Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Persalinan sering kali mengakibatkan perlukaan jalan lahir. Luka-luka biasanya
ringan, tetapi kadang-kadang terjadi juga luka yang luas dan berbahaya. Setelah
persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perinium. Pemeriksaan
vagina dan serviks dengan spekulum perlu dilakukan setelah pembedahan
pervaginam. Sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang primipara, bisa timbul
luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam akan tetapi
kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak, khususnya pada luka dekat klitoris.

Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500 – 600 ml selama 24


jam setelah anak lahir. Perdarahan postpartum adalah perdarahan dalam kala IV lebih
dari 500 – 600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir. Perdarahan
postpartum adalah sebab penting kematian ibu ; ¼ dari kematian ibu yang disebabkan
oleh perdarahan ( perdarahan postpartum, plasenta previa, solution plaentae,
kehamilan ektopik, abortus dan ruptura uteri ) disebabkan oleh perdarahn postpartum.

Selain dari itu dimana perdarahan postpartum tidak menyebabkan kematian,


kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anaemia mengurangkan
daya tahan. Maka tugas kita mencegah perdarahan yang banyak, amat penting.
Perdarahan postpartum lebih sering terjadi pada iu – ibu di Indonesia dibandingkan
dengan kejadian di luar negeri. Perdarahan postpartum diklasifikasikan menjadi 2,
yaitu :

1. Early Postpartum : Terjadi 24 jam pertama setelah bayi lahir.

2. Late postpartum : Terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir.

1
B. Tujuan penulisan
Tujuan umum
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang melaksanakan asiuhan kebidanan pada ibu dengan
komplikasi kelainan, penyakit dalam persalinan
Tujuan khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang robekan jalan lahir
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang inversio uteri
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang perdarahan kala IV (primer)

C. Sistematika penulisan
Kata pengantar

Daftar isi

BAB I Pendahuluan

A. Latar belakang
B. Tujuan
C. Sistematika penulisan
BAB II Pembahasan

A. Robekan jalan lahir


1. Perineum
2. Vagina
3. Serviks
B. Inversio uteri
C. Perdarahan kala IV (primer)

BAB III Penutup

A. Kesimpulan
B. Saran

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Robekan Jalan Lahir
1. Robekan perineum

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan
menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya
kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan
menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan
fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.

Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bisa manjadi luas apabila
kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arcus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala
janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah
panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika,
atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal.

Apabila hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek dinamakan robekan
perineum tingkat satu. Pada robekan tingkat dua dinding belakang vagina dan jaringan ikat
yang menhubungkan otot-otot diagfragma urogenitalis pada garis tengah terluka, dan pada
robekan tingkat tiga atau robekan total muskulus spingterani eksternum ikut terputus dan
kadang-kadang dinding rektum ikut robek pula. Robekan perineum yang melebihi robekan
tingkat satu harus dilakukan penjahitan. Hal ini dapat dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi
apabila ada kemungkinan plasenta harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu
ditunda sampai plasenta lahir.

Pada robekan perineum tingkat dua, setelah diberi anastesi lokal otot-otot diagfragma
urogenitalis dihubungkan digaris tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan
kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan jaringan-jaringan dibawahnya.

Menjahit robekan tingkat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding depan rektum
yang robek dijahit, kemudian fasi-prarektal ditutup, dan muskulus sfingterani eksternus yang

3
robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti di uraikan untuk robekan
perineum tingkat dua. Untuk mendapat hasil baik terapi pada robekan perineum total, perlu
diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna. Penderita diberi makanan yang
tigdak mengandung selulosa dan mulai hari kedua diberi paraffinum liquidum sesendok
makan 2 kali sehari dan jika perlu pada hari ke 6 diberi klisma minyak.

Etiologi

Umumnya terjadi pada persalinan

1. Kepala janin terlalu cepat lahir


2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Jaringan parut pada perinium
4. Distosia bahu

PENJAHITAN ROBEKAN VAGINA DAN PERINIUM

Terdapat empat derajat robekan yang bisa terjadi saat pelahiran, yaitu :

Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan ikat

Tingkat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot dibawahnya tetapi
tidak menenai spingter ani

Tingkat III : robekan mengenai trnseksi lengkap dan otot spingter ani

Tingkat IV : robekan sampai mukosa rectum.

PENJAHITAN ROBEKAN DERAJAT I DAN II

Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.

 Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.


 Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan
lignokain. Gunakan blok pedendal, jika perlu.
 Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.
 Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.

4
 Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak
terdapat robekan derajat III dan IV.

-          Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus

-          Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.

-          Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter

 Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT


 Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.
 Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan

PENJAHITAN ROBEKAN PERINEUM DERAJAT III DAN IV

Jahit robekan diruang operasi

 Tinjau kembali prinsip perawatan umum


 Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan
lignokain. Gunakan blok pedendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat
dilakukan menggunakn anastesi lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam
melalui IV dengan perlahan ( jangan mencampurdengan spuit yang sama ) jika semua
tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.
 Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.
 Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
 Untuk melihat apakah spingter ani robek.

a. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus


b. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
c. Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan cermat.

 Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT


 Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal, jika ada.
 Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan terkait.
 Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa vagina, kebah kulit
perineum dan ke otot perinatal yang dalam.

5
 Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit area robekan
denagn forcep. Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb, tunggu dua menit  algi kemudian
lakukan tes ulang.
 Jahit rektum dengan jahitan putus-putus mengguanakan benang 3-0 atau 4-0 dengan
jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa.
 Jika spingter robek

-          Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan beretraksi jika robek ).
Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan klem.

-          Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0.

 Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.


 Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan
rektum dan sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang
bersih, steril atau yang DTT.
 Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.

2. Robekan vagina

Robekan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak seberapa sering
terdapat. Mungkin ditemukan sesudah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai
akibat ekstraksi dengan cunam, lebih-lebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan
terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan dengan spekulum.
Perdarahan biasanya banyak, tetapi mudah diatasi dengan jahitan. Kadang-kadang robekan
bagian atas vagina terjadi sebagai akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila ligamentum
latum terbuka dan cabang-cabang arteri uterina terputus, timbul banyak perdarahan yang
membahayakan jiwa penderita. Apabila perdarahan demekian itu sukar dikuasai dari bawah,
terpaksa dilakukan laparatomi dan ligamentum latum dibuka untuk menghentikan
perdarahan, jika hal yang terakhir ini tidak berhasil, arteria hipogastrika yang bersangkutan
perlu diikat.

1. Kolpaporeksis

Kolpaporeksis ialah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi
apabila pada persalinan dengan disproporsi sefalopelvik terjadi regangan segmen bawah

6
bawah uterus dengan serviks uteri tidak terjepit antara kepala janin dan tulang panggul,
sehingga tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina, jika tarikan ini melampaui
kekuatan jaringan terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang
lebih bawah dan yang berfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul
apabila pada tindakan pervaginam dengan memasukkan tangan penolong kedalam uterus
dibuat kesalahan, yang fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar supaya uterus jangan naik
keatas. Gejala-gejala dan pengobatan kolpaporeksis tidak berbeda dengan ruptura uteri.

2. Fistula

Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal yang
sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio sesarea. Fistula dapat terjadi
mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kecing atau rektum,
misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks menjalar
ketempat-tempat tersebut. Jika kandung kencing luka, air kencing segera keluar melalui
vagina. Fistula juga dapat terjadi karena dinding vagina dan kandung kencing atau rektum
tertekan lama antara kepala janin dan panggul, sehingga terjadi iskemia, akhirnya terjadi
nekrosis jaringan yang tertekan, setelah lewat beberapa hari postpartum, jaringan nekrosis
terlepas, terjadilah fistula disertai inkontinensia. Bila ditemukan perlukaan kandung kencing
setelah persalinan selesai, harus segera dilakukan penjahitan, lalu dipasang dauercatheter.
Biasanya hasilnya cukup memuaskan. Fistula akibat nekrosis yang biasanya disertai infeksi
tidak bisa dijahit dengan segera. Kadang-kadang dengan memasang dauercatheter untuk
beberapa lama, fistula kecil dapat menutup sendiri. Apabila fistula tidak sembuh sendiri,
maka sesudah tiga bulan post partum dapat dilakukan operasi untuk menutupnya.

3. Robekan serviks

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara


berbeda daripada yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas
menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi
perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus
berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks
uteri. Dalam keadaan ini serviks harus diperiksa dengan spekulum. Pemeriksaan ini juga
harus dilakukan secara rutin setelah tindakan obstetrik yang sulit. Apabila ada robekan,
serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa cunam ovum, supaya batas antara robekan dapat
dilihat dengan baik. Jahitan pertama dilakukan pada ujung atas luka, baru kemudian diadakan

7
jahitan terus kembawah. Apabila serviks kaku dan his kuat, serviks uteri mengalami tekanan
kuat oleh kepala janin, sedangkan pembukaan tidak maju. Akibat tekanan kuat dan lama ialah
pelepasan sebagian serviks atau pelepasan serviks secara sirkuler. Pelepasan ini dapat
dihindarkan dengan seksio sesarea jika diketahui bahwa ada distosia servikalis.

Apabila sudah terjadi pelepasan serviks, biasanya tidak dubutuhkan pengobatan, hanya
jika ada perdarahan, tempat perdarahan dijahit. Jika bagian yang seviks yang terlepas masih
berhubungan dengan jaringan lain, hubungan ini sebaiknya diputuskan.

Etiologi

a. Partus presipitatus

b. Trauma karena pemakaian alat-alat operasi

c. Melahirkan kepala pada letak sungsang secara paksa, pembukaan belum lengkap

d. Partus lama

PENJAHITAN ROBEKAN SERVIKS

 Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti septik ke vagina dan
serviks
 Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan padasebasian
besar robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui IV secara perlahan
(jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin
untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar
 Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu 
mendorong serviks jadi terlihat
 Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu
 Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati–hati. Letakkan
forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk
melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.
 Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik
atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan) yang seringkali
menjadi sumber pendarahan.

8
 Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan
benang catgut kromik atau poliglikolik 0.
 Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep arteri atau
forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus
berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat mempererat
pendarahan. Selanjutnya :

-          Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.

-          Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep.

B. Inversio uteri

lnversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk kedalam kavum uteri, dapat
secara mendadak atau terjadi perlahan.

Pada inversi uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah
dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan dan biasanya
terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Menurut perkembangannya
inversi uteri dapat dibagi dalam beberapa tingkat:

1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari rahang tersebut.
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina.
3. Uterus dengan vagina, semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina.
Bila uterus berputar balik, sehingga fundus uteri terdapat dalam vagina dengan selaput
lendirnya sebelah luar. Keadaan ini disebut inversio uteri completa. Kalau hanya fundus
menekuk kedalam dan tidak keluar ostium uteri, disebut inversio uteri in completa. Kalau
uterus yang berputar balik itu keluar dari vulva disebut inversio prolaps.

Sebab-sebab :

 Tonus otot rahim yang lemah


 Tekanan atau tarikan pada fundus
 Canalis cervicalis yang longgar

9
Gejala-gejala :

1) Syok
2) Fundus uteri sama sekali tidak teraba atau teraba tekukan pada fundus
3) Kadang-kadang tampak sebuah tumor yang merah diluar vulva ialah fundus yang
terbalik atau teraba tumor dalam vagina
4) Perdarahan
Gejala-gejala klinik

Inversi uteri terjadi spontan atau sebagian akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia
uteri kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran, dapat
menyebabkan masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversi
uteri.

Tindakan yang menyebabkan inversi uteri ialah perasat Crede pada korpus uteri yang
tidak berkontraksi baik, dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari
dinding uterus.

Gejala-gejala inversi uteri pada permulaan tindakan selalu jelas. Akan tetapi apabila
kelainan itu sejak awalnya tumbuh dengan cepat, sering kali timbul rasa nyeri yang keras dan
bisa menyebabkan syok. Rasa nyeri keras disebabkan karena fundus uteri menarik adneksa
serta ligamentum infundibulapelvikum dan ligamenturn rotundum kanan dan kiri ke dalam
terowongan inversi dan dengan demikian mengadakan tarikan yang kuat pada peritonium
parietal. Kecuali jika plasenta yang sering kali belum lepas dari uterus masih melekat
seluruhnya pada dinding uterus, terjadi juga perdarahan.

Diagnosis

Kejadiannya sangat jarang, sekitar 1/20.000 persalinan. Kini akan semakin bertambah jarang
karena jarang dijumpai grandemultipara yang merupakan predisposisi utama terjadi inversio
uteri. Sebagian besar telah menganut Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS)
sehingga jumlah anak terbatas, rata-rata keluarga hanya mempunyai dua anak saja.

Dasar diagnosa inversio uteri :

1. Terjadi peningkatan tekanan intraabdominal mendadak, misalnya batuk-batuk, bersin


pada postpartum sehingga menyebabkan inversio uteri.
2. Inversio uteri yang terjadi menimbulkan :

10
a. Rasa nyeri abdomen bagian bawah
b. Dapat disertai kollap, sekalipun belum terdapat perdarahan sebagai akibat syok
neurogenik
3. Pada palpasi abdomen fundus uteri
4. Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai :
a. Tingkat inversio II/I
b. Inversio uteri tingkat III mudah di diagnosis karena seluruh endometrium telah
berada diluar

Diagnosis tidak sukar dibuat jika diingat kemungkinan inversi uteri. Pada penderita
dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala
III atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak
di atas serviks uteri atau dalam vagina, sehingga diagnosis inversi uteri dapat dibuat.

Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang
serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedang
konsistensi mioma lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang
sekali mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup bulan.

Prognosis

Walaupun inversi uteri kadang-kadang bisa terjadi tanpa banyak gejala dengan
penderita tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan
keadaan gawat dengan angka kematian tinggi (15-70%). Responsisi secepat mungkin
memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.

Penanganan

Terapi inversio uteri

Inversio uteri yang terjadi secara mendadak, sehartusnya dapat dilakukan reposisi pada saat
itu sehingga tidak akan menimbulkan kesulitan dengan terjadinya kontraksi pada segmen
bawah rahim atau servikal sehingga menyulitkan reposisi.

Langkah terapi reposisi inversio uteri adalah :

1. Berikan relaksan padanya sehingga otot rahim menjadi lemas.


2. Relaksan yang dianjurkan adalah :

11
a. Anestei umum
b. Berikan relaksan otot uterus :
- MgSO4 1 gram/IV/selama 4 menit
- Terbutaline 0,125-0,25mg/IV
3. Teknik menurut johnson :
a. Seluruh telapak tangan dimasukkan kedalam vagina untuk mendorong inversio
fundus uteri masuk kembali.
b. Setelah berhasil, lakukan pemijatan bimanual, antara tangan intra uterin dan
tangan lainnya difundus uteri yang telah direposisi.
c. Masukkan bolus uterotonik (oksitosin atau methergin) sehingga timbul
kontraksinya yang dapat mempertahankan fundus uteri di tempatnya.
d. Jika dipandang perlu dapat dipertahankan dengan memasang tampon uterovaginal.
e. Tampon dapat dipertahankan 24 jam atau lebih dan selanjutnya ditarik sedikit
sehingga tidak menimbulkan inversio uteri kembali.
f. Sementara menarik tampon dapat diberikan uterotonik secara drip.
g. Menurut teknik jones :
- Dipergunakan telunjuk, untuk melakukan reposisi fundus uteri sehingga dapat
mencapai posisi semula pada intrauterin.
- Lainnya dapat diikuti seperti dipaparkan diatas.
h. Bila dalam upaya reposisi tersebut plasenta masih melekat, jangan lakukan
pelepasan plasenta, tetapi baru dilakukan setelah reposisi berhasil dengan baik.

C.Perdarahan Kala IV (primer)

Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24 jam setelah
anak lahir. Menurut Wiknjosatro, H (1960) perdarahan umumnya dan perdarahan postpartum
khususnya masih merupakan salah satu dari sebab utama kematian ibu dalam persalinan.
Karena itu ada 3 pokok yang harus dipegang dalam menolong persalinan dengan komplokasi
perdaran postpartum, yaitu : penghentian perdarahan, jaga jangan sampai timbul syok,
penggantian darah yang hilang.

Sebab perdarahan postpartum adalah :

a) Perdarahan atonis

Kemungkinan perdarahan atonis timbul pada:

12
1. Bayi yang besar
2. Kehamilan kembar
3. Hydramnion
Pada ketiga faktor diatas atonia uteri disebabkan karena rahim terlalu direngang, sebab-sebab
lain antara lain:

1) grande multi para


2) solusio plasentae
3) plasenta previa
4) anestesi umum
5) partus lama
6) salah pimpinan kala III: rahim robek kalau dipijat-pijat untuk
mempercepat lahirnya plasenta.
Perdarahan atonis dapat terjadi dalam kala III maupun dalam kala IV.

Gejala-gejala :

1) perdarahan pervaginam
2) konsisitensi rahim lunak
3) fundus uteri naik (kalau pangaliran darah keluar terhalang oleh bekuan darah atau selaput
janin)
4) tanda-tanda syok
Perbedaan perdarahan atonis dengan perdarahan karena robekan servik adalah sebagai
berikut :

Perdarahan karena atonia Karena robekan cervik

 Kontraksi uterus lemah  kontraksi uterus kuat


 Darah berwarna merah  darah berwarna mesh muda karena
tua karena berasal dari berasal dari arteri
vena  biasanya timbal setelah persalinan
operatif

13
Diagnosis

Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam
waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita
telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi lebih
cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah
sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru
tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung, tentu dapat timbul syok.
Diagnosis perdarahan post partum dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan setelah anak
lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya.

Apabila terjadi perdarahan pospartum dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan
untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir, perlu dibedakan
antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir. Pada
perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembek pada palpasi, sedangkan pada
perdarahan karena perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus berkontraksi
dengan baik perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan dimana letaknya perlukaan dalam
jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang baik untuk melakukan
transfusi darah, seharusnya kematian karena perdarahan post partum dapat di cegah. Tetapi
kematian tidak selalu dapat dihindarkan, terutama apabila penderita masuk rumah sakit dalam
keadaan syok. Karena sudah kehilangan darah banyak. Karena persalinan di Indonesia
sebagian besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan pospartum merupakan sebab utama
(terpenting) kematian dalam persalinan.

Di samping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar


kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak
kelak bisa menyebabkan sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis para
anterior sehingga terjadi inefisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya ialah astenia, hipotensi,
anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual
dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme
dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.

Penanganan

Terapi terbaik ialah pencegahan. Anemia dalam kehamilan harus diobati karena
perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita

14
anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan postpartum,
persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa jika
perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta.

Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas
dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan
postpartum. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir untuk
mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg
ergometrin, intramuskulus. Kadang-kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi
lahir pada presentasi kepala, menyebabkan plasenta lepas segera setelah bayi seluruhnya
lahir, dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan segera tanpa banyak
perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu lahir adalah
kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gemelli yang
tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal yang
harus dilakukan, yakni menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat
perdarahan. Jika plasenta belum lahir, segera dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya.
Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan tentang retensio plasenta. Setelah
plasenta lahir, perlu ditentukan apakah di sini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau
karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan atonik dengan segera dilakukan massage uterus
dan suntikan 0,2 mg ergometrin intravena. Jika tindakan ini tidak memberi hasil yang
diharapkan dalam waktu yang sangat singkat, perlu dilakukan kompresi bimanual pada
uterus. Tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam vagina dan sambil membuat kepala
diletakkan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita
dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-
jari lain di belakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang antara 2 tangan, tangan kanan
melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekan terhadap tangan kiri.

Kompresi bimanual melelahkan penolong sehingga jika tidak lekas memberi hasil,
perlu diganti dengan perasat yang lain. Perasat Dickinson mudah diselenggarakan pada
seorang multipara dengan dinding perut yang sudah lembek. Tangan kanan diletakkan
melintang pada bagian-bagian uterus, dengan jari kelingking sedikit ke atas simfisis
melingkan bagian tersebut sebanyak mungkin, dan mengangkatnya ke atas. Tangan kiri
memegang korpus uteri dan sambil melakukan massage menekannya ke bawah ke arah
tangan kanan dan ke belakang ke arah promontorium. Akhirnya masih dapat dilakukan
tamponade uterovaginal. Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi

15
karena umumnya dengan usahausaha tersebut di atas perdarahan yang disebabkan oleh atonia
uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan tamponade yang dilakukan dengan teknik
yang tidak sempurna tidak menghindarkan perdarahan dalam uterus di belakang tampon.
Dengan seorang pembantu memegang ujung-ujung jari untuk sebagian masuk ke serviks
uteri. Tangan kanan dengan petunjuk tangan kiri memasukkan tompon kasa panjang ke dalam
uterus sampai kavum uteri terisi penuh. Untuk menjamin bahwa tampon benar-benar mengisi
kavum uteri dengan padat, kadang-kadang usaha memasukkan tampon dihentikan sebentar
untuk memberi kesempatan kepada tangan dalam uterus untuk menekan tampon pada dinding
kavum uteri. Dengan mengisi kavum uteri secara padat, dapat dihindarkan terjadinya
perdarahan di belakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi
pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan tersebut menimbulkan
rangsangan pada miometrium untuk berkontraksi. Sesudah uterus diisi, tampon dimasukkan
juga ke dalam vagina. Tampon diangkat 24 jam kemudian.

Pada perdarahan di atas masih ada kemungkinan untuk dengan laparotomi melakukan
ikatan arteriola hipogaskrika kanan dan kiri atau histerektomi. Sebab-sebab hipofibrinogemi
sudah dikemukakan di atas; berhubungan dengan itu perlu dipikirkan perdarahan yang
disebabkan oleh gangguan pembekuan, jika terdapat solusio plasenta, retensi janin mati
dalam uterus dan emboli air ketuban. Terapi yang terbaik terhadap perdarahan disebabkan
oleh hipofibrinogemi ialah transfusi darah segar, ditambah dengan pemberian fibrinogen
jikalau ada persediaan.

16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kami dapat menyimpulkan bahwa perlukaan pada jalan lahir, sebagai akibat
persalinan, terutama pada seorang primipara. Baik itu berupa robekan perinium,
robekan serviks taupun vagina. Hal ini dapat diatasi apabila seorang tenaga kesehatan
dapat mengelolanya dengan baik.

B. SARAN

1. Mahasiswa diharapkan agar dapat mengerti tentang robekan jalan lahir sampai
dengan bagaimana manifestasi klinik dan penatalaksanaan medisnya, menerapkan
konsep asuhan kebidanan kepada klien dengan perlukaan jalan lahir.
2. Mahasiswa diharapkan agar dapat mengerti tentang perdarahan post partum yaitu
penyebabnya,gejala ynag ditimbulkan serta penatalaksanaannya

17
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka

Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka

Tim. 1984. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Ofset

Manuaba, Ida Bagus Gede.2007.Pengantar Kuliah Obstetri.Jakarta: EGC

Moehtar,Rustam.1989. Sinopsis Obstetri.Jakarta: EGC

Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.
http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/09/inversio-uteri.html

http://yosuatheogratia.wordpress.com/

http://bidpend.blogspot.com/2009/12/atonia-uteri.html

18

Anda mungkin juga menyukai