Anda di halaman 1dari 29

9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori


2.1.1 Belajar
Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan
masyarakat. Bagi para pelajar atau mahasiswa “belajar” merupakan kata yang
tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua
kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal. Kegiatan
belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam hari,
siang hari, sore hari, atau pagi hari.
Namun, dari semua itu tidak semua orang mengetahui apa itu belajar.
Seandainya dipertanyakan apa yang sedang dilakukan? Tentu saja jawabnya
adalah “belajar”. Itu saja titik. Sebenarnya dari kata “belajar”itulah yang perlu
diketahui dan dihayati, sehingga tidak melahirkan pemahaman yang keliru
mengenai masalah belajar.
Masalah pengertian belajar ini, para ahli psikologi dan pendidikan
mengemukakan rumusan yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian mereka
masing-masing. Tentu saja mereka mempunyai alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (dalam Djamarah, 2011: 12)
Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi belajar. Menurut Ma’mur
(2010: 63) mengatakan belajar adalah proses membangun makna atau pemahaman
oleh pembelajar terhadap pengalaman dan informasi yang disaring dengan
pandangan, pikiran pengetahuan yang dimiliki dan perasaan. Selaras dengan
pendapat diatas, Bahri dan Aswan (2010: 10) menyatakan bahwa belajar adalah
proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. James O. Whittaker
(dalam Djamarah, 2011: 12) misalnya merumuskan belajar sebagai proses di
mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah malalui latihan atau pengalaman.
Cronbach (dalam Djamarah, 2011: 12) berpendapat bahwa lerning is shown by
change in behavior as a result of experience. Belajar sebagai suatu aktifitas yang
ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Howard L.
9
10

Kingskey (dalam Djamarah, 2011: 13) mengatakan bahwa learning is the process
by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through
practice or training. Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas)
ditimbulkan atau diubah melaui praktek atau latihan.
Pengetian belajar yang selanjutnya menurut Slameto (2003: 2). Belajar
adalah suatu proses usaha yang dikalukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Travers (dalam Suprijono, 2011: 2). Belajar adalah proses menghasilkan
penyesuaian tingkah laku. Geoch (dalam Suprijono, 2011: 2). Learning is a
change in performance as a resultof practice. Belajar adalah perubahan
performance sebagai hasil latihan. Morgan (dalam Suprijono, 2011: 3). Learning
is any relatively permanent change in behavior that is a result of past experience.
Belajar adalah perubahan perilaku yang bersifat pemanen sebagai hasil dari
pengalaman. Menurut Mahmud (2010: 61) proses munculnya atau berubahnya
suatu perilaku karena adanya respons terhadap suatu situasi. Menurut Skinner
yang (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009: 9) bahwa belajar merupakan hubungan
antara stimulus dan respons yang tercipta melalui proses tingkah laku.
Berdasarkan uraian beberapa pengertian belajar dari para ahli, maka
peneliti menyimpulkan pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan
oleh siswa dan merupakan proses mendapatkan pengetahuan dan perubahan
dalam diri seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya.
Setelah mengupas mengenai pengertian belajar dari para ahli dapat
diperoleh kesimpulan bahwa belajar adalah perubahan pada diri seseorang yang
melakukan perbuatan belajar itu. Perubahan itu dapat dinyatakan sebagai suatu
kecakapan, suatu kebiasaan, suatu sikap, suatu pengertian sebagai pengetahuan
atau apresiasi (penerimaan atau penghargaan) dan lain-lain. Tujuan dari belajar
adalah untuk memperoleh hasil belajar yang baik maka setelah mengupas
mengenai belajar akan dilanjutkan pada pembahasan hasil belajar
11

2.1.2 Keaktifan
Sebelum peneliti meninjau lebih jauh tentang keaktufan belajar, terlebih
dahulu kita harus mengetahui tentang aktifitas belajar.
Belajar menurut Hamalik (2001: 28), belajar adalah “Suatu proses
perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan”. Aspek
tingkah laku tersebut adalah: pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan,
apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti dan sikap.
Dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan segala kegiatan yang
dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan
belajar. Aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa,
sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran terciptalah situasi
belajar aktif, belajar aktif adalah “Suatu sistem belajar mengajar yang
menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna
memperoleh hasil belajar berupa perpaduan antara aspek koqnitif, afektif dan
psikomotor”.
Menurut Usman (2002: 26) cara yang dapat dilakukan guru untuk
memperbaiki keterlibatan siswa antara lain sebagai berikut:
a. Tingkat prestasi siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang
membuat responyang aktif dari siswa.
b. Masa transisi antara kegiatan dalam mengajar hendakanya dilakukan secara
cepat dan luwes.
c. berikan pengajaran dengan jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar
yang akan dicapai.
d. Usahakan agar pengajaran dapat lebih memacu minat siswa.
Menurut Lidgren (dalam Usman, 2002: 24) terdapat empat jenis interaksi
dalam kegiatan belajar mengajar diantaranya sebagai berikut:
12

G G

S S S S S S
Komunikasi Satu Arah Ada Balikan Dari Guru, Tidak
Gambar 1.a Ada Interaksi Diantara Siswa
Gambar 1.b

G G

S S S S S S

Ada Balikan Dari Guru, Ada Interaksi Optimal Antar Guru


Interaksi Diantara Siswa dengan Siswa, Siswa dengan
Gambar 1.c Siswa
Gambar 1.d

Gambar 2.1
Interaksi Kegiatan Belajar

Komunikasi satu arah (gambar 1.a) merupakan komunikasi yang hanya


dilakukan oleh guru terhadap siswa, sementara siswa hanya pasif sebatas
mendengarkan komunikasi dari guru. Komunikasi dari guru sudah dapat
merespon balik dari siswa, tetapi tidak ada komunikasi antar siswa. Interaksi yang
terjadi hanya antar guru dan siswa selama pembelajaran (gambar 1.b).
Komunikasi dari guru sudah mendapat respon balik dari siswa dan ada interaksi
antar siswa, tetapi belum keseluruhan siswa yang melakukan interaksi baik
dengan guru maupun siswa lainnya (gambar 1.c). Komunikasi sudah berjalkan
baik antar guru dengan siswa maupun antar siswa dengan siswa yang lainnya.
Dalam hal ini interaksi sudah optimal selama proses pembelajaran (gambar 1.d).
13

Keaktifan siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu


indikator adanya keinginan atau motivasi siswa untuk belajar. Siswa dikatakan
memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri-ciri perilaku seperti : sering bertanya
kepada guru atau siswa lain, mau mengerjakan tugas yang diberikan guru, mampu
menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya.
Seorang pakar pendidikan, menyatakan bahwa ” hal yang paling mendasar yang
dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa”. Keaktifan siswa
dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru
dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan
suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masing - masing siswa dapat
melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari
siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang
akan mengarah pada peningkatan prestasi.
Menurut penulis aktif artinya giat bekerja dan berusaha. Keaktifan dapat
diartikan bahwa dalam pembelajaran siswa semangat mengikuti penjelasan guru,
antif bertanya, aktif menjawab, kerjasama antar siswa, aktif dalam melakukan
mermainan, aktif mengemukakan ide/pendapat, menyimpulkan hasil kegiatan.
Keaktifan siswa merupakan suatu keadaan dimana siswa berpartisipasi secara
aktif dalam pembelajaran. Dalam hal ini keaktifan dapat juga terlihat dari respon
pertanyaan atau perintah dari guru, mendengarkan dan memperhatikan penjelasan
guru, berani mengemukakan pendapat, dan aktif mengerjakan soal yang diberikan
guru.
Selanjutnya tingkat keaktifan belajar siswa dalam suatu proses
pembelajaran juga merupakan tolak ukur dari kualitas pembelajaran itu sendiri.
Pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-
tidaknya sebagian besar (70%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik,
mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping menunjukkan
kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya
pada diri sendiri.
14

2.1.3 Hasil Belajar


Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai pengertian-pengertian,
sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne (dalam
Suprijono, 2011: 5) hasil belajar merupakan: 1) Informasi ferbal yaitu kapabilitas
mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertilis.
Kemampuan respon secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan
tersebut tidak merupakan manipulasi simbol pemecahan masalah maupun
penerapan aturan; 2) Keterampilan intelektual yaitu kemampuan
mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari
kemampuan mengategorisasi, kemampuan analisis-sintesis fakta-konsep dan
mengembangkan prinsipdan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan.
Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktifitas kongnitif
bersifat khas; 3) Strategi kongnitif yaitu kecakapan menyalurkan dan
mengarahkan aktivitas kongnitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan
konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah; 4) Keterampilan motorik yaitu
kemampuan malakukan serangkaian gerak jasmani dalam urysan dan koordinasi,
sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani; 5) Sikap adalah kemampuan
menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.
Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap
merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagaistandar perilaku.
Menurut Bloom (dalam Suprijono, 2011: 6), hasil belajar mencangkup
kemampuan kongnitif, akfektif, dan psikomotorik. Domain kongnitif adalah
knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan,
meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan,
menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan,
membentuk bangunan baru), dan evaluarion (menilai). Domain afektif adalah
receiving (sikap menerima), responding (memberikan respons) valuing (nilai),
organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain psikomotor
meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga mencangkup
keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Menurut
Lindgren (dalam Suprijono, 2011: 7) hasil pembelajaran meliputi kecakapan,
15

informasi, pengertian, dan sikap. Hasil belajar menurut Sudjana dan Ahmad
(1999:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalan
belajarnya.
Dari beberapa pengertian hasil belajar dari para ahli maka pemikiran
penulis tentang hasil belajar adalah hasil akhir dari dari seluruh kegiatan belajar
siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu palajaran untuk
mencapai kompetensi yang berupa aspek kognitif yang diungkapkan dengan alat
penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai,
aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan
aspek psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan bertindak
siswa dalam mengikuti pembelajaran. Belajar itu sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku, atau memaknai seseatu yang diperoleh. Akan tetapi apabila kiat
bicara tentang hasil belajar, maka hal itu merupakan hasil yang telah dicapai oleh
si pembelajar.

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruh Hasil Belajar


Untuk mencapai hasil belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka
perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain:
a. Faktor Internal
Menurut Baharudin dan Wahyuni (2010: 19) Faktor-faktor internal
adalah factor-faktor yang berasal dari dalam individu dan dapat
mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor
fisiologis dan psikologis
Faktor Internal adalah faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa
yang ditimbulkan dari dalam diri individu itu sendiri, misalnya intelgenitas,
kesehatan siswa, dan mental. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor
intern yaitu kecerdasan/intelegensi, bakat, minat, dan motivasi.
Slameto (1995: 56) mengatakan bahwa “tingkat intelegensi yang tinggi
akan lebih berhasil dari pada yang mempunyai tingkat intelegensi yang
rendah.”
16

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan


mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki seseorang diperhatikan
terus-menerus yang disertai dengan rasa sayang. Menurut Winkel (1997: 24)
minat adalah “ kecenderungan yang menatap dalam subjek untuk merasa
tertarik pada bidang/hal tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam
bidang itu.”
b. Faktor Eksternal
Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor endegen, faktor-faktor
eksternal juga dapat memprngaruhi proses belajar siswa. Dalam hal ini Syah
2003 (dalam Menurut Baharudin dan Wahyuni (2010: 26) menjelaskan bahwa
faktor-faktor eksternal mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi 2
golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial.
Faktor Eksternal adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
prestasi belajar yang sifatnya di luar diri siswa, yaitu misalnya beberapa
pengalaman-pengalaman, keadaan keluarga, lingkungan sekitarnya, pengaruh
teman, motivasi guru, lingkungan belajar, dan sebagainya. Pengaruh
lingkungan ini pada umumnya bersifat positif dan tidak memberikan paksaan
kepada individu.

2.1.5 Matematika
Matematika dibandingkan dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain
mempunyai karakteristik tersendiri. Banyak para ahli menyebutkan bahwa
matematika itu berhubungan dengan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak
yang penalarannya bersifat deduktif, namun orang-orang sering menyebut
matematika itu ilmu hitung. Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau
mathema yang berarti ‘belajar atau hal yang dipelajari’, sedang dalam bahasa
Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan
penalaran. Matematika memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik,
penalaran yang jelas dan sistematis, dan struktur atau keterkaitan antar konsep
yang kuat. Unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang
bekerja atas dasar asumsi (kebenaran konsistensi). Selain itu, matematika juga
17

bekerja melalui penalaran induktif yang didasarkan fakta dan gejala yang muncul
untuk sampai pada perkiraan tertentu. Tetapi perkiraan ini, tetap harus dibuktikan
secara deduktif, dengan argumen yang konsisten menurut Arsyilia.
Dalam proses belajar Matematika menurut Brunner (dalam Muhsetyo,
dkk, 2007: 1.26) menyatakan pentingnya tekanan pada kemampuan peserta didik
dalam berfikir intuitifdan analitik akan mencerdaskan peserta didik membuat
prediksi dan terampil dalm menemukan pola (pattern) dan hubungan/keterkaitan
(relations). Pembaruan dalam proses belajar ini, dari proses drill & practiceke
proses bermakna, dan dilanjutkan proses berfikir intuitif dan analitik, merupakan
usaha yang luar biasa untuk selalu meningkatkan mutu pembelajaran matematika.
2.1.5.1 Tujuan dan Fungsi Pembelajara Matematika
Setiap yang dilakukan manusia pastilah memiliki tujuan, begitu pula
dengan pembelajaran matematika. Tujuan umum pendidikan matematika
ditekankan pada siswa untuk memiliki:
a. Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam
memecahkan masalah matematika, pelajaran lain ataupun masalah yang
berkaitan dengan kehidupan nyata.
b. Kamampuan menggunakan matematika sebagai lat komunikasi.
c. Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat
dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis,
berpikir sistematis, bersifat obyektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam
memandang dan menyelsaikan suatu masalah.
Selain tujuan umum pembelajaran matematika ada pula fungsi matematika
dalam pembelajaran, yaiyu sebagai berikut:
Matematika berfingsi mengembangakan kemampuan menghitung, mengukur,
menurunkan dan menggunakan rumus, matematika yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari melalui pengukuran dan geometri, aljabar, peluang, dan
statistik, kalkulus dan trigonometri. Matematika juga berfingsi mengembangka
kemampuan mengomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat
berupa kalimat matematika dan persamaan matematika, diagram, grafik atau table.
18

2.1.5.2 Pembelajaran Matematika di SD


Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, sekarang ini makin banyak
digunakan dalam berbagai bidang kehidupan seperti bidang industri, asuransi,
ekonomi, pertanian, dan di banyak bidang sosial maupun teknik. Hal ini tentu saja
menjadi tantangan bagi para guru dalam mengajarkan matematika di kelas.
Kondisi yang demikian terjadi pada siswa SD Negeri 05 Mulyoharjo Kecamatan
Jepara Kabupaten Jepara, dalam pokok bahasan operasi hitung campuran banyak
siswa yang menjawab dari 10 soal yang disediakan, hanya mampu dijawab 3-5
soal yang benar. Hal tersebut dikarenakan siswa hanya mendengarkan dan
mencatat materi yang disampaikan oleh guru.
Depdiknas (2002: 16) menyatakan bahwa bangunan matematika disusun
dengan dasar pondasi berupa kumpulan pengertian pangkal (unsur pangkal dan
relasi pangkal) dan kumpulan sifat pangkal (aksioma). Aksioma atau sifat pangkal
adalah semacam dalil yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan namun sangat
menentukan, karena sifat pangkal inilah yang akan menjadi dasar untuk
membuktikan dalil atau teorema berikutnya matematika selanjutnya. Unsur utama
pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi,
yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran sebelumnya.
Depdiknas (2003: 4) menyebutkan bahwa salah satu tujuan pembelajaran
matematika di sekolah adalah melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik
kesimpulan. Hal ini ditegaskan lagi dalam salah satu kecakapan atau kemahiran
matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari
SD dan MI sampai SMA dan MA yaitu: menggunakan penalaran pada pola, sifat
atau melakukan manipulasi matematika.
Selama ini, matematika disekolah di Indonesia lebih diinspirasi oleh
pandangan absolut bahwa matematika dipandang sebagai kebenaran mutlak,
sebagai produk yang siap pakai. Siswa diperlakukan sebagai obyek belajar,
sehingga guru lebih banyak mencekoki siswa dengan konsep-konsep atau
prosedur-prosedur matematika. Selain itu, guru-guru juga tidak mengetahui bahwa
proses terpenting dalam bermatematika adalah nalar bukan kemampuan berhitung.
19

Matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran
dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Menurut Depdiknas
(2002: 14) penekanan berlebihan pada penghafalan semata, penekanan pada
kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses
belajar-mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu
menyebabkan terjadinya fobia matematika.
Selama ini proses pembelajaran matematika kebanyakan masih
mengunakan paradigma yang lama dimana guru memberikan pengetahuan kepada
siswa yang pasif. Guru mengajar dengan metode konvensional yaitu metode
ceramah dan mengharapkan siswa duduk, diam, dengar, catat dan hafal (3DCH)
sehingga Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) menjadi monoton dan kurang
menarik perhatian siswa. Kondisi seperti itu tidak akan meningkatkan kemampuan
siswa dalam memahami mata pelajaran matematika. Akibatnya nilai akhir yang
dicapai siswa tidak seperti yang diharapkan. Siswa kelas V SD Negeri 02
Mulyoharjo dalam pembelajaran materi pokok operasi hitung bilangan pecahan
yang mendapatkan nilai 65 ke atas hanya 11 siswa atau 42,3% dari 26 orang
siswa.
Menurut Muhsetyo, dkk (2007: 1.26) Pembelajaran matematika adalah
proses poemberian pengalaman belajar peserta didik melalui serangkaian kegiatan
yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan
matamatika yang dipelajari.
Pembelajaran matematika yang diajarkan di SD merupakan matematika
sekolah yang terdiri dari bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuh
kembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi anak serta
berpedoman kepada perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal ini
menunjukkan bahwa matematika SD tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki
matematika, yaitu: (1) memiliki objek kajian yang abstrak (2) memiliki pola pikir
deduktif konsisten. Suherman (2006: 55) menjelaskan bahwa matematika sebagai
studi tentang objek abstrak tentu saja sangat sulit untuk dapat dipahami oleh
siswa-siswa SD yang belum mampu berpikir formal, sebab orientasinya masih
20

terkait dengan benda-benda konkret. Ini tidak berarti bahwa matematika tidak
mungkin tidak diajarkan di jenjang pendidikan dasar, bahkan pada hakekatnya
matematika lebih baik diajarkan pada usia dini.
Sebelum tahun lima-puluhan, kurikulum matamatika sekolah dasar
dipengaruhi oleh Thorndike, ditandaiterutama dengan pengembangan
keterampilan komputasionalbilangan cacah, pecahan, dan decimal. Teori
Thorndike tersebut teori penerapan, yaitu teori yang memandang peserta didik
sebagai selembar kertas putih, penerima pengetahuanyang sisp menerima
pengetahuan secara pasif. Menurut Thorndike 1924 (dalam Muhsetyo, dkk (2007:
1.8) belajar dikatakan sbagai berikut: learning in essentially the formation of
connections or bonds between situations and responses…and that habit rules in
the realm of thought as truly and as fully in the ream of action.
Penyelidikan matematis adalah penyelidikan tentang masalah yang dapat
dikembangkan menjadi model matematika pada tema tertentu berorientasi pada
kajian atau eksplorasi mendalam, dan bersifat open-ended. Kegiatan belajar yang
dilaksanakan dapat berupa cooperative learning menurut Muhsetyo, dkk (2007:
1.31). Anak unur 6-9 tahun sifat fisiknya samangat aktif sehingga mudah merasa
letih dan memerlukan istirahat. koordinasi otot-otot kecil masih belum sempurna,
karena itu masih belum ada bisa memegang pensil dengan baik. Untuk dapat
menyiptakan proses belajar matematika yang efektif dan hidup guru harus dapat
mebebtukan suasana yang tepat dengan kondisi anak. Hindari anak menulis atau
mengerjakan soal matematika yang berkepanjangan karena dapat menyebabkan
anak jemu, bosan, lelah dan keterampilan menilisnya semakin menurun.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dapat dikatakan bahwa
pemahaman guru tentang hakikat pembelajaran matematika di SD dapat
merancang pelaksanaan proses pembelajaran dengan baik yang sesuai dengan
perkembangan kongnitif siswa, pemggunaan media, metode dan pendekatan yang
sesuai pula. Sehingga guru dapat menciptakan suasana pembelajaran yang
kondusif serta terseranggaranya kegiatan pembelajaran yang efektif. Selama ini
kegiatan pembelajaran matematika di kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara
masih menggunakan metode konvensional yaitu ceramah saja, sehingga guru
21

dominan dalam kegiatan belajar mengajar. Dampaknya siswa kurang aktif dalam
kegiatan belajar sehingga siswa sulit menerima materi. Belum lagi ditambah
asumsi siswa bahwa mata pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sulit,
sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar apalagi mendengarkan penjelasan
guru.

2.1.6 Pecahan Campuran


Konsep pecahan dan operasinya merupakan konsep yang sangat penting
untuk dikuasai, sebagai bekal untuk mempelajari bahan matematika berikutnya
dan bahan bukan matematika yang terkait. Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa banyak siswa Sekolah Dasar mengalami kesulitan memahami pecahan dan
operasinya, dan banyak guru Sekolah Dasar menyatakan mengalami kesulitan
untuk mengajarkan pecahan dan bilangan rasional. Para guru cenderung
menggunakan cara yang mekanistik, yaitu member aturan secara langsunguntuk
dihafal, diingat, dan diterapkan. Perubahan cara mengajar tidak banyak perubahan
dilakukan oleh para guru karena secara empirik mereka selalu menggunakan cara
yang sama dari waktu ke waktu hal tersebut menurut Muhsetyo, dkk (2007: 4.20).
Siswa kurang tahu makna dari pecahan, . Pecahan pada

prinsipnya menyatakan beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama tersebut
bersama-samamembentuk suatu unit. Dua macam keadaan yang perlu penekanan
adalah konsep keseluruhan dengan panjang, luas, volume, dan hitungan atau
cacah. Kaitan masing-masing dapat ditunjukkan dengan menggunakan benda-
benda manipulative, misalnya kertas, karton, kelereng, kerikil, manik-manik, mata
uang, kuku, pensil, atau butiran menurut Muhsetyo, dkk (2007: 4.20).
Kesulitan yang dialami siswa kelas V SD Negeri 05 Mulyharjo Jepara
pada materi pecahan campuran adalah: Cara menyelesaikan soal pecahan
campuran karena pada dasarnya anak belum menguasai konsep pecahan. Pecahan
adalah konsep yang abstrak. Padahal anak kelas V SD berada pada tahap
perkembangan oprasional konkret. Dengan demikian, konsep tersebut tidak
22

sejalan dengan masa perkembangannya. Karena itulah anak sulit untuk


memahaminya. Kesulitan yang dihadapi siswa adalah :
a. Mengubah pecahan campuran menjadi pecahan biasa.
b. Menyamakan penyebut.
c. Mengurangi pecahan campuran, jika pembilang yang dikurangi lebih kecil
dari pembilang pengurangnya.
Siswa kurang memahami perkalian bilangan asli dengan pecahan untuk
memperbaiki kelemahan siswa terhadap masalah ini, antara lain dapat dilakukan
dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut; ambil 10 potong katonberukuran (1 cm
x 10 cm) dengan warna-warna yang berbeda. Satu potong karton dengan warna
tertentu ditentukan sebagai satuan. Potongan karton yang lain dipotong mnenjadi
perduaan, pertigaan, perempatan, perlimaan, perenamaan, pertujuan,
perdelapanan, persembilanan, dan persepuluhan. Kemudian susunlah seperti
piramida Muhsetyo, dkk (2007: 4.20).

2.1.7 Pembelajaran Kooperatif


Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif berasal dari kata
“kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan
saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau tim.
Menurut Johnson (dalam Isjoni, 2010: 15) pembelajaran kooperatif
mengandung pengertian bekerjasama demi mencapai tujuan bersama. Menurut
Slavin 1985, pembelajaran kooperatif adalah suatu model pelajaran dimana siswa
belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya 4-6 orang dengan stuktur kelompok heterogen. Sedangkan Sunal dan
Hans 2000, mengemukakan pelajaran kooperatif merupakan suatu cara
pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk member
dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama proses pembelajaran.
Selanjutnya Stahl (dalam Isjoni, 2010: 12) menyatakan pembelajaran kooperatif
dapat meningkat belajar siswa lebih baik danmeningkatkan sikap tolong
menolong dalam perilaku sosial. Johnson & Johnson (dalam Isjoni, 2010: 17)
23

mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah mengelompokkan siswa di


dalam kela ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja dengan
kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam
kelompok tersebut.
Menurut Suprijono (2011: 54) pembelajaran kooperatif adalah konsep
yang lebih meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang
lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Pembelajaran kooperatif
adalah strategi belajar dengan membagi siswa ke dalam kelompok kecil yang
tingkat kemampuannya berbeda-beda dengan tujuan setiap siswa anggota
kelompok harus saling bekerjasama dan saling membantu untuk memahami
materi pembelajaran dan menyelesaikan tugas kelompoknya. Oleh sebab itu,
pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa bekerja
sama dan saling tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapai.
Belajar dengan model kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa
berani mengungkapakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling
memberikan pendapat (sharing ideas). Selain itu dalam belajar biasanya siswa
dihadapkan pada latihan soal-soal atau pemecahan masalah. Oleh sebab itu,
pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat
bekerjasama dan saling tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapinya.
Model pembelajaran kooperatif, tidak hanya unggul dalam membantu
siswa dalam memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk
menumbuhkan kemampuan berfikir kritis, bekerjasama, dan membentu teman.
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran
sehingga memberikan dampak positif terhadap kwalitas interaksi dan komunikasi
yang berkwalitas, dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi
belajarnya.

2.1.8 Permainan Make-A Match


Anita Lie (dalam Isjoni, 2010: 112) make a match taknik dimana siswa
mencari pasangan sendiri sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam
suasana yang menyenangkan. teknik ini bisa digunakan dalam semua mata
24

pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Menurut Suprijono (2011:
94) hal-hal yang perlu disiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan make a
match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu terdiri dari kartu berisi pertanyaan dan
kartu-kartu yang lainnya berisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Metode pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) ini
dikembangkan oleh Lorna Curan 1994 (dalam Lie, 2002: 55) beliau mengatakan
salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar
mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. teknik ini
dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia anak
didik. Model yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran
adalah keaktifan siswa”. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan
menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan
siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan
kondusif, dimana masing - masing siswa dapat melibatkan kemampuannya
semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula
terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada
peningkatan prestasi.
Model pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan), merupakan
bentuk model pembelajaran dengan melalui permainan yang sesuai dengan tahap
permainan dengan formalisasi (formalization). Make-A Match Lorna Curran 1994
(dalam Lie, 2002: 58) adalah salah satu permainan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau
topik yang cocok sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian
lainnya kartu jawaban
2. Setiap peseta didik mendapatkan satu kartu
3. Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang
dipengang
4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang
cocok dengan kartunya (soal jawaban)
5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas
waktu akan diberi point
6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya
7. Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut diatas
25

8. Kesimpulan/penutup
Pada penerapan metode Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa
metode Make A Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab
pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses
pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias
mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat
siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Hal ini merupakan suatu ciri
dari pembelajaran kooperatif seperti yang dikemukan oleh Lie (2002: 30) bahwa,
“Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran yang menitikberatkan pada gotong
royong dan kerja sama.”. adapun kelemahan dan keunggulan yang dikemukakan
adalah sebagai berikut:
Keunggulan model pembelajaran Make-A Match adalah:
Pembelajaran kooperatif metode Make A Match memberikan manfaat bagi
siswa, di antaranya sebagai berikut:
a. Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan.
b. Materi pembelajaran yang disampaikan lebih menarik perhatian siswa
c. Mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar
secara klasikal 87,50%
d. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran (Let them
move)
e. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis
f. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa
Kelemahan model pembelajaran Make-A Match:
Jila kelas terlalu gemuk (di atas 30 siswa) akan muncul suasana seperti
pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Hal ini dapat diatasi dengan
menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa, sebelum dimulai
permainan.
Tak ada gading yang tak retak , begitu pula pada metode ini. Di samping
manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif metode Make A
Match berdasarkan temuan di lapangan mempunyai sedikit kelemahan yaitu:
a. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan
26

b. Waktu yang tersedia perlu dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak
bermain-main dalam proses pembelajaran.
c. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai.
d. Pada kelas yang gemuk (> 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana maka yang
muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali.
Tentu saja kondisi ini akan mengganggu ketenangan belajar kelas di kiri
kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal ini bisa
diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa
sebelum ‘pertunjukan’ dimulai. Pada dasarnya menendalikan kelas itu
tergantung bagaimana kita memotivasinya pada langkah pembukaan.
Berdasarkan pada kegiatan belajar mengajar penggunaan metode Make a
Match, siswa nampak lebih aktif mencari pasangan kartu antara jawaban dan soal.
Dengan metode pencarian kartu pasangan ini siswa dapat mengidentifikasi
permasalahan yang terdapat di dalam kartu yang ditemukannya dan
menceritakannya dengan sederhana dan jelas secara bersama-sama.
Pada penerapan metode Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa
metode Make a Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab
pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses
pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias
mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat
siswa mencari pasangan kartunya masing-masing.
Kegiatan yang dilakukan guru ini merupakan upaya guru untuk menarik
perhatian sehingga pada akhirnya dapat menciptakan keaktifan dan motivasi siswa
dalam diskusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik (1994: 116), “Motivasi
yang kuat erat hubungannya dengan peningkatan keaktifan siswa yang dapat
dilakukan dengan strategi pembelajaran tertentu, dan motivasi belajar dapat
ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif. Apabila motivasi yang dimiliki oleh
siswa diberi berbagai tantangan, akan tumbuh kegiatan kreatif.” Selanjutnya,
penerapan metode Make A Match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerja
sama di antara siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan. Hal
ini sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
27

bahwa pelaksanaan proses pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu:


berpusat pada siswa; mengembangkan keingintahunan dan imajinasi; memiliki
semangat mandiri, bekerja sama, dan kompetensi; menciptakan kondisi yang
menyenangkan; mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar;
karakteristik mata pelajaran.
Menurut peneliti aktif artinya giat bekerja dan berusaha. Keaktifan dapat
diartikan bahwa dalam pembelajaran siswa memperhatikan penjelasan guru, siswa
mampu bekerjasama dalam kelas, aktif mengemukakan pendapat, memberikan
kesempatan kepada teman untuk berpendapat, mendengarkan dengan baik ketika
teman berpendapat, mampu bemberikan gagasan atau ide yang cemerlang,
memanfaatkan potensi yang ada dan saling membantu dalam menyelesaikan
maslah.

2.1.9 Penerapan Make A Match Dalam Proses Belajaran Mengajar


Penerapan metode Make A Match, diperoleh beberapa temuan bahwa
metode Make A Match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab
pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang ada di tangan mereka, proses
pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias
mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat
siswa mencari pasangan kartunya masing-masing. Kegiatan yang dilakukan guru
ini merupakan upaya guru untuk menarik perhatian sehingga pada akhirnya dapat
menciptakan keaktifan dan motivasi siswa dalam diskusi. Hal ini sejalan dengan
pendapat Hamalik (1994: 116), “Motivasi yang kuat erat hubungannya dengan
peningkatan keaktifan siswa yang dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran
tertentu, dan motivasi belajar dapat ditujukan ke arah kegiatan-kegiatan kreatif.
Apabila motivasi yang dimiliki oleh siswa diberi berbagai tantangan, akan tumbuh
kegiatan kreatif.” Selanjutnya, penerapan metode Make A Match dapat
membangkitkan keingintahuan dan kerja sama di antara siswa serta mampu
menciptakan kondisi yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan tuntutan dalam
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bahwa pelaksanaan proses
pembelajaran mengikuti standar kompetensi, yaitu: berpusat pada siswa;
28

mengembangkan keingintahunan dan imajinasi; memiliki semangat mandiri,


bekerja sama, dan kompetensi; menciptakan kondisi yang menyenangkan;
mengembangkan beragam kemampuan dan pengalaman belajar; karakteristik
mata pelajaran.
Sedangkan prosedur penerapan kooperatif teknik Make A Match dalam
proses belajar mengajar, peneliti tetap mengacu pada langkah-langkah
pembelajaran Make A Macth menurut Lorna Curran 1994 (dalam Lie, 2002: 55)
yaitu:
a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau
topik yang cocok sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian
lainnya kartu jawaban
b. Setiap peseta didik mendapatkan satu kartu
c. Tiap peserta didik memikirkan jawaban/soal dari kartu yang
dipengang
d. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang
cocok dengan kartunya (soal jawaban)
e. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas
waktu akan diberi point
f. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya
g. Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut diatas.
h. Kesimpulan/penutup.
Akan tetapi ada sedikit penambahan/pengurangan oleh peneliti dengan
maksud menyesuaikan materi yang akan kepada siswa serta menyesuaikan
kondisi siswa. Adapun penerapan Make A Match yang akan digunakan
digunakan peneliti dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
a. Kegiatan Pendahuluan
 Apersepsi
(1) Persiapan mengajar, memberi salam, melaksanakan presensi
(2) Mengecek persiapan siswa dan mengingatkan cara duduk yang
baik saat membaca dan menulis
(3) Memotivasi siswa dengan menyanyikan sebuah lagu
(4) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
29

2. Tahap Penyampaian dan Pelatihan


Pada tahap kegiatan pembelajaran inti menggunakan metode yang disesuaikan
karakteristik siswa dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi
Langkah-langkah pertama dalam kegiatan inti, guru:
1) Melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran
2) Menyiapakan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan kartu jawaban
3) Setiap siswa mendapatkan kartu yang tertuliskan soal/jawaban
4) Menbunyikan peluit pertanda permainan make a match telah dimulai
5) Mengontrol kerja siswa dalam mencari pasangannya dan membantu siswa
jika terdapat hal-hal yang belum dipahami
b. Kegiatan Inti
 Eksporasi
Dalam kegiatan Eksporasi:
(1) Menunjukkan kartu-kartu soal dan kartu-kartu jawaban
(2) Bertanya jawab seputar kartu-kartu soal dan kartu-kartu jawaban
(3) Melalui tanya jawab guru menjelaskan tentang materi
(4) Melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran
Make A Match
 Elaborasi :
Dalam kegiatan Elaborasi:
1. Menjelaskan tentang materi yang akan disampaikan
2. Dengan tanya jawab disertai contoh, guru menjelaskan materi yang
disampaikan
3. Menjelaskan cara permainan Make A Match (mencari pasangan)
4. Membagikan kartu soal dan kartu jawaban secara acak kepada
siswa, tiap peserata didik mendapatkan satu kartu
30

5. Siswa memikirkan jawaban dari kartu jawaban kemudian mencari


pasangan kartu yang telah mereka dapatkan
6. Memfasilitasi siwa dalam melakukan permainan Make A Match
7. Memberikan poin kepada siswa yang dapat mencocokkan kartu
sebelum batas waktu
8. Guru mengocok kartu-kartu yang berbeda untuk permainan Make
A Match untuk babak ke dua
9. Melalui tanya jawab guru bersama siswa mengoreksi jawaban dari
masing-masing kartu soal yang telah didapat oleh masing-masing
siswa
 Konfirmasi
Dalam kegiatan Konfirmasi:
(1) Memberi kesempatan bertanya kepada siswa tentang materi yang
belum dipahami siswa
(2) Melalui tanya jawab guru bersama siswa menyimpulkan materi
yang telah dipelajari
(3) Guru memberikan siswa soal evaluasi
3. Tahap Penampilan Hasil, Kesimpulan, dan Refleksi
c. Kegiatan Penutup
(1) Melalui bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahaman,
memberikan penguatan dan mengulangi kesimpulan yang sudah
dibuat
(2) Memberikan PR kepada siswa

2.1.10 Make-A Match dan Keaktifan Belajar Matematika


Dalam pembelajaran matematika dengan menggunan model pembelajara
Make-A Match, keaktifan siswa akan meningkat. Hal ini akan terjadi, apabila
dalam pembelajaran itu melibatkan siswa secara aktif. Keaktifan siswa ini dapat
ditunjukkan melalui permainan. Permainan Make-A Match merangsang siswa
untuk berfikir secara aktif, dengan dibuktikan keaktifan siswa ketika mencari
pasangan jawaban atau soal masing-masing.
31

Model pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) mampu


memberikan rasa senang, bergairah, bersemangat dalam mengerjakan tugas,
sehingga dapat mengaktifkan siswa pada materi pengurangan pecahan pecahan
campuran di kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara. Keaktifan siswa dalam
pembelajaran ini akhirnya berdampak pada keberhasilan belajar siswa tentang
materi tersebut.
Model pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) perupakan model
pembelajaran dalam bentuk permaianan yang dapat menimbulkan rasa senang dan
kepuasan. Rasa senang itu didapat karena materi pelajaran dikemas dalam bentuk
permaianan. Siswa terlihat antusisas, semangat dan terlihat juga pada raut muka
yang memancarkan wajah keceriaan. Banyak siswa yang merasa takut jika
ditunjuk maju ke depan, tidak berani menatap guru ketika guru sedang
memberikan pembelajaran. Dengan melalui pembelajaran Make-A Match
diharapkan situasi pembelajaran menjadi tidak tegang, yang akhirnya anak merasa
senang, sehingga memungkinkan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar
siswa.

2.1.11 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan


Model pembelajaran Make-A Match ternyata efektif digunakan untuk
kegiatan pembelajaran. Hal ini dibuktikan oleh beberapa orang dalam
penelitiannya dengan menggunakan model-model Make-A Match.
Penelitian oleh Ratna Satyawati dengan judul penelitian “Upaya
Meningkatkan Minat Belajar Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Jetis
Bantul Dengan Model CooperatiLearning Tipe Make A Match” Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan (1) Proses cooperative learning tipe make a match
yang dapat meningkatkan minat belajar siswa sebagai berikut: (a) Siswa
dikelompokkan secara heterogen, setiap kelompok terdiri dari empat orang dan
diberi LKS untuk didiskusikan, (b) Sebagai sesi review, setiap siswa memperoleh
dua buah kartu yang berisi kartu soal dan kartu jawab yang bukan pasangannya,
setiap siswa mencari kartu jawaban dari kartu soal yang dipegang yang berada
pada teman satu kelompok atau dua kelompok lain yang telah ditentukan
32

sebelumnya, jika seluruh anggota kelompok telah menemukan pasangan kartu


yang cocok, maka kelompok tersebut memberi tanda, jika ada siswa yang tidak
dapat mencocokkan kartunya, akan mendapat hukuman yang telah disepakati
bersama, siswa juga boleh bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang
memegang kartu yang cocok. (2) Dengan cooperative learning tipe make a
match, minat belajar matematika siswa mengalami peningkatan. Berdasarkan
hasil observasi, minat belajar matematika siswa setelah siklus I 63,3% dan setelah
siklus II naik menjadi 81,4%. Berdasarkan hasil angket, minat belajar siswa
sebelum tindakan, setelah siklus I dan setelah siklus II berturut-turut 59,3%,
61,5%, dan 67,8%. Meningkatnya minat belajar matematika siswa berdampak
pada hasil tes prestasi siswa, yang ditunjukan dengan meningkatnya rata-rata hasil
tes prestasi siswa dari 75,6 pada siklus I menjadi 78,2 pada siklus II.
Penelitian yang dilakukan oleh Maryuni apada tahun 2010 pada siswa
Kelas V Semester 1dengan judul “ Peningkatan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan
Sosial Tentang Sejarah Masuknya Agama Di Indonesia Melalaui Model
Pembelajaran Mencari pasangan Bagi Siswa Kelas V Semester 1, SDN 01
Cangakan Kecamatan Karanganyar Tahun Pelajaran 2008/2009”. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial
melalui model pembelajaran Mencari Pasangan (Make a Match) bagi siswa kelas
V semester I SD Negeri 01 Cangakan Kabupaten Karanganyar Tahun 2009/2010.
Penelitian Tindakan Kelas ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa kelas 5 Sekolah Dasar Negeri 01 Karanganyar
Tahun Pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 15 siswa. Adapun sample yang
diambil adalah 15 siswa, metode pengambilan sample adalah seluruh siswa
menjadi sample. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
observasi, tes, dokumentasi, angket dan catatat dalam Kegiatan Mengajar Belajar.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebelum penelitian (tes awal)
pemahaman siswa terhadap pelajaran IPS hanya 46,7% yaitu 7 anak yang tuntas
berarti terdapat 53,3% yaitu 8 anak yang belum tuntas, pada siklus I Pemahaman
Konsep menjadi 80% yaitu 12 siswa yang tuntas berarti meningkat sebesar 33,3%
dan pada siklus II jumlah siswa tuntas menjadi 100% atau naik sebesar 20%.
33

Peningkatan ini bukan hanya dari pemahaman konsep saja tetapi jga dari aspek
keaktifan siswa, ini ditunjukkan dengan keaktifan siswa yang mula-mula hanya
55,67% oada siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,6% dan pada siklus II
menjadi 89,79 yaitu meningkat menjadi 8,49%. Faktor pendukung keberhasilan
penerapan model pembelajaran ini karena siswa sangat senang belajar sambil
bermain, disamping itu alat dan bahan yang digunakan mudah diperoleh dan
harganya relatif murah, proses pembuatannyapun sangat mudah. Faktor
penghambat penerapan model pembelajaran ini adalah terbatasnya buku sumber
materi sehingga siswa hanya mengandalkan buku paket yang dimiliki, namun hal
ini peneliti sudah memberikan jalan keluarnya dengan meringkas materi dari buku
elektronik. Hasil penelitian menyatakan bahwa model pembelajaran mencari
pasangan (make a match) dapat meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat
dilihat dari peningkatan Keaktifan siswa yang mula-mula hanya 55,67% pada
siklus I menjadi 81,30% yaitu meningkat 25,63% dan pada siklus II menjadi
89,79% yaitu meningkat 8,49% dari siklus I.
Penelitian yang dilakukan oleh Seri Ningsih (2010). Penelitian Pada siswa
SD Negari Kelas V Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak Tahun Ajaran
2009/2010. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make-A
Match ditinjau dari aktifitas Belajar Siswa. Penelitian ini merupakan
eksperimental semu dengan desain factorial 2x3. Populasi penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas V semester ganjil SD Negeri Kecamatan Pontianak Kota di
Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat tahun pelajaran 2009/2010 yang
berjumlah 18 SD. Total sample penelitian ini adalah 180 siswa, terdiri dari 93
siswa pada kelompok eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif taknik
Make-A Match dan 87 siswa pada kelompok control dengan metode pembelajatan
direct inruction. Hasilnya menunjukkan prestasi belajar siswa dengan model
pembelajaran kooperatif teknik Make-A Match lebih dari pada menggunakan
model direct intruction.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Noviawati (2009). PTK kelas VIII
SMP Negeri 1 Gatak Sukoharjo Tahun Ajaran 2008/2009. Upanya peningkatan
keaktifan Belajar Matematika Melalui Pendekatan Make-A Match. Hasil
34

penelitian Dewi Noviawati menunjukkan adanya peningkatan keaktifan siswa


pada pembelajaran Matematika meliputi:
1. Keberanian mengerjakan soal di depan kelas sebelum dilakukan tindakan
kelas 12,5% meningkat menjadi 72,5%.
2. Keaktifan siswa mengemukakan pendapat sebelum tindakan 5%
meningkat menjadi 60%.
3. Keberanian siswa menanggapi atau mengajukan pertanyaan sebelum
dilakukan tindakan 7,5% meningkat menjadi 65%.
4. Mengerti dan dapat melakukan langkah pendekatan kerjasama dalam
kelompok sebelum dilakukan tindakan 70%.
5. Kerjasama dalam kelompok sebelum dilakukan tindakan 5% meningkat
menjadi 70%.
Adanya peningkatan prestasi belajar siswa yang dapat nilai di atas 60 sebelum
dilakukan tindakan 25% meningkat menjadi 65%. Hasil penelitian menyatakan
bahwa model pembelajaran mencari pasangan (make a match) dapat
meningkatkan keaktifan siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan Keaktifan
siswa yang tadinya hanya 12,5% menjadi 72%, keberanian mengerjakan soal
mula-mula hanya 5% menjadi 60%, keberanian mengajukan pertanyaan dan
menanggapi yaitu meningkat menjadi 65% dan meningkatnya kerjasama dalam
kelompok naik menjadi 70%.
Penelitian yang dilakukan oleh Muharif tahun 2010 dalam penelitiannya
yang berjudul “Penerapan Model Cooperatif Learning-Make A Match Untuk
Meningkatkan Aktivitas Siswa Kelas V Dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) di SDN 010 Gabung Makmur Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten
Siak ” dengan tujuan meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS
yang mana data sebelumnya diperoleh bahwa mata pelajaran IPS kurang diminati
oleh siswa. Disebut kurang diminati karena pada proses pembelajaran secara
umum, siswa lebih banyak yang tidak memperhatikan, tidak merasa senang dalam
belajar, dan tidak ada keinginan untuk memperoleh pengetahuan lebih dari
pelajaran IPS ini, Oleh karena itu peneliti beranggapan bahwa dengan
diterapkanya model pembelajaran Make A Match pada pelajaran IPS, aktivitas
35

siswa meningkat. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai aktivitas siswa untuk
kerjasama (KRJ) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 10 siswa yang
mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 2 siswa yang mendapat nilai
cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa
untuk keseriusan (KSR) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 8 siswa yang
mendapat sangat aktif, 12 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai
cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai aktivitas siswa
untuk ketepatan siswa (KTT) pada pertemuan keempat siklus II terdapat 9 siswa
yang mendapat sangat aktif, 11 siswa yang mendapat aktif, 3 siswa yang
mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang aktif. Nilai
aktivitas siswa untuk kemampunan bertanyan (KB) pada pertemuan keempat
siklus II terdapat 8 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang mendapat
aktif, 2 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang mendapat nilai
kurang aktif. Nilai aktivitas siswa untuk aktivitas menulis (AM) pada pertemuan
keempat siklus II terdapat 7 siswa yang mendapat sangat aktif, 13 siswa yang
mendapat aktif, 3 siswa yang mendapat nilai cukup aktif dan 0 siswa yang
mendapat nilai kurang aktif. Sedangkan nilai tes siswa siklus I pertemuan pertama
terdapat 11 siswa yang mendapat sangat baik, 8 siswa yang mendapat nilai baik, 4
siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang mendapat nilai kurang
baik. Pada siklus II terdapat 18 siswa yang mendapat sangat baik, 3 siswa yang
mendapat baik, 2 siswa yang mendapat nilai cukup baik dan 0 siswa yang
mendapat nilai kurang baik. Untuk nilai aktivitas guru pada siklus II pertemuan
keempat sebanyak 5 item (55,6%) pada posisi sangat sempurna dan 4 item
(44,4%) pada posisi sempurna.Menurut peneliti bahwa pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran Make A Make (mencari pasangan) dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar.
Dari beberapa penelitian tentang Make A Match (mencari pasangan) yang
telah dilakukan oleh beberapa peneliti kebanyakan meningkat setelah dilakukan
pembelajaran dengan metode Make A Match (mencari pasangan). Dengan analisis
tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan menerapkan model
36

pembelajaran Kooperatif teknik Make A Match (mencari pasangan) pada


pelajaran matematika untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa.
Maka penulis tertarik mengangkat judul penelitian "Penerapan Metode
Pembelajaran Make A Match (mencari pasangan) Untuk Meningkatkan Keaktifan
Dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara
Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara".

2.2 Kerangka Berpikir


Pada kondisi awal peneliti belum menggunakan metode pelajaran Make-A
Match (mencari pasangan) untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa
pada pelajaran matematika masih rendah. Metode pembelajaran Make-A Match
(mencari pasangan) dapat membuat siswa bergairah, bersemangat, karena metode
pembelajaran ini bersifat permainan. Setelah peneliti melakuakan tindakan dengan
menggunakan metode pembelajaran Make-A Match (mencari pasangan) ini
ternyata keaktifan dan hasil belajar siswa meningkat pada siklus II.
Berdasarkan uraikan yang telah dipaparkan oleh penulis pada kajian teori,
pada hakekatnya kegiatan pembelajaran merupakan proses komunikasi antara
guru dan siswa. Agar tidak menimbulkan suasana yang monoton sehingga
membuat siswa jenuh guru harus dapat menciptakan suasana yang menyenangkan
dan komunikasi yang memberikan kemudahan bagi siswa agar mampu menerima
pengetahuan yang diberikan oleh guru. Pada kenyataannya komunikasi dalam
proses belajar mengajar tidak dapat berlangsung seperti yang diharapkan. Guru
menggunakan metode pembelajaran yang monoton yaitu ceramah. Hal tersebut
dapat membuat siswa hanya menerima informasi saja tanpa adanya kegiatan
praktek, sehingga membuat siswa menjadi cepat bosan dan mengantuk hal
tersebut membuat materi yang disampaikan oleh guru tidak dapat diterima dengan
sempurna.
Siswa tidak memiliki keaktifan dan tidak mempunyai kesempatan
berpartisipasi aktif dalam KBM sehingga prestasi belajar yang dihasilkan rendah.
Keadaan seperti ini memerlukan suatu perbaikan, salah satu diantaranya yaitu
dengan menerapkan metodel pembelajaran yang lebih baik sehingga dapat
37

meningkatkan kualitas Kegiatan Belajar Mengajar. Mata pelajaran Matematika,


yang mempelajari tentang logika mengenai bentuk-bentuk, susunan, besaran, dan
konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang
banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, geometri, maka
perlu dicari metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam
pembelajaran Matematika.
Oleh karena itu diharapkan guru sebagai fasilitator dapat menerapkan
strategi serta menggunakan metode dan media yang variatif dalam proses
pembelajaran. Untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal tersebut,
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make-A Match (mencari pasangan)
diharapkan dapat memberikan manfaat dalam kegiatan pembelajaran. Diantaranya
yaitu siswa mampu berfikir kreatif dan imajinatif, siswa lebih aktif baik dalam
kegiatan belajar kelompok maupun belajar mandiri, memudahkan pemahaman
siswa sehingga kualitas pembelajaran meningkat serta hasil belajar akan tercapai
secara maksimal.
Berdasarkan beberapa masalah yang telah dipaparkan peneliti berusaha
mencari pemecahan masalahnya yaitu menerapkan metode pembelajaran
kooperatif teknik Make-A Match (mencari pasangan) untuk meningkatkan kualitas
dan hasil belajar Matematika serta menjelaskan langkah-langkahnya.

2.3 Hipotesis Tindakan


Berdasarkan kerangka berpikir diduga dengan metode pembelajaran Make-
A Match (mencari pasangan) akan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar
Matematika siswa kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo jepara.

Anda mungkin juga menyukai