Anda di halaman 1dari 21

Kesimpulan

Masalah sosial telah banyak di temui dan menimbulkan dampak buruk bagi bangsa, salah satu yang
menjadi sorotan ialah kekerasan yang terjadi kepada anak dalam lingkungan keluarga. KPAI
mencatat pada tahun 2014 terdapat 622 kasus kekerasan pada anak. Selain pemerintah yang
menangani kasus kekerasan pada anak, pemerintah juga dibantu dengan lembaga-lembaga yang
bergerak fokus dalam menangani kasus anak. Seperti Pekerja sosial pun masuk di dalamnya guna
memberikan peran yang tepat ketika menangani kasus anak-anak tersebut. Diantaranya adalah
UNICEF, Save the Children, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Anak
(LPA). Di dalam lembaga-lembaga tersebut terdapat pekerja sosial yang berperan penting dalam
menyelesaikan masalah, sebagai contoh pekerja sosial dapat menjadi advokator menurut
Departemen Sosial R.I BBPPKS.

Menurut Zastrow (1982) mengartikan advokasi adalah aktivitas menolong klien atau sekelompok
klien untuk mencapai layanan tertentu ketika mereka ditolak suatu lembaga atau suatu sistem
layanan, dan membantu memperluas pelayanan agar mencakup lebih banyak orang yang
membutuhkan. Dengan demikian advokasi dibutuhkan ketika pemerintah kurang peka terhadap
masalahmasalah tertentu, dan pekerja sosial dapat membantunya melalui mengadvokasi.

Perlunya peran pekerja sosial dalam mengatasi masalah kekerasan anak dalam keluarga karena
pekerja sosial. Mempunyai kemampuan dasar diantaranya ialah body of knowledge, body of values,
dan body of skill. Body of knowledge sendiri. Menurut Alfred Kadusin menjelaskan bahwa body of
knowledge pada dasarnya terdapat 5 tingkatan yaitu yang pertama mencangkup pengetahuan
pekerjaan sosial secara umum yang meliputi pelayanan dan kebijakan, tingkah laku manusia juga
lingkungan, metode-metode pekerjaan sosial kemudian kedua mengenai pengetahuan spesifik
dalam bidang praktek, yang meliputi badan-badan koreksional seperti lembaga permasyarakatan,
balai permasyarakatan, rumah tahanan. Ketiga ialah pekerja sosial mengetahui mengenai badan-
badan sosial yang dapat membantu memberikan pelayanan terkait dengan klien, keempat ialah
pengetahuan spesifik mengenai klien seperti family constellation, court contact, clinical, cottage
report, scholl report dan medical report. Kelima ialah pengetahuan spesifik mengenai kontak yaitu
relasi yang dijalin dengan baik, baik pada klien juga oangorang yang bepengaruh terhadap diri klien.
Selanjutnya terdapat body of values yang mana pekerja sosial bekerja menggunakan nilai-nilai
pribadi pekerja sosial, nilai profesi pekerja sosial, dan nilai klien. Terakhir ialah body of skill,
kemampuan pekerja sosial dalam mengaplikasikan pengetahuan dan nilai yang telah di dapat
memberikan jalan tebaik bagi klien.

Kekerasan Pada Anak

Dampak yang ditimbulkan karena kekerasan menurut Moore dalam Fentini Nugroho (1992:41) ialah
dapat dijadikan dalam beragam katagori yang mana anak tersebut dapat menjadi negatif, agresif
ataupun dapat menjadi pasif dan mudah frustasi akhirnya dapat menjadi apatis, yang membuatnya
tidak memiliki jati diri, dan mereka tidak mampu menghagai dirinya sendiri, ada pula yang akhirnya
sulit untuk dapat menjalin relasi dengan orang lain. Peran yang diberikan orang tua yang seharusnya
memberikan pengertian, kasih sayang, dan memberi rasa aman untuk anak tidak dapat berjalan baik.
Untuk menghasilkan efek jera pada pelaku tindak kekerasan maka undang-undang mengenai
perlindungan anak memberikan sanksi pidana terhadap segala bentuk kekerasan dengan ancaman
minimal 10 tahun penjara. Hukuman tersebut dianggap adil karena yang menjadi korban ialah anak-
anak.

Peranan Pekerja Sosial

Salah satu peran yang mengatasi masalah tersebut ialah pekerja sosial sebagai advokator yang mana
pekerja sosial melakukan tindakan yang mewakili klien untuk dapat memperjuangkan hak-hak dari
klien tersebut karena klien tidak mampu bergerak sendiri dan terdapat kondisi yang mempersulit
klien untuk mendapatkan sumber-sumber yang ia butuhkan. Para pekerja sosial kesejahteraan anak
juga harus memiliki pengetahuan kerja terkait dengan anak dan pengembangan dewasa, dampak
trauma, orangtua dan keluarga dinamika, dan sistem masyarakat di mana anak dan keluarga berada.
Menurut Schneider dan Lester advokasi dalam konteks pekerjaan sosial ialah sebagai perwakilan
eksklusif dan timbal balik untuk klien atau beberapa klien atau pun untuk sebuah perkara dalam
sebuah forum, upaya sistematik untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam sistem yang
tidak adil atau tidak responsif. Sedangkan menurut Sheafor dan Horejsi, tindakan advokasi bertujuan
untuk membantu klien dalam menegakkan hak-hak mereka untuk menerima sumber-sumber dan
pelayanan-pelayanan.
Peran Pekerja Sosial Dalam Advokasi Sosial

Terdapat langkah-langkah dalam melakukan advokasi diantaranya ialah: a) Perumusan masalah b)


Diagnosis situasi orang-orang, struktur, atau sistem yang perlu diubah c) Analisis kekuatan-kekuatan
yang mendorong perubahan dan keuatankekuatan yang melawan perubahan d) Identifikasi tujuan
spesifik e) Memilih strategi aksi sosial untuk mencapai tujuan f) Membuat jadwal untuk
melaksanakan rencana aksi g) Pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan rencana aksi berikutnya.

Menurut Adi Fahrudin dijelaskan bahwa advokasi pekerjaan sosial itu terdiri dari beberapa
komponen yaitu:

1. Ekslusif (exclusive)

Ekslusif menjelaskan bahwa hubungan antara klien dan advokat yang menunjukkan hubungan
tersebut hubungan tunggal, unik, terfokus kepada klien,tanggungjawab utama kepada klien, dan
berpusatkan kepada kebutuhan manusia. Ini berarti bahwa kebutuhan klien diberi prioritas yang
utama bagi advokat.

2. Timbal Balik (Mutual)

Menjelaskan hubungan antara klien dan advokat sebagai hubungan timbal balik, saling
ketergantungan, kesamaan, bersama,berbagi tahap hubungan satu sama lain, pertukaran gagasan
dan merencanakan bersama-sama, dan memiliki kebersamaan satu sama lain.

3. Representasi
Terma ini adalah berkaitan orientasi tindakan dan menjelaskan aktivitas advokatdengan berbicara,
menulis, atau bertindak bagi pihak lain, berkomunikasi ataupernyataan kepedulian terhadap klien.

4. Klien

Klien (klien) mungkin individu perseorangan, kelompok kecil atau besar, persatuan masyarakat,
populasi etnik tertentu, individuindividu dengan kesamaan karakteristik dan kepedulian. Advokat
dapat bekerja dengan semua klien, dari orang perseorangan hingga kepada persatuan dan kelompok
masyarakat yang lebih besar.

5. Masalah/penyebab

Masalah biasanya isu tunggal, kondisi, atau masalah yang menyebabkan sejumlah orang berminat
dan mendukung. Menurut Kotler (1972), ada tiga jenis penyebabya itu: helping cause, protest
causes, dan revolutionary causes.

6. Forum

Sebuah forum adalah majlis yang diorganisir untuk mendiskusikan isu, undang-undang, peraturan-
peraturan, ketentuan-ketentuan, masalah publik, atau penyampaian opini. Advokat pekerjaan sosial
selalu menggunakan forum dalam mewakili atau bertindak bagi pihak kliennya.

7. Sistematika

Advokasi pada dasarnya bersifat sistematik. Hal ini karena advokasi menerapkan pengetahuan dan
keterampilan dalam suatu perencanaan. Keputusan tidak didasarkan kepada intuisi melainkan
berdasarkan keterampilan menganalisis situasi bersama klien.
8. Pengaruh

Pengaruh bermaksud modifikasi, perubahan, kesan, tindakan atau keputusan yangmempengaruhi


klien. Beberapa aktivitas mempengaruhi termasuklah mengorganisir kelompok klien, pembentukan
koalisi, pendidikan publik, persuasi kepada administrator dan supervisor, berhubungan dengan
pegawai pemerintahdan parlemen, pengumpulan data kajian, pemberian testimoni, pengembangan
petisi, dan bahkan tindakan undang-undang (Hepworth, et. Al., 1997).

9. Pembuatan keputusan

Terma ini merujuk kepada usaha mempengaruhi. Paling utama adalah advokat ingin melakukan
perubahan dengan membuat keputusan berdasarkan rumusan dan penilaian mengenai berbagai
aspek seperti alokasi sumber daya, keuntungan,kelayakan, dan akses pelayanan. Keputusan ini bisa
berbentuk sangat formal yaitudibuat berdasarkan prosedur dan amanat peraturan yang ada,
manakala ada pula yang bersifat informal tergantung kepada koneksi pribadi, masyarakat, dan
keluarga.

10. Tingkat ketidakadilan Karakteristik

Terma ini adalah suatu tindakan, pendirian, institusi, peraturan,prosedur atau keputusan tidak
sesuai dengan undang-undang atau prinsip-prinsip keadilan.

11. Tidak responsive

Terma ini khususnya diterapkan kepada perorangan atau institusi yang gagal menjawab, mengakui,
atau merespon terhadap pertanyaan, permohonan, petisi,tuntutan, surat komunike, atau
permohonan sesuai dengan masanya.
12. Sistem

Dalam kontek pekerjaan sosial, perkataan sistem merujuk kepada badan yang teroganisasi yang
didesain dan bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang yang layak,
mendistribusikan sumber, penegakan hukum dan bertanggungjawab penuh dalam interaksi
masyarakat dengan sistem sumber. Sistemsistem tersebut dapat berupa sistem pengadilan kriminal,
sistem jagaan kesehatan, dan sistem transportasi.

Para pekerja sosial kesejahteraan anak berusaha untuk mengadvokasi sumber daya dan reformasi
sistem yang akan meningkatkan pelayanan untuk anak-anak, pemuda, dan keluarga. Para pekerja
sosial harus menggunakan keterampilan dan pengetahuan mereka untuk mengadvokasi
kesejahteraan anak, pemuda, dan keluarga mereka. Advokasi ini termasuk membantu klien untuk
mengakses dan mengefektifkan penggunaan sumber daya formal dan informal di masyarakat yang
mempermudah untuk advokat. Upaya advokasi juga harus diarahkan untuk memperbaiki kebijakan
administratif dan publik untuk mendukung anak-anak dan keluarga mereka supaya tidak terjadi lagi
kekerasan dalam rumah tangga. Upaya advokasi harus menekankan kekuatan dan aset pendekatan
dalam pengembangan layanan sosial dan program-program kesejahteraan anak dan penggunaan
praktik dan kebijakan berbasis pada bukti di lapangan.

Kesimpulan

Kasus kekerasan anak pada keluarga merupakan kasus yang sepeti gunung es terbalik. Kasus yang
tampak di permukaan hanya segelintir saja tetapi pada kenyataannya kasus seperti ini telah banyak
terjadi dan dialami oleh anak-anak.Pekerja sosial pun harus dapat melihat dengan jeli akan kasus ini
supaya dapat tertangani dengan baik dan kasus kekerasan pada anak tidak terjadi lagi di kemudian
hari. Pekerja sosial pun dapat terus membangun pengetahuan dan keterampilan mereka untuk
menyediakan layanan yang baik untuk saat ini, menguntungkan, dan berbasis dengan mempelajari
mengenai budaya-budaya yang sesuai untuk anak-anak dan keluarga yang terlibat dalam tindak
kekerasan supaya akhirnya dapat terjalin kesejahteraan anak.
Saran

Untuk mehadapi anak yang mempunyai kasus dengan kekerasan domestik maka pekerja sosial
diharapkan dapat lebih cepat tanggap dalam menangani kasus seperti ini karena anak merupakan
aset generasi bangsa, jika anak terus mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan khususnya dari
orang tua maka dikhawatirkan anak tersebut mengalami kondisi yang kurang baik, baik fisik maupun
non-fisik. Selain itu pekerja sosial juga bekerja sama dengan pihak-pihak terkait sehingga
permasalahan seperti ini dapat cepat terselesaikan. Ketika mengadvokasi pengidentifikasian
masalah, merumuskan gagasan dan solusi hingga tahap evaluasi kebijakan merupakan hal yang wajib
dijalani dan akan berpengaruh besar kepada penyelesaian masalah tersebut, maka dalam tahap
demi tahap tersebut diharapkan pekerja sosial dapat memahami pentingnya peran pekerjaan sosial
dalam mengadvokasi karena advokasi sendiri merupakan salah satu langkah awal untuk suatu
perubahan yang lebih baik.

Jurnal Nasional 2

Judul: Pola Bimbingan Sosial Case Work Bagi Anak Tindak Pidana Pemerkosaan

(Studi Kasus Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jambi)

Penulis: Julpan Lesmana

Ristekdik (Jurnal Bimbingan dan Konseling)

ISSN 2541-206X (online)

ISSN 2527-4244 (cetak)

Kesimpulan

Secara psikologis anak yang mengalami gangguan autis punya keinginan untuk sembuh dari
gangguan autis yang dideritanya. Tapi karena keterlambatan dalam berpikirnya dan selalu menutup
diri dari orang lain dia kesulitan untuk melawan autis yang di deritanya, mungkin ini salah satunya
penyebab utama untuk dirinya dan orangtuanya dalam melakukan upaya pengobatan. Tetapi
beberapa anak yang mengalami gangguan autis memiliki keinginan untuk sembuh dari gangguan
autis yang dideritanya. Buktinya sudah terlihat jelas dari keinginannya untuk terus melanjutkan
pendidikanya walaupun dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang dimilikinya. Dia begitu
bersemangat untuk sembuh walaupun dia tidak bisa sepenuhnya seperti dengan teman-temannya
yang normal. Tapi orangtuanya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya dan
orangtuanya juga tidak pernah bosan untuk mencaritau tempat berobat maupun untuk tempat
terapi.

Jurnal Internasional 1

Judul: Investigating the effects of caseworker characteristics in child welfare (Menyelidiki dampak
dari karakteristik pekerja sosial dalam kesejahteraan anak)

Penulis: Joseph P. Ryan, Philip Garnier, Michael Zyphur, Fuhua Zhai

Kesimpulan:

Hubungan antara karakteristik pekerja kasus dan hasil dalam sistem kesejahteraan anak sangat
penting untuk dipahami karena pekerja sosial memiliki kontak paling sering dan paling langsung
dengan mereka klien anak. Sementara sifat yang tepat dan besarnya relatif dari efeknya masih
belum jelas, ini studi menunjukkan bahwa setidaknya beberapa karakteristik pekerja sosial memang
mempengaruhi beberapa anak penting hasil kesejahteraan. Koeske dan Kirk (1995) menekankan
bahwa sekali hubungan ini didokumentasikan dan dipahami, karakteristik kerja kasus yang mungkin
mempengaruhi kinerja mungkin dapat diubah dengan intervensi yang direncanakan. Bahkan ketika
hubungan ini melibatkan stabilitas atribut pribadi yang tidak dapat diubah (misalnya, jenis kelamin,
etnis, usia) tetapi diketahui mempengaruhi moral atau kinerja, manajer yang tanggap dapat
mengubah tugas pekerja, sifat pelatihan karyawan, gaya atau jumlah pengawasan, dan/atau budaya
atau karier organisasi peluang untuk meningkatkan kemungkinan bahwa pekerja akan menghindari
kelelahan dan membantu mencapai hasil yang sukses untuk anak-anak dan keluarga.
Jurnal Internasional 2

Judul: The effects of the ARC organizational intervention on caseworker

turnover, climate, and culture in children’s service systems (Efek dari intervensi organisasi ARC
pada pekerja sosial pergantian, iklim, dan budaya dalam sistem layanan anak)

Penulis: Charles Glisson, Denzel Dukes, Philip Green

Kesimpulan :

Analisis efek intervensi ARC pada pekerja sosial dalam kesejahteraan anak dan peradilan anak

tim manajemen kasus berfokus pada tiga sampel yang tumpang tindih. Pertama, analisis pergantian
staf dilakukan dengan semua pekerja sosial yang dipekerjakan sebagai anggota tim manajemen
kasus pada awalnya (dasar) penelitian ini menemukan bahwa tim manajemen kasus yang
berpartisipasi dalam intervensi ARC memiliki tingkat turnover yang jauh lebih rendah daripada tim
manajemen kasus dalam kondisi kontrol. Kedua, pekerja sosial yang hadir pada awal penelitian dan
masih menjadi anggota manajemen kasus sampel tim pada akhir periode penelitian melaporkan
tingkat depersonalisasi, kelelahan emosional, peran yang lebih rendah konflik, dan role overload
pada kondisi ARC dibandingkan pada kondisi kontrol. Akhirnya, pekerja sosial yang adalah anggota
tim sampel pada tindak lanjut, terlepas dari apakah mereka bergabung dengan tim sebelumnya atau
setelah intervensi dimulai, melaporkan tingkat konflik peran yang lebih rendah dan kelebihan peran
dalam kondisi ARC daripada dalam kondisi kontrol. Temuan penelitian ini penting karena beberapa
alasan. Pertama, ini adalah salah satu dari sedikit penelitian yang menggunakan desain
eksperimental sejati untuk menguji efek intervensi organisasi dalam layanan manusia sistem. Kedua,
ini adalah satu-satunya penelitian yang dilakukan di bidang kesejahteraan anak dan peradilan anak
sistem. Ketiga, karena sistem kesejahteraan anak dan peradilan anak mengalami tingkat turnover
yang sangat tinggi nasional, temuan bahwa intervensi organisasi ARC secara signifikan mengurangi
pergantian diantara pekerja sosial memiliki implikasi penting untuk mengatasi masalah pergantian
dalam sistem ini. Keempat, temuan menunjukkan bahwa intervensi organisasi ARC juga
meningkatkan iklim organisasi tim di mana pekerja sosial berfungsi. Karena iklim organisasi telah
dikaitkan dengan layanan kualitas dan hasil layanan dalam studi sebelumnya tentang kesejahteraan
anak dan sistem peradilan anak (Glisson, diserahkan; Glisson & Hemmelgarn, 1998; Glisson & James,
2002), temuan bahwa iklim ini sistem dapat ditingkatkan dengan strategi intervensi organisasi
memiliki implikasi untuk meningkatkan layanan serta untuk mengurangi pergantian pekerja sosial.

ALASAN MEMILIH JURNAL INI :

1. Jurnal yang dipilih merupakan permasalahan sosial yang sering terjadi di Indonesia
2. Penulisan jurnal dan pemilihan kata mudah dipahami
3. Kasus yang terdapat di dalam jurnal sering terjadi, hal ini memudahkan kita membuat
skenario

A. KELOMPOK 3
A. JURNAL NASIONAL 1 YANG MENJADI JURNAL UTAMA
1. Identitas Artikel:
Judul : DESAIN METODE CASEWORK DALAM PENANGANAN GANGGUAN
KECEMASAN KLIEN H PENYANDANG CEREBRAL PALSY DI PANTI ASUHAN
BHAKTI LUHUR ALMA BANDUNG
Penulis: Rosdiana, Dorang Luhpuri, Rini Hartini RA
Vol. 03 No.01, Juni 2021
2. Hasil Review:
Penelitian yang dilakukan merupakan kegiatan tindak lanjut terhadap pelaksanaan kegiatan
praktikum. Berdasarkan hasil praktikum, Model desain RCBT adalah model desain program
yang dilakukan pada praktikum semester sebelumnya, model ini sebagi model awal dalam
penelitian ini, karena penelitian ini adalah lanjutan dari praktikum semester sebelumnya,
RCBT (Rhos Cognitive Behavioral therapy) merupakan pengembangan dari Oemarjoedi
CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Terapi ini memiliki fokus terhadap klien yang
memiliki kecemasan dan pengalihan isu untuk mengatasi kecemasan, Tujuan terapi ini adalah
untuk mengurangi kecemasan yang dialami oleh salah seorang anggota keluarga. Dalam
terapi ini yang dimaksuda adalah klien H.
Berdasarkan Hasil kegiatan reassessment yang dilakukan pada H disimpulkan bahwa model
yang digunakan pada kegiatan praktikum belum cukup efektif untuk mengurangi kecemasan
yang dialami oleh H. Hal ini terbukti dari hasil wawancara peneliti terhadap subjek, pengasuh
dan kepala panti bahwa subjek kadang-kadang masih mengatakan kakak-kakanya tidak
menyayanginya, kakak-kakak dan keluarganya tidak membutuhkannya, dan merasa tidak
punya masa depan dan gejalagejala yang ditimbulkan sebelumya masih ada yaitu merasa
gelisah, mudah marah serta mudah tersinggung, sulit bernapas, banyak berkeringat dan
jantung berdetak kencang.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa subjek masih memiliki gangguan
kecemasan berdasarkan gejala kecemasan yaitu “H” merasa gelisah, mudah marah dan
tersinggung, dan keluhan-keluhan somatic, dengan kondisi tersebut maka sebetulnya yang
dibutuhkan “H” adalah berkaitan dengan cara pengurangan gangguan kecemasan untuk
mengurangi khawatir yang berlebihan tentang masa depannya. Penyandang disabilitas fisik
(celebral palsy) yang memiliki gangguan kecemasan, maka penanganan atau intervensi yang
dilakukan untuk mengurangi gangguan kecemasan menjadi penting sebelum timbul masalah-
masalah psikologis yang lebih berat, bahkan dapat menghambat keberfungsian sosialnya.
Berbagai metode dan teknik yang ada, salah satunya peneliti sudah melakukan model RCBT
pengembangan dari teknik CBT, namun dalam intervensinya CBT belum cukup efektif pada
H untuk itu peneliti tertarik menggunakan salah satu metode praktek pekerjaan sosial yaitu
casework. Dalam metode casework ini menggunakan teknik ventilation, support, advice
giving and counselling, dan role rehearshal. Teknik-teknik ini menghasilkan: Ventilation
yaitu klien H mampu melakukan pengungkapan perasaan dan masalah yang dipendam
dengan bercerita kepada peneliti. Ia merasa lega setelah menceritakan semua peristiwa yang
pernah ia lalui dan klien H memikirkan nasihat yang telah diberikan oleh peneliti. Kegiatan
ini juga menghasilkan klien H menyadari bagaimana akibat buruk dari sering memendam
emosi dan mudah tersinggung.
Advice Giving and Counseling yaitu klien mampu untuk memahami dirinya sendiri dan
lingkungannya yang pada dasarnya memberikan dukungan penuh terhadapnya. Sehingga
klien H dapat menghilangkan rasa cemasnya Support yaitu tahap ini klien menjadi semangat
dan klien merasa mendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya sehingga tidak
meimbulkan rasa gelisah walaupun mendengar atau ada orang lain menanyakan
keluarganyanya. Role Rehearsal yaitu pada tahap ini klien memfokuskan diri pada hobinya
yaitu melukis, dan menerima keluarganya sekarang adalah teman-teman dan orangorang
dalam panti. Berdasarkan hasil dari intervensi teknik-teknik casework peneliti menarik
kesimpulan bahwa desain metode yang digunakan efektif untuk penanganan gangguan
kecemasan klien H penyandang celebral palsy.
B. JURNAL NASIONAL 2
1. Identitas Artikel:
Judul : Intervensi Mikro Pekerja Sosial Terhadap Klien di Balai Rehabilitasi Sosial
Penyandang Disabilitas Fisik (BRSPDF) Wirajaya Kota Makassar
Penulis: Andi Amirah Humairah Yakub, Muh. Iqbal Latief, Hasbi
Tahun terbit dan Volume: Volume 3, Issue 2, 2021 P-ISSN: 2685-5348, E-ISSN: 2685-4333
2. Hasil Review:
penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan orang
dalam keadaan fisik normal atau tanpa kecacatan. Penyandang disabilitas fisik sering
dipandang sebelah mata oleh masyarakat, dengan demikian hal ini menyebabkan penyandang
disabilitas kesulitan mengakses pekerjaan karena dianggap kurang produktif. Pelayanan
rehabilitasi sosial di BRSPDF Wirajaya Makassar secara umum meliputi motivasi dan
diagnosis psikososial, perawatan pengasuhan dan perlindungan, pelatihan life skill dan
kewirausahaan, bimbingan sosial spiritual dan emosional, pemenuhan hak aksesibilitas,
asistensi dan jaminan sosial, dan kemitraan. Intervensi pekerja sosial di BRSPDF Wirajaya
Makassar dimulai dengan engagement, assesment, planning, intervention, evaluation and
termination.
BRSPDF Wirajaya Makassar begitu memperhatikan kelangsungan hidup jangka panjang para
penyandang disabilitas fisik terutama di kehidupan sosialnya sehingga dibuatlah program ini.
Program ini bertujuan agar para penyandang disabilitas fisik yang telah melaksanakan
rehabilitasi dari yang sebelumnya kurang percaya diri menjadi lebih berani dan lebih siap
untuk kembali ke masyarakat. Selain itu, tujuan Bimbingan Hidup Bermasyarakat kepada
Penerima Manfaat (PM) agar lebih siap dalam memasuki kehidupan nyata di tengah-tengah
masyarakat dan termotivasi dalam memulai usaha mandiri untuk siap berintegrasi dengan
masyarakat.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
 Bentuk pemberdayaan pada intervensi mikro di BRSPDF Wirajaya Makassar.
1. Engagement, Intake and Contract
a) Engagement
Pelaksanaan tugas pekerja sosial pada tahap engagement ini pekerja sosial mempunyai
tanggung jawab untuk menjalin hubungan dengan klien melalui cara yang disesuaikan
dengan situasi klien
b) Intake
Ini merupakan tahap awal dari suatu proses pertolongan (khusus dalam case work) dilakukan
dengan wawancara antara pekerja sosial dengan calon klien, apabila memenuhi syarat
dibuatlah kontrak.
c) Contract (Perjanjian/Kesepakatan)
Di BRSPDF antara pekerja sosial dan klien harus memiliki kontrak sebelum ke tahap
assesment dan pada tahap ini waktu yang dibutuhkan untuk rehabilitasi telah ditentukan sejak
awal (dalam kontrak).
2. Assesment
Pada tahap assesment pekerja sosial mulai melakukan sesi tanya jawab yang akan didampingi
oleh psikolog. Tujuannya adalah untuk mengetahui permasalahan serta apa yang dibutuhkan
penyandang disabilitas fisik untuk kemudian dibuat suatu perencanaan.
3. Planning
yaitu tindak lanjut dari assesment, berangkat dari hasil assesment tersebut pekerja sosial
mulai membuat planning untuk patokan dari berjalannya proses intervention. Planning yang
telah dibuat oleh pekerja sosial biasanya akan dirapatkan pada rapat rutin pekerja sosial dan
koordinator pekerja sosial.
4. Intervention
Intervention merupakan kegiatan inti dari proses intervensi pekerja sosial. Di BRSPDF
Wirajaya Makassar proses intervensi meliputi intervensi fisik, mental, sosial dan vokasional.
Adapun rehabilitasi dalam program bimbingan kesiapan hidup bermasyarakat terdapat
bimbingan sosial, pembinaan mental dan pelatihan keterampilan. Berdasarkan keterangan di
atas maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan intervensi di BRSPDF Wirajaya Makassar
sudah sesuai dengan teori yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini. Yang membedakan
adalah pelayanan yang diberikan pekerja sosial terhadap penyandang disabilitas fisiknya
karena kecelakaan dan sejak lahir. Hal tersebut menimbulkan kesan yang berbeda-beda dari
setiap penyandang disabilitas fisik.
5. Evaluation and Termination Salah satu bentuk evaluasi klien dengan adanya
bimbingan resosialisasi (praktek belajar kerja). Tahapan ini dimaksudkan untuk
mempersiapkan PM dan masyarakat lingkungannya agar terjadi integrasi sosial dalam
kehidupan masyarakat. Peserta Praktek Belajar Kerja adalah Penerima Manfaat
BRSPDF Wirajaya Makassar yang berdasarkan hasil keputusan Case Conference
(CC) telah ditetapkan sesuai dengan yang memenuhi syarat mengikuti ujian.
6. Bentuk Pemberdayaan
Implementasi intervensi mikro akan berhasil jika setelah klien kembali ke
masyarakat/keluarga, PM akan mengaplikasikan keterampilan yang diajarkan selama di balai.
Pada tahap terminasi PM akan terus di dampingi oleh peksos dalam mengembangkan
kemampuannya untuk membuka usaha sendiri. Pihak BRSPDF Wirajaya Makassar tidak
hanya bekerja sendiri dalam memandirikan PM, tetapi juga bekerja sama dengan perusahaan-
perusahaan besar untuk memberi peluang kepada kaum difabel seperti alfamart atau alfamidi.
Setiap tahunnya balai akan mengutus 10-20 PM yang memenuhi syarat untuk ikut serta
dalam proses perekrutan di alfamart/alfamidi.

• Efek pertukaran sosial pada intervensi mikro di BRSPDF Wirajaya Makassar.


1) Motivasi
2) Peningkatan kesadaran dan kemampuan (Skill)
3) Meningkatkan Manajemen Diri
4) Membangun Jejaring
5) Bentuk Pertukaran Sosial

C. JURNAL INTERNASIONAL 1
1. Identitas Artikel:
a. Judul : Women Subjected to Domestic Violence: The Impossibility of Separation
b. Penulis: Claire Metz, Jérémy Calmet, Anne Thevenot
c. Tahun dan Volume: 2019, Vol. 36, No. 1, 36–43
2. Hasil Review:
Di Amerika Serikat, sekitar satu dari empat wanita akan mengalami kekerasan dalam rumah
tangga dalam hidup mereka. “Sekitar 1.200 wanita setiap tahun dibunuh oleh pasangan intim
mereka” (The Centers for Disease Control and Prevention, National Institute of Justice, 2000,
dikutip oleh Stein, 2014, p.1).
Faktor Sosial dan Kontekstual
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (2016): “Faktor yang terkait dengan peningkatan risiko
mengalami pasangan intim dan kekerasan seksual termasuk pendidikan rendah, paparan
kekerasan antara orang tua, pelecehan selama masa kanak-kanak, sikap menerima kekerasan
dan ketidaksetaraan gender.” Bahkan jika, dari sudut pandang hukum, kesetaraan gender
adalah nyata di Prancis dan di negara-negara Barat, sejarah masa lalu berperan dalam
persistensi kekerasan terhadap perempuan. Faktor kontekstual lainnya memperburuk situasi
para perempuan ini, seperti pengurangan subsidi yang dialokasikan untuk tempat
penampungan bagi perempuan, baik di Prancis, di mana asosiasi yang kami kunjungi
semuanya menekankan hal ini, atau di negara-negara Barat lainnya, seperti Kanada, dengan
berakhirnya negara kesejahteraan (Morrow, Hankivsky, & Varcoe, 2004).
Masalah Psikis dari Ikatan
Terlepas dari implikasi jenis keterikatan yang tidak aman dalam kekerasan perkawinan,
pertanyaan tentang ikatan ganas (Welldon, 2011) membantu menjelaskan situasi kekerasan
tertentu yang berulang terkait dengan deprivasi emosional pada masa bayi pada wanita. Tidak
puas dengan diri mereka sendiri, dengan tubuh mereka, tetapi juga dengan ibu mereka,
mereka menemukan cara yang berbeda untuk menyerang tubuh mereka (mutilasi diri,
kecanduan narkoba, dll) dan tidak dapat membangun hubungan yang memuaskan dan
memuaskan. Dalam pasangan, “pasangan brutal mewakili bagian dari diri mereka sendiri dan
menjadi inkarnasi dari kebencian mereka terhadap diri mereka sendiri. Terkadang mereka
tidak perlu lagi menyerang tubuh mereka sendiri dengan cara yang berbeda karena peran ini
secara tidak sadar telah dikaitkan dengan pasangannya” (Welldon & Hacker, 2012, p 1075).

Aspek Metodologis

Populasi
Dalam konteks proyek penelitian4 yang dilakukan antara tahun 2014 dan 2016, kami
mengumpulkan 30 kesaksian. Kami meluncurkan seruan untuk kesaksian dari orang-orang
yang telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga ke berbagai organisasi yang
memberikan perawatan bagi perempuan tersebut..
Pengumpulan data
Dari sudut pandang metodologis, penelitian ini melibatkan pendekatan kualitatif berdasarkan
satu wawancara semidirektif. Seperti yang ditunjukkan Blanchet (2007), orientasi wawancara
yang tidak langsung memungkinkan untuk mengajukan hipotesis baru, yang, seperti telah
kami tekankan, sangat penting terkait dengan isu perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga.
Analisis Data Kuantitatif dan Kualitatif
Analisis data diskursif kemudian akan bertujuan untuk mengeksplorasi determinan psikis
yang mendasarinya. Wawancara yang direkam dan dianonimkan ini dipelajari secara
kuantitatif dengan bantuan perangkat lunak analisis teks ALCESTE (Image Ltd., Toulouse,
Prancis; Reinert, 1986).
Kepentingan khusus dari pendekatan psikoanalitik adalah untuk melampaui hubungan suami-
istri saat ini dan untuk memungkinkan kita mengidentifikasi akarnya dalam sejarah kekanak-
kanakan; khususnya, isu-isu bawah sadar di mana perempuan terjebak, tanpa menyadarinya.
Harapan kami adalah bahwa elemen-elemen ini akan berfungsi untuk mengarahkan para
profesional dalam tugas mengadaptasi struktur perawatan menjadi lebih baik. Perlu
perjuangan masyarakat untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan; perjuangan ini
hanya bisa efektif sejak saat semua isu yang dipertaruhkan diperhitungkan, dan khususnya
isu-isu tunggal.

D. JURNAL INTERNASIONAL 2
1. Identitas Artikel:
a. Judul : Four Decades of Research on School Bullying An Introduction
b. Penulis: Shelley Hymel, Susan M. Swearer
c. Tahun dan Volume: May–June 2015/ Vol. 70, No. 4, 293–299
2. Hasil Review :
Kesimpulan dan arah untuk penelitian masa depan

Studi ini mengacu pada data dari sampel kecil peserta, dan kehati-hatian disarankan saat
menarik kesimpulan. Namun, menarik bahwa perspektif 1 dan 2 sebagian besar dipegang
oleh peserta Chili, sedangkan perspektif 3 sebagian besar dipegang oleh peserta Norwegia.
Selain itu, bagi pekerja sosial dalam penelitian ini, fungsi mereka dalam sistem tampaknya
tidak memiliki relevansi khusus untuk perspektif mereka tentang anak. Satu-satunya indikasi
bahwa fungsi dalam sistem tampaknya penting adalah untuk pekerja perawatan residensial di
Chili, karena dua dari tiga pekerja yang mendefinisikan perspektif 2 adalah pekerja
perawatan residensial

B. KELOMPOK 4

A. JURNAL NASIONAL 1 YANG MENJADI JURNAL UTAMA


1. Jurnal : STRATEGI PEKERJA SOSIAL DALAM MENANGANI CHILD ABUSE
DI PANTI SOSIAL MARSUDI PUTRA PARAMITA MATARAM
2. Kesimpulan :
Strategi pekerja sosial dalam menangani trauma korban child abuse di PSMP Paramita
Mataram menggunakan Metode Case work dan grouf work. Dalam metode case work pekerja
sosial melaksanakan konseling sebagai alternatf pemecahan masalah dan membantu anak
yang menjadi korban kekerasan menyelesaikan permasalahannya melalui tahaptahap
konseling. Sedangkan untuk metode grouf work pekerja sosial di Panti Sosial Marsudi Putra
“Paramita” Mataram, menggunakan pendekatan agama sebagai salah tehnik untuk
mengembalikan mental yang sehat anak yang menjadi korban kekerasan. Selain pendekatan
agama pekerja sosial juga memberikan bimbingan sosial sebagai bekal perilaku anak agar
diterima oleh masyarakat. Pekerja sosial dengan pendekatan kelompok bertujuan untuk
mengembalikan fungsi sosial dan psikologis anak korban kekerasan membentuk kelompok-
kelompok seperti kelompok keterampilan, kelompok diskusi maupun kelompok keterampilan
sebagai salah satu cara anak agar dapat mengurangi stress dan trauma melalui kegiatan-
kegiatan positif.

B. JURNAL NASIONAL 2
1. Jurnal : PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM PENDAMPINGAN
PSIKOSOSIAL ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI LEMBAGA
KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA (LK3) “MELATI”
KABUPATEN KARAWANGKartika Al Ashzim
2. Kesimpulan :
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhitung sejak Oktober 2017 hingga Desember
2017, peneliti menemukan beberapa ketentuan yang ada di Lembaga Konsultasi
Kesejahteraan Keluarga (LK3) “Melati” Kabupaten Karawang khususnya pada peran pekerja
sosial dan tahapan pendampingan bagi anak korban kekerasan seksual.Dalam hal ini
lembaga menangani individu, kelompok maupun masyarakat umum yang mengalami
masalah psikososial, dan tentu tidak terlepas dari keluarga. Salah satu pelayanan yang
diberikan oleh LK3 “Melati” yaitu pendampingan. Pekerja sosial LK3 “Melati” melakukan
pendampingan psikososial terhadap klien anak korban kekerasan seksual dengan cara
konsultasi kasus klien dan kemudian merujuk ke lembaga-lembaga yang terkait.Adapun
metode yang diterapkan oleh pekerja sosial LK3 “Melati” adalah metode casework dan
metode manajemen kasus. Tahapan pendampingan yang dipakai adalah tahapan manajemen
kasus.

Meskipun pendampingan yang diberikan oleh LK3 “Melati” belum maksimal, secara umum
peneliti dapat menyimpulkan bahwa pendampingan bagi anak korban kekerasan seksual di
Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) “Melati” Kabupaten Karawang sangat
penting. Belum maksimalnya pendampingan psikososial yang diberikan dikarenakan fasilitas
yang tidak memadai antara yang harus ditangani dengan fasilitas yang ada, seperti hanya ada
dua ruangan konseling yang tersedia, sementara harus ada ruangan isolasi dan ruangan terapi
yang orang lain tidak boleh mengetahui dan mendengar. Dan kurangnya tenaga pekerja
sosial di LK3 “Melati” padahal setiap hari kasus kekerasan seksual selalu ada.

C. JURNAL INTERNASIONAL 1
1. Jurnal : Older people’s strategies for meaningful social interactions in the context
of eldercare services
2. Kesimpulan :
Elaine yang berusia 71 tahun hidup dengan disabilitas di perumahan biasa dan dia berulang
kali merujuk ke berbagai profesional yang terlibat dalam perawatannya. Tetap saja Elaine
merindukan seseorang untuk diajak bicara. Dia berkata bahwa dia ingin dikunjungi oleh
seseorang dan dia membiarkannya terbuka siapa itu. Dia mengatakan bahwa itu tidak harus
menjadi orang yang berwenang, dan menilai dari kutipan itu juga tidak harus menjadi
profesional lainnya. Kriterianya adalah orang yang datang harus bisa bersenang-senang.
Dengan inspirasi dari Kuypers dan Bengtson (1973), dapat dikatakan bahwa dia ingin
dibebaskan dari pengingat norma-norma yang menyoroti apa yang tidak dapat dia capai.
Sebaliknya, dia ingin merasakan nilai dan persepsi diri sebagai manusia yang hanya ingin
bersenang-senang. Lansia dalam penelitian ini, meskipun menjadi subjek perawatan lansia
terorganisir baik di rumah atau di panti khusus, masih mengembangkan strategi untuk
menciptakan rasa kebermaknaan pribadi. Bagian sosial dalam praktik pekerjaan sosial, yang
berisi interaksi sosial dan pertemuan yang bermakna antara orang-orang, dapat memainkan
peran sentral disini.

D. JURNAL INTERNASIONAL 2
1. Jurnal : Mikkonen, E., Laitinen, M., Gupta, A., Nikupeteri, A., & Hurtig, J.
(2021).
2. Cross-national insights into social workers’ multi-dimensional moral agency
when working with child abuse and neglect. Qualitative social work, 20(3), 832-
850.
3. Kesimpulan :
Pekerja sosial dalam menangani kasus pelecehan dan penelantaran anak harus merangkul
lembaga moral yang peka secara individu, translatif budaya, terlibat secara politik dan sadar
global, Karena kasus ini merupakan fenomena kontekstual dari hasil konteks budaya, sosial
dan sejarah, dan berdampak tidak hanya pada korban tetapi juga keluarga dan komunitas
tempat korban. Maka dari itu, penelitian moral dapat didefinisikan sebagai evaluasi situasi.
Karena meningkatnya kekhawatiran tentang pelecehan anak dapat memicu kepanikan moral,
di mana reaksi sosial dapat diisi dengan ketegangan yang berasal dari perjuangan ideologis
atas tanda-tanda pelecehan anak. pekerja sosial akan melanjutkan pekerjaan moral terhadap
reaksi sosial.

C. KELOMPOK 5

Kesimpulan Jurnal Nasional 1 PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM MENANGANI


ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

Berdasarkan hasil kajian literatur tentan peran pekerja sosial dalam menangai anak korba
kekerasan seksual menunjukkan bahwa pera pekerja sosial sangat penting dalam mengatasi
masalah tersebut. Penanganan oleh pekerja sosia dilakukan guna mengatasi dampak-dampak
negative yang ditumbulkan akibat kekerasan seksual yang menimpa anak. Pekerja sosial
berupaya untuk mengembalikan keberfungsian sosial anak korban kekerasan serta
melindungi hak asasi mereka. Peran pekerja sosial dalam menangani masalah anak korban
kekerasan seksual, meliputi sebagai broker, advokat,mediator, konselor, pendidik, dan
motivator. Dengan pelaksanaan peranan tersebut, maka pekerja sosial pun memiliki
kesempatan untuk menunjukkan pentingnya peranan profesi pekerja social dalam penanganan
kekerasan seksual.

Kesimpulan Jurnal Nasional 2 INTERVENSI PEKERJA SOSIAL TERHADAP


PERMASALAHAN PSIKOSOSIAL KLIEN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan:

a. Permasalahan klien korban perdagangan orang di Shelter Harapan adalah : Depresi,


trauma, stres, sakit mata tidak bias melihat (glucoma), tidak bisa tidur selalu mimpi buruk,
gelisah, putus asa, cepat marah dan tersinggung, takut, selalu mempersalahkan diri sendiri,
hilang ingatan.

b. Adapun intervensi Pekerja Sosial terhadap permasalahan klien korban perdagangan


orang di Shelter Harapan adalah:

1) Assessment: setelah melakukan pendekatan terhadap klien dan pengalian masalah,


membuat case record maka klien mengarah kepada kebutuhan yang sangat dibutuhkan segera
misalnya pengobatan kedokter dan pemeriksaan kesehatan, sesuai yang dialami klien.
Sedangkan untuk masalah psikisnya dibantu oleh psikolog dan pekerja social (penulis).

2) Pelayanan Rehabilitasi Sosial:

a) Dalam proses bimbingan mental spiritual : klien mendapatkan pendampingan berdoa,


menurut keyakinan membacakan firman Tuhan. klien ikut berdoa yang dilakukan penulis dan
pendamping atas permintaannya. Sharing saat berdoa klien mensharingkan juga pengalaman
hidup selama di Malaysia .

b) Bimbingan fisik : senam poco-poco, menari sambil menyanyi, belajar sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.

c) Belajar keterampilan: membuat rajutan dari benang, membuat kalung, gelang tangan dari
mote manik-manik , membuat rosario, belajar masak membuat kue.

d) Memberi bimbingan serta memberi motivasi kepada klien untuk membuka diri dan
menerima apa yang sudah terjadi, tetap semangat dan bersyukur masih ada kesempatan untuk
bersama keluarga.

3) Pendekatan spiritual agama: untuk menyadarkan klien betapa pentingnya ajaran agama
dalam hidup setiap orang melalui norma-norma yang harus dipegang untuk perlu disadari dan
bertanggung jawab apa yang dilakukan terhadap sesama dan kepada Tuhan. Melalui kegiatan
doa setiap hari dan siraman rohani sesuai dengan kepercayaan klien, sharing kitab suci bagi
yang Kristen (Katolik dan Protestan), membantu klien lebih percaya kepada kehendak Tuhan.
4) Pemulangan klien: mengontak keluarga klien dan mengontak dinas sosial di tempat klien
berada, memastikan tempat atau keluarga yang aman untuk klien pulang. 5) Terminasi:
terjadi pemutusan yang artinya pengakhiran pendampingan, pihak Shelter Harapan mengantar
klien pulang ke tempat asalnya untuk selanjutnya diserahkan kepada keluarga, serah terima
dengan keluarga dengan surat bermaterai 6.000, bukti bahwa klien sudah diterima dengan
baik oleh keluarganya juga tanda tangan saksi yang ada di rumah

6) Monitoring: kontak melalui telepon; monitoring perkembangan korban keberhasilan dan


hambatan dalam proses reintegrasi, status kesehatan, dll. Berkoordinasi dengan petugas Dinas
Sosial di tempat klien berada dan melalui keluarga

serta LSM yang dikenal.

c. Hasil Intervensi pekerja sosial terhadap permasalahan psikososial klien perdagangan


orang di Shelter Harapan adalah :

1) Secara psikis terjadi perubahan, antara lain: hilangnya ketegangan, rasa takut, marah,
depresi, merasa senang, nyaman, terlepas dari beban dan memiliki kebebasan, berani
mengekspresikan dirinya (bisa tertawa dan senyum, memaafkan)

2) Secara fisik: kelihatan bersih karena rajin mandi dan istirahat yang cukup teratur, lebih
sehat, rajin senam poco-poco dan menari sambil menyanyi.

3) Relasi sosial terjadi perubahan, antara lain: memiliki keberanian untuk bicara, berani
tampil, percaya diri, bersosialisasi dengan para pendamping dan sesama yang tinggal di
shelter. Berani bertemu dengan dokter dan karyawan di poliklinik bisa bercanda dan
menyampaikan terima kasih sudah sembuh dan kuat berkat pengobatan dari dokter.

4) Secara Spiritual terjadi perubahan, antara lain: rajin berdoa, merasa dekat dengan Tuhan,
membaca buku rohani ada kekuatan dan energi positif sehingga bisa bangkit kembali dan
mau memulai yang baru untuk lebih baik hidup selanjutnya. Dengan kegiatan doa yang rutin
sangat membantu klien merasa tenang, dan damai ketika kembali sharing pengalaman suka
duka yang sudah terjadi, emosi semakin berkurang dan bisa mengambil hikmahnya mampu
memaafkan orang - orang yang pernah menyakiti klien. Bagi klien yang Kristen Katolik hari
minggu ke gereja bersama pendamping.

5) Keterampilan yang didapat klien sangat senang dan bangga bisa membawa pulang ke
rumah dan ingin berkumpul kembali dengan keluarga dan rindu pulang kekampung halaman,
mau mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan dengan usaha sendiri, ikut kursus–kursus yang
sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki klien, siap untuk memulai hidup yang baru.

Kesimpulan Jurnal 3 Internasional KERJA SOSIAL DALAM BENCANA ALAM:


KASUS SPIRITUALIS DAN PERTUMBUHAN PASCA-TRAUMA

Hasil studi menunjukkan bahwa, di Taiwan, budaya kolektif dengan spiritualitas


narasi budaya yang dibagikan secara luas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan pasca trauma (PTG). Temuan ini didasarkan pada studi Barat yang menemukan
bahwa spiritualitas berkontribusi pada ketahanan masyarakat dan PTG (Cadell et al., 2003;
Tedeschi & Calhoun, 1995, 1996). Selain itu, model regresi hierarkis yang digunakan dalam
analisis menunjukkan bahwa spiritualitas adalah prediktor signifikan pertumbuhan pasca
trauma.

Seperti yang biasa dialami dalam jenis penelitian ini, ada tingkat analisis yang belum
dijelajahi dan teknik pengumpulan data yang tidak merata. Karena sifat budaya kolektivis
konservatif Taiwan, strategi pengambilan sampel non-probabilitas digunakan untuk
penelitian kuantitatif dan pengambilan sampel bola salju untuk penelitian kualitatif. Orang
Taiwan bersifat relasional, dan koneksi sangat penting bagi mereka, sehingga teknik
penelitian digunakan yang dapat memastikan tingkat respons yang memadai. Penting juga
untuk dicatat bahwa, karena Tung Shih terletak di kawasan cagar sumber air dan tidak ada
pabrik yang boleh dibangun di sana, generasi muda lebih cenderung belajar atau bekerja di
daerah lain dan oleh karena itu tidak terwakili dengan baik dalam penelitian ini. . Selain itu,
generasi yang lebih tua erasi lebih cenderung buta huruf atau putus sekolah dasar dan
mungkin memilih untuk tidak berpartisipasi karena alasan tersebut. Akibatnya, mayoritas
peserta, baik dalam studi kuantitatif maupun kualitatif, lebih cenderung berusia 30-an hingga
50-an pada saat penelitian. Akhirnya, PTGI yang digunakan untuk penelitian kuantitatif
dikembangkan dalam budaya individualis di mana pengembangan hubungan setelah
pengalaman buruk dapat mewakili perubahan unik pada dinamika sosial. Sebaliknya, dalam
masyarakat kolektivis, kepentingan dan kualitas hubungan sosial jauh lebih tinggi dalam
keadaan normal. Oleh karena itu, asumsi kami, bahwa sifat dan implikasi dari keyakinan
spiritual cukup mirip lintas budaya untuk memungkinkan skala PTGI asli digunakan, dapat
dipertanyakan.

Kesulitan perbandingan lintas budaya tidak diabaikan oleh interaksionis simbolik


yang akan menunjukkan bahwa makna juga bervariasi antara budaya dan konteks lokal, dan
bahwa mereka berubah dari waktu ke waktu. Terlepas dari batasan-batasan ini, dapat
dikatakan bahwa teori tersebut dapat memberikan alasan yang mendukung pemahaman
pekerja sosial tentang cara 921 penyintas bencana dalam penelitian ini mendefinisikan
realitas dan makna bencana. Selanjutnya, interaksionis simbolik memandang diri sebagai
pandangan yang dinamis, kreatif, dan adaptif, yang sesuai dengan definisi resiliensi. Studi ini
memberikan kontribusi kemungkinan yang menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut antara
perspektif teoretis tersebut dan kemungkinan kegunaannya dalam penyelidikan bencana di
berbagai budaya (misalnya, budaya individualis vs kolektivis).

Implikasi pekerjaan sosial jauh lebih terlibat daripada yang bisa dibayangkan dari
pandangan pertama. Meskipun tampaknya relatif mudah untuk mendukung penekanan
kesesuaian budaya saat ini di bidang pekerjaan sosial saat ini, pada kenyataannya, makna dari
konteks ini adalah untuk menyarankan pekerja sosial untuk bekerja dengan dan mendukung
para pemimpin spiritual atau dukun yang tampaknya lebih dapat diterima dan membantu para
penyintas. Pekerja sosial juga perlu menjadi pengorganisir komunitas, bukan dokter yang
berfokus pada koordinasi dan pengembangan sumber daya material. Bahkan, mungkin
masalah paling serius yang dicatat oleh para peserta adalah kurangnya “tanggapan
pemerintah” dan keterlambatan penyedia dalam memberikan sumber daya material dan
situasi yang bergema dalam tsunami 2004 dan, baru-baru ini, badai Katrina di Amerika
Serikat. Penundaan itu, dalam diri mereka sendiri, menyebabkan efek traumatis. Dengan kata
lain, pekerja sosial perlu mempertimbangkan narasi budaya yang dominan sebagai aset dan
membentuk peran mereka sesuai dengan itu—dalam hal kontribusi mereka terhadap
pemulihan dan pertumbuhan. Dalam hal ini, tampaknya pekerjaan pencegahan dalam bentuk
persiapan material dan skenario respons, koordinasi dan penyediaan bantuan material segera,
pemenuhan kebutuhan kesehatan, dan penanganan masalah sumber daya menjadi sangat
penting.

Kesimpulan Jurnal 4 Internasional PANDANGAN PEKERJA SOSIAL TENTANG


ANAK-ANAK DAN KOMPETENSI ORANG TUA DALAM PERLINDUNGAN
ANAK PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Etos profesional dan etika pekerjaan sosial tertanam dalam deskripsi pekerja sosial
tentang kompetensi anak-anak dan orang tua untuk memberikan pandangan mereka tentang
proposal urutan perawatan. Akibatnya, kemungkinan retakan dalam kompetensi didekati dari
sudut pandang dukungan yang diberikan dengan 'berbicara lebih banyak'. Memang, rasa
hormat yang tinggi untuk penentuan nasib sendiri disorot oleh analisis ini. Namun, studi ini
juga menyoroti bagaimana pekerja sosial menegosiasikan kompetensi masyarakat dalam
kaitannya dengan kerentanan mereka dan bagaimana praktik kompleks ini bertumpu pada
kompetensi pekerja sosial sendiri untuk membuat penilaian.

Eksplorasi yang lebih bernuansa kerentanan sosial dan dampaknya terhadap


kompetensi diperlukan untuk mendukung hak-hak orang dalam situasi yang sulit dan rentan.

Anda mungkin juga menyukai