Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus


(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.

Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan kegagalan relatif


sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan
glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi
insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronis yang
memerlukan terapi medis secara berkelanjutan. Penyakit ini semakin
berkembang dalam jumlah kasus begitu pula dalam hal diagnosis dan terapi.
Dikalangan masyarakat luas, penyakit ini lebih dikenal sebagai penyakit gula atau
kencing manis. Dari berbagai penelitian, terjadi kecenderungan peningkatan
prevalensi DM baik di dunia maupun di Indonesia. Menurut International
Diabetes Federation (IDF) hingga tahun 2013 telah tercatat sebanyak 382 Juta
kasus terdiagnosis DM di seluruh dunia, angka ini diperikirakan akan terus
meningkat hingga menembus angka 532 juta jiwa pada tahun 2035. Data dari
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2013
diperkirakan sekitar 6,5% populasi penduduk Indonesia mengalami keadaan DM,
dengan perkiraan angka sebesar 12,6 juta jiwa.

1
Sedangkan Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa klit putih berkisar antara 3%-6%
dari jumlah pen- duduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat
cepat dalam 10 tahun terakhir.3 Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat
dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di ta- hun 2010.4 Di
Indonesia, kekerapan dia- betes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa
tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.
Hingga saat ini Diabetes Melitus masih menjadi tantangan bagi
masyarakat dunia dan praktisi kesehatan khususnya untuk mencari jalan keluar
dan usahan terapi terbaik untuk mengembalikan fungsi fisiologis tubuh penderita
Diabetes Melitus.

2
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. S
b. Umur : 54 tahun
c. Tanggal Lahir : 23 Juni 1964
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
g. Alamat : Tegal Rejo, Muara Enim
h. No. Med Rec/ Reg : 118282
i. Tanggal masuk RS : 12 September 2018

II. ANAMNESIS
(dilakukan autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan anak pasien pada 17
September 2018, pukul 10.00 WIB)

KeluhanUtama
Jempol kaki yang menghitam sejak 1 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


+ 4 tahun lalu, pasien mengeluh nafsu makan meningkat, rasa ingin minum terus-
menerus. Pasien juga mengeluh frekuensi buang air kecil meningkat terutama ada malam
hari. Urin berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri saat BAK, BAK anyang-anyangan
disangkal. Nyeri pada perut disangkal. Pasien merasa tidak nyaman kemudian berobat ke
klinik dan dilakukan pemeriksaan gula darah, didapatkan kadar gula darah yang tinggi.
Pasien didiagnosa kencing manis dan diberi obat tablet yang harus dikonsumsi sebanyak
3x/hari. Pasien rutin kontrol ke klinik namun kadar gula darah tetap tinggi. Dokter
menyarankan tambah obat suntik untuk menurunkan kadar gula darah. Obat suntik yang
diberikan terdiri dari 2 jenis, satu diberikan pada malam hari sebanyak satu kali dan satu
diberikan pada pagi, siang, dan sore hari. Pasien tidak rutin menggunakan obat suntik.
+ 3 bulan SMRS, pasien mengeluh timbul bisul kecil di ibu jari kaki kanan berwarna
putih dengan permukaan kasar, nyeri (+), pasien mengeluh kebas pada kedua telapak kaki
namun lebih berat pada kaki kanan, pandangan kabur (-). Pasien merendam kaki di air

3
hangat setiap hari. Pasien juga mengeluh kadar gula darah tetap tinggi, + 300 mg/dL. Pasien
belum berobat.
+ 1 minggu SMRS jempol kaki menghitam, bengkak (+), nyeri (+), darah (+), sekret
(-), keram (-). Punggung kaki juga membengkak dan terdapat kemerahan. Demam (-),
pandangan kabur (-). Pasien dibawa ke IGD RSUD HM Rabain, Muara Enim dengan jempol
kaki bengkak (+), nyeri (+), darah (+), sekret (+).

Riwayat Penyakit Dahulu


– Riwayat hipertensi ada (±4 tahun yang lalu, minum obat tidak teratur)
– Riwayat DM ada (±4 tahun yang lalu, minum obat tidak teratur)
– Riwayat trauma disangkal
– Riwayat penyakit jantung koroner disangkal

Riwayat Pengobatan
Riwayat minum obat amlodipine dan metformin namun tidak teratur
Riwayat penggunaan kontrasepsi disangkal

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat diabetes melitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan pada tanggal 17 September 2018)
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis
3. Tekanan darah : 130/90 mmHg
4. Nadi : 76 x/menit, irama reguler, isi cukup, dan tegangan cukup.
5. Pernapasan : 20 x/menit, regular
6. Suhu aksila : 36,5 oC
7. Berat badan : 58kg

4
8. Tinggi badan : 156cm
9. IMT : 23,8
10. Status gizi : Risiko obesitas

b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, alopesia tidak
ada.
2. Mata
Edema palpebra tidak ada, konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, Refleks Cahaya (+/+).
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi lapang, sekret (-),
epistaksis (-).
4. Mulut
Bibir kering, sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah berselaput (-), atrofi
papil (-), Tonsil normal, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri tekan
mastoid (-)
6. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
 Inspeksi : Statis dan dinamis, simetris kanan = kiri
 Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
 Auskultasi : vesikuler (+) Normal, ronkhi (-), wheezing (-)

5
Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kiri linea aksilaris anterior ICS V sinistra
Batas jantung kanan linea parasternalis dekstra ICS VI
 Auskultasi : HR = 76 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
 Inspeksi : cembung, ascites (-), venektasi (-)
 Palpasi : nyeri tekan (-) di seluruh region abdomen, hepar,
lien tidak teraba.
 Perkusi : timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+)
9. Genitalia : Tidak diperiksa
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar pucat (-)
Status lokalis: Pada digiti I pedis dextra tampak jaringan nekrotik,
ukuran 3x3 cm, bau (+), pus (+), edema (+), eritema (+), nyeri (+),
teraba hangat (+)

6
A B

Gambar 1. Regio digiti 1 tampak jaringan nekrotik, ukuran 3x3 cm, pus (+), edema (+), eritema (+)

ABI score: Dextra : 1


Sinistra : 1
Tes sensibilitas extremitas bawah:
Pasien merasa baal/kurang rasa pada daerah jempol kaki kanan dibandingkan jempol
kaki kiri

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (12 September 2018)
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Hb 12,2 g% L 14-18, P 12-16
Leukosit 18.800 mm3 5.000-10.000

7
Trombosit 505.000 mm3 150.000-400.000
Bleeding Time 3 menit 1-7
Clothing Time 7 menit 5-15
Hematokrit 35 % L 40-50, P 37-42
BSS 569 mg/dL 76-115
Ureum 16 mg/dL 10-50
Kreatinin 0,8 mg/dL L 0,9-1,3, P 0,6-1,1
HbsAg Non-reaktif negatif

b. EKG

Gambar 2. Hasil EKG

8
c. X-ray

Gambar 2. Foto Rontgen Thorax PA

Gambar 3. Foto Rontgen Pedis Dextra

9
V. Diagnosis
Ulkus diabetikum wagner III pada pedis dextra + DM tipe 2 + osteomielitis

VI. Diagnosis Banding


• Peripheral Artery Disease
• Vaskulitis

VII. Anjuran Pemeriksaan


• HbA1c, faal hemoestasis, urinalisis, kultur mikroorganisme ulkus.
• Rontgen pedis sin AP/Lat
• CT Angiography

VIII. Daftar Masalah


 Bengkak pada kaki
 Hiperglikemia

IX. Tatalaksana
Non Farmakologis
– Perawatan kaki diabetik
– Edukasi
– Kebutuhan energi 1260 kkal (189 kkal protein, 315 kkal lemak, 756 kkal
karbohidrat)
– Dianjurkan mengkonsumsi serat sebanyak 25gram/hari

Farmakologis
 Kurva BSS
 IVFD RL gtt xx/m
 Inj. Cefoperazone 2x1gr
 Inj Dexketoprofen 1x1 amp
 Insulin basal 1x18iu Insulin regular 3x16iu
 Amikasin 1x250mg
 Miniaspi 1x80mg
 Metformin 3x500mg

10
X. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

XI. Follow Up
Tanggal 15 September 2018
S Nyeri pada kaki kanan (+)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 78 x/menit irama reguler, isi cukup, dan
tegangan cukup.
Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 36,5 oC

Keadaan spesifik
BSS 310mg/dL
Kepala Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak
mudah dicabut, alopesia tidak ada.

Mata Edema palpebral (-), konjungtiva palpebral pucat


(-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,
refleks cahaya (+/+)

Leher JVP (5-2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax: Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)


Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak
teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : HR = 78x/menit, irreguler, murmur
(-), gallop (-)

11
Abdomen Inspeksi: cembung, ascites (-), venektasi (-)
Palpasi: nyeri tekan (-), hepar, lien, ginjal tidak
dapat dinilai.
Perkusi: timpani di seluruh region abdomen
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas
Akral hangat (+), palmar pucat (-)
Status lokalis: Pada digiti I pedis dextra tampak
jaringan nekrotik, ukuran 3x3 cm, bau (+), pus
(+), edema (+), eritema (+), nyeri (+), teraba
hangat (+)

A Ulkus diabetikum wagner III pedis dextra + DM


tipe 2 + osteomielitis
P Non Farmakologis
 Perawatan kaki diabetik dengan luka
 Edukasi
 Kebutuhan energi 1260 kkal (189 kkal
protein, 315 kkal lemak, 756 kkal
karbohidrat)
 Dianjurkan mengkonsumsi serat sebanyak
25gram/hari
Farmakologis
 Kurva BSS
 IVFD RL gtt xx/m
 Inj. Cefoperazone 2x1gr
 Inj Dexketoprofen 1x1 amp
 Insulin basal 1x18iu Insulin regular
3x16iu
 Amikasin 1x250mg
 Miniaspi 1x80mg

Tanggal 17 September 2018


S Nyeri pada kaki kanan (-)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 74 x/menit irama reguler, isi cukup, dan
tegangan cukup.
Pernapasan 18 x/ menit
Temperatur 36,7 oC

12
Keadaan spesifik
BSS 383 mg/dL
Kepala Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak
mudah dicabut, alopesia tidak ada.

Mata Edema palpebral (-), konjungtiva palpebral pucat


(-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,
refleks cahaya (+/+)

Leher JVP (5-2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax: Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)


Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak
teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea
parasternalis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : HR = 78x/menit, irreguler, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi: cembung, ascites (-), venektasi (-)


Palpasi: nyeri tekan (-), hepar, lien, ginjal tidak
dapat dinilai.
Perkusi: timpani di seluruh region abdomen
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas
Akral hangat (+), palmar pucat (-)
Status lokalis: Pada digiti I pedis dextra tampak
jaringan nekrotik, ukuran 3x3 cm, bau (+), pus
(+), edema (+), eritema (+), nyeri (+), teraba
hangat (+)
A Ulkus diabetikum wagner III pedis dextra + DM
tipe 2 + osteomielitis
P Non Farmakologis
 Perawatan kaki diabetik dengan luka

13
 Edukasi
 Kebutuhan energi 1260 kkal (189 kkal
protein, 315 kkal lemak, 756 kkal
karbohidrat)
 Dianjurkan mengkonsumsi serat sebanyak
25gram/hari
Farmakologis
 Kurva BSS
 IVFD RL gtt xx/m
 Inj. Cefoperazone 2x1gr
 Inj Dexketoprofen 1x1 amp
 Insulin basal 1x22iu Insulin regular
3x20iu
 Amikasin 1x250mg
 Miniaspi 1x80mg
 Metformin 3x500mg
 Konsul bedah untuk debridemen dan
amputasi

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan suatu kondisi hiperinsulinemia tubuh
akan tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena
terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor
insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah)
akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan
berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin
lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya
glukosa.Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya
asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan
sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis
setelah terjadi komplikasi (American Diabetes Association 2010).

3.2 Patofisiologi Diabetus Melitus Tipe 2


DM tipe 2 merupakan kondisi multifaktorial. Sebagian besar pasien DM
tipe 2 adalah pasien obesitas atau dengan lemak visceral yang menonjol. Keadaan
ini berhubungan dengan resistensi insulin. Secara fisiologis tubuh dapat mengatasi
resistensi insulin yang terjadi dengan meningkatkan jumlah sekresi insulin untuk
menghindari hiperglikemia. Resistensi insulin secara bertahap dapat menyebabkan
hiperglikemia yang awalnya tidak terdapat gejala klasik diabetes.
Gabungan antara defek sekresi dan resistensi insulin menyebabkan
hiperglikemia. Diperkirakan pada pasien DM mengalami kehilangan 50% masa
sel beta pankreas yang menyebabkan ketidakseimbangan antar sekresi insulin dan
resistensi insulin.

10

15
11

3.3 Epidemiologi
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa klit putih berkisar antara 3%-6% dari
jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat
dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari
6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010. Di
Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa
tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%. Pada tahun 2006,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
bekerja sama dengan bidang penelitian dan badan pengembangan kesehatan
melakukan survei di Jakarta melibatkan 1591 subyek. Hasil dari survei tersebut
melaporkan prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1%. Sebesar
3% yang sudah terdeteksi dan 11,2% yang belum terdeteksi hal ini membuktikan
kejadian DM yang belum terdiagnosis hampir 3x lipat.

11
12

Peningkatan kemakmuran suatu populasi dan kenaikan kekerapan diabetes


secara global memperkirakan dalam kurun waktu 1atau 2 dekade yang akan
datang kekerapan diabetes akan meningkat drastis.

3.4 Diagnosis
Diagnosis DM bergantung pada pemeriksaan glukosa darah. PERKENI
membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya
gejala khas DM dan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka
yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, pruritus vulva, dan disfungsi ereksi pada
pria. Pemeriksaan glukosa darah dapat dilakukan dua kali jika terdapat gejala
tidak khas dari DM.

Tes Glukosa Glukosa Tes Toleransi


Plasma Plasma Glukosa Oral
Stadium Puasa Sewaktu (TTGO)

 126 mg/dl  200 2 jam PP  200


mg/dl + mg/dl
Diabetes
gejala
klasik

Glukosa Toleransi Glukosa


Gangguan
Puasa Terganggu -> 2
Homeostasis
Terganggu jam PP  140 dan
Glukosa
 100 dan   200 mg/dl
(PREDIABETES)
126 mg/dl

Normal < 100 mg/dl < 140 mg/dl

12
13

Faktor resiko seperti aktivitas fisik kurang, riwayat keluarga penderita DM


pada turunan pertama, masuk kelompok etnik resiko tinggi, wanita dengan
riwayat melahirkan lebih dari 4000 gram, dan hipertensi dilakukan tes toleransi
glukosa tergganggu (TTGO). Dalam menentukan toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT) tes penyaring atau TTGO bisa
dilakukan selain itu dapat menentukan langkah terapi selanjutnya untuk pasien.

TTGO

GD 2 jam pasca pembebanan

≥ 200 140 - 199 < 140

DM Normal TGT

3.5 Komplikasi
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi
vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika
Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD),
nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.
Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama
setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat
komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes
lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang
dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah:

13
14

3.5.1 Kerusakan saraf (Neuropati)


Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta
susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal
maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf
tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah
kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan
saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada
populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati
pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 13.1% s/d 45.0%.

3.5.2 Kerusakan ginjal (Nefropati)


Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah.
Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal
bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk
ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun
tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena
tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.
Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf.

14
15

Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d


37.6% pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi.
Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi
klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18.9%
s/d 42.1%. Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar
0.7% s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada
populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada
populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 9.2% s/d 32.9%.

3.5.3. Kerusakan mata (Retinopati)


Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab
utama kebutaan.
Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1)
retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang
sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2)
katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga
menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah
yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata
sehingga merusak saraf mata. Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe 1
berkisar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam
penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi retinopati
pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 10.1% s/d 55.0%.

3.5.4 Penyakit jantung koroner (PJK)


Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan
penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah.
Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat,
sehingga kematian mendadak bisa terjadi.

15
16

Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (baik


tipe 1 dan
2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d
43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari
prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan
Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes tipe
2.

3.5.5 Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2)
berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5%
dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi
stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar
4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.

3.5.6 Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan
keluhanyang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan
ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya
serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko
serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila
penderita diabetes juga terkena hipertensi.

3.5.6.1 Penyakit pembuluh darah perifer


Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan
kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat
terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes
daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh
darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila
diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan

16
17

wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD


disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau
luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami
penyempitan pada pembuluh darah jantung.

3.5.7 Gangguan pada hati


Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes
tidak makan gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver).
Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes
itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes,
penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B
atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi
orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan
vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis
hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang
hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering
ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau
fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2
dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan
pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.

3.5.8 Penyakit paru


Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis
paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik
dan secara sosioekonomi cukup.

3.5.9 Gangguan saluran cerna


Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan
karena kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf
otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai

17
18

dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa


pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar
gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal
serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan
muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan
saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran
makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang
diminum.

3.5.10 Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan
tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga
penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah
mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru- paru, kulit, kaki,
kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi
juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan
penderita terhadap adanya infeksi.

3.6 Penatalaksanaan
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi
pada DM tipe-2, dan sebagian besar mengenai organ vital yang
dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif
untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko
kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan
DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu:
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi
farmakologis.

A. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan

18
19

perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan


keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif
dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki
perilaku sehat.
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha
pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami
penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/
komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible,
ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara
mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang
diperlukan.
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan
glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,
berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi
asupan kalori dan diet tinggi lemak.

B. Terapi Gizi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu
makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang
dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%,
protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat
sekitar 25g/hari.

C. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-
masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan
yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda
dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas

19
20

insulin.

D. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang
saat ini ada antara lain:

1. OBAT HIPOGLIKEMIK
ORAL (OHO)

Pemicu sekresi insulin:


a. Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi
b. Glinid
• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan
pada sekresi insulin fase pertama.
• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin:

a. Biguanid
• Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
• Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin,
dan menurunkan produksi glukosa hati.
• Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes

20
21

gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.

b. Tiazolidindion

Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah


protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa
perifer.
• Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan.

Penghambat
glukoneogenesis
: Biguanid
(Metformin).
• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga
mengurangi produksi glukosa hati.
• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal
dengan kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta
pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
• Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonylurea.
• Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)
namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat
glukosidase
alfa : Acarbose
• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
• Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia
seperti golongan sulfonilurea.
• Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu

21
22

kembung dan flatulens.


• Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like
peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada
makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi
insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat
diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4.
Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan
menghambat penglepasan glukagon.

II. OBA
T
SUNTI
KAN
Insulin
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah
d. Insulin kerja panjang
e. Insulin campuran tetap

Agonis GLP-1/incretin mimetik

• Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa


menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan
glukagon
• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea
• Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual
muntah Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka
dapat dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup
sehat (GHS). Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang

22
23

terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan


makan secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur.
Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa darahnya
dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah belum
terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan


ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Pemberian OHO berbeda- beda tergantung jenisnya.
Sulfonilureadiberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid
diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa diberikan
sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama
makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada
jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau
sebelum makan.
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah
belum terkendali maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi
kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda, misalnya
golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan
kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada
2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO
atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal.
Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja
menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari
menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak
terkendali maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih
kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi
insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan
insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa
darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk
basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial.

23
24

Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan


cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan,
atau minimal 2 kali setahun.

Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi.
Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c
dan lipid mencapai target sasaran.

Metformin dan DM tipe 2


Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin
mempunyai beberapa efek terapi antara lain menurunkan kadar
glukosa darah melalui penghambatan produksi glukosa hati dan
menurunkan resistensi insulin khususnya di hati dan otot.
Metformin tidak meningkatkan kadar insulin plasma. Metformin
menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan
sensitivitas insulin melalui efek penngkatan ambilan glukosa di
perifer. Studi-studi invivo dan invitro membuktikan efek
metformin terhadap fluidity membran palsma, plasticity dari
reseptor dan transporter, supresi dari mitochondrial respiratory
chain, peningkatan insulin-stimulated receptor phosphorylation
dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi translokasi GLUT4
transporters, dan efek enzimatik metabolic pathways.

Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuan untuk


kendali glikemik, tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler,
karena ancaman mortalitas dan morbiditas justru datang dari
berbagai komplikasi kronik terebut. Dalam mencapai tujuan ini,
Metformin salah satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi

24
25

untuk kendali glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi


endotel, hemostasis, stress oksidatif, resistensi insulin, profil lipid
dan redistribusi lemak. Metformin terbukti dapat menurunkan berat
badan, memperbaiki sensileading tivitas insulin, dan mengurangi
lemak visceral.

Pada penderita perlemakan hati (fatty liver), didapatkan


perbaikan dengan penggunaan Metformin. Metformin juga terbukti
mempunyai efek protektif terhadap komplikasi makrovaskular. 14
Selain berperan dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-studi
terbaru juga mendapatkan peranan neuroprotektif Metformin dalam
memperbaiki fungsi saraf, khususnya spatial memory function15
dan peranan proteksi Metformin dalam karsinogenesis. Diabetes
tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai
macam kanker terutama kanker hati, pankreas, endometrium,
kolorektal, payudara, dan kantong kemih. Banyak studi
menunjukkan penurunan insidens keganasan pada pasien yang
menggunakan Metformin.

Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru


dari the American Diabetes Association/European Association for
the Study of Diabetes (ADA/EASD) dan the American Association
of Clinical Endocrinologists/American College of Endocrinology
(AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai
monoterapi lini pertama. Rekomendasi ini terutama berdasarkan
efek metformin dalam menurunkan kadar glukosa darah, harga
relatif murah, efek samping lebih minimal dan tidak meningkatkan
berat badan.1,16 Posisi Metformin sebagai terapi lini pertama juga
diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang
diberi Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan

25
26

morbiditas. UKPDS juga mendapatkan efikasi Metformin setara


dengan sulfonilurea dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Ito
dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin juga efektif
pada pasien dengan berat badan normal.

II. Diabetic Foot’s


Definisi
Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes
mellitus yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah
gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi.
Kaki diabetes merupakan gambaran secara umum dari kelainan
tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes mellitus
yang diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang
sering disebut dengan ulkus kaki diabetika yang pada tahap
selanjutnya dapat dikategorikan dalam gangrene, yang pada
penderita diabetes mellitus disebut dengan gangrene diabetik
(Misnadiarly, 2006).

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik


diabetes mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang
dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. Ulkus diabetika
merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya
komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi
dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang
sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi
disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Tambunan, 2006).

Klasifikasi Kaki Diabetes

Terdapat berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari


klasifikasi oleh Edmonds dari King’s College Hospital London,
klasifikasi Liverpool, klasifikasi wagner, klasifikasi texas, serta
yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan oleh

26
27

International Working Group On Diabetic Foot karena dapat


menentukan kelainan apa yang lebih dominan, vascular, infeksi,
neuropatik sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat
tertuju dengan baik

A. Klasifikasi Edmonds (2004 – 2005)

- Stage 1 : Normal foot


- Stage 2 : High Risk Foot
- Stage 3 : Ulcerated Foot
- Stage 4 : Infected Foot
- Stage 5 : Necrotic Foot
- Stage 6 : Unsalvable Foot

B. Derajat kerusakan ulkus kaki diabetes

menurut Wagner Grade 1 : Ulkus superfisial

tanpa terlibat jaringan dibawah kulit


Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang /
pembentukan abses. Grade 3 : Ulkus dalam
dengan selulitis/abses atau osteomielitis Grade 4 :
Tukak dengan Gangren lokal
Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki

C. Klasifikasi Liverpool

Klasifikasi primer : - Vascular


- Neuropati
- Neuroiskemik

Klasifikasi sekunder : - Tukak sederhana, tanpa komplikasi


- Tukak dengan komplikasi

27
28

D. Klasifikasi PEDIS menurut International Consensus On The


Diabetic Foot

Impaired Perfusion 1 = None


2 = PAD + but not critical
3 = Critical Limb Ischemia

Tissue loss / Depth


1 : Superficial full thickness, not deeper than dermis
2 : Deep ulcer, below dermis. Involving
subcutaneous structures, fascia, muscle or tendon
3 : All subsequent layers of the foot involved
including bone and or joint

Infection
1 : No symptoms or signs of infection
2 : Infection of skin and subcutaneous tissue only
3 : Erythema > 2 cm or infection involving
subcutaneous structure, no systemic sign of inflammatory
response
4 : Infection with systemic manifestation : fever, leucocytosis,
shift to the left metabolic instability, hypotension, azotemia

Impaired sensation
1 = Absent
2 = Present

3.2 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan,
nyeri kaki saat istirahat., sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan
(nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan
poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit
kering.

28
29

3.3 Diagnosis
Diagnosis kaki diabetes meliputi :
1. Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka / ulkus pada kulit atau
jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi / rasa
berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis
menurun atau hilang.

2 Pemeriksaan Penunjang :
X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui apakah ulkus kaki diabetes menjadi infeksi dan
menentukan kuman penyebabnya

3.4 Patogenesis Kaki Diabetes


Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang
diabetes mellitus adalah ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes
disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut trias yaitu :
iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita diabetes mellitus
apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi
komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan
jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa
sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan
induksi, parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat
berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderitadiabetes
mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan
meneybabkan lesi dan menjadi ulkus kaki diabetes (Waspadji,
2006).

Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh


karena kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan
kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan

29
30

menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi


pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi,
dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung
kaki atau tungkai. Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi
dimana arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak
pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki
dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai
darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan
dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan
yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses
angiopati pada penderita diabetes mellitus berupa penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai
bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari
tungkai menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes.

Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar


gula darahnya akan menyebabkan penebalan tunika intima
(hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh darah besar
dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin
keluar kapiler sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan
dan timbul nekrosis jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika.
Eritrosit pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali
akan meningkatkan HbA1C yang menyebabkan deformabilitas
eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu,
sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu sirkulasi jaringan
dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar
fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit menyebabkan
tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah
menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada
dinding pembuluh darah yang akan mengganggu sirkulasi darah.

30
31

Penderita diabetes mellitus biasanya kadar kolesterol total, LDL,


trigliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar
jaringan akan menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan,
merangsang reaksi peradangan yang akan merangsang terjadinya
aterosklerosis. Perubahan / inflamasi pada dinding pembuluh darah,
akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah,
konsentrasi HDL (highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak
biasanya rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan
meningkatkan kerentanan terhadap aterosklerosis.

Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan


menurun sehingga kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul
ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Pada
penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak
terkendali menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi
khemotoksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi
fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi
mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem
plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki
diabetes, 50% akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa
darah yang tinggi karena merupakan media pertumbuhan bakteri
yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetika yaitu
kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman
anaerob yaitu Clostridium Perfringens, Clostridium Novy, dan
Clostridium Septikum.

31
32

BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada pasien ini dapat ditegakan diagnosis dari identifikasi pasien,


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Keterlambatan
penegakkan diagnosa dapat mengakibatkan prognosis menjadi buruk.
Identifikasi pasien, memegang peranan penting dalam menegakkan
diagnosis. Pasien perempuan usia 54 tahun dengan gejala klinis bengkak dan nyeri
pada ibu jari kaki kanan dan kedua telapak kaki dirasakan baal atau penurunan
sensibilitas. Bengkak dan rasa baal atau penurunan sensibilitas pada kaki pasien
Ny. S dapat diakibatkan oleh riwayat pasien menderita diabetes mellitus tipe 2
yang sudah diderita selama 4 tahun dan tidak terkontrol. Berdasarkan
epidemiologi diabetes mellitus tipe 2.
Dari hasil pemeriksaan, didapatkan IMT pasien 23,8 kg/m 2 (risiko
obesitas), adanya riwayat hipertensi, riwayat kebiasaan pasien yang jarang
beraktivitas, dan riwayat mengkonsumsi makanan dan minuman manis dan asin
secara berlebihan. Hal tersebut merupakan faktor risiko yang dapat memicu
diabetes mellitus pada pasien.
Pada anamnesis juga didapatkan informasi bahwa pasien tidak
mengkonsumsi dan menyuntikan obat secara teratur, sehingga diabetes mellitus
yang diderita pasien menjadi tidak terkontrol. Hal tersebut dapat menyebabkan
kerusakan berbagai sistem tubuh terutama saraf dan pembuluh darah.
Tingginya kadar gula darah dalam tubuh mengakibatkan peningkatan
glukosa intraseluler dalam saraf sehingga memicu saturasi pada jalur glikolitik
normal. Glukosa yang berlebih akan masuk ke dalam jalur polyol dan diubah
menjadi sorbitol dan fruktosa oleh enzim aldose reductase dan sorbitol
dehydrogenase. Akumulasi sorbitol dan fruktosa menyebabkan berkurangnya
saraf myoinositol. Akhirnya terjadi gangguan perambatan potensial aksi saraf.

32
33

Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal bebas dimana pada DM


terbentuk dari mekanisme glukolisasi, jalur polyol, aktivasi protein kinase C,
aktivasi MAPK, dan dalam mitokondria. ROS merusak mikrovaskular melalui
beberapa cara yaitu penebalan membrane basalis, thrombosis pada arteriol
intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas
eritrosit, berkurangnya aliran darah saraf, dan peningkatan resistensi vascular,
stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.
Iskemia tersebut merupakan penyebab berkembangnya gangrene yang meliputi
makroangiopati dan mikroangiopati. Selain itu, pada pasien DM terjadi penurunan
neurotrophic growth factors, defisiensi asam lemak esensial, dan terbentuknya
hasil akhir glikosilasi yang menumpuk di pembuluh darah endoneurial yang juga
mengurangi aliran darah endoneurial dan hipoksia pada saraf.
Pada pemeriksaan fisik spesifik didapatkan pemeriksaan inspeksi
ekstremitas pada digiti I pedis dextra tampak jaringan nekrotik, ukuran 3x3 cm,
bau (+), pus (+), edema (+), eritema (+), nyeri (+), teraba hangat (+), dan terasa
baal yang menunjukkan telah terjadinya komplikasi neuropati (kerusakan saraf)
pada pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan gula darah sewaktu 529mg/dL
yang menunjukan bahwa pasien hiperglikemi. Kemudian, berdasarkan hasil
pemeriksaan penunjang rontgen pedis dextra, didapatkan hilangnya gambaran
fascia, adanya gambaran litik pada tulang (radiolusen). Sehingga, berdasarkan
hasil temuan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
dapat disimpulkan pasien atas nama Nn. Sumiati, perempuan, 54 tahun
didiagnosis dengan Ulkus diabetikum wagner III + DM tipe 2 + osteomielitis.
Berdasarkan diagnosis, pasien ini diberikan terapi berupa metformin
dengan dosis 3x500mg. Metformin diberikan untuk menurunkan glukosa hepatik,
menurunkan absorbs glukosa intestinal, memperbaiki sensitivitas insulin dengan
cara meningkatkan pengambilan dan penggunaan glukosa perifer. Namun pada
emberian metformin, gula darah pasien masih tidak terkontrol sehingga perlu
dipertimbangkn untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat
oral, yaitu insulin basal dengan dosis 1x18 IU dan insulin regular 3x16 IU.

33
34

Pasien juga diberi terapi berupa cefoperazone dengan dosis 2x1 gr.
Cefoperazone diberikan karena pasien memiliki kecenderungan terjadinya infeksi,
dimana cefoperazone bekerja dengan cara mengahmbat sintesis dinding sel bakteri
dengan cara berikatan pada satu atau lebih Penicillin Binding Protein (PBP) yang
kemudian menghambat tahap terakhir transpeptidase dari sintesis peptidoglikan,
sehingga dinding sel bakteri akan lisis karena aktivitas autolysis enzim dinding sel
dan penghentian pembentukan dinsing sel.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pada kaki, sehingga diberikan terapi
deksketoprofen dengan dosis 1x1 amp (50mg/2ml). Deksketoprofen berhubungan
dengan pengurangan sintesis prostaglandin dengan menghambat aktivitas cox1
dan cox2.
Pasien juga mengalami infeksi yang mengenai jaringan tulang. Hal
tersebut merupakan infeksi serius yang merupakan indikasi untuk pemberian
amikasin dengan dosis 1x250mg. Dimana amikasin bekerja dengan menghambat
sintesis bakteri dengan mengikat 30 strain subunit ribosom.
Selain itu, pasien juga memiliki riwayat darah tinggi yang tidak terkontrol,
sehingga perlu diberikan anti platelet untuk mencegah terjadinya pembentukan
thrombus pada arteri. Oleh karena itu pasien diberikan miniaspi dengan dosis
1x80 mg.
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang dapat kembali berulang,
namun dengan edukasi yang baik dan pengobatan yang adekuat dapat membuat
kondisi tersebut menjadi terkontrol, sehingga prognosis quo ad vitam dan
sanationam pada pasien ini dubia ad bonam. Namun, pada pasien ini sudah terjadi
komplikasi ulkus diabetikum wagner III dan osteomyelitis maka diperlukan
tindakan amputasi, sehingga prognosis quo ad functionam pada pasien ini dubia
ad malam.

34
35

DAFTAR PUSTAKA

A. Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I: Nefrologi dan


Hipertensi. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. p: 519-520.
ADA. 2010. Standars of Medical Care in Diabetes 2010. Journal of Diabetes
care, Vol. 33, 11-61. Diperoleh dari http://care.diabetesjournals.org
ADA. 2012. Diagnosis and Clasification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care,
35(1). care.diabetesjournals.org
ADA. 2012. Standart of Medical Care in Diabetes 2012. Diabetes Care, 35(1).
care.diabetesjournals.org
ADA. 2015. Diabetes Meal Plans and A Healty Diet
Cortas K, et all. Hypertension. Last update May 11 2008. [cited 2017 Mei 26].
Available from: http//:www.emedicine.com.
Kemenkes RI. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Kemenkes RI
KEMENKES. 2009. Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus.
Lam Murni BR Sagala. Perawatan Penderita Hipertensi di Rumah oleh Keluarga
Suku Batak dan Suku Jawa di Kelurahan Lau Cimba Kabanjahe [internet].
c2011 [cited 2017 Mei 26]. p:10-13. Available from:
http://repository.usu.ac.id/.
Lanywati. 2011. Diabetes Melitus Penyakit Kencing Manis. Yogyakarta: Kanisius
M. Yogiantoro. 2006. Hipertensi Esensial. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. p: 599-601.
PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Tipe 2 di
Indonesia. PB PERKENI : Jakarta.
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Penyakit Diabetes Mellitus di Indonesia dalam
http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/diabetes melitus
Riskesdas 2013. Riset Kesehatan Dasar Laporan Nasional 2013. Badan Penelitian
& Pengembangan kesehatan DepKes RI.
Smeltzer, et al. 2008. Brunner & Suddarth’s Texbook of Medical Surgical
Nursing, 11thed. Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, a wotter kluwe
business.
Trisnawati, S. K., & Setyorogo, S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus
Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol.5 Issue 1, 6-11.
WHO. 2013. Diabetes. Dapat di akses pada http://who.int/publications/en/

35
36

Yogiantoro M. Hipertensi Esensial. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi ke IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Riau. Jakarta. 2006: 610-14.

36

Anda mungkin juga menyukai