Anda di halaman 1dari 28

Tugas UAS

MK 102 Manajemen Pelayanan Berfokus Pasien


Universitas Esa Unggul
Henny Novita
20190309013

1. Jelaskan tentang Patient Reported Outcome dan Patient Reported Outcome Measures?

 Patient Reported Outcome ( PRO ) adalah hasil yang dilaporkan berupa hasil kesehatan yang
langsung dilaporkan oleh pasien yang mengalaminya. Berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh
orang lain, seperti hasil yang dilaporkan dokter , hasil yang dilaporkan perawat , dan sebagainya.
Metode PRO ini contohnya seperti kuesioner , digunakan dalam uji klinis atau pengaturan klinis
lainnya, untuk membantu lebih memahami kebenarannya atau efektivitas pengobatan.
Penggunaan PRO digital, atau hasil elektronik yang dilaporkan pasien (ePRO), sedang meningkat
dalam pengaturan penelitian kesehatan saat ini.

Patient Reported Outcome ( PRO )adalah istilah umum yang mencakup berbagai macam
pengukuran potensial, tetapi secara khusus mengacu pada "pelaporan diri" oleh pasien. Data PRO
dapat dikumpulkan melalui kuesioner yang dikelola sendiri, yang diisi sendiri oleh pasien, atau
melalui wawancara pasien. Yang terakhir hanya akan memenuhi syarat sebagai PRO, namun, jika
pewawancara mendapatkan pandangan pasien dan tidak menggunakan tanggapan untuk
membuat penilaian profesional atau penilaian dampak pengobatan pada kondisi pasien. Dengan
demikian, PRO digunakan sebagai sarana mengumpulkan perspektif hasil pasien - bukan klinis -
atau lainnya. Perspektif yang dilaporkan pasien dapat menjadi aset penting dalam mendapatkan
perawatan atau persetujuan obat .

Kuesioner PRO yang dirancang dengan baik harus menilai karakteristik tunggal yang
mendasari atau, jika membahas beberapa karakteristik, harus berupa sejumlah skala
yang masing-masing membahas karakteristik tunggal. "Karakteristik" pengukuran ini
disebut konstruk dan kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkannya, disebut
instrumen, ukuran, alat timbangan, atau alat ukur. Biasanya, alat PRO harus menjalani
validasi dan pengujian ekstensif.
Kuisioner dapat bersifat umum (dirancang untuk digunakan pada populasi penyakit
apa pun dan mencakup aspek luas dari konstruk yang diukur) atau ditargetkan dengan
kondisi tertentu (dikembangkan secara khusus untuk mengukur aspek-aspek hasil yang
penting bagi orang dengan kondisi medis tertentu).

Kuesioner PRO yang paling umum digunakan, diantaranya :

 Gejala (gangguan) dan aspek kesejahteraan lainnya


 Kecacatan
 Status kesehatan
 Persepsi kesehatan umum
 Kualitas hidup (kualitas hidup)
 Kualitas hidup terkait kesehatan (HRQoL)
 Laporan dan Tingkat perawatan kesehatan.

Dalam uji farmakologi klinis, PRO digunakan sebagai salah satu ukuran hasil primer
atau untuk melengkapi ukuran hasil primer. Ketika uji klinis melibatkan kondisi di mana
tidak ada pengukuran hasil yang objektif, seperti tingkat morbiditas atau biomarker
untuk gejala, dan di mana hasil hanya dapat diamati secara subjektif kepada pasien
dalam hal dampak, PRO dapat digunakan sebagai ukuran hasil utama.

PRO juga digunakan untuk melengkapi hasil primer seperti survival rate dan
biomarker karena mereka mencerminkan komponen penting bagi pasien dan dapat
mencakup laporan pasien tentang gejala dan indeks lain seperti kualitas hidup. Oleh
karena itu, PRO dapat digunakan sebagai hasil primer atau sebagai hasil sekunder dari
suatu penelitian, sedangkan PROM adalah ukuran PRO, seperti kualitas hidup.
Ruang lingkup PRO

 Patient Reported Outcome Measures (PROM) adalah alat atau instrumen yang digunakan
untuk mengukur PRO. Alat-alat ini dapat mengukur status kesehatan pasien seperti
kualitas hidup terkait kesehatan. Alat-alat ini sering berupa kuesioner yang diisi sendiri
(oleh pasien).

PROM dapat mencakup instrumen atau alat yang mengukur status fungsional,
kualitas hidup terkait kesehatan, gejala dan dampak gejala, pengalaman pribadi atas
asuhan, dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan seperti kecemasan dan
depresi. Mereka dapat bersifat umum atau spesifik penyakit.

PROM yang lebih luas memeriksa aspek-aspek yang sesuai dengan berbagai kondisi
yang berbeda dan memungkinkan perbandingan di berbagai kondisi medis ini untuk
membantu dalam evaluasi dan penerapan metode baru dalam memberikan perawatan
dan pemerataan pemberian layanan.

PROM yang lebih luas, seperti EuroQol EQ-5D, juga memungkinkan analisis
efektivitas biaya sebagai bagian dari analisis utilitas biaya untuk memeriksa biaya
intervensi terkait kesehatan dan manfaat yang dihasilkannya dalam terminologi usia
harapan hidup dalam kesehatan penuh.

Sebaliknya, PROM spesifik penyakit dirancang untuk mengidentifikasi gejala spesifik


dan dampaknya pada fungsi kondisi spesifik tersebut.

PROM spesifik penyakit memiliki ukuran validitas dan kredibilitas yang lebih besar
daripada PROM generik, tetapi perbandingan ini tidak selalu dapat dilakukan di berbagai
kondisi. Seringkali, studi klinis menggunakan kombinasi PROM generik dan spesifik
penyakit. Misalnya, sebuah penelitian yang melibatkan pasien asma dapat mencakup
PROM 'kontrol asma' (spesifik penyakit) bersama dengan PROM generik seperti EuroQol
EQ-5D sebagai ukuran kualitas hidup.

PROM pada awalnya dikembangkan untuk digunakan dalam penelitian layanan


farmakologis dan kesehatan dan sebagian besar terbatas di Inggris, Swedia, dan
beberapa negara bagian di AS sebagai cara untuk meningkatkan perawatan klinis pasien.

Pada tahun 1975, profesi medis di Swedia menetapkan penggunaan luas PROM
dengan menggunakan database klinis spesifik penyakit yang dikenal sebagai register
kualitas.

Pada tahun 2000, PROM diperkenalkan ke beberapa bagian AS dengan tujuan


memperluas PROM sebagai mekanisme penggantian untuk akuntabilitas dalam
organisasi perawatan.

Penggunaan PROM terus berkembang di luar penelitian klinis sebagai pengakuan


atas potensinya untuk mengubah perawatan kesehatan, serta meningkatkan kualitas dan
keamanan dengan menempatkan pasien di pusat pengambilan keputusan.

Peningkatan penggunaan PROM ini telah mencapai puncaknya pada PRO yang
memperoleh kredibilitas yang lebih besar di antara badan pengatur yang bertujuan untuk
menstandarisasi penggunaan dan interpretasi mereka dalam uji klinis. Misalnya, baik
Badan POM AS dan Badan POM Eropa telah merilis pedoman yang mengamanatkan
penggunaan PROM untuk mendukung penetapan klaim.
Sejak 2009, telah menjadi kewajiban di Inggris untuk menggunakan PROM untuk
melaporkan hasil untuk pasien bedah elektif tertentu sebagai metode pengumpulan
informasi tentang efektivitas perawatan pasien dalam NHS dari perspektif pasien.

Adopsi wajib dari PROM ini telah didorong oleh pemerintah Inggris untuk
memungkinkan perbandingan layanan kesehatan dan untuk mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan dari pemberian layanan kesehatan, mendorong peningkatan kualitas,
menginformasikan pengawasan, dan mempromosikan pilihan. Departemen Kesehatan
juga merilis pedoman pada standar nasional (dalam NHS) untuk pengumpulan rutin wajib
PROM yang melibatkan beberapa prosedur bedah elektif.

Terakhir, meluasnya penggunaan dan kelayakan PROM telah dibatasi oleh proses
pengumpulan, analisis, dan penyajian data PROM yang memakan waktu dan mahal
dalam format kertas konvensional. Internet membuka banyak peluang untuk membantu
meningkatkan kelayakan dan keefektifan biaya dari pengumpulan dan pengumpulan data
PROM dan pengalaman pasien.

Greaves et al menggunakan istilah 'cloud of patient experience' untuk


menggambarkan pengumpulan jenis informasi ini melalui berbagai sumber internet
(misalnya, situs jejaring sosial, twitter, situs ulasan rumah sakit, dll).

Potensi untuk mengumpulkan data secara real-time untuk mengungkap perawatan


klinis yang buruk dan potensi area keunggulan adalah keuntungan tambahan atas alat
berbasis kertas yang jarang diberikan (misalnya, survei rumah sakit). Namun, survei yang
dikirim memiliki keunggulan tingkat respons yang lebih tinggi. Ini mungkin mencerminkan
fakta bahwa pengguna internet pada umumnya lebih muda, berstatus ekonomi lebih
tinggi, dan memiliki lebih sedikit kontak dengan perawatan kesehatan, dan karenanya
mungkin tidak selalu mewakili kelompok sasaran. Menawarkan opsi PROM di internet
dan berbasis kertas dapat meminimalkan bias seleksi sambil meningkatkan kelayakan dan
efektivitas biaya PROM.
2. Jelaskan perbedaan asuhan gizi dan pelayanan gizi dirumah sakit ?

Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan
pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme tubuhnya.
Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya
proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Sering
terjadi kondisi klien/pasien semakin buruk karena tidak diperhatikan keadaan gizinya.
Pengaruh tersebut bisa berjalan timbal balik, seperti lingkaran setan. Hal tersebut
diakibatkan karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi tubuh untuk perbaikan organ
tubuh. Fungsi organ yang terganggu akan lebih terganggu lagi dengan adanya penyakit
dan kekurangan gizi.

Terapi gizi yang menjadi salah satu factor penunjang utama penyembuhan tentunya
harus diperhatikan agar pemberian tidak melebihi kemampuan organ tubuh untuk
melaksanakan fungsi metabolisme. Terapi gizi harus selalu disesuaikan seiring dengan
perubahan fungsi organ selama penyembuhan. Dengan kata lain, pemberian diet pasien
harus dievaluasi dan diperbaiki sesuai dengan perubahan keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium, baik pasien rawat inap maupun rawat jalan. Upaya
peningkatan satatus gizi dan kesehatan masyarakat baik dalam maupun diluar rumah
sakit, merupakan tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan, terutama tenaga yang
bergerak di bidang gizi.

Ruang lingkup pelayanan gizi rumah sakit meliputi:

a. Pelayanan gizi rawat jalan

b. Pelayanan gizi rawat inap

c. Penyelenggaraan makanan

d. Penelitian dan pengembangan gizi

Kegiatan pelayanan gizi di Rumah Sakit salah satunya adalah Asuhan Gizi. Asuhan
Gizi adalah serangkaian kegiatan yang terorganisir/terstruktur yang memungkinkan
untuk identifikasi kebutuhan gizi dan penyediaan asuhan untuk memenuhi kebutuhan zat
gizi pasien.
Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) adalah Pendekatan sistematik dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas, melalui serangkaian aktivitas yang terorganisir
meliputi identifikasi kebutuhan gizi sampai pemberian pelayanannya untuk memenuhi
kebutuhan gizi.

Tujuan Asuhan gizi :


a. Membuat diagnosa gizi.
b. Menentukan kebutuhan terapi gizi.
c. Memilih dan mempersiapkan bahan/makanan/formula khusus.
d. Melaksanakan pemberian makanan.
e. Evaluasi/pengkajian gizi dan pemantauan.

3. Jelaskan Perbedaan tugas dan fungsi dokter spesialis gizi klinik dengan dietesen atau
nutrisionis ?

 Definisi

Ahli gizi adalah tenaga spesialisi yang bertugas memberikan saran dan informasi
kepada pasien tentang penatalaksanaan gizi dan masalah kesehatan, terlibat dalam
diagnosis dan pengobatan masalah kesehatan yang terkait gizi dan nutrisi.

Ahli gizi merupakan profesi khusus, yakni orang yang mengabdikan diri dalam bidang
gizi serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui suatu pendidikan khusus
di bidang gizi. Ahli gizi memiliki peran penting terutama dalam mengatur gizi pada
kelompok khusus, termasuk penderita kanker, diabetes, penyakit ginjal, atau pada ibu
hamil, juga masyarakat secara keseluruhan.

Tak hanya mempelajari bagaimana zat-zat gizi dicerna, diserap, digunakan, disimpan,
dan dikeluarkan oleh tubuh, ilmu gizi klinik juga mempelajari tentang hubungan antara
makanan dan zat-zat gizi dengan kesehatan serta penyakit-penyakit terkait gizi
(nutrition–related diseases), baik akut maupun kronis. Selain itu, ilmu gizi juga
mempelajari keterkaitannya dengan proses metabolisme dalam aspek kesehatan
preventif (pencegahan penyakit), kuratif, dan rehabilitatif.
Dokter spesialis gizi adalah dokter yang bertugas menangani kondisi pasien dan
memperbaiki status gizi pasien sesuai kebutuhan dan kondisi penyakitnya. Sedangkan
ahli gizi lebih berperan dalam menentukan porsi dan jenis makanan, memberikan edukasi
seputar gizi, serta membantu pasien dalam menjalani pola makan sehat. Patut diingat,
meski memiliki tanggung jawab dan peran di bidang yang sama, dokter spesialis gizi dan
ahli gizi tidaklah sama.

Banyak dari kita yang salah kaprah memaknai istilah ahli gizi sama dengan dokter
spesialis gizi. Padahal, meski sama-sama tenaga gizi, wewenang dan kompetensi
keduanya jelas berbeda.

Ahli gizi dan atau ahli madya gizi adalah seseorang pakar nutrisi yang berkompetensi
memberikan informasi tentang gizi, serta rekomendasi makanan dan pola makan sehat
kepada masyarakat pada umumnya. Latar belakang pendidikan ahli gizi adalah Diploma
III, sedangkan kategori ahli gizi dengan latar belakang pendidikan S1 dikenal dengan
nama sarjana gizi dan ahli gizi.

Sedangkan dokter spesialis gizi adalah dokter spesialis yang fokus menangani
masalah kesehatan pasien terkait gizi, serta memberikan terapi medis gizi sesuai kondisi
pasien dan berorientasi pada riwayat penyakit dan keadaan umum pasien. Latar belakang
pendidikannya adalah dokter umum yang sudah menyelesaikan pendidikan magister (S2)
gizi dan menjalani pendidikan spesialisasi ilmu gizi klinik selama 6 semester.

Ilmu gizi klinik sendiri adalah disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara
makanan dan asupan nutrisi di dalamnya dengan kesehatan dan penyakit-penyakit
terkait gizi serta kondisi medis tertentu. Mulai dari penyakit akut maupun kronis, serta
proses penuaan (degeneratif). Ilmu gizi klinik digunakan dalam aspek pencegahan,
penyembuhan, dan pencegahan komplikasi berlanjut dari suatu penyakit.

Ahli gizi memiliki wewenang merumuskan asupan gizi yang Anda butuhkan untuk
mendukung kesehatan Anda, sedangkan dokter spesialis gizi punya wewenang lebih.
Dokter spesialis gizi tidak hanya merumuskan asupan nutrisi, tapi juga melakukan terapi
medis lainnya terkait kondisi pasien, misalnya meresepkan obat-obatan, suplemen, atau
tindakan medis yang terkait gizi dan kondisi pasien.

Tak jarang, dokter spesialis gizi akan bekerja sama dengan dokter spesialis lain dalam
menangani kondisi pasien, misalnya dokter bedah dan dokter penyakit dalam. Dokter
spesialis gizi juga berperan penting dalam memajukan kesehatan masyarakat melalui
upaya edukasi dan promosi kesehatan, khususnya di bidang gizi.

 Kewenangan Klinis

a. Kewenangan Klinis Dokter Spesialis Gizi

Kompetensi yang dimiliki oleh seorang dokter berupa kemampuan melakukan


prosedur klinis yang terkait masalah kesehatan, seperti menentukan diagnosis
melalui pemeriksaan fisik dan wawancara medis; pemeriksaan penunjang; prosedur
penatalaksanaan kasus guna mencegah, menyembuhkan, dan mengantisipasi atau
mengurangi risiko komplikasi penyakit; hingga tindakan medis kedaruratan klinis.

Dalam hal ini, seorang dokter spesialis gizi klinik harus memiliki kompetensi yang
sesuai dengan bidang kerjanya, yakni memberikan penatalaksanaan nutrisi seperti:

 Melakukan pemeriksaan fisik dan anamnesis (wawancara medis).


 Memberikan promosi kesehatan terkait gizi dan kesehatan pada masyarakat dan
pasien sebagai upaya pencegahan penyakit.
 Meninjau status gizi, metabolisme, dan saluran cerna.
 Memberikan pemenuhan kebutuhan gizi serta cairan pada pasien.
 Memberi terapi nutrisi serta pola makan tertentu, misalnya meresepkan jumlah
kalori, protein, karbohidrat, lemak, serat, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan.
 Menentukan cara pemberian nutrisi, baik secara oral (makan seperti biasa),
pemberian makanan melalui selang lambung (pipa nasogastrik/NGT), atau
melalui infus.
 Mengevaluasi status gizi, serta kesehatan pasien secara menyeluruh pasca
perawatan gizi.
b. Kewenangan Klinis Ahli Gizi

Ahli gizi berperan penting dalam meningkatkan kesehatan dan mencegah


penyakit pada individu dan masyarakat. Dalam melaksanakan pelayanan gizi, ahli gizi
dapat menjalankan praktik pelayanan gizi, baik secara mandiri atau bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, klinik, dan rumah sakit. Bisa juga
menjadi konsultan gizi dalam sebuah organisasi, komunitas, proyek bantuan atau
amal, dan penelitian.

Dalam melaksanakan pelayanan gizi di fasilitas pelayanan kesehatan, ahli gizi


terlibat dalam beberapa hal berikut ini:

 Memberikan pelayanan konsultasi gizi, edukasi gizi, dan tata cara diet.
 Menentukan status gizi, faktor yang berpengaruh terhadap gangguan gizi, dan
status gizi.
 Menegakkan diagnosis penyakit terkait masalah gizi berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik dan penelusuran riwayat medis yang dilakukan.
 Menentukan tujuan dan merencanakan intervensi gizi dengan menghitung
kebutuhan zat gizi, bentuk makanan, jumlah serta pemberian makanan yang
sesuai dengan kondisi pasien.
 Merancang dan mengubah susunan diet, dan menerapkannya mulai dari
perencanaan menu hingga saran penyajian makanan.
 Melakukan penelitian dan pengembangan gizi sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi hingga menyelenggarakan administrasi pelayanan
gizi.

 Kondisi Kesehatan Khusus yang Memerlukan Ahli Gizi dan Spesialis Gizi

a. Kondisi Kesehatan yang memerlukan Ahli Gizi

Tak hanya membantu merencanakan pola dan menu makan terbaik untuk program
diet atau penurunan berat badan serta tubuh yang lebih sehat, konsultasi ke ahli gizi
mungkin perlu dilakukan oleh sekelompok orang dengan kondisi kesehatan tertentu,
seperti:
 Diabetes.
 Kanker.
 Malnutrisi, baik karena gizi buruk ataupun obesitas.
 Gangguan sistem kekebalan tubuh.
 Penyakit pada sistem pencernaan.
 Penyakit jantung.
 Tekanan darah tinggi.
 Kolesterol tinggi.
 Penyakit ginjal dan hati.
 Kehamilan dan menyusui.

b. Kondisi Kesehatan yang memerlukan Spesialis Gizi

Dokter spesialis gizi memiliki kewenangan klinis memberikan


penatalaksanaan nutrisi pada berbagai masalah kesehatan berikut ini:

 Masalah status gizi


Ini meliputi malnutrisi, seperti obesitas, defisiensi atau kekurangan mikronutrien
(vitamin dan mineral), marasmus dan kwashiorkor; gangguan nutrisi pada golongan
rentan seperti bayi, anak-anak, remaja, wanita hamil dan menyusui, serta lansia.
 Gangguan fungsi organ dan metabolisme
Ini meliputi mempersiapkan nutrisi pada pasien yang mengalami gangguan pada
saluran cerna, gangguan fungsi hati dan pankreas; gangguan metabolisme dan
endokrin seperti pada penyakit diabetes; masalah pada paru dan pernapasan;
penyakit saraf; gangguan pada ginjal dan saluran kemih: dan penyakit jantung serta
pembuluh darah.

 Penyakit lain yang terkait sistem imun dan penyakit ganas


Misalnya pada kasus alergi makanan, nutrisi pasien HIV/AIDS, perawatan gizi pada
pasien kanker. Penatalaksanaan nutrisi juga diberikan pada pasien yang menerima
perawatan intensif.
 Perawatan gizi pada kasus luka berat
Dokter spesialis gizi juga berwewenang dalam menentukan evaluasi status gizi dan
kebutuhan nutrisi pada pasien luka berat, seperti luka bakar luas atau pasien cedera
yang membutuhkan tindakan operasi.

 Perbaikan gizi pada gangguan makan

Meliputi gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia. Penderita gangguan makan
seringkali mengalami malnutrisi dan dehidrasi berat yang berbahaya bagi
kesehatannya. Selain diobati oleh psikiater, perbaikan status gizi pada penderita
gangguan makan juga lazimnya ditangani oleh dokter spesialis gizi.

Tabel Perbedaan antara Ahli gizi dan Dokter Spesialis Gizi

Perbedaan Ahli Gizi Dokter Spesialis Gizi


Latar Belakang Pendidikan Diploma III / Sarjana 1 Sarjana 2
Wewenang Merumuskan Asupan Gizi Merumuskan Asupan Gizi
untuk mendukung untuk mendukung
kesehatan kesehatan dan terapi
medis tergantung kondisi
pasien
Tugas dan Peranan Memberikan informasi Menangani masalah
tentang gizi serta kesehatan terkait gizi dan
merekomendasikan memberikan terapi sesuai
makanan pola sehat riwayat penyakit dan
keadaan umum pasien.

4. Apa yang anda ketahui tentang konsep keterlibatan pasien dan keluarga dalam proses
asuhan ?

 Keluarga merupakan unit paling dekat dengan pasien, dan merupakan perawat utama
bagi pasien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan
pasien di rumah sakit. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia jika tidak
diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan pasien harus dirawat kembali
(kambuh). Peran serta keluarga sejak awal perawatan di rumah sakit akan meningkatkan
kemampuan keluarga merawat pasien di rumah sehingga memungkinkan pasien tidak
kambuh atau dapat dicegah.

Sebuah survei yang dilakukan di rumah sakit Amerika Serikat mengenai praktek
pasien dan keterlibatan pasien dan keluarga pasien dalam mengelola pasien di rumah
sakit menunjukkan hal yang luar biasa. Hasilnya pasien dan keluarga pasien yang
dilibatkan dalam pengambilan keputusan secara bersama-sama dalam perawatan dan
menjadikan pasien sebagai mitra dapat meningkatkan optimalisasi kesembuhan pasien,
selain itu dengan melibatkan anggota keluarga seperti berpartisipasi dalam koordinasi
keperawatan sangat penting.

Keluarga merupakan bagian dari tim pengobatan dan perawatan. Apalagi di


Indonesia dengan kultur sosialnya tinggi ditambah keterbatasan jumlah perawat di
rumah sakit sehingga tugas merawat orang sakit yang dirawat di rumah sakit umumnya
dilakukan oleh keluarga yang menjaga. Para anggota keluarga menunggui secara
bergantian, bahkan sering menjaga bersama-sama. Sementara perawat di rumah sakit
yang seharusnya merawat orang sakit juga harus melakukan tugas-tugas yang lain di
bangsal perawatan. Maka, peran keluarga penting untuk memantau kebutuhan pasien
dari laporan perawat atau jika perlu malakukan komunikasi langsung.

Beberapa rumah sakit mengizinkan pasien untuk membawa alat komunikasi yang
perlu digunakan. Hal ini juga terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan di rumah sakit
Amerika serikat bahwa dengan keterlibatan pasien maupun anggota keluarganya dalam
merawat dan memberikan kesempatan kepada keluarga pasien untuk berkunjung ke
rumah sakit lebih lama dapat menguragi resiko kecemasan yang berlebihan yang diderita
oleh pasien. Tentunya hal ini dapat dirasakan jika penderita merasakan adanya dukungan
sosial dari orang-orang sekitarnya, merasa dirinya dihargai, diperhatikan dan dicintai.

Contohnya adalah bila ada seseorang yang sakit dan terpaksa di rawat di rumah sakiy
maka sanak saudara ataupun teman-teman biasanya datang berkunjung. Dengan
kunjungan tersebut maka orang yang sakit atau pasien ini tentu merasa mendapat
dukungan sosial sehingga secara tidak langsung dapat mempercepat kesembuhan

Keluarga yang akan menerima penderita di rumah sepulang dari rumah sakit. Begitu
siap dipulangkan keluarga menerima estafet pengelolaan penderita di rumah sebagai
kelanjutan pengelolaan di rumah sakit. Karena itu selama di rumah sakit keluarga berhak
atas informasi pengobatan, perawatan, dan penanganan lainnya terhadap penderita.
Karena itu bertanya kepada pihak rumah sakit merupakan hak keluarga untuk
memperoleh informasi tersebut. Keluarga perlu perlu mulai membuka dan menjalin
'kedekatan' dengan personel rumah sakit untuk keperluan ini.

 Dasar hukum keterlibatan pasien dan keluarga

1. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.


 Pasal 37
(1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus
mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.
(2) Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Pasal 45
(1) Rumah Sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien
dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang
dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis
yang komprehensif.
(2) Rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas
dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.

2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2001 Tentang Praktek Kedokteran.


 Paragraf 2 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
Pasal 45 :
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

 Paragraf 7 Tentang Hak dan Kewajiban Pasien


Pasal 52 :
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak
:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan e. mendapatkan isi rekam medis.
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
 BAB II Tentang PERSETUJUAN DAN PENJELASAN
- Bagian Kesatu Persetujuan
Pasal 2 :
(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya
tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3 :
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat
untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam
bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala
yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan
tertulis.
- Bagian Kedua Tentang Penjelasan
Pasal 7 :
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung
kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak
diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar,
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiaya.

 BAB III Tentang YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN


Pasal 13 :
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.
(2) Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan.

 BAB IV Tentang KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS


Pasal 14 :
(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding
life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga
terdekat pasien.
(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat
pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga
mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara
tertulis.

 BAB V Tentang PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN


Pasal 16 :
(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau
keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan.
(2) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan secara tertulis.
(3) Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi tanggung jawab pasien.
(4) Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memutuskan hubungan dokter dan pasien.

 Standar Akreditasi terkait keterlibatan pasien dan keluarga dalam proses asuhan

 Standar HPK
- HPK 1 Ada regulasi bahwa rumah sakit bertanggung jawab dan mendukung hak
pasien dan keluarga selama dalam asuhan.
- HPK 2 Rumah sakit menetapkan regulasi dan proses untuk mendukung partisipasi
pasien dan keluarga di dalam proses asuhan.
- HPK 2.1 Pasien diberitahu tentang semua aspek asuhan medis dan tindakan.
- HPK 2.2 Pasien dan keluarga menerima informasi tentang penyakit, rencana
tindakan, dan DPJP serta para PPA lainnya agar mereka dapat memutuskan tentang
asuhannya.
- HPK 2.3 Rumah sakit memberitahu pasien dan keluarganya tentang hak dan
tanggung jawab mereka yang berhubungan dengan penolakan atau tidak
melanjutkan pengobatan.
- HPK 2.4 Rumah sakit menghormati keinginan dan pilihan pasien untuk menolak
pelayanan resusitasi, menunda, atau melepas bantuan hidup dasar (do not
resucitate/DNR).
- HPK 5.1 Rumah sakit menetapkan regulasi pelaksanaan persetujuan khusus
(informed consent) oleh DPJP dan dapat dibantu oleh staf yang terlatih dengan
bahasa yang dapat dimengerti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- HPK 5.2 Persetujuan khusus (informed consent) diberikan sebelum operasi,
anestesi (termasuk sedasi), pemakaian darah dan produk darah, tindakan dan
prosedur, serta pengobatan lain dengan risiko tinggi yang ditetapkan oleh regulasi
rumah sakit.
- HPK 5.3 Rumah sakit menetapkan proses dalam konteks peraturan perundang-
undangan siapa pengganti pasien yang dapat memberikan persetujuan dalam
persetujuan khusus (informed consent) bila pasien tidak kompeten.

 Standar ARK
- ARK 1.3 Rumah sakit mempertimbangkan kebutuhan klinis pasien dan memberi
tahu pasien jika terjadi penundaan dan kelambatan pelaksanaan
tindakan/pengobatan dan/atau pemeriksaan penunjang diagnostik.
- ARK 2.1 Saat admisi, pasien dan keluarga pasien dijelaskan tentang rencana
asuhan, hasil yang diharapkan dari asuhan, dan perkiraan biayanya.

 Standar AP
- AP 1 EP 4 Ada bukti keterlibatan keluarga dalam melengkapi asesmen awal.

 Standar PAP
- PAP 2.4 Pasien dan keluarga diberi tahu tentang hasil asuhan dan pengobatan
termasuk hasil asuhan yang tidak diharapkan.

 Standar MKE
- MKE 2 Rumah sakit memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang
jenis asuhan dan pelayanan, serta akses untuk mendapatkan pelayanan.

 Peran CASE MANAJER terkait keterlibatan pasien dan keluarga dalam proses asuhan
CASE MANAJER adalah “Liaison” atau penghubung antara :
- Rumah Sakit
- Tim Profesional Pemberi Asuhan
- Pasien-Keluarga
- Pembayar
 Titik Penting wajib melakukan komunikasi dengan keluarga pasien
• Saat Pasien Masuk Rumah Sakit.
• Pada proses pembuatan Discharge Planning Dan saat Keluar Rumah Sakit.
• Sebelum Melakukan Prosedur.
• Saat Terjadi Perubahan yang bermakna pada kondisi pasien terutama yang
mengancam jiwa.
• Saat pengambilan keputusan DNR.
• Atas permintaan pasien atau keluarga atas persetujuan pasien.

5. Jelaskan tentang konsep dan pelaksanaan discharge planning?

 Pengertian Discharge Planning

Discharge planningmerupakan proses berkesinambungan guna menyiapkan


perawatan mandiri pasien pasca rawat inap. Proses identifikasi dan perencanaan
kebutuhan keberlanjutan pasien ditulis guna memfasilitasi pelayanan kesehatan dari
suatu lingkungan ke lingkungan lain agar tim kesehatan memiliki kesempatan yang cukup
untuk melaksanakan discharge planning. Discharge planning dapat tercapai bila
prosesnya terpusat, terkoordinasi, dan terdiri dari berbagai disiplin ilmu untuk
perencanaan perawatan berkelanjutan pada pasien setelah meninggalkan rumah sakit.
Sasaran pasien yang diberikan perawatan pasca rawat inap adalah mereka yang
memerlukan bantuan selama masa penyembuhan dari penyakit akut untuk mencegah
atau mengelola penurunan kondisi akibat penyakit kronis. Petugas yang merencanakan
pemulangan atau koordinator asuhan berkelanjutan merupakan staf rumah sakit yang
berfungsi sebagai konsultan untuk proses discharge planning dan fasilitas kesehatan,
menyediakan Pendidikan kesehatan, memotivasi staf rumah sakit untuk merencanakan
serta mengimplementasikan discharge planning. Misalnya, pasien yang membutuhkan
bantuan sosial, nutrisi, keuangan, psikologi, transportasi pasca rawat inap.

 Tujuan Discharge Planning

Discharge planning merupakan kolaborasi antara keperawatan, pasien dan keluarga


pasca rawat inap, yang bertujuan untuk menyiapkan kemandirian pasien dan keluarga
secara fisik, psikologis, social, pengetahuan, keterampilan perawatandan sistim rujukan
berkelanjutan. Hal tersebut dilaksanakan untuk mengurangi kekambuhan, serta menukar
informasi antara pasien sebagai penerima layanan dengan perawat selama rawat inap
sampai keluar dari rumah sakit.

Menurut The Royal Marsden Hospital(2014) tujuan discharge planning adalah


mempersiapkan pasien atau keluarga secara fisik dan psikologis untuk ditransfer ke
lingkungan yang disetujui, memberikan informasi baik tertulis maupun lisan kebutuhan
pasien dan pelayanan kesehatan, mempersiapkan fasilitas yang digunakan,dan proses
perpindahan yang nyaman, serta mempromosikan tahap kemandirian aktivitas
perawatan kepada pasien, orang orang yang ada di sekitar pasien.

 Manfaat Discharge Planning


Discharge planning bermanfaat dalam menurunkan jumlah kekambuhan,
menurunkan perawatan kembali di rumah sakit dan ke ruang kedaruratan yang tidak
perlu kecuali untuk beberapa diagnosa, membantu klien untuk memahami kebutuhan
setelah perawatan di rumah sakit, serta dapat digunakan sebagai bahan dokumentasi
keperawatan. Menurut Nursalam 2016, manfaat Discharge Planning adalah memberikan
tindak lanjut secara sistematis guna memberikan perawatan lanjutan pada pasien,
mengevaluasi pengaruh dari rencana yang telah disusun dan mengidentifikasi adanya
kekambuhan atau perawatan baru yang dibutuhkan serta membantu pasien supaya
mandiri dan siap untuk melakukan perawatan di rumah.

 Prinsip Discharge Planning


Prinsip yang diterapkan dalam Discharge Planning menurut Nursalam, 2016 yaitu
pasien merupakan sasaran dalam Discharge Planning sehingga perlu pengkajian nilai
keinginan dan kebutuhan pasien berdasarkan pengetahuan dari tenaga atau sumber
daya maupun fasilitas yang tersedia di masyarakat. Kemudian kebutuhan tersebut akan
dikaitkan dengan masalah yang mungkin timbul pada saat pasien keluar dari rumah sakit.
Melalui pengkajian tersebut diharapkan dapat menurunkan resiko masalah yang timbul
pasca rawat inap. Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif pada setiap tatanan
pelayanan kesehatan dan dibutuhkan kerja sama yang baik antar petugas.
The Royal Marsden Hospital(2014), mengemukakan Discharge planning merupakan
proses multidisiplin terlatih yang mempertemukan kebutuhan pasien dengan pelayanan
kesehatan. Prosedur discharge planning dilakukan secara berkesinambungan pada semua
pasien kemudian selanjutnya akan dirujuk pada suatu komunitas atau layanan kesehatan
yang aman dan adekuat untuk menentukan keberlanjutan perawatan antar lingkungan.
Selain itu diperlukan informasi mengenai penyusunan pemulangan antara tim kesehatan
dengan pasien yang disediakan dalam bentuk perawatan berkelanjutan tertulis dengan
mempertimbangkan kepercayaan dan budaya pasien.
Departemen Kesehatan R.I (2008) menjabarkan bahwa prinsip discharge planning
diawali dengan melakukan pengkajian pada saat pasien masuk rumah sakit guna
mempermudah proses identifikasi kebutuhan pasien. Merencanakan pulang pasien sejak
awal dapat menurunkan lama masa perawatan sehingga diharapkanakan menurunkan
biaya perawatan. Discharge planning disusun oleh berbagai pihak yang terkait antara lain
pasien, keluarga, dan care giver berdasarkan kebutuhan pasien dan keluarga secara
komprehensif. Hal ini memungkinkan optimalnya sumber-sumber pelayanan kesehatan
yang sesuai untuk pasien setelah rawat inap. Prinsip discharge planning juga meliputi
dokumentasi pelaksanaan yang dikomunikasikan kepada pasien dan keluarga dalam
kurun waktu 24 jam sebelum pasien keluar dari rumah sakit.

 Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan discharge planning


Menurut penelitian Radiatul (2017) berberapa faktor perawat yang mempengaruhi
pelaksanaan discharge planning yaitu motivasi yang dimiliki oleh perawat dan cara yang
komunikatif dalam penyampaian informasi kepada pasien dan keluarga sehingga
informasi akan lebih jelas untuk dapat dimengerti oleh pasien dan keluarga. Pengetahuan
perawat merupakan kunci keberhasilan dalam pendidikan kesehatan. Pengetahuan yang
baik akan mengarahkan perawat pada kegiatan pembelajaran pasien dan keluarga,
sehingga dapat menerima informasi sesuai dengan kebutuhan.
Menurut Potter & Perry (2005) faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam
pemberian pendidikan kesehatan yang berasal dari pasien sebagai berikut:
a. Motivasi
Motivasi merupakan keinginan pasien untuk belajar. Apabila motivasi pasien
tinggi, maka pasien akan antusias untuk mendapatkan informasi tentang
kondisinya dan perawatan tindak lanjut untuk meningkatkan kesehatannya.
b. Sikap positif
Sikap positif pasien terhadap penyakit dan perawatan akan mempermudah
pasien untuk menerima informasi ketika dilakukan pendidikan kesehatan.
c. Emosi
Emosi stabil akan mempermudah pasien menerima informasi yang disampaikan,
sedangkan perasaan cemas atau perasaan negatif lainnya dapat mengurangi
kemampuan pasien untuk menerima informasi.
d. Usia
Tahap perkembangan yang berhubungan dengan usia berperan dalam
penerimaan informasi yang akan disampaikan. Semakin dewasa usia, maka
kemampuan menerima informasi semakin baik karena didukung oleh
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
e. Kemampuan belajar
Kemampuan belajar seringkali berhubungan dengan tingkat pendidikan yang
dimiliki. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kemampuan dalam
menerima informasi dapat lebih mudah.
f. Kepatuhan
Kepatuhan pasien adalah perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh profesional kesehatan dari pendidikan kesehatan yang telah
disampaikan.Kepatuhan dari pendidikan kesehatan tersebut merupakansalah
satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari discharge planning.
g. Dukungan
Dukungan dari keluarga dan orang sekitar sangat mempengaruhi proses
percepatan kesembuhan seorang pasien. Keluarga akan melanjutkan perawatan
pasien dirumah setelah pasien dipulangkan. Memberikan informasi kesehatan
kepada keluarga dapat membantu mempercepat proses kesembuhan pasien dan
dukungan yang baik akan mempengaruhi keberhasilan suatu pendidikan
kesehatan dan juga mempengaruhi keberhasilan discharge planning.

 Keberhasilan Discharge
Planning Potter & Perry (2005) mengemukakan bahwa keberhasilan tindakan
discharge planning dapat dilihat dari kemampuan pasien dalam tindakan keperawatan
lanjutan secara aman dan realistis setelah keluar rumah sakit dan dapat dilihat dari
kesiapan untuk menghadapi pemulangan Ada beberapa indikator untuk menilai
keberhasilan dalam Discharge Planning antara lain : bahwa pasien dan keluarga dapat
memahami diagnosa, antisipasi tingkat fungsi, obat-obatan dan pengobatan ketika
pulang, antisipasi perawatan tingkat lanjut, dan respons jika terjadi kegawatan,
Pendidikan khusus pada keluarga dan pasien untuk memastikan perawatan yang tepat
setelah pasien pulang, terlaksananya koordinasi dengan sistem pendukung di
masyarakat, untuk membantu pasien dan keluarga membuat koping terhadap perubahan
dalam status kesehatan, serta melakukan relokasi dan koordinasi sistem pendukung atau
memindahkan pasien ke tempat pelayanan kesehatan lain.
 Unsur Discharge Planning
Menurut Discharge Planning Association (2008) mengemukakan bahwa unsur
perencanaan pemulangan meliputi informasi pemberi layanan, waktu, tanggal, dan lokasi
untuk kontrol, pengobatan di rumah yang mencakup resep obat baru, daftar obatyang
harus tersedia saat di rumahdan yang harus dihentikan. Form informasi obat pada
Discharge Planning berisi daftar nama obat, dosis, frekuensi dan efek samping yang dapat
terjadi pada pasien. Selain itu, pada form discharge planning juga berisi tentang
kebutuhan pemeriksaan penunjang medis yang dianjurkan beserta persiapannya.
Informasi mengenai pilihan gaya hidup, perubahan aktivitas dan latihan, diet yang
dianjurkan dan pembatasannya, petunjuk perawatan diri misalnya perawatan luka,
pemakaian obat juga dapat dituliskan dalam form discharge planning.

 Pemberi Layanan Discharge Planning


Proses Discharge planning dilakukan secara komprehensif yang melibatkan seluruh
pemberi layanan kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan kepada pasien, juga
melibatkan pasien beserta keluarga bisa juga dengan antara pelayanan kesehatan dan
social. Koordinator asuhan berkelanjutan adalah staf rumah sakit yang berfungsi sebagai
konsultan untuk proses Discharge planning yang menyediakan fasilitas kesehatan,
pendidikan kesehatan, dan memotivasi karyawan supaya dapat merencanakan dan
mengimplementasikan Discharge planning.

 Penerima Discharge Planning


Pasien rawat inap memerlukan Discharge planning untuk perawatan lanjutan saat
berada dirumah, tetapi beberapa pasien beresiko tidak dapat memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan lanjutan, contohnya pasien penderita penyakit terminal atau pasien
dengan kecacatan permanen. Pasien dan anggota keluarga harus mendapatkan informasi
tentang rencana pemulangan sebelum keluar dari rumah sakit sehingga diharapkan dapat
melakukan perawatan lanjutan dengan optimal. Menurut Standar nasional Akreditasi
Rumah Sakit (2018) rumah sakit menetapkan kreteria pasien yang menerima Discharge
planning antara lain : umur , tidak adanya mobilitas, perlu bantuan medik dan
keperawatan terus menerus, serta bantuan melakukan kegiatan sehari hari.

 Pelakasanaan Discharge Planning dan Proses Keperawatan


Proses discharge planning memiliki kesaman dengan proses keperawatan. Kesamaan
tersebut bisa dilihat dari adanya pengkajian pada saat pasien mulai di rawat sampai
dengan adanya evaluasi serta dokumentasi dari kondisi pasien selama mendapatkan
perawatan di rumah sakit.
Pelaksanaan discharge planning menurut Potter & Perry (2005:102) secara lebih
lengkap dapat di urut sebagai berikut :
a. Sejak waktu penerimaan pasien, lakukan pengkajian tentang kebutuhan
pelayanan kesehatan untuk pasien pulang, dengan menggunakan riwayat
keperawatan, rencana perawatan dan pengkajian kemampuan fisik dan fungsi
kognitif yang dilakukan secara terus menerus.
b. Kaji kebutuhan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga yang
berhubungan dengan terapi di rumah, hal-hal yang harus dihindarkan akibat dari
gangguan kesehatan yang dialami, dan komplikasi yang mungkin terjadi.
c. Bersama pasien dan keluarga, kaji faktor-faktor lingkungan di rumah yang dapat
mengganggu perawatan diri (contoh: ukuran kamar, lebar jalan, langkah, fasilitas
kamarmandi). (Perawat yang melakukan perawatan di rumah hadir pada saat
rujukan dilakukan, untuk membantu pengkajian).
d. Berkolaborasi dengan dokter dan disiplin ilmu yang lain dalam mengkaji perlunya
rujukan untuk mendapat perawatan di rumah atau di tempat pelayanan yang
lainnya.
e. Kaji penerimaan terhadap masalah kesehatan dan larangan yang berhubungan
dengan masalah kesehatan tersebut.
f. Konsultasi dengan anggota tim kesehatan lain tentang berbagai kebutuhan klien
setelah pulang.
g. Tetapkan diagnosa keperawatan yang tepat, lakukan implementasi rencana
keperawatan. Evaluasi kemajuan secara terus menerus. Tentukan tujuan pulang
yang relevan, yaitu sebagai berikut :
1). Pasien akan memahami masalah kesehatan dan implikasinya.
2). Pasien akan mampu memenuhi kebutuhan individualnya.
3). Lingkungan rumah akan menjadi aman.
4). Tersedia sumber perawatan kesehatan di rumah.

- Persiapan Sebelum Hari Kepulangan Pasien.


a. Anjurkan cara-cara untuk merubah pengaturan fisik di rumah sehingga
kebutuhan pasien dapat terpenuhi.
b. Berikan informasi tentang sumber-sumber pelayanan kesehatan di
masyarakat kepada pasien dan keluarga.
c. Lakukan pendidikan untuk pasien dan keluarga sesegera mungkin setelah
pasien di rawat di rumah sakit (contoh: tanda dan gejala, komplikasi,
informasi tentang obat-obatan yang diberikan, penggunaan perawatan
medis dalam perawatan lanjutan, diet, latihan, hal-hal yang harus dihindari
sehubungan dengan penyakit atau operasi yang dijalani). Pasien mungkin
dapat diberikan pamflet atau buku.
- Pada Hari Kepulangan Pasien
a. Biarkan pasien dan keluarga bertanya atau berdiskusi tentang berbagai
isu berkaitan dengan perawatan di rumah (sesuai pilihan).
b. Periksa order pulang dari dokter tentang resep, perubahan tindakan
pengobatan, atau alat-alat khusus yang diperlukan pesan harus ditulis
sedini mungkin).
c. Tentukan apakah pasien atau keluarga telah mengatur transportasi untuk
pulang ke rumah.
d. Tawarkan bantuan ketika pasien berpakaian dan mempersiapkan seluruh
barang-barang pribadinya untuk dibawa pulang. Berikan privasi jika
diperlukan.
e. Periksa seluruh kamar mandi dan lemari bila ada barang pasien yang
masih tertinggal. Carilah salinan daftar barang-barang berharga milik
pasien yang telah ditanda tangani dan minta satpam atau administrator
yang tepat untuk mengembalikan barang-barang berharga tersebut
kepada pasien. Hitung semua barang-barang berharga yang ada.
f. Berikan pasien resep atau obat-obatan sesuai dengan pesan dokter.
Periksa kembali instruksi sebelumnya.
g. Hubungi kantor keuangan lembaga untuk menentukan apakah pasien
masih perlu membayar sisa tagian biaya. Atur pasien atau keluarga untuk
pergi ke kantor tersebut.
h. Gunakan alat pengangkut barang untuk membawa barang-barang pasien.
berikan kursi roda untuk pasien yang tidak bisa berjalan sendiri. Pasien
yang meninggalkan rumah sakit dengan mobil ambulans akan
dipindahkan dengan kereta dorong ambulans.
i. Bantu pasien pindah ke kursi roda atau kereta dorong dengan
mengunakan mekanika tubuh dan teknik pemindahan yang benar. Iringi
pasien masuk ke dalam lembaga dimana sumber transaportasi
merupakan hal yang diperhatikan.
j. Kunci kursi roda. Bantu pasien pindah ke mobil atau alat transportasi lain.
Bantu keluarga memindahkan barang-barang pribadi pasien ke dalam
kendaraan tersebut.
k. Kembali ke unit dan beritahukan departemen penerimaan dan
departemen lain yang berwenang mengenai waktu kepulangan pasien.
l. Catat kepulangan pasien pada format ringkasan pulang. Pada beberapa
institusi pasien akan menerima salinan dari format tersebut.
m. Dokumentasikan status masalah kesehatan saat pasien pulang.

Anda mungkin juga menyukai