H VVVJNSJSJSBSBDBBSNZN
H VVVJNSJSJSBSBDBBSNZN
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kingskey (dalam Djamarah, 2011: 13) mengatakan bahwa learning is the process
by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through
practice or training. Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas)
ditimbulkan atau diubah melaui praktek atau latihan.
Pengetian belajar yang selanjutnya menurut Slameto (2003: 2). Belajar
adalah suatu proses usaha yang dikalukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Travers (dalam Suprijono, 2011: 2). Belajar adalah proses menghasilkan
penyesuaian tingkah laku. Geoch (dalam Suprijono, 2011: 2). Learning is a
change in performance as a resultof practice. Belajar adalah perubahan
performance sebagai hasil latihan. Morgan (dalam Suprijono, 2011: 3). Learning
is any relatively permanent change in behavior that is a result of past experience.
Belajar adalah perubahan perilaku yang bersifat pemanen sebagai hasil dari
pengalaman. Menurut Mahmud (2010: 61) proses munculnya atau berubahnya
suatu perilaku karena adanya respons terhadap suatu situasi. Menurut Skinner
yang (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009: 9) bahwa belajar merupakan hubungan
antara stimulus dan respons yang tercipta melalui proses tingkah laku.
Berdasarkan uraian beberapa pengertian belajar dari para ahli, maka
peneliti menyimpulkan pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan
oleh siswa dan merupakan proses mendapatkan pengetahuan dan perubahan
dalam diri seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya.
Setelah mengupas mengenai pengertian belajar dari para ahli dapat
diperoleh kesimpulan bahwa belajar adalah perubahan pada diri seseorang yang
melakukan perbuatan belajar itu. Perubahan itu dapat dinyatakan sebagai suatu
kecakapan, suatu kebiasaan, suatu sikap, suatu pengertian sebagai pengetahuan
atau apresiasi (penerimaan atau penghargaan) dan lain-lain. Tujuan dari belajar
adalah untuk memperoleh hasil belajar yang baik maka setelah mengupas
mengenai belajar akan dilanjutkan pada pembahasan hasil belajar
11
2.1.2 Keaktifan
Sebelum peneliti meninjau lebih jauh tentang keaktufan belajar, terlebih
dahulu kita harus mengetahui tentang aktifitas belajar.
Belajar menurut Hamalik (2001: 28), belajar adalah “Suatu proses
perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan”. Aspek
tingkah laku tersebut adalah: pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan,
apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap.
Dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang
dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan
belajar. Aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa,
sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran terciptalah situasi
belajar aktif, belajar aktif adalah “Suatu sistem belajar mengajar yang
menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna
memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek koqnitif, afektif dan
psikomotor”.
Menurut Usman (2002: 26) cara yang dapat dilakukan guru untuk
memperbaiki keterlibatan siswa antara lain sebagai berikut:
a. Tingkat prestasi siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang
membuat responyang aktif dari siswa.
b. Masa transisi antara kegiatan dalam mengajar hendakanya dilakukan secara
cepat dan luwes.
c. berikan pengajaran dengan jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar
yang akan dicapai.
d. Usahakan agar pengajaran dapat lebih memacu minat siswa.
Menurut Lidgren (dalam Usman, 2002: 24) terdapat empat jenis interaksi
dalam kegiatan belajar mengajar diantaranya sebagai berikut:
12
G G
S S S S S S
Komunikasi Satu Arah Ada Balikan Dari Guru, Tidak
Gambar 1.a Ada Interaksi Diantara Siswa
Gambar 1.b
G G
S S S S S S
Gambar 2.1
Interaksi Kegiatan Belajar
informasi, pengertian, dan sikap. Hasil belajar menurut Sudjana dan Ahmad
(1999:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalan
belajarnya.
Dari beberapa pengertian hasil belajar dari para ahli maka pemikiran
penulis tentang hasil belajar adalah hasil akhir dari dari seluruh kegiatan belajar
siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu palajaran untuk
mencapai kompetensi yang berupa aspek kognitif yang diungkapkan dengan alat
penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai,
aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan
aspek psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan bertindak
siswa dalam mengikuti pembelajaran. Belajar itu sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku, atau memaknai seseatu yang diperoleh. Akan tetapi apabila kiat
bicara tentang hasil belajar, maka hal itu merupakan hasil yang telah dicapai oleh
si pembelajar.
2.1.5 Matematika
Matematika dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain
mempunyai karakteristik tersendiri. Banyak para ahli menyebutkan bahwa
matematika itu berhubungan dengan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak
yang penalarannya bersifat deduktif, namun orang-orang sering menyebut
matematika itu ilmu hitung. Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau
mathema yang berarti ‘belajar atau hal yang dipelajari’, sedang dalam bahasa
Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan
penalaran. Matematika memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik,
penalaran yang jelas dan sistematis, dan struktur atau keterkaitan antar konsep
yang kuat. Unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang
bekerja atas dasar asumsi (kebenaran konsistensi). Selain itu, matematika juga
17
bekerja melalui penalaran induktif yang didasarkan fakta dan gejala yang muncul
untuk sampai pada perkiraan tertentu. Tetapi perkiraan ini, tetap harus dibuktikan
secara deduktif, dengan argumen yang konsisten menurut Arsyilia.
Dalam proses belajar Matematika menurut Brunner (dalam Muhsetyo,
dkk, 2007: 1.26) menyatakan pentingnya tekanan pada kemampuan peserta didik
dalam berfikir intuitifdan analitik akan mencerdaskan peserta didik membuat
prediksi dan terampil dalm menemukan pola (pattern) dan hubungan/keterkaitan
(relations). Pembaruan dalam proses belajar ini, dari proses drill & practiceke
proses bermakna, dan dilanjutkan proses berfikir intuitif dan analitik, merupakan
usaha yang luar biasa untuk selalu meningkatkan mutu pembelajaran matematika.
2.1.5.1 Tujuan dan Fungsi Pembelajara Matematika
Setiap yang dilakukan manusia pastilah memiliki tujuan, begitu pula
dengan pembelajaran matematika. Tujuan umum pendidikan matematika
ditekankan pada siswa untuk memiliki:
a. Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam
memecahkan masalah matematika, pelajaran lain ataupun masalah yang
berkaitan dengan kehidupan nyata.
b. Kamampuan menggunakan matematika sebagai lat komunikasi.
c. Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat
dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis,
berpikir sistematis, bersifat obyektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam
memandang dan menyelsaikan suatu masalah.
Selain tujuan umum pembelajaran matematika ada pula fungsi matematika
dalam pembelajaran, yaiyu sebagai berikut:
Matematika berfingsi mengembangakan kemampuan menghitung, mengukur,
menurunkan dan menggunakan rumus, matematika yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari melalui pengukuran dan geometri, aljabar, peluang, dan
statistik, kalkulus dan trigonometri. Matematika juga berfingsi mengembangka
kemampuan mengomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat
berupa kalimat matematika dan persamaan matematika, diagram, grafik atau table.
18
Matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran
dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Menurut Depdiknas
(2002: 14) penekanan berlebihan pada penghafalan semata, penekanan pada
kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses
belajar-mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu
menyebabkan terjadinya fobia matematika.
Selama ini proses pembelajaran matematika kebanyakan masih
mengunakan paradigma yang lama dimana guru memberikan pengetahuan kepada
siswa yang pasif. Guru mengajar dengan metode konvensional yaitu metode
ceramah dan mengharapkan siswa duduk, diam, dengar, catat dan hafal (3DCH)
sehingga Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) menjadi monoton dan kurang
menarik perhatian siswa. Kondisi seperti itu tidak akan meningkatkan kemampuan
siswa dalam memahami mata pelajaran matematika. Akibatnya nilai akhir yang
dicapai siswa tidak seperti yang diharapkan. Siswa kelas V SD Negeri 02
Mulyoharjo dalam pembelajaran materi pokok operasi hitung bilangan pecahan
yang mendapatkan nilai 65 ke atas hanya 11 siswa atau 42,3% dari 26 orang
siswa.
Menurut Muhsetyo, dkk (2007: 1.26) Pembelajaran matematika adalah
proses poemberian pengalaman belajar peserta didik melalui serangkaian kegiatan
yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan
matamatika yang dipelajari.
Pembelajaran matematika yang diajarkan di SD merupakan matematika
sekolah yang terdiri dari bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuh
kembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi anak serta
berpedoman kepada perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal ini
menunjukkan bahwa matematika SD tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki
matematika, yaitu: (1) memiliki objek kajian yang abstrak (2) memiliki pola pikir
deduktif konsisten. Suherman (2006: 55) menjelaskan bahwa matematika sebagai
studi tentang objek abstrak tentu saja sangat sulit untuk dapat dipahami oleh
siswa-siswa SD yang belum mampu berpikir formal, sebab orientasinya masih
20
terkait dengan benda-benda konkret. Ini tidak berarti bahwa matematika tidak
mungkin tidak diajarkan di jenjang pendidikan dasar, bahkan pada hakekatnya
matematika lebih baik diajarkan pada usia dini.
Sebelum tahun lima-puluhan, kurikulum matamatika sekolah dasar
dipengaruhi oleh Thorndike, ditandaiterutama dengan pengembangan
keterampilan komputasionalbilangan cacah, pecahan, dan decimal. Teori
Thorndike tersebut teori penerapan, yaitu teori yang memandang peserta didik
sebagai selembar kertas putih, penerima pengetahuanyang sisp menerima
pengetahuan secara pasif. Menurut Thorndike 1924 (dalam Muhsetyo, dkk (2007:
1.8) belajar dikatakan sbagai berikut: learning in essentially the formation of
connections or bonds between situations and responses…and that habit rules in
the realm of thought as truly and as fully in the ream of action.
Penyelidikan matematis adalah penyelidikan tentang masalah yang dapat
dikembangkan menjadi model matematika pada tema tertentu berorientasi pada
kajian atau eksplorasi mendalam, dan bersifat open-ended. Kegiatan belajar yang
dilaksanakan dapat berupa cooperative learning menurut Muhsetyo, dkk (2007:
1.31). Anak unur 6-9 tahun sifat fisiknya samangat aktif sehingga mudah merasa
letih dan memerlukan istirahat. koordinasi otot-otot kecil masih belum sempurna,
karena itu masih belum ada bisa memegang pensil dengan baik. Untuk dapat
menyiptakan proses belajar matematika yang efektif dan hidup guru harus dapat
mebebtukan suasana yang tepat dengan kondisi anak. Hindari anak menulis atau
mengerjakan soal matematika yang berkepanjangan karena dapat menyebabkan
anak jemu, bosan, lelah dan keterampilan menilisnya semakin menurun.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dapat dikatakan bahwa
pemahaman guru tentang hakikat pembelajaran matematika di SD dapat
merancang pelaksanaan proses pembelajaran dengan baik yang sesuai dengan
perkembangan kongnitif siswa, pemggunaan media, metode dan pendekatan yang
sesuai pula. Sehingga guru dapat menciptakan suasana pembelajaran yang
kondusif serta terseranggaranya kegiatan pembelajaran yang efektif. Selama ini
kegiatan pembelajaran matematika di kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara
masih menggunakan metode konvensional yaitu ceramah saja, sehingga guru
21
dominan dalam kegiatan belajar mengajar. Dampaknya siswa kurang aktif dalam
kegiatan belajar sehingga siswa sulit menerima materi. Belum lagi ditambah
asumsi siswa bahwa mata pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sulit,
sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar apalagi mendengarkan penjelasan
guru.
prinsipnya menyatakan beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama tersebut
bersama-samamembentuk suatu unit. Dua macam keadaan yang perlu penekanan
adalah konsep keseluruhan dengan panjang, luas, volume, dan hitungan atau
cacah. Kaitan masing-masing dapat ditunjukkan dengan menggunakan benda-
benda manipulative, misalnya kertas, karton, kelereng, kerikil, manik-manik, mata
uang, kuku, pensil, atau butiran menurut Muhsetyo, dkk (2007: 4.20).
Kesulitan yang dialami siswa kelas V SD Negeri 05 Mulyharjo Jepara
pada materi pecahan campuran adalah: Cara menyelesaikan soal pecahan
campuran karena pada dasarnya anak belum menguasai konsep pecahan. Pecahan
adalah konsep yang abstrak. Padahal anak kelas V SD berada pada tahap
perkembangan oprasional konkret. Dengan demikian, konsep tersebut tidak
22
pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Menurut Suprijono (2011:
94) hal-hal yang perlu disiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan make a
match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu terdiri dari kartu berisi pertanyaan dan
kartu-kartu yang lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Metode pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) ini
dikembangkan oleh Lorna Curan 1994 (dalam Lie, 2002: 55) beliau mengatakan
salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar
mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. teknik ini
dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia anak
didik. Model yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran
adalah keaktifan siswa”. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan
menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan
siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan
kondusif, dimana masing - masing siswa dapat melibatkan kemampuannya
semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula
terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada
peningkatan prestasi.
Model pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan), merupakan
bentuk model pembelajaran dengan melalui permainan yang sesuai dengan tahap
permainan dengan formalisasi (formalization). Make-A Match Lorna Curran 1994
(dalam Lie, 2002: 58) adalah salah satu permainan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau
topik yang cocok sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian
lainnya kartu jawaban
2. Setiap peseta didik mendapatkan satu kartu
3. Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang
dipengang
4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang
cocok dengan kartunya (soal jawaban)
5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas
waktu akan diberi point
6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya
7. Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut diatas
25
8. Kesimpulan/penutup
Pada penerapan metode Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa
metode Make A Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab
pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses
pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias
mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat
siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Hal ini merupakan suatu ciri
dari pembelajaran kooperatif seperti yang dikemukan oleh Lie (2002: 30) bahwa,
“Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang menitikberatkan pada gotong
royong dan kerja sama.”. adapun kelemahan dan keunggulan yang dikemukakan
adalah sebagai berikut:
Keunggulan model pembelajaran Make-A Match adalah:
Pembelajaran kooperatif metode Make A Match memberikan manfaat bagi
siswa, di antaranya sebagai berikut:
a. Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan.
b. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa
c. Mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar
secara klasikal 87,50%
d. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them
move)
e. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis
f. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa
Kelemahan model pembelajaran Make-A Match:
Jila kelas terlalu gemuk (di atas 30 siswa) akan muncul suasana seperti
pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Hal ini dapat diatasi dengan
menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa, sebelum dimulai
permainan.
Tak ada gading yang tak retak , begitu pula pada metode ini. Di samping
manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif metode Make A
Match berdasarkan temuan di lapangan mempunyai sedikit kelemahan yaitu:
a. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan
26
b. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak
bermain-main dalam proses pembelajaran.
c. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai.
d. Pada kelas yang gemuk (> 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana maka yang
muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali.
Tentu saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas di kiri
kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa
diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa
sebelum ‘pertunjukan’ dimulai. Pada dasarnya menendalikan kelas itu
tergantung bagaimana kita memotivasinya pada langkah pembukaan.
Berdasarkan pada kegiatan belajar mengajar penggunaan metode Make a
Match, siswa nampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan soal.
Dengan metode pencarian kartu pasangan ini siswa dapat mengidentifikasi
permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukannya dan
menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara bersama-sama.
Pada penerapan metode Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa
metode Make a Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab
pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses
pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias
mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat
siswa mencari pasangan kartunya masing-masing.
Kegiatan yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik
perhatian sehingga pada akhirnya dapat menciptakan keaktifan dan motivasi siswa
dalam diskusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik (1994: 116), “Motivasi
yang kuat erat hubungannya dengan peningkatan keaktifan siswa yang dapat
dilakukan dengan strategi pembelajaran tertentu, dan motivasi belajar dapat
ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif. Apabila motivasi yang dimiliki oleh
siswa diberi berbagai tantangan, akan tumbuh kegiatan kreatif.” Selanjutnya,
penerapan metode Make A Match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja
sama di antara siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan. Hal
ini sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
27
Peningkatan ini bukan hanya dari pemahaman konsep saja tetapi jga dari aspek
keaktifan siswa, ini ditunjukkan dengan keaktifan siswa yang mula-mula hanya
55,67% oada siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,6% dan pada siklus II
menjadi 89,79 yaitu meningkat menjadi 8,49%. Faktor pendukung keberhasilan
penerapan model pembelajaran ini karena siswa sangat senang belajar sambil
bermain, disamping itu alat dan bahan yang digunakan mudah diperoleh dan
harganya relatif murah, proses pembuatannyapun sangat mudah. Faktor
penghambat penerapan model pembelajaran ini adalah terbatasnya buku sumber
materi sehingga siswa hanya mengandalkan buku paket yang dimiliki, namun hal
ini peneliti sudah memberikan jalan keluarnya dengan meringkas materi dari buku
elektronik. Hasil penelitian menyatakan bahwa model pembelajaran mencari
pasangan (make a match) dapat meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat
dilihat dari peningkatan Keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada
siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,63% dan pada siklus II menjadi
89,79% yaitu meningkat 8,49% dari siklus I.
Penelitian yang dilakukan oleh Seri Ningsih (2010). Penelitian Pada siswa
SD Negari Kelas V Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak Tahun Ajaran
2009/2010. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make-A
Match ditinjau dari aktifitas Belajar Siswa. Penelitian ini merupakan
eksperimental semu dengan desain factorial 2x3. Populasi penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas V semester ganjil SD Negeri Kecamatan Pontianak Kota di
Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat tahun pelajaran 2009/2010 yang
berjumlah 18 SD. Total sample penelitian ini adalah 180 siswa, terdiri dari 93
siswa pada kelompok eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif taknik
Make-A Match dan 87 siswa pada kelompok control dengan metode pembelajatan
direct inruction. Hasilnya menunjukkan prestasi belajar siswa dengan model
pembelajaran kooperatif teknik Make-A Match lebih dari pada menggunakan
model direct intruction.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Noviawati (2009). PTK kelas VIII
SMP Negeri 1 Gatak Sukoharjo Tahun Ajaran 2008/2009. Upanya peningkatan
keaktifan Belajar Matematika Melalui Pendekatan Make-A Match. Hasil
34
siswa meningkat. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai aktivitas siswa untuk
kerjasama (KRJ) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 10 siswa yang
mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 2 siswa yang mendapat nilai
cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa
untuk keseriusan (KSR) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 8 siswa yang
mendapat sangat aktif, 12 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai
cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa
untuk ketepatan siswa (KTT) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 9 siswa
yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang
mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai
aktivitas siswa untuk kemampunan bertanyan (KB) pada pertemuan keempat
siklus II terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang mendapat
aktif, 2 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai
kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk aktivitas menulis (AM) pada pertemuan
keempat siklus II terdapat 7 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang
mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang
mendapat nilai kurang aktif. Sedangkan nilai tes siswa siklus I pertemuan pertama
terdapat 11 siswa yang mendapat sangat baik, 8 siswa yang mendapat nilai baik, 4
siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang
baik. Pada siklus II terdapat 18 siswa yang mendapat sangat baik, 3 siswa yang
mendapat baik, 2 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang
mendapat nilai kurang baik. Untuk nilai aktivitas guru pada siklus II pertemuan
keempat sebanyak 5 item (55,6%) pada posisi sangat sempurna dan 4 item
(44,4%) pada posisi sempurna.Menurut peneliti bahwa pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran Make A Make (mencari pasangan) dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar.
Dari beberapa penelitian tentang Make A Match (mencari pasangan) yang
telah dilakukan oleh beberapa peneliti kebanyakan meningkat setelah dilakukan
pembelajaran dengan metode Make A Match (mencari pasangan). Dengan analisis
tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan menerapkan model
36