyphemus atau Tachypleus
tridentatus) dan dibuat khusus sebagai pereaksi LAL.

Ujidilakukan dengan cara mencampur larutan parenteral yang diuji dengan


LAL, campuran ini dipanaskan dalam suhu 37 C selama waktu tertentu.

Diamati ada tidaknya atau terbentuknya jendal gel (penggumpalan) yang


stabil. Bila terjadi penggumpalan yang stabil, berarti ada pirogen dalam
sediaan yang diuji.

Pada teknik pembentukan jendal gel, penetapan titik akhir reaksi dilakukan
dengan membandingkan langsung enceran dari zat uji dengan enceran
endotoksin baku, dan jumlah endotoksin dinyatakan dalam Unit endotoksin
(EU).

Bahan memenuhi syarat apabila kadar endotoksin kurang dari nilai yang
dinyatakan dalam masing-masing monografi.

Pada teknik fotometrik meliputi metode turbidimetri yang didasarkan pada


pembentukan kekeruhan setelah penguraian substrat endogen, dan metode
kromogenik yang didasarkan pembentukan warna setelah terjadi penguraian
kompleks kromogen-peptida sintetik.
7.5.Uji Kejernihan
7.5.1. Buku Praktikum

Pengamatan dilakukan pada meja pemeriksaan atau kotak yang dilengkapi


dengan sumber cahaya (lampu) yang pada jarak 25 cm dari permukaan kotak
dapat memberikan kekuatan penyinaran tidak kurang dari 1000 lux dan tidak

Sumber sinar dapat berupa lampu pijar putih dengan kekuatan 100 watt atau 3
buah lampu neon dengan kekuatan masing-masing 15 watt. Sedangkan ruang
pemeriksaan harus gelap.

Sejumlah wadah yang belum berlabel dipegang pada lehernya, dibalikkan


secara perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya gelembung udara, lalu putar
sedikit untuk memutar isi larutan di dalamnya.

Kemudian wadah dipegang secara horizontal.

Pemeriksaan dalam wadah dilakukan dengan menggunakan latar belakang


hitam putih selang-seling.

Wadah yang berisi laarutan yang tercemar partikel asing atau wadah yang
rusak, harus dipisahkan.

Bila jumlah wadah yang tercemar melebihi batas persyaratan, maka


pemeriksaan diulang atau dilakukan reject terhadap produk yang diuji.
7.5.2. Farmakope Indonesia Edisi VI

Dilakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar dengan diameter


dalam 15-25 mm, tidak berwarna, transparan, dan terbuat dari kaca netral.

Dibandingkan larutan uji dengan larutan suspensi padanan yang dibuat segar,
setinggi 40 mm.

Diandingkan kedua larutan di bawah cahaya yang terdifusi 5 menit setelah


pembuatan suspensi padanan, dengan tegak lurus ke arah bawah tabung
menggunakan latar belakang berwarna hitam.

Difusi cahaya harus sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I dapat


dibedakan dari air dan suspensi padanan II dapat dibedakan dari suspensi
padanan I.

Larutan dianggap jernih apabila sama dengan air atau larutan yang digunakan
dalam pengujian dengan kondisi yang dipersyaratkan, atau jika opalesen tidak
lebih dari dari suspensi padanan I

7.6.Penetapan Volume Injeksi dalam Wadah


7.6.1. Cara 1

Dipilih salah satu atau lebih wadah, bila volume 10 mL atau lebih, 3 wadah
atau lebih bila volume lebih dari 3 mL dan kurang dari 10 mL, atau 5 wadah
atau lebih bila volume 3 mL atau kurang.

Diambil isi tiap wadah dengan alat suntik hipodermik kering berukuran tidak
lebih dari 3 kali volume yang akan diukur dan dilengkapi dengan jarum suntik
nomor 21, panjang tidak kurang dari 2,5 cm.

Dikeluarkan gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntik dan pindahkan
isi dalam alat suntik, tanpa mengosongkan bagian jarum, ke dalam gelas ukur
kering volume tertentu yang telah dibakukan sehingga volume yang diukur
memenuhi sekurang-kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera (garis-garis
penunjuk volume gelas ukur menunjuk volume yang ditampung, bukan yang
dituang).
7.6.2. Cara 2

Diisi alat suntik dapat dipindahkan ke dalam gelas piala kering yang telah
ditara, volume dalam mL diperoleh dari hasil perhitungan berat dalam g dibagi
bobot jenis cairan.

Untuk sediaan dengan volume 2 mL atau kurang, dapat digabungkan untuk


pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk
mengambil isi tiap wadah.

Diisi dari wadah 10 mL atau lebih dapat ditentukan dengan membuka wadah,
memindahkan isi secara langsung ke dalam gelas ukur atau gelas piala yang
telah ditara.
Interpretasi Hasil:
Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji satu per satu, atau
bila wadah volume 1 mL dan 2 mL, tidak kurang dari jumlah volume wadah yang
tertera pada etiket bila isi digabung. Bila dalam wadah dosis ganda berisi beberapa
dosis volume tertera, lakukan penentuan seperti di atas dengan sejumlah alat suntik
terpisah sejumlah dosis tertera. Volume tiap alat suntik yang diambil tidak kurang dari
dosis yang tertera.
Volume tertera dalam Kelebihan Volume yang Dianjurkan
penandaan Untuk cairan encer Untuk cairan kental
0,5 mL 0,10 mL 0,12 mL
1,0 mL 0,10 mL 0,15 mL
2,0 mL 0,15 mL 0,25 mL
5,0 mL 0,30 mL 0,50 mL
10,0 mL 0,50 mL 0,70 mL
20,0 mL 0,60 mL 0,90 mL
30,0 mL 0,80 mL 1,20 mL
50,0 mL atau lebih 2% 3%
7.7.Uji pH

Diukur larutan menggunakan pH meter yang sebelumnya dikalibrasi dengan


larutan dapar pH standar pada suhu ruang (pH 5-6)

VIII. DESAIN BROSUR DAN LABEL


IX. HASIL DAN PEMBAHASAN
9.1. Pengertian Infus
Infus adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan
bisa jadi isotonis terhadap darah, disuntikkan/diinjeksikan langsung ke dalam
vena dalam volume relatif banyak, mengacu pada injeksi untuk pemberian
intravena dan dikemas dalam wadah 100 ml atau lebih. digunakan paling umum
terhadap perbaikan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh
dan penyimpanan nutrisi dasar dimana menggunakan metode piggyback
dengan wadah infus tipe mini. tujuan utama pemberian infus adalah untuk
perbaikan terhadap gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan dalam tubuh.
metode piggyback ditujukan untuk tetesan intravena yang sesekali pada larutan
kedua, obat yang tersusun kembali kedalam sistem intarvena utama yang telah
ditetapkan.

9.2. Pengertian KCl


KCl merupakan garam yang paling sering digunakan ketika terjadi
hipokalemia/hipokloremia alkalosis setelah diare yang panjang disertai muntah.
KCl ini digunakan ketika diinginkan untuk mengevaluasi level kalium normal
plasma sebagai pengobatan intoksikasi digitalis.
secara komersial, cairan intravena mengandung sedikit ion 𝐾 + . Biasanya ketika
jumlah terapetik diinginkan perlu ditambahkan wadah primer. pemberian
kalium harus di kontrol. kelebihan dari 𝐾 + dapat menghasilkan level toksis
dalam tubuh. konsentrasi plasma tubuh 𝐾 + adalah dalam rentang 3,5 - 5,0
mEq/L. Hiperkalemia dan hipokalemia mengekspresikan konsentrasi Na serum
yang abnormal dan 𝐾 + merupakan cairan intraseluler yang paling banyak
ditubuh.

9.3. Syarat sediaan infus


- infus intravena harus bebas pirogen dan kemungkinan harus isotonis
dengan darah.
- tidak diperbolehkan mengandung bakterisida dan zat dapar.
- larutan infus harus jernih dan praktis bebas partikel.
- sediaan infus emulsi, setelah dikocok harus homogen dan tidak
menunjukkan pemisahan fase.
- bahan-bahannya memiliki perlindungan terhadap epidermis tubuh bebas
dari mikroorganisme, pirogen, dan zat pengiritasi.
- pada injeksi volume besar memiliki pH dan tekanan osmotik secara
fisiologis bercampur dengan cairan tubuh.
- infus dikemas dalam wadah yang didesain untuk pengosongan cepat,
mengandung lebih dari 1000 ml.
- infus dapat dikemas dalam unit dosis tunggal dalam wadah plastik atau
gelas yang steril.

9.4. Macam sediaan infus


Menurut Stefanus Lukas (2006), penggolongan sediaan infus
berdasarkan komposisi dan kegunaannya adalah
1. infus elektrolit → cairan tubuh manusia mengandung 60% air dan
40% cairan intraseluler yang mengandung ion-ion 𝐾 + , 𝑀𝑔++ , sulfat
fosfat, protein dan senyawa organik asam fosfat seperti ATP,
Heksosa monofosfat dll. fungsi sediaan elektrolit sendiri adalah
untuk mengatasi perbedaan ion atau penyimpangan jumlah normal
elektrolit dalam darah.
2. infus karbohidrat → merupakan sediaan infus berisi larutan glukosa
atau dekstrosa yang cocok untuk donor kalori. berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan glikogen otot rangka, hipoglikemia dll.
3. larutan irigasi → merupakan sediaan larutan steril dalam jumlah
besar sekitar 3 liter. larutan ini digunakan diluar sistem peredaran
dan umumnya menggunakan jenis tutup yang diputar atau plastik
yang dipatahkan sehingga memenungkinkan pengisian larutan
dengan cepat.
4. larutan dialisis peritoneal → merupakan suatu sediaan larutan steril
dalam jumlah besar sekitar 2 liter
5. larutan plasma Expander atau penambah darah → merupakan suatu
sediaan steril yang digunakan untuk menggantikan plasma darah
yang hilang akibat pendarahan, luka bakar, operasi, dll.

9.5. Evaluasi Sediaan


Menurut Farmakope Indonesia Edisi VI, sediaan injeksi harus
memenuhi persyaratan uji pyrogen dan uji endotoksin. Uji pyrogen
dimaksudkan untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat
diterima oleh pasien pada penggunaan sediaan injeksi. Pengujian pyrogen
meliputi pengukuran kenaikan suhu kelinci sebagai hewan coba setelah
penyuntikan sediaan uji secara intravena dan ditujukan untuk sediaan yang
dapat ditoleransi oleh kelinci percobaan pada dosis tidak lebih dari 10 mL/kg
yang disuntikkan secara intravena dalam periode tidak lebih dari 10 menit.
Interpretasi dari uji pyrogen adalah penurunan suhu dianggap 0, sediaan
memenuhi syarat apabila tidak ada satupun kelinci yang menunjukkan kenaikan
suhu 0,5°C atau lebih. Bila ada kelinci yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5°C
atau lebih, dilanjutkan menggunakan 5 ekor kelinci lain. Sediaan memenuhi
syarat bebas pirogen bila tidak lebih dari 3 dari 8 ekor masing-masing
menunjukkan kenaikan suhu 0,5°C atau lebih dan jumlah kenaikan suhu
maksimum 8 kelinci tidak lebih dari 3,3°C.
Uji endotoksin bakteri merupakan uji yang dilakukan untuk mendeteksi
atau mengkuantisasi endotoksin bakteri yang mungkin terdapat dalam sampel
yang diuji. Pengujian endotoksin dilakukan menggunakan LAL atau Limulus
Amoebocyte Lysate yang diperoleh dari ekstrak air amoebosit yang terdapat
pada kepiting ladam kuda (Limulus polyphemus atau Tachypleus tridentatus)
dan dibuat khusus sebagai pereaksi LAL.
Selain itu, dilakukan pengujian sterilitas untuk melihat sediaan tersebut
sudah benar-benar steril atau belum. Menurut Farmakope Indonesia Edisi VI,
pengujian sterilitas dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode
penyaringan membrane atau inokulasi langsung ke dalam media uji. Pada
aplikasi uji sterilitas untuk sediaan injeksi jika menggunakan teknik
penyaringan membrane, bila memungkinkan digunakan seluruh isi wadah dan
tidak kurang dari sejumlah yang tertera. Jika menggunakan teknik inokulasi
langsung, digunakan sejumlah seperti yang tertera pada tabel pada FI VI.
Apabila uji dinyatakan tidak abash, maka dilakukan pengujian ulang dengan
jumlah yang sama. Jika sediaan tidak terbukti terjadi pertumbuhan mikroba,
maka sediaan tersebut memenuhi syarat uji sterilitas.
Pada saat praktikum, juga dilakukan evaluasi pengujian pH. Sediaan
diukur pH nya menggunakan pH meter. pH yang dikehendaki pada sediaan kali
ini adalah 5 – 6. pH yang terukur pada sediaan kami yaitu 5,9 dimana pH
tersebut memenuhi persyaratan yang ada. Apabila terlalu asam atau terlalu basa,
pH sediaan dapat di adjust menggunakan HCl atau NaOH.
Sediaan juga dievaluasi dengan pengujian kebocoran yang bertujuan
untuk memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan volume serta
kestabilan sediaan. Dapat dilakukan dengan cara merendam sediaan pada
larutan metilen blue atau dilakukan uji dalam bejana yang diberi alas kertas
penyerap. Sediaan memenuhi persyaratan apabila sediaan dalam wadah tidak
menjadi biru atau kertas penyerap tidak basah. Lalu dilakukan evaluasi
kejernihan untuk memastikan bahwa setiap sediaan jernih dan bebas pengotor.
9.6. Tonisitas
Tonisitas merupakan ukuran gradien tekanan osmotik dua larutan yang
dipisahkan oleh membran semipermeabel. Untuk menghitung tonisitas, dapat
menggunakan 3 metode perhitungan yaitu metode ekuivalensi NaCl (E),
penurunan titik beku (ΔTf) dan metode Liso. Dalam praktiknya, dapat
digunakan masing-masing metode tergantung pada data zat aktif dan eksipien
yang ada.
9.6.1. Metode Ekivalensi NaCl (E)
Merupakan suatu factor yang dikonversikan terhadap sejumlah
tertentu zat terlarut terhadap jumlah NaCl yang memberikan efek osmotic
yang sama. Suatu sediaan dikatakan isotonis jika memiliki tonisitas sama
dengan 0,9% NaCl. Nilai E dapat dirujuk pada berbagai literatur dan
biasanya bervariasi tergantung pada konsentrasi bahan, pemilihan nilai E
didasarkan pada konsentrasi yang paling mendekati konsentrasi bahan yang
digunakan pada formula. Adapun rumus metode ekuivalensi NaCl adalah:
Tonisitas = m x E
Keterangan:
m: massa bahan obat (g) dan larutan yang dibuat
E: ekivalensi natrium klorida
9.6.2. Metode Penurunan Titik Beku
Suatu sediaan dapat dikatakan isotonis apabila mengakibatkan
penurunan titik beku (ΔTf) sebesar 0,52° dari titik beku pelarut murni yang
digunakan. ΔTf 0,52° adalah penurunan titik beku yang diakibatkan oleh
0,9% NaCl atau 5,5% dekstrosa dalam air. Ada dua cara yang digunakan
untuk menghitung tonisitas dengan metode penurunan titik beku, yaitu:
Cara 1:
0,52 − 𝛼
𝑊 =
𝑏
Keterangan:
W: jumlah (g) bahan pengisotonis dalam 10 mL larutan
a: turunnya titik beku air akibat zat terlarut, dihitung dengan
memperbanyak nilai untuk larutan 1%
b: turunnya titik beku air yang dihasilkan oleh 1% b/v bahan pembantu
isotonis
Cara 2:
𝐾 𝑥 𝑚 𝑥 𝑛 𝑥 1000
𝑇𝑏 =
𝑀𝑥𝐿
Keterangan:
Tb: turunnya titik beku larutan terhadap pelarut murninya
K: turunnya titik beku pelarut dalam molar
m = zat yang ditimbang (g)
n = jumlah ion
M = berat molekul zat terlarut
L = massa pelarut (g)
9.6.3. Metode Liso
Digunakan apabila data E dan ΔTf tidak diketahui. Pada metode Liso
dapat dicari harga E atau ΔTf zat lalu perhitungan tonisitas dapat dilakukan.
Hubungan antara Ekuivalensi NaCl (E) dan Liso:
𝐿𝑖𝑠𝑜
𝐸 = 17
𝑀
Keterangan:
E: ekuivalen NaCl
Liso: nilai tetapan Liso zat
M: massa molekul zat

Hubungan antara ΔTf dan Liso:


𝐿𝑖𝑠𝑜 𝑥 𝑚 𝑥 1000
𝛥𝑇𝑓 =
𝑀𝑥𝑉
Keterangan:
ΔTf: penurunan titik beku
Liso = Nilai tetapan Liso zat
m = Bobot zat terlarut (gram)
M = Massa molekul zat
V = Volume larutan (mL)

Pada praktikum pembuatan sediaan infus ini terdapat beberapa titik kritis
yang perlu diperhatikan,diantaranya adalah :
● Sebelum praktikum hendaknya praktikan dapat benar - benar memahami
materi seperti mengetahui metode yang akan digunakan sehingga akan
mengetahui langkah – langkah yang akan dilakukan selama percobaan
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan.
● Praktikan menyiapkan alat dan bahan dengan benar, sehingga dipastikan
tidak ada kontaminasi pada alat dan bahan.
● Sebelum melakukan prosedur kerja praktikan harus mensterilisasi tempat
kerja menggunakan alkohol untuk meminimalisir adanya pirogen.
● Dalam sediaan harus dipastikan tidak mengandung pirogen, sehingga
digunakan bahan – bahan seperti aqua bebas pirogen sebagai pelarut dan
norit (carbo-adsorben) untuk menghilangkan pirogen.
● Norit memiliki sifat dapat menyerap bahan yang termasuk zat organic
(glukosa) sehingga ditambahkan bahan yang dapat menyerap dengan
jumlah sama dengan norit.
● Sediaan yang dibuat disaring menggunakan kertas saring rangkap dua untuk
memastikan sediaan bebas dari bahan yang belum terlarut.

X. KESIMPULAN
Dalam pratikum ini, sediaan yang dibuat merupakan sediaan steril sehingga
dalam proses pengerjaannya harus dipastikan sterilisasi dari alat, bahan maupun
praktikan sendiri untuk meminimalisir adanya pirogen. Dibuat Sediaan Infus KCl
0,38% Isotonis Cum Glucose. Dimana larutan yang dibuat harus memiliki
osmolalitas yang sama efektifnya dengan cairan tubuh atau cairan mata (larutan
isotonis) sehingga harus dilakukan perhitungan tonisitas untuk menyatakan apakah
suatu formula bersifat isotonis atau tidak. Metode perhitungan yang digunakan
adalah metode NaCl ekivalen. Sebelum disterilisasi, sediaan di saring
menggunakan norit yang sebelumnya harus diaktifkan dengan cara dipanaskan di
oven pada suhu 70-80oC. Sediaan disaring dua kali dengan kertas saring yang sama
agar norit yang tersaring pada kertas saring dapat menjerap pirogen yang tersisa
dalam sediaan setelah disaring pertama kali. Sediaan yang sudah dibuat disterilisasi
akhir menggunakan autoklaf suhu 115oC selama 30 menit karena terdapat glukosa
yang akan mengalami karamelisasi apabila disterilisasi menggunakan suhu tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim,Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608, 700, Jakarta, UI Press.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV, 551, 713.
Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Farmakope Indonesia edisi VI.


Jakarta:Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Ayuhastuti, Anggreni. 2016. Praktikum Teknologi Sediaan Steril. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Gray, Alistair, Wright, J., Goodey, V., Bruce, L. 2011. Injectable Drugs Guide. Padstow:
Pharmaceutical Press.
Lukas, Stefanus, 2006. Formulasi Steril. Penerbit Andis :Yogyakarta.
McMahon RS, Bashir K. Potassium Chloride. [Updated 2021 Aug 10]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan.

Rowe, R.C. et Al. 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed. London:
ThePharmaceutical Press.

Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty Sixth Edition. New York:
Pharmaceutical Press

Tungadi, Robert. 2017. Teknologi Sediaan Steril, Edisi Pertama. Jakarta: Sagung Seto

Turco. 1979. Sterile Dosege Formulations Second Edition. Philadelphia : Len dan Fabigen : USA

Viera, A. J., Wouk, N. 2015. Potassium Disorders: Hypokalemia and Hyperkalemia. American
Family Physician. 92(6): 487-495.

Anda mungkin juga menyukai