Anda di halaman 1dari 26

TUGAS K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja)

“Pengendalian resiko K3, Prosedur operasional baku (POB) dan Hirarki


pengendalian risiko K3”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah K3 ( Kesehatan dan Keselamatan Kerja)


yang dibina oleh Prof.Dr.Ir.Djoko Kustono, M.Pd

Oleh :
1. Nico Wirawan (190511630847)
2. Rofi Achmad Fahresa (190511630865)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN TEKNIK MESIN
MALANG, Februari 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas


karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu dengan
harapan nantinya makalah ini bisa bermanfaat dan menjadikan referensi
bagi kita sehingga bisa lebih mengetahui tentang Poros.

Besar harapan kami agar makalah ini nantinya dapat bermanfaat


bagi para mahasiswa/i umum, khususnya kepada kelompok kami dan
teman-teman semuanya yang membaca makalah ini. Semoga makalah ini
bisa dipergunakan dengan sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam
pembuatan makalah ini.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

27 Februari 2020

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata “Resiko”
dan sudah biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh kebanyakan orang.
Resiko merupakan bagian dari kehidupan kerja individual maupun organisasi.
Berbagai macam resiko, seperti resiko kebakaran, tertabrak kendaraan lain di
jalan, resiko terkena banjir di musim hujan dan sebagainya, dapat menyebabkan
kita menanggung kerugian jika resiko-resiko tersebut tidak kita antisipasi dari
awal. Resiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat
mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sebagaimana kita pahami
dan sepakati bersama bahwa tujuan berwirausaha adalah membangun dan
memperluas keuntungan kompetitif dalam organisasi.
Aktivitas suatu badan usaha atau perusahaan pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari aktivitas mengelola resiko. Operasi suatu badan usaha atau
perusahaan biasanya berhadapan dengan resiko usaha dan resiko non usaha. Imam
Ghazali dalam Kasidy, Manajemen Resiko (2010) menyatakan bahwa, resiko
usaha adalah resiko yang berkaitan dengan usaha perusahaan untuk menciptakan
keunggulan bersaing dan memberikan nilai bagi pemegang saham. Sedangkan
resiko non usaha adalah resiko lainnya yang tidak dapat dikendalikan oleh
perusahaan.
Resiko berhubungan dengan ketidakpastian ini terjadi karena kurang atau
tidak tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Sesuatu yang
tidak pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Menurut
Wideman, ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan
dikenal dengan istilah peluang (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang
menimbulkan akibat yang merugikan disebut dengan istilah resiko (risk). Dalam
beberapa tahun terakhir, manajemen resiko menjadi trend utama baik dalam
perbincangan, praktik, maupun pelatihan kerja. Hal ini secara konkret
menunjukkan pentingnya manajemen resiko dalam bisnis pada masa kini.
Secara umum resiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dihadapi
seseorang atau perusahaan di mana terdapat kemungkinan yang
merugikan. Bagaimana jika kemungkinan yang dihadapi dapat memberikan
keuntungan yang sangat besar, dan walaupun mengalami kerugian sangat kecil
sekali. Misalnya membeli lotere. Jika beruntung maka akan mendapat hadiah
yang sangat besar, tetapi jika tidak beruntung uang yang digunakan membeli
lotere relatif kecil. Apakah ini juga tergolong resiko? Jawabannya adalah hal ini
juga tergolong resiko. Selama mengalami kerugian walau sekecil apapun hal itu
dianggap resiko.
Mengapa resiko harus dikelola? Jawabannya tidak sulit ditebak, yaitu
karena resiko mengandung biaya yang tidak sedikit. Bayangkan suatu kejadian di
mana suatu perusahaan sepatu yang mengalami kebakaran. Kerugian langsung
dari peristiwa tersebut adalah kerugian finansial akibat asset yang terbakar
(misalnya gedung, material, sepatu setengah jadi, maupun sepatu yang siap untuk
dijual). Namun juga dilihat kerugian tidak langsungnya, seperti tidak bisa
beroperasinya perusahaan selama beberapa bulan sehingga menghentikan arus
kas. Akibat lainnya adalah macetnya pembayaran hutang kepada supplier dan
kreditor karena terhentinya arus kas yang akhirnya akan menurunkan kredibilitas
dan hubungan baik perusahaan dengan partner bisnis tersebut.
Resiko dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan melalui manajemen
resiko. Peran dari manajemen resiko diharapkan dapat mengantisipasi lingkungan
cepat berubah, mengembangkan corporate governance, mengoptimalkan strategic
management, mengamankan sumber daya dan asset yang dimiliki organisasi, dan
mengurangi reactive decision making dari manajemen puncak

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian, Tujuan, Perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pengendalian
resiko
2. Teori dasar pengendalian resiko
3. POB ( Prosedur Operasional Baku ) dan Hirarki pengendalian resiko
4. Teori pengendalian Resiko K3
5. Risk Assesment and risk control
1.3 Tujuan
1. Guna mengetahui pengertian sampai dengan evaluasi pengendalian resiko
itu sendiri.
2. Agar faham dan bisa berpedoman pada teori dasar mengenai manajemen
resiko K3.
3. Supaya sang pembaca sendiri mempunyai gambaran tentang prosedur
operasional baku tentang manajemen resiko K3.
4. Guna lebih mengembangkan teori dari teori dasar ke pendalaman teori
Pengendalian resiko K3.
5. Agar sang pembaca faham akan Risk Assesment and Risk Control
dipergunakan untuk hal yang sangat pengaruh terhadap risiko K3.
BAB 2
PEMBAHASAN TEORI

2.1. Manajemen Risiko K3


Manajemen Risiko K3 adalah suatu upaya mengelola risiko untuk
mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif,
terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik. Sehingga
memungkinkan manajemen untuk meningkatkan hasil dengan cara
mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang ada. Pendekatan manajemen
risiko yang terstruktur dapat meningkatkan perbaikan berkelanjutan.
2.2. Manfaat dalam menerapkan manajemen risiko antara lain :
A. Menjamin kelangsungan usaha dengan mengurangi risiko dari setiap
kegiatan yang mengandung bahaya
B. Menekan biaya untuk penanggulangan kejadian yang tidak diinginkan
C. Menimbulkan rasa aman dikalangan pemegang saham mengenai
kelangsungan dan keamanan investasinya
D. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai risiko operasi bagi
setiap unsur dalam organisasi/ perusahaan
E. Memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku
2.3. Penerapan Manajemen Resiko K3
Dalam menerapkan Manajemen Risiko K3, ada beberapa tahapan/langkah
yang perlu dilakukan. Hal ini bertujuan agar proses manajemen risiko k3 dapat
berjalan dengan tepat dan sesuai. Tahapan yang perlu dilakukan dalam
menerapkan manajemen risiko k3 adalah :
1. Menentukan Konteks
Dalam menentukan konteks dilakukan dengan cara melihat visi
misi perusahaan, ruang lingkup bisnis perusahaan mulai dari proses kerja
awal sampai akhir. Hal ini dilakukan karena konteks risiko disetiap
perusahaan berbeda-beda sesuai dengan kegiatan bisnis yang dilakukan.
Kemudian langkah selanjutnya adalah menetapkan kriteria risiko yang
berlaku untuk perusahaan berdasarkan aspek nilai kerugian yang dapat
ditanggulangi oleh perusahaan. Kriteria risiko didapat dari kombinasi
kriteria tingkat kemungkinan dan keparahan. Dalam menentukan tingkatan
tersebut dapat digambarkan pada beberapa tabel berikut :
Tabel 1. Nilai Tingkat Kemungkinan

Likelihood/Probability Rating Deskripsi

Frequent 5 Selalu terjadi


Probable 4 Sering terjadi
Occasional 3 Kadang-kadang dapat terjadi
Unlikely 2 Mungkin dapat terjadi
Improbable 1 Sangat jarang terjadi

a) Untuk menentukan nilai tingkat keparahan, dapat digunakan tabel tersebut.


Sehingga setiap kegiatan dapat dinilai tingkatan kemungkinannya dalam
menimbulkan incident atau kerugian.
Tabel 2. Nilai Tingkat Keparahan
Severity Rating Deskripsi
Meninggal dunia, cacat permanen/ serius,
kerusakan lingkungan yang parah, kebocoran
Catastrophic 5
B3, kerugian finansial yang sangat besar,
biaya pengobatan > 50 juta.
Hilang hari kerja, cacat permanen/ sebagian,
kerusakan lingkungan yang sedang, kerugian
Major 4
finansial yang besar, biaya pengobatan < 50
juta.
Membutuhkan perawatan medis,
Moderate/ terganggunya pekerjaan, kerugian finansial
3
Serious cukup besar, perlu bantuan pihak luar, biaya
pengobatan < 10 juta.
Penanganan P3K, tidak terlalu memerlukan
Minor 2 bantuan dari luar, biaya finansial sedang,
biaya pengobatan < 1 juta
Tidak mengganggu proses pekerjaan, tidak
Negligible 1 ada cidera/ luka, kerugian financial kecil,
biaya pengobatan < 100 ribu.
b) Untuk menentukan tingkatan nilai keparahan yang terjadi dari kegiatan
yang dilakukan, dapat menggunakan tabel 2.
c) Kemudian kriteria risiko dapat digambarkan seperti pada tabel berikut :
Tabel 3. Skala Tingkatan Risiko
Risk Rank Deskripsi
17 – 25 Extreme High Risk – Risiko Sangat Tinggi
10 – 16 High Risk – Risiko Tinggi
5–9 Medium Risk – Risiko Sedang
1–4 Low Risk – Risiko Rendah

d) Konteks manajemen risiko ini akan dijalankan dalam organisasi atau


perusahaan untuk acuan langkah manajemen risiko k3 yang selanjutnya.
2. Melakukan Identifikasi Risiko
Identifikasi bahaya adalah salah satu tahapan dari manajemen risiko k3
yang bertujuan untuk mengetahui semua potensi bahaya yang ada pada
suatu kegiatan kerja/ proses kerja tertentu. Identifikasi bahaya memberikan
berbagai manfaat antara lain :
a. Mengurangi peluang kecelakaan karena dengan melakukan identifikasi
dapat diketahui faktor penyebab terjadinya kecelakaan,
b. Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai potensi
bahaya yang ada dari setiap aktivitas perusahaan, sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan karyawan untuk meningkatkan kewaspadaan
dan kesadaran akan safety saat bekerja,
c. Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi
pencegahan dan penanganan yang tepat, selain itu perusahaan dapat
memprioritaskan tindakan pengendalian berdasarkan potensi bahaya
tertinggi.
d. Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya
dalam perusahaan.
# Cara melakukan identifikasi bahaya adalah :
a. Tentukan pekerjaan yang akan diidentifikasi
b. Urutkan langkah kerja mulai dari tahapan awal sampai pada tahap akhir
pekerjaan.
c. Kemudian tentukan jenis bahaya apa saja yang terkandung pada setiap
tahapan tersebut, dilihat dari bahaya fisik, kimia, mekanik, biologi,
ergonomic, psikologi, listrik dan kebakaran.
d. Setelah potensi bahaya diketahui, maka tentukan dampak/kerugian yang
dapat ditimbulkan dari potensi bahaya tersebut. Dapat menggunakan
metode What-If.
e. Kemudian catat dalam tabel, semua keterangan yang didapat.
Salah satu metoda yang dapat digunakan dalam melakukan identifikasi
bahaya adalah dengan membuat Job Safety Analysis/Job Hazard
Analysis. Selain JSA, ada beberapa teknik yang dapat dipakai seperti
(Fault Tree Analysis) FTA, (Event Tree Analysis) ETA, (Failure Mode
and Effect Analysis) FMEA, (Hazards and Operability Study) Hazop,
(Preliminary Hazards Analysis) PHA, dll.
3. Penilaian Risiko
Setelah semua tahapan kerja diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah
melakukan penilaian risiko untuk menentukan besarnya tingkatan risiko
yang ada. Tahapan ini dilakukan melalui proses analisa risiko dan evaluasi
risiko.
A. Analisa Risiko :
Analisa risiko dilakukan untuk menentukan besarnya suatu risiko
dengan mempertimbangkan tingkat keparahan dan kemungkinan yang
mungkin terjadi. Analisa ini dilakukan berdasarkan konteks yang telah
ditentukan oleh perusahaan, seperti tingkat kemungkinan tabel
1.tingkat keparahan
2. dan tingkat risiko tabel
3. Cara melakukan analisa adalah :
a. Lakukan analisa dari setiap langkah kerja yang telah diidentifikasi pada
tahapan identifikasi bahaya.
b. Mengukur tingkat kemungkinan terjadinya incident dari setiap tahapan
kegiatan yang dilakukan berdasarkan acuan konteks yang telah
ditentukan pada tabel 1.
c. Mengukur tingkat keparahan yang dapat ditimbulkan dari setiap
potensi bahaya pada setiap tahapan kerja yang telah diidentifikasi.
Ukuran tingkat keparahan ditentukan berdasarkan acuan konteks yang
telah dibuat pada tabel 2.
e. Setelah tingkatan kemungkinan dan keparahan diketahui, lakukan
perhitungan menggunakan rumus berikut untuk mengetahui nilai
risikonya
f. Membuat matriks risiko.
Tabel 4. Matriks Risiko

g. Tentukan tingkatan risiko pada setiap tahapan kerjanya berdasarkan


nilai risiko yang telah didapat dari perhitungan. Ukuran tingkat risiko
dinilai berdasarkan acuan konteks yang telah dibuat pada tabel 2.
B. Evaluasi Risiko
Setelah setiap tahapan kerja diidentifikasi dan dianalisa tingkat risikonya,
langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi risiko. Evaluasi risiko
dilakukan untuk menentukan apakah risiko dari setiap tahapan kerja dapat
diterima atau tidak. Cara melakukan evaluasi adalah :
1. Perusahaan/organisasi membuat kriteria risiko yang dapat diterima
(tingkat risiko low), tidak dapat diterima (tingkat risiko high dan very
high) dan dapat ditolerir (tingkat risiko medium)
2. Setiap tahapan kerja yang telah dianalisa dan diketahui tingkat
risikonya, maka lakukan evaluasi apakah tingkatan risiko tersebut
dapat diterima, tidak dapat diterima atau dapat ditolerir.
3. Jika tingkatan risiko yang ada tidak dapat diterima, maka perlu
dilakukan tindakan pengendalian risiko guna menurunkan tingkatan
risiko tersebut sampai tingkatan rendah atau dapat ditolerir
2.4. Hierarki Pengendalian Risiko/ Bahaya K3

Pengendalian risiko merupakan langkah penting dan menentukan


dalam keseluruhan manajemen risiko. Pengendalian risiko berperan dalam
meminimalisir/ mengurangi tingkat risiko yang ada sampai tingkat
terendah atau sampai tingkatan yang dapat ditolerir. Cara pengendalian
risiko dilakukan melalui :
A. Eliminasi : pengendalian ini dilakukan dengan cara
menghilangkan sumber bahaya (hazard).
B. Substitusi : mengurangi risiko dari bahaya dengan cara
mengganti proses, mengganti input dengan yang lebih rendah
risikonya.
C. Engineering : mengurangi risiko dari bahaya dengan metode
rekayasa teknik pada alat, mesin, Infrastruktur, lingkungan, dan
atau bangunan.
D. Administratif : mengurangi risiko bahaya dengan cera
melakukan pembuatan prosedur, aturan, pemasangan rambu
(safety sign), tanda peringatan, training dan seleksi terhadap
kontraktor, material serta mesin, cara pengatasan, penyimpanan
dan pelabelan.
E. APD : mengurangi risiko bahaya dengan cara menggunakan
alat perlindungan diri misalnya safety helmet, masker, sepatu
safety, coverall, kacamata keselamatan, dan alat pelindung diri
lainnya yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan

Tapi, masalahnya adalah bahwa efek dari kelompok kontrol tidak sama,
dan beberapa dari mereka tidak benar-benar menghilangkan atau
mengurangi risiko bahaya dengan cara yang paling memuaskan. Oleh
karena itulah hierarki diperkenalkan, untuk mendorong organisasi untuk
mencoba untuk menerapkan kontrol yang lebih baik dan benar-benar
menghilangkan bahaya, jika memungkinkan.

Bagaimana cara kerjanya?

Setelah Anda menyelesaikan penilaian risiko dan diperhitungkan kontrol


yang ada, Anda harus dapat menentukan apakah kontrol yang ada
memadai atau butuh memperbaiki, atau jika kontrol baru yang diperlukan.
Jika kontrol baru atau yang ditingkatkan diperlukan, pilihan mereka harus
ditentukan oleh prinsip hirarki kontrol, yaitu, penghapusan bahaya bila
memungkinkan, diikuti pada gilirannya dengan pengurangan risiko (baik
dengan mengurangi kemungkinan terjadinya atau potensi keparahan
cedera atau merugikan), dengan penerapan alat pelindung diri (APD)
sebagai pilihan terakhir. Pada dasarnya, hirarki ini mendefinisikan urutan
mempertimbangkan control. Anda dapat memilih untuk menerapkan satu
atau kombinasi dari beberapa jenis kontrol.

Di sinilah Anda harus mulai ketika merencanakan kontrol:

1. Eliminasi – memodifikasi desain untuk menghilangkan bahaya,


misalnya, memperkenalkan perangkat mengangkat mekanik untuk
menghilangkan penanganan bahaya manual.
2. Subtitusi – pengganti bahan kurang berbahaya atau mengurangi
energi sistem (misalnya, menurunkan kekuatan, ampere, tekanan, suhu,
dll);
3. Kontrol teknik / Perancangan – menginstal sistem ventilasi, mesin
penjagaan, interlock, dll .;
4. Kontrol administratif – tanda-tanda keselamatan, daerah berbahaya
tanda, tanda-tanda foto-luminescent, tanda untuk trotoar pejalan kaki,
peringatan sirene / lampu, alarm, prosedur keselamatan, inspeksi peralatan,
kontrol akses, sistem yang aman, penandaan, dan izin kerja, dll .;
5. Alat Pelindung Diri (APD) – kacamata safety, perlindungan
pendengaran, pelindung wajah, respirator, dan sarung tangan.

Umumnya tiga tingkat pertama adalah paling diinginkan, namun


tiga tingkat tersebut tidak selalu mungkin untuk diterapkan. Dalam
menerapkan hirarki, Anda harus mempertimbangkan biaya relatif, manfaat
pengurangan risiko, dan keandalan dari pilihan yang tersedia. Dalam
membangun dan memilih kontrol, masih banyak hal yang perlu
dipertimbangkan, diantaranya:

 Kebutuhan untuk kombinasi kontrol, menggabungkan unsur-unsur


dari hirarki di atas (misalnya, perancangan dan kontrol administratif),
 Membangun praktik yang baik dalam pengendalian bahaya tertentu
yang dipertimbangkan, beradaptasi bekerja untuk individu (misalnya,
untuk memperhitungkan kemampuan mental dan fisik individu),
 Mengambil keuntungan dari kemajuan teknis untuk meningkatkan
kontrol,
 Menggunakan langkah-langkah yang melindungi semua orang
(misalnya, dengan memilih kontrol rekayasa yang melindungi semua
orang di sekitar bahaya daripada menggunakan Alat Pelindung Diri),
 Perilaku manusia dan apakah ukuran kontrol tertentu akan diterima
dan dapat dilaksanakan secara efektif,
 Tipe dasar kegagalan manusia/human error (misalnya, kegagalan
sederhana dari tindakan sering diulang, penyimpangan memori atau
perhatian, kurangnya pemahaman atau kesalahan penilaian, dan
pelanggaran aturan atau prosedur) dan cara mencegahnya,
 Kebutuhan untuk kemungkinan peraturan tanggap darurat bila
pengendalian risiko gagal,
 Potensi kurangnya pengenalan terhadap tempat kerja, contoh: visitor
atau personil kontraktor.

Setelah kontrol telah ditentukan, organisasi dapat memprioritaskan


tindakan untuk melaksanakannya. Dalam prioritas tindakan, organisasi
harus memperhitungkan potensi pengurangan risiko kontrol direncanakan.
Dalam beberapa kasus, perlu untuk memodifikasi aktivitas kerja sampai
pengendalian risiko di tempat atau menerapkan pengendalian risiko
sementara sampai tindakan yang lebih efektif diselesaikan – misalnya,
penggunaan mendengar perlindungan sebagai langkah sementara sampai
sumber kebisingan dapat dihilangkan, atau aktivitas kerja dipisahkan
untuk mengurangi paparan kebisingan. kontrol sementara tidak harus
dianggap sebagai pengganti jangka panjang untuk langkah-langkah
pengendalian risiko yang lebih efektif. Seleksi dan pelaksanaan kontrol
adalah bagian paling penting dari Sistem Manajemen K3, tapi itu tidak
cukup untuk membuatnya bekerja. Efek dari implementasi kontrol harus
dipantau untuk menentukan apakah sudah mencapai hasil yang diinginkan,
dan organisasi harus selalu mengejar kemungkinan adanya kontrol baru
yang lebih efektif dan lebih low cost.

2.5. MENGHINDARI RISIKO


Salah satu cara mengendalikan suatu risiko murni, adalah menghindari harta,
orang atau kegiatan dari expousure terhadap risiko dengan jalan
1. Menolak memiliki, menerima atau melaksanakan kegiatan itu walaupun
hanya sementara.
2. Menyerahkan kembali risiko yang terlanjur di trima, atau segera
menghentikan kegiatan ketiga di ketahui megandung risiko
Bebeapa karakteristik penghindaran risiko seharusnya di perhatikan :
Pertama : boleh jadi tidak ada kemungkinan menghindari risiko makin luas
risiko yang di hadapi, makin besar ketidak mungkinan
menghindarinya.
Kedua : faedah laba potensial yang bakal di terima dari sebab pemilikkan
suatu harta, memperkerjakan pengawai tertentu, atau bertangung
jawab atas suatu kegiatan, akan menghilang, jika di laksanakan
penghidaran risiko
Ketiga : makin sempit risiko yang di hadapi, maka akan semakin besar
2.6. PENGENDALAIN KERUGIAN ( LOSS CONTROL)
Tidakkan pencegahan kerugian atau tindakan pengurangan kemungkinan
terciptanya risiko baru. Pengendalian kerugian di jalankan dengan :
1. Merendahkan kans ( chance) utuk terjadinya kerugian
2. Mengurangi keparahannya jika kerugian itu memang terjadi, kedua
tidakkan itu dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara :

# Implementasi dan evaluasi hasilnya.


Untuk mengimplementasikan keputusan penghindaran risiko, makan
harus diadakan penetapan semua harta, personil, atau kegiatan yang
menghadapi risiko yang ingin di hindarkan ter.
Penghindara risiko dikatakan berhasil jika tidak terjadi kerugian yang di
sebabkan risiko yang ingin dihindarkan itu.
(a) kerugian
(b) Menurut sebab akan terjadinya yang akan di kontrol.
(c) Menurut lokasi dari pada kondisi kondisi yang akan di kontrol.
(d) Menurut timingnya.
# Metode pencegahan kerugian dan metode pengurangan kerugian
Program pengurangan kerugian bertujuan untuk mengurangi keparahan
potensial dari kerugian.
Contoh : kans tanggung gugat produk bisa dikurangin dengan
memperketat pengawasan mutu, memilih distributor ynag lebih hati-hati.
Program pengurangan kerugian dapat di bagi lagi atas
1. Minimization program
2. Salvage program
Perbedaan antara keduanya ialah minimization program di jalankan
sebelum kerugian terjadi atau sedang berlansug sedangkan salvage
program adalah program sesudah kerugian itu terjadi.
2.7. ANALISIS HAZARD
Analsis hazard tidak dapat dibatasi pada analisi hazard yang telah
menybabkan kecelakaan saja. Perlu menyelidiki hazard yang mungkin
akan muncul, berdasarkan pengalam perusahaan.
Misalnya hazard dalam produk baru seperti obat baru merupakan hazard
yang belum pernah dialami bahkan oleh perusahaan lain, tetapi melalui
percobaan labotorium hazard mungkin ditemukan.
Alat-alat baru dalam menemukan hazard melalui inspeksi adalah :
1. Checklist
2. Fault tree analysisi ( liaht mehr and hedges 1974,p.431)
A. MENETUKAN KELAYAKKAN EKONOMIS
Walaupun pencegahan segala kerugian diinginkan, tetapi ditinjau dari
sisi ekonomis ada biaya yang harus di keluarkan untuk mencegahnya
di antaranya pertimbangan yang bersifat ekonomis adalah
B. BIAYA YANG TIMBUL KARNA KECELAKAAN
Diantanya adalah :
1. Biaya karna hilangnya waktu kerja
2. Biaya karna hilangnya waktu kerja pengawai lainya
3. Biaya dari waktu yang terpakai bagi supervisor untuk menyediakan
form laporan kecelakaan dan waktu untuk mengajarkan penganti
karyawan yang cedera
4. Biaya yang berkenan rusaknya mesin, peralatan, atau harta lainya
5. Biaya yang berkenan pembayaran gaji karyawan yang pulih dari
cidera
6. Hilangnya waktu produksi
C. BIAYA PENGENDALAIN KERUGIAN
Biaya pemasangan dan perawatan peralatan pengendalian kerugian
dapat di bagi menjadi 3 kategori :
1. Pengeluaran modal dan depresiasi untuk alat pencengahan
2. Pengeluaran seperti gaji, tunjangan, pakaian, biaya, training, dan
sebagainya
3. Pengeluaran untuk menjalankan program
D. MEMBANDINGKAN MANFAAT DAN BIAYA
Pertama karena manfaat biaya tidak pasti, maka benefit itu harus
dikalikan dengan probobilitas mafaatitu akan terjasi. Baik manfaat
(benefit) maupun biaya bisa di sebarkan pada biaya unurk beberapa
tahun. Akibatnya orang harus mebnadingkan present value dari
expected cost.
E. EVALUASI
Usaha pengendalian kerugian di evaluasi dengna menetapkan
1. Apakah biaya kecelakaan adalah dikurangin dengan adanya usaha
tersebut.
2. Apakah kebijakkan keselamatan ( safety policy) dan prosedur
yang di anjurkan oleh manajer risiko ada di jalankan.
F. PEMISAHAN
Maksudnya adalah menyebarkan harta yang menghadapi risiko yang
sama menggantikan penetapan dalam suatu lokasi. Misalkan ada begitu
banyak stock yang ada maka dari itu jagan memnyimpan stock dalam
satu gudang saja, usahakan terbagi dalam bebrapa gudang.
G. PEMINDAHAN RISIKO
Dapat di lakukan dengan 3 cara yaitu
1. hak milik atau kegiatan yang menhadapi risiki di pindahkan ke
pihak lain.
2. resiko itu sendiri yang di pindahkan
3. pembatalan perjanjian.
2.8.Teori Domino Heinrich

Teori ini menyatakan bahwa kecelakaan diakibatkan oleh rantai peristiwa


berurutan seperti domino jatuh dan ketika salah satu domino jatuh, memicu
kecelakaan yang berikutnya. Lima faktor kecelakaan berurutan yang
menyebabkan cedera:
 Social Environment and Ancestry

 Fault of Person

 Unsafe Act and/or Unsafe Condition

 Accident

 Injury

Dalam teri domino ini pencegahan kecelakaan berfokus pada


penghilangkan faktor utama (the central factor), yaitu tindakan tidak aman
atau bahaya, yang mendasari 98% dari semua kecelakaan. Heinrich
beranggapan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan menghilang kedua
faktor, yaitu meniadakan unsafe act dan unsafe condition. Atau dengan
kata lain dengan cara mengendalikan situasinya (thing problem) dan
masalah manusianya (people problem). Sayangnya teori ini terlalu
melimpahkan kesalahan pada manusia dan kecelakaan bisa terjadi hanya
karena ada kesalahan manusia. Namun dibalik kekeurangan Heinrich
dalam teorinya, Heinrich melihat adanya sejumlah faktor yang
memunculkan efek domino kondisi yang menyebabkan kegiatan pekerjaan
menjadi tidak aman. Teori Domino Heinrich ini juga menjadi teori ilmiah
pertama yang menjelaskan terjadinya kecelakaan kerja karena kecelakaan
tidak lagi dianggap sebagai sekedar nasib sial atau karena peristiwa
kebetulan.
2.9. Investigasi (Penyebab) Kecelakaan Kerja

Menurut teori domino effect kecelakaan kerja H.W Heinrich, kecelakaan


terjadi melalui hubungan mata-rantai sebab-akibat dari beberapa faktor
penyebab kecelakaan kerja yang saling berhubungan sehingga menimbulkan
kecelakaan kerja (cedera ataupun penyakit akibat kerja / PAK) serta beberapa
kerugian lainnya. Terdapat faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja antara
lain : penyebab langsung kecelakaan kerja, penyebab tidak langsung
kecelakaan kerja dan penyebab dasar kecelakaan kerja.
Termasuk dalam faktor penyebab langsung kecelakaan kerja ialah kondisi
tidak aman/berbahaya (unsafe condition) dan tindakan tidak aman/berbahaya
(unsafe action). Kondisi tidak aman, beberapa contohnya antara lain : tidak
dipasang (terpasangnya) pengaman (safeguard) pada bagian mesin yang
berputar, tajam ataupun panas, terdapat instalasi kabel listrik yang kurang
standar (isolasi terkelupas, tidak rapi), alat kerja/mesin/kendaraan yang
kurang layak pakai, tidak terdapat label pada kemasan bahan (material)
berbahaya, dsj. Termasuk dalam tindakan tidak aman antara lain :
kecerobohan, meninggalkan prosedur kerja, tidak menggunakan alat
pelindung diri (APD), bekerja tanpa perintah, mengabaikan instruksi kerja,
tidak mematuhi rambu-rambu di tempat kerja, tidak melaporkan adanya
kerusakan alat/mesin ataupun APD, tidak mengurus izin kerja berbahaya
sebelum memulai pekerjaan dengan resiko/bahaya tinggi.
Termasuk dalam faktor penyebab tidak langsung kecelakaan kerja ialah faktor
pekerjaan dan faktor pribadi. Termasuk dalam faktor pekerjaan antara lain :
pekerjaan tidak sesuai dengan tenaga kerja, pekerjaan tidak sesuai sesuai
dengan kondisi sebenarnya, pekerjaan beresiko tinggi namun belum ada
upaya pengendalian di dalamnya, beban kerja yang tidak sesuai, dsj.
Termasuk dalam faktor pribadi antara lain : mental/kepribadian tenaga kerja
tidak sesuai dengan pekerjaan, konflik, stress, keahlian yang tidak sesuai, dsj.
Termasuk dalam faktor penyebab dasar kecelakaan kerja ialah lemahnya
manajemen dan pengendaliannya, kurangnya sarana dan prasarana,
kurangnya sumber daya, kurangnya komitmen, dsb.
Menurut teori efek domino H.W Heinrich juga bahwa kontribusi terbesar
penyebab kasus kecelakaan kerja adalah berasal dari faktor kelalaian manusia
yaitu sebesar 88%. Sedangkan 10% lainnya adalah dari faktor ketidaklayakan
properti/aset/barang dan 2% faktor lain-lain.

2.10. Contoh penerapan


Proses Penilaian Resiko Kapal?
Pada dasarnya proses penilaian resiko berkaitan dengan mengamati aktivitas
dan operasi kapal, mengidentifikasi apa yang mungkin salah, dan memutuskan
apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya. Proses penilaian resiko
termasuk:

 Identifikasi bahaya

 Penilaian resiko yang terkait

 Aplikasi kontrol untuk mengurangi resiko

 Pemantauan efektivitas kontrol

Identifikasi bahaya adalah hal terpenting karena akan menentukan arah


tindakan yang harus dilakukan sesudahnya. Pengamatan pada aktivitas
membantu dalam mencapai ketepatan dan kelengkapan yang lagi-lagi hanya
dapat dicapai dengan proses yang sistematis. Juga penting untuk diingat bahwa
bahaya tidak harus disalahartikan dengan insiden sedangkan insiden tidak
harus menunjukkan konsekuensi.

Gambar. Alur Proses Umum Manajemen Resiko Kapal

Penilaian resiko kapal membantu dalam mengevaluasi setiap bahaya yang


terkait dengan resiko dalam hal kemungkinan bahaya dan kemungkinan
akibatnya. Saat menyelesaikan penerapan kontrol, penting untuk
mempertimbangkan frekuensi aktivitas sehingga potensi resiko moderat
mungkin lebih penting untuk ditangani daripada resiko yang jarang tetapi
besar.

Resiko yang paling relevan untuk dipantau di kapal?


Berikut ini merupakan aspek resiko yang umumnya dipantau di kapal, yaitu:

 Masalah kesehatan dan keselamatan crew kapal baik yang terlibat langsung
maupun tidak langsung dalam kegiatan, atau mereka yang mungkin
terpengaruh dari aktivitas (subkontraktor/vendor, tamu, visiting
superintendent/shore staff, marine inspector, dll).
 Properti perusahaan (kapal, equipment, tools) dan pihak lain (kapal lain,
dermaga/jetty, dll).
 Lingkungan (pencemaran laut dari minyak, udara, sampah, refers to MARPOL
Annex I – VI).
Penilaian resiko untuk kapal harus berkelanjutan, fleksibel, dan direview
kembali secara teratur untuk meningkatkan keselamatan jiwa dan properti serta
mencegah polusi lingkungan. Karena ‘resiko’ tidak pernah menjadi suatu hal
yang konstan atau konkret, perbedaan sifat persepsi dan antisipasi tingkat
bahaya dari resiko ditentukan oleh pengalaman, pelatihan, dan perilaku
(behavior). Perilaku crew kapal terhadap masalah yang ada, kesadaran, dan
kewaspadaan, semuanya memainkan peran penting dalam proses pengambilan
keputusan dalam penilaian resiko operasi kapal.
Bagaimana officer/perwira melakukan penilaian resiko (risk assessment) di
kapal?
1. Mengumpulkan data yang dibutuhkan dan familiarisasi
Proses ini melibatkan personel yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan
semua informasi yang relevan berkenaan dengan pekerjaan mana yang harus
dilakukan penilaian resiko, umumnya dikoordinir oleh Chief Officer (Deck
Dept.) dan Chief Engineer (Engine Dept.). Sebagai contoh, tugas ‘bekerja di
ketinggian (working aloft)’ akan melibatkan kombinasi data mengenai area di
mana pekerjaan akan berlangsung (monkey island, palka, lambung, dll),
peralatan keselamatan yang tersedia untuk bekerja di ketinggian (scaffolding,
safety harness, full body harness, dll), penilaian yang jelas dari orang-orang
yang mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan dengan
mudah (C/O, 2/O, Bosun, A/B, dll), keahlian medis yang dimiliki (BFA,
MEFA, dll), dll.
Familiarisasi berarti bahwa perwira yang bertanggung jawab atas penilaian
resiko familiar dengan area kapal dimana pekerjaan dilakukan dan bukan
hanya penilai dari luar. Hal-hal tersebut harus dipertimbangkan untuk semua
aspek yang disebutkan berkaitan dengan pengumpulan data sehingga ia dapat
membuat penilaian yang lebih akurat/presisi untuk segala jenis insiden yang
mungkin timbul.

2. Mengidentifikasi bahaya yang ada dengan pengamatan


Dengan pengalaman dan ketekunan officer/perwira, mengidentifikasi bahaya
secara otomatis akan melibatkan segala sesuatu yang berkaitan dengan langkah
pekerjaan atau sistem permesinan (mekanis). Kerusakan mekanis merupakan
sesuatu yang tidak perlu terjadi karena pada dasarnya adalah sesuatu yang
dapat dikontrol semaksimal mungkin dengan pemeriksaan (checklist) dan
perbaikan sebelumnya.

Peralatan apa pun yang akan digunakan dalam pekerjaan harus diperiksa ulang
dan terus menerus diperiksa lagi! Ketika hidup seseorang dipertaruhkan, tidak
boleh ada sama sekali tindakan pengamanan (safety precaution) yang dilewati
untuk benar-benar memastikan keselamatan crew terjamin, atau dengan kata
lain TIDAK ADA JALAN PINTAS (SHORTCUT) DALAM PRINSIP
SAFETY!
Sebagai gambaran, suatu sobekan kecil di lanyard atau strap safety harness
mungkin tampak tidak berbahaya tetapi apabila digunakan oleh orang pada
ketinggian tertentu, maka dapat mengakibatkan harness putus atau
robek dan menghilangkan nyawa.
Setiap peralatan baik peralatan keselamatan (PPE, Safety Device), peralatan
kerja (tools), maupun permesinan (machinery), harus dipastikan dalam kondisi
optimal sebelum digunakan dengan cara melakukan pemeriksaan
(mengisi checklist) dan inspeksi rutin.
3. Menganalisa resiko yang terkait dengan pekerjaan
IACS mengklasifikasikan resiko dalam lima tingkatan, yaitu:

1. Trivial
2. Tolerable
3. Moderate
4. Substantial
5. Intolerable
Resiko meningkat (kecil ke besar) dari nomor 1 ke nomor 5. Tindakan dan
langkah langkah pengendalian resiko harus dilakukan sesuai dengan tingkat
bahaya yang dianalisa untuk pekerjaan tersebut. Resiko merupakan bahaya
pekerjaan yang bisa berakhir dengan kematian jika hal yang paling mendasar
dalam pengendalian resiko tidak dipahami oleh crew kapal. Sebagai contoh,
pekerjaan ‘Ruang Tertutup (enclosed space)’ seperti masuk tangki/manhole
atau palka jelas menuntut perhatian penuh dan semua resiko yang terkait
seperti asfiksia (kehabisan nafas/oksigen), keracunan gas (H2S),
kemungkinan adanya gas mudah terbakar (Methane/CH4), dll, yang harus
diperhitungkan dalam analisa resiko.
4. Penilaian resiko (kemungkinan terjadinya dan sejauh mana kemungkinan
kerusakan/kecelakaan)
IACS menggunakan istilah ALARP (As Low As Reasonable Practicable) yang
berarti bahwa resiko harus dikurangi ke tingkat yang serendah mungkin. Hal
ini berlaku pula untuk pengendalian resiko. Penilaian resiko akan melibatkan
bahwa setiap bahaya praktis, resiko yang terkait dengan mereka, personel
pengawas serta langkah-langkah pengendalian ditentukan dengan tepat hingga
ke tingkat yang dapat ditoleransi.
Hanya membuat ‘Risk Assessment‘, yang ditandatangani oleh Chief Officer
dan Bosun, mungkin merupakan eksekusi dokumenter namun tidak boleh
dilupakan bahwa orang yang melakukan pekerjaan berbahaya secara langsung,
misalnya juga kelasi/OS, A/B, oiler, wiper, menuntut penilaian resiko
dilakukan se-tepat/presisi mungkin hingga resiko dapat ditoleransi, lengkap
dengan langkah pengendaliannya. Hal ini karena pekerjaan tersebut beresiko
membahayakan hidupnya dan setiap saat dapat merenggut nyawanya. Sebagai
formalitas, dokumen diisi dan disimpan, memenuhi kebijakan HSE perusahaan
dan peraturan lainnya. Namun faktanya, hal ini adalah implementasi yang salah
dan dapat merusak budaya keselamatan kerja di atas kapal. Oleh karena itu,
setiap Penilaian Resiko (Risk Assessment) harus dibuat dan dilakukan dengan
prinsip ALARP (resiko dikurangi hingga tingkat yang dapat ditoleransi/tidak
membahayakan jiwa) dan dikomunikasikan ke crew yang melakukan pekerjaan
tersebut.
5. Pengendalian resiko, yaitu tindakan untuk mencegah /
meminimalisir kecelakaan atau kerusakan jika terjadi insiden
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa prinsip pengendalian
resiko menurut IACS adalah ALARP (As Low As Reasonable
Practicable). Banyak anggapan yang berkembang bahwa Alat Pelindung Diri
(APD) seperti Helm, Safety Shoes, Life Jacket, Sarung Tangan adalah
pengendalian resiko utama, padahal anggapan ini adalah salah besar. APD
adalah benteng (barrier) terakhir dalam pengendalian resiko karena sifatnya
hanya mengurangi tingkat keparahan/cidera yang dialami oleh crew kapal.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen resiko adalah


suatu proses mengidentifikasi, mengukur resiko, serta membentuk strategi
untuk mengelolanya melalui sumber daya yang tersedia.

Manajemen resiko adalah bagian penting dari strategi manajemen semua


wirausaha. Proses di mana suatu organisasi yang sesuai metodenya dapat
menunjukkan resiko yang terjadi pada suatu aktivitas menuju keberhasilan di
dalam masing-masing aktivitas dari semua aktivitas. Fokus dari manajemen
resiko yang baik adalah identifikasi dan cara mengatasi resiko

3.2 Daftar Rujukan


https://dessysrimardhani.blogspot.com/2016/04/pengendalian-risiko-
manajeman-risiko.html
https://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.com/2013/09/pengendalia
n-resikobahaya.html
https://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.com/2013/10/identifikasi-
bahaya-penilaian-resiko.html
https://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.com/2013/10/form-
identifikasi-bahaya-penilaian-dan.html
AS/NZS 4360:2004, Australian/New Zealand Standard Risk Management,
Joint Technical Committee OB-007 Risk Management, 31 Agustus 2004.

Simmons, Mark. COSO Based Auditing. The Internal Auditor, December


1997 The Institute of Internal Auditors. Internal C

Vaughan, Emmet. Fundamental of Risk and Insurance. 2nd, John Willey,


1978

Anda mungkin juga menyukai