Anda di halaman 1dari 14

Gejala, Penyebab dan Penatalaksanaan Demam Tifoid

Ery Lione Nanulaitta

102014052

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk- Jakarta Barat 11510

Abstrak

Demam Tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
terletak di daerah tropis dan subtropics. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan yang
penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan,sumber air, dan sanitasi yang buruk serta standar hygiene industry pengolahan
makanan yang masih rendah. Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi
masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan
diagnosis. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinisdan melalui
pemeriksaanlaboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena
tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa
penyakit lain, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan
penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.

Kata kunci : Demam tifoid, pemeriksaan, gejala, diagnosis

Abstract

Typhoid fever is a systemic infectious disease caused by Salmonella typhi are still
found widely in many developing countries which are mainly located in the tropics and
subtropics. This disease is also an important health problem because of its spread is closely
related to urbanization, population density, environmental health, water resources, and poor
sanitation and hygiene standards of food processing industry is still low. Some factors that cause
typhoid fever still continues to be an important health problem in developing countries including
also delay diagnosis. Diagnosis of typhoid fever is now done klinis and through laboratory
examinaton . Clinical diagnosis of typhoid fever is often not appropriate as there was no specific
clinical symptoms or obtained the same symptoms in several other diseases, especially in the

1
first week of illness. This suggests the need for laboratory investigations to confirm the diagnosis
of typhoid fever

Keyword: Typhoid fever, examination of symptom,diagnosis

Pendahuluan

Demam merupakan suatu gejala dari beberapa penyakit. Namun tidak semua penyakit
menimbulkan demam. Demam biasanya disertai menggigil pada beberapa penyakit dan kondisi
tertentu. Dengan gejala demam saja, kita tidak bisa menentukan secara langsung seseorang
menderita penyakit tertentu, namun harus ada gejala penunjang lain atau dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apakah seseorang dengan gejala
demam yang terus menerus dan lebih tinggi menjelang sore hari , disertai pusing, nyeri perut,
mual, dan muntah, menderita penyakit demam tifoid ataukah ada penyakit lain yang
menyebabkan gejala seperti di atas serta penyebab dan cara penanganannya.

Anamnesis

Anamnesis dapat dilakukan secara auto-anamnesis maupun allo-anamnesis. Pada auto-


anamnesis dokter dapat langsung bertanya pada pasien. Sedangkan allo-anamnesis, dokter
bertanya pada keluarga terdekat ataupun orang terdekat yang mengetahui keadaan pasien.1,2

Pada kasus , hasil anamnesa adalah sebagai berikut :

Keluhan utama:
- Keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu.
- Demam dirasakan sepanjang hari dan lebih tinggi menjelang sore hari.
Keluhan tambahan:
- Demam disertai pusing, nyeri perut, mual, dan muntah.
- Belum BAB sejak 4 hari yang lalu.

Selanjutnya dokter mulai mengarahkan pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai acuan
untuk pasien tersebut, ialah :

2
1. Sejak kapan muncul demam?

2. Bagaimana intensitas demamnya ?

3. demamnya saat kapan saja? Sepanjang hari dan lebih tinggi menjelang sore hari ?

4. Adakah perdarahan seperti mimisan ?

5. Adakah keluhan lain yang dirasakan ?

6. apakah sebelumnya ada kegiatan berpergian ke suatu tempat ?

7. Apakah sebelumnya ada makan sembarangan atau jajan yang tidak higine ?

8. Bagaimana sanitasi lingkungan di sekitar tempat tinggal ? apakah bersih atau tidak ?

9. Riwayat penyakit dahulu ?

10. Riwayat penyakit keluarga ?

11. Riwayat pribadi ?

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada kasus, didapati bahwa kesadaran pasien
adalah compos mentis (CM), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya dan dapat menjawab
semua pertanyaan tentang sekelilingnya.3

Kemudian selain tingkat kesadaran, pemeriksaan fisik menunjukan suhu tubuh 37,8,
nadi 90x per menit, tingkat respirasi 18x per menit, tekanan daragh 120/80 mmHg, dan pada
pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan di ulu hati dan ditemukannya lidah tifoid atau lidah
berselaput.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada skenario adalah pemeriksaan laboratorium


dengan hasil Hb = 14g/dl, Ht = 42%, leukosit 4000/, dan trombosit = 200.000/l. Pemeriksaan

3
lainnya adalah widal dengan titer S.typhi O = 1/320, S.typhi H = 1/320 dan S. paratyphi AO =
1/80.

Pemeriksaan penunjang menunjukan pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis


demam tifoid. Walaupun ada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT sering kali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT
tidak memerlukan penanganan khusus. 4

Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur organism. Sampai
sekarang, kultur masih menjadi standart baku dalam penegakan diagnostic. Selain uji widal,
terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan
mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara lain uji TUBEX,
Typhidot dan dipstik.4

Hematologi

Kadar Hb dapat normal atau menurun bila terjadi perdarahan usus atau perforasi.
Hitung leukosit rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.
Hitung jenis leukosit, sering neutropenia dengan limfositosis relative.
LED meningkat.
Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).

Uji widal

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Pada
uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibody
yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:

a) Aglutinin O (dari kuman),

4
b) Aglutinin H (flagella kuman),

c) Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat
secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4, dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O , kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan.4

Oleh karena itu uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan
pembentukan antibody dan pemberian kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemic
atau non endemic, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestic, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, dan faktor
teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang
digunakan untuk suspense antigen.4

Uji Tubex

Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk
dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara
menghambat ikatan antara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna
dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji
tubex ini menunjukan terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif.4

Uji Typhidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen
Salmonella typhi seberat %0 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. Didapatkan sensitivitas

5
uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisieensi uji sebesar 84% pada penelitian
yang dilakukan oleh gopalakhrisnan. Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG)
teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut
dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah
tersebut, uji ini kemudian dimodifikasikan dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum.
Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan
IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk
pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-m menunjukan bahwa uji ini bahkan lebih sensitive
(sensitivitasnya mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan
kultur atau biakan.4

Uji IgM dipstick

Uji ini khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap Salmonella typhi pada
spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen
lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai control), reagen deteksi yang
mengandung antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip
sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini
stabil disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25 ditempat kering tanpa paparan sinar matahari.
Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum,
selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan
dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkan dengan reference strip. Garis control harus terwarna dengan baik. Pemeriksaan
ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi
hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala.4

Working Diagnosis

Demam Tifoid

Demam tifoid dan paratifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman
golongan Salmonella. Penyakit ini disebut pula demam enteric, tifus, dan paratifus abdomen.
Paratifoid biasanya lebih ringan perjalanannya dan menunjukkan gambaran klinis yang sama

6
seperti tifoid atau menyebabkan enteritis akut. Kedua jenis penyakit ini merupakan masalah
kesehatan yang penting, terutama di negara berkembang baik dari segi epidemiologi, segi
diagnosis laboratoriumnya serta kelengkapan dari laboratorium kliniknya. Hal ini berhubungan
erat pula dengan keadaan sanitasi dan kebiasaan hygiene yang kurang memuaskan.5,6

Differential Diagnosis

Demam Berdarah Dengue (DBD)


Mengalami nyeri kepala dan nyeri otot serta demam. Akan tetapi demam pada
demam berdarah dengue bersifat bifasik yang naik turun tidak teratur, berbeda dengan
demam tifoid yang demamnya sepanjang hari. Demam berdarah dengue juga memiliki
masa waktu demam yang lebih cepat daripada demam tifoid. DBD disebabkan oleh virus
dengue yang termasuk dalam flavivirus family flaviviridae. Pada DBD mempunyai
keluhan demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diabetes heamorragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (penumpukan hematocrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh.6
Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah.
Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan spenomegali
dapat berlangsung akut dan kronik.
Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi
sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit yang menyerupai
malaria adalah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis. Penyebab infeksi
malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi
binatang seperti golongan burung, reptile dan malaria. Plasmodium malaria sering
dijumpai ialah plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertian dan plasmodium
falciparum yang menyebabkan malaria tropika (maligna malaria).6
Chikungunya
Chikungunya adalah penyakit yang berjangkit pada suatu kawasan atau populasi
(endemic) yang disebabkan oleh virus keluarga atau togafiridae (genus alpavirus) dan

7
ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti. Nyamuk yang sama juga menularkan penyakit
demam berdarah dengue. Meski masih bersaudara dengan DBD, penyakit ini tidak
mematikan. Virus ini pertama kali diidentifikasi di Tanzania, Afrika timur tahun 1952.
Tidak heran bila namanya pun berasal dari bahasa Swahlii, artinya yang berubah bentuk
atau bungkuk. Postur penderita chikungunya memang kebanyakan akan membungkuk
akibat nyeri hebat pada persendian tangan dan kaki. Gejalanya adalah demam tinggi,
nyeri perut, mual, muntah, sakit kepala, nyeri sendi dan otot serta bintik-bintik merah
terutama di badan dan tangan, meskipun gejala mirip DBD pada penyakit ini tidak
terjadi pendarahan hebat, renjatan (syok) maupun kematian. Masa inkubasinya 2-4 hari
sementara manifestasinya 3-10 hari.6

Etiologi

Demam typhoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Infeksi berasal dari penderita atau
seseorang yang secara klinik tampak sehat tapi mengandung kuman yang keluar bersama
fesesnya atau melalui kemih (karier). Kuman-kuman ini mengkontaminasi makanan, minuman
dan tangan. Lalat merupakan penyebar kuman yang penting, karena dari tempat kotor ia dapat
mengotori makanan. Infeksi selalu terjadi pada saluran pencernaan (porte dentry) gejala jaringan
limfoid usus. Dari usus, kuman menuju ke kelenjar getah bening mensterium, mereka
berpoliferasi lalu menuju ke ductus thoracicus dan masuk dalam peredaran darah. Banyak
kuman musnah, endotoksin keluar dan menyebabkan gejala penyakit.6,7

Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makananyang terkontaminasi oleh kuman. Sebagian kuman, dimusnahkan dalam
lambung sebagian lolos ke usus dan sebagian berkembang biak. Bila respon imunitas hormonal
mukosa/ IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus ke sel epitel ( terutama sel M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia, kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plug piyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterica. Selanjutnya melalui ductus thorasicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini

8
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteri yang pertama asimptomatik) dan
menyebabkan seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.6

Di organ ini kuman menyebabkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel
atau ruangan sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di
dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan secara intermiten dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui
usus, dan sebagian lagi masuk dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka sel fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi. Di dalam plug piyeri makrofag
hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Pendarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plug piyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononukleat di lumen usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus dan dapat menyebabkan
perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropisikiatrik kardiovaskular pernapasan dan gangguan organ
lainnya.5

Epidemiologi

Demam tifoid yang tersebar du seluruh dunia tidak tergantung iklim. Kebersihan
perorangan yang buruk merupakan sumber penyakit ini meskipun lingkungan hidup umumnya
adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi
penyebaran penyakit ini. 8

Manifestasi Klinis

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare , perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis.

9
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat 39-40. Sifat demam tifoid
atau pola panas badan yang khas adalah tipe step ladder pattern dimana peningkatan panas terjadi
secara perlahan-lahan, terutama pada sore hari hingga malam hari. Biasanya pada saat masuk
rumah sakit didapatkan keluhan utama demam yang diderita kurang lebih 5-7 hari yang tidak
berhasil diobati dengan antipiretika. 5,6

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relative (bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1 tidak diikuti peningkatandenyut nadi
8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) atau
lidah tifoid pada pemeriksaan fisik, lidah tifoid digambarkan sebagai lidah yang kotor pada
pertengahan, sementara hiperemi pada tipenya, dan tremor apabila dijulurkan, hepatomegali,
splenomegaly, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stuper, korna, delirium atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.6

Penatalaksanaan

Medikamentosa

Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah :

Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam
tifoid. Dosis untuk orang dewasa adalah 4x500 mg perhari oral atau intravena, sampai 7
hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianjurkan
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
Dengan kloramfenikol, demam pada demam tifoid dapat turun rata-rata 5 hari.9
Tiamfenikol : dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang
daripada kloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada tifoid dapat turun
rata-rata 5-6 hari. 9
Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas ko-
trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol, dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2
tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg

10
trimethoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan ko-trimoksazol demam rata-rata
turun setelah 5-6 hari.9
Ampisilin dan Amoxcilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam, efektivitas
ampisilin dan amoxcilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak
penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan
berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari , digunakan sampai hari bebas demam.9
Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin
generasi ketiga antara lain Sefoperazon, seftriakson dan sefotaksim efektif untuk demam
tifoid. Dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam deksstrosa 100 cc diberikan
selama setengah jam per infuse sekali sehari, diberikan selama 3 sampai 5 hari.9
Flourokinolon : Terdiri atas norfolaksasin, siproflosaksin, oflosaksin, peflosaksin dan
flerosaksin. Pada wanita hamil, tidak dianjurkan pemberian kloramfenikol, terutama pada
trimester pertama karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematus, kematian fetus
intrauterine, dan gey syndrome pada neonates. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan karena
kemungkinan efek teratogenik yang belum dapat disingkirkan, terutama pada trimester
pertama. Demikian juga obat golongan fluorokuinon dan kotrimoksazol tidak boleh
diberikan pada wanita hamil. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoxcilin, dan
seftriakson.9

Kombinasi obat antimikroba

Kombinasi 2 antibiotika atau lebih di indikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain
toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2
macam organism dalam kultur darah selain kuman Salmonella.9

Kortikosteroid

Penggunaan steroid hanya di indikasikan pada toksis tifoid atau demam tifoid yang mengalami
syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.9

11
Nonmedikamentosa

Terapi nonmedikamentosa yang dilakukan adalah istirahat dan perawatan serta diet dan
terapi penunjang. Istirahat (tirah baring) dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
BAK, dan BAB akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu
sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan
tetap perlu dijaga. 5,8

Terapi lain adalah diet serta terapi penunjang. Diet merupakan hal yang cukup penting
dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umumdan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan
akan menjadi lama. Diet yang dianjurkan berupa makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin
dan protein, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak
gas, dan makanan lunak diberikan selama istirahat. Untuk kembali ke makanan normal,
lakukan secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua
makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa dan seterusnya.5,8

Pencegahan

Perhatian terhadap kebersihan pribadi, pencucian tangan, serta tindakan sanitasi,


merupakan hal penting bagi semua personil yang terlibat dalam mempersiapkan makanan serta
pada perawatan penderita, terutama untuk mencegah penyebaran dari orang ke orang dan dari
orang ke makanan. Air kemih dan tinja penderita sebaiknya ditangani secara hati-hati hingga
hasil biakan tinja 3 kali berurutan memberi hasil negative. Perhatian terhadap penyediaan dan
pengolahan bahan makanan, penggunaan suhu yang sesuai dalam memasak serta menghindari
memegang makanan yang telah terinfeksi pada suhu hangat, merupakan tindakan yang penting.5

Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung pada usia penderita, status kesehatan sebelumnya, dan
tipe komplikasi yang terjadi penderita yang tidak mendapatkan pengobatan antibioka dapat

12
meninggal dunia (10% bayi dan sebagian kecil anak-anak berusia lebih tua). Pengobatan dengan
kloramfenikol berhasil menurunkan angka kematian hingga 1% di berbagai daerah. Adanya
penyakit dasar yang melemahkan, perforasi saluran cerna atau pendarahan yang hebat, akan
meningkatkan kemungkinan kematian. Kekambuhan terjadi pada 10% penderita yang tidak
mendapat pengobatan antibiotika. Manifestasi klinik kekambuhan nyata dalam 2 minggu setelah
penghentian obat dengan antibiotika dan menyerupai bentuk penyakit akut. Tetapi, kekambuhan
tersebut umumnya bersifat lebih ringan dan lebih singkat. Kekambuhan dapat terjadi berkali-kali
pada orang yang sama.6

Komplikasi

Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan pendarahan berat pada 1-10% penderita demam
tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan biasanya di awali
dengan penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut nadi. Perforasi jarang
terjadi tanpa didahului pendarahan dan pada umumnya pada ileum bagian distal. Perforasi akan
disertai peningkatan nyeri abdomen, nyeri tekan, muntah-muntah, dan tanda-tanda peritonitis.5,6

Tifoid toksik dapat berupa delirium dengan atau tanpa sindrom, semi-koma atau koma,
parkison rigidit/transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti
suatu sindromklinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,
delirium, somnolen, spoor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya
dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh
beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik.6

Kesimpulan

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gramm negative
Salmonella typhi. Keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti
demam, sakit kepala, mual, muntah nafsu makan menurun, sakit perut, sulit buang air beberapa
hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu

13
meningkat terutama sore dan malam hari. Lingkungan yang tidak bersih yang terkontaminasi
dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit ini. Kebiasaan
tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum makan dan sesudah makan
juga menjadi penyebab terjadinya demam tifoid.

Daftar Pustaka

1. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga.2005. h.5.

2. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan tata laksana demam tifoid. Dalam pediatrics update.
Jakarta; Ikatan Dokter Anak Indonesia.2003. h.37-46.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. H. 1008,2797-806,2807-11.

4. Kresno SB. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2001. H.405-36.

5. Widodo D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
h.2797-806.

6. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. Demam Tifoid. Jakarta; FKUI. 2000. h. 422-5, 428.

7. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi Kedokteran 2. Edisi 22. Jakarta: Salemba
Medika; 2005. h. 276-309.

8. Widoyono. Penyakit tropis: Epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasannya.


Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005. h. 41-6, 64-6, 71-4, 157-60.

9. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan terapi.


Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2009.

14

Anda mungkin juga menyukai