Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ULUMUL QUR'AN

Dosen Pembimbing : Siti khotijah, S.pd.I , M.pd

Disusun Oleh :
Erika selviani (2101010010)
Fika muflikhatul ngulya (2101010006)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )


SEKOLAH TINGGI ISLAM SUNNIYYAH SELO
( STISS )
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-NYA
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tak lupa penulis ucapkan
shalawat dan salam mudah-mudahan senantiasa Allah SWT karuniakan kepada Nabi paling
mulia yaitu Nabi Muhammad SAW, serta para keluarga dan sahabat – sahabatnya sepanjang
masa, serta para pengikut setia beliau hingga akhir zaman.  Penulis bersyukur kepada Illahi
Rabbi yang telah memberikan taufik serta hidayah-NYA kepada penulis sehingga makalah
pancasila dapat terselesaikan.
Semoga makalah yang sederhana ini bisa dengan mudah dimengerti dan dapat dipahami
maknanya. penulis meminta maaf bila ada kesalahan kata dalam penulisan makalah ini, serta
bila ada kalimat yang kurang berkenan untuk dibaca. Akhirnya kritik dan saran yang bersifat
membangun penulis harapkan dari semua pihak demi sempurnanya makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Penulis

2
DAFTAR ISI

Judul……………………………………………………………………………..1

Kata Pengantar....................................................................................2

Daftar Isi.............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A.Pendahuluan.................................................................................................4
B.Rumusan masalah........................................................................................5
C.Tujuan Masalah ...........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A.Apa maksudmakna muhkam dan mutsyabih…………………………...…6
B.Perbedaam pendapat dalam mengetahui mutasyabih…………………….6
C.Takwil metode mengetahui ayat ayat mutasyabih………………………...7
D.Ilmu tentang muhkam dan mutsyabih…………………………………….8
E.Sikap ulama menghadapi ayat ayat mutasyabih…………………………..8
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan ................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................11

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat
Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat diperoleh
dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul Quran. Dan
menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang membahas
tentang Muhkam Mutasyabihat ayat.Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-
Naisabari pernah mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an
terhadap muhkam-mutasyabih. Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan
firman Allah dalam QS. Hud : 1, sebagai berikut :

)1(‫الركتب احكمت ا ثم فصلت من لدن حكميم خبي ر‬

Artinya: (Inilah) Kitab yang ayat-a: yatnya disusun dengan rapi, kemudian dijelaskan secara
terperinci (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana, Maha Teliti.Kedua, seluruh ayat
Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. Az-Zumar : 39, sebagai berikut :

)39(‫قل يقو م اعملو ا علي مكا نتكم اني عا مل فسوف تعلمون‬

Artinya : Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, Aku pun
berbuat (Demikian). Kelak kamu akan mengetahui.Ayat Muhkam dan Mutasyabihat hendaknya dapat
dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal yang termasuk dalam objek penting dalam
kajian/pemahaman Alquran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya
perbedaan pendapat antara firqah (Golongan atau kaum yang mengikuti pemahaman atau pendapat
yang keluar dari pemahaman jama'ah muslimin) satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah
pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang jelas
(muhkam) dan yang belum jelas (mutasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat
muhkam mutasyabih) terdapat perbedaan-perbedaan.Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam
memahami ayat-ayat Al-Quran khususnya dalam ranah Muhkam Mutasyabbih, maka kelompok kami
menyusun makalah yangmembahas tentang kedua hal tersebut dengan judul “ Al-Muhkam Al-

Mutasyabih ”.

4
2. Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan makna Muhkam dan mutasyabih?

2.     Apa perbedaan pendapat dalam mengetahui mutasyabih?

3.      Bagaimana Tak'wil:metode mengetahui ayat-ayat mutasyabih?


4.      Bagaimana ilmu tentang Muhkam dan mutyababih (pengetahuan tentang ayat-ayat yang
jelas dan yang samar maknanya) ?
5. Bagaimana sikap ulamak menghadapi ayat-ayat mutasyabih ?

3. Tujuan Masalah

1. Mempelajari dan memahami tentang maksud makna Muhkam dan mutasyabih


2. Mempelajari dan memahami perbedaan pendapat dalam mengetahui mutasyabih
3. Mempelajari dan memahami bagaimana Tak’wil :metode mengetahui ayat-ayat
mutasyabih
4. Mempelajari dan memahami ilmu tentang Muhkam dan mutasyabih
5.mengetahui dan memahami bagaimana sikap ulamak menghadapi ayat-ayat mutasyabih

5
BAB 11
PEMBAHASAN

1. Makna Muhkam dan Mutasyabih


a) Muhkam
Al-Qur’an seluruhnya muhkamah, jika yang dimaksudkan kemahkamahannya
adalah susunan lafal Al-Qur’an dan keindahan nazamnya, sungguh sangat sempurna,
tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya maupun
dalam segi maknanya. Dengan pengertian inilah Allah menurunkan Al-Qur’an
sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya :“Sebuah kitab yang telah
dikokohkan ayat-ayatnya.” (QS. Hud [11]:1)
b) Mutasyabih
Kita dapat mengatakan bahwa seluruh Al-Qur’an adalah mutasyabihah jika kita
kehendakidengan kemutasyabihannya ialah kemutamatsilan (serupa atau sebanding)
ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghah maupun dalam bidang i’jaz dan kesulitan
kita
memperlihatkan kelebihan sebagian suku atau yang lainnya. Dengan pengertian inilah
Allah menurunkan Al-Qur’an seperti yang dilandaskan dalam firman-Nya :“Allah
telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu sebuah kitab yang ayat-ayatnya
serupa, lagi berulang-ulang.” (QS. Az-Zumar [39]:23) 1

2. Perbedaan pendapat dalam mengetahui Mutasyabih


Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang definisi muhkam dan
mutasyabihat dalam maknanya secara khusus, perbedaan pendapat juga terjadi
dalammaknanya secara khusus, perbedaan pendapat juga terjadi dalam masalah ayat
yang mutasyabih. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf
(berhenti) dalam ayat, “Wama nyalamu ta’wilahu illallah, war-rasikhuna fil’ilmi
yaquluna amanna bihi.“ Apakah kedudukan lafaz ini sebagai huruf isti’naf
(permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah”
ataukah ia ma’thuf sedangkan lafazh “wa yaquluna” menjadi hal dan waqafnya pada
lafazh “War-rasikhuna fil ‘ilmi.”Pendapat pertama, mengatakan “isti’naf”. Pendapat
ini didukung oleh sejumlah tokoh seperti Ubay bin Kha’ab, Ibnu Abbas, sejumlah
sahabat, tabi’in dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain dengan keterangan yang
diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak-Nya, bersumber dari Ibnu Abbas,
bahwa ia membaca; “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah, war-rasikhuna fil’ilmi
yaquluna amanna bihi.“Juga dengan qira’at Ibnu Mas’ud , “Wama ya’lamu ta’wilahu
illallah, warrasikhuna fil’ilmi yaquluna amanna bihi.“, dan dengan ayat itu sendiri
yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti hal-hal yang
mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang hatinya “condong kepada
kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.”Untuk mendudukan dua kubu yang

6
saling kontradiktif tersebut, ta’wil merupakan suatu alternatif jawaban yang dapat
mengkompromikan antara keduanya. Sebab, dengan ta’wil akan

3. Ta’wil : Metode memahami Ayat-ayat Mutasyabihat


dapat dilihat bahwa antara kedua pendapat diatas tidak terdapat pertentangan.
Ta’wil sendiri dapat dipergunakan untuk beberapa makna, antara. Pertama ta’wil
dengan makna tafsir (menerangkan atau menjelaskan), yaitu menafsirkan suatu kalan
dan menjelaskan maknanya, baik yang sesuai zhahirnya maupun tidak. Dan inilah
yang dimaksudkan oleh Mujahid dengan perkataannya: “Sesungguhnya para ulama
mengetahui ta’wilnya, yakni mengetahui ta’wilnya alqur’an”. Dalam hal ini antara
takwil dengan tafsir tidak ada perbedaanya: kedua, takwil dengan makna esensi yang
dimaksud dari suatu perkataan. Artinya kalam itu merujuk kepada makna hakikinya
yang merupakan esensi yang sebenarnya. Untuk makna yang kedua ini antara term
ta’wil dan tafsir memiliki perbedaan yang sangat mendasar.Kaitannya dengan
pemahaman terhadap ayat-ayat mutasyabihat, maka bagi golongan yang mengatakan
bahwa bacaan QS.Ali Imran/3:7, berhenti (waqaf) pada kalimat “wa ma ya’lamu
ta’wilahu illa Allah”, dan menjadikan “wa al-rasikhuna fi al-ilmi”, sebagai isti naf
(permulaan kalimat), maka ta’wil sebagai esensi dari suatu perkataan. Sehingga dalam
hal ini tidak ada yang mengetahui hakikat zat Allah, esensi-Nya, hakikat hari kiamat,
dan lain-lain yang semisal, kecuali Allah SWT.Sementara itu, bagi golongan yang
mengatakan bahwa berhenti (waqaf) pada kalimat “wa al-rasikhuna fi al-ilmi” dan
menjadikan huruf wawu sebagai huruf ‘athaf dan bukan sebagai isti naf, maka makna
yang dipergunakan adalah makna yang pertama, yaitu ta’wil sama artinya dengan
tafsir, sebagaimana yang dikatakan oleh Muhajid. Maka jika dikatakan bahwa ia
mengetahui ayat-ayat mutasyabihat, maka maksudnya adalah ia mengetahui
tafsirannya.Dari keterangan diatas, maka menjadi jelaslah bahwa pada dasarnya tidak
ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Perbedaan terjadi hanya karena
kedua golongan tersebut. Perbedaan terjadi hanya karena kedua golongan tersebut
mempunyai kerangka berpikir yang berbeda ketika memahami makna ta’wil dan
mengaplikasikannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat.

4. Ilmu tentang Muhkam dan Mutasyabihat (pengetahuan tentang ayat-ayat yang


jelas dan yang samar maknanya)

Kita dapat mengatakan, semua ayat al-qur’an adalah muhkam, kalau yang kita
maksud dengan “muhkam” itu adalah kuat, kokoh, rapih, inda susunannya dan sama
sekali tidak mengandungn kelemahan baik dalam hal lafadz-lafadznya rangkaian
kalimatnya maupun maknanya. Berdasarkan makna itulah Allah berfirman:“Kitab
yang ayat-ayatnya tersusun rapih” (Hud, 1)Kita pun dapat pula mengatakan bahwa
semua ayat al-qur’an mustasyabih, kalau “mutsyabih” itu dimaksudkan sebagai
“kesamaan” ayat-ayatnya dalam hal balaghah dan i’jaz serta dalam hal kesukaran
membedakan mana bagian-bagian al-qur’an yang lebih afdhal. Berdasarkan
pengertian itulah Allah berfirman:“Allah telah menurunkan tutur kata (berupa) kitab

7
(al-qur’an) yang serupa (mutu-utu ayatnya), lagi berulang-ulang (az-zumar g,
23).”Akan tetapi makna “muhkam” dan “mutsyabih” yang terdapat di dalam dua ayat
tersebut di atas, bukanlah yang menjadi maksud pembhasan kami. Soal “muhkam” dn
“mutasyabih” yang menjadi arah pembahasan kami ialah yang pengertiannya yang
terdapat di dalam firman Allah:
Dialah (Allah) yang menurunkan al-kitab (al-qur’an) kepada kalian. Diantara
(sisi)-nya terdapat ayat-ayat muhkamat. Itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an, dan yang
lain adalah ayat-ayat mutasyabihat adapun orang yang dalam hatinya terdapat
kecenderungan sesat, mereka itu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (dengan maksud)
untuk menimbulkan fitnah (kekacauan) untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta’wilnya selain Allah. Sedang orang-orang yang berilmu
mendalam (pasti) berkata : “Kami mengimani ayat-ayat mutasyabiha, (karena)
semuanya itu (yang muhkamat & yang mutasyabihat) datang dari sisi Tuhan kami”.
4“Dan sungguh tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (dari semuamya itu)
kecuali orang-orang yang berakal” (AS. Ali-Imran, 7)
5. Sikap ulama menghadapi ayat-ayat mutasyabihat
Dalam Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat Mutasyabihat yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surat ar-rahman[55]:27:
)27(‫وينقي وجه ربك ذو وا الجلل واالكرا م‬
Terjemahan: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dankemuliaan. Atau dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman:
)5(‫الرحمن علي العرش استوي‬
jemahan:(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yangbersemayam di atas 'Arsy.

Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua
mazhab.19:
a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat
Mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka
mencucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan
mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allahsendiri. Karena mereka menyerahkan urusan
mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab
Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia
berkata : Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul),mempertanyakannya
bidah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini
dari majelis saya.Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap
orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pastibukan dimaksudkan oleh
ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan
dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini
Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud
yang sebenarnya menurut syari’at dipandangbidah (mengada-ada).Kesahihan mazhab
ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas : Dan tidak mengetahui
takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami
mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnyadari al-Hakim dalam
mustadraknya).20
b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna
lahirnyamustahil

8
kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula
Muawwallah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang
abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan.
Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas
hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah
dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan
kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistempenafsiran ayat-ayat
Mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. Alasan mereka berani menafsirkan
ayat-ayat Mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah
memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan
manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil
kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk
melakukannya. 22 Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka
juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis
riwayat Ibnu al-Mundzir yangberbunyi : “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan
tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”.
Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R.
Ibnu al-Mundzir)23Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa
Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas.
Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak
memutuskan).Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta
mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya. Adapun penulis makalah ini
sendiri lebih sepakat denganmazhab kedua, mazhab khalaf. Karena pendapat mazhab
khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari
semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang
yang benar-benar tahu isi Al-Qur’an, ataudalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-
rasikhuna fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas.Sejalan dengan ini,
para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak
dikhawatirkan jatuh kedalam penafsiran dan penakwilan yang menurut
Tuhansalah.Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan
pendapatnya dengan argumen aqli.

9
Kesimpulan

Adapun yang dapat penulis simpulkan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya,
sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukanpentakwilan.
2. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan
baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
3. Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam alqur’an yang
para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu
pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
4. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud
Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua
ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat
ayatnya dalam hal Balaghah dan I’jaznya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, M.Hasbi, Teungku, Prof.Dr. 2009. Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulum


al-qur’an). Semarang:
Pustaka Rizki Putra
Al-Qaththan, Manna, Syaikh. 2005. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta
Timur: Pustaka AlKautsar
Ichwan, Nor, Muhammad. 2002. Memahami Bahasa Al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
As-Shalih, Subhi, Dr. 1990. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus

11

Anda mungkin juga menyukai