Oleh :
1. Nico Wirawan (190511630847)
2. Rofi Achmad Fahresa (190511630865)
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam
pembuatan makalah ini.
27 Februari 2020
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata “Resiko”
dan sudah biasa dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh kebanyakan orang.
Resiko merupakan bagian dari kehidupan kerja individual maupun organisasi.
Berbagai macam resiko, seperti resiko kebakaran, tertabrak kendaraan lain di
jalan, resiko terkena banjir di musim hujan dan sebagainya, dapat menyebabkan
kita menanggung kerugian jika resiko-resiko tersebut tidak kita antisipasi dari
awal. Resiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat
mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sebagaimana kita pahami
dan sepakati bersama bahwa tujuan berwirausaha adalah membangun dan
memperluas keuntungan kompetitif dalam organisasi.
Aktivitas suatu badan usaha atau perusahaan pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari aktivitas mengelola resiko. Operasi suatu badan usaha atau
perusahaan biasanya berhadapan dengan resiko usaha dan resiko non usaha. Imam
Ghazali dalam Kasidy, Manajemen Resiko (2010) menyatakan bahwa, resiko
usaha adalah resiko yang berkaitan dengan usaha perusahaan untuk menciptakan
keunggulan bersaing dan memberikan nilai bagi pemegang saham. Sedangkan
resiko non usaha adalah resiko lainnya yang tidak dapat dikendalikan oleh
perusahaan.
Resiko berhubungan dengan ketidakpastian ini terjadi karena kurang atau
tidak tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan terjadi. Sesuatu yang
tidak pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Menurut
Wideman, ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan
dikenal dengan istilah peluang (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang
menimbulkan akibat yang merugikan disebut dengan istilah resiko (risk). Dalam
beberapa tahun terakhir, manajemen resiko menjadi trend utama baik dalam
perbincangan, praktik, maupun pelatihan kerja. Hal ini secara konkret
menunjukkan pentingnya manajemen resiko dalam bisnis pada masa kini.
Secara umum resiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dihadapi
seseorang atau perusahaan di mana terdapat kemungkinan yang
merugikan. Bagaimana jika kemungkinan yang dihadapi dapat memberikan
keuntungan yang sangat besar, dan walaupun mengalami kerugian sangat kecil
sekali. Misalnya membeli lotere. Jika beruntung maka akan mendapat hadiah
yang sangat besar, tetapi jika tidak beruntung uang yang digunakan membeli
lotere relatif kecil. Apakah ini juga tergolong resiko? Jawabannya adalah hal ini
juga tergolong resiko. Selama mengalami kerugian walau sekecil apapun hal itu
dianggap resiko.
Mengapa resiko harus dikelola? Jawabannya tidak sulit ditebak, yaitu
karena resiko mengandung biaya yang tidak sedikit. Bayangkan suatu kejadian di
mana suatu perusahaan sepatu yang mengalami kebakaran. Kerugian langsung
dari peristiwa tersebut adalah kerugian finansial akibat asset yang terbakar
(misalnya gedung, material, sepatu setengah jadi, maupun sepatu yang siap untuk
dijual). Namun juga dilihat kerugian tidak langsungnya, seperti tidak bisa
beroperasinya perusahaan selama beberapa bulan sehingga menghentikan arus
kas. Akibat lainnya adalah macetnya pembayaran hutang kepada supplier dan
kreditor karena terhentinya arus kas yang akhirnya akan menurunkan kredibilitas
dan hubungan baik perusahaan dengan partner bisnis tersebut.
Resiko dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan melalui manajemen
resiko. Peran dari manajemen resiko diharapkan dapat mengantisipasi lingkungan
cepat berubah, mengembangkan corporate governance, mengoptimalkan strategic
management, mengamankan sumber daya dan asset yang dimiliki organisasi, dan
mengurangi reactive decision making dari manajemen puncak
Tapi, masalahnya adalah bahwa efek dari kelompok kontrol tidak sama,
dan beberapa dari mereka tidak benar-benar menghilangkan atau
mengurangi risiko bahaya dengan cara yang paling memuaskan. Oleh
karena itulah hierarki diperkenalkan, untuk mendorong organisasi untuk
mencoba untuk menerapkan kontrol yang lebih baik dan benar-benar
menghilangkan bahaya, jika memungkinkan.
Fault of Person
Accident
Injury
Identifikasi bahaya
Masalah kesehatan dan keselamatan crew kapal baik yang terlibat langsung
maupun tidak langsung dalam kegiatan, atau mereka yang mungkin
terpengaruh dari aktivitas (subkontraktor/vendor, tamu, visiting
superintendent/shore staff, marine inspector, dll).
Properti perusahaan (kapal, equipment, tools) dan pihak lain (kapal lain,
dermaga/jetty, dll).
Lingkungan (pencemaran laut dari minyak, udara, sampah, refers to MARPOL
Annex I – VI).
Penilaian resiko untuk kapal harus berkelanjutan, fleksibel, dan direview
kembali secara teratur untuk meningkatkan keselamatan jiwa dan properti serta
mencegah polusi lingkungan. Karena ‘resiko’ tidak pernah menjadi suatu hal
yang konstan atau konkret, perbedaan sifat persepsi dan antisipasi tingkat
bahaya dari resiko ditentukan oleh pengalaman, pelatihan, dan perilaku
(behavior). Perilaku crew kapal terhadap masalah yang ada, kesadaran, dan
kewaspadaan, semuanya memainkan peran penting dalam proses pengambilan
keputusan dalam penilaian resiko operasi kapal.
Bagaimana officer/perwira melakukan penilaian resiko (risk assessment) di
kapal?
1. Mengumpulkan data yang dibutuhkan dan familiarisasi
Proses ini melibatkan personel yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan
semua informasi yang relevan berkenaan dengan pekerjaan mana yang harus
dilakukan penilaian resiko, umumnya dikoordinir oleh Chief Officer (Deck
Dept.) dan Chief Engineer (Engine Dept.). Sebagai contoh, tugas ‘bekerja di
ketinggian (working aloft)’ akan melibatkan kombinasi data mengenai area di
mana pekerjaan akan berlangsung (monkey island, palka, lambung, dll),
peralatan keselamatan yang tersedia untuk bekerja di ketinggian (scaffolding,
safety harness, full body harness, dll), penilaian yang jelas dari orang-orang
yang mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan dengan
mudah (C/O, 2/O, Bosun, A/B, dll), keahlian medis yang dimiliki (BFA,
MEFA, dll), dll.
Familiarisasi berarti bahwa perwira yang bertanggung jawab atas penilaian
resiko familiar dengan area kapal dimana pekerjaan dilakukan dan bukan
hanya penilai dari luar. Hal-hal tersebut harus dipertimbangkan untuk semua
aspek yang disebutkan berkaitan dengan pengumpulan data sehingga ia dapat
membuat penilaian yang lebih akurat/presisi untuk segala jenis insiden yang
mungkin timbul.
Peralatan apa pun yang akan digunakan dalam pekerjaan harus diperiksa ulang
dan terus menerus diperiksa lagi! Ketika hidup seseorang dipertaruhkan, tidak
boleh ada sama sekali tindakan pengamanan (safety precaution) yang dilewati
untuk benar-benar memastikan keselamatan crew terjamin, atau dengan kata
lain TIDAK ADA JALAN PINTAS (SHORTCUT) DALAM PRINSIP
SAFETY!
Sebagai gambaran, suatu sobekan kecil di lanyard atau strap safety harness
mungkin tampak tidak berbahaya tetapi apabila digunakan oleh orang pada
ketinggian tertentu, maka dapat mengakibatkan harness putus atau
robek dan menghilangkan nyawa.
Setiap peralatan baik peralatan keselamatan (PPE, Safety Device), peralatan
kerja (tools), maupun permesinan (machinery), harus dipastikan dalam kondisi
optimal sebelum digunakan dengan cara melakukan pemeriksaan
(mengisi checklist) dan inspeksi rutin.
3. Menganalisa resiko yang terkait dengan pekerjaan
IACS mengklasifikasikan resiko dalam lima tingkatan, yaitu:
1. Trivial
2. Tolerable
3. Moderate
4. Substantial
5. Intolerable
Resiko meningkat (kecil ke besar) dari nomor 1 ke nomor 5. Tindakan dan
langkah langkah pengendalian resiko harus dilakukan sesuai dengan tingkat
bahaya yang dianalisa untuk pekerjaan tersebut. Resiko merupakan bahaya
pekerjaan yang bisa berakhir dengan kematian jika hal yang paling mendasar
dalam pengendalian resiko tidak dipahami oleh crew kapal. Sebagai contoh,
pekerjaan ‘Ruang Tertutup (enclosed space)’ seperti masuk tangki/manhole
atau palka jelas menuntut perhatian penuh dan semua resiko yang terkait
seperti asfiksia (kehabisan nafas/oksigen), keracunan gas (H2S),
kemungkinan adanya gas mudah terbakar (Methane/CH4), dll, yang harus
diperhitungkan dalam analisa resiko.
4. Penilaian resiko (kemungkinan terjadinya dan sejauh mana kemungkinan
kerusakan/kecelakaan)
IACS menggunakan istilah ALARP (As Low As Reasonable Practicable) yang
berarti bahwa resiko harus dikurangi ke tingkat yang serendah mungkin. Hal
ini berlaku pula untuk pengendalian resiko. Penilaian resiko akan melibatkan
bahwa setiap bahaya praktis, resiko yang terkait dengan mereka, personel
pengawas serta langkah-langkah pengendalian ditentukan dengan tepat hingga
ke tingkat yang dapat ditoleransi.
Hanya membuat ‘Risk Assessment‘, yang ditandatangani oleh Chief Officer
dan Bosun, mungkin merupakan eksekusi dokumenter namun tidak boleh
dilupakan bahwa orang yang melakukan pekerjaan berbahaya secara langsung,
misalnya juga kelasi/OS, A/B, oiler, wiper, menuntut penilaian resiko
dilakukan se-tepat/presisi mungkin hingga resiko dapat ditoleransi, lengkap
dengan langkah pengendaliannya. Hal ini karena pekerjaan tersebut beresiko
membahayakan hidupnya dan setiap saat dapat merenggut nyawanya. Sebagai
formalitas, dokumen diisi dan disimpan, memenuhi kebijakan HSE perusahaan
dan peraturan lainnya. Namun faktanya, hal ini adalah implementasi yang salah
dan dapat merusak budaya keselamatan kerja di atas kapal. Oleh karena itu,
setiap Penilaian Resiko (Risk Assessment) harus dibuat dan dilakukan dengan
prinsip ALARP (resiko dikurangi hingga tingkat yang dapat ditoleransi/tidak
membahayakan jiwa) dan dikomunikasikan ke crew yang melakukan pekerjaan
tersebut.
5. Pengendalian resiko, yaitu tindakan untuk mencegah /
meminimalisir kecelakaan atau kerusakan jika terjadi insiden
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa prinsip pengendalian
resiko menurut IACS adalah ALARP (As Low As Reasonable
Practicable). Banyak anggapan yang berkembang bahwa Alat Pelindung Diri
(APD) seperti Helm, Safety Shoes, Life Jacket, Sarung Tangan adalah
pengendalian resiko utama, padahal anggapan ini adalah salah besar. APD
adalah benteng (barrier) terakhir dalam pengendalian resiko karena sifatnya
hanya mengurangi tingkat keparahan/cidera yang dialami oleh crew kapal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan