Anda di halaman 1dari 10

RESUME MATERI INTI 3.

1
TATALAKSANA KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK,
TERMASUK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
POKOK BAHASAN 1. TATALAKSANA PENANGANAN KORBAN KtP/A TERMASUK TPPO
A. Prinsip Umum Penanganan Korban
Pemberian layanan terpadu bagi perempuan dan anak dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. Responsif Gender: Semua petugas pelayanan harus peka gender ketika mendalami masalah
yang dialami korban dan dapat melakukan pemberdayaan terhadap korban.
2. Non Diskriminasi: Setiap perempuan dan anak tanpa kecuali berhak mendapatkan layanan
berkaitan dengan kekerasan yang dialaminya; tidak ada seorang pun boleh ditolak atau
diberikan prioritas atas yang lain kecuali atas pertimbangan kedaruratan tertentu.
3. Hubungan Setara dan Menghormati: Siapapun korban, pemberian layanan bagi korban harus
dijalankan dengan rasa hormat tanpa membedakan keyakinan, nilai-nilai dan status sosialnya.
4. Cepat dan Sederhana : Pemberian layanan harus diberikan dengan segera tanpa penundaan
yang tidak perlu. Bila korban datang atas rujukan pihak pemberi layanan lain, maka petugas
penerima harus membaca terlebih dahulu surat pengantar/rujukan.
5. Komunikasikan informasi secara hati-hati.
6. Pemenuhan Hak Anak; dalam Konvensi Hak Anak Menurut PBB tahun 1989, yaitu:
a. Hak untuk bermain f. Hak untuk mendapatkan makanan
b. Hak untuk mendapatkan pendidikan g. Hak untuk mendapatkan akses
c. Hak untuk mendapatkan kesehatan
perlindungan h. Hak untuk mendapatkan rekreasi
d. Hak untuk mendapatkan nama i. Hak untuk mendapatan kesamaan
(identitas) j. Hak untuk memiliki peran dalam
e. Hak untuk mendapatkan status pembangunan
kebangsaan

Korban anak memiliki kebutuhan khusus dan oleh karenanya berhak atas Langkah-langkah perlindungan
khusus sebagai berikut:
a) Setiap tindakan yang dilakukan oleh lembaga penyedia layanan harus menjadikan kepentingan
terbaik untuk anak sebagai pertimbangan utama.
b) Korban anak memperoleh hak dan perlindungan yang sama di negara/ daerah asal, transit atau
daerah tujuan, yang berkaitan dengan status, kewarganegaraan, ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan, agama, politik atau pendapat lain, etnis atau kehidupan sosialnya,
kepemilikan, disabilitas, kelahiran atau status lain.
c) Korban anak diberikan haknya untuk dengan bebas mengekspresikan pandangannya terhadap
semua hal, termasuk yang berkaitan dengan proses hukum, perawatan dan perlindungan
sementara serta identifikasi dan implementasi solusi selanjutnya.
d) Pandangan anak tersebut diberikan tidak melebihi takaran sehubungan dengan usianya,
kematangan, perkembangan kapasitasnya, dan kepentingan terbaik bagi dirinya.
e) Korban anak dilengkapi akses terhadap informasi tentang segala hal yang mempengaruhinya
termasuk hak-haknya, layanan yang tersedia dan proses reunifikasi keluarga dan/atau repatriasi.
Informasi tersebut disampaikan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh korban anak.
Penerjemah yang tepat hendaknya disediakan jika diperlukan.
f) Informasi yang dapat membahayakan korban anak dan atau keluarganya, tidak diungkap kecuali
diperlukan oleh hukum. Semua langkah diambil untuk melindungi privasi dan identitas korban
anak.
g) Selama proses penanganan berlangsung, korban anak perlu mendapatkan hak
h) dasar anak termasuk hak untuk pendidikan dan akses kepada orang tua.
i) Negara bertanggung jawab untuk membuat korban anak bebas dari stigma yang
j) disebabkan karena perdagangan orang. Hal ini juga diberlakukan kepada anak yang dikandung
dan dilahirkan dari seorang korban.

B. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah pertama yang bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih dalam
tentang kekerasan atau trauma yang dialami dan riwayat kesehatan korban.
Hal penting yang diperhatikan dalam anamnesis:
TIDAK BOLEH:
Berikut ini adalah hal penting yang harus dihindarkan oleh setiap petugas yang melayani korban:
× Sedapat mungkin tidak melakukan kontak fisik dengan korban kekerasan seksual.
× Menjanjikan sesuatu kepada korban, keluarganya, saksi maupun sumber informasi lain; ketika
memberikan sedikit harapan kepada korban hanya tawarkan apa yang mampu diberikan.
× Menggunakan bahan/hasil informasi atau kasus tanpa seizin korban; termasuk ttg kontak
dengan media.
× Memanfaatkan posisi sebagai petugas/pengelola unit pelayanan untuk mengambil
keuntungan/imbalan dari korban atau keluarganya dalam bentuk apapun;
× Melakukan kekerasan terhadap korban dalam bentuk apapun; dan
× Membangun hubungan non-profesional dengan korban selama masa pemberian pelayanan.
× Mengungkapkan alamat pribadi kepada korban atau berupaya untuk menampung di rumah
sendiri
× Mencoba untuk menyelamatkan korban (sendiri) jika tenaga kesehatan belum terkait dengan
jejaring perlindungan yang sudah ada bagi korban KTP/A dan TPPO di daerahnya serta tidak
mempunyai, informasi yang cukup tentang jejaring rujukan yang ada dan pelayanan yang
tersedia.
BOLEH:
 Melindungi korban dari pelaku dan upaya bunuh diri (lihat buku Pedoman Pencegahan Tindakan
Bunuh Diri (Pegangan bagi petugas kesehatan), Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat,
Departemen Kesehatan RI, Tahun 2005).
 Melaporkan/memberikan informasi kejadian dugaan kekerasan kepada pihak yang berwenang
dengan persetujuan korban (kecuali yang mengancam keselamatan hidup korban dan kasus
dugaaan KtA sesuai Permenkes No.68 th 2013).
 Menyediakan penanganan medis komprehensif.
 Merujuk ke jejaring untuk pendampingan paripurna dan penanganan aspek non-medis.
Disamping itu petugas juga harus memperhatikan:
a. Selama melakukan anamnesis amati dan observasi perilaku, ekspresi wajah, nada suara, dan
berikan kesempatan seluas-luasnya kepada pasien untuk menceritakan isi hatinya.
b. Bila pasien masih belum mau berbicara tentang tindak kekerasan yang dialaminya, petugas
kesehatan hendaknya jangan memaksa. Katakanlah bahwa anda dapat memahami keraguan
pasien,
c. Menjamin kerahasiaan informasi yang disampaikan pasien. Diperoleh secara cermat, baik
allo maupun autoanamnesa dalam ruangan tersendiri guna menjaga kerahasiaannya.
d. Sikap/perilaku pasien dan pengantar dicermati apakah dalam keadaan tertekan atau
terkontrol.
e. Bila memungkinkan anamnesis dilakukan terpisah antara pasien dan pengantar, untuk
menilai kemungkinan adanya ketidak sesuaian penuturan masing-masing.
f. Perhatikan sikap dan perilaku pasien, apakah terlihat takut, cemas, ragu-ragu dan tidak
konsisten dalam memberikan jawaban.
Langkah-langkah melakukan anamnesis:
1. Membina rapport (hubungan baik)
2. Lakukan dan minta “informed consent” pasien untuk pemeriksaan dan pembuatan visum
apabila dikemudian hari ada permintaan dari kepolisian untuk dilakukan visum et repertum.
3. Lengkapi Rekam medis korban kekerasan perlu diperlakukan khusus (diberi tanda
4. khusus dan disimpan sampai 18 tahun). Pada waktu anamnesis isilah rekam medis sesuai
dengan hasil anamnesis.
5. Tanyakan status hubungan pasien dengan pengantar dan sudah berapa lama pasien mengenal
pengantar.
6. Konfirmasi ulang urutan kejadian, apa yang menjadi pemicu, penyiksaan apa yang telah terjadi,
oleh siapa, dimana terjadinya, dengan menggunakan apa, berapa kali dan apa akibatnya
terhadap pasien
7. Gali informasi tentang:
 Keadaan kesehatan sebelum trauma
 Adakah riwayat trauma seperti ini sebelumnya
 Adakah riwayat penyakit dan perilaku seperti ini sebelumnya
 Pada anak, diperhatikan apakah ada perubahan perilaku anak setelah
 mengalami trauma seperti ngompol, mimpi buruk, susah tidur, menjadi manja,
 suka menyendiri, murung atau agresif.
 Pernah/tidak mengalami hal seperti ini
 “terlapor adalah orang yang sama/tidak sama
 Keadaan korban lebih berat/ringan/sama dengan keadaan sekarang
 Pernah/tidak pernah mengalami tekanan psikologi oleh pelaku kekerasan
 Ada/tidak ada keluarga korban yang ikut dianiaya
 Ada/tidak ada keluarga korban yang lain ikut menganiaya
8. Jika ditemukan amnesia (organik atau psikogenik) lakukan konseling atau rujuk jika memerlukan
intervensi psikiatrik.
9. Periksa apakah ada tanda2 penurunan/kehilangan kesadaran yang diakibatkan oleh pemberian
NAPZA.
Pada kasus kekerasan seksual, ditambah dengan pertanyaan tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Waktu dan lokasi kejadian, ada tidaknya kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan
seksual yang terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang mengalami kekerasan, ada tidaknya
penetrasi, serta dengan apa penetrasi dilakukan.
2. Apa yang dilakukan pasien setelah kejadian kekerasan, apakah pasien mengganti pakaian, buang
air kecil, membersihkan bagian kelamin/dubur, mandi, atau gosok gigi. Pada anak ditanyakan
adakah rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya sekret dari kemaluan/dubur. Ditanyakan
adanya gangguan rasa nyeri dan gangguan pengendalian BAB/BAK.
3. Pada pasien kekerasan terhadap perempuan (termasuk remaja) ditanyakan kemungkinan
adanya hubungan seksual dua minggu sebelumnya.d. Riwayat penggunaan kontrasepsi pada
kasus KtP.
C. Pemeriksaan Fisik
Pada ka Pada kasus TPPO jika mengalami eksploitasi kerja kasar, maka ditanyakan ke arah kesehatan
kerja, juga ditanyakan untuk penyakit gangguan gizi dan infeksi menular kronis seperti Tuberkulosis.
1. Lakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh dengan ramah dan sopan.
2. Sebelum pemeriksaan fisik, cek apakah sudah dilakukan informed-consent.
3. Dipastikan ada yang mendampingi dokter saat melakukan pemeriksaan.
4. Pastikan peralatan dan bahan sudah disiapkan sebelum pemeriksaan.
5. Selalu beritahu apa yang akan dilakukan dan minta persetujuan kepada pasien sebelum dilakukan
pemeriksaan.
6. Lakukan pemeriksaan keadaan umum, tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital.
7. Selain pemeriksaan fisik umum sebagaimana biasa, lakukan pencatatan khusus pada rekam
medis untuk kekerasan fisik dan seksual.
8. Perhatikan apakah ada luka lama dan baru yang sesuai urutan kejadian peristiwa kekerasan yang
dialami. Catat jenis, lokasi, bentuk, ukuran, dasar dan tepi luka.
Deskripsi Luka Secara Umum
1. Luka memar
Contoh diskripsi memar:
Pada kelopak mata kanan atas dan bawah terdapat luka memar berbentuk lonjong dengan batas
tegas berwarna merah kebiruan, membengkak, nyeri tekan atau tidak, ukurang panjang x lebar.
2. Luka lecet geser/gores/tekan/serut
Contoh :
a. Diskripsi luka lecet:
Terdapat beberapa buah luka lecet geser, pada daerah seluas (panjang x lebar),
berbentuk garis garis berjalan sejajar/ tidak sejajar dengan arah mendatar/vertikal
/serong dari kanan/kiri bawah/atas ke kiri/ kanan atas/bawah, berwarna kemerahan/
kehitaman, ukuran terpanjang, ukuran terpendek
b. Luka lecet gores (Jumlah dibawah 3 buah)
Terdapat tiga buah luka lecet gores, berbentuk garis garis berjalan sejajar/tidak, dengan
arah mendatar/vertikal/serong dari kanan/kiri bawah/atas atau ke kiri/kanan
atas/bawah, berwarna kemerahan dengan ukuran masing–masing (panjang x lebar)
c. Luka Lecet tekan
Terdapat luka lecet tekan berbentuk beraturan/tidak beraturan, berwarna kehitaman
dengan ukuran (panjang x lebar).
Catatan: untuk luka lecet dan memar yang berada dalam satu regio penulisan dapat disatukan.
3. Luka terbuka karena kekerasan tajam atau tumpul
Contoh
a. Luka terbuka kekerasan tumpul
Pada pelipis kiri, terdapat luka terbuka tepi tidak rata, sudutnya (tumpul tajam), bagian
bawah tumpul, bagian atas tidak beraturan, dasar nya ada jembatan jaringan, bila
dirapatkan berbentuk garis dengan arah mendatar/ vertikal/serong dari kanan /kiri
bawah/atas ke kiri/kanan atas/bawah, ukuran (panjang).
b. Luka terbuka karena kekerasan tajam
Terdapat luka terbuka tepi rata, kedua sudut tajam/ tumpul, dasarnya jaringan otot
yang terpotong rata, bila dirapatkan berbentuk garis dengan arah
mendatar/vertikal/serong dari kanan/kiri bawah/atas ke kiri/kanan atas/bawah. Dengan
ukuran (panjang), sudut bagian atas tumpul, sudut bagian atas tajam. Ciri khas pada luka
akibat kekerasan benda tajam adalah tidak terdapat jembatan jaringan.
Pada kasus-kasus berat, pemotretan berwarna dapat membantu.Hal penting lainnya adalah bahwa
bukti adanya kekerasan tersebut harus relevan dengan keterangan yang diberikan oleh saksi korban.
Suatu luka memar atau lecet kecil di daerah pipi, leher, pergelangan tangan atau paha mungkin
tidak khas dan tidak bermakna dari segi kedokteran, namun bermakna bagi hukum apabila relevan
dengan riwayat terjadinya peristiwa, seperti ditampar, dicekik, dipegangi dengan keras atau dipaksa
diregangkan pahanya (pada kasus kejahatan seksual). Adanya sindroma mental tertentu dapat
mendukung relevansi temuan bukti fisik tersebut dari sisi psikologis.
Derajat luka juga penting ditentukan untuk menentukan proses hukum. Derajat luka terdiri dari:
1. Derajat satu (ringan), adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan
dengan ancaman maksimal 3 bulan penjara.
2. Derajat dua (sedang), adalah luka yang menimbulkan penyakit, dimana keadaan kondisi tubuh
terjadi gangguan fisik, psikis, metabolis oleh karena berbagai sebab, sehingga fungsi fisiologis
orang tersebut tidak dapat berjalan secara normal dan halangan pekerjaan sementara waktu
dengan ancaman maksimal 9 bulan penjara
3. Derajat tiga (berat), adalah luka yang mendatangkan bahaya maut; tidak dapat bekerja
seterusnya; kehilangan salah satu panca indra; cacat berat; kelumpuhan; daya pikir hilang lebih
dari 4 minggu; gugur/mati kandungan. dengan ancaman maksimal 8-9 tahun penjara atau
hukuman mati

Suatu kasus patut diduga sebagai KtP/A bila ditemukan adanya:


 Memar/jejas di kulit pada daerah yang tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas,
paha, bokong dan genital.
 Perlukaan multipel (ganda) dengan berbagai tingkat penyembuhan; tanda dengan konfigurasi
sesuai jari tangan, tali atau kabel, kepalan, ikat pinggang bahkan gigi orang dewasa.
 Patah tulang pada anak usia dibawah tiga tahun, patah tulang baru dan lama (dalam
penyembuhan) yang ditemukan bersamaan, patah tulang ganda, patah tulang bentuk spiral
pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai, patah tulang pada kepala, rahang dan hidung
serta patahnya gigi.
 Luka bakar seperti bekas sundutan rokok, luka bakar pada tangan, kaki, atau bokong akibat
kontak bagian-bagian tubuh tersebut dengan benda panas, bentuk luka yang khas sesuai dengan
bentuk benda panas yang dipakai untuk menimbulkan luka tersebut.
 Cedera pada kepala, seperti perdarahan (hematoma) subkutan atau subdural, yang dapat dilihat
pada foto rontgen, bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut, baik yang baru atau
berulang.
 Lain-lain: dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul.
Perhatian Khusus pada Korban Anak
1. Seperti pada pemeriksaan korban dewasa, harus ada pendamping yang dipercaya anak berada di
ruang pemeriksaan dan didapatkan informedconsent dari orang tua atau walinya.
2. Jelaskan apa yang akan terjadi selama pemeriksaan dengan menggunakan istilah atau bahasa
yang dimengerti anak-anak.
3. Dengan persiapan yang cukup, kebanyakan anak dapat tenang dan mengikuti pemeriksaan. Jika
anak tidak dapat tenang karena nyeri, dapat diberikan parasetamol atau obat nyeri sederhana
lainnya.
4. Jangan memaksa dengan menakuti anak untuk menyelesaikan pemeriksaan. jika dilakukan akan
menambah ketakutan dan kecemasan anak dan memperburuk dampak psikologis kekerasan.
5. Sangat berguna menggunakan boneka tangan untuk mendemonstrasikan prosedur dan posisi.
Tunjukan pada anak perlengkapan pemeriksaan seperti sarung tangan, swab dll.
6. Anak kecil dapat diperiksa di pangkuan ibunya, sedangkan yang lebih tua dapat diberikan pilihan
duduk di kursi, di pangkuan ibu atau berbaring di tempat tidur.
7. Periksa dan catatlah keadaan gizi (tinggi badan, berat badan dan usianya), higiene dan tumbuh
kembang si anak. Pemeriksaan status tumbuh kembang dan status gizi anak sangat relevan dalam
upaya menegakkan ada atau tidaknya penelantaran. Periksa dan catatlah keadaan umum si anak,
seperti kesadaran, kooperatif atau non kooperatif, kejang, apnea dan syok.
D. Pemeriksaan Seksual
Sebelum pemeriksaan, apabila dilakukan oleh petugas yang berbeda, maka perlu di cek apakah sudah
menandatangani informed consent.
Pemeriksaannya meliputi:
1. Setelah pemeriksaan fisik umum sebagaimana biasa, lakukan pencatatan khusus pada rekam
medis untuk kekerasan seksual.
a. Perhatikan penampilan korban (rambut dan wajah), rapi atau kusut, keadaan emosional,
tenang atau sedih/gelisah dsb.
b. Lakukan pemeriksaan terhadap keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital tubuh
lainnya.
c. Perhatikan luka-luka yang sesuai dengan jalannya peristiwa kekerasan seksual yang
dialami (dipegangi tangannya, tungkainya dibekap, dsb), dan catat dalam rekam medis
meskipun luka tersebut “hanya” berupa memar ataupun lecet kecil.
Pada pemeriksaan korban kasus kejahatan seksual, penting untuk mencari atau melihat tanda-tanda
berikut ini:
1) Perkiraan umur
2) Tanda-tanda persetubuhan
3) Tanda-tanda kekerasan
4) Tanda-tanda gangguan psikologis

2. Dalam hal peristiwa kekerasan seksual belum lama terjadi dan pakaian yang dikenakan korban
masih pakaian yang sama sewaktu peristiwa terjadi, maka:
a. Pada pemeriksaan terhadap korban yang langsung dari TKP kita dapat menggunakan
alat bantu rape kit yaitu kit yang berisi amplop-amplop untuk pengambilan barang bukti
pada kasus kejahatan seksual. Rape kit, digunakan untuk korban yang langsung dari TKP
b. Bila di tubuh korban banyak menempel barang bukti (seperti rumput, tanah, dll), korban
dipersilahkan berdiri diatas selembar kertas putih yang cukup besar (koran/kertas
flipchart) kemudian baju dan rambut digeraikan sehingga barangbarang bukti yang
menempel pada tubuh pasien jatuh keatas kertas. lalu kertas dilipat membungkus
barang bukti tersebut, kemudian masukkan ke dalam amplop yang sudah ada identitas
pasien lalu disegel dan dibubuhkan tanda tangan si pengumpul (dokter).
c. Dalam hal pada pakaian korban dicurigai adanya bercak mani berupa bercak teraba
kaku, maka pakaian tersebut diminta dan dimasukkan ke dalam amplop, sedangkan
korban diberi pakaian pengganti. Bila pakaian dalam (celana dalam) keadaan basah
keringkan terlebih dahulu dalam suhu kamar dan hindaripenggunaan Air Conditioner
(AC).

3. Lakukan pemeriksaan pertumbuhan gigi geligi dan seks sekunder (pertumbuhan payudara dan
rambut pubis) untuk konfirmasi usia korban atau kepantasan dikawin sebagaimana diminta oleh
undang-undang.
4. Bila diduga ada persetubuhan oral, periksa adanya lecet, bintik perdarahan atau memar pada
palatum, kemudian:
a. Lakukan swab pada laring dan tonsil dan buat sediaan hapus dua buah untuk
pemeriksaan mikrobiologi (adanya penyakit hubungan seksual) dan pemeriksaan
sperma dan cairan mani.
b. Kapas lidi dikeringkan dan dimasukkan kedalam amplop. Kedua sediaan hapus dan
amplop berisi kapas lidi yang sudah kering, dimasukkan ke dalam amplop besar, disegel
dan bubuhkan label identitas serta ditanda-tangan oleh pengumpul/pemeriksa.
5. Kuku jari tangan dipotong dan dimasukkan ke dalam amplop terpisah kanan dan kiri, amplop
disegel dan bubuhkan label identitas.
6. Periksa, adakah tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran atau diberikan obat bius/tidur, apakah
ada ”needle marks”.
a. Bila ada, ini merupakan indikasi untuk pemeriksaan darah dan urin.
b. Darah diambil dari vena cubiti sebanyak 5 ml, sedangkan urin diambil setidaknya
sejumlah 10 ml.
7. Pemeriksaan ginekologi dilakukan dalam posisi litotomi.
Pada saat pemeriksaan dilakukan cermati apakah terdapat tanda-tanda persetubuhan.
Persetubuhan positif apabila terdapat robekan selaput dara disertai salah satu dari sperma atau
kehamilan atau IMS, bila tidak ada maka robekan disebutkan akibat kekerasan tumpul.
8. Perhatikan adanya kerak (bercak kering) atau bercak basah
9. Rambut pubis disisir
a. Rambut lepas yang ditemukan (mungkin milik tersangka pelaku) dimasukkan ke dalam
amplop.
b. Cabut minimal 3 sampai 10 helai rambut pubis korban dan masukkan ke dalam amplop
lain.
c. Jika didapat rambut yang menggumpal, gunting dan masukkan dalam amplop terpisah.
d. Seluruh amplop disegel dan dibubuhi label identitas.
10. Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perineum; catat jenisnya, lokasi, bentuk,
dasar, tepi dan sekitar luka.
a. Mikrolesi yang tidak tampak dengan kasat mata dapat dilihat dengan menyemprotkan
cairan toluidin blue dan bilas dengan aquadest, erosi atau laserasi akan tampak
berwarna biru.
b. Pemeriksaan selaput dara, tentukan:
 lokasi robekan tersebut tentukan pada arah jam berapa
 ada atau tidaknya robekan
 robekan baru atau lama
 teliti apakah sampai ke dasar atau tidak.
c. Dalam hal tidak terdapat robekan, padahal diperoleh informasi terjadinya penetrasi:
i. Pada perempuan dewasa, lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang
dengan mencoba memasukkan satu jari kelingking. Bila jari kelingking dapat
masuk tanpa hambatan dan nyeri, lakukan uji dengan satu jari telunjuk, dan
selanjutnya dengan dua jari (telunjuk dan tengah).
ii. Pada anak-anak lakukan traksi lateral kiri dan kanan dengan dua jari dan ukur
diameter introitus vagina. Pada balita diameter introitus vagina tidak lebih dari 5
mm. Dengan bertabahnya usia akan bertambah 1 mm/tahun. Jika diameter
sampai 10 mm, dicurigai telah terjadi penetrasi.
11. Lakukan swab pada komisura posterior dan forniks posterior. Kemudian buat sediaan hapus 2
(dua) buah.
12. Dalam hal adanya riwayat persetubuhan anus, pemeriksaan colok dubur dan anuskopi perlu
dipertimbangkan untuk melihat adanya luka baru dan gambaran rugae. Pemeriksaan anus dapat
dilakukan pada knee-chest position
13. Terhadap korban yang datang lebih dari 72 jam setelah kejadian, Pemeriksaan fisik jarang
ditemukan bukti-bukti fisik setelah kejadian. Pada semua kasus :
a. Catat ukuran dan warna dari memar dan lecet,
b. Catat bukti-bukti komplikasi kekerasan yang mungkin terjadi (tuli, patah tulang, abses
dll),
c. Cek tanda-tanda kehamilan,
d. Catat kondisi mental korban (normal, depresi, percobaan bunuh diri dll).
e. Jika kekerasan terjadi lebih dari 72 jam tapi kurang dari 1 minggu, catat apapun luka
yang menyembuh dan atau luka baru.
f. Jika kekerasan terjadi lebih dari satu minggu dan tidak ada memar atau lecet dan tidak
ada keluhan (misal keluar cairan dari vagina atau anus atau luka), kecil indikasi untuk
melakukan pemeriksaan pelvik.
g. Swab forniks posterior tetap dilakukan untuk mendeteksi adanya Infeksi Menular
Seksual (IMS)
Perhatian khusus untuk korban laki-laki, Untuk pemeriksaan genital :
a. Periksa skrotum, testis, penis, jaringan periuretral, lubang uretra, dan anus
b. Perhatikan apakah korban sudah disunat,
c. Adakah hiperemia, bengkak (bedakan antara hernia, hidrokel dan hematokel), puntiran
testis, memar, robekan anus dll,
d. Puntiran testis termasuk gawat darurat dan membutuhkan rujukan bedah segera,
e. Jika urin berisi sejumlah darah, cek penis dan trauma uretra,
f. Jika perlu lakukan pemeriksaan rektum dan prostat untuk trauma dan tanda infeksi,
g. Jika perlu, kumpulkan bahan dari anus untuk pemeriksaan langsung sperma di bawah
mikroskop.
E. Pemeriksaan Penunjang/Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan ketersediaan
sarana.
1. Lakukan pemeriksaan darah rutin (darah tepi lengkap) dan bila diperlukan periksa waktu perdarahan,
PT (protrombin time) dan PTT (partial thrombo plastin time). Pada trauma abdomen: darah tepi lengkap,
urinalisis, fungsi hati dan amilase.
2. Lakukan pemeriksaan urin dan fases rutin.
3. Rontgen dan USG (jika tersedia) dapat digunakan untuk diagnosis patah tulang dan trauma
abdominal.
4. Pada kasus kekerasan seksual perlu dilakukan tambahan pemeriksaan penunjang antara lain:
a. Penapisan (skrining) penyakit kelamin
1) Tes Rapid Plasma Reagen (RPR) untuk sifilis atau jenis tes cepat lainnya,
2) Pewarnaan Gram dan kultur untuk Gonorea, Kultur atau Enzym-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
untuk Chlamydia atau jenis tes cepat lainnya,
3) Sediaan basah untuk Trichomoniasis,
4) Tes HIV (hanya berdasar bukti dan setelah konseling).
b. Tes kehamilan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kehamilan apabila terdapat indikasi.
c. Pengambilan barang bukti dan sampel yang wajib diambil.
1) Barang bukti utama :
a) Swab/bilas vagina untuk pemeriksaan spermatozoa, sel Infeksi Menular Seksual, DNA
b) Urin untuk pemeriksaan kehamilan, Narkotika dan obat-obatan
c) Swab Mukosa mulut untuk pemeriksaan DNA
2) Barang bukti penunjang:
a) Darah untuk pemeriksaan Toksikologi dan Keayahan (apabila telah terjadi kehamilan)
b) Foto dan swab bekas gigitan, untuk pencocokan cetak gigi pelaku dengan gambaran/pola bekas
gigitan
c) Ambil jaringan dibawah kuku apabila ada riwayat korban melawan dengan mencakar untuk
pemeriksaan DNA
d) Sisiran rambut kemaluan bila korban sudah dewasa untuk pemeriksaan DNA
e) Pakaian yang dipakai waktu kejadian (Celana dalam, BH, baju, rok/celana) untuk menemukan sisa –
sisa kejadian (trace evidence) baik berupa sperma, cairan sperma maupun sisa dari pelaku, rambut
pelaku, tanah, rumput dan lain-lain
Penyimpanan barang bukti
Salah satu teknik yang mudah untuk menyimpan darah atau sperma adalah dengan
mengeringkannya pada suhu kamar melalui media kasa steril atau kertas saring.
Teknik lain adalah dengan memberi pengawet seperti EDTA, NaF 1 % (darah), Na
Benzoat (urine), formalin 10 % (jaringan), alkohol 96 % dan dimasukan kedalam
lemari es (4- 8 derajat) bukan di freezer. Karena barang bukti yang dikumpulkan
berupa bahan biologis maka tentunya akan mudah rusak sehingga perlu diperhatikan
tata cara penyimpanan dan pengirimannya. Jika perlu, hasil pemeriksaan laboratorium dapat di
perbanyak dan dilampirkan
dalam VeR.
F. Penatalaksanaan Medis
Langkah-langkah penatalaksanaan medis:
1. Tangani kegawatdaruratan yang mengancam nyawa terlebih dahulu
2. Pastikan keamanan korban
3. Tangani luka sesuai prosedur
4. Bila dicurigai terdapat patah tulang, lakukan rontgen dan penanganan yang sesuai atau rujuk
5. Bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan USG atau rujuk
6. Bersihkan robekan, irisan dan abrasi, hilangkan kotoran, feses dan jaringan mati atau rusak. Putuskan
apakah luka perlu dijahit. Jika ada luka kotor jangan dijahit, pertimbangkan pemberian antibiotic dan
pereda nyeri
7. Jika ada kulit atau mukosa yang robek, profilaksis tetanus harus diberikan meskipun korban sudah
divaksinasi lengkap. Jika vaksin dan immunoglobulin diberikan pada saat bersamaan, penting untuk
menggunakan suntikan berbeda clan titik suntik berbeda
8. Dengarkan dan dukung korban sesuai manual konseling
9. Pada anak korban KtA, informasikan dengan hati-hati hasil pemeriksaan dan kemungkinan dampak
yang terjadi pada anak dan keluarga serta rencana tindak lanjutnya. Bila anak memiliki status gizi buruk
atau kurang, diberikan makanan tambahan dan konseling gizi pada orangtua atau keluarga
10. Pada kasus kekerasan seksual :
- Segera dirujuk ke Rumah Sakit/dokter kebidanan untuk pemeriksaan lebih lanjut (jika tidak terbiasa
menangani kasus kekerasan seksual);
- Periksa dan cegah kehamilan; diberikan informasi tentang kemungkinan tentang kehamilan. Berikan
kontrasepsi darurat bila kejadian perkosaan belum melebihi 72 jam setelah dilakukan informed consent
(lihat buku pedoman kontrasepsi darurat)
- Periksa, cegah dan obati infeksi menular seksual atau rujuk ke RS; atau berikan informasi tentang
kemungkinan penularan IMS/HIV AIDS dan rujuk ke layanan pencegahan dan pemeriksaan IMS/HIV
AIDS.
- Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV AIDS dalam 6-8 minggu atau rujuk bila perlu
11. Tanyakan makna temuan bagi korban dan keluarganya serta langkah mereka berkaitan dengan
temuan tersebut, lalu terangkan temuan pemeriksaan dan kosekuensinya dengan hati-hati
12. Jika ditemukan masalah gangguan mental, lakukan konseling atau rujuk jika memerlukan intervensi
psikiatrik
13. Periksa dengan teliti dan lakukan pencatatan serta berikan surat-surat yang diperlukan
14. Setiap korban berhak mendapatkan pelayanan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi psikososial.

Anda mungkin juga menyukai