Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan kromatografi planar, yang Fase diamnya
berupa lapisan seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh
lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi
senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya. Kromatografi juga merupakan analisis
cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT
dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti
Lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan Kromatografi kertas. KLT
juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang
diperoleh dari Kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan Isolasi
senyawa murni skala kecil.
Kromatografi Lapis Tipis merupakan salah satu metode isolasi yang Terjadi berdasarkan
perbedaan daya serap (adsorpsi) dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-
komponen kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen. Oleh karena daya serap
adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan
kecepatan yang berbeda, sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan.
(PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN
TENAGA KEPENDIDIKAN PERTANIAN, 2018)
B. Prinsip Kerja KLT
Prinsip KLT adalah distribusi senyawa antara fase diam berupa padatan diletakkan pada
plat kaca atau plastik dan fase gerak berupa cairan, yang bergerak diatas fase diam.
Sejumlah kecil dari senyawa (analit) ditotolkan pada titik awal tepat di atas bagian bawah
plat KLT. Plat tersebut kemudian dikembangkan dalam Chamber (ruang pengembang)
yang memiliki kolam dangkal, pelarut diletakkan tepat di bawah di mana sampel
ditotolkan. Pelarut bergerak melalui partikel senyawa pada plat dengan gaya kapiler, dan
selama pelarut bergerak campuran masing-masing senyawa akan tetap dengan fase diam
atau larut dalam pelarut dan bergerak ke atas plat. Senyawa bergerak naik keatas plat atau
tetap pada fase diam tergantung dari sifat fisik masing-masing senyawa dan dengan
demikian tergantung pada struktur molekul, terutama gugus fungsi. Kelarutan senyawa
mengikuti aturan Like dissolves like. Senyawa yang sifat fisiknya semakin sama dengan
fase gerak Akan semakin lama larut dalam fase gerak (Kumar et al, 2013).
Sifat setiap senyawa dalam KLT ditandai suatu kuantitas yang dikenal dengan Rƒ
(Retention/Retardation Factor) dan dinyatakan sebagai pecahan desimal. Sifat Adsorben
yang berbeda akan memberikan nilai Rƒ yang berbeda untuk pelarut sama. Faktor-faktor
yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapisan tipis yang juga
mempengaruhi harga Rf adalah sistem pelarut, adsorben, ketebalan adsorben, jumlah
material. Semakin besar sebuah Rf dari suatu senyawa, semakin besar jarak perjalanan
senyawa pada plat KLT (Kumar et al, 2013).
Reprodusibilitas dari nilai Rf tergantung oleh banyak faktor seperti kualitas adsorben,
kelembaban, lapisan ketebalan lapisan, jarak pengembangan dan suhu lingkungan.
Overload sampel biasanya menghasilkan sedikit penikatan pada nilai Rf. Kelebihan
dalam penotolan sampel biasanya menghasilkan sedikit peningkatan pada nilai Rf.
Kesalahan pembuatan sistem akan mempengaruhi nilai kualitatif dari KLT ketika
perhitungan pelarut tidak tepat. Dalam hal ini nilai Rf secara sistematis menjadi terlalu
besar. Hilangnya fase gerak atau bertumpuknya koponen-komponen fase gerak
menghasilkan nilai Rf yang kecil (Srivastava, 2011).
C. Kelebihan dan Kekurangan

Adapun keuntungan dan kerugian dari metode ini adalah (Gandjar dan Rohman,2007).
a. Keuntungan
1. KLT lebih banyak digunakan untuk tujuan analisi
2. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
flouresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar UV.
3. Dapat dilakukan elusi secara mekanik (ascending), menurun (descending), atau
dengan cara elusi dua dimensi.
4. Ketetapan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan
merupakan bercak yang tidak bergerak.
5. Hanya membutuhkan sedikit pelarut
6. Yang dibutuhkan terjangkau
7. Jumlah perlengkapan sedikit
8. Preparasi sampel yang murah
9. Dapat untuk memisahkan senyawa hidrofobik (lipid dan hidrokarbon) yang dengan
metode kertas tidak bisa.

b. Kerugian
1. Butuh ketekunan dan kesabaran yang ekstra untuk mendapatkan bercak/noda yang
diharapkan.
2. Butuh sistem trial and eror untuk menentukan sistem eluen yang cocok.
3. Memerlukan waktu yang cukup lama jika dilakukan secara tidak tekun.

Temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Tanaman ini berbatang
semu dan habitusnya dapat mencapai ketinggian 2-2,5 meter. Tiap rumpun tanaman
terdiri atas beberapa tanaman ( anakan), dan tiap tanaman memiliki 2-9 helai daun. Daun
tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Lamina daun dan seluruh ibu ibu
tulang daun daun bergaris hitam. Panjang daun sekitar 50-55 cm, lebarnya 18 cm,dan tiap
helai daun melekat pada tangkai daun yang posisinya saling menutupi secara teratur
(Anonim, 1979).
Habitus tanaman dapat mencapai lebar 30-90 cm, jumlah anakan perumpun antara 3-9
anak. Tanaman temulawak dapat berbunga terus menerus sepanjang tahun secara
bergantian yang keluar dari rimpangnya. Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak
bunga kuning tua, serta pangkal bunganya berwarna ungu. Panjang tangkai bunga 3 cm
dan rangkaian bunga ( inflorescentia ) mencapai 1,5 cm. Dalam satu ketiak terdapat 3-4
bunga (Anonim, 1979).
Rimpang induk temulawak bentuknya bulat seperti telur, sedangkan rimpang cabang
terdapat pada bagian samping yang bentuknya memanjang. Tiap tanaman memiliki
rimpang cabang antara 3-4 buah. Warna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua
adalah kuning kotor.
Warna daging rimpang adalah kuning, dengan cita rasanya pahit , berbau tajam serta
keharumannya sedang. Rimpang terbentuk dalam dalam tanah pada kedalaman 16 cm.
Tiap rumpun tanaman temulawak umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima
buah rimpang muda. Sistem perakaran tanaman temulawak termasuk akar serabut. Akar
akarnya melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya
tidak beraturan. (Rukmana, 1994).

Kandungan kimia dalam rimpang


Kandungan kimia rimpang temulawak berupa minyak menguap yang mengandung
felandren dan turmerol, kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin dan
desmetoksikurkumin, resin,serta pati ( Gilg, 1905 ). Rimpang yang dihasilkan dari
dataran tinggi lebih banyak kandungan minyak atsirinya dibandingkan dengan rimpang
dari dataran rendah. Kelebihan rimpang yang dihasilkan dari dataran rendah antara lain
kandungan patinya lebih tinggi dibandingkan dengan rimpang dari dataran tinggi.
Minyak atsiri temulawak mengandung phelandren, kamfer, borneol, xanthorrhizol,
turmerol dan sineol. Kandungan kurkumin dalam rimpang temulawak berkisar antara
1,6%- 2,22% dihitung berdasarkan berat kering . Berkat kandungan kurkumin dan zat-
zat minyak atsiri tadi diduga merupakan penyebab berkhasiatnya temu lawak (Rukmana,
1994).

Kegunaan temulawak Kegunaan temulawak cukup banyak dan beragam bagi pengobatan
berbagai penyakit, diantaranya adalah obat sakit gangguan hati, demam, sakit kuning,
pegal-pegal, sembelit, obat peluruh haid ( emmenagogum), obat kuat (tonikum), dan
perangsang air susu (laktagoga) (Kloppenburg, 1983). Pemakaian rimpang temulawak
sebagai obat ternyata secara farmakologis memberikan pengaruh positif terhadap
kandung empedu, hati, dan pankreas. Pengaruhnya terhadap kandung empedu yaitu
mencegah pembentukan batu empedu dan kolesistisis. Sementara pengaruh terhadap hati
diantaranya dapat merangsang sel hati membuat getah empedu, hepatitis, anti
hepatotoksis, menurunkan kadar SGOT dan SGPT,serta berpengaruh baik terhadap
pengobatan penyakit hati menahun.Pengaruh positif terhadap pankreas cukup banyak
diantaranya dapat merangsang sekresi berikut fungsi pankreas,menambah selera
makan,mempengaruhi kontraksi dan tonus usus halus,bersifat bakterisid dan
bakteriostatik,membantu kerja sistem hormonal metabolisme dan fisiologi organ tubuh.
Disamping itu kandungan zat dalam rimpang temulawak bersifat diuretik dan tidak
bersifat ulserogenik ( Rukmana, 1994).

A. Alat dan Bahan

1. Alat yang digunakan yaitu alu kayu, aluminium foil,


baskom, batang pengaduk, beaker gelas, cawan
porselin, corong, corong pisah, gegep, gelas ukur,
gunting, hot plate, kain kasa, kertas saring, label, labu
alas bulat, lap kasar, lumpang batu, neraca, orbital
shacer, oventoples, pinset, pipet tetes, pisau, rak tabung
reaksi, refluks set, rotary evaporator, sendok tanduk,
statis dan klem, tabung reaksi, talenan, tissue, vial,
wadah simplisia

2. Bahan yang digunakan yaitu aqua destilata, asam


pikrat, dietil eter, FeCl3, HCl 1 %, HCl pekat, H2SO4
pekat, methanol, n-butanol jenuh air, serbuk Mg,
simplisia kuit rambutan.
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini sesuai,
baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini dilakukan dengan memasukkan
serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada
suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi
senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi,
pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode
maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan
besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa senyawa mungkin saja
sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain, metode maserasi dapat
menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil.

Perkolasi Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah
perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya). Pelarut
ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan menetes perlahan pada
bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut
baru. Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka
pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan
banyak pelarut dan memakan banyak waktu.

Soxhlet Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung selulosa
(dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang ditempatkan di atas labu dan di
bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas
diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang
kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak
membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya adalah
senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-
menerus berada pada titik didih.
Reflux dan Destilasi Uap Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke
dalam labu yang dihubungkan dengan kondensor, Pelarut dipanaskan hingga mencapai
titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu. Destilasi uap memiliki proses
yang sama dan biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran
berbagai senyawa menguap). Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah
sebagai 2 bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung
dengan kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat
termolabil dapat terdegradasi (Seidel V 2006).

Anda mungkin juga menyukai