Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori
Menurut Farmakope Indonesia edisi III Hal. 12 Menurut FI
Edisi III halaman 12, infus intravenous adalah sediaan steril berupa
larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat
isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena,
dengan volume relatife banyak. Kecuali dinyatakan lain , infus
intravenous tidak diperbolehkan mengandung bakteriasida dan zat
dapar. Larutan untuk infus intravenous harus jernih dan praktis
bebas partikel.
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV Hal. 10 Pengertian
infus adalah sediaan parenteral volume besar merupakan sediaan cair
steril yang mengandung obat yang dikemas dalam wadah 100 ml
atau lebih dan ditujukan untuk manusia. Infus adalah larutan injeksi
dosis tunggal untuk intravena dan dikemas dalam wadah lebih dari
100 ml.
Menurut Ansel halaman 448 Larutan sediaan parenteral
volume besar digunakan dalam terapi pemeliharaan untuk pasien-
pasien yang akan atau sudah dioperasi, atau untuk penderita yang
tidk sadar dan tidak dapat menerima cairan, elektrolit dan nutrisi
lewat mulut. Larutan-larutan ini dapat juga diberikan dalam terapi
pengganti pada penderita yang mengalami kehilangan banyak cairan
dan elektrolit yang berat.
Menurut Moh. Anief, Infus adalah larutan dalam jumlah
besar terhitung mulai dari 100 mL yang diberikan melalui intravena
tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok. Asupan air
dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman dan
dikeluarkan dalam jumlah relatif sama. Ketika terjadi gangguan
hemostatif, maka tubuh harus segera mendapatkan terapi untuk
mengembalikan air dan elektrolit. Dalam pembuatan infus atau
cairan intravena dikemas dalam bentuk dosis tunggal dalam wadah
plastik atau gelas, steril, bebas pirogen serta bebas partikel-partikel
lain. Oleh karena volume yang besar, pengawet tidak pernah
digunakan dalam infus intravena biasanya mengandung zat-zat
amino, dekstrosa, elektrolit dan vitamin. Walaupun cairan infus
intravena yang diinginkan adalah larutan yang isotonis untuk
menetralisir trauma pada pembuluh darah. Namun cairan Hipotonis
maupun Hipertonis dapat digunakan untuk meminimalisir pembuluh
darah, larutan hipertonis diberikan dalam kecepatan yang lambat.
(Anief, 1993). Infus merupakan sediaan steril, berupa larutan atau
emulsi dengan air sebagai fase kontinu; biasanya dibuat isotonis
dengan darah. Prinsipnya infus dimaksudkan untuk pemberian dalam
volume yang besar. Infus tidak mengandung tambahan berupa
pengawet antimikroba.Larutan untuk infus, diperiksa secara visible
pada kondisi yang sesuai, adalah jernih dan praktis bebas partikel-
partikel. Emulsi pada infus tidak menujukkan adanya pemisahan
fase. (British Pharmacopoiea Commision 2008,) Keuntungan
pemberian secara intravena (Ansel, Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi, hal 401).
1. Dapat digunakan untuk pemberian obat agar bekerja cepat, seperti
pada keadaan gawat.
2. Dapat digunakan untuk penderita yang tidak dapat diajak bekerja
sama dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan
menerima pengobatan melalui oral.
3. Penyerapan dan absorbsi dapat diatur
Menrut Farmakope Indonesia edisi III infuse intravena ialah
sediaan steril dapat berupa larutan ataupun emulsi, bebas pirogen
dan memiliki tonititas yang sama dengan darah, disuntikkan
langsung ke dalam vena dalam volume refatif banyak. Kecuali
dinyatakan lain, infuse travena tidak boleh mengandung bakterisida
dan zat dapar. Larutan untuk infus intravenous harus jernih dan
praktis bebas partikel. Apabila dibuat dalam bentuk emulsi maka
menggunakan air sebagai fase luarnya, diameter fase dalam tidak
lebih dari 5μm. Emulsi untuk infus intravenous setelah dikocok
harus homogen dan tidak menunjukkan pemisahan fase. Sedangkan
pada Farmakope Indonesia edisi IV, infus adalah sediaan parenteral
dengan volume besar yang merupakan sediaan cair steril yang
mengandung obat yang dikemas dalam wadah 100 ml atau lebih dan
ditujukan untuk manusia berdasarkan rute pemberiannya sedian
parenteral volume besar dibagi menjadi 2 macam yaitu secara
intravena contohnya infuse intravena (venoclysis) dan non intravena
seperti larutan dialysis dan irigasi. Maka sedian cair infuse intravena
merupakan sedian steril yang diberikan secara parenteral
mengandung obat yang dikemas dalam wadah volume 100 ml atau
lebih dan ditujukan untuk manusia. Pada beberapa kondisi sedian
akan efektif dibuat dalam bentuk sedian infuse dengan rute
pemberian secara intravena karena sebagai berikut:
1. Obat tidak dapat diabsorpsi secara peroral
2. Obat menjadi tidak aktif dalam saluran pencernaan
3. Perlunya respon yang cepat
4. Pasien tidak dapat mentoleransi obat atau cairan secara oral.
5. Rute pemberian secara intramuskular atau subkutan tidak praktis
6. Obat harus terencerkan/ terlarut secara baik atau diperlukannya
cairan pembawa
7. Obat mempunyai waktu paruh yang sangat pendek dan harus
diinfus terus menerus
8. Diperlukan perbaikan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
9. Obat hanya bersifat aktif oleh pemberian secara intravena
B. Deskripsi bahan praktikum
1. KCl (FI IV hal. 477)
 Pemerian : Kristal atau serbuk kristal putih atau tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa atau berasa asin
 Kelarutan : 1 : 2,8 dalam air (20OC), 1: 1,8 dalam air
(100OC), 1:250 dalam etanol 95% (20OC), 1 : 14 dalam
gliserin (20OC), praktis tidak laut dalam aseton dan eter
(20OC). (Handbook of Excipient. 2009. 572)
 Stabilitas : Disimpan dalam wadah tertutup rapat, ditempat
sejuk dan kering, di bawah suhu 25OC (Handbook of
Excipient. 2009.572)
 Cara sterilisasi : filtrasi atau autoclave (121OC, 30 menit)
 pH : 4-8 • Konsentrasi : 2,5-11,5%
 Kesetaraan equivalent elektrolit : 1 g KCl ≈ 13,4 mEq K+ ;
Ekuivalen : 0,76 ( Sprowls hal 189)
 Inkompatibilitas : Larutkan KCl bereaksi kuat dengan
bromine trifluoride dan dengan campuran H2SO4 dan
KMnO4. Adanya HCl, NaCl, dan MgCl akan menurunkan
kelarutn KCl dalam air. Larutan intravena KCl inkompatibel
dngan proton hidrolisat (Handbook of Excipient. 2009.573)
 Cara penggunaan dan dosis : Konsentrasi kalium pada rute iv
tidak lebih dari 40 mEq/L dengan kecepatan 20 mEq/jam
(untuk hipokalemia). Untuk mempertahankan konsentrasi
kalium pada plasma 4 mEq/L ( DI 2003 hal 1410). K+ dalam
plasma = 3,5-5 mEq/L ( steril dosage form hal 251). Dosis
maksimum yang dapat diberikan 2-3 mmol /kg selama 24 jam
(Sweetman. 2009). Digunakan secara injeksi intravena
dengan dosis 20 mmol kalium dalam larutan 500 ml selama
2-3 jam dengan pmantauan ECO
2. Glukosa (FI IV hal. 300)
 Pemerian : Serbuk putih, bentuk kristal, rasa manis
 Kelarutan : Larut dalam air, sangat mudah larut dalam air
mendidih, agak sukar larut dalam etanol 95% mendidih • E
NaCl : 0,16 ( Sprowls hal: 187)
 Konsentrasi : 2,5-11,5% untuk IV. 0,5-0,8g/kg/jam. Untuk
hipoglikemia 20-50 ml (konsentrasi 50%)
 Osmolaritas : 5,51% w/v larutan air sudah isotonis dengan
serum
 Stabilitas : Stabil dalam bentuk larutan, dekstrosa stabil
dalam keadaan penyimpanan yang kering, dengan pemanasan
tinggi dapat menyebabkan reduksi pH dan karamelisasi
dalam larutan
 OTT : Sianokobalamin, kanamisin SO4, novobiosin Na dan
wafarin Na,Eritromisin, Vit B komplek ( martindale 28 hal:
21)
 Sterilisasi : autoklaf
 PH : 3,5 – 6,5 (dalam 20%w/v larutan air)
 Efek samping : Larutan glukosa hipertonik dapat
menyebabkan sakit pada tempat pemberian (lokal),
tromboklebitise, larutan glukose untuk infus dapat
menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit termasuk
edema, hipokalemia, hipopostemia, hipomagnesia.
 Kontraindikasi : Pada pasien anuria, intrakranial atau
intraspiral hemorage
 Titik lebur : 83℃
 Penggunaan : Larutan glukosa bersifat iso somotik dengan
darah pada konsentrasi 5,05% (glukosa anhidrat) dan 5,51%
(glukosa monohidrat). Larutan glukosa 5% sering digunakan
pada kondisi kekurangan cairan. Larutan glukosa lebih dari
5% bersifat hiper osmotik dan biasa digunakan sebagai
sumber karbohidrat (martindale : 1946)
3. HCl
 Pemerian : Tidak berwarna, berbau khas, pada suhu kamar
berbentuk gas yang tidak berwarna dengan bau menyengat.
 Kelarutan : Dapat campur air, larut dalam dietil eter, etanol
95% dan methanol
 Penggunaan : Agen pengasam
 Stabilitas : Hharus disimpan dalam wadah tertutup, gelas
atau wadah inert lainnya pada suhu di bawah 38˚C.
Penyimpanan di dekat alkali terkonsentrasi, logam, dan
sianida
 Inkompatibilitas : Asam klorida bereaksi hebat dengan
alkali menghasilkan sejumlah besar panas. Asam klorida
juga bereaksi dengan banyak logam, membebaskan
hydrogen
 Berat Molekul: 36,46
 Keasaman / alkalinitas: pH = 0,1 (10% v / v larutan berair)
 Titik didih: 118˚C (campuran didih konstan 20.24% b / b
HCl)
 Kepadatan: 1.18 g / cm3 pada 28˚C
 Titik beku: 248˚C
 Indeks bias: nD20 = 1,342 (10% v / v larutan berair
4. Norit (FI IV hal. 1169, Martindale hal. 79)
 Pemerian : Serbuk hitam dan tidak berbau
 Kelarutan : Praktis tidak larut dalam suasana pelarut biasa
 Stabilitas : Stabil ditempat yang tertutup dan kedap udara,
hindari temperatur tinggi dan cahaya secara langsung
 Inkompatibilitas : Intraksi dengan oksidator kuat, hindari
kontak dengan asam kuat
 Kegunaan : Untuk kelebihan H2O2 dalam sediaan
 Konsentrasi : 0,1-0,3%
 Alasan pemilihan : Norit inert sehingga tidak bereaksi
dengan zat aktif
5. Aqua bebas pirogen merupakan air murni yang diproses dengan
destilasi atau proses pemurnian lain untuk menghilangkan bahan
kimia hasil metabolit mikroba dan pathogen
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M, (1993). Farmasetika. Penerbit Gadjah Mada University Press,


Yogyakarta. Halaman 125.

Ansel, H.C., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, 4th ed. Jakarta: UI
press.

British Pharmacopoiea Commision. (2008). British pharmacopoeia. London:


The Pharmaceutical Press.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia,


Edisi IV, 606, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,
300, 477, 1169.

Martindale : The Extra Pharmacopoeia 28th ed., 1982. The Pharmaceutical


Press, London, p. 21, 79.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, M.E., 2009.Handbook of Pharmaceutical


Excipients, sixth. ed. Pharrmaceutical Press, London. 572-573

Sweetman, S., 2009. Martindale The Complete Drug Reference, 36th ed.
Pharmaceutical Press, London.

Sprowls Jr.,JB.,1970. Prescription Pharmacy, 2nd ed., 247 Lippincott.,


Philadelphia. 187-189

Anda mungkin juga menyukai