Oleh
Nama : Aditya Sri Nugraha
NIM : 2105559
Abstrak
Di awal januari 2019 lalu, telah beredar gagasan baru yang muncul dari peradaban
Jepang sana yaitu Society 5.0 disampaikan dalam Forum Ekonomi Dunia 2019 di
Davos, Swiss. Gagasan ini muncul atas respon revolusi Industri 4.0 sebagai
signifikannya perkembangan teknologi, tetapi peran masyarakat sangat menjadi
pertimbangan atas terjadinya revolusi industri 4.0 ini. Society 5.0 menawarkan
masyarakat yang berpusat pada manusia yang membuat seimbang antara
kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang
sangat menghubungkan melalui dunia maya dan dunia nyata.
Sebenarnya, konsep revolusi industri 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan
yang jauh. Yaitu revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (artificial
intellegent) sedangkan society 5.0 memfokuskan kepada komponen manusianya.
Pada revolusi society 5.0 ini lebih difokuskan pada manusia yang memiliki
paradigma cara berpikir yang lebih kritis.
Virtual Learning adalah salah satu sistem pendidikan jarak jauh yang bertujuan
untuk mengefisiensikan dan mengefektifkan metode pembelajaran dengan
menggunakan internet. Jarak dan waktu tidak lagi menjadi masalah dalam proses
pembelajaran dalam konsep Virtual Learning ini. Dalam sistem pembelajaran
melalui internet isi pembelajaran disampaikan secara online. Dalam sistem
pembelajaran ini siswa berdiskusi, belajar, bertanya dan mengerjakan soal soal
latihan secara online. Semua proses pembelajaran dapat dilakukan tanpa menuntut
siswa hadir di ruang kelas tertentu, tetapi mereka berinteraksi satu sama lain untuk
mendiskusikan pelajaran seperti yang terjadi di kelas biasa.
Dalam penerapan virtual learning, komponen siswa, guru, dan sumber belajar
difasilitasi oleh TIK untuk mencapai tujuan belajar. Prinsip utama dalam virtual
learning adalah otoritas dan kolaborasi. Otoritas dalam arti, siswa memiliki
tanggung jawab untuk menentukan materi, akses terhadap sumber belajar, waktu
yang dimiliki, media yang akan digunakan, serta tempat dan langkah-langkah
belajar yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kolaboratif dalam
arti, untuk dapat melakukan tanggung jawab tersebut siswa dituntut untuk
berinteraksi dengan siswa lain, guru atau tutor; dan sumber belajar lain yang
tersedia.
Ada yang masih ingat kasus Y2K (Year 2 Kilo atau Year 2000)? Kejadian
tersebut akibat adanya perubahan sistem digit tahun pada sistem komputer antara
tahun 1999 ke 2000. Sebelum perubahan tahun 2000, pada tahun 1999 digit tahun
ditulis “hanya 99” sebagai arti tahun 1999. Andai tidak ada kasus Y2K, maka
tahun 2000 menjadi “tahun 00”. Apa yang terjadi bila Anda bertransaksi bulan
Januari tahun 2000 tanpa ada kasus Y2K? Maka transaksi Anda akan menjadi di
Januari 1900. Saat itu terjadi perubahan besar-besaran sistem “century” pada
bahasa pemprograman menjadi 4 digit. Saat itu sistem komputer AS400 digeser
oleh Platinum 2000. Jadi tanpa kita sadari, revolusi industri 4.0 sudah dimulai
sejak kasus Y2K ada.
Revolusi industri 4.0 adalah proses kelanjutan perubahan tahap automatisasi pada
revolusi industri 3.0 dalam kehidupan yang bertumpu kepada sistem jaringan
internet. Ada beberapa catatan penting untuk dunia pendidikan dalam menyambut
revolusi 4.0 menurut Ahmad (2018), seperti:
A. Era Disrupsi Teknologi Revolusi Industri 4.0
1. Sebagian besar perusahaan menggunakan teknologi untuk menjual produk
mereka secara online (The Economist, 2017).
2. Semakin pentingnya kecakapan sosial (social skills) dalam bekerja (The
Economist, 2017).
3. >55 % organisasi menyatakan bahwa digital talent gap semakin lebar
(LinkedIn, 2017)
4. Indonesia perlu meningkatkan kualitas keterampilan tenaga kerja dengan
teknologi digital (Parray, ILO, 2017).
B. Literasi Era 4.0
Agar lulusan bisa kompetitif, kurikulum perlu orientasi baru, sebab adanya Era
Revolusi Industri 4.0, tidak hanya cukup Literasi Lama (membaca, menulis, &
matematika) sebagai modal dasar untuk berkiprah di masyarakat menurut
Ahmad, I, 2018 (Aoun, MIT, 2017). 3 Kelompok/Jenis literasi era revolusi
industri 4.0:
1. Literasi Data: Kemampuan untuk membaca, analisis, dan menggunakan
informasi (Big Data) di dunia digital.
2. Literasi Teknologi: Memahami cara kerja mesin, aplikasi teknologi (Coding,
Artificial Intelligence, & Engineering Principles).
3. Literasi Manusia: Humanities, Komunikasi, & Desain.
C. Kebijakan Perguruan Tinggi Era Revolusi Industri 4.0
1. Paradigma Tri Darma Perguruan Tinggi harus diselaraskan dengan era
industri 4.0.
2. Reorientasi Kurikulum:
a) Literasi baru (big data, teknologi/coding, humanities) dikembangkan dan
diajarkan.
b) Kegiatan ekstra kurikuler untuk pengembangan kepemimpinan dan
bekerja dalam tim agar terus dikembangkan.
c) Entrepreneurship dan internship agar diwajibkan.
3. Hybrid/Blended Learning, Online Menerapkan sistem pengajaran
Hybrid/Blended Learning & Online.
4. Hibah dan Bimtek dari Belmawa untuk reorientasi kurikulum (GEN-RI 4.0)
untuk 400 PT.
Masyarakat dan ekonomi kita telah mengalami transformasi yang mendalam dari
ketergantungan pada industri berbasis pengetahuan. Peningkatan dorongan global
yang disebut "kompetensi abad ke-21" - termasuk pemahaman yang mendalam,
fleksibilitas dan kapasitas untuk membuat koneksi yang kreatif, yang disebut juga
"soft skill" termasuk tim-kerja. Kuantitas dan kualitas pembelajaran menjadi
pusatnya, dengan keprihatinan yang menyertai bahwa pendekatan pendidikan
tradisional tidak mencukupi [15].
Virtual Learning adalah salah satu sistem pendidikan yang bertujuan untuk
mengefisiensikan dan mengefektifikan metode pembelajaran dengan
menggunakan internet. Jarak dan waktu tidak lagi menjadi masalah dalam proses
pembelajaran dalam konsep Virtual Lerning ini.
Media pembelajaran berbasis TIK sangat erat kaitannya dengan kreativitas anak,
dan anak yang mempunyai kreativitas tentunya anak yang perkembangannya baik
dan mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik pula dan mereka tidak
ingin mempermasalahkan berlarut-larut dan secepatnya diselesaikan.
2. Kelas virtual
Maksud kelas virtual di sini adalah siswa belajar mandiri yang berbasiskan
web, kita sebagai guru memperoleh kemudahan dalam memeriksa tugas dan
menilai hasil ujian siswa. Terutama hasil ujian siswa akan dinilai secara
otomatis. Sebenarnya banyak bentuk pemanfaatan TIK lainnya yang dapat
digunakan untuk membantu siswa dalam proses belajar mengajar. Tetapi
semua itu tergantung kepada kita bagaimana cara memanfaatkannya
PEMBAHASAN
Dengan melakukan virtual learning siswa memiliki akses informasi secara luas
dengan memanfaatkan the world wide web (www). Siswa dapat memperoleh
apapun yang diinginkan, dimanapun diinginkannya, dan kapan pun
menginginkannya (to give what people want, where they want it, and when
they want it – www). Hal ini menunjukkan bahwa siswa memiliki sumber
belajar yang tidak terbatas untuk melakukan proses belajar. Barr & Tagg
(dalam Simonson, dkk., 2003: 241) menambahkan bahwa perubahan
paradigma yang terjadi dengan penggunaan TIK dalam pembelajaran adalah
perubahan dari penyajian pembelajaran dan mata pelajaran, belajar pasif, serta
persaingan atau kompetisi menuju pada penciptaan lingkungan belajar, belajar
aktif, dan kerja sama.
McPherson & Nunes (2004: 84) mengemukakan tiga topik utama yang perlu
dikuasai siswa berkenaan dengan NICLS sebagai berikut.
1. Kolaborasi dan kerja sama secara online
Dalam hal ini siswa dituntut untuk menyadari faktor sosial yang terlibat
dalam penggunaan teknologi CMC seperti pengabaian batas-batas,
mengatasi penyingkapan diri (self-disclosure), etika online, dan sebagainya.
2. Mencari dan menemukan kembali informasi
Keterampilan ini berkaitan dengan keterampilan siswa dalam
mengeksplorasi dan menemukan informasi yang tersedia dalam Internet
atau Intranet. Dengan banyaknya informasi yang tersedia dalam Internet,
siswa harus dapat mencari dan menemukan kembali informasi dari sumber-
sumber online dengan menggunakan mesin-mesin pencari informasi
(searching engine) di internet.
3. Menilai sumber informasi dalam internet
Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan siswa mengevaluasi secara
kritis sumber informasi dan mengaitkan informasi yang dipilih dengan
pengetahuan yang telah dimiliki.
Bertolak dari kaidah-kaidah dan anggapan yang dianut teori belajar konstrukti-
visme di atas, maka dipilihlah dan diterapkan beberapa sistem dalam
implementasi model pembelajaran virtual, di antaranya melalui pembelajaran
individual (self-instruction); yang diwujudkan dalam bentuk belajar mandiri (self-
learning) dengan menggunakan program pembelajaran virtual berbasis komputer.
Dengan demikian peserta didik yang berkemampuan tinggi dapat lebih cepat
menuntaskan pembelajarannya, sedangkan peserta didik berkemampuan rendah
atau yang lambat belajarnya dapat mengulangi pembelajaran sampai mencapai
kriteria ketuntasan tanpa terikat dengan waktu dan tempat.
Tokoh teori belajar kognitif adalah Jerome Bruner dan Jean Piaget. Teorinya
didasarkan pada asumsi bahwa:
(1) individu mempunyai kemampuan memroses informasi;
(2) kemampuan memroses informasi tergantung kepada faktor kognitif yang
perkembangannya berlangsung secara bertahap sejalan dengan tahapan
usianya;
(3) belajar adalah proses internal yang kompleks berupa pemrosesan informasi;
(4) hasil belajar adalah berupa perubahan struktur kognitif;
(5) cara belajar pada anak-anak dan orang dewasa berbeda sesuai tahap
perkembangannya.
Pembelajaran berbasis komputer sangat dipengaruhi oleh teori belajar kognitif
model pemrosesan informasi (information processing model), yang mulai
berkembang pada tahun 60 dan 70-an, yang dipelopori oleh Robert Gagne.
Asumsinya adalah “pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam
perkembangan”. Model ini menampilkan konseptualisasi dari sistem memori pada
manusia yang mirip dengan sistem memori pada komputer. Model pemrosesan
informasi ini menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali
pengetahuan dari otak. Peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi
informasi dari input (stimulus) ke output (respons).
[6] Errington, E.P. (2001). The influence of teacher beliefs on flexible learning
innovation in traditional university setting. Dalam Innovation in open and
distance learning.
[8] Herrington, J. & Oliver, R. (2006). Professional Development for the Online
Teacher: An Authentic Approach. Dalam Tony Herrington & Jan
Herrington, Authentic Learning Environment in Higher Education, Hershey,
PA: Information Science Publishing. Hal.283 – 295.
[12] Levy, S. (2003). Six Factors to Consider when Planning Online Distance
Learning Programs in Higher Education. Online Journal of Distance
Learning Administration, Vol. VI (1).
[16] Pannen, P. (1999). Pengertian Sistem Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh.
Dalam Tian Belawati, dkk. (Ed.), Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh.
Jakarta: Universitas Terbuka. Hal. 11 – 29.