Disusun oleh:
Benny
(P23139014016)
Citra Maulani
(P23139014018)
(P23139014020)
(P23139014022)
Devi Rahmawati
(P23139014024)
Lokal 3B
Dosen Pengawas: Benbasyar Eliyanoor, M.Farm, Apt
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cara penarikan kandungan kimia obat dalam tanaman sangat menentukan
senyawa apa saja yang akan berada dalam ekstrak. Pemilihan cara ekstraksi yang salah
menyebabkan hilangnya ata berkurangnya senyawa kimia berkhasiat yang diinginkan.
Pemahaman tentang sifat zat-zat kimia yang ada dalam tanaman mutlak diperlukan untuk
mendukung pemilihan cara ekstraksi.
Identifikasi awal untuk menentukan kandungan kimia tanaman obat dapat
dilakukan dengan reaksi warna maupun kromatografi. Informasi awal kandungan kimia
dengan reaksi warna dan kromatografi, sangat bermanfaat untuk menentukan penelitian
selanjutnya terhadap tanaman obat tersebut, apakah berpotensi untuk dilakukan isolasi
terhadap salah satu zat yang berkhasiat dan dibuat sintetisnya. Dalam praktikum kali ini
akan dilakukan identifikasi zat secara kromatografi lapis tipis.
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa memahami prinsip-prinsip dasar Kromatografi Lapis Tipis.
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak
kunyit dengan cara kromatografi lapis tipis.
3. Mahasiswa mampu menghitung nilai Rf ekstrak kunyit secara kromatografi lapis tipis.
4. Mahasiswa mengetahui pengaruh fase gerak terhadap nilai Rf ekstrak kunyit.
5. Mahasiswa mengetahui perbedaan mutu ekstrak infuse, maserasi, perkolasi, refluks
dan sokhletasi berdasarkan uji kandungan kimia ekstrak secara kromatografi lapis
tipis.
1.3 Manfaat
Menambah wawasan, melatih keterampilan dalam mengidentifikasi kandungan
kimia ekstrak, dan mendapatkan mutu ekstrak mana yang paling baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kromatografi
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, kromatografi didefinisikan sebagai
prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi differensial dinamis dalam
sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara
berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan
perbedaan mobilitas, disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan,
tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion.
Secara singkat dapat dikatakan, kromatografi adalah suatu cara pemisahan
berdasarkan perbedaan pengikatan zat-zat dalam campuran oleh suatu sistem dua fase,
yaitu fase stasioner (diam, tidak bergerak) dan fase mobil (bergerak). Pengikatan oleh
fase-fase itu bersifat irreversibel.
Secara praktis, biasanya dibedakan jenis-jenis kromatografi sebagai berikut :
1. Kromatografi kolom konvensional, kromatografi cairan dengan mekanisme
pemisahan yang beragam
2. Kromatografi kertas (paper chromatography), tergolong kromatografi cairan planar
dengan mekanisme pemisahan partisi yang dominan.
3. Kromatografi Lapis Tipis (Thin-layer chromatography), tergolong kromatografi
cairan planar dengan mekanisme pemisahan partisi yang beragam.
4. Kromatografi gas (gas chromatography)
5. Kromatografi cairan kinerja tinggi (high performance liquid chromatography)
Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam analisis kualitatif dan kuantitatif
yang digunakan dalam penetapan kadar dan pengujian farmakope indonesia adalag
kromatografi kolom, kromatografi gas, kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis
dan kromatografi cair kinerja tinggi.
Dalam kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis, perbandingan jarak
rambat (diukur sampai titik yang memberikan intensitas maksimum pada bercak)
suatu senyawa tertentu dengan jarak rambat fase gerak, diukur dari titik penotolan,
dinyatakan sebagai harga Rf suatu senyawa tersebut. Perbandingan jarak rambat suatu
senyawa tertentu dengan jarak perambatan baku pembanding dinyatakan sebagai
harga Rr. Harga Rf berubah sesuai dengan kondisi percobaan, karena itu identifikasi
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan baku pembanding yang sama dengan uji
kromatogram yang sama. Jika zat uji yang diidentifikasi dan baku pembanding itu
sama, terdapat kesesuaian dalam warna dan harga Rf pada semua kromatogram, dan
kromatogram dari campuran menghasilkan harga Rr adalah 1,0.
3
Bercak yang dihasilkan kromatografi kertas atau lapis tipis letaknya dapat
ditetapkan dengan :
1. Pengamatan langsung jika senyawanya tampak pada cahaya biasa, cahaya
ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm)
2. Pengamatan dengan cahaya biasa atau cahaya ultraviolet setelah disemprot
dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak (pereaksi sebaiknya
disemprotkan melalui alat pengabut)
3. Menggunakan pencacah Giger-muller atau teknik autoradiografi jika terdapat
zat radioaktif
4. Menempatkan potongan penjerap dan zat pada media pembiakan yang telah
ditanam untuk melihat hasil stimulasi atau hambatan pertumbuhan bakteri.
2.2 Kromatografi Lapis Tipis
Dasar teori kromatografi lapis tipis sama dengan kromatografi kertas.
Kromatografi lapis tipis umumnya lebih bermanfaat untuk tujuan identifikasi, karena
mudah dan sederhana. Namun dapat digunakan untuk penetapan kadar dengan
penambahan alat scanner (TLC scanner). Pada kromatografi lapis tipis, zat penjerap
merupakan lapisan tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik, atau
logam secara merata, umumnya digunakan lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi
dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang tercapai
dapat didasarkan pada adsorpsi, partisi atau kombinasi kedua efek, tergantung dari
jenis zat penyangga, cara pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan. Biasanya fase
padatnya berupa adsorben yang relatif kuat sehingga mekanisme pemisahan yang
dominan berdasarkan perbedaan adsorpsi.
Lapisan fase padat/adsorben dapat dibuat sendiri, tetapi juga tersedia lapisan
siap pakai buatan pabrik. Kelembaban lapisan adsorben mempengaruhi daya
adsorpsinya,
kekuatan
adsorpsi
berkurang
pada
adsorben
lembab.
Untuk
berambut kasar dan rapat. Saat kering memiliki ketebalan mencapai 2-5 mm, panjang 1640 cm, daun kelopak berambut berbentuk lanset dengan panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5 cm,
berwarna hijau, berbentuk bulat telur, daun memiliki bagian ujung terbelah-belah. Bentuk
bunga tanaman ini majemuk, mahkota berwarna putih. Bagian dalam berupa rimpang.
Bagian dalam rimpang berwarna kuning jingga atau pusatnya lebih pucat atau warna tidak
jelas.
2.4.1
Deskripsi Tanaman
Tanaman kunyit ( Curcuma domestica val ) merupakan salah satu tanaman obat
tradisional yang banyak dikenal banyak orang. Tanaman ini memiliki nama yang sangat
banyak di daerah masing-masingnya seperti kunir, kuning, cahang, janar dan lainnya.
Tanaman ini dapat tumbuh dengan ketinggian 1300-1600 mdpl, dan curah hujan yang
sangat baik.
Tanaman kunyit merupakan tanaman jangka panjang atau tahunan dengan daun
besar berbentuk elips, 3-8 buah, panjang hingga mencapai 85 cm, lebar sampai 25 cm,
pangkal daun meruncing, dan berwarna hijau muda atau tua. Batang tanaman kunyit
adalah semu yang berwarna hijau dan keunguan, tingga batang mencapai 1,60 meter.
Perbungaan tanaman ini muncul dari rimpang, terletak di batang, ibu tangkai bunga
berambut kasar dan rapat. Saat kering memiliki ketebalan mencapai 2-5 mm, panjang
16-40 cm, daun kelopak berambut berbentuk lanset dengan panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5
cm, berwarna hijau, berbentuk bulat telur, daun memiliki bagian ujung terbelah-belah.
Bentuk bunga tanaman ini majemuk, mahkota berwarna putih. Bagian dalam berupa
rimpang. Bagian dalam rimpang berwarna kuning jingga atau pusatnya lebih pucat atau
warna tidak jelas.
2.4.2
Kandungan Kimia
Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid
yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin serta zat-zat
bermanfaat lainnya. Sisanya minyal atsiri/volatile oil (keton sesquiterpen, turmeron,
tumeon 60%, zingiberen 25%, felandren, sabinen,borneol dan sineil), lemak 1-3%,
karbohidrat 3%, protein 30%, pati 8%, vitamin C 45-55%, garam-garam mineral (zat
vesi, fosfor, dan kalsium).
2.4.3 Khasiat
antioksidan,
gangguan
pencernaan,
antimikroba
(broad
spectrum),
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Pelaksanaan
Waktu
Tempat
Hasil
Fase Gerak 1
Toluen : Etil Asetat
DK
BK
Fase Gerak 2
Kloroform : Benzen: Etanol
DK
BK
K
Infus
32,5
17,5
55
Dekok
31,25
16,25
53,75
Rebusan
31,25
17,5
55
Maserasi
Sampel
Etanol 96%
Perkolasi
Etanol 70%
Perkolasi
Etanol 90%
Refluks
Etanol
Sokhletasi
Etanol 96%
Sokhletasi
Metanol
3.4.2
31,25
18,75
50
32,5
18,75
48,75
26,875
11,25
48,75
25
10
48,75
26,26
12,5
48,7
Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kelompok D3 melakukan identifikasi kurkumin dari
simplisia kunyit. Hasil ekstrak yang digunakan adalah ekstrak kental hasil ekstraksi
dengan metode Refluks pelarut etanol, Sokhletasi pelarut Metanol, dan Sokhletasi
pelarut Etanol 96%.
Fase gerak yang digunakan adalah Kloroform : Benzen: Etanol dengan
perbandingan 45:45:10. Fase gerak yang dibutuhkan sebanyak 5 ml, setelah dihitung
Kloroform yang dibutuhkan sebanyak 2,25ml ~ 2ml + 5 tetes, Benzen yang dibutuhkan
sebanyak 2,25 ml ~ 2 ml + 5 tetes dan Etanol 0,5ml ~ 10 tetes.
Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, kurkumin yang terdapat dalam
ekstrak yang dihasilkan dengan metode Refluks dan Sokhletasi teridentifikasi dengan
baik, terlihat dari nilai Rf pada K dapat dihitung dengan jelas dengan adanya bercak /
noda pada plat KLT. Pada ekstrak yang dihasilkan dengan metode Infus, Dekok,
Rebusan, perkolasi etanol 70% dan perkolasi etanol 90% nilai Rf pada K-nya juga dapat
dihitung.
Berdasarkan hasil praktikum, identifikasi kurkumin dengan fase gerak
Kloroform, Benzen dan Etanol, nilai Rf pada DK, BK, dan K dapat dihitung. Ekstrak
yang dihasilkan dengan metode apapun, nilai Rf-nya dapat dihitung. Hal ini
menunjukkan bahwa Kloroform Benzen dan etanol mungkin merupakan fase gerak
yang sesuai untuk kurkumin, sehingga dapat terelusi dengan baik pada lempeng KLT.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1) Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu metode analisis yang digunakan
untuk memisahkan suatu campuran senyawa secara cepat dan sederhana
2) Prinsip KLT didasarkan atas partisi dan adsorpsi. Zat penjerap merupakan fase
stasioner, berupa bubuk halus dibuat serba rata dan tipis diatas lempeng kaca. Fase
diam yang umum digunakan adalah silika gel, baik yang normal fase maupun
reversed fase
3) Kromatografi lapis tipis dengan penyerap penukar ion dapat digunakan untuk
pemisahan senyawa polar. Harga Rf yang diperoleh pada kromatografi lapis tipis
tidak tetap, jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi kertas.
Oleh karena itu pada lempeng yang sama di samping kromatogram zat yang di uji
perlu dibuat kromatogram zat pembanding kimia, lebih baik dengan kadar yang
berbeda-beda
4) Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dari titik awal
dan jarak tepi muka pelarut dari titik awal.
Rf =
5) Semakin besar Rf semakin besar jarak bergeraknya senyawa dan semakin kurang
polar juga senyawa tersebut. Berdasarkan praktikum KLT yang telah dilakukan
maka perbedaan mutu ekstrak tidak terlihat antara perkolasi etanol 96% dengan
10
infus, dekok dan rebusan. Sedangkan untuk refluk dan sokhletasi tidak terlihat
perbedaan mutu yang berarti.
4.2 Saran
Sebelum mulai mengelusi, pastikan bejana kromatografi telah jenuh karena hal ini
akan sangat berpengaruh
Saat penjenuhan, bejana harus tertutup sempurna sehingga proses penjenuhan
bejana lebih maksimal
Saat penotolan, lakukan dengan hati-hati, pastikan ukuran totolan kecil dan tidak
melebar
Setiap kali akan melakukan penotolan, micro cap yang digunakan harus berbeda
untuk tiap larutan ekstrak, jika tidak di titik penotolan bisa terdapat dua zat
sehingga akan mempengaruhi hasil
11
12
LAMPIRAN
Penjenuhan Bejana Kromatografi
Refluks etanol
Soklet metanol
Soklet etanol
13
Ekstrak
kental
dilarutkan
menggunakan
metanol
10ml,
diaduk sampai larut
14
Penotolan (Spotting)
Elusi
15
366nm
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 1993
2. Anonim, Cara Pembuatan Simplisia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 1985
3. Badan POM, 2005, Petunjuk Operasional Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang
Baik
4. Depkes RI, Dirjen POM, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat
5. Tim Penyusun, Serial Buku Ajar Farmasi Fitokimia, Politeknik Kesehatan
Kementrian Kesehatan Jakarta II, 2013.
Penyusun, Buku Panduan Praktikum Fitokimia, Politeknik Kesehatan
6. Tim
17