Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

“ CKD ”

DISUSUN OLEH:
dr. Cony Nurbayyini

PENDAMPING:
dr. Eti Sutarti

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD CIBINONG
PERIODE Maret 2020 – Juni 2020
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
• Nama : Ny. S

• Jenis Kelamin : Perempuan

• Umur : 61 tahun

• Alamat : Jl. Dempo, Kota Depok

• Tgl. Masuk RS : 20 Mei 2020

• RM : 25118

ANAMNESIS
• Keluhan Utama :

Lemas sejak 1 minggu SMRS


• Riwayat Penyakit Sekarang :

Lemas sejak 1 minggu SMRS. Pasien rujukan dari RS simpangan Depok, Pasien
memiliki riwayat sakit ginjal sejak 3 bulan yang lalu dan pernah dirawat, namun belum
pernah cuci darah, pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak sejak 3 bulan yang lalu.
Pasien juga mengeluh gatal-gatal dipunggung.
4 bulan SMRS pasien pernah mengeluhkan hal serupa dan disertasi sesak, dan sempat
dirawat.
Pasien juga mengeluhkan mual tapi tidak muntah, serta nyeri ulu hati. BAB dan BAK
tidak ada keluhan, sesak disangkal
• Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi
CKD
• Riwayat Penyakit Keluarga :
1. Tidak terdapat riwayat penyakit seperti ini pada keluarga.
2. Riwayat asma, tb paru, DM, HT, dan penyakit jantung disangkal.
• Riwayat Pengobatan :
1. Pasien tidak rutin minum obat
• Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi makanan, obat-obatan, debu, dan cuaca.

PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan umum: tampak sakit sedang

• Kesadaran : compos mentis

• Tanda-tanda vital :

TD : 190/110 mmHg
Nadi : 90 x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37,30C
SpO2 : 97%

STATUS GENERALIS
• Kepala : normocepal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah rontok.
• Mata : konjungtiva anemis +/+-, sklera ikterik -/-, reflek cahaya (+/+), pupil isokor, edema
palpebra +/+
• Hidung : septum deviasi (-), sekret -/-, epistaksis -/-.
• Telinga : bentuk normotia, serumen -/-, otorhea -/-.
• Mulut : mukosa bibir kering (-), tremor (-), stomatitis (-), sianosis (-), perdarahan gusi (-).
• Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-).
• Paru
I : normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-).
P : vokal fremitus kanan dan kiri sama (+), nyeri tekan (-).
P : sonor pada kedua lapang paru.
A : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
• Jantung
I : ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula sinistra.
P : ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra.
P : batas atas di ICS II linea parasternalis dextra, batas kanan di ICS IV linea sternalis
dextra, batas kiri di ICS V linea midclavicula sinistra.
A : BJ I dan II murni reguler, gallop (-), murmur (-).
• Abdomen
I : cembung.
A : bising usus (+) normal.
P : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan limpa tidak teraba.
P : timpani pada 4 kuadran abdomen.
• Ekstremitas
Atas : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-,
Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

20/05/2020

Pemeriksan Hasil Satuan


Darah Lengkap
Hemoglobin 5,5 g/dL
Leukosit 4560 /µL
Hematokrit 25 %
Trombosit 259000 /µL
Eritrosit 3,89 Jt/ul
Hitung Jenis
Basofil 0 %
Eosinofil 0 %
Batang 0 %
Segmen 91 %
Limfosit 5 %
Monosit 4 %
Elektrolit
Natrium 144 mmol/L
Kalium 4,7 mmol/L
Clorida 97 mmol/L
Glukosa sewaktu 145 mg/dl
Kimia Darah
Ureum 185 mg/dl
Kreatinin 10,1 mg/dl

23/05/2020
Pemeriksan Hasil Satuan
Glukosa Sewaktu 192 mg/dl
Kimia Darah
Ureum 350 mg/dl
Kreatinin 10,2 mg/dl
Elektrolit
Na 129 mmol/L
K 4,6 mmol/L
Cl 98 mmol/L

03/04/2020
Pemeriksan Hasil Satuan
Glukosa Sewaktu 92 mg/dl
Kimia Darah
Ureum 130 mg/dl
Kreatinin 8,1 mg/dl

04/06/2020
Pemeriksan Hasil Satuan
Glukosa Sewaktu 84 mg/dl

06/06/2020
Pemeriksan Hasil Satuan
Hb 10,3 g/dl
Leukosit 4560 /ul
Trombosit 89000 mg/dl
Hematokrit 30,9 mg/dl
Glukosa sewaktu 79
Ureum 104 mmol/L
Kreatinin 4,9 mmol/L

Diagnosis
CKD stage IV
Anemia
Hipertensi

Tatalaksana
- Oksigen 3 lpm

- Lasix 2 ampul, iv
- Ondancentron 3x4 mg, iv

- Bicnat 25 meq dalam D5% 500cc selama 6 jam

- Cek AGD

- Cek HbsAg, Hepatitis C dan anti HIV

- Tranfusi PRC 250cc jika Hb<6

- Lasix 3x1

- Candesartan 1x16mg

- Amlodipin 1x10 mg

- Aminoral 3x1

- Asam folat 3x1

- Bicnat 3x1

- Omeprazole 1x40 mg, iv

- CaCo3 3x1

- B12 3x1

- Rencana HD

FOLLOW UP
Tanggal S O A P
21/05/2020 Gatal TTV: CKD stage IV -obeservasi KU+TTV
dipunggung, TD: Anemia - Oksigen 3
sesak- 190/100 DM lpm
mmHg Hipertensi - Lasix 2
HR: 88 ampul, iv
x/menit - Ondancentron
RR: 20 3x4 mg, iv
x/menit - Bicnat 25
Suhu: 36 meq dalam
o
C D5% 500cc
selama 6 jam
- Cek AGD
- Cek HbsAg,
Hepatitis C
dan anti HIV
- Tranfusi PRC
250cc jika
Hb<6
- Lasix 3x1
- Candesartan
1x16mg
- Amlodipin
1x10 mg
- Aminoral 3x1
- Asam folat
3x1
- Bicnat 3x1
- Omeprazole
1x40 mg, iv
- CaCo3 3x1
- B12 3x1
- Rencana HD

22/05/2020 Lemas, TTV: CKD stage IV o Terapi lanjut


pusing TD: Anemia o Pasang CDL
160/90 DM
mmHg Hipertensi
HR: 94
x/menit
RR: 20
x/menit
Suhu: 36,5
o
C

09/06/2020 Mencret 2x, TTV: CKD stage IV - HD 5 jam


gatal TD: Anemia - Terapi lanjut
dibadan 140/90 DM
mmHg Hipertensi
HR: 80
x/menit
RR: 20
x/menit
Suhu: 36
o
C

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,

berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak

ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi

glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik:1.2

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau

tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

 Kelainan patologik

 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan

pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai

laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi

glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam

lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,

stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan

ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan

penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada

Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:1

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.1,3


Derajat Penjelasan LFG

(mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90


2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan
atau dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).3

GFR Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal

(ml/min/1,73 m2) Dengan HT Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT

> 90 1 1 HT Normal

60 – 89 2 2 HT dengan Penurunan

penurunan GFR GFR

30 – 59 3 3 3 3

15 – 29 4 4 4 4

< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5

II. Etiologi1,3,4

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry

(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut

glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik

(10%).
a. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana

mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang

dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.

Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga

oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu

menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli

berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai

serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah

merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal

terganggu.2

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan

sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri

sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik

lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau

amiloidosis.2

Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada

pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi

hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas,

dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.2

b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.2


Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat

mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat

bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak

menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil

lebih sering ataupun berat badan yang menurun.2

Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan

mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan

munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal

diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada

akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria

dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein

urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk

mata, jantung, dan sistem saraf .2,4

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥

90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,

hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang

tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga

hipertensi renal.5,6

Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi
obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII:5,6
Klasifikasi Sistolik Diastolik Modifikasi Terapi

Tekanan (mmHg) (mmHg) Gaya

Darah Hidup
Normal < 120 Dan < 80 edukasi tidak perlu obat

Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89 Ya antihipertensi

Stage 1 HT 140 – 159 Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik

Dapat juga ACEI,

ARB, BB, CCB, atau

kombinasi

Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis

obat (biasanya

thiazid tipe diuretik

dan ACEI atau ARB

atau BB atau CCB)

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah <130/80

mmHg.

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang

semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang

tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan

genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik

merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu

dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh

karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini

dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih

tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.2


III. Epidemiologi

Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta

kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di

Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara

berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per

tahun.1

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:1,7

1. Glomerulonefritis (46,39%)

2. Diabetes Mellitus (18,65%)

3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)

4. Hipertensi (8,46%)

5. Sebab lain (13,65%)

Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya

pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2

IV. Faktor risiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau

hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran

kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan lingkungan seperti obesitas atau

perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,

hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan

bahan kimia dan lingkungan tertentu.3

V. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.

Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang

masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul

vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti

oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang

masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,

walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.1,2

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut

memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh

growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah

albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual

untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial.1

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium

ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar

BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat

diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan

kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.1

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari

75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini

kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini

berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin
serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila

penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada

stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh

kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress

dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu

memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.1

Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium

akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron

telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%

dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.

Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok

sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal

ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak

sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi

isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya

menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus

meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan

biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem

dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia

mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.1

Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,

tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.

VI. Gambaran klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,

meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,

kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.1,2,7

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan

pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan

oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah

defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup

eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum

tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.1

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <

30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat

besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,

morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya.1,7

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab

lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.

Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan

indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak

cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.

Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal

kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,

diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.

Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet

protein dan antibiotika.2

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal

ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal

ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala

nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan

hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan

atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat

iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal

ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga

berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang

setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai

timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.1,3

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi

sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,

dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan

tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.

Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering

dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat

menyebabkan kegagalan faal jantung.

VII. Pendekatan Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan

fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.1,6

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan

yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan

pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan

dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk

semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan

melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,

nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic

frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

chlorida).1

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang

mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus

Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,

hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi

proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1

1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak

2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa

melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh

kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan


3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi

4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang

menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi

5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

VIII. Penatalaksanaan1,2,3,7

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara

progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki

metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

a.Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama

gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan

tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status

nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah

diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG

dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).


2. Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan

suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena

bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50

u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian

menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga

kali dalam seminggu.8

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan

terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati

karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief

complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa

mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi

dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler

yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym

Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui

berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan

antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang

penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh

penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan

kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,

dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu

pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis

peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik

azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien

GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan

terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk

dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan


paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,

muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10

mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,

muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu

pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah

menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan

mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV

shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual

urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-

mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual

tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

c. Transplantasi ginjal

IX. Prognosis

Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau

stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan

terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan

mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium

akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani

dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),

kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).2


X. Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan

pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti

bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi

(makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula

darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan

pengendalian berat badan.3


DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK,

Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.

2. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.

medscape.com/article/238798-overview, 05 Februari 2011.

3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:

Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:

http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05 Februari

2011.

4. Editorial. Glomerulonefritis. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.

com/article/777272-overview, 22 Agustus 2010.

5. Editorial. Tekanan Darah Tinggi. Diunduh dari:

http://id.wikipedia.org/wiki/Tekanan_darah_tinggi, 05 Februari 2011.

6. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,

Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan

Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.

7. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of

Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.

8. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta:

CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.

Anda mungkin juga menyukai