Anda di halaman 1dari 59

Medan, 1 Februari 2021

Tertanda,

Penulis

DAFTAR ISI

JUDUL………………………………………………………………………………………. i

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN

A…Latar Belakang Masalah…………………………………………………….…….1

B…Rumusan Masalah…………………………………………………………….…..1

C…Tujuan Pembahasan………………………………………………………………1

BAB II ISI

A…Pengertian Kepribadian……………………………………………………....…..2

B…Tipe-Tipe Kepribadian…………………………………………………………...3
C…Cara Tiap Kepribadian Dalam Menyelesaikan Konflik……………………...….5

D…Jurnal Kepribadian………………………………………………………………..6

a. Jurnal 1 ‘Kepribadian dan Sosial’……………………………………….….6

b. Jurnal 2 ‘Pembentukan Kepribadian Positif Anak Sejak Usia Dini’…../.…19

c. Jurnal 3 ‘Gangguan Kepribadian Antisosial pada Narapidana’…..……......27

d. Jurnal 4 ‘Kepribadian Ganda Tokoh Nawai’………………….….....……..37

C…Contoh Kasus Kepribadian…………………………………………….

………..48

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………..…………..54

B. Saran…………………………………………………………….…….……….…54

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kepribadian adalah gambaran cara seseorang bertingkah laku terhadap lingkungan sekitanya,
yang terlihat dari kebiasaan berfikir, sikap dan minat, serta pandangan hidupnya yang khas
untuk mempunyai keajegan.
Karena dalam kehidupan manusia sebagai individu ataupun makhluk social, kepribadian
senantiasa mengalami warna-warni kehidupan.Ada kalanya senang, tentram, dan
gembira.Akan tetapi pengalaman hidup membuktikan bahwa manusia juga kadang-kadang
mengalami hal-hal yang pahit, gelisah, frustasi dan sebagainya.Ini menunjukan bahwa
manusia mengalami dinamika kehidupan.
 Oleh karena itu kita membutuhkan sejenis kerangka acuan untuk memahami dan
menjelaskan tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Kita harus memahami definisi
kepribadian serta bagaiman kepribadian itu terbentuk.Untuk itu kita membutuhkan teori-teori
tingkah laku, teori kepribadian agar gangguan-gangguan yang biasa muncul pada kepribadian
setiap individu dapat dihindari.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari kepribadian ?
2. Apa tipe – tipe kepribadian ?
3. Bagaimana cara tiap kepribadian dalam menyelesaikan konflik ?

C. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari kepribadian
2. Mahasiswa dapat mengetahui tipe – tipe kepribadian
3. Mahasiswa dapat mengetahuicara tiap kepribadian dalam menyelesaikan konflik

1
BAB II ISI

A. PENGERTIAN KEPRIBADIAN
Istilah “kepribadian” (personality) sesungguhnya memiliki banyak arti. Hal ini disebabkan
oleh adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian, dan pengukurannya. Kiranya
patut diakui bahwa di antara para ahli psikologi belum ada kesepakatan tentang arti dan
definisi kepribadian itu. Boleh dikatakan, jumlah arti dan definisi adalah sebanyak ahli yang
mencoba menafsirkannya.
 Kepribadian menurut pengertian sehari-hari

Kepribaian (personality) yaitu merujuk kepada bagaimana individu tampil dan menimbulkan
kesan bagi individu-individu lainnya. Pengertian kepribadian seperti ini mudah dimengerti
dan karenanya juga mudah dipergunakan. Tetapi sayangnya pengertian kepribadian yang
mudah dan luas dipergunakan ini lemah dan tidak bisa menerangkan arti kepribadian yang
sesungguhnya, sebab pengertian kepribadian tersebut hanya menunjuk terbatas kepada ciri-
ciri yang diamati saja, dan mengabaikan kemungkinan bahwa ciri-ciri ini bisa berubah
tergantung kepada situasi keliling. Tambah pula, pengertian kepribadian semacam itu lemah
disebabkan oleh sifatnya yang evaluative (menilai). Bagaimanapun, kepribadian itu pada
dasarnya tidak bisa dinilai ‘baik’ atau ‘buruk’ (netral). Dan para ahli psikologi selalu
berusaha menghindarkan penilaian atas kepribadian.

 Kepribadian menurut Psikologi

Pengertian kepribadian menurut disiplin ilmu psikologi bisa diambil dari rumusan masalah
beberapa teoritis kepribadian yang terkemuka, diantaranya sbb :

1. Browner menyatakan bahwa tingkah laku manusia adalah gerak-gerik suatu badan
sehingga kepribadian dapat dikatakan corak gerak-gerik suatu badan manusia. Tingkah laku
yang disebut kepribadian bersifat sadar dan tidak sadar. Hal itu dapat dilihat dari sudut diri
manusia dan dari sudut lingkungannya.
2. George Kelly bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam
mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya.
3. Gordon Allpornt merumuskan kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari
sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas.
2
4. Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga
sistem , yakni id, ego, dan superego. Dan tingkah laku tidak lain merupakan hasil dari konflik
dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut.

B. TIPE – TIPE KEPRIBADIAN


a). Sanguinis
Seseorang yang termasuk tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain : memiliki banyak
kekuatan, bersemangat, mempunyai gairah hidup, dapat membuat lingkungannya gembira
dan senang. Akan tetapi, tipe ini pun memiliki kelemahan, antara lain : cenderung impulsif,
bertindak sesuai emosinya atau keinginannya.
Orang bertipe ini sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungannya dan rangsangan dari luar
dirinya, kurang bisa menguasai diri atau penguasaan diri lemah, cenderung mudah jatuh ke
dalam percobaan karena godaan dari luar dapat dengan mudah memikatnya dan dia bisa
masuk terperosok ke dalamnya. Jadi, orang dengan kepribadian Sanguin sangat mudah
dipengaruhi oleh lingkungannya dan rangsangan dari luar dirinya dan dia kurang bisa
menguasai diri atau penguasaan diri lemah.
Oleh karena itu, kelompok ini perlu ditingkatkan secara terus-menerus perkembangan moral
kognitifnya melalui tingkat pertimbangan moralnya sehingga dalam berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain menjadi lebih menggunakan pikirannya daripada
menggunakan perasaan/emosinya. Peningkatan moral kognitif akan menjadikan pikiran
mereka lebih tajam dan lebih kritis dalam menghadapi persoalan yang berkaitan dengan
orang lain.

b). Melancholic
Seseorang yang termasuk tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain : terobsesi dengan
karyanya yang paling bagus atau paling sempurna, mengerti estetika keindahan hidup,
perasaannya sangat kuat, dan angat sensitif.

Orang yang memiliki tipe ini juga memiliki kelemahan antara lain : sangat mudah
dikuasi oleh perasaan dan cenderung perasaan yang mendasari hidupnya sehari-hari adalah
perasaan yang murung. Oleh karena itu, orang yang bertipe ini tidak mudah untuk terangkat,
senang, dan tertawa terbahak-bahak.

Pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral, kiranya dapat


membantu kelompok ini dalam mengatasi perasaanya yang kuat dan sensitivitas yang mereka
miliki melalui peningkatan moral kognitifnya. Dengan demikian, kekuatan emosionalnya
dapat berkembang secara seimbang dengan perkembangan moral kognitifnya.

c). Choleric
Seseorang yang memiliki tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain : cenderung
berorientasi pada pekerjaan dan tugas, mempunyai disiplin kerja yang sangat tinggi, mampu
melaksanakan tugas dengan setia dan bertanggung jawab atas tugas yang diembannya.

Orang yang bertipe ini memiliki kelemahan antara lain : kurang mampu merasakan
perasaan orang lain, kurang mampu mengembangkan rasa kasihan kepada orang yang sedang
menderita, dan perasaanya kurang bermain.

Kelompok ini perlu ditingkatkan kepekaan sosialnya melalui pengembangan


emosional yang seimbang dengan moral kognitifnya sehingga menjadi lebih peka terhadap
penderitaan orang lain.
d). Phlegmatis
Seseorang yang termasuk tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain : cenderung tenang,
gejolak emosinya tidak tampak, misalnya dalam kondisi sedih atau senang, sehingga turun
naik emosinya tidak terlihat secara jelas. Orang bertipe ini cenderung dapat menguasai
dirinya dengan cukup baik dan lebih introspektif, memikirkan ke dalam, dan mampu melihat,
menatap, dan memikirkan masalah –masalah yang terjadi di sekitarnya. Mereka seorang
pengamat yang kuat, penonton yang tajam, dan pengkritik yang berbobot.

Akan tetapi orang bertipe seperti ini juga memiliki kelemahan antara lain : ada
kecenderungan untuk mengambil mudahnya dan tidak mau susah. Dengan kelemahan ini,
mereka kurang mau berkorban demi orang lain dan cenderung egois.

Oleh karena itu, mereka perlu mendapatkan bimbingan yang mengarahkan pada
meningkatnya pertimbangan moralnya guna peningkatan rasa kasih sayang sehingga menjadi
orang yang lebih bermurah hati.

C. CARA TIAP KEPRIBADIAN DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK


a). Sanguinis
Dalam menghadapi suatu konflik atau masalah tipe ini harus bersikap lebih tenang
dalam berfikir karena terkadang apa yang kita katakana tidak berbandig lurus dengan
perkataan dan perbuatan kita. tipe ini juga harus dapat mengontrol mood serta emosi agar
tetap stabil karena dalam menghadapi suatu masalah kita haruslebih tenang dan berkepala
dingin.

b). Melancholic
Dalam menghadapi masalah atau konflik tipe ini cenderung pesimis dan mudah
menyerah.Tipe ini haus lebih percaya dengan dirinya dan menghilangkan fikiran-fikiran
negative yang ada karena itu hanya akan membuang waktu. Banyak hal positif yang dapat
tipe ini lakukan untuk sekedar melupakan kecurigaan yang ada dipikirannya
c). Choleric
Dalam menghadapi suatu masalah tipe ini harus mulai berbagi keluh kesahnya pada orang
lain. Coba sesekali memperhatikan orang lain dan tidak mementingkan iri sendiri karena itu
hanya akan membuatmu merasa sendiri dalam menghadapi masalah, karena terkadang
masalah akan terasa ringan jika dilalui bersama.

d). Phlegmatis
Dalam menghadapi suatu masalah atau konflik tipe ini cenderung menghindar seakan
lari dari masalah. Tipe ini harus lebih terbuka atas apa yang ia rasakan atau apa yang ia tidak
suka. Dalam hidup pasti ajan ada perubahan dan konflik pada kenyataannya kita tidak dapat
menghindari itu kita harus hadapi semua masalah yang ada .

a. Jurnal 1 ‘Kepribadian dan Sosial’


Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial
http://url.unair.ac.id/9a92e446
e-ISSN 2301-7074

ARTIKEL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA YANG


MENGALAMI PERCERAIAN ORANGTUA
Sih Rineksa W. N. dan Achmad Chusairi, M.Psi.*
Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRAK
Tingginya angka perceraian di Jawa Timur dan berbagai permasalahan yang dialami
remaja dari keluarga yang bercerai menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konsep diri dengan resiliensi.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan responden 71 remaja (32 laki-laki, 39
perempuan) berusia 13-22 tahun yang memiliki pengalaman orangtua yang bercerai. Alat
pengumpulan data berupa Skala Konsep Diri berjumlah 36 aitem, dan Reciliency Attitudes
and Skill Profile (RASP). Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
konsep diri dengan resiliensi (r = 0.333, p = 0.005). Dimensi harapan dan penilaian diri
memiliki hubungan dengan resiliensi sedangkan pengetahuan tidak memiliki
hubungandengan resiliensi. Penelitian ini juga mendeskripsikan perbedaan skor resiliensi
berdasarkan variasi usia perkembangan, status pendidikan atau pekerjaan, dan rentang waktu
setelah perceraian orangtua.
Kata kunci: konsep-diri, perceraian orangtua, remaja, resiliensi

ABSTRACT
The high number of divorce in East Java and many problems experienced by the
adolescents of parental divorce were the background of this research. This study aims to
determine whether there are correlations between self-concept and resilience among
adolescents who experienced parental divorce. This quantitative research was conducted on
6
71 adolescents (32 boys and 39 girls) of age 13-22 years whose experience of parental
divorce. The data collection instruments were Self-Concept Scale composed of 23 items, and
the Resiliency Attitudes and Skill Profile (RASP). The result shows the correlation between
selfconcept and resilience (p = 0.005, r = 0.333). Hope and evaluation of self have significant
positive relationship with resilience while knowledge did not. This study also describe the
difference of resilience scores by the variation of developmental age, academic or work
status, and interval time after parental divorce.
Key words: adolescent, parental divorce, resilience, self-concept

*Alamat korespondensi: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kampus B Universitas


Airlangga Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Surel:
achmad.chusairi@psikologi.unair.ac.id Naskah ini merupakan naskah dengan akses terbuka
dibawah ketentuan the Creative Common Attribution License
(http://creativecommons.org/licenses/by/4.0), sehingga penggunaan, distribusi, reproduksi
dalam media apapun atas artikel ini tidak dibatasi, selama sumber aslinya disitir dengan baik.
Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Perceraian
Orangtua

PENDAHULUAN

Angka perceraian di Indonesia tergolong tinggi dan terus meningkat pada tahuntahun
terakhir (Sasongko, 2014). Menurut data dari artikel Angka Perceraian di Jawa Timur Capai
100 ribu Kasus, dapat disimpulkan bahwa angka perceraian di Jawa Timur cukup tinggi
dengan total 81.672 pada tahun 2014 (Arifin, 2015). Sama halnya dengan perpisahan dan
perceraian secara hukum, perpisahan non-legal juga memiliki dampak-dampak negative pada
berbagai konteks, termasuk pada anak yang lahir dalam pernikahan tersebut (Sember, 1968).

7
Peristiwa perceraian orangtua membawa dampak sepanjang rentang kehidupan
seorang anak (Amato, 1994; Fagan & Churchill, 2012; Whitton, 2008), meski demikian,
dinamika psikologis pada masa-masa kritis perkembangan manusia yaitu masa remaja, tidak
dapat diabaikan (Kelly & Emery, 2003; Amato, 1994). Elizabeth B. Hurlock (1980)
menjelaskan masa remaja sebagai usia dimana baik laki-laki maupun perempuan memiliki
masalah yang sulit diatasi, karena selama masa kanak-kanak, permasalahan yang mereka
hadapi seringkali diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak
berpengalaman mengatasi permasalahan.
Karatas dan Cakar (2011) juga menyebutkan bahwa masa remaja pada umumnya
ditandai dengan periode depresi, kemarahan, konflik, dan keprihatinan yang intens dan
direspon secara ekstrim. Salah satu faktor depresi pada remaja bersumber dari keluarga.
Faktor-faktor tersebut meliputi: orangtua yang menderita depresi, orangtua yang tidak terikat
secara emosi, orangtua yang mengalami konflik perkawinan, dan orangtua yang mengalami
masalah finansial (Santrock, 2011). Dengan kata lain, kondisi keluarga yang diwarnai konflik
dan tidak bahagia menyebabkan remaja memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
mengalami depresi.
Dampak perceraian orangtua bagi anak dan remaja bervariasi mulai dari yang ringan
hingga berat, tidak tampak hingga tampak, dan dalam jangka waktu singkat hingga jangka
panjang (Amato, 1994; Whitton, 2008; Fagan & Churchill, 2012), namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa beberapa orang berhasil melewati masa-masa sulit pasca perceraian
orangtua, bangkit dari keterpurukan, bahkan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi
(Kelly & Emery, 2003; Chen & George; Werner, 2005). Menurut Chen dan George (2005),
yang menjadi faktor kunci dalam kemampuan adaptasi anak adalah resiliensi. Wolin dan
Wolin (1993) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dari kemalangan,
beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki
diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih. Individu yang resilien dapat
melambung dan mengembangkan kompetensi social dan akademik, sekalipun dalam tekanan
yang berat.
Resiliensi bukanlah sifat yang dibawa individu sejak lahir melainkan hasil interaksi
dari berbagai faktor yang oleh beberapa ahli digolongkan sebagai faktor protektif dan faktor
risiko (Rutter, 2006; Luthar dkk., 2000; Werner, 2005). Faktor protektif adalah pengaruh
yang memodifikasi, memperbaiki, atau merubah respon seseorang terhadap bahaya

lingkungan atau situasi yang tidak menguntungkan (Rutter, Resilience in the Face of
Adversity, 1985). Faktor protektif resiliensi terdiri dari faktor protektif internal dan eksternal.
Faktor internal yang ada dalam diri subjek adalah, subjek memiliki perasaan dicintai dan
mampu mencintai orang lain, subjek mampu berempati, dan memiliki keyakinan dan harapan
yang besar akan kehidupannya di masa yang akan datang (Swastika, 2009). Faktor protektif
yang disebutkan oleh Zolkoski dan Bullock (2012) antara lain karakteristik individu yang
meliputi regulasi diri dan konsep diri, kondisi keluarga, dan dukungan masyarakat. Sejalan
dengan hal itu, Richmond dkk. (dalam Wagnaild & Young, 1993) menyatakan bahwa
resiliensi dapat dipengaruhi kedisiplinan diri, rasa ingin tahu, harga diri, dan konsep diri.
Beberapa penelitian mendukung bahwa pandangan remaja tentang diri dan identitasnya
merupakan salah satu faktor yang memiliki peran dalam pencapaian resiliensi (Zolkoski &
Bullock, 2012; Beardslee & Podorefsky, 1988; Werner, 2005). Berdasarkan penelitian-
penelitian tersebut (Beardslee & Podorefsky, 1988; Chen & George, Werner, 2005;
Crawford, Rutter, 2006; Zolkoski & Bullock, 2012) dapat diketahui bahwa pencapaian
resiliensi didukung oleh proses pembentukan konsep diri.

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), konsep diri adalah gambaran mental individu
tentang dirinya sendiri, segala yang terlintas di pikiran tentang “saya”, yang terangkum dalam
pengetahuan, pengharapan, dan penilaian tentang diri. Konsep diri terbentuk dari interaksi
antara manusia dengan lingkungannya yaitu orangtua, teman sebaya, dan masyarakat sebagai
sumber informasi (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut Calhoun dan Accocella (1990),
individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya sesuai realitas, yaitu
tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di
depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan. Individu yang memiliki
konsep diri positif cenderung adaptif karena mampu terbuka terhadap pengalaman dan
realitas yang baik dan yang buruk bukan sebagai ancaman, dan kemudian ditanggapi secara
fleksibel. Respon positif terhadap situasi baru, kemampuan adaptasi terhadap stres, dan
pandangan positif tentang kehidupan inilah yang menjadi faktor protektif resiliensi pada
lingkup internal (Garmezy, 1985; Masten, 1990).
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pencapaian resiliensi
pada remaja yang mengalami perceraian orangtua terkait dengan proses pembentukan konsep
diri pada masa remaja. Argumentasi penelitian ini bahwa pembentukan konsep diri ke arah
positif dapat mendukung pencapaian resiliensi, sedangkan pembentukan konsep diri yang
9
negatif justru menghambat kemampuan resiliensi. Berdasarkan uraian tersebut,
penulis ingin mengetahui bagaimana hubungan antara konsep diri yang terdiri dari tiga
dimensi yaitu pengetahuan, harapan, dan penilaian; dengan tingkat resiliensi pada remaja
yang mengalami perceraian orangtua.
METODE

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsep diri. Yang dimaksud dengan
konsep diri dalam penelitian ini adalah pandangan mengenai diri sendiri, mencakup
keyakinan, pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri yang diperoleh dari
pengalaman dan interaksi dengan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah resiliensi. Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk
bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan
kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih.
Individu yang resilien dapat melambung dan mengembangkan kompetensi social dan
akademik, sekalipun dalam tekanan yang berat (Wolin & Wolin, 1993).
Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 13- 22
tahun yang memiliki orangtua kandung yang bercerai, dan berdomisili di Malang. Pemilihan
populasi penelitian di Kota Malang karena data-data yang menunjukkan bahwa Kota Malang
memiliki angka perceraian yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Satrio, 2016),
sedangkan angka perceraian se-Malang Raya (Kota dan Kabupaten Malang) menempati
peringkat tertinggi di Jawa Timur dan peringkat kedua di Indonesia, setelah Inderamayu
(Anwar, 2016).
Sampel diperoleh dengan cara melakukan penyaringan terhadap data diri dan data
keluarga yang dilampirkan pada saat pengisian kuesioner. Data keluarga mencakup
pertanyaan mengenai status pernikahan orangtua, jenis perceraian orangtua (legal atau non-
legal), tahun perceraian orangtua, ada tidaknya konflik dalam keluarga, dan ada tidaknya
orangtua yang meninggal dunia. Data tersebut yang digunakan untuk menentukan Hubungan
Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Perceraian Orangtua 4
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11 responden mana yang
memenuhi kriteria penelitian, sehingga data kuesionernya dapat dianalisis. Data dari
responden yang tidak mengisikan data perceraian orangtua selanjutnya dieliminasi (tidak
10
diteliti). Dari hasil pengumpulan data berupa kuesioner cetak dan kuesioner online
menggunakan aplikasi Google Form, diperoleh sebanyak 71 responden (32 laki-laki dan 39
perempuan) yang datanya memenuhi kriteria untuk dianalisis.
Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala konsep diri dan skala resiliensi.
Kedua skala tersebut dibuat dengan model Likert yang diukur melalui kontinum 1 sampai 4.
Pada masing-masing skala terdapat 4 alternatif jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju),
TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Skala konsep diri yang digunakan disusun
oleh peneliti berdasarkan tiga dimensi konsep diri yang dijelaskan oleh Calhoun dan
Acoccella (1993) yaitu dimensi pengetahuan, harapan, dan penilaian.Skala konsep diri terdiri
dari 23 aitem final dengan koefisien reliabilitas 0.833 dan telah memenuhi kriteria validitas
masing-masing aitem dengan korelasi item dan total skor di atas 0.25.
Pengukuran resiliensi menggunakan skalaReciliency Attitudes and Skill Profile
(RASP) yang diterjemahkan dari Therapeutic Recreation Journal. Jurnal tersebut ditulis oleh
Karen P. Hurtes dan Lawrence R. Allen (2001) dengan judul Measuring Resiliency in Youth:
The Resiliency Attitudes and Skill Profile. Skala RASP disusun berdasarkan hasil analisis
kualitatif yang dilakukan oleh Wolin dan Wolin (1993), yang mengidentifikasi
karakteristikkarakteristik berikut sebagai individu yang resilien: insight, independence,
creativity, humor, initiative, relationships, dan value orientation (morality). Aitem final
berjumlah 31 aitem dengan koefisien reliabilitas 0.838. Teknik analisis data yang digunakan
disesuaikan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara konsep diri dengan resiliensi,
menggunakan analisis korelasi product moment dengan teknik Pearson Correlation, yang
dalam proses penghitungannya dibantu dengan menggunakan program SPSS 16.0 for
Windows.
HASILPENELITIAN
Data menunjukkan rerata skor konsep diri dan resiliensi dari 71 responden.
Berdasarkan penghitungan norma alat ukur, sebanyak 5.6% responden (n = 4) memiliki skor
konsep diri pada kategori Sangat Positif, 69% tergolong Positif (n = 49), dan 25.3% berada
pada kategori Cukup (n = 18). Hasil ini menunjukkan bahwa dari seluruh responden tidak ada
yang memiliki konsep diri negatif. Hal ini berarti responden memiliki pandangan yang jelas
mengenai diri sendiri, memiliki keyakinan, pengetahuan, pengharapan, dan penilaian yang
cenderung positif terhadap dirinya (Calhoun & Acocella, 1990). Pada pengukuran resiliensi,
sebanyak 12.6% responden (n = 9) memperoleh skor Sangat Tinggi, 60.6% responden (n =
11
43) memperoleh skor Tinggi, dan 26.8% (n = 19) berada pada kategori Sedang. Hal ini
berarti
secara keseluruhan, responden dalam penelitian ini telah mampu dan cukup mampu untuk
bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan
kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih
(Wolin & Wolin, 1993). Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang
Mengalami Perceraian Orangtua 5 Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol.
6, 1 – 11
Analisis deskriptif variabel resiliensi berdasarkan usia menunjukkan bahwa rata-rata
skor resiliensi remaja awal dan remaja madya berada pada kategori Sedang, dan remaja akhir
berada pada kategori Rendah. Rerata skor resiliensi remaja awal lebih tinggi daripada remaja
madya, dapat disimpulkan bahwa skor resiliensi pada pengukuran ini menurun seiring
bertambahnya usia subjek. Analisis Deskriptif Variabel Resiliensi berdasarkan Status
menunjukkan bahwa ketujuh puluh satu subjek, baik yang duduk di bangku SMP, SMP,
Kuliah, maupun bekerja, memiliki rerata skor yang berada pada kategori Sedang. Kelompok
subjek SMP memiliki rerata skor resiliensi tertinggi sedangkan subjek yang bekerja memiliki
rerata paling rendah. Analisis Deskriptif Variabel Resiliensi berdasarkan Rentang Waktu
menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua antara 2 hingga 6 tahun
sebelum dilakukannya survey memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah daripada yang
orangtuanya bercerai pada rentang usia 7 – 11 tahun. Sedangkan kelompok subjek yang
mengalami perceraian orangtua pada waktu yang lebih lama yaitu 12 – 16 tahun, memiliki
rerata skor resiliensi yang berada pada kategori tinggi.
Tabel 1. Hasil Uji Korelasi Variabel Konsep Diri dan Resiliensi
TotalKonsepDiri TotalResiliensi Pearson Correlation 0,333 Sig. (2-tailed) 0,005 N 71
Hasil uji signifikansi pada table di atas adalah 0.005, artinya Sig. < 0.05 maka korelasi
antara kedua variabel signifikan. Koefisien korelasi dari kedua variabel adalah 0,333. Hal ini
menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antar variabel adalah sedang. Arah hubungan antara
variabel konsep diri dan resiliensi adalah positif, ditunjukkan dengan nilai positif pada
koefisien korelasi. Hal ini berarti tiap-tiap kenaikan nilai variabel konsep diri selalu disertai
kenaikan yang seimbang (proporsional) pada nilai-nilai variabel resiliensi (Hadi, 2004).
Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Perceraian
Orangtua 6 Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

12
Tabel 2. Hasil Uji Korelasi Dimensi Pengetahuan, Harapan, dan Penilaian dengan
Resiliensi Correlations Pengetahuan Harapan Penilaian total_R total_R Pearson
Correlation .033 .429** .259* 1 Sig. (2-tailed) .786 .000 .029 N 71 71 71 71 **. Correlation
is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-
tailed). Hasil uji korelasi antara dimensi pengetahuan dari konsep diri, dengan variabel
resiliensi menunjukkan koefisien sebesar 0.033 dan signifikansi 0.786. Angka signifikansi
lebih besar dari 0.05 (sig. > 0.05) berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara dimensi
pengetahuan dan resiliensi. Dimensi harapan dan resiliensi berkorelasi dengan koefisien
sebesar 0.429 dan signifikansi 0.000. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara
kedua variable tersebut. Hasil uji korelasi antara dimensi penilaian dari konsep diri, dengan
variabel resiliensi menunjukkan koefisien sebesar 0.259 dan signifikansi 0.029. Angka
signifikansi kurang dari 0.05 (sig. 0.029 < 0.05) berarti ada hubungan yang signifikan antara
dimensi penilaian dan resiliensi.
DISKUSI
Penelitian ini menemukan adanya positif dan signifikan antara konsep diri dan
resiliensi, hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu (Beardslee & Podorefsky, 1988;
Crawford, 2006; Masten, 1990; Zolkoski & Bullock, 2012). Masten dkk. (2011)
menyebutkan bahwa kemampuan untuk menerima diri sendiri, persepsi positif terhadap diri
sendiri, dan rasa berharga merupakan faktor protektif dalam pembentukan resiliensi individu.
Sybil Wolin dan Steven Wolin (1993) secara khusus memasukkan konsep diri sebagai salah
satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak-anak (atau orang dewasa)
yang berisiko (disebut survivor). Menurutnya, konsep diri adalah hal penting yang harus
dibangun saat berhadapan dengan survivor. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), individu
yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya sesuai realitas, yaitu Hubungan
Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Perceraian Orangtua 7
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11 tujuan yang memiliki
kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta
menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri
yang positif merupakan kualitas seseorang yang berkaitan dengan kemampuan resiliensi,
yaitu untuk mengatasi kesulitankesulitan hidupnya serta menghadapi secara kompeten
kondisi yang tidak menguntungkan (Werner, 2005).
Koefisien korelasi antara variabel konsep diri dan resiliensi memiliki tingkat
kekuatan Sedang (Pallant, 2007). Hal ini berkaitan dengan adanya faktor-faktor lain selain
13
konsep diri yang mungkin mempengaruhi kemampuan resiliensi remaja. Hasil analisis
deskriptif menunjukkan bahwa terapat perbedaan rerata skor resiliensi berdasarkan usia,
status, dan tahun perceraian. Tingkatan usia menunjukkan bahwa remaja akhir memiliki
rerata skor resiliensi lebih rendah daripada remaja awal dan tengah, sedangkan remaja awal
memiliki rerata paling tinggi. Hal serupa juga terdapat pada analisis status dimana mahasiswa
dan remaja yang telah bekerja memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah dibandingkan
dengan remaja yang masih berstatus pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi yang
tinggi dapat dipengaruhi oleh tahap perkembangan remaja awal dan lingkungan pendidikan.
Perbedaan rerata skor resiliensi juga bervariasi menurut rentang waktu sejak
perceraian terjadi. Tabel tersebut menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perceraian
orangtua antara 2 hingga 6 tahun sebelum dilakukannya survei memiliki rerata skor resiliensi
lebih rendah daripada yang orangtuanya bercerai pada rentang usia 7 – 11 tahun, meskipun
sama-sama berada pada kategori Sedang. Sedangkan kelompok subjek yang mengalami
perceraian orangtua pada waktu yang lebih lama yaitu 12 – 16 tahun, memiliki rerata skor
resiliensi yang berada pada kategori tinggi. Dapat disimpulkan bahwa semakin lama rentang
waktu antara peristiwa perceraian orangtua, semakin besark kemampuan anak untuk
mengatasi kesulitan, beradaptasi, dan mencapai resiliensi. Hal ini berarti, resiliensi dapat
dicapai melalui berbagai proses dari waktu ke waktu (Amato, 1999; Rutter, 1985).
Wallerstein dan Kelly (dalam Amato, 1994) menemukan bahwa anak usia pra-sekolah yang
mengalami perceraian orangtua mengalamai masa-masa paling Hubungan Antara Konsep
Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Perceraian Orangtua 8 tertekan pada
masa-masa awal perpisahan orangtua terjadi, tetapi 10 tahun kemudian mereka menunjukkan
adapatasi yang lebih baik. Menurut Wallerstein (1989), meskipun banyak penelitian yang
menyatakan bahwa dampak perceraian sangat merugikan bagi anak-anak, tetapi sebagian
besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka setelah 2-3
tahun.
Hasil analisis korelasi masing-masing dimensi konsep diri dengan resiliensi
menunjukkan adanya hubungan antara dimensi harapan dengan resiliensi, serta dimensi
penilaian dengan resiliensi, sedangkan dimensi pengetahuan tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan resiliensi. Dimensi pengetahuan meliputi apa yang kita ketahui tentang diri
kita sendiri, informasi-informasi dasar seperti usia, jenis kelamin, dan kelompok-kelompok
sosial dimana kita berada. Informasi tersebut diperoleh melalui perbandingan antara diri kita
14
dengan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut Calhoun dan Acocella (1990),
kualitaskualitas yang diperoleh melalui perbandingan dengan orang lain tersebut tidaklah
permanen. Kita dapat mengubah aspek-aspek diri kita untuk menjadi sesuai dengan kelompok
pembanding, atau mengubah kelompok pembanding untuk memperoleh pengetahuan yang
sesuai dengan diri kita. Dengan demikian, pengetahuan tentang diri kita mungkin tidak secara
langsung mempengaruhi kemampuan kita dalam menghadapi tantangan atau bangkit dari
kesulitan.
Dimensi harapan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan resiliensi. Menurut
Calhoun dan Acocella (1990), harapan membangkitkan dorongan dan memandu perilaku kita
untuk mencapai tujuan tersebut. Orang dengan konsep diri yang positif merancang tujuan-
tujuan yang sesuai dan realistis, artinya ada kemungkinan yang besar untuk dapat mencapai
tujuan tersebut. Pada dimensi inilah konsep diri yang positif menjadi modal yang lebih besar
untuk kehidupan seseorang, dibanding dengan pengetahuan dan penilaian. Hal ini sesuai
dengan hasil uji hubungan antara dimensi harapan dengan resiliensi yang menunjukkan
hubungan yang signifikan. Calhoun dan Acocella (1990) menegaskan bahwa pengharapan
mengenai diri sendiri menentukan bagaimana seseorang akan bertindak dalam hidupnya.
Seseorang yang memiliki konsep diri positif berpikir bahwa ia mampu, dan cenderung akan
sukses di kemudian hari karena ia mengarahkan seluruh tindakannya untuk mencapai tujuan-
tujuannya. Orang yang konsep dirinya negatif berpikir bahwa ia mungkin gagal, maka
sebenarnya ia sedang menyiapkan dirinya untuk gagal. Hasil uji hubungan antara dimensi
penilaian dan resiliensi memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa self-esteem juga merupakan faktor yang penting
dalam kajian resiliensi (Masten, 1990; Rutter, 1985). Konsep diri yang negatif meliputi
penilaian (selfesteem) negatif terhadap diri, sehingga orang dengan konsep diri yang negatif
tidak pernah merasa cukup baik. Apapun yang diperolehnya dirasa tidak berharga
dibandingkan dengan apa yang diperoleh orang lain, apapun pengalaman yang dialaminya
dinilai secara negatif. Penilaian negatif tentang diri dan kehidupannya membuat harga dirinya
rendah dan menimbulkan kekecewaan emosional yang lebih parah. Remaja yang mengalami
perceraian orangtua, apabila konsep dirinya negatif, akan menilai kehidupan dan keluarganya
sebagai hal yang buruk, serta menilai dirinya sebagai bagian dari lingkungan yang buruk.

15

SIMPULAN
Temuan dari penelitian ini menjawab pertanyaan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara konsep diri dan resiliensi, dengan r = 0.333 dan p = 0.005. Arah hubungan
antara variabel konsep diri dan resiliensi adalah positif, yang berarti tiap-tiap kenaikan nilai
variabel konsep diri selalu disertai kenaikan yang seimbang (proporsional) pada nilai-nilai
variabel resiliensi. Hasil uji hubungan menunjukkan bahwa dimensi pengetahuan tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan resiliensi (r = 0.033, Sig = 0.786), sedangkan
dimensi harapan memiliki hubungan positif yang signifikan dengan resiliensi (r = 0.429, Sig
= 0.000). Dimensi penilaian juga memiliki hubungan positif yang signifikan dengan resiliensi
(r = 0.259, Sig = 0.029). Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa perbedaan rerata skor
resiliensi juga dipengaruhi oleh variasi pada usia perkembangan, status pendidikan atau
pekerjaan, perbedaan jenis kelamin, dan rentang waktu sejak peristiwa perceraian terjadi.
Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Perceraian
Orangtua 10 Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11 Berdasarkan
temuan tersebut, peneliti merasa penting untuk dilakukan penelitian serupa dengan
menganalisis faktor-faktor lain seperti ada atau tidaknya konflik setelah perceraian dan
struktur keluarga setelah perceraian, yang mungkin berpengaruh terhadap pencapaian
resiliensi remaja.
PUSTAKA ACUAN
Amato, P. R. (1994). Life-Span Adjustment of Children to Their Parents' Divorce.
The Future of Children, Children and Divorce, Vol. 4, No.1, Spring., 143-162. Anwar, K.
(2016, Juni 27). Angka Cerai di Malang Peringkat Pertama se-Jatim. pojokpitu.com, p. 1.
Arifin, N. (2015, Agustus 20). Angka Perceraian di Jawa Timur Capai 100 Ribu Kasus.
Okezone News, p. 1. Beardslee, R. W., & Podorefsky, D. (1988). Resilient Adolescents
whose Parents have Serious Affective and other Psychiatric Disorders: Importance of
SelfUnderstanding. Am J Psychiatry, 145 (1), 63-9. Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990).
Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan (Vols. edisi ke-3). (P. D.
Satmoko, Trans.) Semarang: Penerbit IKIP Semarang Press. Chen, J.-D., & George, R. A.
(2005). Cultivating Resilience in Children from Divorced Families. Crawford, K. (2006).
Risk and Protective Factors Related to Resilience in Adolescents in an Alternative Education
Program. South Florida: Scholar Common. Fagan, P. F., & Churchill, A. (2012). The Effects
of Divorce on Children. Marriage and Religion Research Institute, Research Synthesis –
16
marri.us, 1-48. Hadi, S. (2004). Statistik jilid I. Yogyakarta: Andi. Hurlock, E. B.
(1980). Psikologi Perkembangan Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi ke-5.
Jakarta: Erlangga. Hurtes, K. P., & Allen, L. R. (2001). Measuring Resiliency in Youth: The
Resiliency Attitudes and Skills Profile. Therapeutic Recreation Journal vol. 35, no. 4, 333-
347. Karatas, Z., & Cakar, F. S. (2011). Self-Esteem and Hopelessness, ande Resiliency: An
Exploratory Study of Adolescents in Turkey. International Education Study, 84-88. Kelly, J.
B., & Emery, R. (2003). Children's Adjustment Following Divorce: Risk and Resilience
Perspectives. Article in Family Relations, 352-362. Hubungan Antara Konsep Diri dengan
Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Perceraian Orangtua 11 Jurnal Psikologi
Kepribadian dan Sosial Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11 Luthar, S. S., Cicchetti, D., & Becker, B.
(2000). The Construct of Resilience: A Critical Evaluation and Guidelines. National Institute
of Health, Child Dev.71(3), 543–562. Masten, A. (2011). Resilience in children threatened by
extreme adversity: Frameworks for research, practice, and translational synergy.
Development and Psychopathology vol. 23, 493–506. Pallant, J. (2007). SPSS survival
manual: A step by step guide to data analysis using SPSS for Windows 3rd Edition.
Maidenhead: Open University Press. Rutter, M. (1985). Resilience in the Face of Adversity.
British Journal of Psychiatry, 598-611. Rutter, M. (2006). Implications of Resilience
Concepts for Scientific Understanding. Ann. N.Y. Acad. Sci. 1094., 1-12. Santrock, J. W.
(2011). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 1, Edisi ke-13, Alih
Bahasa: Widyasinta Benedictine. Jakarta: Erlangga. Sasongko, A. (2014, Nopember 14).
Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun, ini Datanya. Tingkat Perceraian
Indonesia Meningkat Setiap Tahun, ini Datanya, p. 1. Satrio, F. A. (2016, Maret 11). Angka
Perceraian di Malang Naik Setiap Tahun. m.malangtimes.com, p. 1. Sember, B. M. (1968).
The Complete Divorce Handbook: A Practical Guide. New York: Sterling Publishing.
Swastika, I. (2009). Resiliensi pada Remaja yang Mengalami Broken Home. Universitas
Gunadarma. Wagnild, G. M., & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric
Evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, Vol.1, No. 2, 165- 178.
Wallerstein, D. J. (1989). What are the Possible Consequences of Divorce for Children? New
York: Hyperion. Werner, E. (2005). Resilience and Recovery: Findings from the Kuai
Longitudinal Study. FOCAL POiNT Research, Policy, and Practice in Children’s Mental
Health, Vol. 19 No. 1, 11-14. Whitton, S. W. (2008). Effects of Parental Divorceon Marital
Commitment and Confidence. National Institute of Health Public Access, 1-5. Wolin, S., &
17
Wolin, S. J. (1993). he Resilient Self: How Survivors of Troubled Families Rise Above
Adversity. New York: Villard Books. Zolkoski, S. M., & Bullock, L. M. (2012). Resilience in
Children and Youth: a Review. Children and You

th Services Review, 34, 2295-2303.


18

b. Jurnal 2 ‘Pembentukan Kepribadian Positif Anak Sejak Usia Dini’

Pembentukan Kepribadian Positif anak sejak usia dini Daviq Chairilsyah

PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN POSITIF ANAK SEJAK USIA DINI

Daviq Chairilsyah

Dosen Prodi PG PAUD FKIP UNRI

ABSTRACT:

Currently the development of civilization in Indonesia is still tinged with


moral behaviors are negative. Increasing number of cases of corruption, violence and
criminal cases shows the amoral behavior. This behavior is the result of one's
personality. Formation of personality has been started since the golden era (Golden
Age) that is 0-6 years, or during early childhood education. Therefore, this paper
reminds us of the need for personality of education both at home and at school to be
more intensified. Some methods that can be done by parents and teachers of early
childhood educators in order to make a positive personal foundation in children can
be done with several methods or means, among other things: teach a child with a
concrete example, do not get enough positive advise, teach child to control his
emotions, punishment and reward program implemented, introducing God and
religion since childhood, became a model of positive personal, social supervise the
child, watching the spectacle of children and internet technology to supervise
children. Expected with these methods may be a reference for parents and early
childhood teachers in early childhood formatting who have positive personality traits.

Kata kunci: Kepribadian, anak usia dini

1.PENDAHULUAN

Kepribadian (personality) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang
membedakannya dengan orang lain. Integrasi karakteristik dari struktur, pola tingkahlaku,
minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang (Sjarkawi, 2008).

19

Kepribadian bukan merupakan sesuatu yang statis karena kepribadian memiliki sifat-
sifatdinamis yang disebut dinamika kepribadian. Dinamika kepribadian ini berkembang pesat
pada diri anak-anak (masa kanak-kanak) karena pada dasarnya mereka masih memiliki
pribadi yang belum matang, yaitu masa pembentukan kepribadian.

Oleh karena kepribadian memiliki sifat dinamis sehingga pada diri seseorang sering
mengalami masalah kepribadian. Masalah kepribadian dapat berupa gangguan dalam
pencapaian hubungan harmonis dengan orang lain atau dengan lingkungannya. Beberapa
masalah dalam kepribadian seseorang yang sering terjadi misalnya: sifat pemalu, dengki,
angkuh, sombong, kasar, melawan aturan dan lainnya. Sebagai sesuatu yang memiliki sifat
kedinamisan, maka karakter kepribadian seseorang dapat berubah dan berkembang sampai
batas kematangan tertentu. Perkembangannya sejalan dengan perkembangan kemampuan
cara berpikir seseorang. Perkembangan kemampuan cara berpikir ini dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar seseorang yang mengkristal sebagai pengalaman dan hasil belajar. Hasil
belajar dan pengalaman inilah yang memberikan warna pada kehidupan seseorang nantinya
(Jenny, 2006).

Dalam pertumbuhan dan perkembangannya seringkali kepribadian itu menemukan


suatu permasalahan dalam proses pembentukannya. Terdapat faktor-faktor yang selalu
mempengaruhi perkembangan yang terjadi dalam pembentukan kepribadian seorang
manusia. Oleh karena itu, kepribadian seharusnya menjadi hal yang tidak mutlak!
Kepribadian dapat dibentuk dan diusahakan terwujud sesuai dengan bentuk kepribadian yang
normal dan adaptif.

Menurut Ardhana (1985) yang mengemukakan hasil penelitiannya bahwa tindakan


amoral di Indonesia saat ini masih saja terjadi, seperti: pemerkosaan, korupsi, kriminalisme
dan kekerasan masih saja terjadi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku dan
tindakan amoral yang terjadi ini disebabkan oleh moralitas yang rendah. Moralitas yang
rendah tentunya disebabkan oleh faktor kepribadian yang bermasalah pada diri individu.
Kebobrokan moralitas ini tidak diperbaiki hanya dengan himbauan, pidato, khotbah,
sandiwara, seminar, rapat kerja dan lainnya, namun harus dimulai sejak usia dini (0-6 tahun)
atau sebelum memasuki sekolah dasar/formal.

20

Perkembangan kepribadian memang pada dasarnya bersifat individual, namun


kenyataannya kepribadian itu ternyata dapat ditularkan atau mempengaruhi orang lain.
Remaja yang terlahir dari keluarga baik-baik belum tentu setelah dewasa pasti akan menjadi
pria dewasa dengan karakter kepribadian yang matang dan positif secara otomatis. Apabila ia
bergaul dengan teman-temannya yang berkepribadian negatif seperti: malas, suka melanggar
aturan/disiplin, apatis dan suka berbohong tentulah ia akan berpeluang menjadi pribadi
berkarakter negatif. Oleh karena itu perlu adanya pengetahuan mengenai metode-metode
pembentukan kepribadian anak yang dapat dijadikan panduan oleh orang tua dan guru
sebagai pendidik anak usia dini untuk dapat membentuk anak yang memiliki karakter
kepribadian yang positif dan siap menghadapi tantangan masa depan.
2. PEMBAHASAN

Pada bagian pembahasan dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menjelaskan
terlebih dahulu mengenai pengertian kepribadian. Setelah itu dilanjutkan dengan jenis dan
tipologi kepribadian yang tersohor di seluruh dunia dan dilanjutkan dengan penjelasan
mengenai faktor-faktor penentu kepribadian. Setelah dijelaskan kepribadian secara teoritik
lalu penulis mencoba untuk memberikan beberapa ide dan gagasan dalam metode
pembentukan kepribadian anak yang positif. Berikut akan dijelaskan satu- persatu bagian-
bagian yang dimaksud.

a.Definisi Kepribadian

Beberapa ahli telah mencoba mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kepribadian.
Diantara beberapa ahli psikologi tersebut antara lain:

 George Kelly menyatakan bahwa kepribadian adalah cara unik dari individu dalam
mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya.

 Gordon Allport menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu organisasi yang


dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkahlaku dan pemikiran individu
secara khas.

 Sigmund Freud menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu struktur yang


terdiri dari tiga sistem, yakni id, ego, dan super ego, sedangkan tingkahlaku lain merupakan
hasil konflik dan rekonsiliasi ketiga unsur dalam sistem kepribadian tersebut.

 Menurut Browner kepribadian adalah corak tingkahlaku sosial, corak ketakutan,

21

dorongan dan keinginan, gerak-gerik, opini dan sikap seseorang. Perilaku ada yang bersifat
tampak dan ada pula yang tidak tampak.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah


cara unik setiap individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya berdasarkan kegnitif,
emosional, dorongan dan kebutuhan sosialnya yang diwujudkan dalam bentuk pola-pola
perilaku yang tampak maupun yang tidak tampak.

b. Beberapa tipe kepribadian

Para ahli psikologi juga telah melakukan beberapa riset ilmiah berhubungan dengan
keinginan untuk menguak kepribadian seorang manusia. Para ahli psikologi tersebut masing-
masing mengemukakan teori mengenai jenis atau isi kepribadian seorang manusia. Diantara
para ahli tersebut adalah:

1. Gregory (Sjarkawi, 2008) membagi tipe gaya kepribadian menjadi 12 tipe yaitu:

i) Kepribadian yang mudah menyesuaikan diri


ii) Kepribadian yang berambisi
iii) Kepribadian yang mempengaruhi
iv) Kepribadian yang berprestasi
v) Kepribadian yang idealis
vi) Kepribadian yang sabar
vii) Kepribadian yang mendahului
viii) Kepribadian yang perseptif
ix) Kepribadian yang peka
x) Kepribadian yang berketetapan
xi) Kepribadian yang ulet
xii) Kepribadian yang berhati-hati
2. Immanuel Kant (Sumadi, 2001) memberikan gambaran mengenai kepribadian sebagai
berikut:
i) Tipe sanguin: memiliki banyak kekuatan, semangat, dan dapat membuat
lingkungannya gembira atau senang.

22
ii) Tipe plegmatis: pribadi yang cenderung tenang, dapat menguasi dirinya dengan
baik, dan mampu melihat permasalahan secara baik dan mendalam.
iii) Tipe melankolik: pribadi yang mengedepankan perasaan, peka, sensitif terhadap
keadaan dan mudah dikuasai oleh mood.
iv) Tipe kolerik: pribadi yang cenderung berorientasi pada tugas, disiplin dalam
bekerja, setia dan bertanggung jawab.
v) Tipe asertif: pribadi yang mampu menyatakan ide, pendapat, gagasan secara tegas,
kritis, tetapi perasaannya halus sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain.
3. Cattel, Eysenk, dan Edward (Sumadi, 2001) menyatakan bahwa kepribadian manusia
terdiri dari sifat-sifat yang sudah ada (dari Tuhan) dan kepribadian adalah dinamika dari
setiap sifat-sifat yang ada tersebut. Sifat-sifat positif yang dimaksud seperti: sabar, suka
menolong, suka berprestasi, suka berpetualang, suka mengikuti aturan, suka bergaul, suka
menerima pendapat orang lain dan lainnya. Selain itu tentunya ada pula sifat-sifat negatif
yang muncul yang merupakan anti dari sifat-sifat positif.
c. Faktor yang mempengaruhi kepribadian
Terdapat dua faktor besar yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang dalam
hidupnya menurut Sjarkawi (2008), yaitu:
1) Faktor Internal, adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor
internal ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis maksudnya
adalah faktor yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari
salah satu sifat yang dimiliki salah satu dari kedua orang tuanya atau bisa jadi gabungan
atau kombinasi dari sifat kedua orang tuanya. Misalnya ayah yang pemarah, maka
kemungkinan anaknya akan menjadi anak yang mudah marah.
2) Faktor Eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor
eksternal ini biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang mulai
dari lingkungan terkecilnya, yakni keluarga, teman, tetangga, sampai dengan pengaruh
dari berbagai media audiovisual seperti TV, VCD, internet, atau media cetak seperti
koran, majalah dan lain sebagainya.
d. Metode pembentukan kepribadian positif anak usia dini
Beberapa metode atau cara yang dapat dilakukan oleh orangtua dan guru pendidik
anak usia dini dalam rangka membuat landasan pribadi yang positif pada diri anak dapat
dilakukan dengan beberapa metoda atau cara, antara lain:
1) Mengajarkan anak dengan contoh yang kongkret Apabila kita ingin mengajarkan
kedisiplinan atau kemandirian sangat sulit apabila kita menjelaskan kepada anak kita
mengenai bentuk perilaku tersebut. Oleh karena sifatnya yang abstrak tentunya anak
belum sampai pada tahap pemahaman level abstrak tersebut. Berilah contoh kongkret
seperti, apabila kita ingin mengajarkan kebersihan pada anak maka ajarkanlah tatacara
mandi dengan benar pada anak saat di kamar mandi dengan mempraktekkan cara mandi
kita kepada anak.
23
2) Tidak bosan-bosan memberikan nasihat positif Sebagai guru dan orang tua sudah
tugas kita untuk mengajarkan sifat dan nilai-nilai positif pada anak. Akan tetapi,
seringkali banyak guru yang akhirnya pesimis ketika mendapati anak atau anak didiknya
yang memiliki kepribadian yang bermasalah. Oleh karena itu penulis mengajak orang tua
dan guru untuk tidak bosan-bosannya memberikan nasihat yang sama namun dengan
kata-kata, tempat, intonasi, kondisi dan cara yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan
maksud agar anak tidak jenuh mendengar nasihat kita dan akan berpikir negatif tentang
kita (contoh: ibu cerewet,bawel,dll).
3) Mengajarkan anak untuk mengendalikan emosinya Manusia dilahirkan pasti
memiliki emosi. Ada emosi positif dan juga emosi negatif. Emosi positif apabila
ditunjukkan akan membuat orang disekitar kita akan menjadi senang dan bahagia. Akan
tetapi apabila emosi negatif terutama amarah, apabila ditunjukkan tentunya akan
membuat orang lain menjadi takut, menjauh, atau bahkan akan menjadi konflik. Oleh
karena itu ajarkan anak untuk mengalihkan amarahnya dengan jalan relaksasi, menarik
nafas panjang, menghindari situasi yang membuatnya marah, atau melakukan
kesukaannya ketika ia akan marah.
4) Menerapkan program Hukuman dan Hadiah Apabila anak bersalah maka berilah
hukuman dengan segera dan sesuaikan dengan tingkat kesalahannya. Selain itu juga kita
harus konsisten dalam pemberian hukuman dan hukuman tidak boleh dalam bentuk fisik
(pukul, tendang, cakar, terjang dan lainnya). Berilah hukuman dengan cara menunda atau
tidak memberikan kesenangan anak, misalnya: hari ini tidak boleh main sore hari karena
tidak membuat PR, tidak boleh menonton TV, atau menunda acara rekreasi keluarga yang
Pembentukan Kepribadian Positif anak sejak usia dini Daviq Chairilsyah EDUCHILD.
Vol.01 No.1 Tahun 2012 6 telah dijanjikan. Begitu pula dengan pemberian hadiah, harus
terencana, konsisten, adil dan disesuaikan dengan usia anak.
5) Memperkenalkan Tuhan dan agama sejak kecil Memperkenalkan Tuhan dan agama
sejak kecil terbukti sebagai salah satu cara ampuh untuk membentuk karakter anak.
Dengan ajaran agama anak menjadi tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta
apa akibatnya kelak jika kita melanggar ajaran agama.
6) Menjadi model pribadi yang positif Sebagai orang tua dan guru kita juga tidak
henti-hentinya untuk belajar mengendalikan diri dan perilaku kita. Kita jangan hanya
menuntut anak berperilaku baik akan tetapi kita juga harus menjadi contoh nyata dalam
berperilaku baik. Anak adalah peniru maka ia akan mencontoh segala perilaku, ucapan,
sikap dan cara berpikir kita.
7) Mengawasi pergaulan anak Masa kanak-kanak adalah masa bermain. Bermain
tidak hanya di rumah namun juga di luar rumah (seperti: sekolah dan di lingkungan
rumah). Perlu sesekali kita memperhatikan dengan siapa anak kita bermain? Terkadang
pergaulan yang salah membuat anak kita menjadi pribadi yang bermasalah, seperti: cara
bicara yang kurang sopan, perilaku yang kurang pantas, dan sikap serta cara pemikiran
yang negatif terhadap situasi dan lingkungan sosialnya.
8) Mengawasi tontonan anak Dengan televisi kita dapat terhibur, belajar pengetahuan
baru, mendapatkan informasi terbaru dan berita terbaru. Akan tetapi tidak semuanya
boleh untuk diterima anak, seperti: sinetron, acara gosip, dan film-film dewasa atau film
24
kekerasan tentunya akan membawa dampak negatif bagi anak kita.
9) Mengawasi teknologi internet dari anak Internet bukan lagi menjadi barang baru
dan sukar untuk diperoleh. Kecanggihan komputer dan telepon genggam dapat dengan
mudah mengakses internet. Harga telepon genggam pun sudah terbilang murah, sehingga
banyak orang tua yang telah membelikan HP kepada anak mereka. Hal ini harus diawasi,
ketika anak yang pandai dapat mengakses internet maka tidak mungkin anak tersebut
akan mengakses gambar pornografi, pornoaksi, kekerasan, dan juga sekarang banyak
yang kecanduan main game lewat internet. Penulis merasa anak usia dini belum perlu
diberikan telepon genggam dan komputer yang dapat mengakses internet. 3.
KESIMPULAN
Pembentukan kepribadian sudah dimulai sejak masa keemasan (golden Age) yaitu 0-
6 tahun, atau masa pendidikan anak usia dini. Kepribadian ditentukan oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan sifat-sifat bawaan
yang diturunkan atau diwariskan oleh orang tua, sedangkan faktor eksternal diperoleh dari
interaksi antara individu dengan keluarga, teman, sekolah dan masyarakat tempatnya
berada. Proses pembentukan kepribadian memang sulit untuk prediksi namun sebagai
manusia kita meyakini bahwa karena kepribadian bersifat dinamis berarti kita sebagai
orang tua dan pendidik dapat berusaha untuk membentuk dan mengarahkan kepribadian
anak sesuai dengan keinginan kita di masa depan. Saat ini perkembangan peradaban
bangsa Indonesia masih diwarnai dengan perilaku-perilaku moral yang negatif. Semakin
banyaknya kasus korupsi, kasus kekerasan dan kasus kriminal menunjukkan perilaku
yang amoral. Perilaku ini adalah hasil dari kepribadian seseorang. Oleh karena itu
pendidikan kepribadian baik di rumah maupun disekolah perlu agar lebih diintensifkan
lagi. Beberapa metode yang dapat dilakukan oleh orangtua dan guru pendidik anak usia
dini dalam rangka membuat landasan pribadi yang positif pada diri anak dapat dilakukan
dengan beberapa metoda atau cara, antara lain: mengajarkan anak dengan contoh yang
kongkret, tidak bosan- bosan memberikan nasihat positif, mengajarkan anak untuk
mengendalikan emosinya, menerapkan program hukuman dan hadiah, memperkenalkan
Tuhan dan agama sejak kecil, menjadi model pribadi yang positif, mengawasi pergaulan
anak, mengawasi tontonan anak dan mengawasi teknologi internet untuk anak.
Diharapkan dengan metode-metode ini dapat menjadi acuan bagi orangtua dan guru anak
usia dini dalam membentuk anak usia dini yang memiliki karakter kepribadian yang
positif.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana W. 1985. Keefektifan Pendidikan Moral berdasarkan Beberapa Bukti
Empirik. Makalah dibacakan pada pidato Lektorat di Depan Sidang Senat Terbuka FIP
IKIP Malang. Malang, 24 Agustus 1985. Bekker, J. H. 1974. Moral and Civics Education.
South Africa: McGraw-Hill Book Company. Clouse, B. 1985. Moral Development.
Grand Rapids, Michigan: Baker Book House. Coles, R. 1997. The Moral Intelligence of
Children. How to Raise A Moral Child. Diterjemahkan oleh T. Hermaya. Jakarta:
Gramedia. Jenny Gichara. 2006. Mengatasi Perilaku Buruk Anak. Jakarta: Kawan
Pustaka. Papalia, D.E., Olds S. W. & Feldham R.D. 2004. Human Development. New
York: McGraw-Hill Companies. Sjarkawi. 2008. Pembentukan Kepribadian Anak.
25
Jakarta: PT. Bumi Aksara. Sumadi Suryabrata. 2001. Psikologi Kepribadian. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. Yiming, C. & Fung, Daniel. 1998. Help Your Children to Cope.
26
c. Jurnal 2 ‘Gangguan Kepribadian Antisosial pada Narapidana’
GANGGUAN KEPRIBADIAN ANTISOSIAL PADA NARAPIDANA
Meilanny Budiarti S.1 , Hetty Krisnani2 , Gevia Nur Isna Deraputri3
meilannybudiarati13@gmail.com; hettykrisnani@yahoo.com;gderaputri@gmail.com;
ABSTRAK
Artikel ini membahas mengenai gangguan psikopat atau antisosial yang terjadi pada
narapidana. Psikopat merupakan perilaku psikologis yang terjadi pada manusia. Psikopat
ini merupakan keadaan seseorang dimana seseorang tersebut tidak dapat merasakan
empati dan cenderung untuk dapat melakukan kekerasan pada manusia lain tanpa diikuti
dengan perasaan bersalah dan melakukan perilaku tersebut untuk kepuasan dirinya sendiri
dan mereka cenderung untuk membenarkan dirinya sendiri atas perbuatan yang
dilakukannya. Narapidana adalah seseorang yang hidup dalam tahanan atau sel penjara
karena mereka telah melakukan tindakan-tindakan menyimpang yang tidak sesuai dengan
norma dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Tidak sedikit dari narapidana yang ada
didalam sel tahanan yang teridentifikasi mempunyai prilaku psikologis yang menyimpang
yaitu psikopat. Mereka, narapidana penyandang psikopat, cenderung tidak memiliki
kemampuan untuk mengenali dan belajar dari kesalahan yang mereka lakukan
sebelumnya. Beberapa mendefinisikan penyebab dari psikopat ini adalah karena
gangguan pada sel otak dan juga pengaruh lingkungan dari orang tersebut yang terbentuk
sejak mereka kecil. Pada artikel ini akan menjelaskan mengenai apa itu psikopat,
bagaimana narapidana yang mempunyai gangguan psikopat, dan bagaimana seharusnya
penanganan untuk narapidana yang tinggal dan menetap di sel penjara yang mengidap
penyakit mental. Serta, bagaimana pekerja sosial dalam kasus ini berperan untuk dapat
memanusiakan manusia.
Kata kunci : Gangguan Psikopat, Narapidana dengan gangguan psikopat
ABSTRACT
This article discusses the psychopathic or antisocial disorders that occur on inmates.
Psychopaths is a psychological behavior that occurs in humans. Psychopaths disorder is a
situation where one person is unable to feel empathy and tends to be violent to other
humans without feeling guilty and perform these behaviors for themselves and their
satisfaction justifies itself on the act of doing. Inmates are someone living in detention or
prison cells because they have committed acts which do not deviate in accordance with
the norms and values that exist in society. Some of the inmates that there were
unidentified having antisocial personality disorder. inmates with psychopathic does not
have the ability to recognize and learn from the mistakes they did before. but they also
can behave either like a normal person and do not show that they have a personality
disorder. Some define the cause of the psychopath is due to disturbances in brain cells and
also environmental influence of the person who formed since they are small. This article
will explain about what is a psychopath, how prisoners who have psychopathic disorders,
and how should the handling of prisoners who live and stay in a prison cell with mental
illness. As well, how social workers in this case contribute to humanize humans.
Key words: antisocial personality disorder, inmates with psychopathic disorders
27

PENDAHULUAN
Selama ini kita sebagai masyarakat umum mengetahui penjara atau lapas adalah
tempat bagi orang-orang yang melanggar hukum, melakukan kejahatan, atau orangorang
tersebut telah melanggar aturan dan norma yang telah diatur dan diyakini dalam suatu
tatan masyarakat. Mendekap ditahanan dan ada dalam keterasingan adalah sebuah bentuk
hukuman atas perbuatan yang mereka lakukan. Penjara dianggap sebagai suatu tempat
pengasingan mereka dari luas agar mereka, orang yang melakukan pelanggaran, dapat
menyadari perbuatan mereka, menjadi jera, dan tidak mengulangi pelanggaran hukum
yang mereka lakukan sebelumnya. Mereka tinggal didalam sel tahanan sampai dengan
waktu yang sudah ditentukan sesuai dengan masa hukuman yang mereka terima.
Bagaimana seseorang mendekap dirumah tahanan diatur melalui prosedur hukum
yang berlaku. Mereka yang mendekap didalam sel tahanan biasanya adalah mereka yang
melakukan pelanggaran yang dianggap meresahkan masyarakat seperti perampokan,
pelecehan, pengedar dan pemakai narkotika, pembunuhan, dan pelangaran-pelanggaran
lain dan sudah mendapatkan keputusan dari persidangan sebelum akhirnya mereka dapat
mendekap menjadi tahanan.
Bisa kita bayangkan bahwa dalam sebuah penjara terdapat banyak ragam individu
yang melakukan pelanggaran dan mereka disatukan dalam sebuah tempat. dari beberapa
buku yang saya baca dan juga film, baik fiksi maupun non fiksi, mereka menjelaskan dan
menggambarkan bahwa kehidupan penjara merupakan kehidupan yang kejam bagi
penghuninya dan tidak jarang juga beberapa berita mengabarkan bahwa kejahatan juga
dapat terjadi antar sesama narapidana. Ada hubungan kuat antara kriminalitas dan
perilaku psikopat atau antisosial, namun tidak semua kriminalitas menunjukan gejala
psikopat dan tidak semua psikopat berperilaku kriminalis (Lilienfeld & Andrews, 1996).
Dalam beberapa kasus, narapidana yang mendekap di sel tahanan juga dapat
mengalami gangguan mental pada dirinya bisa dikarenakan akibat tekanan yang mereka
terima dalam sel tahanan atau juga memang narapidana tersebut telah mempunyai
masalah pada kesehatan mentalnya. Namun apakah kesehatan mental pada narapidana
diperhatikan oleh petugas penjara. Dikutip dari buku Mental Health and Social Problem a
Social Work Perspective, Menurut James dan Glaze, 64 persen dari jumlah tahanan yang
mendekap di penjara mempunyai masalah kesehatan pada mental mereka. Tidak hanya
orang dewasa, kalangan remaja juga mengalami masalah kesehatan pada mental mereka.
Gangguan psikopat merupakan salah satu dari masalah kesehatan mental namun
gangguan psikopat tidak seperti gangguan mental yang lainnya yang biasa ditemukan
pada manusia seperti depresi, stress, bipolar atau kepribadian ganda dan yang lainnya.
Orang yang mengalami gangguan psikopat pada dirinya cenderung tidak teridentifikasi
kepribadiannya maka dari itu gangguan psikopat tidak sama dengan gangguan mental
yang lainnya. Menurut National Comorbidity Survey (Klassler dkk, 1994) gangguan
kepribadian antisosial lima kali lebih umum dijumpai pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan, meskipun demikian, gangguan tersebut telah tumbuh dengan cepat di antara
perempuan di tahun-tahun terakhir ini.

28
Dalam sebuah studi di Amerika yang mempelajari mengenai narapidana menemukan
bahwa lebih dari 20 persen narapidana disebuah penjara menengan setempat merupakan
pengidap psikopat dengan tingkat psikopati yang berbeda dari rendah, sedang, hingga
tinggi melalui tes otak MRI pada lebih dari 120 narapidana atau napi (sumber:
duniafitnes.com).
Salah satu narapidana yang dikenal dengan gangguan psikopat adalah Ted Bundy
bernama asli Thedore Robert Cowell, pria yang lahir pada 24 november 1946. Ia disebut
sebagai pembunuh berdarah dingin, sangat terkenal di kepolisian Amerika karena telah
terbukti membunuh dan menculik 35 wanita, mayoritas perempuan berkulit putih. Korban
diperkosa terlebih dahulu sebelum akhirnya dibunuh. Akibat perbuatannya tersebut ia
dihukum mati pada tahun 1989. Menurut peng acaranya, John Henry Browne, bahwa Ted
Bundy mengaku sudah menghabisi lebih dari 100 nyawa orang dan bukan hanya
perempuan dan Ted menyadari bahwa benarbenar jahat. Ted sempat berasil kabur dari
penjara namun berhasil di tangkap kembali. (sumber bacaan : m.jpnn.com).
Kasus lain orang dengan gangguan psikopat yang melakukan tindakan kriminal
adalah Jeffrey Dahmer Lionel, lahir pada tanggal 21 Mei 1960. Ia merupakan pembunuh
berantai yang membunuh lakilaki. Pembunuhan tersebut dia lakukan melibatkan
pemerkosaan, mutilasi, necrophilia atau berhubungan seks dengan mayat, dan juga
kanibalsme. Sekitar setengah dari tahanan yang dapat didiagnosis dengan gangguan
kepribadian antisosial (Robins dkk, 1991). Sebaliknya, kurang dari setengah orang
dengan gangguan kepribadian antisosial yang melanggar hukum (Robins dkk, 1991).
Bagaimana seorang narapidana, yang notabennya adalah seorang kriminal, dapat
terdeteksi apakah mengidap gangguan psikopat atau tidak. Dan bagaimana pekerja sosial
yang bekerja didalam penjara dapat memfasilitasi narapidana yang mempunyai gangguan
kepribadian antisosial tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Agar dapat lebih mendalami mengenai bagaimana narapidana yang mempunyai
gangguan kepribadian antisosial yang ada dalam sel tahanan perlu adanya kajian mengenai
konsep-konsep yang terkait terlebih dahulu sebelum membahas lebih lanjut mengenai apa
yang menjadi fokus dari pembahasan. Adapun dalam bagian ini juga akan dijelaskan
mengenai apa itu definisi kesehatan mental, apa itu gangguan kepribadian antisosial atau
biasa kita kenal dengan nama gangguan psikopat pada manusia termasuk ciri-cirinya, dan
konsepkonsep yang terkait dengan bahasan yang masuk pada bagian pembahasan.
1.Kesehatan Mental (Mental Health)
Mental health atau kesehatan mental merupakan kondisi dimana seseorang memiliki
jiwa yang sehat, dengan kata lain, dapat berfungsi dengan baik. Definisi kesehatan mental
juga diatur dalam undangundang no 3 tahun 1966 dalam pasal 1 (a) pada bagian penjelasan
adalah satu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektuil dan emosionil yang
optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang-orang
29
lain, makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan
semua segi-segi dalam penghidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain.
Kesehatan mental merupakan sebuah konsen ilmu yang mempelajari mental dan jiwa
dengan objek nya adalah manusia sebagai makhluk yang mempunyai jiwa dan mental. Ada
beberapa definisi mengenai kesehatan mental. Alexander Schneuders mengatakan bahwa
dalam Semiun (2006:23) “ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mengembangkan dan
menerapkan seperangkat prinsip yang praktis dan bertujuan untuk mencapai dan memelihata
kesejahteraan psikologis organisme manusia dan mencegah gangguan mental serta
ketidakmampuan menyesuaikan diri” (Schneiders, 1965).
Adapun kriteria dari kesehatan mental menurut Alexander Schneiders dalam
personality Dynamics and mental health (1965) adalah sebagai berikut :
1) Efisiensi Mental
2) Pengendalian dan Integrasi Pikiran dan Tingkah Laku
3) Integrasi motif-motif serta pengendalian konflik dan frustasi
4) Perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang positif dan sehat
5) Ketenangan atau kedamaian pikiran
6) Sikap-sikap yang sehat
7) Konsep diri yang sehat
8) Identitas ego yang adekuat
9) Hubungan yang adekuat dengan kenyataan.
Alexander (1999) membahas mengenai elemen dengan ketetapan dari pelayanan
kesehatan mental untuk penjara dan pertanggungjawaban yang legal untuk pekerja sosial
dengan konteks penjara. Alexander mendiskusikan bahwa:
Pekerja sosial harus menjamin tahanan untuk mendapatkan pelayanan
profesional paling tidak harus dilakukannya assesment kepada tahanan yang
mempunyai masalah kesehatan mental. Untuk tahanan dengan kecenderungan bunuh
diri, intervensi yang penting perlu dilakukan. Untuk penyakit mental yang serius pada
tahanan, pelayanan harus disertai dengan bantuan profesional untuk mengurangi stres
yang terjadi pada tahanan dan menambah fungsi mereka. Saat beberapa tahanan
mungkin perlu untuk pengobatan, mengadakan konseling individu dan kelompok
dapat menjadi pilihan dan mungkin akan bergina bagi mereka dan yang lainnya.
Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU12
thn 1995) menjelaskan bahwa narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (“LAPAS”). Sedangkan, pengertian terpidana
sendiri adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 angka 6 UU 12/1995). Oleh karena itu, selama
perkara tersebut masih menempuh proses peradilan dan berbagai upaya hukum selanjutnya,
orang tersebut belum dikatakan sebagai narapidana.
30
2. Psikopat atau Antisocial Personality Disorder (ASPD)
Barry dalam bukunya Mental Health and Mental Illness mendefinisikan antisocial
personality disorder (ASPD) sebagai salah satu penyakit kepribadian yang berbahaya. Ia
menyatakan orang yang mengalami gangguan kepribadian antisosial bahwa :
“they are frequently in trouble with the law, and might first be seen in
psychiatric consultation on the recommendation of the court or probation office. They
are unable to tolerate frustation, are easily enraged, and can act out violently without
feeling remorse. They sometimes describe as cold-blooded and are often described by
others as such. They can be ruthless and vindictive and tend to blame others for their
behaviour. people with antisocial personality disorder demand much and give little.
they are typically affection less, selfish, ungrateful, and self centered, and may be
exhibitionistic. they are unable to judge their behaviour from another's standpoint”
(Barry 1998:340)
Menurut buku Psikologi Abnormal karya Nevid dkk (2005): “Orang dengan
gangguan kepribadian antisosial melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan
sering melanggar hukum”. Mereka mengabaikan norma dan konvesi sosial dan impulsif.
Meski demikian mereka biasanya menunjukan karisma dalam penampilan luar mereka dan
paling tidak memiliki intelegasi di atas rata-rata orang normal pada umumnya (Cleckley,
1976). Penderita gangguan Psikopat, sosiopat, atau antisosial ini identik dengan perilaku
tidak bermoral dan asosial, impulsif serta kurang memiliki penyesalan dan rasa malu.
Pola perilaku yang menandai gangguan kepribadian antisosial dimulai dari masa
kanak-kanak atau remaja dan berlanjut hingga dewasa. Perilaku antisosial dan kriminal yang
terkait dengan gangguan ini cenderung menurun sesuai usia, dan mungkin akan menghilang
pada saat orang tersebut mencapai umur 40 tahun. Namun, tidak demikian dengan trait
kepribadian yang mendasari gangguan antisosial-trait seperti egosentrisitas; manipulatif;
kurangnya empati; kurangnya rasa bersalah atau penyesalan; dan kekejaman pada orang lain.
Hal-hal tersebut relatif stabil meski terdapat penambahan usia (Herpur & Hare, 1994)
Faktor-faktor sosiokultural dan gangguan kepribadian antisosial, gangguan ini lebih
umum terjadi dalam kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah. Salah stau penjelasnnya
adalah bahwa orang dengan gangguan kepribadian antisosal kemungkinan mengalami
penurunan dalam hal pekerjaan, mungkin karena perilaku antisosial mereka membuat mereka
sulit untuk memiliki pekerjaan tetap. Mungkin juga bahwa orang dari tingkat sosial ekonomi
rendah lebih cenderung untuk diasuh oleh orang tua yang memberi panutan perilaku
antisosial.
Ada hubungan kuat antara kriminalitas dan perilaku psikopat atau antisosial, namun
tidak semua kriminalitas menunjukan gejala psikopat dan tidak semua psikopat berperilaku
kriminalis (Lilienfeld & Andrews, 1996). Beberapa dari mereka taat hukum meski dari
mereka mencirikan sebagai kejam serta tidak menghargai minat dan perasaan orang lain.
Para peneliti mulai memandang bahwa kepribadian psikopat terdiri dari dua dimensi
yang agak terpisah. Yang pertama adalah dimensi kepribadian. Dimensi ini terdiri dari trait-
trait seperti karisma yang tampak diluaran saja, mementingkan diri sendii, kurangnya empati,
keji dan tidak ada penyesalan meski telah memanfaatkan orang lain, serta tidak menghargai
perasaan dan kesejahteraan orang lain. Tipe kepribadian psikopat ini dikenakan pada orang
31
yang memiliki trait psikopati namun tidak menjadi pelanggar hukum. Dimensi yang
kedua dipertimbangkan adalah dimensi perkaku. Dimensi ini ditandai oleh gaya hidup yang
tidak stabil dan antisosial, termasuk sering berhadapan dengan masalah hukum, riwayar
pekerjaan yang minim, dan hubungan yang tidak stabil (Brown & Forth, 1997; Cooke &
Michie, 1997). Kedua dimensi ini tidak sepenhnya terpisah; banyak individu psikopati
menunjukan bukti memiliki kedua macam trait tersebut.
Untuk lebih rinci terkait dengan variasi kepribadian orang dengan antisosial, berikut
ini dipaparkan Lima Variasi Kepribadian Antisosial yang dikemukakan oleh Millon & Davis
(2000), yaitu sebagai berikut:
Ciri-ciri Diagnostik dari gangguan kepribadian antisosial menurut Nevid, dkk
(2005:279) yang diadaptasi dri DSM-IV-TR (APA, 2000) adalah sebagai berikut:
1) Paling tidak berusia 18 tahun
2) Ada bukri gangguan perilaku sebelum usia 15 tahun ditunjukan dengan pola
perilaku seperti membolos, kabur, memulai perkelahian fisik, menggunakan senjata,
memaksa seseorang untuk melakukan aktifitas seksual, kekejaman fisik pada orang atau
binatang, merusak atau membakar bangunan secara sengaja, berbohong, mencuri, atau
merampok.
3) Sejak usia 15 tahun menunjukan kepedulian yang kurang dan pelanggaran
terhadap hak-hak orang lain, yang ditunjukan oleh beberapa perilaku sebagai berikut :
a. Kurang patuh terhadap norma sisual dan peraturan hukum, ditunjukan dengan
terlibat dalam perkelahuan fisik dan mengakibatkan penahanan, seperti merusak
bangunan, terlibat dalam pekerjaan yang bertentangan dnegan hukum, mencuri, atau
menganiyaya orang lain.
b. Agresif dan sangat mudah tersinggung saat berhubungan dengan orang lain,
ditunjukan dengan terlibat dalam perkelahian fisik dan menyerang orang lain secara
berulang, mungkin termasuk penganiyayaan terhadap pasangan atau anak-anak.
c. Secara konsisten tidak bertanggung jawab.
d. Gagal membuat perencanaan masa depan atau impulsivitas, seperti ditunjukan
oleh perilaku berjalan-jalan tanpa pekerjaan atau tujuan yang jelas.
e. Tidak menghormati kebenaran, ditunjukan dengan berulangkali berbohong,
memberdaya, atau menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi atau
kesenangan.
f. Tidak menghargai keselamatan diri atau keselamatan orang lain, ditunjukan
dengan berkedara saat mabuk atau berulangkali mengebut.
g. Kurangnya penyesalan atas kesalahan yang dibuat, ditunjukan dengan
ketidakpedulian akan kesulitan yang ditimbulkan pada orang lain dan atau membuat
alasan untuk kesulitas tersebut.

32
METODE
Artikel ini disusun dengan menggunakan kajian literatur dan dokumen, yaitu literatur
barupa buku-buku, makalah ataupun jenis tulisan lainnya dan juga kajian terhadap berbagai
macam dokumen yang terkait dengan topik gangguan kepribadian antisosial pada narapidana
yang diangkat dalam artikel ini.
PEMBAHASAN
Kesehatan mental merupakan hal yang penting bagi manusia. Keadaan mental yang
baik menggambarkan keadaan jiwa yang sehat. Namun, tidak jarang manusia tidak bisa
menerima tekanan pada dirinya sehingga tidak jarang manusia terkena gangguan kesehatan
mental. Gangguan mental atau penyakit mental menurut Semiun (2009: 9) merupakan
penyakit yang menghalangi seseorang hidup sehat seperti yang diinginkan baik oleh diri
individu itu sendiri maupun oleh orang lain. Berbagai gangguan mental diantaranya adalah
gangguan mental ringan, kesulitan mengontrol emosional dari individu, dan juga gangguan
mental yang berat. Gangguan mental mempunyai ragam yang banyak, salah satu dari sekian
banyak gangguan mental tersebut adalah gangguan kepribadian yaitu biasa kitagunakan
dengan kata psikopat atau sosiopat yang tidak lain adalah nama lain dari gangguan antisosial
atau ASDP.
Sebutan ‘Psikopat’ dalam ilmu kesehatan mental diigunakan secara luas untuk orang
yang mengalami gangguan kepribadian antisosial. Adapun gangguan kepribadian antisosial
atau Antisocial Personality Disorder (ASDP) merupakan gangguan pada manusia dimana
mereka yang terkena gangguan ini tidak dapat bekerjasama dengan baik dengan orang lain,
kelompok, ataupun masyarakat. Beberapa buku, novel, film yang menggambarkan Individu
dengan gangguan kepribadian Psikopat sudah tersebar di masyarakat, salah satunya adalah
film yang di ambil dari novel yaitu The Silence of the Lambs dengan Dr. Lecter sebagai
seorang psikopat atau pada film Gone Girl yang juga diadaptasi dari novel.
Pengidap gangguan psikopat, dalam beberapa gambaran, cenderung terlihat lebih
cerdas dari individu-individu pada umumnya. Seseorang dengan gangguan psikopat atau
antisosial ini cenderung susah untuk diketahui apakah ia mengidap gangguan psikopat atau
tidak karena orang dengan gangguan penyakit kepribadian psikopat cenderung terlihat normal
dan baik dalam masyarakat berbeda dengan pengidap gangguan Skizofrenia yang lebih tidak
dapat bersatu dengan masyarakat dan berhalusinasi (Sumber bacaan: ruangpsikologi.com).
Mereka kurang dapat mengontrol rasa empati mereka pada seseorang, mereka terkesan tidak
perduli dengan perasaan orang-orang disekitar mereka dan mereka mencari kebenaran dari
apa yang telah mereka lakukan meskipun itu tidak sesuai dengan niali-nilai yang ada.
Beberapa dari mereka cenderung melakukan aktifitas kriminal seperti pelaku KDRT,
pembunuhan, penganiyayan pada individu lain tanpa di ikuti dengan rasa bersalah setelah
mereka melakukan tindakan tersebut. Karena hal-hal tersebut, maka seseorang dengan
gangguan psikopat mempunyai hubungan dengan pelaku tindak kriminal dan mendekap
dalam penjara.
Mari kita ulas contoh kasus salah satu tokoh psikopat. Adalah John Wayne Gacy
merupakan seseorang dengan gangguan psikopat. Namun sebelum akhirnya mengetahui
bahwa ia mengalami gangguan psikopat ia sempat dijatuhi hukuman 10 tahun karena dugaan
melakukan melakukan pelecehan seksual berupa sodomi namun dia keluar setelah dua tahun
33
tahanan karena perilaku baik dalam penjara. Namun, setelah dibebaskan dari penjara baru
terusut bahwa ia menyimpan 26 mayat dan melakukan 25-30 kali pembunuhan kepada anak
laki-laki. Kasus tersebut terbongkar setelah ia keluar dari penjara dan akibat dari kasus
tersebut John difonis dengan hukuman mati.
Gangguan psikopat adalah salah satu bentuk dari gangguan mental, dengan kata lain,
narapidana yang terdeteksi mengalami gangguan antisosial atau psikopat ini termasuk orang
yang mempunyai penyakit mental dan mereka yang mengalami gangguan kejiwaan tentu
membutuhkan perawatan medis dengan perlindungan sebagai pasien. Tetapi dilain sisi
mereka merupakan seseorang yang perlu dihukum atau sanksi pidana karena tindakan
kejahatan yang mereka lakukan dan bahkan menelan korban. Ini perlu menjadi sorotan
berbagai pihak, khususnya orang-orang yang terlibat pada bagian hukum karena belum
jelasnya undang-undang yg mengatur mengenai pelaku tindak kejahatan dengan gangguan
kejiwaan. Disinilah peran dari pekerja sosial dibutuhkan dalam konteks koreksional. Pekerja
sosial yang bekerja dengan narapidana harus dapat menelaah mengenai tahanan yang
mempunyai gangguan psikopat dan bagaimana mereka mendapatkan hukumannya.
Sebagaimana adanya peraturan yang dikhususkan bagi tersangka tindak pidana yang
terdeteksi mengalami gangguan mental pada dirinya dapat menghabiskan masa tahanan
dalam rumah sakit mental untuk direhabilitasi agar mereka dapat sembuh dari penyakitnya
tersebut. Ini sesuai dengan pernyataan pengadian Amerika pada buku Mental Health and
Social Problem a Social Work Perspective (tahun dan halaman) bahwa:
Seorang narapidana penjara berhak untuk mendapatkan perawatan psikologis atau
kejiwaan jika dokter atau penyedia perawatan kesehatan mental, keterampilan biasa dan
peduli pada saat pengamatan, diakhiri dengan kepastian medis (1) bahwa gejala tahanan bukti
penyakit serius atau cedera (2) bahwa penyakit atau cedera dapat diobati atau dapat
dikurangi; dan (3) bahwa potensi bahaya pada tahanan dengan alasan keterlambatan atau
penolakan perawatan akan besar.
Namun apakah narapidana dengan gangguan psikopat termasuk dalam kelompok
narapidana yang membutuhkan perawatan medis dan terbebas dari hukuman. Jika dilihat
secara menyeluruh, orang yang terkena gangguan psikopat dan melakukan tindak kriminal
tidak menyadari akan kesalahan yang ia lakukan, ataupun menyadari namun tidak merasa
bersalah sekalipun ia sudah melakukan tindak kriminal yang parah. Meskipun ia berhak
pendapatkan terapi dan treatment dari para ahli, namun hukuman juga harus di berlakukan
mengingat orang dengan gangguan psikopat yang melakukan tindak kriminalitas melakukan
nya secara sadar.
Dalam hal ini, pekerja sosial yang bekerja di ranah koreksional harus mengusut kasus
bagaimana narapidana yang mempunyai masalah gangguan psikopat dapat mendapatkan
haknya yaitu terapi atau pengobatan dan dapat berlaku adil. Namun sebelum itu harus
dilakukan pengusutan tindak lanjut atas perbuatan mereka yang meresahkan tersebut apakah
ia memang memiliki gangguan pada mental atau pun kepribadiannya atau mereka melakukan
tindakan tersebut secara sadar. Untuk mengetahui apakah seseorang memiliki gangguan
psikopat atau tidak, pekerja sosial harus bekerja sama dengan pihak medis dan juga psikolog
melihat psikopat bukan seperti gangguan-gangguan mental yang lainnya melalui tes medis
ataupun melawati analisis psikolog.

34
Pekerja sosial pada ranah koreksional dapat bekerja sama dengan ahli lain untuk
mendeteksi apakah ada diantara narapidana yang mempunyai gangguan psikopat atau tidak.
Pekerja sosial bersama psikolog dapat melakukan assessment kepada narapidana untuk
nantinya mendeteksi kondisi intelektualitas tersangka tindak pidana, dalam rangka
memperlancar proses penyidikan kepolisian atas tindakan yang dilakukan oleh tersangka
tindak pidana tersebut. Pekerja sosial dan juga psikolog juga melakukan asesmen kondisi
berisiko dan berbahaya dari tersangka, agar psikolog mendapatkan gambaran kemungkinan
adanya kondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka selama dalam proses penyidikan
kepolisian. Ini penting dilakukan karena harus adanya pemeriksaan kepada setiap pelaku
kriminal apakah ia mempunyai gangguan psikopat atau tidak agar rehabilitasi dapat
dilakukan.
Adapun yang dapat dilakukan kepada penderita psikopat adalah terapi kognitif dan
analisa secara menyeluruh terhadap lingkungan dan keluarga dari narapidana yang sudah
positif mengidap gangguan psikopat perlu dilakukan untuk mengurangi obsesinya untuk
melakukan tindakantindakan yang menyimpang dan mencegah kembali seorang dengan
gangguan psikopat melakukan tindak kriminal

SIMPULAN
Narapidana merupakan pelaku tindak kriminal yang ditempatkan di dalam tahanan
atau penjara karena kesalahan yang mereka lakukan. Beberapa narapidana dapat atau
mungkin sudah terserang berbagai macam jenis gangguan mental akibat beberapa hal, salah
satunya adalah gangguan psikopat.
Psikopat merupakan salah satu dari gangguan mental pada manusia. Gangguan
psikopat pada manusia mempunyai keterkaitan dengan tindak kriminal, beberapa penderita
gangguan psikopat merupakan pelaku tindak kriminal meskipun tidak semua pelaku tindak
kriminal merupakan penderita gangguan psikopat. Adapun tersangka tindak pidana yang
mempunyai gangguan psikopat dan mendekap didalam penjara tidak bisa menerima
penangguhan hukuman mereka karena gangguan mental yang mereka miliki. Karena
gangguan psikopat berbeda dari gangguan mental lainnya. Mereka sadar akan apa yang
mereka lakukan namun mereka tidak merasa bersalah akan hal tersebut.
Pekerja sosial dalam ranah koreksional dapat membantu pihak berwajib untuk dapat
mengetahui apakah seseorang narapidana mempunyai gangguan psikopat atau tidak pada
dirinya untuk dapat membantu mereka menentukan hukuman apa yang di terima mereka
dengan dan pekerja sosial dapat bekerja sama dengan pihak medis dan juga psikologi untuk
mengetahui hal tersebut. Adapun yang dapat dilakukan pekerja sosial kepada narapidana
yang sudah terdeteksi sebagai penderita psikopat adalah dengan memberikan terapi kognitif
bersama dengan psikolog agar mereka dapat mengurangi tindakan kriminal mereka dan
mengurangi tindakan kriminal yang mereka mungkin lakukan.

35
DAFTAR PUSTAKA
Barry, Patricia. 1998. Mental Health and Mental Illness Sixth Edition. New York :
Lippincot. Heller, Nina Rovinelli, Alex Gitterman. 2014. Mental Health and Social Problem a
Social Work Perspective. Routledge Millon & Davis (2000), The Antisocial Personality, in
Personality Disorder in Modern Life, New York: John Wiley & Sons Inc., p.102-36 Nevid,
Jeffrey; Spencer Rathus; Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal edisi kelima jilid 1.
Jakarta: Erlangga Rudd, Betty. 2014. Introducing Psychopathology. London: SAGE Semiun,
Yustinus OFM. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: penerbit kanisius
http://hukum.unsrat.ac.id/ http://wikipedia.org/ http://www.bbc.com/
http://www.hukumonline.com/ http://www.ruangpsikologi.com/
36
d. jurnal 4 “Kepribadian Ganda Tokoh Nawai”
Kepribadian Ganda Tokoh Nawai
dalam Rumah Lebah Karya Ruwi Meita:
Tinjauan Psikologi Sastra

Asep Sundana
The research entitled “Kepribadian Ganda Tokoh Nawai Dalam Novel Rumah Lebah
Karya Ruwi Meita; Tinjauan Psikologi Sastra” aims to analyze the psychological disorder,
multiple personality experienced figures of Nawai based on a novel Rumah Lebah by Ruwi
Meita. According to the purpose of such research, then that method will be used to reveal
aspects of the personality of the Nawai’s character in Rumah Lebah’s novel is a qualitative
descriptive method with views of psychology literature and include structural analysis as a
foothold. This research uses theories of personality psychology Freud next followed by more
in-depth research about multiple personalities that experienced cast of Nawai. The analysis is
done using a few steps, analysis of depersonalization disorders in Nawai figures and analysis
of dissociative identity disorder in nawai figures. The results of the study reveal the
personality aspects of Nawai and understanding the multiple personalities that are
experienced by the Nawai’s characters in novel Rumah Lebah by Ruwi Meita. Also, spelled
out the cause or the effect of forming personality, leading to abnormalities in Nawai multiple
personalities and appear alter-alter was affected by his past.
Keywords: character, psychology literature, multiple personalities.
Pendahuluan
Karya sastra membicarakan manusia dengan segala kompleksitas persoalan hidupnya,
maka antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang di dalamnya tersurat sikap,
tingkah laku, pemikiran, pengetahuan, tanggapan, perasaan, imajinasi, serta spekulasi
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, psikologi merupakan salah satu aspek yang berkaitan
langsung degan karya sastra. Dan segala unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut
merupakan hasil renungan pengarang terhadap pengalaman hidup. Menurut Endraswara
(2008:86). Sastra tidak mampu melepaskan diri dari aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk
dalam sastra. Memasuki sastra akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah awal kehadiran
psikologi sastra dalam penelitian sastra.
Diceritakan dalam novel Rumah Lebah, Nawai mengalami kepribadian ganda atau
Dissociative Identity Disorder (DID). Nawai mempunyai enam kepribadian antara lain yang
secara gamblang sudah dituturkan oleh pengarang, antara lain; Ana yang seksi, Wilis si
raksasa hijau, Satira anak kecil yang jahat, Abuela yang pandai berbahasa Spanyol, dan Si
kembar yang jarang menampakkan diri tapi mencatat dengan lengkap semua kejadian yang
menyangkut Nawai sebagai Rumah Lebah.
Salah satu aspek psikologis yang dianalisis dalam novel Rumah Lebah, karya Ruwi
Meita berupa enam karakter atau kepribadian majemuk dalam satu diri individu. Novel
37
Rumah Lebah dipilih oleh peneliti karena sangat menarik untuk dikaji. Kelebihan novel ini
terletak pada karakter tokoh sentral yang memiliki enam kepribadian majemuk, perempuan
bernama Nawai sebagai tokoh utamanya. Semua pribadi tersebut sama sekali tidak diketahui
Nawai, seolah-olah merupakan orang lain yang memakai raga Nawai dan mereka mengenal
Nawai dengan baik. Alter-alter tersebut juga memiliki usia yang berbeda-beda, hobi berbeda
yang tidak lain adalah pengejahwantahan atas hasrat terpendam dari tokoh Nawai.
Berdasarkan uraian tersebut maka novel Rumah Lebah menarik untuk dijadikan objek
penelitian. Keberanian Ruwi Meita mengangkat kelainan penyakit psikologis, kepribadian
ganda, menjadi sebuah karya sastra dengan pendekatan psikologi patut mendapat apresiasi.
Dalam dunia sastra Indonesia, kajian terhadap psikologis sastra cenderung lebih
lambat dibanding kajian sastra lainnya. Salah satu sebabnya adalah adanya asumsi yang
berkembang di tengah masyarakat bahwa kajian psikologi sastra hanya fokus pada teori-terori
psikologis murni saja. Wellek dan Warren (1995: 90) menjelaskan empat kemungkinan
pengertian tentang psikologi sastra, antara lain :
1. Studi psikologis pengarang sebagai tipe atau pribadi artinya penyair adalah pelamun yang
diterima masyarakat. Penyair tak perlu merubah pengertiannya, ia boleh meneruskan dan
mempublikasikan lamunannya.
2. Studi proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang
melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi
sejumlah pengarang, bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif.
3. Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra merupakan suatu
psikologi pada karya sastra itu sendiri bisa dipertanyakan, apakah pengarang berhasil
memasukkan psikologi ke dalam tokoh dan hubungan antartokoh. Pertanyaan bahwa ia
mengetahui teori psikologi tertentu tidak cukup dan perlu dibuktian. Pengetahuan itu hanya
berfungsi sebagai bahan, seperti informasi lain yang sering kita dapatkan dalam karya sastra.
4. Dampak sastra pada pembaca dapat dibagi dua, yaitu dampak bersifat positif dan yang
bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif, si pembaca mampu mengambil hikmah dari
cerita tersebut atau si pembaca mampu meniru hal-hal yang baik dalam cerita. Sedangkan
dampak negatifnya, si pembaca meniru atau mengambil hal-hal atau perilaku tokoh yang
jelek dalam cerita tersebut
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan
dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.
Umumnya, kajian difokuskan pada aspek-aspek kemanusiaan yang terdapat dalam karya
sastra. Menurut Ratna (2004, 344), psikologis sastra menempatkan karya sastra sebagai gejala
yang dinamis. Kedinamisan ini dikarenakan munculnya interaksi yang dinamis antara objek
kajian dengan gejala psikologis di sekitarnya.
Menurut Wellek dan Warren (1995: 92-93), sebuah karya sastra yang berhasil, aspek
psikologinya menyatu dengan karya seni. Kajian psikologi sastra tidak mengkaji teori
psikologis yang terpisah dari entitas karya seninya tapi dileburkan dengan kajian unsur-unsur
intrinsik karya sastra lainnya, utamanya tokoh dan penokohan.
Pada umumnya, kepribadian ganda terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor
38
penyebab. Salah satu penyebab tersebut disebabkan karena berasal dari keluarga yang broken
home, mendapat perlakuan kasar di masa kecil (pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan lain-
lain). Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ada satu orang yang
memiliki pribadi lebih dari satu atau beberapa pribadi sekaligus. Kadang penderita tidak
menyadari bahwa dirinya berkepribadian ganda, dua atau beberapa pribadi yang ada dalam
satu tubuh ini juga tidak saling mengenal.
Kepribadian ganda dapat disebabkan oleh peristiwa traumatik yang dialami oleh
seseorang pada usia kanak-kanak, biasanya antara 4-6 tahun. Trauma itu bisa disebabkan oleh
kekerasan fisik atau seksual yang parah (abuse). Kekerasan ini menyebabkan terpisahnya dan
terbentuknya alter sebagai pelarian dari trauma, tetapi Kepribadian Ganda Tokoh Nawai
dalam Rumah Lebah Skriptorium, Vol. 1, No. 3 23 berhubung tidak semua orang yang
mengalami kekerasan semasa kecil menderita pribadi ganda, maka kemudian dikatakan
bahwa mungkin ada hal lain yang hadir di antara mereka yang menderita pribadi ganda, ada
satu ide yang mengatakan bahwa tingginya hypnotizability (mudahnya seseorang dihipnotis
berarti orang itu mempunyai tingkat sugesti yang tinggi) mempermudah pembentukan alters
melalui self-hypnosis. Ide lain adalah orang yang menderita pribadi ganda sangat mudah atau
cenderung terlibat dalam fantasi.
MPD disebut "Split personality" dan digolongkan sebagai "schizophrenia".
Schizophrenia berasal kata sama dengan scissor (Inggris) yang artinya "gunting". Jadi
penderita schizophrenia adalah orang yang kepribadiannya atau jiwanya tergunting atau split.
Ada dua macam split. Yang pertama adalah split antara pikiran, perasaan dan perbuatan
(sehingga orang itu ngomongnya ngaco, sambil tertawa-tawa atau nangis dan jalan pikirannya
meloncat-loncat/flight of ideas). Ciri lain dari jenis yang pertama ini adalah adanya "waham"
(delusi) yaitu pikiran-pikiran bahwa dia adalah "nabi", "presiden", atau bahkan "poci teh".
Jenis kedua adalah "split of personalities", yaitu orang yang dalam dirinya punya lebih dari
satu kepribadian. Kepribadian satu dan yang lain bisa saling tidak kenal dan sifatnya bisa
sangat berbeda.
Tetapi jenis split yang kedua itu sejak DSM IV dikeluarkan dari golongan
schizophrenia dan dijadikan jenis disorder tersendiri. Namanya pun diganti menjadi DID
(Dissociative Identity Disorder). Gejala-gejalanya yang terpenting adalah lebih dari satu
kepribadian (yang bersangkutan sendiri lebih suka menamakannya orang/people, bukan
kepribadian/personaities). Kalau kepribadian itu lebih dari dua, maka dua kepribadian
memegang kendali secara bergantian, sementara kepribadian yang lain muncul ke kesadaran
secara bergantian atas persetujuan pribadi dominan itu, atau dengan cara mencuri-curi,
sehingga si pribadi dominan pun tidak tahu dan kadang-kadang kebingungan.
Kepribadian Ganda Tokoh Nawai
Dalam analisis aspek psikologi yang terdapat dalam novel Rumah Lebah karya Ruwi
Meita, peneliti dapat mendeskripsikan unsur kepribadian ganda perilaku pada perubahan
sikap yang diperankan dari sosok kehidupan seseorang dalam menghadapi perjuangan
hidupnya yang tak pantang menyerah, serta tidak bergantung dalam satu aspek kehidupan
saja. Apapun yang dilakukannya, itu semua sudah menjadi resiko dalam kehidupan.
Berdasarkan aspek psikologi yang dikaji berdasarkan jenis kepribadian ganda, yaitu
kepribadian yang dimiliki oleh tokoh bernama Nawai, maka terdapat beberapa temuan seperti
di bawah ini.
39
Berdasarkan pengertian teori depersonalisasi menurut beberapa ahli, peneliti
menemukan gejala gangguan depersonalisasi yang dialami oleh tokoh Nawai. Ada beberapa
kejadian yang mengambarkan bahwa tokoh Nawai adalah seseorang yang mengalami
gangguan depersonalisasi. Untuk menganalisis gejala dari gangguan depersonalisasi, bisa
dilihat melalui kutipan-kutipan yang ada dalam novel Rumah Lebah.
Salah satu gejala gangguan depersonalisasi adalah bahwa individu merasa asing atau
aneh terhadap dirinya dan sekelilingnya. Individu yang mengalami gangguan ini merasa
seolah-olah ukuran kaki dan tangan mereka berubah, seolah olah mereka bertindak secara
mekanik, dan seolah-olah mereka keluar dari tubuh mereka dan melihat dirinya sendiri dari
kejauhan. Kemudian mereka juga dapat berpikir bahwa dirinya sedang bermimpi atau
terpisah dari tubuh mereka.
Diceritakan bahwa pada satu ketika Allegra bertandang ke rumah Nawai, Winaya dan
Mala. Allegra adalah seorang artis yang membintangi film yang diangkat dari novel karya
Winaya. Allegra bertamu ke rumah Winaya dalam rangka pendalaman peran. Namun
kemudian dia menjadi akrab dengan seluruh keluarga itu dan sempat turun ke ruang bawah
tanah yang menjadi studio lukisan Nawai.Dalam ruangan itu Allegra menemukan sebuah
lukisan yang aneh.
Alegra mendekati dua lukisan yang dipasang berdampingan. klasik dan
kontemporer yang diletakkan berdampingan. `Siapa perempuan ini, Wai?”
“Entah. Itu bukan lukisanku,” kata Nawai dengan nada aneh. Allegra
mendengarnya lebih dari semacam keraguan
“Ruang bawah tanah ini sudah ada saat kami membeli rumah lukisan-lukisan
perempuan ini juga sudah ada”
Alegra memerhatikan cat minyaknya. Sepertinya bukan lama. Ada tandatangan
samar di tengah atas lukisan. Kecil huruf depannya semacam membentuk huruf A...
(Meita, 2008:155).
Dengan melihat kutipan di atas, tokoh Nawai mengalami gangguan depersonalisasi.
Seperti yang tergambar dalam kutipan di atas bahwa tokoh Nawai merasa asing dengan
dirinya dan sekelilingnya. Tokoh Nawai merasa bahwa tubuhnya itu bukan dirinya yang
sesungguhnya, tetapi seperti orang lain. Kemudian selain itu dia merasa asing terhadap
sekelilingnya, pada saat dia tersesat dia merasa bahwa dia sedang berada di dunianya.
Gangguan kecemasan adalah salah satu gejala yang termasuk ke dalam gangguan
depersonalisasi. Individu yang mengalami gangguan depersonalisasi sering tampak atau
terlihat pada seseorang yang mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Di bawah ini
adalah kutipan yang menunjukan bahwa tokoh Nawai mengalami gangguan kecemasan.
Nawai melangkah menuju jendela, sebelum menutup tirai dia menatap ke atas.
Sinar rembulan menyinari balkon itu, dadanya berdesir. Kepalanya tiba-tiba
merasakan rasa pusing yang hangat dan menenggelamkan. Matanya berubah cemas
namun sedikit demi sedikit ada ketenangan luar biasa mengapung secara tiba-tiba.
Tangannya menutup tirai berbarengan dengan kepalanya yang menoleh pelan ke arah
suaminya... (Meita, 2008:125)
40
Dalam kutipan di atas terlihat bahwa tokoh Nawai mengalami gangguan kecemasan.
Dia mengatakan bahwa dia merasa cemas karena dirinya seperti ada firasat buruk yang
hendak menyergapnya. Perasaan cemas merupakan salah satu gejala yang tampak atau
terlihat pada gangguan depersonalisasi. Seperti yang dijelaskan oleh Davison dan Neale
dalam Fausiah dan Widury (2008:47-48) bahwa individu yang mengalami gangguan
depersonalisasi sering tampak pada individu yang mengalami gangguan kecemasan. Menurut
analisis peneliti, dengan melihat kutipan di atas tokoh Nawai mengalami gangguan
depersonalisasi dengan melihat dari gejalanya, yaitu mengalami gangguan kecemasan.
Dengan melihat teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa tokoh Nawai mengalami gangguan
depersonalisasi. Gangguan kecemasan yang dialami tokoh Nawai dalam novel ini adalah
bahwa tokoh Nawai merasa dirinya terancam oleh sesuatu kekuatan yang tak dipahaminya.
Selain gangguan depersonalisasi, peneliti juga menemukan beberapa gejala yang
termasuk kedalam gangguan identitas disosiatif yang dialami oleh tokoh Nawai. Di dalam
kutipan-kutipan di bawah ini ada beberapa situasi atau kejadian yang menggambarkan bahwa
tokoh Nawai adalah seseorang yang mengalami gangguan identitas disosiatif. Gejala yang
dialami oleh tokoh Nawai adalah sebagai berikut.
Gejala posttraumatic dan munculnya respon-respon yang berlebihan adalah salah satu
gejala yang termasuk ke dalam gangguan identitas disosiatif. Gejala posttraumatic biasanya
ditandai dengan mimpi buruk, kilasan-kilasan kejadian (flashback) yang tidak nyaman.
Kutipan-kutipan di bawah ini menunjukkan bahwa tokoh Nawai mengalami gejala
posttraumatic dan suka merespon sesuatu yang berlebihan. Berikut ini adalah kutipan-
kutipannya.
Nawai memiliki trauma yang sangat kuat mengenai kelahiran anak sejak ia
mengalami keguguran. Hal ini secara jelas dinyatakan oleh Nawai.
Dia melamarku tidak hanya karena dia akan pindah ke Jakarta, namun karena
aku telah mengandung anaknya. Akhirnya kami menikah setelah wisudaku, namun di
bulan ketiga usia kandunganku, aku mengalami keguguran. Trauma besar memukulku
telak, menimbulkan ketakutan untuk hamil kembali. Aku masih bisa melihat dengan
jelas darah yang keluar seperti sungai yang tak pernah kering hingga akibatnya aku
memerlukan waktu scmbilan tahun untuk memupuk keberanian mempunyai anak
kembali. Lalu akhirnya anak kami, Mala lahir saat usia kami sudah tidak bisa dibilang
muda. Umurku sudah 32 dan suamiku 35. Waktu itu karir suamiku semakin membaik
karena dia sudah diangkat menjadi salah satu redaktur. (Meita, 2008:14).
Dalam kutipan di atas, terlihat jelas bahwa tokoh Nawai mengalami Posttraumatic
seperti kejadian masa lalu yang tidak menyenangkan pada masa lalu, namun sayangnya
peristiwa ini bukan merupakan taruma yang bisa menimbulkan gejala postraumatik yang
yang menjadi salah satu tanda-tanda bagi mereka yang menderita Dissosiative Indetity
Disorder.
Dari kutipan tersebut, peneliti menemukan bahwa tokoh Nawai mengalami
penyiksaan fisik atau penganiayaan yang berat pada masa kanak-kanak. Penganiayaan itu
terlihat jelas dari kutipan yang menyatakan bahwa dia disetrum dengan listrik sama seperti
kucing yang dia ceritakan. Sehingga akibat kejadian tersebut menjadikan tokoh Nawai untuk
mengembangkan kepribadiannya untuk melindungi dirinya sendiri atau untuk menahan rasa
41
sakit yang dia rasakan. Dengan mengembangkan kepribadiannya tersebut, Nawai akan
merasa lebih nyaman dan aman. Selain itu Nawai juga merespon sesuatu dengan berlebihan.
Dia merasa bahwa apabila ada seseorang yang mendekatinya dia merasa bahwa orang
tersebut adalah musuh. Seperti yang disebutkan oleh DSM-IV TR bahwa gejala dan
gangguan identitas disosiatif adalah mengalami Posttraumatic seperti mimpi buruk, kilasan-
kilasan kejadian (flashback) yang tidak nyaman dan responrespon yang berlebihan.
Munculnya gejala konversi fisik seperti tahan terhadap sakit adalah salah satu gejala
yang termasuk ke dalam gangguan identitas disosiatif. Berikut adalah kutipan-kutipan yang
menunjukan bahwa tokoh Nawai mengalami gejala konversi fisik seperti tahan terhadap
sakit.
Hari ini tanganku tiba-tiba berubah menjadi licin. Lima buah piring telah
kupecahkan dan sebuah vas kusenggol dengan pantatku. Tentu saja bukan hal biasa
karena bukan kebiasaanku memecahkan piring setiap hari. Ada sesuatu akan terjadi,
sesuatu yang tak menyenangkan. Dadaku berdesir saat membersihkan pecahan piring
kelima. Sensasi yang sama saat menemukan kamar Mala kosong dan jendelanya
terbuka lalu temyata ia sedatig benengger di atap. Apakah ini berhubungan dengan
Mala? Tapi dia baik-baik saja. Kuawasi dari jendela dapur, dia begitu asyik bermain
di hutan kecil itu dengan membawa seluruh peralatannya. Wajahnya nampak serius,
ah dia memang selalu serius. Pecahnya piring-piring itu membuat pikiranku kacau.
(Meita, 2008:214)
Gejala dengan gangguan mood, kecemasan, tidur, makan dan seksual adalah gejala
yang termasuk ke dalam gejala gangguan identitas disosiatif. Berikut ini adalah kutipan-
kutipan yang menunjukan gejala dengan gangguan-gangguan tersebut yang dialami oleh
tokoh Nawai. Dalam kutipan di bawah ini digambarkan bahwa tokoh Nawai sangat mudah
mengalami rasa kantuk yang berat dan kelelahan.
Aku sangat bersemangat hari ini dan membiarkan diriku tenggelam dengan
kegiatan rumah tangga. Aku tak memedulikan badanku yang mulai kecapekan.
Tekanan darahku menyusut. Penyakit satu ini kadang menyulitkan kerjaku. Aku jadi
cepat ngantuk dan kadang tak bisa menahannya. Aku bisa tertidur di kursi dan bahkan
tidur dengan masih berdiri tanpa melepas kemoceng di tanganku. Agak sedikit
membahayakan memang, tapi sampai sekarang aku belum pernah membuat kemeja
suamiku bolong karena aku terlelap saat menyetrika. Sebisa mungkin aku berusaha
mengatasinya seperti saat ini sebelum ngantuk aku cepat-cepat membuat segelas kopi
hitam kental panas.(Meita,2008:26)
Dengan melihat kutipan di atas, tokoh Nawai mengalami gejala yang termasuk
gangguan identitas disosiatif seperti gangguan mood, kecemasan, tidur, seksual dan makan.
Gangguan utama yang dialami tokoh Nawai tergambar dalam kutipan di atas adalah
gangguan kesadaran yang secara fisik menimbulkan rasa kantuk berat dan kelelahan. Bahkan
karena rasa kantuk berat dan kelelahan itu pula yang mengakibatkan Nawai mengalami
keguguran, sebagaimana tertera dalam kutipan pada bagian mengenai postrautamic disorder.
Dari kutipan-kutipan tersebut terlihat jelas bahwa tokoh Nawai menglami gangguan mood,
kecemasan, tidur, makan dan seksual. Seperti yang disebutkan oleh DSM-IV TR bahwa
orang atau individu yang mengalami gangguan, mood,kecemasa, makan, tidur dan seksual
adalah termasuk kedalam gejala gangguan identitas disosiatif. Menurut analisis peneliti, dapat
42
di simpulkan bahwa tokoh Nawai mengalami gangguan identitas disosiatif karena dia
mengalami gangguan mood, kecemasan, makan, tidur dan seksual.
Munculnya gejala lupa ingatan atau amnesia adalah salah satu gejala yang
menunjukan gangguan identitas disosiatif. Berikut ini adalah beberapa kutipan yang
menunjukan bahwa tokoh Nawai mengalami gangguan lupa ingatan atau amnesia.
Dalam kutipan berikut ini tokoh Nawai berbicara kepada Kartika bahwa dia sama
sekali tidak mengingat semua peristiwa yang dituduhkan kepadanya, bahkan sekalipun
Kartika telah menyodorkan bukti-bukti yang kuat berupa foto-foto perselingkuhannya dengan
Rayhan.
“Omong kosong macam apa ini? Anda menuduh saya tanpa bukti kuat
“Oh, Anda butuh bukti?”
Kartika mengeluarkan sebuah amplop dan menebarkan isinya di depan Nawai.
Foto-foto berserakan.
“Anda ingin bukti, maka saya beri..Foto ini kami ambil se- lama lima hari
benurut-turut. Kami telah mengawasi Anda dan Rayhan. Tak ada gunanya mengelak.”
Nawai` memandangi satu per satu foto itu. Matanya membelalak. Dia bingung
setengah mati. Perempuan di foto itu memang dirinya tapi dengan dandanan sangat
berbeda. Pose dirinya dalam foto itu membuat Nawai gusar dan mual. Rayhan
mencium lehemya, Rayhan memeluknya, Rayhan menindihnya di pinggir kolam
renang. Bagaimana mungkin bisa seperti ini, sedangkan beberapa hari terakhir ini
Nawai selalu ada di rumah, bahkan kondisi tubuhnya sedang menurun.
“Apakah sekarang Anda masih ingin mengelak?” (Meita, 2008:223)
Dari kutipan tersebut bisa dilihat bahwa tokoh Nawai mengalami lupa ingatan. Dia
tidak menyadari bahwa dia sudah melakukan perselingkuhan dengan Rayhan. Menurut
Suryabrata (2000:165-169) ketidaksadaran mempunyai dua lingkaran, yaitu ketidaksadaran
pribadi dan ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran pribadi adalah berisi hal-hal yang
diperoleh oleh individu selama hidupnya yang meliputi hal-hal terdesak atau tertekan,
terlupakan, teramati, terpikir dan terasa dibawah ambang kesadaran. Sedangkan
ketidaksadaran kolektif adalah mengandung isi-isi yang diperoleh selama pertumbuhan jiwa
seluruhnya, yaitu pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia, melalui generasi terdahulu.
Ketidaksadaran yang dialami oleh tokoh Nawai adalah ketidaksadaran pribadi.
Munculnya kepribadian lain merupakan salah satu gejala gangguan identitas
disosiatif. Kepribadian yang muncul pada individu yang mengalami gangguan identitas
disosiatif bisa dua kepribadian atau lebih.
Sepanjang Bab Tiga Belas dan Bab Empat Belas dalam Novel Rumah Lebah ini
Ruwi Meita benar-benar membongkar keseluruhan pribadi dalam diri Nawai, yakni Ana
Manaya si tante genit, Satira si gadis cilik yang sangat pemarah dan gemar kegelapan, Wilis
pemuda bongsor yang pengecut, Abuela nenek tua yang selalu berbicara dalam bahasa
spanyol karena posisinya sebagai guru bahasa Spanyol Mala dan Si Kembar yang jarang
berbicara, yang bertugas mencatat segala yang dilakukan baik oleh Nawai ataupun alter ego
43
yang lain. Kutipan berikut menegaskan pengakuan Samuel atas bantuan Mala dalam
mengungkap kebaradaan para alter dalam diri Nawai.
“Sebenarnya Anda membuat saya antusias. Belum pernah saya menangani kasus
ini. Ini tantangan buat saya.”
“Oh....”
“Saya sudah bicara dengan Mala.”
“Anak itu.... Ya Tuhan, apa aku melukainya terlalu dalam?”
“Dia mencintai sekaligus membenci Anda. Dia juga menghormati Anda. Kita
akan merawat Mala juga untuk mencegah kerusakan jiwanya. lni terlalu berat
ditanggung bocah sepertinya.”
Aku tergugu, “Semoga Tuhan memaafkan aku. Aku tidak tahu apa yang aku
lakukan.”
“Nawai, Mala telah banyak membantuku dengan menyebut' kan siapa saja alter
yang ada dalam dirimu. Sampai sekarang saya sudah menemukan empat nama; Ana
Manaya, Satira, Wilis, dan Abuela. Abuela adalah guru Spanyol Mala. Dia tidak tahu
bahwa ada alter lain selain dirinya. Ana dan Satira menyadari alter lainnya termasuk
Anda. Mereka menyebut Anda Ratu Lebah. Masih ada si kembar tapi Mala hanya
mendengar keberadaan mereka dari Wilis. Mereka bisu. Mereka mencatat semua
kebenaran dalam buku mereka. Mala yakin bahwa merekalah yang melukia lukisan-
lukisan itu. Tugas mereka adalah menunjukkan kebenaran. Saya tidak bisa bicara
dengan si kembar tapi Anda bisa membaca catatan mereka.”
“Bagaimana caranya?”
“Temukan Rumah Lebah itu kembali dan masuklah ke sana.. Di sana si kembar
tinggal. Jangan takut dengan yang Iainnya. Buku catatan itu adalah petunjuk penting tentang
pembunuhan itu. Masuklah ke sana dan bacakan untukku.” (Meita,2008:262)
Dan Pada kutipan berikut ini disebutkan bagaimana Ana Manaya mengungkapkan
bahwa Nawai adalah sosok Ratu Lebah bagi mereka semua. Dan hanya sang Ratu Lebahlah
yang bisa menyelesaikan masalah kepribadian ganda tersebut.
“Gue terjebak dalam diri si Ratu Lebah itu. Ya Ratu Lebah, kami menyebutnya
Ratu Lebah. Kamilah yang selama ini mengu¬rusi si Ratu Lebah itu. Jika tidak,
mungkin dia sudah bunuh diri sejak dulu. Tapi jangan katakan padanya tentang kami.
Lo pernah tahu tentang cerita Ratu Lebah?”
“Belum. Coba ceritakan.”
“Selalu hanya ada satu ratu lebah. jika dia tahu ada yang lain, dia akan
menyengat dan membunuhnya. Lo tahu bagaimana dia mengetahui di mana
saingannya?”
“Tidak.”
44
“Dengan menjerit. jeritannya membuat lebah betina yang menetas bersamanya
akan menjawab jeritan itu. Mereka pikir itu panggilan sayang tapi temyata tidak, itu
panggilan kematian”
“Lalu apa hubungannya dengan Nawai?”
“Dia tidak boleh tahu tentang kami atau kami akan lenyap. Dialah si Ratu Lebah
yang duduk di singgasana itu, yang berhak mengendalikan tubuh ini lebih banyak
ketimbang kami. Gue nggak pengen diri gue lenyap. Gue masih pengen mencuri
duduk di singgasana itu untuk sedikit menckipi hidup. Rumah Lebah selalu bikin
bosan.”
“Aku yakin kita bisa mengatasinya dengan baik. Nawai adalah wanita baik.
Kita bisa cari jalan.”
“Oh, ya?” Suara wanita itu terdengar sinis lalu disusul suara langkah kaki. Sam
terbatuk kecil sebelum melanjutkan obrolannya.(Rumah Lebah: 249-250)
Dalam kutipan-kutipan di atas, jelas terlihat bahwa tokoh Nawai mengalami
gangguan identitas disosiatif atau dissociative identity disorder yang di tandai dengan adanya
kepribadian lain di dalam dirinya. Dalam kutipan di atas, Samuel mengakui kalau di dalam
diri Nawai ada orang lain atau kepribadian lain selain dirinya. Nawai tidak bisa menjelaskan
siapa kepribadian itu, tetapi dia merasakan bahwa adanya kepribadian lain selain dirinya itu.
Sebuah penderitaan panjang yang juga menuntut penderitaan yang lebih berat lagi untuk bisa
terungkapkan, sungguh suatu pengalaman yang luar biasa. Dan banyak hal telah
disumbangkan oleh Mala untuk terapi Mamanya itu.
Berikut adalah alter-alter yang terekam melalui Rumah Lebah, antara lain:
1.Satira
Lahir dari dendam dan kebencian yang sudah tertanam semenjak masa kecil Nawai,
satira adalah sesosok anak kecil yang diciptakan Nawai untuk menghimpun segala luka masa
lalu yang tidak mau dia ingat. Semua kisah penganiayan dan pemerkosaan yang dialami
Nawai oleh Ayahnya. Sosok Satira akhirnya selalu jadi ancaman untuk Mala, kerap kali,
Mala menjadi bulan-bulanan Satira. Satira selalu tahu caranya menghancurkan kebahagian
yang dirasakan keluarga Nawai, bahkan sejak prolog cerita dimulai.
“Wilis membawa saya ke sini. Wilis menggendong saya ke sini. Dia bilang saya
aman di sini. Dia bilang satira takut tempat tinggi. Dia tak akan berani menggangu
Mala di sini. Satira jahat! Satira jahat!”
“Tenang, Mala. Ayah janji tidak akan marah sama kamu. Ayo, Nak, berjalallah
kemari.”
“Satira merusak ggabar sata. Dia bilang dia mau menyakiti kita. Dia mau
menyakiti Mama dan Ayah.” (Meita, 2008:6)
Dari kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa sosok Satira sudah coba memunculkan
terornya sejak prolog novel. Kutipan kedua memberikan gambaran pada penelti bahwa sosok
Satira adalah inti dari semua kejahatan yang dilakukan denngan meminjam sosok Nawai.
45
2. Wilis
Wilis hadir sebagai Guardian Angel atau malaikat pelindung yang akan melindungi
anak kecil, termasuk Satira. Sering kali Wilis lah yang menemani Mala bermain.
“Dia selalu mencari akal, tapi kata Mama saya anak jenius. Saya akan baik-baik
saja. Satira tak bisa menguasai siapa-siapa.”
“Ya kamu akan baik-baik saja. Aku menjagamu. Aku adala penjaga anak-anak.
Meski satira nakal aku pun tetap menjaganya karena dia masih anak-anak.”(Meita,
2008:77)
Dari kutipan tersebut dapat peneliti tangkap bahwa Ruwi Meita mencoba
menghadirkan sosok Wilis sebagai pelindung yang punya hati layaknya anak kecil, mungkin
itu juga alasan kenapa wilis tidak bisa melindungi Satira, seperti yang terlihat pada kutipan
sebelumnya
3.Abuela
Abuela, sosok guru bahasa Spanyol Mala yang sangat suka dengan keteraturan dan benci
sekali dengan segala ketidak nyamanan. Menurut analisis peneliti sosok ini di hadirkan
Nawai sebagai pengganti orang tua. Ayahnya yang telah memperkosanya sejak kecil dan ibu
yang membunuh ayah yang memperkosanya.
... Lalu dia memandang ke arah lantai dan matanya berubah menjadi tidak suka.
Pastel berserakan di sana dan majalah-majalah terbuka. Wilis tadi sedang belajar
menggabmar lebah dan dia mencari contoh gambar lebah di majalah. Perpustakaan ini
memang sedikit berantakan.
“No limpias bien. No me gosta. No quiero repetier lo que te digo perotienes que
limpiar y areglar bien. Es muy muy importante,”(kamu tidak membersihkan dengan
baik. Saya tidak suka. Saya tidak ingin mengulang apa yang saya atakan padamu tapi
kamu harus membersihkan dan menngaturnya dengan baik. Ini sangat penting).
Katanya tajam.(Meita, 2008:53)
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bagaimana kerasnya Abuela mengajarkan
tentang keteraturan pada Mala. Kutipan sebelum memperlihatkan alasan kemunculan Abuela.
4. Ana Manaya
Hadir sebagai pengejahwantahan insting seks yang hadir terlalu dini, Ana Manaya
adalah sosok yang diciptakan Nawai untuk menghalau kepedihan diperkosa ayahnya sendiri,
dengan menciptakan sosok yang sexy dan haus seks. Itu juga alasan kenapa Ana Manaya
suka meniru artis-artis terkenal.
“Dia mengatakan kalimat yang biasa diucapkan si jahanam itu. Aku jadi marah.”
“Baunya enak sekali? Ucapan itu kah? Ucapan yang selalu dibisikkan ayah lo
saat menyentuh lo, kan?”(Meita, 2008:268)
Kutipan tersebut membuktikan bagaimana insting seks begitu menngusai Ana
46
Manaya. Dan juga merupakan penggambaran atas pengejaran dia pada sosok
semurna, denngan meniru artis-artis.
5. Si Kembar
Sebagai yang maha tahu, Si Kembar digambarkan sebagai pencatat segala tindak dan
laku semua kepribadian yang ada pada diri Nawai,termasuk Nawai sebagai salah satu ego.
Dalam kesehariannya Si kembar terus menulis yang terjadi di antara mereka.
... Mataku semakin cepat bergerak. Kematian Indah Seorang Ayah. Aku hendak
mengambil buku itu. Namun tannganku dicekal. Aku menoleh dan berteriak. Kaget
setengah mati. Dua orang berwajah identik berada di depahku. Aku paham kenapa
mereka bisu. Mereka tidak punya mulut. Mereka menggeleng-gelengkan kepala.
Salah satu dari mereka menarik tanganku. Mereka tidak membiarkakku meredam
keterkejutanku. Aku dibimbing pada rak lain yang letaknya paling kanan sendiri.
Salah satu dari mereka mengambil salah satu buku di bawah dan mengangsurkannya
padaku. Mereka langsung pergi ke arah meja di pojok ruangan lalu menulis sesuatu
pada buku. Gerakan mereka serempak saat menulis bahkan mereka menggaruk dahi
secara bersamaan. Pandanganku kemudian tertuju pada buku yang mereka berikan.
Kejahatan di Danau. Hatiku miris.(Meita, 2008:265- 266)
Bisa dikatakan, Si kembar adalah pengejahwantahan dari Rokib dan Atid yang
mencatat amal baik dan buruk. Namun kesadaran mereka masih terikat oleh kesadaran ego,
dalam hal ini Nawai.

Simpulan
Dari analisis tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa kepribadian ganda yang dialami
tokoh Nawai dikarenakan adanya traumatik masa kecil yang begitu mendalam. Sosok satira
hadir sebagai sosok pengganti Nawai untuk menyimpan segala dendam dan kebencian. Wilis
hadir sebagai Guardian Angel yang akan selalu menjaga anak kecil, dalam hal ini, Nawai
kecil yang mendapat perlakuan tidak senonoh dari Ayah dan temanteman Ayahnya. Ana
Manaya, dihadirkan Nawai ketika pada masa kecil dia dipaksa, diperkosa oleh Ayah dan
teman-teman Ayahnya. Oleh karena itu, sosok Ana digambarkan begitu sexy dan dikuasai
akan insting seks. Abuela tidak lain adalah sosok pengganti orang tua yang Nawai ciptakan
karena kedua orang tuanya yang tidak pernah benar-benar ada untuk dia. Lalu dua sosok
kembar yang tidak pernah terlibat langsung dengan semua alter yang lain, Si Kembar adalah
sosok manusia yang bertugas mencatat setiap kejadian baik dan buruk yang dialami nawai.
Sebagai upaya Nawai untuk melupakan segala kenangan buruk masa kecilnya. Akhirnya,
terciptalah sosok Nawai sebagai “Ratu Lebah” yang tercipta dari kenangan-kenangan
tertentu.
Referensi
Alwilsol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Endraswara, Suwardi.
2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo. Meita, Ruwi. 2008.
Rumah Lebah. Jakarta: Gagas Media. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Ratna, Nyoman Kutha Prof. Dr., S.U. 2004. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jakarta: Pustaka Pelajar. Teeuw, A., 1984. Sastra dan
47
Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Pelajar. Wahyuningtyas, Sri, dan Santosa, Wijaya Heru.
2011. Sastra Teori dan Implementasinya. Surakarta: Yuma Pustaka. Wellek, Rene dan Austin
Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
48
D. Contoh Kasus Kepribadian

Billy Milligan dengan 24 Kepribadiannya


Billy Milligan

Billy Milligan dengan 24 kepribadiannya

William Stanley Milligan (lahir 1955) atau yang biasa dikenal dengan nama Billy
Milligan, merupakan orang pertama dalam sejarah Amerika yang dibebaskan atas segala
tuduhan kriminal yang diarahkan padanya dengan alasan dia tidak waras karena menderita
kepribadian ganda. Ia merupakan subjek kasus pengadilan yang dipublikasikan di Ohio pada
akhir 1970-an. Setelah beberapa tindak pidana berat yang dilakukannya termasuk
perampokan bersenjata, dia ditangkap berdasarkan tiga kasus pemerkosaan yang di
lakukannya di kampus Ohio State University.

Dari 14-26 Oktober 1977, tiga wanita di sekitar Ohio State University diculik, dibawa ke
daerah terpencil, dirampok, dan diperkosa. Seorang wanita mengklaim bahwa pria yang
memperkosanya memiliki aksen Jerman. Sementara yang lain mengklaim bahwa (meskipun
menculik dan memperkosanya) dia sebenarnya pria yang baik. 

Pria pelaku pemerkosaan, Billy Milligan yang berusia 22 tahun, setelah penangkapan,
menemui seorang psikiater dan ia didiagnosis mengalami kepribadian ganda. Secara
keseluruhan, Billy memiliki 24 kepribadian yang berbeda. Saat penculikan dan pemerkosaan
terjadi, pengacara Milligan mengatakan bahwa bukan Billy Milligan yang melakukan
kejahatan. Dua kepribadian yang berbeda mengendalikan tubuhnya. 

Dalam rangka mempersiapkan pembelaannya, Dr.Caul, seorang psikiater


mendiagnosa Milligan memiliki gangguan kepribadian ganda, ia mengklaim bahwa dua
dari kepribadian Milligan lah yang telah melakukan kejahatan tanpa Milligan sadari. Ia
menjadi orang pertama yang di diagnosa memiliki gangguan kepribadian ganda yang
melakukan pembelaan dalama kasusnya.
49
Dr. Caul, yang berempati pada Billy, berupaya membuktikan di tengah intervensi
politisi dan pengadilan publik via media massa–bahwa Billy tidak bersalah karena semua
tindak kriminal tersebut dilakukan tanpa disadari pribadi intinya (yang disebut Billy-
Unfused atau Billy-U) karena ke-23 pribadi yang lain silih berganti muncul ke ‘tempat
utama’ (dengan komando Arthur) dan kerap membuatnya kehilangan waktu dan tampak
aneh sekaligus memiliki berbagai bakat seperti bela diri, melukis, bahasa asing atau
kedokteran.
24 Kepribadian Billy Milligan

1. Billy Milligan (William Stanley Milligan), adalah kepribadian inti. Kepribadian ini
dikatakan telah meninggalkan tubuhnya (tertidur) sejak ia berusia 17 tahun dan di gantikan
oleh kepribadian lainnya.

2. Arthur, 22 thn. Si Jenius, manusia paling cerdas dalam tubuh Billy, dia yang berkuasa
memutuskan siapa saja anggota “keluarga” yang akan muncul di tempat utama dan
menguasai kesadaran, atau siapa saja yang harus diisolasi karena membahayakan Billy. Ia
merupakan kepribadian Pria asal Inggris, si koordinator dari semua karakter yang ada;
memiliki kepintaran dalam hal fisika, kimia, ilmu kedokteran dan bisa membaca serta
menulis dalam bahasa arab.

3. Ragen Vadascovinich, 23 thn. Si Pengelola Rasa Benci, ahli senjata dan peluru serta
agresi fisik yang lain, muncul saat Billy merasa terancam atau saat marah, tugasnya
melindungi anggota keluarga yang lain.ria 23 tahun berkebangsaan Yugoslavia, menguasai
bahasa Serbo-Kroasia, memiliki kemampuan tentang senjata dan peluru tapi buta warna.
Dia temperamental dan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa.

4. Allen, 18 thn. Si Manipulative, orang kepercayaan, dialah sosok yang sering berhadapan
dengan dunia luar, satu-satunya yang tidak bertangan kidal.

5. Tommy, 16 thn. Si Escape Artist ahli melepaskan diri dari segala kunci dan sampul
ikatan, kemampuannya pernah digunakan saat Billy ditangkap pihak kepolisian, siap
bertengkar dan anti sosial.

6. Danny, 14 thn. Si Penakut, anak yang selalu ketakutan terhadap orang lain terutama pada
laki-laki, akibat trauma ia hanya mampu melukis objek tidak bergerak saja.

7. David, 8 thn. Si Penanggung Rasa Nyeri, dijuluki juga “si empati”, dia menyerap semua
rasa sakit yang dialami tokoh lain, amat peka dan penuh intuisi.

8. Christine, 3 thn. Si Anak Sudut , dijuluki demikian karena ia sering berdiri di sudut
sekolah, merupakan anggota keluarga yang paling disayangi oleh tokoh-tokoh lainnya
terutama oleh Ragen.

9. Christopher, 13 thn. Si Penurut yang Bermasalah, adalah kakak dari Christine


50
10. Adalana, 19 thn. Si Pemilik Mata Menari, memiliki kecenderungan seks yang
menyimpang, pemalu, kesepian, dan introvert, dalam proses penyelidikan dan terapi,
Wanita lesbian berusia 19 ini, seorang pemalu, kesepian, pintar memasak dan
membersihkan rumah, dan yang menyebabkan ke dua puluh empat tokoh lainnya berada di
penjara Franklin Country, menjadi berita utama di koran-koran soal penangkapan
tersangka dua korban penculikan dan pemerkosaan di kampus.
Pribadi yang tak dinginkan, dan di isolasi oleh Arthur

11. Philip, 20 thn. Si Penjahat Brutal, pernah melakukan kejahatan-kejahatan kecil,


berbicara kotor dan kasar.

12. Kevin, 20 thn. Si Perencana, penjahat kelas teri, dialah yang menyusun rencana
perampokan yang dilakukan Billy, senang menulis.

13. Walter, 22 thn. Si Pemburu, menganggap dirinya sebagai pemburu paling hebat, pandai
menetukan letak arah, orang Australia.

14. April, 19 thn. Si Perempuan Berengsek, sangat dendam kepada ayah tiri Billy, tokoh
yang lain mengatakan bahwa ia tidak waras

15. Samuel, 18 thn. Si Yahudi Pengembara, dialah satu-satunya tokoh yang percaya pada
Tuhan

16. Mark, 16 thn. Si Kuda Pekerja, tidak punya inisiatif untuk bekerja sebelum
diperintahkan tokoh yang lain, monoton, kadang-kadang disebut juga sebagai “si zombie”

17. Steve, 21 thn. Si Peniru Gelagat, suka meniru gelagat tokoh-tokoh yang lain, suka
menertawakan tokoh-tokoh lain, suka berbuat onar sehingga tokoh lainnya terkena
masalah.

18. Lee, 20 thn. Si Pelawak, sering bertindak usil dan nakal, leluconnya sering menjadikan
tokoh lain terkena masalah.

19. Jason, 19 thn. Si Katup Penyalur Tekanan, reaksi histeris dan sering meledakan amukan
atau tekanan yang menumpuk.

20. Robbert (Bobby) , 17 thn. Si Pemimpi, terus menerus berkhayal tentang bepergian dan
berpetualang, bermimpi tapi tidak punya ambisi ataupun berminat intelektual.

21. Shawn, 4 thn. Si Tunarungu, sering dianggap terbelakang.

22. Martin, 19 thn. Si Pemuda Snob, suka pamer kemewahan dan suka berlagak, ingin
memiliki segalanya tanpa bekerja

23. Timothy (Timmy), 15 thn. Si Penyendiri, pergi ke dunianya sendiri karena trauma
kepada orang homoseks.

Kepribadian Spesial (terakhir)


51
24.Sang Guru. Dia adalah sosok Billy utuh. Dia cerdas, peka, humoris, dan sangat bijaksana.
Dialah yang mengajarkan semua tokoh tentang beberapa keahlian dan dialah yang mampu
menceritakan semua kisah yang dialami 23 tokoh dalam satu tubuh itu.

Gary Schweickart, kepala pengacara pembela publik berusia 33 tahun adalah orang pertama
yang bicara empat mata dengan Billy saat Billy berada di penjara Franklin Country . Gary
semula hanya berniat memperkenalkan dirinya sendiri sebelum memilih anak buahnya (Billy
minta pengacara wanita dan akhirnya memilih Judy Stevenson) untuk memberikan
pembelaan terhadap Billy. Namun karena sikapnya yang sering sekali berbeda pada setiap
kesempatan bersama dirinya, apalagi ketika penjara dihebohkan dengan niat Billy untuk
bunuh diri, Gary mengusulkan pada Judy agar Judy mau mendatangkan psikiater dan
memeriksa keadaan Billy.

Pada pemeriksaan psikologis pertama pada tanggal 8 dan 13 Januari 1978, Milligan memiliki
IQ 68. Billy diduga menderita penyakit skizofrenia akut.
"Skizofrenia ( /ˌ s kɪ ts ɵˈ fr ɛn iə/ atau /ˌ s kɪt sɵ ˈ fr iːn iə/ ) adalah gangguan mental yang
ditandai dengan gangguan proses berpikir dan tanggapan emosi yang lemah. Keadaan ini
pada umumnya dimanifestasikan dalam bentuk halusinasi, paranoid , keyakinan atau pikiran
yang salah yang tidak sesuai dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak
berdasarkan logika, dan disertai dengan disfungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan."

Dengan dasar pemeriksaan tersebut, Gary dan Judy mulai berjuang untuk membantu Billy
mendapatkan penanganan yang tepat. Dan tempat itu bukan di penjara. Pada pengadilan
pertama tanggal 19 Januari 1978, Hakim Jay C. Flowers mengeluarkan surat perintah untuk
memindahkan Billy ke Southwest Community Mental Health Center di Colombus agar
diperiksa oleh tim psikiatri forensik.

Dorothy Turner adalah psikolog pertama yang melakukan wawancara terhadap Billy
Miligan di Southwest pada tanggal 31 Januari 1978. Mulanya, dia bersiap untuk
menghadapi seorang penjahat muda yang sedang berakting atau pura-pura gila agar
dibebaskan dari segala tuntutan yang diberikan kepadanya. Tapi setelah proses wawancara
itu berjalan seperti sedang menanyai beberapa karakter yang silih berganti bicara dalam
satu tubuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Dorothy, Dorothy mengusulkan pada
Gary dan Judy untuk mendatangkan Dr. Cornelia Wilbu r, dokter yang telah
menyembuhkan Sybil, wanita pemilik enam belas kepribadian ganda.

Serangkaian penelitian dan tes menunjukkan bahwa karakter-karakter Billy yang


tersembunyi muncul satu per satu. Para pengacara Billy berjuang keras agar Billy tidak
dipindahkan ke lima tempat perawatan yang akan membuat Billy semakin depresi dan
melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, sebelum akhirnya Billy disidang kembali. Rumah
Sakit Harding adalah atlernatif terbaik . Dari situ, sisi lain dari Billy mulai terkuak satu
persatu. Tentang kekerasan dan pelecehan yang diterimanya sewaktu dia masih kecil.
Tentang ayah tirinya yang memperlakukan dia secara tidak senonoh yang membuatnya
sangat trauma dan depresi. Tentang keahliannya melukis dan menggambar, tentang tes IQ
yang hasilnya berbeda pada setiap karakter yang ada di dalam diri Billy :

52
( David = 69, Danny = 71, Tommy = 87, Christopher = 102, Ragen = 119, Alen = 120)

Namun orang lain diluar sana tetap menganggap Billy hanya sedang berakting dan mereka
juga mati-matian menjebloskan Billy ke tempat yang tidak Billy inginkan, penjara. Billy
yang dibenci, Billy yang dicemooh, Billy yang dalam perjalanan perawatannya berusaha
untuk menyatukan dirinya menjadi Hanya Billy, dan lalu terpuruk dan mengalami depresi
dan berniat untuk bunuh diri lagi.
Di bawah pimpinan, Dr. George Harding, Jr. Billy dirawat hingga beberapa tokoh terfusi
dalam dirinya. Billy menjadi sosok yang lebih kuat dari sebelumnya dan mampu
menghadiri persidangan. Tapi, demi penyembuhannya, Gary Schweickart dan Judy
Stevenson berusaha keras untuk memasukkan Billy ke rumah sakit, bukannya ke penjara.
Dan, memang yang diinginkan kedua pembela publik tersebut dikabulkan.

Athens Mental Health Center yang dipimpin Dr. David Caul membantu Billy dalam
penyembuhan, meskipun tidak berhasil sempurna. Namun, di sanalah kisah Billy terkuak
dan juga Billy bisa melihat dirinya yang lain lewat rekaman video. Kala itu, tentu saja Billy
tidak percaya bahwa dirinya mampu menjadi diri yang berbeda. Dari aksen bicara, bahasa
tubuh, serta pembawaan.

Ketika Billy menjalani perawatan di Athens Mental Health Center lambat laun kepribadian
Billy terfusi melebur menjadi satu pribadi utuh yang dinamai Sang Guru (karakter ke 24) ,
yang memiliki nyaris segenap ingatan yang utuh tentang Billy.

Sang Guru pun muncul. Dia adalah sosok Billy utuh. Wujud kedua puluh empat sosok alter
ego yang sudah terfusi. Dia cerdas, peka, humoris, dan sangat bijaksana. Dialah yang
mengajarkan semua tokoh tentang beberapa keahlian dan dialah yang mampu menceritakan
semua kisah yang dialami 23 tokoh dalam satu tubuh itu. Bahwa semua tokoh itu muncul
ketika Billy kecil merasa kesepian dan semakin bertambah banyak ketika ayah tirinya
Chalmer Milligan melakukan kejahatan fisik dan seksual.

Billy menerima kenyataan bahwa dirinya memang multi kepribadian. Tapi, Billy
memutuskan untuk membuat kisah hidupnya menjadi sebuah buku agar menjadi sebuah
pelajaran berharga bagi beberapa orang tua yang bertindak jahat pada anak-anak mereka.
Daniel Keyes sebagai penulis ditunjuk sebagai orang yang nantinya memaparkan
bagaimana kisah hidup Billy Milligan dan beberapa orang yang ada dalam kehidupannya.
Namun, bagaimana dia akan memulai jika tokoh dalam diri Billy hanya menyampaikan
serpihan-serpihan ingatan yang mereka miliki.

Keyes menuliskannya dengan teliti dan tekun dengan menghabiskan dua tahun bersama
Billy Miligan, dan telah mewawancarai keluarga, dan beberapa dokter dan petugas medis
yang pernah merawat Billy.
Saat kita membaca novel ini, kita akan diajak menyelami karakter-karakter yang ada dalam
diri Billy. Semakin lama, kita akan semakin menitikkan airmata dan berharap kita bisa
memeluknya dan memberikan dia perlindungan.

Seandainya saja tidak ada kekerasan rumah tangga yang terjadi saat dia kecil, semua itu,
tokoh-tokoh dalam diri Billy tidak akan keluar, mencoba melindunginya dengan segala
cara dan berontak.
53
Hingga buku ini diselesaikan oleh Daniel Keyes, banyak kejadian yang dialami Billy
Milligan. Sang Guru menikah dengan wanita bernama Tanda, seorang adik perempuan dari
salah satu penghuni Dayton Forensic Center. Sayangnya, karena ketertekanan, Tanda
kabur dan dia membawa mobil dan semua uang yang dimiliki Billy. Hal tersebut, membuat
semua tokoh dalam diri Billy Milligan kesal, namun akhirnya mereka menerima hal
tersebut. Selain pernikahan, Billy Milligan masuk kembali ke Athens untuk penyembuhan
dirinya di bawah terapi Dr. David Caul.
Pada kasus tersebut, hakim menyatakan Billy Milligan tidak bersalah. Dia merupakan
orang Amerika pertama yang dinyatakan tidak bersalah karena gangguan kepribadian ganda.
Dia dikurung di rumah sakit jiwa sampai tahun 1988 dan dibebaskan setelah para ahli
berpikir bahwa semua kepribadian telah menyatu. Kasus ini menjadi fenomenal dan populer
hingga dibuatkan film berjudul The Crowded Room. 

Hal Unik :

Dalam kisah Billy Milligan ada hal unik yaitu ketika dirinya memutuskan untuk hidup
sendiri dalam apartemen, bukan berarti dia hidup sendiri. Karena satu tubuhnya mewakili
beberapa orang. Dewasa, anak-anak, laki-laki, maupun perempuan mendiami apartemen itu,
meski yang dilihat orang adalah dia hidup sendiri. Mencengangkan, namun kisah yang
mengasikkan dan pembelajaran yang berharga.
Hal unik lainnya adalah pada Tahun 1988, setelah sepuluh tahun mendekam di rumah
sakit jiwa, Billy dibebaskan dengan pribadi yang menyatu (yang disebut sang Guru) dan
tinggal di California dan memiliki perusahaan film Stormy Life Productions.

54
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kepribadian bisa dipahami dari dua hal, yang pertama kepribadian menurut
kehidupan sehari-hari (personality) yaitu merujuk kepada bagaimana individu tampil
dan menimbulkan kesan bagi individu-individu lainnya. Dan yang kedua dari ahli
psikologis, diantaranya pendapat dari George Kelly bahwa kepribadian sebagai cara
yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya.

Hanya ada empat tipe kepribadian tapi menggambarkan kepribadian seseorang tidak
hanya terpaku pada satu saja,tetapi bisa saja orang tersebut memiliki campuran dari
dua kepribadian.campuran ini terdiri dari kepribadian primer dan sekunder , seperti
Melankolis Plegmatis atau koleris sanguin. Urutan ini penting campuran melankolis
plegmatis benar-benar berbeda dari tipe plegmatis Menkolis. kepribadian utama
menggambarkan bagiaan yang paling jelas dari kepribadian seseorang.

A. SARAN
Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah
berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi pengetahuan
kita.

55
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,L. (2013) kepribadian (teori-teori dan tipenya). makalah kepribadian psikologi.
diperoleh dari http://lukmankudus94.blogspot.com/2013/11/teori-kepribadian-dan-
tipe-tipenya_27.html?m=1
Sih Rineksa W. N. dan Achmad Chusairi, M.Psi.(2017). Hubungan antara konsep diri
dengan resiliensi pada remaja yang mengalami perceraian orangtua. Jurnal Psikologi
dan Sosial. Diperoleh dari http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
jpksed9ca07f98full.pdf
Daviq Chairilsyah (2012) pembentukan kepribadian positif anak sejak usia dini.
Jurnal Kepribadian. Diperoleh dari
https://media.neliti.com/media/publications/22928-ID-pembentukan-kepribadian-
positif-anak-sejak-usia-dini.pdf
Meilany, Hetty, Gevia (2014) gangguan kepribadian anstisosial pada narapidana.
Social work jurnal. Dipeeroleh dari
http://jurnal.unpad.ac.id/share/article/download/15681/7384
Asep Sundana. Kepribadian Ganda Tokoh Nawaidalam Rumah Lebah Karya Ruwi
Meita:Tinjauan Psikologi Sastra. Jurnal Psikologi Kepribadian. Diperoleh dari
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-skriptorium09d78c9828full.pdf
Dr.Rizal Fadli (2019) Ini 4 Kasus Kepribadian Ganda yang Fenomenal. Artikel
Halodoc. Diperoleh dari https://www.halodoc.com/artikel/4-kasus-kepribadian-ganda-
yang-fenomenal
SayKlop (2017) Billy Milligan dengan 24 Kepribadiannya. Artikel Blogspot.
Diperoleh dari https://endwize.blogspot.com/2017/02/billy-milligan-dengan-24-
kepribadiannya.html

Anda mungkin juga menyukai