Anda di halaman 1dari 40

 

Gejala dan Penanganan Demam Tifoid (Tifus)


Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering dicxemaskan bila saat seseor4ang
menderita panas. memang setiap tifus selalu terjadi manifestasi demam tetapi tidak semua demam harus
didiagnosis tifus, justru pneyebab paling sering demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif
tidak mudah karena pada awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip berbagai penyakit
lainnya. Apalagi pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering mengalami
bias untuk mengenali tifus.
Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya
turunannya yaitu Salmonella Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B
dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk
menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. Salmonella merupakan bakteri batang
gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain
meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa
dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif.
Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º
C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu
ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil
panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa
saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena
demam tifoid.  Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan
penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak
mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau
tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri
ini dari tempat-tempat kotor.

Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya bervariasi.
Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala klinisnya. Pada minggu pertama, tidak
ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang
muncul antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan
menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan
suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin
tinggi, lidah kotor, bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.

S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus.  Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa
menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES,
terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal
(patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler,
inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik,
diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk
membunuh Salmonalla intraseluler

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah yang disebut
dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin mantan penderita
masih menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini
keluar dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau tinja penderita.

Manifestasi klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan
sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid
berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada
minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali,
splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.
Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul  :
 demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang meningkat secara perlahan
 tubuh menggigil
 denyut jantung lemah (bradycardia)
 badan lemah (“weakness”)
 sakit kepala
 nyeri otot myalgia
 kehilangan nafsu makan
 konstipasi
 sakit perut
 pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (“rose spots”)
Penyakit yang mirip (Diagnosis Banding) 
  Influenza
  Malaria
 Bronchitis
 Sepsis
  Broncho Pneumonia
  I.S.K (Infeksi Saluran kencing)
 Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)
 Keganasan : – Leukemia
 Tuberculosa – Lymphoma
Diagnosis
 Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan
laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai
metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid
secara menyeluruh
 Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan
dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha
penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin
dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita,
insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran
penyakit melalui identifikasi karier.
 Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat
kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi; pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; uji
serologis; dan pemeriksaan kuman secara molekuler.
Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah,
urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam
tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan
meliputi jumlah darah yang diambil; perbandingan volume darah dari media empedu; dan waktu
pengambilan darah.

Identifikasi kuman melalui uji serologis


 Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi
spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®;
metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),dan
pemeriksaan dipstik.
 Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik
demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
 Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal
adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran
berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama
sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
 Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube
test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji
tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari
uji hapusan.Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat
(kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan
pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
 Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan
menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
 Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam
tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan
inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan
antigen terhadap Ig M spesifik.4
 Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan
Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
 Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil
kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan
antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan
kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai
dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam
waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
 Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA
terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S.
typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis
adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.
 Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM
spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yanglengkap.Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
 Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen
flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan
cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
 Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang
menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya
bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen
darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang
relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.
Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis
 Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tifus paling
sering digunakan. Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan
kesalahan diagnosis. Dalam penelitian penulis didapatkan infeksi virus yang sering menjadi penyebab
demam pada anak dan orang dewasa ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu
pertama.
 Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas,
stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis);
faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,13
 Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini
walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar
titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
 Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang tinggi pada hari ke tiga
hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow up dalam waktu demam pada minggu
ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada
penderita tifus nilai widal tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up
pada minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal seharusnya akan pada
penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5
tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan 59%. Semua penderita
menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami
self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus
tersebut adalah infeksi virus.
 Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami diagnosis penyakit tifus
sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar 89% pada kelompok ini adalah
kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau
sekitar 86% adalah penderita alergi.Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam
beradarah, didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15 (34%) anak
didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan hasil kultar darah gall negatif dan
tidak diberikan terapi antibiotika membaik.
 Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita tertentu terutama penderita
alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi pada anak yang mengalami peningkatan
hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh.
Diduga mekanisme hipersensitif atau proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat
ikut meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat berlawanan
dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia
merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh khusus dalam hal
biomolekuler dan imunopatofisiologi.
 Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi ”overdiagnosis tifus”. Pertama penderita
harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang terjadi adalah infeksi virus.
Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal
lain yang terjadi seringkali penderita seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua kondisi
tersebut diatas akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak
terjadi. Belum lagi akbat efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak
diberikan.
Penanganan
 Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif melipu+ti istirahat dan
diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
 Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring, kemudian bubur kasar
dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran
dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk
mendukung keadaan umum pasien.
 Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan di rumah sakit. Antibiotika umum
digunakan untuk mengatasi penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu
bulan.
 Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole,
dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara barat. Obat-obat pilihan
pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah
sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon. 
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau
intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin
dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat,
selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali
pemberian, oral, selama 14 hari.
 Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80
mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka
pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
 Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan. Kematian terjadi
antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan
untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin).
 Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik menonjol,
diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit).
Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali
pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus
Komplikasi :
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata dan
sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrim Guillain-
Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi
pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

Pencegahan
 Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara
umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat
menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar
Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)
 Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi jika si kecil terkenal doyan jajan. Juga,
anak balita yang sudah pandai �nenangga�, atau yang belum bisa cebok dengan benar. Vaksinasi harus
diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan
berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang
menyerang tidak sampai membahayakan anak
 Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi (kuman yang
mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan
secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta
direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi,
orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.
 Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari dua tahun.
Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu
sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap
dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit.
 Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat
dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan
sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk
bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.
 Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak boleh
mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat
diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang
tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi
berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki
sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan
vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang
menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang
mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan
orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh
diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.
 Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti reaksi alergi yang
parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem
serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang
dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan
atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi
ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-
muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Lingkungan yang bersih adalah lingkungan yanhg sehat. Apabila lingkungan sehat maka bakteri dan virus akan
lebih sedikit berkembang biak disana. Begitupun dengan bakterisalmonella typhi penyebab demam tifod akan
lebih banyak terdapat pada lingkungan yang kotor dan tingkat perilaku hidup bersih sehat sangat kurang
sehingga kuman tersebut akan banyak terdapat disana. Kurangnya menjaga kebersihan lingkungan dan
rendahnya kesadaran mastarakat dalam berperilaku hidup bersih sehat akan menjadi bimerang bagi masyarakat
itu sendiri, khususnya lingkungan mereka akan lebih rentan terkena penyakit.

            Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
Thypi.Kuman Salmonella Typi  masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar.
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu
food (makanan), fingers (jari tangan/kuku), fomitus (muntah), fly (lalat), dan melalui  feses. Apabila orang
tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar
kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk kedalam
lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian
distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke
aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial.

1.2  Rumusan Masalah

            Adapun rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini adalah bagaimana pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem gastrointestinal  khususnya pada pasien demam tifoid.

1. Tujuan Penulisan

2. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu mempelajari dan memahami konsep materi mengenai sistem gastrointestinal dan
gangguannya, khusunya mengenai demam tifoid.
1.3  Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami definisi demam tifoid.

2. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami etiologi demam tifoid.

3. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami fatofisiologi demam tifoid.

4. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami manifestasi klinis demam tifoid.

5. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami komploikasi demam tifoid.

6. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami penatalaksaan demam tifoid.

7. Mahasiswa mampu mengidentifikasi  masalah keperawatan yang muncul pada klien yang menderita

demam tifoid.

8. Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan kepada pasien yang menderita demam

tifoid.

9. Mampu mengidentifikasi kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus.

10. Mampu menyebutkan dan memahami anatomi serta fisiologi sistem gastrointestinal.

1.4 Manfaat

1. Keilmuan / Teori

Menambah ilmu pengetahuan terutama dalam keperawatan keluarga yang berhubungan dengan penyakit
demam tifoid.

2. Bagi Perawat / Mahasiswa


Sebagai bahan bacaan dan menambah wawasan bagi mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa ilmu
keperawatan mnegenai demam tifoid.

3. Bagi Masyarakat / Keluarga

Bagi masyarakat dapat memberikan gambaran tanda-tanda dan gejala serta penyebab penyakit demam tifoid di
masyarakat sehingga dapat melakukan pencegahan terhadap penyakit tersebut.

BAB II

ISI

1. 1.      Definisi

Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi(Arief Maeyer, 1999
).

 
Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan
oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara oral melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).

Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada
sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi nodus peyer di distal ileum.
(Soegeng Soegijanto, 2002)

Anatomi dan Fisiologi Sistem Gastrointestinal

Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus
(lambung), intestinum minor (usus halus),  intestinum mayor (usus besar ), rektum dan anus. Pada kasus demam
tifoid, salmonella typi berkembang biak di usus halus (intestinum minor). Intestinum minor adalah bagian dari
sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya ±  6 m,
merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari  : 
lapisan usus halus, lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang
(muskulus longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).

Usus halus terdiri dari duodenum (usus 12 jari), yeyenum dan ileum. Duodenum disebut juga usus dua belas jari,
panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat pankreas.  Dari
bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit yang disebut papila vateri.  Pada papila vateri
ini bermuara saluran empedu (duktus koledikus) dan saluran pankreas (duktus wirsung/duktus pankreatikus).
Dinding duodenum ini mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut
kelenjar brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.

Yeyenum dan ileum mempunyai panjang sekitar ±  6 meter.  Dua perlima bagian atas adalah yeyenum dengan
panjang ± 2 meter dari ileum dengan panjang 4 – 5 m. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding
abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.

Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesenterika superior,
pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritonium yang membentuk mesenterium. Sambungan
antara yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.

Ujung dibawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium
ileoseikalis.  Orifisium ini diperlukan oleh spinter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis
atau valvula baukhim yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam asendens tidak masuk kembali ke dalam
ileum.
Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak leukosit. Disana-sini terdapat beberapa
nodula jaringan limfe, yang disebut kelenjar soliter. Di dalam ilium terdapat kelompok-kelompok nodula itu.
Mereka membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisis 20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya
satu  sentimeter  sampai beberapa sentimeter.  Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan
merupakan tempat peradangan pada demam usus (tifoid). Sel-sel Peyer’s adalah sel-sel dari jaringan limfe dalam
membran mukosa. Sel tersebut lebih umum terdapat pada ileum daripada yeyenum. ( Evelyn C. Pearce, 2000).

Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu
pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vili berisi
lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama jaringan limfoid seluruhnya diliputi
membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.

Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang di absorbsi ke
dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan
oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan. Fungsi usus halus :

1. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran

– saluran limfe.

2. Menyerap protein dalam bentuk  asam amino.

3. Karbohidrat diserap dalam betuk monosakarida.

Didalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan. Enzim
yang bekerja ialah :

1. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik.

2. Eripsin menyempurnakan  pencernaan protein menjadi asam amino.

3. Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida.

4. Maltosa mengubah maltosa menjadi monosakarida.

5. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida,

2.Etiologi

Penyebab demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B danS.paratyphi C.
(Arjatmo Tjokronegoro, 1997). Ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam tifoid
dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekresi
salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
 

3.Patofisiologi / Patway Demam Tipoid

            Kuman Salmonella typi  masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnakan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran
limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-
kelenjar limfe ini salmonella typi masuk ke aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman salmonella typi lain
mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.

            Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial.
Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi
kemudian berdasarkan penelitian ekperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab
utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin salmonella typi berperan pada
patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella
typi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena salmonella typi dan endotoksinnya merangsang
sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh zat leukosit pada jaringan yang meradang.

            Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari.  Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi. Perbedaaan
ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu
gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas
dengan komplikasi dan kematian hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalamanpun
dapat mengalami kesulitan membuat diagnosis klinis demam tifoid.

            Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F
yaitu food (makanan), fingers (jari tangan/kuku), fomitus (muntah), fly (lalat), dan melalui feses. Feses dan
muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut
dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang
yang sehat.

            Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan
yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman
masuk kedalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak,
lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-selretikuloendotelial ini kemudian
melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa,
usus halus dan kandung empedu.
            Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia.Tetapi
berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama
demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karenamembantu proses inflamasi
lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypidan endotoksinnya merangsang sintetis dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

            Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung
jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalamkeadaan asimtomatis.
(Soegeng soegijanto, 2002).

Patway

4. Manifestasi Klinik
1. Masa tunas 10 – 20 hari yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika

melalui minuman yang terlama 30 hari.

2. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,

nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang.

3. Demam. Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak

tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya

menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua pasien

terus berada dalam keadaan demam, pada minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali

pada akhir minggu ketiga.

4. Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan

pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya

kemerahan.

5. Gangguan kesadaran, umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam yaitu apatis sampai

somnolen, jarang terjadi stupor atau koma (kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan

pengobatan).

6. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena

emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam.

5.Komplikasi

Komplikasi demam thypoid dibagi dalam :

1. a.      Komplikasi Intestinal

I. Pendarahan usus

II. Perforasi usus

III. Ileus paralitik

 
1. b.      Komplikasi ektra-intestinal

2. Komplikasi kardiovaskuler

Kegagalan sirkulasi perifel (renjatan sepsis) miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

3.  Komplikasi darah

Anemia hemolitik, trombositoperia dan sidroma uremia hemolitik.

4. Komplikasi paru

Pneumonia, emfiema, dan pleuritis

5. Komplikasi hepair dan kandung empedu

Hepatitis dan kolesistitis

6. Komplikasi ginjal

Glomerulonefritis, periostitis, spondilitis, dan arthritis

7. Komplikasi neuropsikiatrik

Delirium, meningismus, meningistis, polyneuritis perifer, sindrom, katatoni

6.    Test Diagnostik

       a.   Pemeriksaan darah

 Pemeriksaan darah untuk kultur (biakan empedu)

Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita pada minggu pertama sakit, lebih sering ditemukan
dalam urine dan feces dalam waktu yang lama.

 Pemeriksaan widal

Pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis thypoid abdominalis secara pasti.
Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. (diperlukan darah vena
sebanyak 5 cc untuk kultur dan widal)

 
     b.      Pemeriksaan sumsum tulang belakang

Terdapat gambaran sumsum tulang belakang berupa hiperaktif Reticulum Endotel System (RES) dengan adanya
sel makrofag.

7.      Penatalaksanaan Medik

      a.       Perawatan

Pasien thypoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan, observasi dan diberikan
pengobatan yakni :

 Isolasi pasien.

 Desinfeksi pakaian.

 Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah, anoreksia dan

lain-lain.

 Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu normal kembali (istirahat total),

kemudian boleh duduk jika tidak panas lagi, boleh berdiri kemudian berjalan diruangan.

                       

                   b.      Diet

            Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh
mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas, susu 2 gelas sehari, bila kesadaran
pasien menurun diberikan makanan cair melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan nafsu makan anak baik
dapat juga diberikan makanan biasa.

                   c.      Obat

            Obat anti mikroba yang sering digunakan :

 Cloramphenicol
Cloramphenicol masih merupakan obat utama untuk pengobatan thypoid.

Dosis untuk anak : 50 – 100 mg/kg BB/dibagi dalam 4 dosis sampai 3 hari bebas panas/minimal 14 hari.

 Kotrimaksasol

Dosis untuk anak : 8 – 20 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis sampai 5 hari bebas panas/minimal 10 hari.

 Bila terjadi ikterus dan hepatomegali : selain Cloramphenicol juga diterapi dengan ampicillin 100 mg/kg

BB/hari selama 14 hari dibagi dalam 4 dosis.

B.     KONSEP KEPERAWATAN

1.       Pengkajian

a.       Pengumpulan data

1. Identitas klien

            Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.
 

1. Keluhan utama

            Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut, pusing
kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.

1. Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi  ke dalam tubuh.

1. Riwayat penyakit dahulu

   Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.

1. Riwayat penyakit keluarga

  Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

6.   Pola-pola fungsi kesehatan

      a)  Pola nutrisi dan metabolisme

            Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah  saat makan  sehingga makan
hanya sedikit bahkan tidak makan  sama sekali.

      b)  Pola eliminasi


            Eliminasi alvi.  Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama.  Sedangkan eliminasi
urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan.   Klien dengan demam tifoid
terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat
meningkatkan kebutuhan cairan tubuh. 

      c)   Pola aktivitas dan latihan

            Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala
kebutuhan klien dibantu.

      d)  Pola tidur dan istirahat

            Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.

      e)  Pola persepsi dan konsep diri

            Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.

      f)  Pola sensori dan kognitif

            Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan
serta tidak terdapat suatu waham paad klien.

      g)  Pola hubungan dan peran

            Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest
total.

 
      h)   Pola penanggulangan stress

            Biasanya orang tua akan nampak cemas

    7. Pemeriksaan fisik

      a)      Keadaan umum

            Didapatkan  klien   tampak   lemah,   suhu   tubuh   meningkat     38 – 410 C, muka kemerahan.

      b)      Tingkat kesadaran

             Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

      c)   Sistem respirasi

            Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran seperti bronchitis.

      d)   Sistem kardiovaskuler

            Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.

      e)   Sistem integumen

            Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam

      f)   Sistem gastrointestinal


            Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah, anoreksia, dan
konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat.

      g)  Sistem muskuloskeletal

            Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.

      h)  Sistem abdomen

            Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri tekan pada
abdomen.  Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.

2.      Diagnose keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan,

dispnea.

2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella thypii.

3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan.

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, demam

5. Resiko  nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.

6. Resiko devisit volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan peningkatan suhu

tubuh.

7. Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi

8. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran

9. Kelemahan berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring

10. Gangguan personal hygiene berhubungan dengan kelemahan


 

3. Intervensi Keperawatan

a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan, dispnea.

                 Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3X24 jam pola napas efektif

  Kriteria hasil  :  – Pola napas efektif

 Tidak terdapat pernapasan cuping hidung

 Tidak ada keluhan sesak

 Frekuensi pernapasan dalam batas normal 24-32 x/menit

Intervensi keperawatan

1. Kaji frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan

         R/: Pernapasan dangkal, cepat/dispnea sehubungan dengan peningkatan kebutuhan oksigen

1. Selidiki perubahan kesadaran

        R/: Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksemia dan gagal  pernapasan

1. Pertahankan kepala tempat tidur tinggi. Posisi miring

        R/: Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma

 
1. Dorong penggunaan teknik napas dalam

R/: Membantu memaksimalkan ekspansi paru

1. Kolaborasi

Berikan tambahan okseigen sesuai indikasi

            R/: Perlu untuk mengatasi/mencegah hipoksia. Bila pernapasan/oksigenasi tidak adekuat, ventilasi
mekanik sesuai kebutuhan.

b.   Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, proses peradangan

  Tujuan             : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, suhu tubuh normal.

                          Kriteria hasil    : Tidak ada tanda-tanda peningkatan suhu tubuh,

                         

                          TTV dalam batas normal

            TD : 80-120/60-80 mmhg

            N   : 80-100x/i

            S    : 36,5-370 C

            P    : 24-32x/i

                       

Intervensi Keperawatan

1. Observasi tanda-tanda vital


        R/: Tanda-tanda vital berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit dan  menjadi indikator untuk
melakukan intervensi selanjutnya

1. Beri kompres  pada daerah dahi

        R/: Pemberian kompres dapat menyebabkan peralihan panas secara konduksi dan membantu tubuh untuk
menyesuaikan terhadap panas

1. Anjurkan untuk banyak minum air putih

      R/: Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang
banyak

1. Kolaborasi pemberian antiviretik, antibiotik

         R/: Mempercepat proses penyembuhan, menurunkan demam. Pemberian antibiotik menghambat
pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri

c.    Nyeri berhubungan dengan proses peradangan

               Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam nyeri hilang/berkurang

               Kriteria hasil     : – Tidak ada keluhan nyeri

 Wajah tampak tampak rileks

  Skala nyeri 0-1

 TTV dalam batas normal


                        TD  : 80-120/60-80 mmhg

                        N     : 80-100x/i

                        S     : 36,5-370C     

                        P     : 24-32x/i

                    

Intervensi keperawatan

1. Kaji tingkat nyeri, lokasi, sifat dan lamanya nyeri

      R/: Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya dan untuk mengetahui sejauh mana nyeri
dipersepsikan.

1. Berikan posisi yang nyaman sesuai keinginan klien.

R/: Posisi yang nyaman akan membuat klien lebih rileks sehingga merelaksasikan otot-otot.

1. Ajarkan   tehnik   nafas    dalam

         R/: Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi nyeri

1. Ajarkan kepada orang tua untuk menggunakan tehnik relaksasi misalnya visualisasi, aktivitas hiburan

yang tepat

R/: Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian

 
1. Kolaborasi obat-obatan analgetik

               R/: Dengan obat analgetik akan menekan atau mengurangi rasa nyeri

d.   Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, demam

                                Tujuan              : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam, pola tidur efektif

Kriteria hasil    : Melaporkan tidur nyenyak

 Klien tidur 8-10 jam semalam

 Klien tampak segar

                      

Intervensi Keperawatan

1. Kaji pola tidur klien

        R/: Mengetahui kebiasaan tidur klien, mengetahui gangguan yang dialami, memudahkan intervensi
selanjutnya

1. Berikan bantal yang nyaman

        R/: Meningkatkan kenyamanan meningkatkan pemenuhan istirahat tidur

1. Berikan lingkungan yang nyaman, batasi pengunjung

R/: Mengurangi stimulus yang dapat mengganggu istirahat tidur

 
1. Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam/masase punggung sebelum tidur

         R/: Meningkatkan relaksasi menstimulasi istirahat tidur yang nyaman

e.   Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan hipertermi, intake inadekua

      Tujuan         : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam, tidak terjadi defisit volume cairan

Kriteria hasil : Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi Keseimbangan intake dan output dengan urine normal
dalam konsentrasi jumlah

Intervensi Keperawatan

1. Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit

                     R/: Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau     efek dari
kehilangan cairan

1. Observasi adanya tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah

R/: Agar segera dilakukan tindakan/ penanganan jika terjadi syok

1. Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan

            R/: Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan cairan

1.  Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat
                     R/: Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah volume         cairan tubuh

1.  Kolaborasi pemberian cairan intravena

                  R/: Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi kebutuhan        cairan yang hilang

f.   Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, nausea,
intake inadekuat

                        Tujuan        : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam kekurangan nutrisi tidak
terjadi

                        Kriteria hasil  :  Nafsu makan meningkat

 Tidak ada keluhan anoreksia, nausea.

 Porsi makan dihabiskan

      

  Intervensi keperawatan

1. Kaji kemampuan makan klien

         R/: Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai indikator intervensi selanjutnya

1. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering

        R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa mual dan muntah
 

1. Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein

R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat

1.  Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk memberikan makanan yang disukai

      R/: Menambah selera makan dan dapat menambah asupan nutrisi yang dibutuhkan klien

1. Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk menghindari makanan yang mengandung gas/asam,

pedas

        R/: dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu mual dan muntah dan menurunkan asupan
nutrisi

1. Kolaborasi

Berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi

         R/: Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang dapat memicu mual/muntah

g.   Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi

               Tujuan    : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, pola eliminasi kembali normal

Kriteria hasil    : – Klien melaporkan BAB lancar

                               – Konsistensi lunak


 

Intervensi Keperawatan

1. Kaji pola eliminasi klien

         R/: Sebagai data dasar gangguan yang dialami, memudahkan intervensi selanjutnya

1. Auskultasi bising usus

      R/: Penurunan menunjukkan adanya obstruksi statis akibat inflamasi, penumpukan fekalit

1. Selidiki keluhan nyeri abdomen

R/: Berhubungan dengan distensi gas

1. Observasi gerakan usus, perhatikan warna, konsistensi, dan jumlah feses

   R/: Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi ketepatan intervensi

1. Anjurkan makan makanan lunak, buah-buahan yang merangsang BAB

R/: Mengatasi konstipasi yang terjadi

1. Kolaborasi Berikan pelunak feses, supositoria sesuai indikasi

R/: Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan


 

h.      Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran

      Tujuan       : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, persepsi sensori dipertahankan

      Kriteria hasil       : – Tidak terjadi gangguan kesadaran

      Intervensi Keperawatan

1. Kaji status neurologis

      R/: Perubahan endotoksin  bakteri dapat merubah elektrofisiologis otak

1. Istirahatkan hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil

      R/: Istirahat yang cukup mampu membantu memulihkan kondisi pasien

1. Hindari aktivitas yang berlebihan

        R/: Aktivitas yang berlebihan mampu memperburuk kondisi dan meningkatkan resiko cedera

1. Kolaborasi

Kaji fungsi ginjal/elektrolit

         R/: Ketidakseimbangan mempengaruhi fungsi otak dan memerlukan perbaikan sebelum intervensi
terapeutik dapat dimulai

 
i.  Kelemahan berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring

      Tujuan             : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, tidak terjadi kelemahan

      Kriteria hasil       : – Klien mampu melakukan aktivitas sehari-sehari secara mandiri

      Intervensi Keperawatan

1. Kaji tingkat intoleransi klien

R/: Menetapkan intervensi yang tepat

1. Anjurkan keluarga untuk membantu memenuhi aktivitas kebutuhan sehari-hari

R/: Mengurangi penggunaan energi yang berlebihan

1. Bantu mengubah posisi tidur minimal tiap 2 jam

        R/: Mencegah dekubitus karena tirah baring dan meningkatkan kenyamanan

1. Tingkatkan kemandirian klien yang dapat ditoleransi

        R/: Meningkatkan aktivitasringan dan mendorong kemandirian sejak dini

j.   Gangguan personal hygiene berhubungan dengan kelemahan; tirah baring

Tujuan                         : gangguan personal hygiene teratasi

Kriteria hasil                : klien tampak rapi dan tampak segar


 

Intervensi keperwatan :

1. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari

        R/: Membantu dalam mengantisipasi / merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual

1. Lakukan washlap keseluruh tubuh klien dengan air hangat

R/: Memberikan kenyamanan dan menjaga kebersihan kulit klien

1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tetap menjaga kebersihan gigi dan mulut klien

      R/: Kebersihan mulut dapat meningkatkan kenyamanan dan selera makan dan kesehatan pencernaan.

1. Anjurkan orang tua klien untuk mengganti pakaian klien setiap hari

R/: Memberikan kenyamanan kepada klien

1. Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang pentingnya menjaga kebersihan diri

      R/: Peningkatan pengetahuan mengembangkan kooperatif klien dan keluarga dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan

E.     Evaluasi

                               a.      Pola napas efektif


 Tidak terdapat pernapasan cuping hidung

 Tidak ada keluhan sesak

 Frekuensi pernapasan dalam batas normal 24-32 x/menit

                              b.      Suhu tubuh dalam batas normal dengan kriteria :

 Suhu tubuh 36C – 37C

 Bebas demam

                               c.      Nyeri berkurang/hilang dengan kriteria :

 Klien tidak mengeluh nyeri.

 Wajah klien ceria

                              d.      Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dengan kriteria :

 Turgor kulit baik.

 Mukosa lembab

 Intake cairan adekuat.

 Tidak terjadi muntah.

                               e.      Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria :

 Nafsu makan baik.

 Menunjukkan berat badan stabil/ideal.

 
1. Tidak terjadi gangguan pola tidur dengan kriteria:

 Tidak ada keluhan tidur kurang

 Klien tampak segar

 Klien tidur 8-10 jam semalam

1. Gangguan persepsi sensori teratsi ditandai dengan tidak terjadi gangguan kesadaran

                             

1. Tidak terjadi gangguan eliminasi BAB, dengan kriteria:

 Klien BAB 1 kali sehari

 Konsistensi lunak

1. Kelemahan tearatasi ditandai dengan klien mampu melakukan aktivitas sehari-sehari  secara mandiri

1. Gangguan personal hygiene teratasi ditandai dengan klien tampak rapi dan tampak segar

 
 

DAFTAR PUSTAKA

               Anonim, (2007), Defenisi Typhoid Abdominalis, (online) (http://www.laboratorium          


klinikprodia.com, diakses 07 Agustus 2011

               Anonim, (2007), Epidemiologi Typhoid Abdominalis, (online)


(http://www.pontianak      post.com, diakses 07 Agustus 2011

               Hidayat AA, (2006), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, (Edisi 2), Jakarta, Salemba      Medika.

               Hidayat AA, (2006), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, (Edisi 1), Jakarta, Salemba      Medika.

               Ngastiyah, (2005), Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, Jakarta, EGC.

               Nursalam dkk, (2005), Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta, Salemba     Medika.

               Pearce C, (2004), Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Jakarta, PT. Gramedia.
 

               Saifuddin, (2006), Anatomi Fisilogi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3, Jakarta      : EGC.

Share this:

 Twitter1

 Facebook5

Berikan Balasan

← Makalah Dokumentasi Keperawatan Tentang Isu isu Keperawatan

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PROMOSI KESEHATAN IMUNISASI →

Search this site...

P OS-P OS TE RAK HIR

 MAKALAH ANOTOMI FISIOLOGI TENTANG SISTEM (GI) SISTEM PENCERNAAN

 12 SARAF (NERVUS)

 PEMERIKSAAN KESADARAN / MENGUKUR GCS

 POWERPOINT DEMAM TIPOID

 SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PROMOSI KESEHATAN IMUNISASI

A RSIP

 Februari 2013

K A TE G ORI

 Uncategorized
M E TA

 Mendaftar

 Masuk log

 RSS Entri

 RSS Komentar

 Blog di WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai