Anda di halaman 1dari 11

Kegiatan Pembelajaran ke 9 :

a. Bahan Baku Dan Persyaratan Kualitas Serta Proses Pembuatan Pupuk Organik
b. Tujuan Mahasiswa mampu menjelaskan bahan baku dan persyaratan kualitas serta
proses pembuatan pupuk organik
c. Materi
Kompos
Kompos merupakan jenis pupuk yang terjadi karena proses penghancuran oleh
alam atas bahan-bahan organik, terutama daun, tumbuh-tumbuhan seperti jerami,
kacang-kacangan, sampah dan lain-lain. Pengomposan atau dekomposisi merupakan
peruraian dan pemantapan bahan-bahan organik secara biologi dalam temperatur yang
tinggi dengan hasil akhir bahan yang bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan
lingkungan. Dengan kata lain terjadi perubahan fisik semula menjadi fisik yang baru.
Perubahan itu terjadi karena adanya kegiatan jasad renik untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) bahan organik oleh
mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol dengan hasil akhir berupa
humus dan kompos. Pengomposan bertujuan untuk mengaktifkan kegiatan mikroba agar
mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Selain itu, pengomposan juga
digunakan untuk menurunkan nisbah C/N bahan organik agar menjadi sama dengan
nisbah C/N 6 tanah (10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah oleh tanaman. Agar
proses pengomposan berlangsung optimum, maka kondisi saat proses harus dikontrol.
Bahan organik yang dapat digunakan sebagai kompos dapat berasal dari limbah
hasil pertanian dan non pertanian (limbah kota dan limbah industri). Limbah hasil dari
pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan),sisa hasil pertanian
(sekam, dedak padi, kulit kacang tanah, ampas tebu,dan belotong). Limbah kota atau
sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar atau sampah rumah tangga dari
daerah pemukiman serta taman-taman kota

Berikut adalah bahan-bahan yang dapat dijadikan kompos :


1. Sisa Tanaman
Gambar 7. SisaTanaman
Kandungan hara beberapa tanaman pertanian ternyata cukup tinggi dan
bermanfaat sebagai sumber energi utama mikroorganisme di dalam tanah. Apabila
digunakan sebagai mulsa, maka ia akan mengontrol kehilangan air melalui evaporasi dari
permukaan tanah, dan pada saat yang sama dapat mencegah erosi tanah. Hara dalam
tanaman dapat dimanfaatkan setelah tanaman mengalami dekomposisi. Kandungan
haranya sangat bervariasi tergantung jenis tanaman. Rasio C/N sisa tanaman bervariasi
dari 80:1 pada jerami gandum hingga 20:1 pada tanaman legum. Selama proses
dekomposisi ini nilai rasia C/N akan menurun mendekati 10:1 pada saat tersebut
tercampur dengan tanah.

2. Sampah Kota
Gambar 8. Sampah Kota
Sampah (waste) didefinisikan sebagai bahan-bahan yang sudah tidak dapat
digunakan dan tidak bermanfaat sehingga disebut bahan buangan. Sampah dibagi
menjadi sampah domestik/kota dan sampah industri. Berdasarkan data di berbagai
tempat, sampah kota relatif kurang tertangani dibandingkan sampah bahan lainnya. Hal
ini terjadi karean bahan tersebut banyak terkontaminasi B3 (bahan beracun berbahaya),
seperti logam berat sehingga apabila dimanfaatkan sebagai kompos untuk tanaman
pangan dapat mencemari hasil tanaman tersebut. Tertimbunnya sampah domestik dalam
waktu lama akan mengandung resiko penurunan kualitas sanitasi, keindahan lingkungan
serta berjangkitnya penyakit tertentu.
Di beberapa kota besar di Indonesia, masalah sampah kota banyak menjadi
sorotan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan perbaikan kualitas
hidup masyarakatnya. Hasil buangan sampah rumah tangga, fasilitas umum, pasar dan
sebagainya sudah sangat mengkhawatirkan dan mengganggu kenyamanan dan
kebersihan lingkungan bila tidak ditangani secara baik. Salah satu kendala pemanfaatan
sampah kota adalah kurang praktisnya pemakaian secara langsung dan memerlukan
biaya relatif tinggi untuk pendistribusiannya dilapangan.
Menurut jenis dan asalnya sampah domestik dibedakan menjadi sampah kertas,
plastik, kaca, karet dan logam yang biasanya dimanfaatkan oleh pemulung untuk didaur
ulang menjadi produk yang bermanfaat. Sedangkan sampah organik yang proporsinya
jauh lebih besar daripada sampah anorgank biasanya tertimbun tanpa ada yang
dimanfaatkan. Sampah organik terdiri dari sisa sayuran, tanaman dan sisa makanan yang
mengandung karbon (C) berupa senyawa sederhana maupun kompleks. Selulosa
merupajan salah satu senyawa kompleks yang memerlukan proses dekomposisi relatif
lama namun dapat dipecah oleh enzim selulosa yang dihasilkan oleh bakteri menjadi
senyawa monsakarida, alkohol, CO2 dan asam-asam organik.
3. Vermikompos

Gambar 9. Cacing tanah

Vermikompos disebut juga kompos cacing, vermicast atau pupuk kotoran cacing,
yang merupakan hasil akhir dari penguraian bahan organik oleh jenis-jenis cacing
tertentu. Vermikompos merupakan bahan yang kaya hara, dapat digunakan sebagai
pupuk alami atau soil conditioner (pembenah tanah). Proses pembuatan vemikompos
disebut vermikomposting.
Cacing yang digunakan dalam proses pembuatan vermikompos diantaranya
brandling-worms (Eisenia foetida) dan redworms (Cacing merah) (Lumbricus rubellus).
Cacing-cacing ini jarang ditemukan di dalam tanah, dan dapat menyesuaikan dengan
kondisi tertentu di dalam pergiliran tanaman. Di luar negeri bibit cacing cacing telah
diperjualbelikan di toko-toko pertanian. Vermikomposting dalam skala kecil dapat
mendaur ulang sampah dapur menjadi vemikompos yang berkualitas dengan
menggunakan ruang terbatas.
4. Kotoran Hewan

Gambar 10. Kotoran Hewan


Kotoran hewan yang berasal dari usaha pertanian antara lain adalah kotoran
ayam, sapi, kerbau, kambing, ayam, itik dan sebagainya. Komposisi hara pada masing-
masing kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya. Secara
umum, kandungan hara dalam kotoran hewan jauh lebih rendah daripada pupuk kimiah
sehingga takaran penggunaanya juga akan lebih tinggi.
Namun demikian, hara dalam kotoran hewan ini ketersediaanya lambat sehingga
tidak mudah hilang. Ketersediaan hara sangat dipengaruhi oleh tingkat
dekomposisi/mineralisai dari bahan-bahan tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari
pupuk kandang antara lain disebabkan karena bentuk N, P, serta unsur lain terdapat
dalam bentuk senyawa kompleks organik protein atau senyawa asam humat atau lignin
yang sulit terdekomposisi. Selai mengandung hara bermanfaat, pupuk kandang juga
mengandung bakteri saprolitik, pembawa penyakit dan parasit mikoorganisme yang
dapat mebahayakan hewan dan manusia. Contohnya kotoran ayam mengandung
Salmonella sp. Oleh karena itu dalam pengolahannya harus hati-hati.
Kompos dapat diperkaya dengan kotoran sapi yang merupakan sumber unsur
hara makro dan mikro yang lengkap. Kadar rata-rata komposisi pupuk kandang sapi
adalah C-organik 8,58%; N-total 0,73%; P-total 0,93%; K-total 0,73%; bahan
organik14,48%;dan rasio C/N sebesar 12,0. Proses pengomposan atau membuat
kompos adalah proses biologis karena selama proses tersebut berlangsung, sejumlah
jasad hidup yang disebut mikroba, seperti bakteri dan jamur, berperan aktif. Dijelaskan
lebih lanjut agar peranan mikroba 8 di dalam pengolahan bahan baku menjadi kompos
berjalan secara baik, persyaratan-persyaratan berikut harus dipenuhi:
1. Kadar air bahan baku: daun-daun yang masih segar atau tidak kering, kadar airnya
memenuhi syarat sebagai bahan baku. Dengan begitu, daun yang sudah kering,
yang kadar airnya juga akan berkurang, tidak memenuhi syarat. Hal tersebut harus
diperhatikan karena banyak pengaruhnya terhadap kegiatan mikroba dalam
mengolah bahan baku menjadi kompos. Seandainya sudah kering, bahan baku
tersebut harus diberi air secukupnya agar menjadi lembab.
2. Bandingan sumber C (Karbon) dengan N (zat lemas) bahan : bandingan ini
umumnya disebut rasio/bandingan C/N. dengan bandingan tersebut proses
pengomposan berjalan baik dengan menghasilkan kompos bernilai baik pula,
paling tinggi 30, yang artinya kandungan sumber C berbanding dengan kandungan
sumber = 30 : 1. Sebagai contoh, kalau menggunakan jerami sebagai bahan baku
kompos, nilai rasio C/N-nya berkisar 15 – 25, jadi terlalu rendah. Karena itu, bahan
baku tersebut harus dicampur dengan benar agar nilai rasio C/N-nya berkisar 30.
Misalnya, lima bagian sampah yang terdiri atas daun-daunan dari pekarangan
dicampur dengan dua bagian kotoran kandang, akan mencapai nilai rasio C/N
mendekati 30, atau lima bagian sampah tersebut dicampur dengan lumpur selokan
(lebih kotor akan lebih baik) sebanyak tiga bagian, juga akan mencapai rasio C/N
sekitar 30. Sementara itu, untuk jerami, lima bagian jerami harus ditambah dengan
tiga bagian kotoran kandang, atau kalau tidak ada dengan empat bagian Lumpur
selokan sehingga nilai rasio C/N-nya akan mendekati 30.
A. Pembuatan Kompos
Pengomposan bahan organik secara aerobik merupakan suatu proses humifikasi
bahan organik tidak-stabil (rasio C/N >25) menjadi bahan organik stabil yang dicirikan
oleh pelepasan panas dan gas dari substrat yang dikomposkan. Lamanya waktu
pengomposan bervariasi dari dua sampai tujuh minggu, bergantung pada teknik
pengomposan dan jenis mikroba dekomposer yang digunakan. Tingkat kematangan
(derajat humifikasi) dan kestabilan kompos (terkait dengan aktivitas mikroba)
menentukan mutu kompos yang ditunjukkan oleh berbagai perubahan sifat fisik, kimia,
dan biologi substrat kompos.Pada kompos yang belum matang, proses dekomposisi
bahan organik masih terus berlangsung yang dapat menciptakan suasana anaerobik di
lingkungan perakaran (penggunaan oksigen oleh mikroba) dan kahat N (imobilisasi N
oleh mikroba), sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
Pengomposan yang tidak sempurna juga kerap menghasilkan senyawa fitotoksin
seperti fenolat yang dalam banyak kasus menghambat pertumbuhan bibit tanaman atau
menjadi tempat transien bagi mikroba patogen.Untuk menghindari hal ini, sosialisasi
tentang teknik pembuatan kompos yang tepat dan penggunaan mikroba dekomposer
yang sesuai perlu terus diupayakan sebagai langkah strategis dalam meningkatkan mutu
kompos. Selain itu, tingkat kemudahan pembuatan kompos dan aplikasi mikroba
dekomposer dengan biaya yang relatif murah tidak bisa diabaikan sebagai faktor penentu
bagi petani menggunakan mikroba dekomposer.
Banyak faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kompos, baik biotik
maupun abiotik. Faktor -faktor tersebut antara lain:
a. Pemisahan bahan: bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar untuk
didegradasi/diurai, harus dipisahkan/diduakan, baik yang berbentuk logam, batu,
maupun plastik. Bahkan, bahanbahan tertentu yang bersifat toksik serta dapat
menghambat pertumbuhan mikroba, harus benarbenar dibebaskan dari dalam
timbunan bahan, misalnya residu pestisida.
b. Bentuk bahan : semakin kecil dan homogen bentuk bahan, semakin cepat dan
baik pula proses pengomposan. Karena dengan bentuk bahan yang lebih kecil dan
homagen, lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas
mikroba.Selain itu, bentuk bahan berpengaruh pula terhadap kelancaran difusi
oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO2 yang dihasilkan.
c. Nutrien : untuk aktivitas mikroba di dalam tumpukan sampah memerlukan sumber
nutrien Karbohidrat, misalnya antara 20% – 40% yang digunakan akan
diasimilasikan menjadi komponen sel dan CO2, kalau bandingan sumber nitrogen
dan sumber Karbohidrat yang terdapat di dalamnya (C/N-rasio) = 10 : 1. Untuk
proses pengomposan nilai optimum adalah 25 : 1, sedangkan maksimum 10 : 1.
d. Kadar air bahan tergantung kepada bentuk dan jen is bahan, misalnya, kadar air
optimum di dalam pengomposan bernilai antara 50 – 70, terutama selama proses
fasa pertama. Kadang-kadang dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bisa
bernilai sampai 85%, misalnya pada jerami.
Disamping persyaratan di atas, masih diperlukan pula persyaratan lain yang pada
pokoknya bertujuan untuk mempercepat proses serta menghasilkan kompos dengan nilai
yang baik, antara lain, homogenitas (pengerjaan yang dilakukan agar bahan yang
dikomposkan selalu dalam keadaan homogen), aerasi (suplai oksigen yang baik agar
proses dekomposisi untuk bahan-bahan yang memerlukan), dan penambahan starter
(preparat mikroba) kompos dapat pula dilakukan, misalnya untuk jerami. Agar proses
pengomposan bisa berjalan secara optimum, maka kondisi saat proses harus
diperhatikan. Kondisi optimum proses pengomposan.
Secara teknis, transformasi bahan organik tidak-stabil menjadi bahan organik
stabil (kompos matang) ditandai oleh pembentukan panas dan produksi CO2. Selama
proses pengomposan, komposisi populasi mikroba berubah dari tahap mesofilik (suhu
20-40 oC) ke tahap termofilik (suhu bisa mencapai 80oC), dan terakhir tahap stabilisasi
atau pendinginan. Mikroba mesofilik memulai dekomposisi substrat mudah hancur
seperti protein, gula, dan pati yang selanjutnya digantikan oleh mikroba termofilik yang
secara cepat merombak substrat organik.Pada tahap akhir stabilisasi, jumlah populasi
mikroba meningkat. Panas yang timbul selama fase termofilik mampu membunuh
mikroba patogen (>55oC) dan benih gulma (>62oC) sehingga kompos matang sering
dipakai sebagai media pembibitan tanam. Penggunaan kompos matang mampu
menstimulasi perkembangan mikroba dan menghindari bibit dari serangan patogen tular
tanah.
Kompos mengalami tiga tahap proses pengomposan yaitu Padatahap pertama
yaitu tahap penghangatan (tahap mesofilik), mikroorganisme hadir dalam bahan kompos
secara cepat dan temperatur meningkat. Mikroorganisme mesofilik hidup pada
temperatur 10-45oC dan bertugas memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga
luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan.
Pada tahap kedua yaitu tahap termofilik, mikroorganisme termofilik hadir dalam
tumpukan bahan kompos. Mikroorganisme termofilik hidup pada tempratur 45-60oC dan
bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat
terdegradasi dengan cepat. Mikroorganisme ini berupa Actinomycetes dan jamur
termofilik. Sebagian dari Actinomycetes mampu merombak selulosa dan hemiselulosa.
Kemudian proses dekomposisi mulai melambat dan temperatur puncak dicapai. Setelah
temperatur puncak terlewati, tumpukan mencapai kestabilan, dimana bahan lebih mudah
terdekomposisikan.
Tahap ketiga yaitu tahap pendinginan dan pematangan. Pada tahap ini, jumlah
mikroorganisme termofilik berkurang karena bahan makanan bagi mikroorganisme ini
juga berkurang, hal ini mengakibatkan organisme mesofilik mulai beraktivitas kembali.
Organisme mesofilik tersebut akanmerombak selulosa dan hemiselulosa yang tersisa
dari proses sebelumnya menjadi gula yang lebih sederhana, tetapi kemampuanya tidak
sebaik organism termofilik. Bahan yang telah didekomposisi menurun jumlahnya dan
panas yang dilepaskan relatif kecil.
Proses pembuatan kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang
memerlukan sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel baru,
bersama dengan pasokan nitrogen untuk protein sel. Nitrogen merupakan unsur hara
paling penting. Perbandingan karbon dan nitrogen (C/N) berkisar antara 25-35 : 1. Jika
perbandingan jauh lebih tinggi, proses metabolisme membutuhkan waktu lama sebelum
karbon dioksidasi menjadi karbon dioksida, sedangkan jika perbandingan lebih kecil,
maka nitrogen yang merupakan komponen penting pada kompos akan dibebaskan
sebagai ammonia. Ukuran partikel berperan dalam pergerakan oksigen ke dalam
tumpukan kompos (melalui pengaruh porositas), akses mikroorganisme dan enzim untuk
substrat. Partikel ukuran besar mendifusikan oksigen akibat rata-rata pori besar.
Namun, partikel yang lebih besar juga meminimalkan permukaan spesifik dari
substrat, yang merupakan rasio luas permukaan dengan volume, sehingga sebagian
besar substrat tidak terakses pada mikroorganisme atau enzim mereka. Pengomposan
yang efisien membutuhkan akses terhadap oksigen dan nutrien di partikel. Sistem
pengomposan bertujuan untuk mempertahankan kondisi aerob selama proses.
Pengomposan pada kondisi aerob meningkatkan laju dekomposisi, sehingga terjadi
peningkatan temperatur. Apabila aerasi tidak terhambat, maka tidak dihasilkan bau tidak
sedap. Kondisi tidak adanya udara (kondisi anaerobik) akan menimbulkan
perkembangbiakan berbagai macam mikroorganisme yang menyebabkan pengawetan
keasaman dan pembusukan tumpukan yang menimbulkan bau busuk. Aerasi diperoleh
melalui gerakan alami dari udara ke dalam tumpukan kompos, dengan membolak-balik.
Kelembaban merupakan faktor utama dalam pengomposan aerob.
Kelembaban dibawah 20 % menyebabkan pengomposan terhenti. Jika
kelembaban diatas 55 %, air akan mulai mengisi ruang antara bahan, menyebabkan
pengurangan jumlah oksigen dan terbentuk kondisi anaerob, sehingga temperatur
menurun dan menimbulkan bau tidak sedap.
pH digunakan untuk mengevaluasi hasil metabolisme mikroorganisme di
lingkungan. pH kompos bervariasi dengan waktu selama proses pengomposan dan
digunakan sebagai indikator dekomposisi dalam massa kompos. pH awal bahan
pengomposan sekitar 5,0 sampai 7,0. Setelah tiga hari pengomposan, pH menurun
menjadi 5,0 atau kurang karena hasil penguraiannya adalah asam organik sederhana
dan kemudian meningkat sekitar 8,5 sebagai akibat sisa dari proses aerob (protein
diuraikan dan amonia dilepaskan).

Anda mungkin juga menyukai