Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

METODE PEMAKNAAN, PEMAHAMAN DAN PENGAMALAN


QUR’AN HADIS
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pembelajaran Qur’an Hadis
Dosen Pengampu : Mohammad Iman Effendi Sholeh, M.Pd.I

Oleh :
1. Pipit Priani 1710320007
2. Zakiyatul Aulia 1910310028

Jurusan/Semester : PGMI/5

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS TAHUN 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan pendidikan.
Beberapa petunjuk Qur’an maupun sunnah Nabi saw. dengan jelas
menganjurkan para pemeluk Islam untuk meningkatkan kecakapan dan
akhlak generasi muda, budi pekerti yang luhur dan kecakapan yang tinggi.
Qur’an memerintahkan pada kaum muslimin agar meningkatkan kualitas
dan untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah, yang akan
menimbulkan kekhawatiran.
Dalam Al-Qu’an sudah dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 9
menunjukkan bahwa pendidikan sebagai proses pembentukan kepribadian
adalah hal yang esensial dalam kehidupan manusia, yang lazimnya dimiliki
dan tertanam dalam diri setiap muslim. Pendidikan pada dasarnya bertujuan
untuk mencetak manusia yang berkualitas.
Al-Quran dan Hadis Nabi merupakan dua sumber rujukan utama
ajaran Islam. Oleh karena itu para ulama berupaya untuk memahami kedua
sumber utama itu. Bahkan, upaya tersebut telah diperkaya dengan beragam
perspektif dan pendekatan. Walaupun demikian, menurut Nasaruddin,
terdapat kecenderungan umum untuk memahami nash (teks) Al-Quran dan
Hadis tersebut secara leksikal, kata per kata dengan pendekatan filologis
gramatikal. Akibat kecenderungan umum ini, pesan nash tidak membumi
dan spiritnya dirasakan terlampau jauh. Petunjuk nash terkesan tidak
mampu menyentuh problematika kontemporer yang setiap saat
menghampiri aktivitas keseharian umat Islam, baik sebagai individu
maupun bagian dari masyarakat dan bernegara. Hal seperti itu terjadi,
karena ketidaktepatan dalam memilih metode penafsiran nash. Oleh karena
itu berikut akan dibahas mengenai metode pemaknaan, pemahaman, dan
pengalaman dalam pembelajaran oleh seorang guru sebagai pemegang
manajemen kelas yang akan menentukan berhasil atau tidaknya tujuan yang
dikehendaki.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian metode pemaknaan, pemahaman, dan pengalaman
Qur’an Hadis?
2. Bagaimana metode pemaknaan, pemahaman dan pengamalan Qur’an
Hadis?
3. Bagaimana problematika dalam metode pemaknaan, pemahaman dan
pengalaman Qur’an Hadis?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian metode pemaknaan, pemahaman, dan
pengalaman Qur’an Hadis
2. Untuk mengetahui metode pemaknaan, pemahaman dan pengamalan
Qur’an Hadis
3. Untuk mengetahui problematika dalam metode pemaknaan,
pemahaman, dan pengalaman Qur’an Hadis
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Pemaknaan, Pemahaman dan Pengamalan Qur’an


Hadis
Sebagian besar para mufasir (ahli tafsir) telah berhasil merumuskan
metode tafsir atau pemaknaan dan pemahaman dalam upaya membumikan
pesan Tuhan yang terkandung di dalam nash (lafadz). Di sisi lain, para
ulama Hadis juga telah merumuskan metode kritik Hadis dan pendekatan
pemahaman matn Hadis yang terekam dalam berbagai karya ulum al-Hadis
dan syarh al-Hadis sebagai upaya menjaga autentisitas dan memahami hadis
Rasulullah SAW.

a. Metode Tafsir
Secara metodologis tafsir terbagi menjadi dua kelompok, tafsir bi
al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Dari dua metode ini berkembang
beberapa induk model metode tafsir, yakni altahlili, al-maudhu’i, al-
ijma’i, dan al-muqaran.1
Tafsir bi al-ma’tsur disebut juga dengan tafsir bi al-manqul atau bi
al-riwayat, yakni metode penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan
cara mengutip hadis-hadis Nabi, pendapat-pendapat sahabat, dan tabiin
dalam penafsiran al-Quran. Dalam tafsir ini akan ditemukan penafsiran
alQuran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadis, al-Quran dengan
pendapat-pendapat sahabat dan tabiin. Seorang mufasir yang
menggunakan metode ini menitikberatkan pada ayat al-Quran dan
riwayat hadis. Isi tafsir dengan metode ini penuh dengan riwayat hadis
dan jarang sekali penafsir menggunakan pemikirannya sendiri.

1
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo Kompas Gramedia, 2014), hal. 174
Sebaliknya tafsir bi al-ra’yi yang menitikberatkan penafsiran al-Quran
pada pemahaman akal (ra’y) dalam memahami kandungan nash.
Metode tafsir tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Quran
melalui analisis makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Quran.
Penafsir memulai penafsirannya dari ayat dalam surat Al-Fatihah
hingga ayat dalam surat An-Nas.
Metode tafsir ijmali adalah penafsiran alQuran yang dilakukan
dengan cara mengemukakan isi dan kandungan al-Quran melalui
pembahasan yang tidak terperinci. Pembahasan ayat al-Quran dalam
tafsir ijmali hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa yang
sangat ringkas.
Metode tafsir muqaran adalah metode tafsir yang menggunakan
pendekatan perbandingan antara ayat-ayat al-Quran yang redaksinya
berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang
redaksinya memiliki kemiripan tetapi kandungan isinya berbeda.
Dalam perkembangannya, metode tahlili dibedakan menjadi
beberapa corak tafsir sesuai dengan kecenderungan seorang mufasir,
yakni al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’yi, tafsir al-shufi, tafsir
al-fiqhi, tafsir al-falsafi, tafsir al-‘ilmi, tafsir adab ijtima’i, tafsir
munasabah dan sejenisnya.
Metode tafsir lain yang masih menjadi polemis di kalangan mufasir
adalah metode tafsir al-Munasabah. Sebagai bentuk elaborasi kreatif
dari tafsir alra’yi, sebagian mufasir menilainya sebagai prestasi
gemilang metode tafsir al-Quran. Tetapi sebagian mufasir lain
menolaknya karena menganggap metode ini memaksakan diri untuk
mencari korelasi setiap ayat. Menurut para penolaknya al-Quran
diturunkan dalam rentang waktu 22 tahun dengan latar historis, sosial,
dan komunikasi yang berbeda. Karenanya adalah sulit kemudian untuk
mencari korelasi satu ayat dengan ayat lainya.
Ali bin Abi Thalib pernah berujar, “Istanthiq Qur’an,” yang berarti
ajaklah Qur’an berbicara. Ujaran Ali itu menunjukkan, keharusan para
mufasir untuk merujuk al-Quran dalam memahami kandungannya. Atas
ujaran Ali itu, menurut Quraish Shihab, lahirlah metode tafsir maudhui.
Seorang mufasir yang menggunakan metode ini, terlebih dahulu harus
menetapkan topik tertentu yang dipilih kemudian menghimpun ayat-
ayat al-Quran dari berbagai surat, kemudian membahas dan
menganalisinya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

b. Metode Pemahaman Hadis


Selain metode pemahaman al-Quran di atas, para ulama juga
berupaya merumuskan metode pemahaman hadis. Ada perbedaan antara
memahami nash al-Quran dengan memahami matn hadis. Dalam
memahami nash al-Quran para mufasir, tidak perlu melakukan kegiatan
kritik nash al-Quran karena nash-nash al-Quran diyakini oleh umat
Islam sebagai nash yang autentik dan tidak perlu diragukan
keasliannya. Nash al-Quran telah dihafal kemudian dibukukan dalam
satu mushhaf, yang disebut dengan Mushhaf Utsmani yang diwariskan
dari generasi ke generasi tanpa perubahan huruf maupun ayat. Dalam
al-Quran ditegaskan, Allah sendiri yang mewahyukan al-Quran dan Dia
juga yang menjaga keaslian dan autentisitasnya.
Kondisi teks al-Quran yang demikian berbeda dengan teks hadis.
Hadis memiliki ribuan matn atau redaksi, sementara itu, para pewarta
hadis tidak semuanya hidup bersama nabi. Karena itu, teks hadis ada
kemungkinan mengalami pemalsuan. Apalagi kodifikasi teks hadis baru
dilakukan setelah tiga abad wafatnya Nabi SAW.
Kondisi teks-teks hadis yang demikian mendorong para ulama
untuk melakukan kodifikasi hadis. Dalam proses kodifikasi tersebut,
para ulama hadis menetapkan hadis yang berasal dari Nabi dan hadis
yang bukan berasal dari Nabi. Dalam kaitan syarat-syarat hadis yang
dapat dipandang berasal dari Nabi itulah para ulama kemudian
merumuskan ilmu yang disebut dengan ilmu jarh wa ta’dil, yakni
sebuah ilmu yang secara khusus mengkritik para pewarta (periwayat)
hadis, baik dari sisi kemampuan intelektual maupun dari sisi integritas
moral periwayat hadis.
Struktur hadis Nabi terdiri dari dua unsur, yakni unsur sanad,
berupa susunan nama-nama periwayat hadis, dan unsur matn
merupakan teks hadis, baik terkait pernyataan verbal (qaul), aktivitas
(fi’l), dan persetujuan (taqrir) Nabi SAW. Para ulama hadis telah
melakukan kritik terhadap dua unsur itu sebelum mengodifikasi hadis
tersebut dalam kitab-kitab hadis mereka. Terhadap sanad hadis, para
ulama secara cermat dan hati-hati menelaah ketersambungan sanad,
kemampuan intelektual, dan integritas individu periwayat hadis.
Selanjutnya terhadap matn, para ulama menelaah secara cermat
keterhindaran teks hadis tersebut dari syadz (menyendiri) dan illah
(cacat).2
Seorang yang hendak memahami teks hadis, harus melakukan tiga
langkah sekaligus, pertama, ia harus memperhatikan kualitas sanad;
kedua, harus mencermati susunan redaksional matn; ketiga, meneliti
dan memahami substani matn.
Seperti halnya para mufasir dalam memahami al-Quran, ulama
hadis juga menggunakan empat metode dalam memahami hadis, yakni
tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. Sementara pendekatan yang
digunakan antara lain, pendekatan bahasa, sejarah, sosiologi, dan
antropologi (Suryadilaga, 2012).

B. Metode Pemaknaan, Pemahaman dan Pengamalan Qur’an Hadis


2
Ibid., hal. 176
a. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab ialah cara penyajian pelajaran dalam bentuk
pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada murid atau
dapat juga dari murid kepada guru. Dalam kegiatan belajar mengajar
melalui tanya jawab, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan atau
siswa diberikan kesempatan untuk bertanya terlebih dahulu pada saat
memulai pelajaran, pada saat pertengahan atau pada akhir pelajaran
yang sudah dipakai pada zaman Nabi dan Rosul dalam mengajarkan
ajaran yang dibawa pada umatnya.

b. Metode Diskusi
Kata “diskusi” berasal dari bahasa latin, yaitu “discussus” yang
berarti “ to examine”. “discussus” terdiri dari akar kata “dis” dan
“cuture”. “dis” artinya terpisah, sementara “cuture” artinya
menggoncang atau memukul. Secara etimologi, “discuture” berarti
suatu pukulan yang memisahkan sesuatu. Secara umum, pengertian
diskusi adalah suatu proses yang melibatkan dua individu atau lebih,
berintegrasi secara verbal dan saling berhadapan, saling tukar informasi
(information sharing), saling mempertahankan pendapat (self
maintenance) dalam memecahkan sebuah masalah tertentu (problem
solving).
Dalam proses belajar mengajar metode diskusi adalah sebuah cara
yang dilakukan oleh mahasiswa mempelajari bahan atau menyampaikan
materi dengan jalan mendiskusikannya, dengan tujuan dapat
menimbulkan pengertian serta perubahan tingkah laku pada siswa.

c. Metode Demostrasi
Metode demonstrasi adalah metode mengajar yang menggunakan
peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk
memperlihatkan bagaimana melekukan sesuatu kepada anak didik.
Memperjelas pengertian tersebut dalam prakteknya dapat dilakukan
oleh guru itu sendiri atau langsung oleh anak didik. Dengan metode
demonstrasi guru atau murid memperlihatkan pada seluruh anggota
kelas sesuatu proses, misalnya bagaimana cara shalat yang sesuai
dengan ajaran/contoh Rasulullah saw.

d. Metode Pemberian Tugas (resitasi)


suatu cara dalam proses belajar- mengajar bilamana guru memberi
tugas tertentu dan siswa mengerjakannya, kemudian tugas tersebut
dipertanggung jawabkan pada guru. Dengan cara demikian diharapkan
agar murid belajar secara bebas tapi bertanggung jawab dan murid-
murid akan berpengalaman mengetahui berbagai kesulitan kemudian
berusaha untuk ikut mengatasi kesulitan-kesulitan itu.3

e. Metode eksperimen
Metode Eksperimen (percobaan) adalah cara penyajian pelajaran,
pada saat siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan
membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari.4 metode eksperimen
adalah: cara pengajaran ketika guru dan murid bersama-sama
melakukan suatu latihan atau percobaan untuk mengetahui pengaruh
atau akibat dari suatu aksi.

f. Metode Dril (latihan)


Zuhairini mendefinisikan bahwa metode drill adalah suatu metode
dalam pengajaran dengan jalan melatih anak didik terhadap bahan
pelajaran yang sudah diberikan.
Menurut Roestiyah N.K., metode drill adalah suatu teknik yang
dapat diartikan dengan suatu cara mengajar sehingga siswa
3
Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Cet.IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
4
Syaiful Bahri Djamarah, dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Cet.III; Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006)
melaksanakan latihan-latihan agar memiliki ketangkasan atau
keterampilan yang lebih tinggi dari apa yang telah dipelajari.5

C. Problematika Metode Pemaknaan, Pemahaman dan Pengalaman


Qur’an Hadis
Problematika berasal dari kata problem yang berarti masalah atau
persoalan, dalam kamus besar bahasa Indonesia problematika berarti masih
menimbulkan masalah atau masih belum dapat dipecahkan. Masalah dapat
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Masalah atau problem ada dalam
setiap kehidupan yang disebabkan misalnya dari dorongan untuk selalu
meningkatkan hasil kerja, dari membaca buku, dari orang lain, dari diri
sendiri dan sebagainya, besar maupun kecil, sedikit maupun banyak setiap
orang pasti memiliki masalah. Hanya bedanya ada masalah yang dapat di
atasi, tetapi ada pula yang memerlukan penelitian. Di dalam pelaksanaan
pembelajaran, terkadang timbul masalah yang tidak diduga sejak semula.
Sehingga akan menjadi penghambat untuk kelancaran pelaksaan
pembelajaran tersebut. Maka seorang guru, harus memikirkan waktu
merancanakan suatu desain sistem pembelajaran, kemungkinan timbulnya
masalah itu. Dengan harapan paling tidak sudah dapat meramalkan dan
mencari jalan keluar untuk pemecahannya. Bertitik tolak pada pengertian
metode pengajaran, yaitu suatu cara penyampaian bahan ajar untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan, maka fungsi metode mengajar tidak dapat
diabaikan karena metode tersebut turut menentukan berhasil tidaknya suatu
proses belajar mengajar dan merupakan bagian yang integral dalam sistem
pengajaran.6
Untuk metode, masalah yang sering muncul adalah penggunaan metode
yang monoton, hanya ceramah dan penugasan. Dikarenakan kurangnya
informasi bahwa sebenarnya banyak metode yang bisa membangkitkan
5
Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. 1; Jakarta: Ciputat Pers,
2002)
6
Ahmad Rohani dan Abu Ahmad, Pengelolaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2017)
semangat, motivasi, keaktifan belajar peserta didik. Dari masalah metode di
atas berakibat peserta didik malas, mengantuk, ramai dan ngomong sendiri
sehingga dalam proses pembelajaran kurang semaksimal mungkin. Oleh
karena itu, pendidik atau guru harus bisa menvariasikan metode agar peserta
didik tidak bosan dan terus bersemangat dalam proses pembelajaran.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan isi pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa yang pertama, pengertian metode pemaknaan, pemahaman, dan
pengamalan Qur’an Hadis adalah menitikberatkan pada pemaknaan,
pemahamaan, dan pengamalan yang bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an
(firman Allah SWT) dan terautentikasi kebenarannya, dan dari Hadis yang
merupakan perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW dengan
memperhatikan sanad, matan, dan periwayatnya. Adapun metode
pemahamannya atau penafsirannya dapat dilakukan dengan empat cara yaitu
dengan tafsir at-tahili, al-ijmai, al-muqaron, dan al-maudhui.
Kedua, dalam pengamalannya pada pembelajaran Qur’an Hadis di
madrasah/sekolah, dapat dilakukan dengan enam metode, yaitu metode
tanya jawab, diskusi, ceramah, demonstrasi, dril, dan eksperimen.
Ketiga, dalam pelaksanaan metodenya dapat mengalami problematika
diantaranya adalah penggunaan metode yang monoton, hanya ceramah dan
penugasan. Dikarenakan kurangnya informasi bahwa sebenarnya banyak
metode yang bisa membangkitkan semangat, motivasi, keaktifan belajar
peserta didik. Dari masalah metode di atas berakibat peserta didik malas,
mengantuk, ramai, sehingga pembelajaran kurang semaksimal mungkin.

B. Saran
Sebagai pendidik atau guru anak usia dini sebaiknya bisa menvariasikan
metode pemaknaan, pemahaman, maupun pengamalan Qur’an Hadis kepada
peserta didiknya sevariatif mungkin agar peserta didik senantiasa mencintai
Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber pedoman hidup, dan agar tidak bosan
dan terus bersemangat dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Umar, Nasaruddin. 2014. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis.


Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia.
Darajat, Zakiah. 2008. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Cet.IV;
Jakarta: Bumi Aksara.
Djamarah, Syaiful Bahri, dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar.
Cet.III; Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Arif, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Cet. 1;
Jakarta: Ciputat Pers.
Rohani, Ahmad dan Abu Ahmad. 2017. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai