Anda di halaman 1dari 23

WRAP UP SKENARIO 3

“INTOKSIKASI OPIAT”

Kelompok B2

Ketua : Yuriz Neuzila (1102018200)

Sekretaris : Alyka Sheila Masah (1102018202)

Anggota : Rafika Tasya Andani (1102018194)

Afifah Humairah Putri Hasya (1102018192)

Alya Fauzziyya Rahma (1102018198)

Ramadhian Anka Dewo (1102018193)

Afifah Humairah Putri Hasya (1102018192)

Neng Lusi FA (1102018206)

Muhammad Malik Fajar (1102018207)

BLOK MULTISISTEM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI JAKART

1
DAFTAR ISI

SKENARIO 3.................................................................................................................................2

KATA-KATA SULIT....................................................................................................................3

PERTANYAAN.............................................................................................................................4

JAWABAN.....................................................................................................................................4

HIPOTESIS....................................................................................................................................6

SASARAN BELAJAR...................................................................................................................7

SASARAN BELAJAR...................................................................................................................8

MEMAHAMI DAN MENJELASKAN OPIOID....................................................................8


1.1. Definisi.............................................................................................................................8
1.2. Jenis dan efek...................................................................................................................8
1.3. Sindroma Putus Obat.....................................................................................................10
1.4. Mekanisme kerja opioid..................................................................................................11
1.4. Undang-undang penggunaan opioid...............................................................................12
1.5. Tatalaksana dan konseling penggunaan opioid..............................................................13

Memahami dan menjelaskan intoksikasi opioid...................................................................15


2.1. Definisi...........................................................................................................................15
2.2. Manifestasi klinis...........................................................................................................16
2.3. Pemeriksaan penunjang..................................................................................................16
2.4. Tatalaksana.....................................................................................................................17
2.5. Pencegahan.....................................................................................................................17
2.6. Perbedaan intoksikasi opioid dengan organofosfat........................................................18
2.7 Narkoba menurut pandangan Islam..................................................................................19

Daftar pustaka...............................................................................................................................1

1
SKENARIO 3
INTOKSIKASI OPIAT

Seorang laki-laki Tn. RK, 32 tahun, dibawa ke RS karena tidak sadarkan diri sejak 2 jam
sebelum masuk RS. Dari teman yang membawa pasien didapat keterangan bahwa pasien baru
menggunakan obat terlarang heroin yang disuntikkan oleh pasien sendiri. Pada pemeriksaan
terlihat kesadaran sopor. Tekanan darah 95/60 mmHg, frekuensi nadi 110x/menit, frekuensi
pernafasan 14x/menit. Pemeriksaan mata terlihat pupil miosis dan refleks cahaya normal. Bunyi
jantung terdengar normal. Bising usus terdengar meningkat. Ekstremitas superior dan inferior
tidak terdapat parese, akral teraba hangat dan tidak ada edema. Hasil laboratorium urin terdapat
opiat. Setelah diberikan nalokson, pasien kembali sadar. Selanjutnya dilakukan konseling untuk
mengatasi ketergantungan opiat pada dirinya

2
KATA-KATA SULIT
1. Heroin: Salah satu jenis obat golongan narkotika dan obat ini sering disalahgunakan
dapat menimbulkan efek berupa halusinasi, penurunan kesadaran, dan kecanduan. Di
Indonesia sendiri mendapat sebutan putaw.
2. Opiat: Senyawa narkotika yang ada dalam tiap kandungan obat sebagai penghilang
rasa nyeri akan tetapi dalam penggunaan yang berlebihan akan menimbulkan
ketergantungan yang mengakibatkan fatal.
3. Nalokson: Obat antagonis reseptor opioid yang digunakan sebagai antidotum
overdosis obat opioid.
4. Pupil miosis: Kondisi dimana kedua mata mengecil secara tak kendali.
5. Parase: Suatu kondisi dimana ditandai oleh lemahnya gerak badan atau hilangnya
sebagian gerakan badan atau adanya gangguan gerakan.
6. Sopor: Keadaan mengantuk yang dalam. Pengidapnya masih dapat dibangunkan
dengan rangsangan kuat. Namun mereka tidak terbangun dengan sepenuhnya dan
tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik.

3
PERTANYAAN
1. Bagaimana tanda atau gejala seseorang mengalami intoksikasi opioid?
2. Apa tanda-tanda orang yang memakai heroin?
3. Mengapa pada pasien akral teraba hangat?
4. Bagaimana mengatasi ketergantungan penyalahgunaan opioid?
5. Apa saja efek samping yang akan terjadi dari penggunaan heroin?
6. Apa saja komplikasi yang dapat ditemukan dengan penggunaan heroin?
7. Apa saja yang termasuk dalam golongan opioid?
8. Mengapa pada pasien ditemukan adanya pupil miosis?

JAWABAN
1. Kesadaran menurun, sopor hingga koma, depresi pernapasan, pupil miosis, tampak
sianotik, TD normal nya baik tapi menjadi hipotensi, hipotermia, bradikardi, dan
kejang.
2. Tanda biru-biru di kulit, bibir, dan kuku, napas menjadi pendek dan lambat, mata
merah dan pupil terlihat tidak jelas, terlihat lesu dan malas yang tidak wajar,
mengabaikan kebersihan, berat badan menjadi turun, ada bekas suntikan pada tubuh,
hidung dan mata sering berair, menarik diri dari kehidupan sosial, lebih sering
menyendiri, kemampuan mengingat menurun, mengalami disorientasi di banyak hal
dan sulit berkomunikasi.
3. Adanya pelebaran pembuluh darah kulit sehingga kulit tampak merah dan terasa
panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh
bertambahnya peredaran darah dikulit akibat efek sentral dan perlepasan histamin.
4. Melakukan terapi
a. Withdrawal opioid: Pasien dengan gejala putus obat, membutuhkan
lingkungan yang mendukung mereka.
b. Diberikan obat terapi seperti klonidin yang dapat digunakan untuk
mengurangi gejala putus obat dengan menekan perasaan gelisah, lakrimasi,
rhinorrhea, dan keringat berlebih. Dosis obat klonidin diberikan 0,1-0,2 mg
tiap 8 jam.

4
Terapi detoksifikasi adiksi opioid
a. Methadone, dengan dosis yang dianjurkan untuk terapi detoksifikasi adalah 2-3
kali dengan dosis 5-10 mg per oral.
b. Buprenorphine, dengan dosis rendah 1,5-5mg sublingual setiap 2-3 kali seminggu.
Yang dilaporkan lebih efektif dan efek withdrawalnya lebih ringan dari metadone
Untuk intoksikasi opioid
a. Memperbaiki tanda vital pasien: tekanan darah, pernapasan, denyut nadi,
temperatur suhu badan
b. Diberikan antidotum nalokson
c. Diobservasi selama 24 jam sehingga tanda vital stabil.
d. Apabila pasien apnea, dapat diberikan bantuan farmakologis atau mekanik untuk
stimulasi pernapasan.
e. Apabila laju pernapasan kurang dari 12 kali per menit, bisa dilakukan chin lift,
jaw thrust, dipasang ventilasi dengan bag valve mask.
5. Mulut kering, kulit terasa hangat kadang disertai rasa gatal, tangan dan kaki terasa
berat, mual dan muntah, sulit berkonsentrasi, penurunan kesadaran, insomnia, infeksi
di lokasi suntikan, dan disfungsi seksual.
6. Ada trauma atau cedera tumpul lainnya, delirium, distorsi persepsi, konvulsi.
7. Opioid diklasifikasi berdasarkan efek reseptornya
a. Agonis opioid kuat: Morphine, Heroin, methadone, phentermine, dll.
b. Agonis opioid rendah-sedang: Kodein, oksikodon, propoxifeno
c. Agonis parsial opioid: Buprenorfin, pentazocine, nalbuphine.
d. Antagonis opioid: Naloxone, naltrexone.
8. Pemberian morfin secara sistematik dapat menimbulkan miosis yang terjadi akibat
stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N.III

5
HIPOTESIS
Opioid adalah senyawa narkotika yang ada dalam tiap kandungan obat sebagai penghilang rasa
nyeri akan tetapi dalam penggunaan yang berlebihan akan menimbulkan ketergantungan yang
mengakibatkan fatal. Opioid dapat diklasifikasikan berdasarkan efek reseptornya yaitu agonis
opioid kuat, rendah-sedang, parsial opioid, dan antagonis opioid. Apabila seseorang mengalami
intoksikasi opioid mereka akan mengalami kesadaran menurun, sopor hingga koma, depresi
pernapasan, pupil miosis, tampak sianotik, TD normal tapi akan menjadi hipotensi apabila
pernapasannya terganggu, hipotermia, bradikardi, dan kejang. Cara mengatasi intoksikasi opioid
adalah dengan memperbaiki tanda vital pasien, melakukan observasi, diberikan naloxone.

6
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan menjelaskan Opioid
1.1. Definisi
1.2. Jenis dan efek
1.3. Mekanisme kerja opioid
1.4. Undang-undang penggunaan opioid
1.5. Tatalaksana dan konseling penggunaan opioid
2. Memahami dan menjelaskan intoksikasi opioid
2.1. Definisi
2.2. Manifestasi klinis
2.3. Pemeriksaan penunjang
2.4. Tatalaksana
2.5. Pencegahan
2.6. Perbedaan intoksikasi opioid dengan organofosfat

7
SASARAN BELAJAR
MEMAHAMI DAN MENJELASKAN OPIOID
1.1. Definisi
Opioid adalah setiap narkotik sintetik yang mempunyai aktivitas menyerupai opiat namun
tidak berasal dari opium. Opioid adalah salah satu jenis golongan obat anti nyeri yang dapat
berikatan secara spesifik dengan reseptor opioid di tubuh manusia. Aktivasi reseptor opioid dapat
memberikan efek analgesik kuat terhadap nyeri yang sedang dirasakan manusia.

1.2. Jenis dan efek


Opiat merupakan turunan dari tanaman opium. Contoh obat yang termasuk dalam
golongan opiat adalah morfin dan kodein. Opioid adalah derivat semisintetik dari opium dan
molekul lain yang dapat mengaktivasi reseptor opioid. Contoh obat yang termasuk dalam
golongan opioid adalah metadon, oksikodon, dan buprenorfin (5).
Opiat/ opioid diklasifikasikan berdasarkan efek pada reseptornya. Opiat/ opioid yang
setelah berikatan dengan reseptor mengaktifkan pensinyalan sekunder dinamakan agonis;
mengaktifkan tetapi tidak sekuat agonis disebut agonis parsial; dan yang tidak memberikan efek
atau memberikan efek yang berlawanan dengan agonis digolongkan sebagai antagonis (6).
Pembagiaannya adalah sebagai berikut (7):
1. Agonis opioid kuat: morfin, heroin, meperidin, metadon, alfentanil, fentanil,
remifentanil, sufentanil
2. Agonis opioid rendah-sedang: kodein, oksikodon, propoksifen
3. Agonis parsial opioid: buprenorfin, butorfanol, nalbufin, pentazosin
4. Antagonis opioid: nalokson, naltrekson

Berdasarkan struktur kimia, opioid dibedakan menjadi 3 kelompok yakni alami,


semisintesis, dan sintesis (Joewana, 2004).

Golongan alami (natural)


Salah satu jenis opioid alami adalah candu atau opium. Dari candu ini dihasilkan morfin
dan kodein. Opium atau candu adalah getah Papaver Somniferum L yang telah dikeringkan.
Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan fenantren yang
terdiri dari morfin, kokain dan kodein serta golongan benzilisokuinolin yang terdiri dari noskapin
dan paperavin. Dari alkaloid golongan fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivat
semisintetis. Kodein digunakan sebagai bagian dari terapi utuk klien yang sedang dalam masa
withdrawal (gejala putus obat) yang sedang menjalani perawatan intoksifikasi (BNN, 2009).

Golongan semisintetis
Opioid golongan semisintesis adalah opioid yang di sintesis dari opioid alami (opium).
Yang termasuk opioid semisintesis adalah heroin (diacethylmorphine), hidromorfon, etorfin, dan
diprenorfin. Heroin adalah sintesa dari morfin. Heroin kira-kira dua kali lebih kuat dari morfin
dan opioid yang paling sering digunakan pada orang dengan gangguan yang berhubungan
dengan opioid. Heroin yang secara farmakologis mirip dengan morfin, menyebabkan analgesia,
mengantuk. Heroin lebih dikenal dengan nama putaw (Depkes, 2006). Heroin merupakan opioid
yang paling sering disalahgunakan pada orang dengan penyalahgunaan opioid dan lebih kuat
serta lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin. Karena sifat tersebut heroin melewati
sawar darah otak lebih cepat dan mempunyai onset yang lebih cepat dibandingkan morfin.
Ratarata dosis penyalahgunaan heroin 3 mg yang setara dengan kekuatan 10 mg morfin
(Joewana, 2004).
Heroin juga termasuk jenis napza yang paling berat menimbulkan ketergantungan baik
fisik maupun mental serta menimbulkan reaksi putus zat (withdrawal) yang lebih berat
dibandingkan zat lainnya (Shives, 2005). Heroin dapat digunakan dengan cara dihisap atau
disuntik (Depkes, 2002). Namun paling banyak ditemukan penggunan heroin dengan cara
disuntik akan mempercepat reaksi, dan lebih ekonomis. Pola penggunaan dengan cara disuntik
pada pengguna opioid jenis heroin berdampak pada resiko yang disebabkan karena tindakan
penyuntikan, bahan pelarut bahkan juga perilaku saling tukar menukar jarum suntik antar sesama
pengguna (Depkes, 2006).

Golongan sintetis
Opioid sintesis adalah golongan opioid yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak
didapatkan dari opium alias sintesis buatan. Narkotika sintetis pertama yang dihasilkan mula-
mula adalah meperidin. Meperidin secara kimia tidak sama dengan morfin, tetapi menyerupai
dalam kekuatan analgesik. Meperidin mungkin merupakan yang digunakan secara luas untuk

9
meringankan rasa sakit yang sedang dan sangat parah. Diberikan melalui mulut atau injeksi.
Toleransi dan ketagihan tumbuh dengan penggunaan kronis, dan dosis besar dapat
mengakibatkan kejang.
Metadon secara kimiawi termasuk keluarga opioid seperti heroin dan morfin, tetapi
sejatinya metadon bukanlah opioid karena metadon dihasilkan secara sintesis buatan bukan alami
yang berasal dari opium. Ia bekerja menekan fungsi susunan saraf pusat, mempunyai efek
analgesik kuat. Metadon yang diberikan secara intravena mempunyai potensi sama dengan
morfin. Pencapaian kadar puncak dalam cairan tubuh adalah 2-4 jam setelah masuk dalam tubuh.
Waktu paruh dosis berulang adalah 22 jam, tetapi sangat bervariasi dari orang ke orang (Henry
R.K & Domenic A.C, 2005).

1.3. Sindroma Putus Obat


Serangkaian gejala fisik dan psikologis yang muncul ketika pecandu obat-obatan atau
alkohol tidak lagi mendapatkan zat tersebut, seperti biasanya. Kondisi ini sering juga disebut
dengan istilah sakau atau gejala putus obat.
Gejala withdrawal syndrome bisa berbeda-beda dan tergantung pada jenis obat-obatan
atau zat yang digunakan oleh penderita. Namun, pada umumnya, tanda dan gejala putus obat
meliputi:
● Berkurangnya nafsu makan
● Perubahan suasana hati (mood)
● Hidung mampet atau berair
● Rasa lelah
● Lebih mudah tersinggung
● Gelisah
● Menggigil
● Nyeri otot
● Mual
● Muntah
● Sulit tidur

10
● Gemetaran (tremor)
● Berkeringat

Di samping gejala di atas, putus obat juga dapat menyebabkan delirium tremens. Ini
adalah bentuk withdrawal syndrome yang paling parah akibat berhenti konsumsi alkohol.
Gejala yang mungkin muncul, seperti:
● Kejang
● Halusinasi
● Delirium

1.4. Mekanisme kerja opioid


Opioid dapat menimbulkan efek analgesik melalui mekanisme perifer. Reseptor opioid
yang terdapat pada jaringan saraf perifer dilapisi oleh mielin tipis. Respons inflamasi
mengakibatkan penambahan jumlah reseptor opioid perifer dan densitas bertambah dalam
hitungan menit sampai jam setelah respons inflamasi dimulai. Dari pernyataan ini dapat
disimpulkan bahwa mekanisme kerja opioid dapat dipakai untuk mengatasi nyeri melalui
mekanisme perifer.
Reseptor opioid secara luas terdistribusi dalam sistem saraf pusat yang dikelompokkan
menjadi 3 tipe utama yaitu μ, κ, dan σ.reseptor. μ reseptor memiliki jumlah yang paling banyak
di otak dan merupakan reseptor yang paling berinteraksi dengan opioid analgesik untuk
menghasilkan efek analgesik. Sedangkan κ dan σ reseptor menunjukkan selektivitas terhadap
enkefalin dan dinorfin secara respektif. Aktivasi κ reseptor juga dapat menghasilkan efek
analgesik, namun berlawanan dengan μ agonis, yang dapat menyebabkan euforia. Beberapa
opioid analgesik menghasilkan efek stimulan dan psikomotorik dengan beraksi pada σ reseptor.
Aktivasi pada μ dan σ reseptor dapat menyebabkan hiperpolarisasi pada saraf dengan
cara mengaktivasi K chanel melalui proses yang melibatkan G-protein.Sedangkan aktivasi κ
reseptor dapat menghambat membrane Ca2+ channel. Sehingga dapat merintangi peletupan
neuronal dan pelepasan transmitter. Salah satu reseptor utama dalam sistem opiat/ opioid adalah
reseptor opioid mu (ROM). Reseptor opioid mu terdistribusi secara luas dalam sistem saraf
pusat, terutama di striatum, talamus, nukleus traktus solitarius, lokus serulus, area ventral
tegmental, substantia nigra, pars kompakta dan saraf tulang belakang dan memodulasi pelepasan.

11
Reseptor opioid mu (ROM) termasuk dalam G-protein-coupled reseptor (GPCR)
superfamily yang memiliki 7 domain protein transmembrane. ROM berikatan dengan protein G
inhibitor Gi/Go heterotrimerik. Ketika agonis berikatan dengan reseptor, hal tersebut
menginduksi perubahan GDP menjadi GTP pada protein G yang menyebabkan disosiasi reseptor
dan protein G. Subunit alfa dan subunit β/γ juga mengalami disosiasi. Subunit β/γ mengaktifkan
saluran G protein–activated inwardly rectifying potassium (GIRK) dan menghambat saluran
tegangan-sensitif kalsium. Saluran K+ dan Ca2+ adalah target selular yang segera dari kerja
opioid. Pembukaan saluran K+ menyebabkan hiperpolarisasi dan penghambatan impuls dan
bertanggung jawab terhadap sebagian besar efek sitemik dari pemberian opioid. Inhibisi dari
saluran-saluran yang tergantung pada Ca2+ menghambat pelepasan neurotransmitter.
ROM memiliki 2 tipe reseptor yaitu μ1 and μ2. Kedua jenis reseptor ini memiliki fungsi
yang berbeda: reseptor μ1 berperan dalam analgesia dan reseptor μ2 berperan dalam depresi
pernafasan dan dependensi fisik. Aktivasi ROM akan semakin meningkat dengan meningkatnya
jumlah opioid yang dimasukkan ke dalam tubuh (Veerasingam, 2017).

1.4. Undang-undang penggunaan opioid


Menurut Undang-undang Tentang Narkotika No. 35, opium termasuk dalam narkotika
golongan I sedangkan obat-obat opioid termasuk golongan II dan III. Berdasarkan pasal 8 ayat 1
dan 2, narkotika golongan I dilarang digunakan untuk tujuan medis namun boleh digunakan
dalam jumlah terbatas untuk kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapatkan persetujuan
menteri atas rekomendasi kepala BPOM. Menurut pasal 53 ayat 1-3, narkotika golongan II dan
III dapat diberikan dokter dalam jumlah terbatas untuk kepentingan medis. Pasien juga dapat
memiliki obat-obatan tersebut jika didapatkan dengan sah. Menurut pasal 56, rehabilitasi untuk
kecanduan dapat dilakukan oleh rumah sakit yang sudah ditunjuk oleh menteri atau lembaga
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat yang sudah disetujui menteri (Database
Peraturan [JDIH BPK RI], n.d.).
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2010, seorang pengguna opioid
diharuskan mengikuti program rehabilitasi bila ditemukan barang bukti pemakaian narkoba, hasil
uji laboratorium positif, mendapat surat keterangan dari psikiater yang ditunjuk pemerintah, dan
tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkoba. Tempat-tempat yang ditunjuk untuk
rehabilitasi adalah lembaga rehabilitasi sosial yang dikelola dan/atau dibina dan diawasi oleh

12
BNN, Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur, rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia, Panti
Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis Daerah, dan tempat-tempat
rujukan rehabilitasi yang diselenggarakan masyarakat yang mendapatkan akreditasi dari
Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial. Durasi rehabilitasi adalah 1 bulan untuk
detoksifikasi dan stabilisasi, 6 bulan untuk program primer, dan 6 bulan untuk program re-entry.

1.5. Tatalaksana dan konseling penggunaan opioid


Rehabilitasi Medis
1. (Detoksifikasi) D.O.C.A.
(Detoksifikasi Opioid Cepat Dengan Anestesia) adalah cara mutakhir detoksifikasi opioid
yang efektif dan aman yang berkembang saat ini untuk penanggulangan awal ketergantungan
opioid. Cara ini akan mengeluarkan opioid dengan cepat dan sebanyak mungkin dari reseptornya
di otak yang dipicu oleh obat lawannya (antagonis opioid) selama kurang lebih 4-6 jam. Karena
pengaruh obat antagonis opioid lebih kuat daripada opioid itu sendiri di reseptornya maka secara
kompetitif opioid dipaksa keluar dari tubuh. Dengan demikian dipastikan akan berdampak putus
opioid yang jauh lebih hebat daripada yang biasanya dialami. Karena itu sangat manusiawi bila
cara ini dilakukan dengan pembiusan sehingga pasien tidak merasakan gejala putus opioid yang
dipicu oleh antagonisnya. (Michelle E. Allen, 2004).

2. Terapi Substitusi
a) Pengertian
Terapi substitusi dijalankan apabila kebutuhan detoksifikasi setelah proses intoksifikasi
pada klien dianggap tidak cukup membantu atau tidak mungkin diterapkan untuk klien.
Sehingga, klien diarahkan untuk menggunakan terapi rumatan atau substitusi (pengganti).
Metadon dipilih sebagai terapi utama substitusi karena memiliki efek menyerupai morfin dan
kokain dengan masa kerja yang lebih panjang (24-36 jam) sehingga dapat diberikan satu kali
sehari. Selain itu, terapi substitusi rumatan metadon juga merupakan program pengurangan
dampak buruk (harm reduction) yakni mengalihkan penggunaan opioid dari menyuntik ke oral,
guna mengurangi transmisi resiko infeksi penularan HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik
secara bergantian diantara sesama pengguna (Depkes, 2006).

13
b) Dosis
Menurut Depkes (2006), prinsip PTRM adalah strart low, go low, aim high, artinya memulai
dosis dari yang rendah, peningkatan dosis perlahan dan dosis rumatan yang tinggi yang lebih
efektif, selain itu klien diharuskan datang setiap hari ke layanan PTRM. Menurut Hawari (2006)
perilaku pengguna opioid jenis heroin cenderung tidak sabar, dan ingin cepat merasakan manfaat
terapi dan menghindari ketidaknyamanan. Oleh karena itu memulai dosis dengan rendah dan
peningkatan dosis yang perlahan serta mengharuskan datang setiap hari pada klien
ketergantungan opioid yang menjalani PTRM membutuhkan motivasi dan tingkat kepatuhan
yang tinggi. Dosis metadon harus dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung
dari keadaan pasien. Selain itu banyak pengaruh sosial lainnya yang menjadi pertimbangan
penyesuaian dosis. Dosis rumatan metadon rata-rata adalah 60-120 mg perhari. Fase ini dapat
berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil baik dalam bidang pekerjaan, emosi dan
kehidupan sosial (Depkes, 2006). Pada penelitian di RSKO pada tahun 2009, penggunaan dosis
harian metadon pada klien PTRM di RSKO dibagai menjadi 3 kategori, yaitu : rendah (kurang
dari 40 mg), sedang (40-80 mg) dan tinggi (lebih dari 80 mg). Beberapa kriteria penambahan
dosis seperti adanya tanda dan gejala putus opioid (objektif dan subjektif), jumlah dan/atau
frekuensi penggunaan opioid tidak berkurang, dan craving (dorongan untuk menggunakan zat
kembali) tetap masih ada (Quraesyin, 2009).
Dosis metadon yang diminum dapat menimbulkan efek setelah 30 menit. Efek
konsentrasi puncak didapatkan 3-4 jam setelah diminum dengan masa kerja 24 jam. Metadon
mencapai kadar tetap dalam tubuh setelah penggunaan 3-10 hari, setelah stabilisasi dicapai
variasi konsentrasi metadon dalam darah tidak terlalu besar dan gejala putus obat lebih mudah
dicapai (Depkes, 2006).

c) Satelit Terapi Rumatan


Satelit PTRM adalah unit layanan terapi rumatan metadon yang sudah mandiri dalam hal
sistem dan penyimpanan metadon selain di rumah sakit. Satelit PTRM disediakan di wilayah
lokal dimana prevalensi penasun dan HIV/AIDS menunjukkan peningkatan secara signifikan.
Satelit PTRM harus memenuhi kriteria sebagai penyedia layanan kesehatan. Satelit PTRM
adalah sarana pelayanan kesehatan misalnya rumah sakit, puskesmas, dan unit kesehatan
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) khusus untuk penanganan kasus narapidana narkotika).

14
Rumah sakit yang merupakan rujukan untuk terapi metadon adalah merupakan pengampu bagi
satelit PTRM, serta memiliki tanggung jawab untuk pendampingan klinis pemberian pelayanan
terapi metadon di satelit PTRM (Kemenkes RI, 2008). PTRM Puskesmas Kendalsari merupakan
salah satu satelit PTRM dan RS Saiful Anwar sebagai rumah sakit pengampu. Satelit dapat
melakukan rujukan ke RS rujukan PTRM. Selain itu satelit berguna untuk menjangkau Penasun
secara lebih luas di wilayah kerjanya.

Rehabilitasi Non Medis


1. Balai Rehabilitasi
Rehabilitasi tanpa penggunaan obat yang meliputi mengubah gaya hidup, keterampilan
cara pemecahan masalah, menambah kemampuan dalam keterampilan strategi koping yang bisa
di dapat melalui tempat-tempat rehabilitasi, rumah pulih atau balai rehabilitasi yang didalamnya
menampung kelompok para pecandu narkoba (Marlatt, Parks & Witkiewitz, 2002) .

2. Bina Lanjut (After Care)


Periode proses aftercare sangat bervariasi karena tahap ini merupakan tahap yang
terpenting dan sangat menentukan untuk mempersiapkan si penderita kembali ke lingkungan
semula. Fase ini memegang peranan vital, dimana penderita ditumbuhkan kembali rasa
kepercayaannya, menumbuhkan semangat dan keyakinan bahwa dia akan kembali normal,
bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan. Yang paling utama adalah pembinaan mental
dan spiritual, keimanan dan ketakwaan. Proses ini meliputi program pembinaan jasmani dan
rohani. Dalam fase ini akan memperoleh kesehatan fisik dan jiwa, berkurangnya perilaku dan
aktivitas kriminal, dan memfasilitasi kembalinya klien ke masyarakat seperti memperoleh status
bekerja, dan memperoleh serta melanjutkan pendidikan, rumah dan fungsi sosial lainnya
(Depkes, 2006).

Memahami dan menjelaskan intoksikasi opioid


2.1. Definisi
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang
mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi,
persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan respon psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa

15
keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan
ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan kematian

2.2. Manifestasi klinis


Perubahan psikologis dan perilaku yang bermasalah dan nyata secara klinis
· Euforia diikuti dengan apati
· Disforia
· Agitasi psikomotor atau retardasi psikomotor
· penilaian yang terganggu yang terjadi saat atau segera setelah penggunaan opiat/opioid
· Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil yang disebakan oleh anoksia akibat penggunaan
dosis berlebih yang parah), dan satu atau lebih tanda atau gejala yang terjadi selama
atau segera setelah penggunaan opiat/ opioid:
o Mengantuk atau koma
o Bicara cadel
o Gangguan perhatian dan memori

2.3. Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
Pasien dengan overdosis obat biasanya menjalani beberapa pemeriksaan penunjang.
Skrining obat sudah tersedia tetapi seringkali tidak mengubah manajemen awal kasus langsung.
Skrining obat bila dilakukan pada urin dan cukup sensitif. Dalam kebanyakan kasus, hasil opiat
positif akan muncul dalam darah: 3-12 jam urin: 1-3 hari, ludah/saliva: 3-24 jam, rambut: 7 - 90
hari.
Pada pasien dengan toksisitas opiat atau overdosis, pemeriksaan darah berikut biasanya
dilakukan:
a. Jumlah sel darah lengkap
b. Panel metabolik yang komprehensif
c. Tingkat kreatin kinase
d. Penentuan gas darah arteri

2. Imaging

16
a. Jika ada cedera paru-paru yang dicurigai, X-ray dada harus dilakukan.
Jika pasien dicurigai sebagai body packer (menelan paket obat-obatan terlarang yang
dibungkus), maka harus dilakukan rontgen perut. Dalam beberapa kasus, seseorang mungkin
menelan paket untuk menyembunyikan bukti dari penegak hukum. Dalam kasus seperti itu, paket
tidak disiapkan dengan baik, dan orang-orang ini berisiko mengalami keracunan parah jika
terjadi kebocoran di dalam usus.
b. Elektrokardiografi
EKG direkomendasikan pada semua pasien dengan dugaan overdosis opioid. Coingestant
seperti trisiklik berpotensi menyebabkan aritmia

2.4. Tatalaksana
o Deteksi dini dan tegakkan diagnosis dengan segera.
o Lakukan anamnesis dan pemeriksaan dengan segera dan dalam waktu singkat.
o Pemeriksaan fisik dan laboratorium
- Gejala utama : Miosis (kontriksi pupil) sampai pint point pupil, ucapan yang tidak jelas,
depresi respiratorik, hipotensi, hipotermia, bradikardia, konstipasi, serta mual dan muntah.
- Pemeriksaan urin
o Penatalaksanaan
- Perbaiki tanda vital (tekanan darah, pernafasan, denyut nadi, temperatur suhu badan)
- Berikan antidotum Naloxon HCL (Narcan, Nokoba) dengan dosis 0,01mg/kgBB secara
IV/IM,/SC
- Kemungkinan perlu perawatan ICU, khususnya bila terjadi penurunan kesadaran
- Observasi selama 24 jam untuk menilai stabilitas tanda-tanda vital

2.5. Pencegahan
Ada berbagai cara untuk membantu mengurangi paparan opioid dan mencegah penyalahgunaan
opioid, seperti:
● Program pemantauan obat resep
● Undang-undang obat resep negara
● Strategi pengelolaan formularium dalam program asuransi, seperti otorisasi sebelumnya,
batasan jumlah, dan tinjauan penggunaan obat

17
● Perincian akademik untuk mendidik penyedia tentang pedoman peresepan opioid dan
memfasilitasi percakapan dengan pasien tentang risiko dan manfaat dari pilihan pengobatan
nyeri
● Program peningkatan kualitas dalam sistem perawatan kesehatan untuk meningkatkan
penerapan praktik peresepan yang direkomendasikan
● Edukasi pasien tentang penyimpanan dan pembuangan resep opioid yang aman
● Tingkatkan kesadaran dan bagikan sumber daya tentang risiko resep opioid, dan biaya
overdosis pada pasien dan keluarga.

2.6. Perbedaan intoksikasi opioid dengan organofosfat


Organofosfat
Senyawa organofosfat menghambat asetilkolinesterase sehingga terjadi toksisitas akut. Sindroma
intermediate dapat terjadi pada sejumlah pasien dan dapat menyebabkan kelumpuhan pernapasan
dan kematian. Berikut adalah gambaran utama keracunan kronis senyawa organofosfat:
 Polineuropati: parestesia, kram otot, lemah, gangguan gaya berjalan.
 Efek terhadap SSP: kantuk, bingung, mudah tersinggung, cemas.
 Keracunan organofosfat telah dikaitkan dengan berbagai sindrom neurologis,
neurobehavioural, atau psikiatris yang subacute atau tertunda

Gejala, mekanisme

Opioid

Intoksikasi opiat/opioid akut adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh penggunaan opiat
dan/atau opioid dalam dosis cukup tinggi sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif,
persepsi, afek/mood, perilaku atau fungsi Gejala, mekanisme dan respon psiko fisiologis lainnya.
Intoksikasi opioid akut adalah suatu keadaan emergensi yang harussegera ditangani agar tidak
menimbulkan kematian.

18
2.7 Narkoba menurut pandangan Islam

Para ulama sepakat haramnya mengkonsumsi narkoba ketika bukan dalam keadaan
darurat. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Narkoba sama halnya dengan zat yang
memabukkan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan setiap zat yang dapat
menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walau tidak memabukkan” (Majmu’ Al Fatawa,
34: 204).

Dalil-dalil yang mendukung haramnya narkoba:

Pertama: Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ت َويُ َح ِّر ُم َعلَ ْي ِه ُم ْالخَ بَاِئ‬


‫ث‬ ِ ‫َوي ُِحلُّ لَهُ ُم الطَّيِّبَا‬

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk” (QS. Al A’rof: 157). Setiap yang khobits terlarang dengan ayat ini. Di antara makna
khobits adalah yang memberikan efek negatif.

Kedua: Allah Ta’ala berfirman,

‫َواَل تُ ْلقُوا بَِأ ْي ِدي ُك ْم ِإلَى التَّ ْهلُ َك ِة‬

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al Baqarah: 195).

‫َواَل تَ ْقتُلُوا َأ ْنفُ َس ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu” (QS. An Nisa’: 29).

19
Dua ayat di atas menunjukkan akan haramnya merusak diri sendiri atau membinasakan diri
sendiri. Yang namanya narkoba sudah pasti merusak badan dan akal seseorang. Sehingga dari
ayat inilah kita dapat menyatakan bahwa narkoba itu haram.

Ketiga: Dari Ummu Salamah, ia berkata,

‫ ع َْن ُكلِّ ُم ْس ِك ٍر َو ُمفَتِّ ٍر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari segala yang memabukkan dan mufattir
(yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud no. 3686 dan Ahmad 6: 309. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini dho’if). Jika khomr itu haram, maka demikian pula dengan mufattir
atau narkoba.

Keempat: Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو َم ْن تَ َحسَّى ُس َّما فَقَتَ َل نَ ْف َسهُ فَ ُس َّمهُ في يَ ِد ِه‬,‫َار َجهَنَّ َم يَتَ َر َّدى فِيهَا خَالِدًا ُم َخلَّدًا فيهَا اَبَدًا‬ ِ ‫َم ْن تَ َر َّدى ِم ْن َجبَ ٍل فَقَتَ َل نَ ْف َسهُ فَهُ َو في ن‬
‫َار َجهَنَّ َم خَالِدًا ُمخَ لَّدًا فِ ْيهَا‬
ِ ‫طنِ ِه فِ ْي ن‬ْ َ‫ و َم ْن قَتَ َل نَ ْف َسهُ بِ َح ِد ْي َد ٍة فَ َح ِد ْي َدتُهُ فِي يَ ِد ِه يَتَ َو َّجُأ في ب‬,‫َار َجهَنَّ َم خَالِدًا ُم َخلَّدًا فيهَا َأبَدًا‬
ِ ‫يَت ََحسَّاهُ في ن‬
‫َأبَدًا‬

“Barangsiapa yang sengaja menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati, maka dia di neraka
Jahannam dalam keadaan menjatuhkan diri di (gunung dalam) neraka itu, kekal selama
lamanya. Barangsiapa yang sengaja menenggak racun hingga mati maka racun itu tetap
ditangannya dan dia menenggaknya di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal selama
lamanya. Dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu akan ada
ditangannya dan dia tusukkan ke perutnya di neraka Jahannam dalam keadaan kekal selama
lamanya” (HR Bukhari no. 5778 dan Muslim no. 109).

Hadits ini menunjukkan akan ancaman yang amat keras bagi orang yang menyebabkan
dirinya sendiri binasa. Mengkonsumsi narkoba tentu menjadi sebab yang bisa mengantarkan
pada kebinasaan karena narkoba hampir sama halnya dengan racun. Sehingga hadits ini pun bisa
menjadi dalil haramnya narkoba.

Kelima: Dari Ibnu ‘Abbas, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

20
‫ضرا َر‬
ِ ‫ض َر َر وال‬
َ ‫ال‬

“Tidak boleh memberikan dampak bahaya, tidak boleh memberikan dampak bahaya” (HR. Ibnu
Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani
hadits ini shahih). Dalam hadits ini dengan jelas terlarang memberi mudhorot pada orang lain
dan narkoba termasuk dalam larangan ini.

21
Daftar pustaka
1. Angkejaya, o. (2018) opioid. Molluca medica 11(1)
2. Cdc. (2017) prevent opioid use disorder. Centers for disease control and prevention,
national center for injury prevention and control. Diakses pada 20 desember 2021,
https://www.cdc.gov/opioids/overdoseprevention/opioid-use-disorder.html
3. Pradibta, g. Y. (2017). Identifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi kejadian relapse
pada pasien penyalahgunaan opioid di puskesmas kendalsari unit ptrm kota malang
(doctoral dissertation, university of muhammadiyah malang).
4. Fadhalna, n. (2021). Asuhan keperawatan tn. J usia 22 tahun dengan diagnosa
intoksikasi opiat (doctoral dissertation, universitas hasanuddin).
5. Rafiqua, n. (2021). Withdrawal syndrome. Diakses pada 24 desember 2021:
https://www.sehatq.com/penyakit/withdrawal-syndrome
6. Database peraturan [jdih bpk ri]. (n.d.). Retrieved december 24, 2021, from
https://peraturan.bpk.go.id/
7. Bruneau, j. A. (2018). Management of opioiduuse disorders: a national clinical
practice guideline. Canadian medical association journal, 190 (9): e247– e257.
8. Veerasingam, k. V. (2017). Opioid untuk nyeri akut pasca bedah dan trauma. Fakultas
kedokteran, universitas udayana, 1302006289, 2–32.
9. Iskandar, s. (2015). Tatalaksana putus zat dan intoksikasi opioid. Bagian psikiatri fk
universitas padjadjaran/ rs hasan sadikin bandung.

Anda mungkin juga menyukai