Anda di halaman 1dari 15

Modul 4

Pengenalan Teori dan Tahapan Perkembangan Sosial dan


Emosional

Emosi adalah perasaan atau efek yang terjadi ketika seseorang berada dalam interaksi yang penting
baginya dengan ditandai oleh perilaku yang mencerminkan (mengekspresikan) rasa senang atau tidak
senang dari seseorang yang sedang berada dalam suatu kondisi atau transaksi.

Tahap Perkembangan Emosi

0bulan/lahir : Pada tahap ini, beberapa ahli percaya bahwa seorang bayi terlahir memiliki emosi. Hal ini
disebabkan mereka sudah terprogram secara biologis. Pada usia ini, mereka sudah dapat
mengungkapkan rasa kepuasan, ketertarikan, dan kesusahan.

2-7 bulan : Pada usia ini, bayi sudah mulai dapat menggambarkan berbagai macam ekspresi, seperti
marah, takut, gembira, sedih, dan terkejut. Hal ini disebabkan bayi sudah dapat merespons lingkungan
sekitarnya, terutama orang terdekatnya.

1-2 tahun : Tingkat emosi pada usia 1 - 2 tahun sudah lebih kompleks. Mereka mulai memiliki rasa malu,
iri, menyesal, dan bangga. Perasaan itu dapat disebut juga self-conscious karena pada tahap ini
kemampuan kognitif anak sudah berkembang dan juga menerima stimulus dari luar sehingga terciptalah
peningkatan kompleksitas ekspresi emosi.

3 tahun : Pada tahap ini, anak sudah mulai memiliki kemampuan diri sendiri untuk dapat menilai baik
dan buruk atau dengan kata lain sudah memiliki self-evaluation.

4-5 tahun : Pada usia ini, anak dapat mengekspresikan perasaan malu, iri, menyesal, bangga, baik, dan
buruk. Itu semua disebabkan anak sudah memiliki self-conscious dan self-evaluation. Selain itu, pada
tahap ini, anak sudah mendapatkan stimulus dari orang tua dan lingkungan untuk dapat
menggambarkan suatu perasaan saat kondisi dan situasi tertentu.

6-12 tahun : Tingkat emosi pada usia 6 - 12 tahun ini sudah complex emotions. Anak sudah memiliki rasa
malu, gugup, self-touching, enggan, sombong, merasa bersalah, dan lain-lain. Pada tahap ini, anak sudah
dapat mengungkapkan emosinya sendiri tanpa bantuan.
Remaja-dewasa : Pada tahap ini, seseorang memiliki kompleksitas emosi yang tinggi. Hal tersebut
disebabkan tingkat kematangan emosi yang sudah baik. Pengalaman dan stimulus dari lingkungan serta
tingkat self evaluation diri pun tinggi sehingga sudah sangat jelas bagaimana emosi itu ada dalam
kehidupan sehari-hari.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi:

Faktor kematangan

Perilaku emosional yang matang dapat terjadi jika perkembangan kelenjar endokrin sudah matang.
Itulah sebabnya bayi belum matang secara emosional, karena mereka masih kekurangan produksi
kelenjar endokrin yang penting sebagai penunjang reaksi fisiologis terhadap stress.

Faktor Belajar dari Lingkungan Sekitar

Trial and error

Meniru

Mengidentifikasi

Mengkondisikan

Berlatih

Temperamen adalah kecenderungan seseorang untuk merespons dengan cara yang dapat diprediksi
terhadap peristiwa lingkungan, termasuk merespons tingkat aktivitas, lekas marah, ketakutan, dan
kemampuan bersosialisasi.

Dalam sebuah penelitian, temperamen pada anak diklasifikasikan menjadi tiga sebagai berikut (Shaffer
& Kipp, 2014).

1) Temperamen anak yang mudah (easy child) Anak dengan mudah sekali bersosialisasi dengan orang
lain, mudah diatur dalam aktivitasnya, dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.

2) Temperamen anak yang susah diatur (difficult child) Anak dengan temperamen ini sulit dalam
melakukan aktivitasnya. Dalam bersosialisasi dengan orang baru, mereka takut dan mereka sering
menangis bahkan ketika mereka tidur pun mereka gelisah.

3) Temperamen anak yang berada di tengah-tengah (slow to warm up to child) Anak dengan
temperamen ini memiliki respons yang lambat. Dalam mencoba sesuatu yang baru, mereka cenderung
bersikap pasif, tetapi ketika hal baru tersebut diulangi, mereka menjadi tidak tertekan.
Faktor yang Memengaruhi Temperamen

Faktor Lingkungan dan Faktor Biologis

Keterikatan (attachment) adalah ikatan kuat, abadi, dan kasih sayang yang dibagikan oleh seorang anak
terhadap orang yang signifikan dekat dengannya, biasanya seorang ibu atau orang yang megerti dan
dapat memenuhi kebutuhan sang anak.

Teori keterikatan

1. Teori Psikoanalisis

Teori psikoanalisis merupakan teori yang berusaha untuk menjelaskan hakikat dan perkembangan
kepribadian manusia. Unsur-unsur yang diutamakan dalam teori ini adalah motivasi, emosi, dan aspek-
aspek internal lainnya. Teori ini mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika terjadi konflik-
konflik dari aspek-aspek psikologis tersebut yang pada umumnya terjadi pada anak-anak atau usia dini.
Teori ini dikembangkan oleh Sigmund Freud.

2. Teori Belajar

Untuk alasan yang berbeda, beberapa teori belajar mengasumsikan bahwa seorang bayi akan memiliki
keterikatan terhadap orang yang memberikan makan dan juga memenuhi kebutuhan mereka. Oleh
karena itu, pemberian makan pada seorang bayi itu sangat penting disebabkan dua alasan. Alasan
pertama, karena melalui proses tersebut terjadi kontak antara ibu atau siapa pun dengan bayi yang
menyebabkan meningkatnya ikatan antara keduanya. Alasan kedua, proses ketika sang ibu memberikan
berbagai macam kenyamanan, seperti memberi makan, menghangatkan, sentuhan, dan lain lain.

3. Teori Kognitif

Teori perkembangan kognitif ini mengingatkan kepada kita semua bahwa terjadinya sebuah keterikatan
juga bergantung pada tingkat kemampuan perkembangar kognitif yang dimiliki oleh seorang anak.
Sebelum terjadinya sebuah keterikatan, sang anak perlu meyakini terlebih dahulu bahwa hubungannya
dengan seseorang yang dekat dengannya seperti ibu atau pengasuh pertama lainnya adalah hubungan
yang kuat sehingga baik ketika ibu maupun pengasuh pertamanya tak terlihat, tetap saja mereka
memiliki hubungan yang kuat.

4. Teori Etologikal

Dalam teori ini dipercaya bahwa perilaku awal sudah diprogram secara biologis. Reaksi bayi berupa
tangisan, senyuman, dan isapan akan mendatangkan reaksi dari ibu serta perlindungan atas kebutuhan
bayi. Proses tersebut meningkatkan hubungan ibu dan anak, juga sebaliknya. Hasil dari respons biologis
yang terprogram tersebutlah yang menciptakan keterikatan yang saling menguntungkan. Teori
etologikal merupakan teori yang berpendapat bahwa manusia memiliki karakteristik yang telah
beradaptasi yang membuat mereka memiliki keterikatan dan telah menjadi sangat berpengaruh dalam
beberapa tahun terakhir (Shaffer & Kipp, 2014).

Fase perkembangan keterikatan (attachment) :

0-2 bulan = Pada tahap ini bayi belum bisa membedakan orang-orang di dekatnya. Bayi belum memilih-
milih figur lekat dan mengenali orang di dekatnya.

2-7 bulan = Pada usia ini, bayi mulai mampu mengenal orang-orang di sekitar. Apabila ia sudah kenal
dengan seseorang, ia akan merasa lebih aman dan nyaman. Dari sini, kita bisa mulai menciptakan
kelekatan dengan cara sering berada di dekatnya.

7-9bulan sampai 2 tahun = Pada tahap ini, bayi telah mengembangkan keterikatan dengan ibu atau figur
lekat lainnya. Bayi akan berusaha untuk terus dekat figur lekatnya. Apabila berpisah, ia akan menangis.

2-3 tahun ke atas = Pada tahap ini, anak merasa lebih aman dalam berhubungan dengan orang-orang
terdekatnya. Apabila pada fase ini tercipta hubungan keterikatan yang aman, anak tidak akan merasa
sedih selama berpisah dengan sosok yang dekat dengannya.

Menurut Erikson, faktor yang dapat memengaruhi keterikatan sebagai berikut.

a. Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dan sosok yang lekat dengannya

b. Penyiksaan emosional atau penyiksaan fisik

c. Pengasuh yang tidak stabil

d. Sering berpindah domisili Sering berpindah tempat tinggal dapat menyebabkan anak kesulitan untuk
menyesuaikan diri.

e.Pola asuh yang tidak konsisten

f. Figur lekat yang mengalami masalah psikologis

Keterikatan yang aman dapat memberikan banyak manfaat seperti di bawah ini

a. menumbuhkan rasa percaya diri

b. mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain;

c. menumbuhkan kedisiplinan;

d. memengaruhi pertumbuhan intelektualitas dan psikologis;


e.menumbuhkan harga diri dan kesejahteraan yang lebih baik pada remaja; membantu remaja
menghasilkan hubungan positif dengan teman sebaya.

Konsep diri adalah pandangan terhadap diri sendiri, termasuk secara fisik, mental, emosi, dan kebiasaan.

Komponen konsep diri

a. Citra tubuh

Citra tubuh adalah sikap individu terhadap dirinya (fisik) baik secara sadar maupun tidak disadari.
Komponen ini mencakup persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan bentuk tubuh serta
potensinya.

b. Ideal diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya berperilaku berdasarkan standar
pribadi dan terkait dengan cita-cita. Pembentukan ideal diri ini terjadi sejak masa kanak-kanak dan dapat
dipengaruhi oleh orang-orang terdekat.

c. Harga diri

Harga diri adalah persepsi terhadap hasil dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku
dengan ideal dirinya. Komponen konsep diri ini mulai terbentuk sejak kecil disebabkan adanya
penerimaan dan perhatian dari sekitarnya

d. Peran diri

Peran diri merupakan serangkaian pola sikap perilaku, nila, dan tujuan yang diharapkan kelompoknya,
kemudian seseorang pun memiliki fungsi dalam kelompok masyarakatnya.

e. Identitas diri

Identitas diri merupakan kesadaran tentang diri sendiri yang dimiliki oleh seseorang dari hasil observasi
dan penilaian dirinya.

Harga diri adalah evaluasi seseorang terhadap seseorang sebagai seseorang yang didasarkan pada
penilaian terhadap kualitas yang membentuk konsep diri.

Menurut Coopersmith (1967), terdapat empat aspek dalam harga diri. Aspek tersebut, yaitu kekuatan
(power), keberartian (siginificant), kebajikan (virtue), dan kemampuan (competence).

1. Kekuatan (Power)

Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan
untuk dapat mengontrol tingkah laku serta mendapatkan pengakuan orang lain atas tingkah laku
tersebut.
2. Keberartian (Significant)

Keberartian merupakan sebuah kepedulian, perhatian, afeksi, dan ekspresi kasih sayang yang diterima
oleh seseorang dari orang lain yang menjadi tanda bahwa seseorang tersebut diterima keberadaannya
di lingkungan sosialnya.

3. Kebajikan (Virtue)

Kebajikan menunjukkan suatu ketaatan untuk mengikut dan bertingkah laku sesuai dengan etika, moral,
dan agama. Kemudian, menjauhi larangan moral, etika, dan agama sehingga berdampak pada anggapan
seseorang yang melakukan hal tersebut adalah orang yang memiliki sikap positif dan juga dinilai telah
mengembangkan harga diri positif pada dirinya sendiri.

4. Kemampuan (Competence)

Kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan dalam menunjukkan performa yang tinggi dalam
memenuhi kebutuhan dan mencapai prestasi.

3 karakteristik konsep diri anak SD

1. Karakteristik Internal

Anak-anak pada tingkat sekolah dasar lebih cenderung menyebutkan karakteristik psikologis dalam
pendefinisian diri dan cenderung kurang menyebutkan karakteristik fisik. Misalnya, anak-anak pada
tingkat sekolah dasar cenderung mendeskripsikan diri mereka sebagai "aku seorang anak yang pintar
dan baik".

2.Karakteristik Aspek Sosial

Selama proses bertahun-tahun, pada tingkat sekolah dasar, aspek sosial dari pemahaman diri mereka
meningkat. Pada fase inilah anak-anak mulai sering kali menjadikan kelompok-kelompok sosial sebagai
acuan dalam mendeskripsikan diri mereka. Misalnya, ada yang mengungkapkan bahwa "saya adalah
anak ilmuwan cilik" karena dia tergabung dalam kelompok ekstrakulikuler ilmuwan cilik.

3.Karakteristik Perbandingan Sosial

Pada tahap ini, anak-anak cenderung membedakan diri mereka dengan orang lain secara komparatif
daripada absolut. Misalnya, anak usia sekolah dasar tidak lagi berpikir "apa yang dapat aku lakukan" dan
"apa yang tidak dapat aku lakukan", tetapi mereka mulai berpikir "apa yang dapat saya lakukan" dan
"apa yang dapat dilakukan orang lain".

Menurut Santrock (2012), karakteristik perkembangan konsep diri remaja sebagai berikut.

a. Abstract and idealistic


Pada fase ini, anak-anak lebih mungkin menggambarkan diri mereka dengan kata-kata yang abstrak dan
idealistik. Misalnya, saya seorang yang sensitif.

b. Differentiated

Remaja mulai memahami diri mereka memiliki diri-diri yang berbeda sesuai dengan peran dan konteks
tertentu.

c. Contradictions within the self

Setelah remaja, mereka mendefinisikan dirinya ke dalam sejumlah peran dan konteks tertentu,
muncullah kontradiksi antara diri-diri yang terdiferensiasi ini. Contohnya, jelek dan menarik, mudah
bosan dan ingin tahu, peduli dan tak peduli, dan lain-lain.

d. The fluctuating self

Sifat yang kontradiktif dalam diri remaja pada gilirannya memunculkan fluktuasi diri dalam berbagai
situasi dan lintas waktu yang mengejutkan. Pada fase ini, ketidakstabilan konsep diri terjadi.

e. Real and ideal, live and false selves

Munculnya kemampuan remaja untuk membangun konsep diri ideal (ideal self) mereka, di samping
konsep diri mereka yang nyata (real self). Perbedaan antara diri ideal dengan diri yang nyata merupakan
pertanda bahwa kemampuan kognitif yang dimilikinya terus berkembang. Jika perbedaan keduanya
terlalu jauh, hal itu menunjukkan ketidakmampuan seorang remaja untuk menyesuaikan diri.

f. Social comparison

Pada fase ini, remaja lebih sering menggunakan perbandingan sosial (sosial comparison) untuk
mengevaluasi diri mereka.

g. Self-conscious

Remaja lebih sadar akan dirinya dibandingkan anak-anak dan lebih memikirkan pemahaman diri mereka.
Remaja menjadi lebih mudah melakukan diri dan mengeksplor diri.

h. Self-protective

Remaja lebih sering mempertahankan diri (self-protective), melindungi dirinya, dan cenderung menolak
adanya karakteristik negatif dalam diri. Unconscious

i. Unconscious

Konsep diri remaja melibatkan adanya komponen yang tidak disadari (unconscious), termasuk dalam
dirinya, sama seperti komponen yang disadarinya. Fase ini hanya terjadi pada awal hingga menjelang
remaja akhir. Self-integration

j. Self integration

Fase ini sering terjadi pada masa remaja akhir ketika konsep diri menjadi lebih terintegrasi, yaitu bagian
yang berbeda-beda dalam diri secara sistematis menjadi satu kesatuan.
D. FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSEP DIRI DAN HARGA DIRI

Faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri dan harga diri sebagai berikut:

1. Orang Lain

Respons positif orang lain terhadap diri akan membentuk konsep diri dan harga diri yang positif.
Demikian pula sebaliknya

2. Kelompok Sosial

Suatu kelompok pasti memiliki norma-norma yang secara emosional akan berpengaruh pada
pembentukan konsep diri karena seseorang akan mengarahkan perilakunya dan berusaha menyesuaikan
diri dengan kelompoknya.

3. Pengaruh Kelas Sosial

Kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan, dan tempat tinggal individu. Berada pada tingkat
kelas sosial yang tinggi akan dipandang lebih sukses di mata masyarakat dan mendapat keuntungan
material dan budaya. Hal itu akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini
bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain.

4.Pengaruh Usia

Perkembangan usia sangat memengaruhi proses perkembangan konsep diri dan harga diri. Pada
beberapa individu, seiring dengan pertambahan usia, terjadi peningkatan atau penurunan sesuai dengan
kondisi atau pengalaman dari individu itu sendiri.

Motivasi belajar adalah keseluruhan energi penggerak, pengarah, dan memperkuat tingkah laku
seseorang, baik dari dalam diri maupun dari luar, yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah
untuk mencapai tujuan kegiatan pembelajaran (Winkel, 2004).

Motivasi Intrinsik

 timbul dari dalam diri seseorang

• keinginan untuk menjadi orang yang ahli

• belajar yang disertai dengan minat

• belajar yang disertai dengan perasaan senang

Motivasi Ekstrinsik
 timbul dari luar diri seseorang, seperti dari orang terdekat, lingkungan sekitar, dan lain-lain

• belajar demi memenuhi kewajiban

• belajar demi memenuhi kebutuhan

• belajar demi memperoleh hadiah

 belajar demi meningkatkan gengsi

• belajar demi mendapatkan pujian dan lain-lain

Cara Meningkatkan Motivasi Belajar Anak Usia Sekolah Dasar

 Berikan pujian dengan bijak


 Membentuk kebiasaan belajar yang baik
 Ciptakan persaingan atau kompetisi yang sehat
 Menulis nama siswa di papan tulis dengan reward-nya
 Gunakan media belajar yang baik dan sesuai dengan pembelajaran
 Menjelaskan tujuan belajar
 Memberikan poin kelompok
 Memberikan ulangan atau ujian secara berkala
 Menumbuhkan kesadaran siswa
 Memberikan dorongan kepada siswa untuk belajar

Cara Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa SMP dan SMA

a. Memiliki impian
b. Menguasai skill belajar
c. Cara pandang yang benar mengenai sekolah
d. Relevansi pelajaran dengan kehidupan

Cara Meningkatkan Motivasi Belajar Mahasiswa

a. Bertemanlah dengan orang yang memiliki semangat belajar tinggi


b. Buatlah target pencapaian
c. Buktikan Anda cerdas
d. Belajarlah dalam suasana yang baik
e. Membentuk kelompok belajar
f. Jangan lupa bersenang-senang
Teman sebaya dan budaya yang baik akan membangun konsep diri yang positif. Konsep diri yang positif
akan membangun motivasi belajar yang tinggi. Motivasi belajar yang tinggi akan mempermudah
seseorang untuk pencapaian akademik terbaiknya. Oleh karena itu, teman sebaya dan budaya
memengaruhi konsep diri dan pencapaian akademik.

Identitas diri adalah mendefinisikan diri dengan matang: perasaan tentang siapa seseorang, ke mana
orang akan pergi dalam kehidupannya, dan bagaimana seseorang tersebut cocok dengan masyarakat.

pembentukan identitas diri memerlukan dua elemen penting. yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen.

Eksplorasi menunjuk pada suatu masa ketika seseorang berusaha untuk menjelajah berbagai pilihan
yang ada. Sementara itu, komitmen merupakan usaha untuk membuat keputusan. Kemudian, untuk
menentukan identitas diri, seseorang perlu menentukan kedudukan status identitasnya.

Identity diffusion

Identity diffusion merupakan suatu kemunduran dalam perspektif waktu, inisiatif, dan kemampuan
untuk mengoordinasikan perilaku pada masa kini dengan tujuan pada masa depan. Remaja dengan
status ini, yaitu remaja yang mengalami kebingungan tentang siapa dirinya dan mau apa dalam
hidupnya.

Identity forelocure

Identity forelocure adalah remaja yang telah membuat komitmen, tetapi belum pernah mengalami krisis
atau mengekplorasi alternatif-alternatif yang berarti. Remaja dengan status ini akan cenderung
menerima pilihan orang tua tanpa mempertimbangkan lagi.

Identity moratorium

Identity moratorium merupakan fase ketika remaja sedang mengeksplorasi alternatif-alternatif yang
ada, tetapi tidak memiliki komitmen atau memiliki komitmen. tetapi tak jelas. Remaja dengan status
identitas ini sering dianggap berada dalam tahap mengeksplorasi pemikiran, kesadaran, intelektual yang
ditandai dengan banyaknya berhubungan dengan orang lain.

d. Identity achievement
Identity achievement adalah status identitas ketika remaja telah melewati masa krisis atau masa
mengeksplorasi dan telah membuat komitmen. Remaja pada status identitas ini memiliki perasaan stabil
karena telah mengeksplorasi dan menemukan identitas dirinya.

Kemudian, Santrock (2007) mengungkapkan bahwa identitas diri merupakan identitas yang terbentuk
pada masa kanak-kanak yang kemudian berkembang pada usia remaja yang ditandai dengan pertanyaan
yang sering muncul, yaitu siapakah saya.

Faktor yang memengaruhi perkembangan identitas:

Keluarga, interaksi dengan teman sebaya, sekolah dan komunitas, kebudayaan, kognitif.

Proses persepsi yang berkembang dari masa kanak-kanak hingga remaja:

1. Anak-anak di bawah 7 atau 8 tahun umumnya menggambarkan teman dan kenalan dalam istilah
nyata yang sama yang mereka gunakan untuk menggambarkan diri.

2. sekolah dasar menjadi lebih terbiasa dengan keteraturan dalam perilaku mereka sendiri dan orang
lain, kemudian mulai mengandalkan konstruksi psikologis yang stabil atau ciri-ciri untuk
menggambarkan pola-pola ini.

3. Kesan remaja muda terhadap orang lain menjadi lebih abstrak ketika mereka mulai membuat
perbandingan psikologis antara teman dan kenalan mereka.

4. Pada usia 14 hingga 16 tahun, remaja tahu bahwa pengaruh situasional dapat menyebabkan
seseorang bertindak keluar dari karakter.

Kognisi sosial adalah cara yang terjadi pada diri seseorang individu untuk menganalisis, mengingat, serta
menggunakan informasi yang didapatkan dari kejadian-kejadian sosial.

1. Teori Perkembangan Kognitif (Piaget)

Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu kematangan, pengalaman,
interaksi sosial, dan ekuilibrasi. Tujuan dari teori Piaget adalah menjelaskan mekanisme dan proses
perkembangan intelektual sejak masa bayi dan kemudian masa kanak-kanak yang berkembang menjadi
seorang individu yang dapat bernalar dan berpikir menggunakan hipotesis-hipotesis.

Piaget membagi perkembangan kognitif ini ke dalam empat periode berikut.


a. Periode sensori motor (0-2 tahun) Pada periode ini, tingkah laku anak bersifat motorik dan anak
menggunakan sistem pengindraan untuk mengenal lingkungannya untuk mengenal objek.

b. Periode praoperasional (2-7 tahun) Pada periode ini, anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil
meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.

c. Periode konkret (7-11 tahun)

Pada periode ini, anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh
persepsi sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.

d. Periode operasi formal (11-dewasa)

Periode operasi formal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu
berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, serta ia dapat menggunakan
penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.

2. Roberts Selman's Role-Taking Analysis

Teori Selman ini pun dibagi menjadi lima tahap berikut.

a. Egocentric or undifferentiated perspective (3-6 tahun) Pada tahap ini, anak belum memiliki
kepedulian terhadap pendapat orang lain. Ia lebih mementingkan pendapat diri sendiri.

b. Social information role taking (6-8 tahun)

Pada tahap ini, anak mulai memahami bahwa setiap orang akan memiliki pendapat yang berbeda,
tergantung informasi yang didapatkan oleh setiap individu.

c. Self-effective role taking (8-10 tahun)

Pada tahap ini, anak mulai memahami bahwa meski dia dan individu lainnya mendapatkan informasi
yang sama, tetap saja mungkin pendapat terhadap sesuatu akan tetap berbeda.

d. Mutual role taking (10-12 tahun)

Pada tahap ini, anak sudah mulai dapat memahami sudut pandang individu sendiri dengan sudut
pandang orang lain yang mungkin ada satu moment akan sama. Kemudian, ia sudah dapat memberikan
tanggapan terhadap perspektif yang berbeda.

Societal role taking (12-15 tahun)

Pada masa ini, seseorang sudah dapat memahami berbagai macam perspektif dan dapat
membandingkannya.

Altruisme merupakan kepedulian tanpa pamrih untuk kesejahteraan orang lain yang diekspresikan
melalui tindakan prososial, seperti berbagi, bekerja sama, dan membantu.
Komponen-komponen altruisme yang tampak pada gambar di atas sangat berperan dalam terbentuknya
altruisme. Mari kita bahas satu per satu.

1. Prososial Moral Reasoning

Prososial moral reasoning merupakan pemikiran yang ditampilkan orang ketika memutuskan apakah
akan membantu, berbagi, atau menghibur orang lain ketika tindakan ini bisa terbukti mahal untuk diri
mereka sendiri.

2. Simpati Empatik Gairah

Simpati empatik gairah merupakan perasaan atau simpati atau kasih sayang yang dapat ditimbulkan
ketika kita mengalami emosi orang lain yang tertekan: dianggap menjadi mediator penting altruisme.

faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan altruisme sebagai berikut.

1. Altrustik seseorang dipengaruhi oleh lingkungan budaya dan keluarganya.

2. Orang tua dapat mempromosikan perilaku altruistik dengan memuji perbuatan baik anak mereka dan
dengan mempraktikkan sendiri pelajaran prososial yang mereka khotbahkan

Orang tua yang mendisiplinkan perilaku buruk dengan penjelasan yang tidak emosional dan afektif
cenderung membesarkan anak-anak yang menjadi simpatik, rela berkorban, dan peduli akan masalah
orang.

Moral merupakan seperangkat prinsip atau cita-cita yang membantu individu untuk membedakan yang
benar dari yang salah, untuk bertindak atas perbedaan ini, serta untuk merasa bangga dalam perilaku
berbudi luhur dan rasa bersalah atas perilaku yang melanggar standar seseorang.

Perkembangan moral ini memiliki dua dimensi:

1. Dimensi Interpersonal

Dimensi interpersonal mencakup aturan atau nilai dasar dan penilaian diri individu sendiri. Dimensi ini
mengatur atau mengarahkan aktivitas orang tersebut saat dia tidak terlibat dalam interaksi sosial.

2. Dimensi Intrapersonal

Dimensi intrapersonal, yaitu titik perhatiannya ada pada apa yang seharusnya dilakukan individu saat
berinteraksi dengan orang lain. Dimensi ini mengatur interaksi sosial individu dengan orang lain dan
akan menengahi sebuah konflik yang muncul.
Komponen afektif Afektif: moral feelings

Komponen perkembangan moral yang terdiri atas perasaan yang mengelilingi tindakan benar atau salah
dan yang memotivasi pikiran dan tindakan moral. Peneliti menemukan bahwa perasaan dan hati nurani
ini terbentuk lebih awal pada masa balita dalam konteks hubungan yang hangat dan saling responsif.
Kemudian, Freud menerangkan pembentukan moral afektif dimulai melalui masa oedipal, yaitu pada
masa ini anak melakukan identifikasi dengan salah satu orang tuanya sehingga terbentuk orang tua
dalam diri anak. Sosok orang tua dalam diri anak inilah yang akan menghukum atau menimbulkan rasa
bersalah apabila anak melanggar. Setelah proses ini, barulah anak akan sampai pada masa ia
menentukan akan bertingkah laku benar atau tidak tergantung kekuatan egonya.

Komponen kognitif

Kognitif: moral reasoning

1. Teori Piaget

Teori Piaget memandang penalaran moral sebagai kemajuan melalui urutan tiga tingkat yang tidak
berubah: periode premoral, moralitas heteronom,dan periode otonom.

Periode premoral, yaitu lima tahun pertama kehidupan ketika anak-anak dikatakan memiliki sedikit rasa
hormat atau kesadaran akan aturan yang ditetapkan secara sosial.

Moralitas heteronom, yaitu tahap pertama perkembangan moral Piaget ketika anak-anak memandang
aturan tokoh-tokoh kezaliman sebagai hal yang sakral dan tidak dapat diubah.

Periode otonom, yaitu tahap kedua perkembangan moral Piaget ketika anak-anak menyadari bahwa
aturan adalah perjanjian sewenang-wenang yang dapat dihadang dan diubah dengan persetujuan dari
orang yang memerintah.

Teori Kohlberg memandang penalaran moral sebagai kemajuan melalui urutan tiga tingkat yang
berbeda, yaitu moralitas prakonvensional, konvensional, dan poskonvensional.

Moralitas prakonvensional, yaitu istilah Kohlberg untuk dua tahap pertama dari penalaran moral.
Maksudnya, penilaian moral didasarkan pada konsekuensi hukuman yang nyata atau konsekuensi yang
menguntungkan dari suatu tindakan untuk aktor daripada pada hubungan yang bertindak dengan aturan
dan kebiasaan masyarakat.

Moralitas konvensional, yaitu istilah Kohlberg untuk tahap ketiga dan keempat dari penalaran moral.
Maksudnya, penilaian moral didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan persetujuan atau untuk
menegakkan hukum yang menjaga ketertiban sosial.
Moralitas poskonvensional, yaitu istilah Kohlberg untuk tahap kelima dan keenam penalaran moral.
Maksudnya, penilaian moral didasarkan pada kesepakatan sosial dan hukum demokrasi atau pada
prinsip-prinsip universal etika dan keadilan.

Masing-masing tingkat moral terdiri atas dua tahap yang berbeda sehingga menjadi enam tahap, yaitu
punishment and obedience orientation (tahap 1), naïve hedonism (tahap 2), good boy or good girls
orientation (tahap 3), social order maintaining morality (tahap 4), the social contract orientation (tahap
5), dan morality of individual principles of conscience (tahap 6).

Komponen perilaku

Perilaku: moral behavior

Komponen perkembangan moral yang mencerminkan cangkul yang secara aktual kita lakukan ketika kita
mengalami godaan untuk berbohong, menipu, atau melanggar aturan moral lainnya. Teori yang erat
kaitannya dengan komponen perilaku ini adalah teori pembelajaran sosial.

Anda mungkin juga menyukai