HIV
Di Susun
Oleh:
Pembimbing:
Pendamping:
dr. Marniyanti
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi HIV AIDS
Namun, dengan meminum obat HIV (disebut terapi antiretroviral atau ARV),
orang dengan HIV dapat hidup lebih lama dan sehat serta mencegah penularan HIV ke
pasangan seksualnya. Selain itu, ada metode yang efektif untuk mencegah penularan
HIV melalui hubungan seks atau penggunaan narkoba, termasuk profilaksis pra pajanan
(PrPP) dan profilaksis pasca pajanan (PEP ) (CDC,2021).
AIDS adalah tahap akhir dari infeksi HIV yang terjadi ketika sistem kekebalan
tubuh rusak parah karena virus. Di USA, kebanyakan orang dengan HIV tidak
mengembangkan menjadi AIDS karena meminum obat HIV setiap hari sesuai resep
untuk menghentikan perkembangan penyakit. Seseorang dengan HIV dianggap telah
berkembang menjadi AIDS ketika:
Jumlah sel CD4 turun di bawah 200 sel per milimeter kubik darah (200
sel/mm3). (Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat, jumlah CD4
adalah antara 500 dan 1.600 sel/mm3.) ATAU
Terdapatnya satu atau lebih infeksi oportunistik terlepas dari jumlah CD4.
3
Tanpa obat HIV, penderita AIDS biasanya bertahan hidup sekitar 3 tahun. Sekali
seseorang mengidap penyakit oportunistik yang berbahaya, harapan hidup tanpa
pengobatan turun menjadi sekitar 1 tahun. Obat HIV masih dapat membantu orang pada
tahap infeksi HIV ini, dan bahkan dapat menyelamatkan nyawa. Tetapi orang yang
memulai ART segera setelah mereka mendapatkan HIV mengalami lebih banyak
manfaat. (CDC, 2021).
2.2 Epidemiologi
Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak adalah Jawa Timur, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua, dimana pada tahun 2017 kasus HIV
terbanyak juga dimiliki oleh kelima provinsi tersebut. Sedangkan di Gambar 3,
diketahui bahwa provinsi dengan jumlah kasus AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah,
Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Kasus AIDS di Jawa Tengah
adalah sekitar 22% dari total kasus di Indonesia. Tren kasus HIV dan AIDS tertinggi
dari tahun 2017 sampai dengan 2019 masih sama, yaitu sebagian besar di pulau Jawa
(Kemenkes, 2020).
Berdasarkan data Ditjen P2P yang bersumber dari Sistem Informasi HIV, AIDS,
dan IMS (SIHA) tahun 2019, laporan triwulan 4 menyebutkan bahwa kasus HIV dan
AIDS pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Kasus HIV tahun 2019 sebanyak
64,50% adalah laki-laki, sedangkan kasus AIDS sebesar 68,60% pengidapnya adalah
laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil laporan HIV berdasarkan jenis kelamin sejak
tahun 2008-2019, dimana persentase penderita laki-laki selalu lebih tinggi dari
perempuan (Kemenkes, 2020).
4
Berdasarkan data SIHA mengenai jumlah infeksi HIV tahun 2010-2019 yang
dilaporkan menurut kelompok umur, kelompok umur 25-49 tahun atau usia produktif
merupakan umur dengan jumlah penderita infeksi HIV terbanyak setiap tahunnya
(Kemenkes, 2020).
Case Fatility Rate (CFR) merupakan jumlah kematian dalam bentuk persen,
dibandingkan dengan jumlah kasus dalam suatu penyakit tertentu. CFR AIDS di
Indonesia sejak tahun 2005 sampai tahun 2019 terus mengalami penurunan. Hal ini
dapat disebabkan karena upaya pengobatan AIDS di Indonesia telah berhasil
menurunkan angka kematian akibat AIDS (Kemenkes, 2020).
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah salinan
Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA tersebut
yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang lain, HIV hanya
dapat bereplikasi di dalam sel induk. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim
yang digunakan untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV
yakni antara lain: reverse transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh
kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus. Dikenal dua
5
tipe HIV yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 198327 dan HIV-2 yang ditemukan
pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat.28 Epidemi HIV secara global
terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya,
hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan
erat dengan Afrika Barat. (CDC, 2019)
HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi mempunyai
perbedaan struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak punya vpx , sedangkan
HIV-2 sebaliknya.29,30 Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan
mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit
diantara kedua tipe HIV. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian –
penelitian klinis dan laboratoris lebih sering sering dilakukan terhadap HIV-1. (CDC,
2019)
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.Hilangnya fungsi tersebut
menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.(Djoerban, 1999).
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada molekul infeksi akut Simian
Imunodeficiency Virus (SIV).SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada
mukosa vagina.Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening
regional.Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah
inokulasi.Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat
dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia
SIV dideteksi 7 – 21 hari setelah infeksi.Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV
di kelenjar getah bening beerhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV.Jumlah sel
6
yang megekpresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan
dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik.Koinsiden dengan
menghilangya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian tidak
dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal
terhadap replikasi HIV.Replikasi HIV berada pada keadaan ‘steady – state’ beberapa
bulan setelah infeksi.Kondisi ini bertahan relative stabil selama beberapa tahun, namun
lamanya sangat bervariasi.Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut,
dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas
kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu (Djoerban, 1999).
Infeksi akut awal ditandai oleh infeksi sel T CD4+ memori (yang
mengekspresikan Chemokine (C-C motif) reseptor 5 (CCR5) dalam jaringan limfoid
mukosa dan kematian banyak sel terinfeksi. Setelah infeksi akut, berlangsunglah fase
kedua dimana kelenjar getah bening dan limfa merupakan tempat replikasi virus dan
destruksi jaringan secara terus menerus. Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat
banyak dan jumlah sel T-CD4 menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Simptom pada fase ini demam, limfadenopati, gatal –
gatal. Selama periode ini sistem imun dapat mengendalikan sebagian besar infeksi,
karena itu fase ini disebut fase laten.
Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan infeksi HIV yang
asimptomatik atau pasien yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala atau simptom
untuk beberapa tahun yang akan datang. Di fase ini juga hanya sedikit virus yang
diproduksi dan sebagian besar sel T dalam darah tidak mengandung virus. Walaupun
demikian, destruksi sel T dalam jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel
T makin lama makin menurun hingga 500-200 sel/mm3. Jumlah sel T dalam jaringan
limfoid adalah 90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam darah
perifer yang rusak oleh virus HIV dengan cepat diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel
oleh virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten akan
menurunkan jumlah sel T dalam darah tepi.
7
Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain akan
merangsang produksi HIV dan mempercepat destruksi sel T. Selanjutnya penyakit
menjadi progresif dan mencapai fase letal yang disebut AIDS, pada saat mana destruksi
sel T dalam jaringan limfoid perifer lengkap dan jumlah sel T dalam darah tepi menurun
hingga dibawah 200/mm3. Viremia meningkat drastis karena replikasi virus di bagian
lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita infeksi opportunistik, cachexia,
keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Kehilangan limfosit Th menyebabkan
pasien peka terhadap berbagai jenis infeksi dan menunjukkan respon imun yang infektif
terhadap virus onkogenik.
Selain tiga fase tersebut ada masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes
antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah
pasien dengan jumlah yang cukup banyak. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul
dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat
penting diperhatikan karena pada perode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial
menularkan HIV kepada orang lain.
8
4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang tidak
disterilisasi.
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air
susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah
cairan keringat, air liur, air mata dan lain-lain. (Kemenkes,2019)
Sindroma HIV akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV. Gejalanya
meliputi demam, lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri saat menelan),
batuk, nyeri persendian, diare, pembengkakkan kelenjar getah bening, bercak
kemerahan pada kulit (makula / ruam).
Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV menurut WHO SEARO
2007 :
1. Keadaan umum :
2. Kulit :
Post exposure prophylaxis (PPP) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan
kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kulit genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS(ODHA) tapi tidak selalu terkait
dengan HIV.
3. Infeksi
9
- Infeksi Jamur : Kandidiasis oral, dermatitis seboroik, kandidiasis vagina
berulang
- Infeksi viral : Herpes zoster,
- herpes genital (berulang), moluskum kotangiosum, kondiloma.
4. Gangguan pernafasan :
5. Gejala neurologis :
- Nyeri kepala yang makin parah (terus menerus dan tidak jelas penyebabnya),
- Kejang demam,
- Menurunnya fungsi kognitif.
WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak
dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat dari
gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut (WHO.
2009)
Stadium 1
Stadium 2
Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10%
dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
10
Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media,
faringitis)
Herpes zoster
Keilitis angularis
Ulkus mulut yang berulang
Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
Dermatisis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3
Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari
10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
Kandidiasis pada mulut yang menetap
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis,
piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul
yang berat)
Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 109/l)
dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l)
Stadium 4
11
1 bulan atau viseral di bagian manapun)
Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru)
Tuberkulosis ekstra paru
Sarkoma Kaposi
Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati,
limpa dan kelenjar getah bening)
Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
Ensefalopati HIV
Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar
Leukoencephalopathy multifocal progresif
Cyrptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
Karsinoma serviks invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal
Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis
12
2) EIA (enzyme immunoassay)
Secara umum tujuan pemeriksaan tes cepat dan EIA adalah sama, yaitu mendeteksi
antibodi saja (generasi pertama) atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan
keempat). Metode western blot sudah tidak digunakan sebagai standar konfirmasi
diagnosis HIV lagi di Indonesia.
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV dan RNA HIV.
Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif di Indonesia lebih banyak digunakan
untuk diagnosis HIV pada bayi. Pada daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan
DNA HIV, untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan RNA HIV
yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan
DNA HIV dengan menggunakan tetes darah kering (dried blood spot [DBS]).
1) Tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda
menunjukan hasil reaktif.
2) Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV.
13
reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan
tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2
dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%). (Kemenkes, 2019)
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah
terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa
jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila
masih terdapat perilaku yang berisiko.
14
2.9 Tatalaksana ARV
Pada konseling, pemeriksaan HIV juga ditawarkan secara aktif pada pasangan
seksual pasien yang diketahui HIV positif, baik suami/istri, pasangan tetap premarital,
pasangan poligami, dan pasangan seksual lainnya. Anak yang lahir dari ibu HIV positif
juga ditawarkan pemeriksaan HIV secara aktif, demikian pula orang tua dari bayi/anak
yang didiagnosis HIV (Kemenkes, 2019).
1) Jumlah CD4
Penilain imunologi, ,menentukan kapan memulai dan menghentikan terapi
profilaksis infeksi opurtunistik serta adakah kesegeraan untuk memulai ARV
2) Tes Cepat Molekuler atau BTA dan Foto thoraks jika MTB/RIF tidak tersedia
15
Untuk Skrining TB Paru
3) Darah Perifer Lengkap
Mengetahui anemia, leukopenia dan trombositopenia yang biasa terjadi pada
pasien HIV. Jika akan memberikan AZT pada pasien resiko tinggi efek samping
4) SGPT
Terutama bila akan diberika NVP
5) Kreatinin
Mempengaruhi dosis obat yang diberikan
6) HbsAg
Mengetahui adanya koinfeksi VHB dan HIV bila ada, panduan ARV yang
diberikan harus berbasis tenofovir
Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memulai
ARV setelah diagnosis HIV, termasuk mengurangi persyaratan sesi konseling
berulang dan diagnosis infeksi oportunistik berkepanjangan, namun tetap
memperhatikan kesiapan ODHA dalam memulai terapi ARV jangka panjang.
Pada ODHA yang datang tanpa gejala infeksi oportunistik, ARV dimulai segera
dalam 7 hari setelah diagnosis dan penilaian klinis. Pada ODHA yang sudah siap
untuk memulai ARV, dapat ditawarkan untuk memulai ARV pada hari yang
sama, terutama pada ibu hamil
Pada ODHA dengan TB, pengobatan TB dimulai terlebih dahulu, kemudian
dilanjutkan dengan pengobatan ARV sesegera mungkin dalam 8 minggu
pertama pengobatan TB.
ODHA dengan TB yang dalam keadaan imunosupresi berat (CD4 <50 sel/μL)
harus mendapat terapi ARV dalam 2 minggu pertama pengobatan TB
Terapi ARV dini pada meningitis kriptokokus tidak direkomendasikan pada
pasien dewasa, remaja, anak-anak dengan HIV dan meningitis kriptokokus
karena dapat meningkatkan mortalitas. Terapi ARV sebaiknya ditunda hingga 4-
6 minggu pasca-pemberian terapi antijamur (Kemenkes, 2019).
16
2.9.2 Indikasi memulai terapi ARV
Terapi ARV harus diberikan kepada semua ODHA tanpa melihat stadium klinis
dan nilai CD4
Terapi ARV harus dimulai pada semua ODHA yang hamil dan menyusui, tanpa
memandang stadium klinis WHO dan nilai CD4 dan dilanjutkan seumur hidup
Terapi ARV harus diberikan pada seluruh remaja terinfeksi HIV tanpa melihat
stadium klinis dan status imunosupresi (Kemenkes, 2019).
Paduan ARV lini pertama harus terdiri dari dua nucleoside reverse-transcriptase
inhibitors (NRTI) ditambah non-nucleoside reverse-trancriptase inhibitor (NNRTI) atau
protease inhibitor (PI). Pilihan paduan ARV lini pertama berikut ini berlaku pada pasien
yang belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naif ARV). Sedangkan bagi pasien
lama yang sedang dalam pengobatan ARV, tetap menggunakan panduan yang
sebelumnya (Kemenkes, 2019).
Paduan terapi ARV lini pertama pada orang dewasa, termasuk ibu hamil dan
menyusui, terdiri atas 3 paduan ARV. Paduan tersebut harus terdiri dari 2 obat
kelompok NRTI+1 obat kelompok NNRTI:
17
Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi respons
pengobatan. Evaluasi pasien selama dalam pengobatan dilakukan bersama-sama antara
dokter, perawat, konselor. Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun
juga psikologis, untuk membantu pasien dan keluarganya selama menjalani pengobatan
(Kemenkes, 2019).
Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV. Pendekatan gejala
dilakukan untuk mengarahkan pemeriksaan laboratorium yang akan dilakukan untuk
pemantauan toksisitas dan keamanan ARV. Beberapa pemeriksaan laboratorium
disarankan untuk dilakukan pada orang-orang dengan risiko tinggi terhadap obat
tertentu (Kemenkes, 2019).
18
2.9.5 Efek Samping ARV
19
ginekomastia, gangguan fungsi hati
20
Semua pasien HIV yang setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita TB
aktif dan pasien yang memiliki kontak erat dengan pasien TB harus diobati sebagai
infeksi TB laten dengan INH 300 mg/hari selama 6 bulan. Kesulitan umumnya terjadi
saat diagnosis TB aktif pada kondisi imunodefisiensi berat, karena efek profilaksis
bermakna jika ODHA memang tidak ada TB aktif. Isoniazid dosis 300 mg/hari
diberikan setiap hari selama 6 bulan (total 180 dosis). Vitamin B6 diberikan untuk
mengurangi neuropati perifer dengan dosis 25 mg per hari (Kemenkes, 2019).
21
LAPORAN KASUS
Topik : HIV
Objektif Presentasi:
Pustaka
22
Nama RS: Alamat: Plasma V Terdaftar sejak: 6 Februari
2022 pukul 11.45 WIB
RSUD Jambak, (masuk melalui IGD)
Pasaman Barat
2. Riwayat Pengobatan:
Dua tahun yang lalu pasien dianjurkan kontrol ke poli VCT padang untuk
memulai ARV namun pasien tidak melalukan kontrol dan belum memulai ARV
Pasien pernah dirawat di RSUD dengan Diare kronik dan HIV sekitar 2 tahun
yang lalu. Keluhan awal pasien saat terdiagnosis HIV yaitu pasien mengeluhkan
diare cair selama 2 bulan yang tidak sembuh-sembuh. BAB cair disertai darah.
Mual muntah(+).
4. Riwayat Sosial:
Pasien seorang janda yang menikah kedua kalinya sekitar 5 tahun yang lalu.
Suami pertama pasien sudah meninggal dunia namun penyebab kematian tidak
diketahui. Suami kedua pasien merantau ke kalimantan dan jarang pulang ke
23
rumah
4. Riwayat Keluarga: -
5. Riwayat Alergi:-
8. Hasil Pembelajaran:
HIV
Penegakan diagnosis HIV
Tatalaksana HIV
1. Subjektif:
Keluhan:
Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 3 hari ini. Nyeri ulu hati disertai sesak
napas beberapa jam SMRS.
Mual (+) Muntah (+) 2x. Nyeri kepala sejak 3 hari
Demam (+) batuk (+) tidak berahak sesekali
Belum BAB sejak 3 hari
BAK dbn
Penurunan berat badan sekitar 5 kg dari 50kg menjadi 45kg
RPD: Pasien pernah dirawat di RSUD dengan Diare kronik dan HIV sekitar 2
tahun yang lalu. Keluhan awal pasien saat terdiagnosis HIV yaitu pasien
mengeluhkan diare cair selama 2 bulan yang tidak sembuh-sembuh. BAB cair
disertai darah. Mual muntah(+).
Riwayat Pengobatan: 2 tahu yang lalu pasien dianjurkan kontrol ke poli VCT
padang untuk memulai ARV namun pasien tidak melalukan kontrol dan belum
memulai ARV
Riwayat Sosial: Pasien seorang janda yang menikah kedua kalinya sekitar 3
tahun yang lalu. Suami pertama pasien sudah meninggal dunia namun penyebab
kematian tidak diketahui. Suami kedua pasien merantau ke kalimantan dan
jarang pulang ke rumah
24
2. Objektif
1. STATUS PRESENT
- Keadaan umum : Sakit sedang
- Kesadaran : Sadar
- Frekuensi nadi : 90 x/menit
- Frekuensi nafas : 20 x/menit
- Tekanan Darah : 106/76
- Suhu : 37,4° C
- SaO2 : 96%
- BB : 45 kg
2. STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera tidak ikterik
pupil isokor, diameter 2mm/2mm, reflek cahaya +/+
Telinga : Tidak ditemukan kelainan, tidak terdapat cairan
Hidung : tidak terdapat nafas cuping hidung
Tenggorok : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis dan faring tidak hiperemis.
Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah,
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB, JVP 5-0 cm H2O
Paru
I : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis serta dinamis
P : Fremitus kiri dan kanan sama
Pr : Sonor
A : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
I : Iktus cordis tidak terlihat
P : Iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Pr : Batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial LMCS RIC V
A : Irama reguler, teratur, bising (-)
Abdomen
25
I : Tidak tampak membuncit
A : Bising Usus (+) meningkat
P : Supel, NT (+) epigastrium hepar tidak teraba, Lien tidak teraba
Pr : Timpani
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
4. PLANS
DIAGNOSIS KERJA: Ulkus Peptikum + HIV
PENATALAKSANAAN
1. Terapi Non farmakologis
Bed Rest
26
Diet TKTP
2. Terapi Farmakologis
IVFD RL 8 jam/kolf
Inj. Omeprazol 1x40mg
PO Cotrimoxazol 2x2 tab (960mg)
PO PCT 3x500
PO Ambroxol 3x1
Novorapid 10 IU dalam D40%
27
Nadi: 87x PO Lanzoprazole 1x1
Nafas: 18x
PO Cotrimoxazol 2x2 tab
Suhu:36.6ºC
(960mg)
28
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien Perempuan usia 45 tahun dengan diagnosis Ulkus
Peptikum + HIV. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien datang keluhan
utama Nyeri ulu hati. Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 3 hari ini. Nyeri ulu hati
disertai sesak napas beberapa jam SMRS. Mual (+) Muntah (+) 2x. Nyeri kepala sejak 3
hari. Demam (+) batuk (+) tidak berahak sesekali. Belum BAB sejak 3 hari. BAK
dbn. Penurunan berat badan sekitar 5 kg dari 50kg menjadi 45kg. RPD: Pasien pernah
dirawat di RSUD dengan Diare kronik dan HIV sekitar 2 tahun yang lalu. Keluhan awal
pasien saat terdiagnosis HIV yaitu pasien mengeluhkan diare cair selama 2 bulan yang
tidak sembuh-sembuh. BAB cair disertai darah. Riwayat Pengobatan: 2 tahun yang lalu
pasien dianjurkan kontrol ke poli VCT padang untuk memulai ARV namun pasien tidak
melalukan kontrol dan belum memulai ARV. Riwayat Sosial: Pasien seorang janda
yang menikah kedua kalinya sekitar 3 tahun yang lalu. Suami pertama pasien sudah
meninggal dunia namun penyebab kematian tidak diketahui. Suami kedua pasien
merantau ke kalimantan dan jarang pulang ke rumah
Dari pemeriksaan fisik ditemukan TD: 106/76, ND: 78 RR:20 SaO2: 96%,
BB:45kg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan Nyeri tekan Epigastrium (+). Pada kulit
terdapat makula hiperpigmentasi berwarna kecoklatan pada ektremitas disertai Kulit
kering (+). Pada pemeriksaan penunjang Darah Lengkap didapatkan Anemia ringan,
Leukopenia, Hiperkalemia. Radiologis: Kardiomegali (+) Paru dalam batas normal.
Serta Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan HIV 2 tahun yang lalu didapatakan: R1.
R2. R3 Reaktif.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sel-sel yang
membantu tubuh melawan infeksi, membuat seseorang lebih rentan terhadap infeksi dan
penyakit lain. Pada penderita yang curiga HIV dapat memiliki gejala Sindroma HIV
akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV. Gejalanya meliputi demam, lemas,
nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri saat menelan), batuk, nyeri persendian,
29
diare, pembengkakkan kelenjar getah bening, bercak kemerahan pada kulit (makula /
ruam). Selain itu penting juga menemukan faktor resiko pada pasien. Untuk
pemeriksaan penunjang diperlukan pemeriksaan serologis dengan metode strategi 3.
Dan juga pemeriksaan lain untuk penampisan infeksi oportunistik
Untuk tatalaksana pasien HIV harus dilakukan setelah pasien didiagnosis HIV
maka harus ada persiapan pemberian ARV. Pemeriksaan laboratorium dan CD4 dapat
membantu untuk menilai Infeksi oprtunistik. Pemberian ARV dapat diberikan sesegara
mungkin pada pasien HIV tanpa melihat CD4. Selain pemberian ARV juga penting
dalam penentuan pemberian profilaksis Kotrimoksasol dan Isoniazid. Setelah pemberian
ARV sangat penting dalam kontrol pasca pemberiaan ARV untuk menilai efek samping
ARV dan Keberhasilan ARV.
Pada Pasien dilakukan tatalakasana Ulkus peptikum pasien diberikan: Inj.
Omeprazol 1x40mg, PO PCT 3x500, PO Ambroxol 3x1. Pada pasien terdapat
hiperkalemia maka diberikan Novorapid 10 IU dalam D40%. Untuk tatalaksana HIV
pasien diberikan: PO Cotrimoxazol 2x2 tab (960mg). Saat rawat jalan pasien diberikan :
PO Tenolam 1x1 PO INH profilaksis 1x300, PO Lanzoprazole 1x1, PO Cotrimoxazol
2x2 tab (960mg)
30
DAFTAR PUSTAKA
CDC, About HIV [Updated 2021 Jun 21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2022 April-. Available from: https://
https://www.cdc.gov/hiv/basics/index
Djoerban Z. membidik AIDS : Ikhtiar memahami HIV dan odha. Ed 1.
Yogyakarta:Penerbit Galang; 1999
Infodatin Situasi Umum HIV/AIDS dan Tes HIV, Pusdatin, Kementerian Kesehatan,
2020,
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana HIV. 2019
World Health Organization. Guidance on couples HIV testing and counselling including
antiretroviral therapy for treatment and prevention in serodiscordant couples:
recommendation for a publich health approach. Geneva: World Health
Organization; 2012.
31