PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berladang berpindah adalah aktifitas membuka hutan untuk menghasilkan sejumlah bahan
makanan, terutama beras guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Agar dapat memperoleh hasil
yang banyak seorang peladang mesti membuka ladang yang luas. Semakin luas ladang, semakin
banyak pula hasil panen yang diperoleh, sebaliknya semakin sempit ladang, akan semakin kecil
Di masa lalu setiap peladang dapat memperoleh hasil yang banyak atau disebut dengan
istilah mondaweako yaitu hasil panen yang mencapai di atas seribu seratus ikat besar padi ladang.
Hasil semacam ini dapat diperoleh karena setiap peladang dapat membuka ladang yang luas dengan
sangat leluasa. Kala itu rata-rata peladang dapat membuka ladang antara tiga hingga sepuluh hektar
atau bahkan lebih, tergantung kemampuan tenaga yang dimiliki peladang. Sehingga itulah aktifitas
perladangan berpindah menjadi sentrum perekonomian penduduk kala itu (Taridala dan Adijaya
2002:15).
Ketika itu kegiatan perladangan berpindah terutama bertujuan untuk memperoleh hasil padi
ladang sebanyak-banyaknya. Ini selalu dapat dicapai oleh peladang karena lahan hutan yang
tersedia masih sangat luas. Satu-satunya yang dibutuhkan peladang saat itu adalah kekuatan fisik
yang prima agar dapat membuka hutan seluas mungkin dengan hanya menggunakan kapak atau
parang seadanya.
Dalam melakukan aktifitas perladangan berpindah, peladang leluasa memilih lokasi yang
dikehendaki dan secara berkelompok melakukan pembukaan lahan pada satu hamparan yang luas.
Ketika panen usai lahan bekas areal perladangan (anahoma) akan ditinggalkan, dan para peladang
akan mencari lagi lokasi yang lain pada tahun berikutnya. Kegiatan membuka hutan untuk areal
perladangan semacam ini dilakukan secara terus-menerus, dari tahun ke tahun tanpa pernah
1
Dewasa ini aktifitas perladangan berpindah sebagaimana dimaksudkan di atas semakin
sulit dilakukan tak terkecuali bagi peladang di Routa. Hal ini disebabkan oleh terjadinya berbagai
Data yang ada menunjukkan bahwa baik dari segi lahan yang diolah maupun dari segi hasil
produksi padi ladang di Kabupaten Konawe terus mengalami penurunan. Meskipun lahan yang
diolah pada tahun 2006 seluas 945 Ha mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 1.412 Ha,
tetapi lahan olahan cenderung mengalami penurunan setelahnya, yakni 1.404 Ha (2008) dan
menjadi 690 Ha (2009). Terjadinya penurunan luas lahan perladangan, boleh jadi disebabkan oleh
sejumlah faktor di antaranya semakin kurangnya areal hutan yang tersedia untuk perladangan,
ekspannsi usaha perkebunan dan pertambangan, serta semakin ketatnya pengawasan dari
pemerintah.
Sedangkan dari segi hasil produksi padi ladang, pada tahun 2006 mencapai 2.298 ton,
meningkat pada tahun 2007 menjadi 3.427 ton. Pada tahun 2008 produksi padi ladang mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya yakni 3.555 ton. Sebaliknya pada tahun 2009 produksi padi
ladang mengalami penurunan cukup drastis dengan jumlah produksi hanya mencapai 2.052 ton.
Penurunan hasil produksi ini sejalan dengan semakin kecilnya areal perladangan yang dibuka
Jika merujuk pada perubahan-perubahan yang terjadi di atas, maka dari sisi perubahan
lingkungan politik ditandai dengan keluarnya regulasi pemerintah di bidang kehutanan yaitu
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang pada pokoknya melarang dan
membatasi segala aktifitas pembukaan hutan untuk tujuan apapun, termasuk aktifitas berladang.
Sesungguhnya proses pelarangan dan pembatasan ini telah berlangsung lama yakni semenjak
Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa
pengelolaan hutan pada dasarnya adalah untuk tujuan komersil (Lynch dan Talbott 2001:81).
2
Namun, karena sejumlah factor seperti belum efektifnya penyelenggaraan pemerintahan di daerah-
daerah terisolir seperti Routa, sehingga dampak dari kebijakan tersebut belum terasa.
Perubahan lingkungan ekologi dimulai dengan masuknya penduduk dari luar ke Routa,
yang secara langsung maupun tidak langsung, telah memicu kompetisi perebutan lahan. Situasi
seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Seiring dengan itu, pemerintah membentuk desa-desa
baru yang kemudian menguasai sebahagian lahan-lahan hutan di Routa. Akibatnya sebahagian
kawasan hutan yang potensial menjadi areal perladangan diambil alih dan dikuasai oleh penduduk
yang menanamkan modalnya di Routa. Potensi kayu yang melimpah di belantara Routa telah
menarik minat beberapa pengusaha dari luar untuk mengusahakan pengolahan kayu di Routa.
Selain bisnis kayu, di Routa juga telah masuk perusahan perkebunan sawit yaitu PT. Duta Sulawesi
Agro (DSA), PT. Damai Jaya Lestari (DJL) dan perusahan pertambangan PT. Rio Tinto
melalui pemberian izin pengolahan kayu, hak guna usaha dan izin usaha pertambangan.
lingkungan tersebut di atas adalah terhadap keleluasaan peladang dalam membuka areal
perladangan. Peladang hanya dapat membuka ladang dengan luasan yang sempit yakni sekitar 0,5
Ha hingga 1 Ha. Akibatnya hasil panen yang diperoleh juga ikut menurun dibanding pada masa-
masa sebelumnya. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa bahan makanan yang
didapatkan dari ladang, khususnya beras hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan paling lama lima
bulan.
Di tengah situasi tersebut di atas, ternyata beberapa penduduk di Routa masih terus
membuka lahan, nampaknya tidak begitu berpengaruh atau diindahkan oleh para peladang. Begitu
pula dengan faktor semakin terbatasnya lahan hutan dan kecilnya hasil panen sebagai akibat kian
bertambahnya penduduk dan pembentukan desa-desa baru serta hadirnya bisnis kehutanan,
3
perkebunan dan pertambangan, juga tidak membuat peladang di Routa menghentikan praktek
perladanganya.
menarik untuk disimak jika dikaitkan dengan sejumlah faktor. Misalnya, resiko hukum yang
mungkin diterima oleh peladang, seperti pidana kurungan badan atau denda dengan jumlah
tertentu; konsekuensi besarnya energi yang dikeluarkan oleh peladang tidak sepadan dengan hasil
panen yang diperoleh; banyaknya pilihan pekerjaan yang tersedia di Routa yang sesungguhnya
lebih ekonomis dan dapat dikerjakan oleh peladang, seperti bekerja di usaha pengolahan kayu
sebagai penebang, penarik dan pengangkut balok atau tukang gergaji, mengumpulkan damar dan
Ini menimbulkan pertanyaan besar yang tidak saja terkait dengan alasan-alasan peladang
yang terus mempertahankan aktifitas perladangan di tengah minimnya hasil panen yang diperoleh,
serta terdapatnya berbagai alternatif pekerjaan yang lebih menguntungkan, tapi juga berhubungan
dengan strategi para peladang dalam menyiasati perubahan lingkungan politik, ekologi dan
B. Masalah Penelitian
Dengan merujuk pada fakta-fakta di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
sebagai berikut:
aktifitas perladangan di tengah minimnya hasil panen yang diperoleh, serta terdapatnya
4
C. Tujuan Penelitian
berpindah dengan mengambil setting penelitian di Routa Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi
Tenggara:
aktifitas perladangan berpindah di tengah minimnya hasil panen yang diperoleh, serta
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif kepada pemerhati antropologi
ekologi, khususnya kalangan akademisi, bagi pengayaan bahan-bahan studi antropologi ekologi.
Penelitian ini juga diharapkan akan memberikan manfaat yang besar dalam rangka pelestarian
lingkungan hidup, khususnya yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait pemerintah dan
pemerintah daerah, serta kalangan LSM yang konsern dalam bidang lingkungan hidup.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Petani Rasional
Petani pada dasarnya adalah rasional. Hal ini merupakan pandangan yang sebaliknya
mengenai moral ekonomi petani yang dikemukakan oleh Scott (1994). Popkin melalui bukunya
The Rational Peasant (1979) lebih menekankan pada pengambilan keputusan dan strategi interaksi
secara individual yang merupakan fenomena pada petani tradisional, sebagaimana dinyatakannya :
Petani tradisional pada dasarnya memiliki sikap rasional dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut dirinya, dan mereka dapat dianggap sebagai melakukan tindakan ekonomi atas
dasar prinsip-prinsip yang rasional, yang hasilnya akan memberi manfaat secara individu ataupun
sosial. Para ekonom moral menekankan bahwa petani-petani lebih menyukai strategi-strategi kecil,
tapi mampu mendatangkan hasil-hasil yang pasti daripada strategi-strategi yang bisa mendatangkan
hasil-hasil yang banyak, namun juga mungkin mendatangkan resiko kegagalan yang besar.
Sebaliknya, kaum rasional menjelaskan bahwa petani masih mempunyai keberanian untuk
melakukan tindakan-tindakan investasi yang beresiko, meskipun mereka termasuk miskin dan
enggan beresiko. Oleh sebab itu, petani melakukan investasi-investasi berjangka panjang maupun
pendek dan mereka juga mengalami krisis jangka panjang dan jangka pendek (Rahardjana
2003:126).
Popkin (dalam Sairin dkk 2002:221) mengatakan bahwa ketika kaum petani melibatkan
diri dalam ekonomi pasar, menanam tanaman komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal itu
terjadi bukan karena mereka melihat bahwa pasar menawarkan peluang kehidupan yang lebih baik
daripada yang ada di desa. Pemberontakan kaum petani, bukanlah upaya restoratif untuk menjaga
kelangsungan struktur sosial lama, melainkan upaya untuk menciptakan struktur sosial baru yang
6
lebih menguntungkan, agar akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi menjadi semakin
besar. Hal ini sejalan dengan pandangan Wolf (2004:8) yang mengatakan bahwa untuk menjamin
keberlanjutan atas tanah dan makanan untuk rumah tangganya, petani seringkali memelihara pasar
pada kekuatan lengannya, untuk keterlibatan terbatas di pasar yang mengancam kepemilikannya
Selanjutnya Popkin (dalam Sairin dkk 2002:222) mengatakan bahwa desa peasant
tradisional sama sekali jauh dari kondisi harmonis dan penuh dengan eksploitasi. Menurutnya, desa
petani lebih tepat dipandang sebagai korporasi, bukan sebagai komun dan hubungan patron-klien
yang terjadi di dalamnya harus dilihat sebagai eksploitasi bukan sebagai hubungan paternal.
Pendapat ini berbada dengan Pelras (2000:393-432) dalam penelitiannya pada masyarakat Bugis-
pedagang seperti halnya Iskandar dan para petani di Routa seperti Sanggili atau Rasak Yusuf.
Walaupun Iskandar memberikan suplay bahan-bahan kebutuhan sehari-hari kepada para petani
yang membutuhkan, namun Iskandar tidak pernah mematok batas maksimum keuntungan yang
kebutuhan sehari-hari kepada para petani di Routa, Iskandar hanya ingin memastikan bahwa kelak
Pasar menurut Popkin bukanlah ancaman bagi kaum petani di pedesaan, sebaliknya pasar
justru membuka peluang agar produk mereka memperoleh harga yang lebih baik serta
menyediakan bahan makanan dalam jumlah yang melimpah sepanjang waktu. Pemberontakan
kaum petani juga tidak disebabkan oleh terjadinya gangguan terhadap pemenuhan kebutuhan
subsistensi mereka, tetapi lebih karena adanya keinginan untuk merebut masa depan yang lebih
Pendekatan petani rasional sangat tepat digunakan dalam melihat melihat fenomena
perladangan berpindah di Routa yang masih bertahan hingga kini. Dengan melihat fakta bahwa
7
peladang pada dasarnya sekaligus menjadi pemilik tanah bekas ladang berpindah tersebut, maka
tanah bekas ladang ini dapat menjadi investasi jangka panjang yang menguntungkan bagi peladang.
B. Perspektif Ekologi
Salah satu perkembangan penting dari sudut pandang teori kultural adalah munculnya
pendekatan evolusionari/ekologis terhadap budaya sebagai sistem adaptif. Para ahli yang
mengembangkan perspektif ini di antaranya adalah Leslie White, dan selanjutnya disusul oleh ahli-
ahli yang muncul belakangan seperti Sahlins, Rappaport, Steward, Harris, Carneiro, Service, dan
kalangan para ahli tersebut terdapat perbedaan sekte antara yang satu dengan lainnya.
Secara garis besar perpektif ekologis terhadap budaya terbagi ke dalam empat sekte yaitu:
1) cultural evolutionism yang dipelopori oleh Service; 2) cultural materialism yang dipelopori oleh
Harris; 3) cultural ecology yang dipelopori oleh Steward, dan; 4) human ecology yang dipelopori
Sementara itu Little (Saharuddin 2007:47) menyatakan, bahwa ada dua pendekatan pokok
pendekatan ekologi budaya, pendekatan ekosistem, dan pendekatan sistem) dan pendekatan
berbagai gejala dalam suatu sistem ekologi, maka pendekatan action-oriented lebih menekankan
pada aspek historis dan tindakan-tindakan individual sebagai suatu proses. Kedua pendekatan ini
dapat saling melengkapi dalam memaknai interaksi sosio-ekologis dengan memberikan tekanan
tersebut—antara sekte cultural evolutionism, cultural materialism, cultural ecology dan human
ecology—namun sebagian besar sarjana yang mengikuti tradisi perspektif ekologis (cultural
adaptionist) sepakat dalam empat asumsi pokok. Pertama, budaya adalah sistem tingkah laku yang
8
diturunkan secara sosial yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan
ekologi mereka. Kedua, perubahan kultural pada dasarnya adalah suatu proses adaptasi dan
maksudnya sama dengan seleksi alam. Ketiga, teknologi, ekonomi secukup hidup (subsistence
economy), dan elemen organisasi sosial yang terikat langsung dengan produksi adalah bidang
pokok budaya yang paling bersifat adaptif. Keempat, komponen-komponen ideasional dari sistem
kultural bisa punya konsekwensi adaptif, seperti mengontrol penduduk, membantu mata
Berdasarkan paparan di atas, nampak bahwa konsep adaptasi selalu hadir dalam analisis
ekologi. Sehingga dapat dikatakan bahwa adaptasi merupakan konsep kunci dalam kajian-kajian
antropologi ekologi, tidak terkecuali dalam kajian mengenai perladangan berpindah, khususnya
Adaptation is the central concept in ecological studies because it is the process whereby
Hardesty pada adaptasi sebagai konsep sentral dalam kajian ekologi, meliputi pula kajian
antropologi ekologi. Hal ini mengingat antropologi ekologi sebagai cabang ilmu antropologi yang
melibatkan diri dalam studi-studi lingkungan ekologis atau menjadikan lingkungan sebagai latar
belakang kajiannya (Hardesty 1941:1, Steward 1976:43-57, Moran 1979:4, Ellen 1982:1, Rambo
Dalam ilmu antropologi terdapat suatu konsep adaptasi yang paling relevan dengan
penelitian ini yaitu yang dikemukakan oleh Bennet (1976). Bennet (1976:246) menganggap bahwa
mengantisipasi. Adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang berulang-ulang sebagai
proses penyesuaian terhadap terhadap lingkungan tersebut. Menurut Bennet, adaptasi bukan hanya
persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup
persoalan transformasi sumberdaya lokal dengan mengikuti model standar konsumsi manusia yang
umum serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional.
9
Kajian Bennet tentang adaptasi memiliki kelebihan dibandingkan dengan studi adaptasi
lainnya, karena keajegan dan konsistensinya, sehingga perangkat konseptualnya juga tampak lebih
komprehensif. Dalam paradigma yang digunakan oleh Bennet, kita menemukan titik temu antara
antropologi ekologi dan antropologi ekonomi (dalam Ahimsa-Putra 2003:9). Di satu sisi, aktifitas
perladangan yang dilakukan oleh penduduk dengan membuka hutan merupakan masalah ekologis.
Namun di sisi lain, perladangan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dengan
Bennet (1976:251-252) menyatakan bahwa terdapat 3 jenis adaptasi yang berbeda satu
dengan lainnya, yaitu adaptive behavior (perilaku adaptif), adaptive strategies (siasat-siasat
adaptif), dan adaptive processes (proses-proses adaptif). Adaptive behavior adalah “coping
mechanism or ways of dealing with people and resources in order to attain goals and solve
problems”. Sementara itu adaptive strategies adalah “the patterns formed by the many separated
adjustments that people device in order to obtain and use resources and to solve the immediate
problems confronting them’’. Sedangkan adaptive processes adalah “the changes introduced over
relatively long periods of time by the repeated use of such strategies or the making of many
adjustment”. Pendapat serupa dengan pandangan Bennet ini dikemukakan pula oleh Alland,Jr
(1970:88) yang menyatakan bahwa adaptasi meliputi behavioral adaptation dan adaptive process.
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku adaptif
berkenaan dengan perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan mengatasi masalah yang
dihadapi; strategi adaptif berkenaan dengan pola-pola dari berbagai perilaku adaptif dan proses-
Lebih lanjut Bennet menyatakan bahwa siasat-siasat adaptif tersebut berada pada tingkat
yang disadari oleh mereka yang menjalankannya. Dengan kata lain, para pelaku dapat merumuskan
siasat-siasat tersebut baik dalam bentuk pengetahuan maupun tindakan. Ini berbeda dengan proses-
proses adaptif, yang merupakan pernyataan, formulasi dari pengamat atau/peneliti (Ahimsa-Putra
2003:10).
10
Suatu perilaku dinyatakan adaptif apabila berkenaan dengan pencapaian tujuan atau
penyelesaian masalah, yang secara spesifik merupakan perilaku untuk mengatasi kendala-kendala
yang sulit, yang antara lain meliputi keterbatasan atau kelangkaan sumberdaya guna mencapai
tujuan-tujuan tertentu atau mewujudkan harapan-harapan yang diinginkan (Bennet dalam Ahimsa-
Putra 2003:10-11).
coping yang berhasil haruslah berarti bahwa orang yang melakukannya dapat mewujudkan apa
yang diinginkannya. Ini lebih menekankan pada cara-cara menangani yang antara lain meliputi
and staying.”
Sejalan dengan pendapat para ahli di atas, Barlett (dalam Marzali 2003:26) menyatakan,
bahwa tujuan dari kajian-kajian dengan pendekatan strategi adaptif adalah untuk menghasilkan
empat hal berikut ini. Pertama, penggambaran yang jelas tentang strategi nyata yang dilancarkan
para petani, dan keanekaragaman pilihan strategi yang mereka aplikasikan. Kedua, gambaran
tersebut. Ketiga, eksplanasi tentang mengapa variabel yang satu lebih menentukan daripada
variabel yang lain. Keempat, ramalan tentang arah perkembangan dan implikasi jangka panjang
Suatu perilaku atau serangkaian perilaku sebagai strategi adaptif terhadap lingkungan tidak
muncul begitu saja, tetapi selalu terkait dengan konteks sosial politik dimana para aktor, dalam hal
ini peladang berpindah berada. Oleh karena itu, maka dalam rangka memahami fenomena tetap
bertahannya aktifitas perladangan berpindah di Routa, selain konsep strategi adaptif tersebut di
atas, yang tidak kalah pentingnya juga adalah penggunaan konsep ekologi politik.
Kajian ekologi politik mulai berkembang sejak akhir decade 1970an dan awal 1980an
(Satria 2007:88). Forsyth (2003;Satria 2007:88) menjelaskan bahwa ekologi politik merupakan
kelanjutan dari kajian ekologi budaya (cultural ecology). Hal ini bisa dilihat dari kajian-kajian
cultural ecology tahun 1960an. Sebagaimana dikatakan oleh Netting (1993;Satria 2007:88) yang
11
mengatakan bahwa ekologi budaya memfokuskan diri pada “particular circumstances of
geography, demography, technology, and history that result in a splendid variety of cultural
values, religion, kinship systems, and political structures in local environmental strategies”.
Sementara itu ekologi politik sendiri memfokuskan diri pada penjelasan politik terhadap perubahan
Salah satu pendekatan ekologi politik yang paling relevan dengan kajian mengenai tetap
bertahannya aktifitas perladangan di Routa adalah pendekatan aktor (actor oriented). Pendekatan
ini berpijak pada konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan
lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah
itu muncul. Menurut Bryant dan Bailey (2001;Satria 2007:93) ada beberapa asumsi yang mendasari
pendekatan aktor ini, yaitu bahwa: 1) biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan
dinikmati para aktor secara tidak merata; 2) distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut
mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi; 3) dampak sosial ekonomi yang berbeda dari
perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik dalam arti bahwa terjadi perubahan
C. Perladangan Berpindah
Perladangan berpindah yang dalam Bahasa Inggris berpadanan dengan shifting cultivation,
rotary cultivation dan swidden agriculture, sementara dalam Bahasa Indonesia ditemui pula istilah
sistem pertanian gilir balik. Kendati demikian, istilah-istilah tersebut merujuk kepada makna yang
serupa tapi tak sama yakni suatu kegiatan pertanian yang dilakukan dengan membuka kawasan
Rambo dan Seavoy mengemukakan definisi terkait perladangan berpindah, sebagai berikut:
Swidden agriculture is a system in which farmer cuts a plot of land in the forest,
allows the vegetation to dry and then burns it before planting a crop”(Rambo
1983:8).
Shifting cultivation is commonly defined as clearing trees and then cultivating this
land for one or more years before abandoning it in favor of others patches (Seavoy
dalam Adijaya 2000:11).
12
Definisi Rambo di atas menekankan pada adanya praktek penebangan, pengeringan,
pembakaran dan penanaman dari ladang berpindah. Sementara itu Seavoy lebih menekankan pada
praktek penebangan pepohonan dan pengolahan tanah untuk beberapa tahun sebelum kemudian
ditinggalkan.
Pada dasarnya perladangan berpindah adalah suatu bentuk penggunaan lahan/tanah yang
sering dihubung-hubungkan dengan masyarakat tradisional yang ada di dalam atau di sekitar hutan
yang hidup secara relatif terisolir. Perladangan berpindah lebih dicirikan oleh adanya pola daur
ulang pemanfaatan suatu lahan ketimbang jenis tanaman yang dihasilkan dari lahan yang
bersangkutan, dan sering pula diterapkan teknik-teknik tebang bakar (Zakaria 1997:72).
suatu daerah di hutan atau di sabana yang dibersihkan (ditebang dan dibakar), ditanami satu sampai
tiga kali setahun. Lalu lahan tersebut dibiarkan untuk waktu yang lama (10-15 tahun), sehingga
menjadi hutan kembali. Sesudah itu hutan bekas ladang tadi dibuka atau diolah seperti siklus
awalnya.
Gourou (dalam Geertz 1976:16) menyatakan bahwa secara garis besar terdapat
empat ciri perladangan, yaitu dijalankan di tanah tropis yang gersang; menggunakan teknik
pertanian yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak; terjadi pada
masyarakat yang kepadatan penduduknya rendah, dan pada masyarakat yang tingkat
konsumsinya rendah.
Sementara itu Taridala dan Adijaya (2002:27) mengatakan bahwa perladangan berpindah
atau monda’u adalah suatu bentuk usaha perladangan dengan membuka hutan untuk kemudian
ditanami. Monda’u dilakukan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya (slash and
burn) dan terdiri beberapa tahapan, sebagai berikut: 1) monggiikii ando’olo (pemilihan lokasi
perladangan); 2) mohoto o wuta (upacara pra monda’u); 3) mosalei (menebang pepohonan kecil,
13
mosaira dan mete’ia (membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman); 9) mosowi (panen); 10)
Tahapan dan proses sebagaimana disebutkan di atas, dewasa ini telah mengalami
perubahan. Beberapa tahapan dan proses tidak lagi dilakukan oleh peladang, di antaranya
pemilihan lokasi perladangan, upacara penanaman dan molonggo. Aktifitas perladangan dewasa ini
lebih difokuskan pada adanya ketersediaan lahan yang akan diolah sebagai ladang—yang nantinya
D. Penelitian Terdahulu
Guna memberikan arahan yang dapat membantu dalam menjelaskan dan memahami
masalah penelitian yang hendak diungkap, maka Saya perlu mengemukakan beberapa hasil
penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Selain itu pula hal ini penting untuk menunjukkan
bahwa penelitian yang hendak Saya lakukan merupakan hal baru yang belum pernah diteliti
sebelumnya.
Penelitian atau kajian tentang perladangan berpindah telah banyak dilakukan di antaranya
oleh Dove (1981), Babcock (1999), Zakaria (1991), Desianti (1995), Fawnia (2004), H.E.
Dove (1981) memfokuskan kajiannya pada berbagai sistem perladangan dalam kaitannya
dengan apa yang disebutnya sebagai citra lingkungan, khususnya yang bercorak kosmis-magis.
Menurut pandangan citra lingkungan yang bercorak kosmis-magis (sering pula disebut religio-
magis) manusia adalah sebagian dari alam lingkungan itu sendiri. Manusia tidak terpisah dan
berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan komponen lingkungan yang lain. Dengan
demikian, wawasannya bersifat holistik atau menyeluruh; tidak ada pemilah-milahan antara
manusia dengan alam semesta; tidak ada batasan antara dunia lahir dengan dunia ghaib. Segala
yang di alam semesta berbaur menjadi satu, bersangkut paut, jalin menjalin, dan saling
14
mempengaruhi satu sama lainnya, karena manusia senantiasa bertalian dengan semua komponen
keuntungan ekonomis maupun ekologis yang dapat diperoleh para peladang. Menurutnya dari segi
ekonomis, peladang tidak saja dapat menghasilkan beragam komoditi yang dapat dipasarkan tetapi
juga mereka memperoleh waktu luang untuk mengerjakan pekerjaan lain pada masa antara tanam
dan panen. Hal ini berbeda dengan sistem pertanian sawah yang menuntut kehadiran petani setiap
saat di sawahnya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa dengan menanam berbagai jenis tanaman,
Kajian Zakaria (1994) memfokuskan pada sejauhmana sistem perladangan berpindah telah
dengan sistem tebang bakar, namun tidak dapat dipandang begitu saja sebagai tindakan merusak
hutan. Hal itu disebabkan karena sistem pertanian seperti itu merupakan suatu sistem adaptif
terhadap alam lingkungan yang di dalamnya terdapat berbagai kearifan lingkungan. Menurutnya,
banyak faktor yang menyebabkan deforestasi dan peladang berpindah hanyalah salah satu bahagian
saja yang sangat kecil kontribusinya, jika memang harus dimasukkan sebagai salah satu faktor
perusak.
Penelitian Desianti (1995) pada suku Dayak Bentian di Kalimantan Timur lebih diarahkan
pada usaha menemukan kearifan lingkungan yang terdapat dalam praktek perladangan.
Menurutnya orang Dayak Bentian mengenal konsep keserasian dan perawatan hutan, dimana dalam
adat mereka dikenal adanya kawasan-kawasan hutan yang tidak boleh dirusak dan hanya boleh
Fawnia (2004) dalam kajiannya melihat implikasi ekologis dari adanya sistem perladangan
berpindah terhadap kondisi ekosistem dengan membandingkan struktur dan komposisi vegetasi dari
beberapa tahapan suksesi komunitas sekunder (reuma) dengan komunitas hutan tua (leuweung
15
kolot) di Kawasan Adat Baduy, Desa Kanekes, Banten, dan melihat kaitan perbedaan struktur dan
menyoroti sifat konservasi dari usaha pertanian tersebut. Menurutnya walaupun terdapat sisi negatif
dari usaha pertanian semacam ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perladangan berpindah
memiliki keunggulan bila dihubungkan dengan konservasi karena adanya prinsip pemberaan
(fallow) dalam konservasi tanah. Konservasi lahan melalui pemberaan (fallow) yang panjang dapat
dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah. Hal ini dapat memberikan efek
yang menguntungkan terhadap penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan
produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang telah terdegradasi.
Hijjang (2004) dalam kajiannya pada orang Dayak Benuaq mengkaji masalah perladangan
dalam kaitannya dengan upaya menemukan pengetahuan lokal yang terdapat di dalamnya. Salah
satu kesimpulan penting dari kajian tersebut yaitu pengetahuan lokal komunitas Dayak Benuaq
yang menjadi acuan dalam aktivitas perladangan bersumber dari sistem nilai budaya yang
bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat secara berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain dengan cara membuka lahan hutan primer maupun sekunder. Dalam kajiannya
membuka areal hutan untuk berladang karena alasan kesuburan tanah. Hal ini karena secara umum
para peladang berpendapat bahwa hutan memiliki tanah yang subur sehingga hasil ladang yang
mengarahkan kajiannya pada dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perladangan berpindah
terhadap lingkungan. Hal ini ditunjukkannya dalam penelitiannya pada masyarakat peladang
berpindah yang bermukim di bukit utara-timur wilayah India. Beberapa efek samping dari
16
perladangan berpindah di antaranya adalah deforestasi, deplesi tanaman dan sumber daya genetik
ternak, penggurunan, erosi tanah merangsang kehilangan hara, dan pendangkalan pada badan air.
Tawulo (1998) dalam penelitiannya pada masyarakat Tolaki di Palangga Konawe Selatan
memfokuskan kajiannya pada aspek perladangan berpindah semata. Penelitian tersebut bersifat
sebagaimana yang dilihatnya pada orang Tolaki di Palangga. Ia menganggap bahwa perladangan
Penelitian Adijaya (2000) pada suku Tolaki di Desa Pamandati juga difokuskan pada
unsur-unsur ramah lingkungan dan tidak ramah lingkungan yang terdapat dalam praktek
perladangan. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa beberapa tindakan peladang yang
dipandang ramah lingkungan di antaranya adalah tidak menebang seluruh pohon besar, menyisakan
pepohonan di dekat areal mata air, dan membersihkan pinggir ladang ketika hendak melakukan
pembarakan. Sementara itu tindakan yang dipandang tidak ramah lingkungan di antaranya adalah
kebiasaan peladang membersihkan tunas kayu yang mulai tumbuh karena mengganggu tanaman
padi, dan kebiasaan mengumpulkan potongan sisa-sisa pembakaran pada tunggak pohon lalu
kemudian dibakar. Akibat tindakan ini tunggak pohon yang masih memiliki kemungkinan untuk
Dari berbagai penelitian di atas, sedikit (jika ada) penelitian yang menyoroti tentang
fenomena bertahannya aktifitas perladangan berpindah di tengah perubahan lingkungan yang tidak
menguntungkan bagi aktifitas ini di satu sisi, serta tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih
E. Kerangka Konseptual
Berladang berpindah adalah aktifitas membuka hutan untuk menghasilkan sejumlah bahan
makanan, terutama beras guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Agar dapat menghasilkan
bahan makanan yang banyak seorang peladang mesti membuka ladang yang luas. Semakin luas
17
ladang semakin banyak pula hasil panen yang diperoleh, sebaliknya semakin sempit ladang akan
Dewasa ini aktifitas perladangan berpindah terus mengalami tekanan baik dari pemerintah
maupun dari masyarakat. Tekanan tersebut berupa pelarangan atau pembatasan pembukaan hutan
untuk areal perladangan serta orientasi pemerintah yang lebih mengutamakan bisnis kehutanan
yang menguntungkan bagi peningkatan pendapatan. Di samping itu pula adalah bertambahnya
penduduk, pembentukan desa baru serta hadirnya berbagai kegiatan investasi yang berarti
bertambahnya tekanan terhadap lahan, termasuk lahan hutan untuk areal perladangan. Akibatnya
usaha perladangan berpindah tidak dapat lagi dilakukan dengan leluasa, sehingga jumlah hasil
Pada sisi lainnya, di Routa terdapat berbagai kegiatan yang secara ekonomi lebih
menguntungkan di antaranya adalah bekerja di perusahan pengolahan kayu sebagai penarik dan
pengangkut balok, mengumpulkan damar alam, rotan atau bekerja di perkebunan sawit yang tidak
jauh dari Routa. Guna lebih memahami kerangka konseptual ini akan dituangkan dalam bentuk
Kerangka Konseptual
Berladang Berpindah
Terdapat beberapa
Perub. Lingk. Politik Perub. Lingk. Ekologi Perub. Lingk. Ekonomi
kegiatan yang lebih
ekonomis
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang berusaha
memahami native’s point of view (Spradley 2007:3) dan memaparkan data secara deskriptif dan
B. Tahapan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode etnografi karena itu penelitian ini akan mengikuti
etnografi menurut Spradley (1997:131) adalah sebagai berikut: 1) memilih masalah penelitian; 2)
Walaupun penelitian etnografi dibagi menjadi lima tahap, namun kelima tahap itu tetap
dilakukan secara serentak dalam waktu yang sama sebagai suatu siklus berantai dari tahap awal
sampai pada tahap akhir. Dengan kata lain, masalah penelitian yang telah dipilih masih bersifat
sementara sehingga bisa berubah sesuai dengan kondisi fenomena komunitas setempat setelah
data lapangan, sementara pengumpulan data berlangsung maka dirumuskan hipotesis kerjanya dan
analisis data serta penulisan laporan yang bersifat sementara (Hijjang, 2004).
C. Lokasi Penelitian
Sebelum penelitian ini, saya sudah empat kali ke Routa ketika terlibat dalam baseline
research Sulawesi Nickel Project. Penelitian tersebut dilakukan atas kerja sama PT. Riontinto
19
Kunjungan dalam rangka melakukan penelitian telah dilakukan empat kali, yakni sekali di akhir
Penelitian saya ketika itu mengambil tema ’Tanah dan Permasalahannya’, salah satu yang
menjadi fokus dalam penelitian tersebut adalah mengenai pola penguasaan tanah di Routa (Adijaya
2009). Ketika itu saya menemukan fenomena yang menarik yang saat itu tidak menjadi fokus
2. Ada fenomena yang menarik yakni kendati berladang hanya menghasilkan panen yang
kecil dan di sisi lain banyak pekerjaan yang lebih ekonomis dan dapat dikerjakan, namun
Oleh karena itulah berdasarkan kenyataan di atas, maka saya memilih untuk kembali
melakukan penelitian di Routa dengan tema bertahannya aktifitas berladang berpindah tersebut.
Routa dalam konteks penelitian ini tidak saja dipahami sebagai suatu wilayah administratif
D. Prosedur Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan selama dua bulan yakni pada bulan April dan Mei 2011. Ada
dua faktor yang memudahkan saya dalam mengumpulkan data di lapangan yaitu: 1) sebahagian
informasi terkait dengan penelitian ini sudah diperoleh ketika saat pertama saya melakukan
penelitian di Routa; 2) karena saya sudah pernah berada disana, saya sudah relatif kenal dengan
Routa dan orang-orangnya, dan dengan siapa saya memperoleh informasi terkait dengan penelitian
ini.
20
E. Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling
yaitu penentuan informan berdasarkan kebutuhan penelitian. Menurut Spradley (1997:68) seorang
informan yang baik minimal memenuhi lima persyaratan yaitu: 1) enkulturasi penuh;
2) keterlibatan langsung; 3) suasana budaya yang tidak dikenal; 4) waktu yang cukup; dan 5) non
analitik. Berdasarkan hal tersebut maka Informan penelitian ditetapkan terdiri atas informan kunci
1. Informan kunci adalah Camat Routa dan pemuka masyarakat yang mengetahui banyak
2. Informan biasa adalah yakni petani ladang yang masih aktif berladang berjumlah 12 orang
dan yang sudah tidak berladang berjumlah 2 orang. Dalam melakukan wawancara dengan
petani ladang, kadang kala dilakukan di ladang dan ada pula yang dilakukan di rumah
bersangkutan. Pada saat wawancara dengan sejumlah petani ladang kadangkala mereka
disertai dengan istrinya yang ikut duduk mengikuti proses wawancara. Selain petani
ladang, saya juga mewawancarai petugas kehutanan, personil polisi, pengusaha kayu dan
pedagang.
Data dalam penelitian ini terdiri data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
1. Wawancara mendalam
Pada dasarnya wawancara mendalam dalam penelitian adalah suatu percakapan yang
menyatakan bahwa tujuan utama wawancara antara lain: a) untuk menggali pemikiran konstruktif
seorang informan, yang menyangkut peristiwa, organisasi, perasaan, perhatian, dan sebagainya
yang terkait dengan aktivitas budaya; b) untuk merekonstruksi pemikiran ulang tentang hal ihwal
21
yang dialami informan masa lalu atau sebelumnya; c) untuk mengungkap proyeksi pemikiran
interview) dan alat perekam. Adapun topik-topik wawancara dalam penelitian ini yang menyangkut
masalah strategi peladang di antaranya adalah: 1) bentuk-bentuk dan proses pelarangan dan
pembatasan pembukaan hutan oleh pemerintah; 2) seputar bisnis kehutanan di Routa dan
tekanannya terhadap hutan; 3) tekanan pertambahan penduduk terhadap ketersediaan hutan, dan; 4)
respon peladang terhadap kebijakan pelarangan dan pembatasan pembukaan hutan, bisnis
kehutanan dan tekanan penduduk; 5) luas areal perladangan; 6) jumlah hasil panen padi yang
diperoleh; 7) jumlah hasil panen non padi lainnya yang diperoleh, dan; 8) respon peladang terhadap
berladang di antaranya adalah: 1) alasan-alasan yang bersifat moral, dan; 2) alasan-alasan yang
bersifat rasional.
2. Pengamatan
pengamatan dilakukan pada saat terjadi aktivits budaya dan wawancara secara mendalam. Adapun
sasaran pengamatan di antaranya adalah: 1) kondisi hutan dan kawasan hutan; 2) aktifitas
pengamanan hutan oleh aparat berwenang; 3) aktifitas perladangan; 4) aktifitas ekonomi lainnya,
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui kantor desa, biro pusat statistik, atau
instansi lain yang terkait dengan data-data demografis, kehutanan dan lain-lain yang berhubungan
G. Analisis Data
Analisis data adalah suatu cara pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan
bagian-bagiannya, hubungan di antara bagian-bagian itu, serta hubungan bagian-bagian itu dengan
22
keseluruhannya (Spradley 1997:129). Analisa data dilakukan mulai dari awal hingga akhir
penelitian atau semenjak diperolehnya data di lapangan (Endraswara 2003:215). Data yang sudah
terhimpun diklasifikasi dan dideskripsi secara holistik-integratif, dan ditafsirkan secara kualitatif
dari perspektif masyarakat yang diteliti (emik) dan dari perspektif peneliti (etik) guna menjawab
permasalahan penelitian.
penarikan kesimpulan) secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data.
Kharakter yang demikian menjadikan analisis data kualitatif disebut pula sebagai model interaktif
(Salim 2006:22).
Reduksi
Data
Kesimpulan dan
Verifikasi
Data yang dianalisis dengan perspektif interpretatif adalah data-data mengenai: bentuk-
bentuk dan proses pelarangan dan pembatasan pembukaan hutan oleh pemerintah, seputar bisnis
kehutanan di Routa dan tekanannya terhadap hutan, tekanan pertambahan penduduk terhadap
ketersediaan hutan, respon peladang terhadap kebijakan pelarangan dan pembatasan pembukaan
hutan, bisnis kehutanan dan tekanan penduduk, luas areal perladangan, jumlah hasil panen padi
yang diperoleh, jumlah hasil panen non padi lainnya yang diperoleh, respon peladang terhadap
23
hasil panen yang diperoleh, alasan-alasan yang bersifat moral dan rasional, kondisi hutan dan
kawasan hutan, aktifitas pengamanan hutan oleh aparat berwenang, aktifitas perladangan, aktifitas
24
BAB IV
EKOLOGI PENELITIAN
Routa merupakan wilayah ekologis di daratan paling utara Kabupaten Konawe, berbatasan
langsung dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah, dengan luas seluruhnya
adalah 2.188,58 km². Daerah ini terdiri dari jejeran pegunungan dan lembah yang dialiri oleh
sungai dan anak sungai, salah satu di antaranya yang paling besar yaitu Sungai Wuaki atau dikenal
juga dengan sebutan Sungai Lalindu. Pegunungannya berlapis-lapis memanjang dari timur ke barat
dengan didominasi oleh vegetasi gunung hutan, padang savana dan sebahagiannya lagi gunung
batu kapur. Pada celah-celah antar pegunungan terbentuk lembah yang landai dan datar, dengan
Secara administratif, Routa merupakan satu wilayah kecamatan yang meliputi tujuh desa
yaitu Parudongka, Tirawonua, Routa, Puuwiwirano, Tanggola, Walandawe, Bininti dan Lalomerui.
Sebelumnya Routa adalah bagian dari Kecamatan Wiwirano yang dimekarkan pada tanggal 27 Juli
Lingkungan alam Routa terdiri dari kawasan hutan dengan vegetasi yang sangat beragam,
khususnya kayu, rotan dan dammar. Beberapa jenis kayu yang terdapat di dalam kawasan hutan
Routa di antaranya adalah bayam, kayu hitam, dammar alam, meranti, kolaka, cendana, pondo,
25
kulipapo, asana, silae, wewu, bolongita, benua, koni, kulipapo, nguru, kulahi, eha, sisio dan lain-
lain. Kini, kendati hutan alamnya masih merupakan bahagian terbesar dari lingkungan alam Routa,
namun pada beberapa tempat sudah berubah menjadi areal pertanian dan perkebunan penduduk.
Selain kayu, beberapa jenis rotan yang ada di Routa di antaranya yang paling dominan dan
memiliki nilai ekonomi tinggi adalah rotan batang dan lambang. Sedangkan lokasi-lokasi hutan
damar terpenting di antaranya adalah kawasan hutan Bunggu’osu, Tadosolo dan Walandawe.
Kedua jenis tumbuhan ini dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber mata pencaharian, selain
kayu.
26
Pada areal budidaya terdiri dari tanaman kakao, merica, gaharu, kelapa, cengkeh dan
tanaman campuran lainnya. Tanaman lada dan kakao merupakan tanaman inti penduduk sementara
tanaman-tanaman lainnya seperti disebutkan hanya ditanam seadanya saja dan kurang berkembang.
Pada beberapa lokasi juga khsususnya di Desa Tirawonua terdapat areal persawahan penduduk.
Routa berasal dari bahasa Tolaki terdiri dari dua suku kata yaitu ’ro’ diambil dari kata
’ihiro’ atau ’mbeihiro’ yang berarti mereka dan ’uta’ yang berarti hutang sehingga routa berarti
berhutang. Penamaan Routa sebagai sebuah nama kampung memiliki riwayat sendiri. Dahulu
orang Tolaki gemar berkeliling negeri mencari kepala orang yang dianggap sebagai musuh untuk
jadi pajangan. Dalam bahasa Tolaki hal itu disebut Ponga’E. Suatu ketika Orang Wiwirano telah
mendapat dua buah kepala orang (masih tanda tanya), sementara orang Kuliasa (Routa, sekarang)
tidak mendapatkan kepala musuh sama sekali. Oleh karena itu maka orang Kuliasa meminta untuk
mengutang sebuah kepala orang dari orang Wiwirano. Menurut cerita bahwa kebiasaan memajang
kepala musuh ini merupakan tradisi nenek moyang yang telah berlangsung lama. Kemampuan
memajang kepala musuh dianggap sebagai simbol superioritas suatu kelompok suku atas kelompok
suku lainnya.
Setelah Orang Kuliasa berhutang kepala, Orang Wiwirano mengatakan bahwa hutang itu
tidak usah dibayar dengan catatan nama kampung Kuliasa mereka ganti menjadi Routa yang berarti
berhutang. Sejak itu Routa menjadi nama kampung Kuliasa. Peristiwa ini diprakirakan terjadi
ketika Wiwirano belum menjadi distrik yakni pada masa penjajahan Belanda.
Nama lain daerah Routa dahulu juga dinamakan Luhundokulo. Luhundokulo berasal dari
dua suku kata yakni ‘luhu’ arti lekukan sungai yang membentuk lubang dengan bagian atasnya
bertebing dan ‘ndokulo’ atau ‘tokulo’ salah satu jenis pohon yang sering tumbuh dipinggiran
sungai berdaun lebar dan dapat dimakan sebagai sayur-sayuran. Demikianlah daerah itu diberikan
nama oleh orang di Routa. Daerah ini secara geografis berada dalam wilayah pegunungan Pu’u
Mo’au.
27
Sejalan dengan perkembangan wilayah ini, khususnya semenjak datangnya orang-orang
Tator untuk tujuan mendamar, maka oleh orang Tator daerah ini dinamakan Kulijassa yang berarti
hopa atau walahopa yaitu sejenis pohon yang sering digunakan untuk mewarna merah air minum.
Di masa lalu dan hingga kini beberapa penduduk memiliki kebiasaan memberi pewarnah merah
untuk air minumnya. Konon ini bersumber dari kebiasaan orang di masa lalu yang gemar
Pohon ini juga banyak tumbuh di daerah itu. Kulijassa atau yang populer disebut orang
sebagai Kuliasa—dimana orang Tator tinggal—kini tepatnya terletak di belakang Routa kampung
lama di Puuwatu. Kuliasa sekarang dinamakan Tirawonua. Tirawonua berasal dari bahasa Tolaki
yang artinya batas negeri. Batas negeri antara orang Tolaki di Routa dan orang Bugis di Kuliasa.
Nama lain dari kampung Routa adalah Polihe. Dalam bahasa orang To Routa—demikian
orang Tolaki di Routa menyebut dirinya—Polihe berarti mengintip atau mengawasi, yaitu mereka
mengintip atau mengawasi gerak-gerik musuh orang Padoe yang hendak menyerang orang Tolaki
di Routa. Molihe dilakukan pada sebuah benteng yang juga disebut Benteng Polihe. Benteng
tersebut dibuat dari batu yang disusun di atas ketinggian. Sekarang ini benteng tersebut masih ada
Anak pinak orang Luhundokulo juga biasa disebut orang Kuliasa atau orang Polihe atau
orang Tirawonua kini menempati kampung baru Routa—sebagai wilayah tak terpisahkan dari
kampung lama dan menamakan dirinya sebagai orang Routa. Mereka telah bermukim di Routa
semenjak sebelum jaman Belanda. Pada tahun 1951 penduduk di Routa dievakuasi ke Linomoyo
karena alasan keamanan, ketika itu Routa merupakan salah satu jalur pergerakan pemberontakan
gerombolan DI/TII. Proses evakuasi penduduk tersebut dilakukan saat Batalyon 526 Brawijaya tiba
tahun 1951 di Routa dengan tujuan melakukan penumpasan terhadap pemberontakan DI/TII.
Ketika itu batalyon 526 bekerja sama dengan PDK (Pasukan Djihad Konawe)—representasi
kelompok perlawanan orang Tolaki yang dibentuk oleh Idrus, Hamid Hasan, Lambauta, dkk---
diseluruh daratan Konawe termasuk Routa. Setelah situasi keamanan sudah normal, penduduk
kembali ke Routa tahun 1957 dibawah pimpinan Sukman. Kembalinya penduduk ke Routa
28
dilakukan atas restu Danrem 143 Haluoleo yang saat itu dijabat oleh Kolonel Oprastolada. Pada
tahun 1968 karena alasan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah Kecamatan Asera yang saat
itu jabat oleh Camat Latif memerintahkan orang di Routa untuk kembali ke Asera, namun
Orang Tolaki di Routa berasal dari Danau Matano dan sebahagian lagi berasal dari Unaaha.
Orang Tolaki dari Danau Matano datang ke Routa karena terdesak setelah berperang melawan
orang Padoe. Pada awalnya orang Tolaki bermukim di Matano kemudian mundur ke Lambatu
karena perang dengan Padoe (kristen) kira-kira sebelum jaman Belanda. Penyebab terjadinya
perang antara orang Tolaki dengan orang Padoe karena mereka ingin datang untuk memerintah
Matano tetapi orang Tolaki tidak mau. Setelah tinggal di Lambatu orang Tolaki hidup dengan
bersawah hingga datangnya orang Torongkong. Sebelum orang Tolaki datang ke Lambatu, belum
ada orang yang menghuni daerah tersebut. Lambatu pertama kali dihuni oleh Langodi dan
pengikutnya. Lambatu berasal dari kata tula artinya kowuna/bambu dan watu artinya batu.
Diperkirakan peristiwa ini terjadi pada masa sebelum era kemerdekaan/masa penjajahan Belanda.
Sedangkan orang Tolaki dari Unaaha datang ke Routa sebagai bagian dari proses pembagian
kekuasaan dari Kerajaan Konawe yang menugaskan salah seorang staf kerajaan untuk memimpin
di daerah ini yaitu di Wiwirano dan salah satu kampungnya adalah Routa.
Selain orang Tolaki, dahulu Routa juga dihuni oleh orang Bungku. Awalnya Routa dihuni
oleh orang Tolaki dan orang Bungku, tetapi karena orang Bungku tidak bisa perang maka mereka
disuruh pindah ke Labua atau Bende. Pada saat itu Raja Bungku adalah Lapatiku yang kemudian
melahirkan Anakiya Sule (anak raja Bungku). Pada saat itu Distrik Wiwirano pertama adalah
Kapita Ronga bersaudara dengan Wotiti dengan gelar Bokeo Motu’o. Kepala kampung Routa
berturut-turut adalah Lameta, Mudi, Lapomi (jaman Belanda), Badolo orang Bugis (pada masa
gerombolan), Sukman orang Tolaki menjadi kepala desa pada tahun 1964 hingga tahun 1994.
Sukman kemudian digantikan oleh Taksir anaknya yang memerintah dari tahun 1994–1999, dan
kemudian digantikan oleh Nusa yang memerintah dari tahun 1999–Juli 2005. pada tanggal 27 Juli
29
2005 Desa Routa seiring dengan pemekaran kecamatan berubah status menjadi kelurahan yang
Ketika pertama kali datang di Routa mereka melakukan usaha perladangan selain
mendamar. Beberapa lokasi yang menjadi areal perladangan adalah ta’u i batubara, ta’u i laroawu,
ta’u i pombole’a o nohu, ta’u i o ou, ta’u i pombala’a o dopi, dan ta’u i angkeu. Daerah bekas areal
perladangan lainnya orang Routa yang dimasa lalu pernah dijadikan sebagai perkampungan yaitu
Puntiko (telah masuk wilayah Sulawesi Selatan), Lerea, Pambada, Heo Epe, Tokaluku, Sampalawa,
Wiwirano Motu’o, Leperi, Tetemondoe, Lingato, Tapuwuri, Tetedopi, Hiuka, Laeu, Lawali, Asera
Tua, Mandawa, Kuia, Pondoa, Watupali, Mopute, Po’ona, Dambata, Epe Pu’u, Tetenggowuna,
Mosiku, dan Walandawe. Sedangkan lokasi mendamar orang Routa di antaranya Larondoko,
Polihe dan kampung baru Routa, dan ada pula yang ditanami tanamanan perkebunan. Di lokasi
yang dijadikan sebagai tempat pemukiman, penduduk juga sering mananam tanaman jangka
panjang seperti kelapa, mangga, durian, dan langsat. Tanaman-tanaman tersebut ditaman di sekitar
Setelah bertahun-tahun hanya mengandalkan hidup dari usaha berladang, orang di Routa
menanam tanaman kopi dan merica. Kedua jenis tanaman ini menjadi komoditi utama
perekonomian penduduk, di samping mendamar. Penghasilan penduduk dari kedua sumber ini
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belakangan kedua jenis tanaman ini terserang
hama, khususnya merica yang sering menjadi keputih-putihan dan tak berbiji. Akhirnya penduduk
meninggalkan tanaman ini dan beralih ke tanaman kakao. Era tanaman kakao menjadi populer
ketika gelombang migrasi penduduk dari Sulawesi Selatan pada tahun 1990-an semakin intens
Beberapa bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan Routa sebagai kampung tua di
antaranya adalah sebagai berikut, Pertama, adanya tanaman tumbuh dan bekas tanaman tumbuh.
Pepohonan kelapa tua yang terdapat di Wowa Polihe adalah kelapa Lameta dan Lamadua.
30
Sekarang ini kelapa tersebut dimiliki oleh Bese anak dari Haura istri Saidu. Pohon mangga tua
terdapat di Polihe yang sekarang sudah menjadi areal kebun kakao, pohon mangga ini sekarang
tinggal tunggaknya. Pohon damar tua jumlahnya sekitar sepuluh pohon namun sekarang sudah
ditebang pada tahun 1992. Pohon durian ada empat pohon tetapi yang ada sekarang sisa tiga pohon,
satunya sudah mati. Ada juga dua pohon durian milik Sirei di Polihe tetapi sudah ditebang tahun
1991. Pohon langsat di Wowa Polihe, hingga sekarang pohon langsat ini masih banyak. Sagu juga
Pada masa DI/TII dahulu, tanaman tumbuh seperti kelapa, mangga, langsat dan durian
menjadi bahan makanan tambahan gerombolan DI/TII dan karena itu terawat dengan baik.
Batalyon 526 Sriwijaya yang datang ke Routa pada tahun 1952 kemudian menebang pepohonan
Kedua, Pekuburan Tua. Di Polihe tepatnya di sebelah utara Desa Routa sekarang di dalam
kebun kakao H. Sadda, ditemukan salah satu tempat pekuburan tua yang terdapat di salah satu
mulut gua batu yang tidak begitu dalam. Disitu ditemukan tulang-belulang manusia, tulang lengan,
tulang kaki dan kebanyakan tengkorak kepala baik yang masih tersusun rapi di atas sebuah batu
besar maupun yang sudah berserakan. Selain tulang-belulang manusia tersebut, ditemukan pula
pecahan-pecahan guci yang bermotif ukiran Cina berwarna biru langit dan berwarna cokelat. Tidak
31
diketahui pasti kapan tempat itu mulai dipakai sebagai kompleks pekuburan dan hingga kapan tidak
Ketiga, Benteng Polihe. Salah satu tanda yang menunjukkan bahwa Routa telah lama
menjadi pemukiman penduduk adalah terdapatnya benteng Polihe yang digunakan oleh orang
Tolaki untuk berperang melawan orang Padoe. Benteng ini sesungguhnya lebih sebagai suatu
gundukan tanah yang terbentuk secara alamiah berbentuk layaknya lingkaran yang ditengah-
tengahnya menyerupai sebuah lembah. Pada beberapa bahagian gundukan tanah ini terdapat
susunan batu-batu kali untuk menambah ketinggian permukaan benteng ini. Di bawah benteng ini
terdapat sungai kecil yang mengalir yang dinamakan sungai O’ou, sehingga selain nama benteng
Polihe sering juga disebut sebagai benteng O’ou. Sekarang benteng ini telah menjadi areal
perkebunan kakao saudara Aliman anak Nde’e cucu Paloawi dari Po’asa’a. Benteng ini dapat
dijangkau dengan naik kendaraan roda dua atau roda empat sekitar satu setengah kilometer dari
perkampungan.
32
Gambar 5. Salah satu sisi benteng O’ou di Routa Doc. SAJ 09
C. Kependudukan
Penduduk Routa berjumlah 1.301 jiwa dan 289 kepala keluarga (KK). Tingkat kepadatan
penduduknya hanyalah 0,6 jiwa/km², yang tersebar di 7 (tujuh) desa meliputi: Desa Walandawe
dengan jumlah penduduk 126 jiwa (31 KK), Kelurahan Routa dengan jumlah penduduk 408 jiwa
(85 KK), Desa Tirawonua dengan jumlah penduduk 158 jiwa (32 KK), Desa Parudongka dengan
jumlah penduduk 233 jiwa (55 KK), Desa Tanggola dengan jumlah penduduk 115 jiwa (23 KK),
Desa Puuwiwirano dengan jumlah penduduk 145 jiwa (40 KK), dan Desa Lalomerui dengan
jumlah penduduk 116 jiwa (23 KK). Adapun desa persiapan Bininti tidak memiliki penduduk sama
Dari segi etnik, penduduk Routa cukup heterogen ada orang Tolaki, orang Bugis, orang
Tator, orang Bungku dan berbagai etnik lainnya. Tidak ada data resmi mengenai sebaran penduduk
menurut suku bangsa. Namun berdasarkan prakiraan jumlah populasi mereka disominasi orang
Pergaulan antar suku bangsa dan hubungan kawin-mawin sudah berlangsung lama, proses
akulturasi diantara berbagai etnik telah menjadi telah pengikat dan penentu kemantapan sistem
sosial penduduk di Routa. Oleh karenanya walaupun penduduknya heterogen, hingga kini tidak
33
Dari segi pendidikan, hanya segelintir saja penduduknya yang mengenyam pendidikan
hingga pendidikan tinggi, bahkan ada yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama
sekali dan/atau memiliki pengalaman sekolah alakadarnya. Di sana hanya terdapat empat sekolah
dasar, satu tsanawiyah dan satu sekolah menengah pertama dengan kondisi bangunan dan fasilitas
yang tidak memadai, tenaga guru yang terbatas dan proses belajar mengajar yang tidak reguler
karena selalu ditinggal pergi gurunya tanpa alasan dan waktu yang jelas. Sekolah tanpa gedung,
sekolah tanpa kelas, sekolah tanpa buku dan murid kehilangan induk adalah fenomena yang merata
Perubahan tersebut tidak saja berpengaruh pada tingkat nasional tetapi juga hingga ke pelosok
pedesaan, termasuk di Routa. Salah satu dari perubahan lingkungan politik tersebut adalah dalam
bidang kehutanan.
Perubahan ini ditandai dengan keluarnya regulasi pemerintah di bidang kehutanan yaitu
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang pada pokoknya melarang dan
membatasi segala aktifitas pembukaan hutan untuk tujuan apapun, termasuk aktifitas berladang.
Sesungguhnya proses pelarangan dan pembatasan ini telah berlangsung lama yakni semenjak
Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa
pengelolaan hutan pada dasarnya adalah untuk tujuan komersil (Lynch dan Talbott 2001:81).
Pada tingkat daerah seperti di Kabupaten Konawe khususnya di Routa, perubahan tersebut
terwujud dalam berbagai bentuk, di antaranya kebijakan membangun satu unit pos polisi kehutanan
di Desa Parudongka. Pos ini dijaga oleh dua orang polisi kehutanan. Aparat pemerintah kecamatan,
khususnya Camat juga diberikan tugas oleh Bupati Konawe untuk melakukan pengawasan dan
penjagaan hutan di Routa. Pemberian tugas semacam ini seringkali dilakukan pada saat pelantikan
dan serah terima jabatan camat di Routa. Aparat lainnya yang juga diberikan tanggung jawab untuk
34
melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap hutan adalah kepolisian melalui satuan Polisi
Camat Routa pada setiap kesempatan baik pada forum resmi maupun tidak resmi dalam
sambutannya selalu menyampaikan mengenai larangan untuk membuka hutan secara illegal, baik
untuk perladangan maupun usaha kehutanan. Camat juga selalu menyampaikan ancaman penjara
diungkapkannya:
Selain aparat kepolisian, Babinsa dan Camat yang disebutkan di atas, aparat kehutanan dari
kabupaten juga secara periodik melakukan monitoring dan supervisi di Routa. Aparat ini biasanya
berjumlah tiga orang dan berada di Routa untuk waktu paling lama satu minggu. Dalam
melaksanakan tugasnya di Routa tim ini langsung melakukan pemantauan di lapangan pada daerah-
daerah yang bisa dijangkau dan melakukan koordinasi dengan arapat pemerintah dan keamanan
setempat. Hasil monitoring dan supervisi tersebut selanjutnya diserahkan ke Bupati melalui Kepala
Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah seorang aparat
…kami selalu mengadakan survey dan monitoring setiap saat di Routa. Biasanya
satu minggu kami berada di Routa bertemu dengan aparat setempat dan melakukan
kunjungan langsung ke lokasi (Basir,55 tahun, Pegawai Dinas Kehutanan Kab.
Konawe,15 April 2011).
Terlepas dari efektif dan konsistennya pengawasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah
dan keamanan di Routa, keberadaan dan kehadiran pos polisi kehutanan, pengarahan camat,
keberadaan polsek dan babinsa serta kehadiran tim supervisi dari kabupaten, sudah cukup membuat
penduduk tidak begitu leluasa melakukan aktifitas perberladangan berpindah. Ladong mantan
Sekarang kita berladang tidak lagi sebebas dulu melakukan aktifitas perladangan
berpindah. Kalau dulu tidak ada aturan, tapi sekarang aturannya terlalu banyak, kita
dilarangmi menebang pohon pada hal pohon itu tumbuh liar. Kita juga dilarangmi
35
masuk hutan pada hal hutan itu sudah ada memang dari dulu. (Ladong, 81 tahun,
Petani, 16 April 2011).
Perubahan lingkungan ekologi dimulai dengan masuknya penduduk dari luar ke Routa,
yang secara langsung maupun tidak langsung, telah memicu kompetisi perebutan lahan. Situasi
seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Seiring dengan itu, pemerintah membentuk desa-desa
baru yang kemudian menguasai sebahagian lahan hutan di Routa. Akibatnya, sebahagian kawasan
hutan yang potensial menjadi areal perladangan diambil alih dan dikuasai oleh penduduk di desa-
yang menanamkan modalnya di Routa. Potensi kayu yang melimpah di belantara Routa telah
menarik minat sejumlah pengusaha dari luar untuk mengolah kayu di Routa. Selain bisnis kayu, di
Routa juga telah masuk perusahan perkebunan sawit yaitu PT. Duta Sulawesi Agro (DSA), PT.
Damai Jaya Lestari (DJL) dan perusahan pertambangan PT. Rio Tinto Exploration (RTE).
pemberian izin pengolahan kayu, hak guna usaha dan izin usaha pertambangan.
Hingga pada tahun 2.000 penduduk Routa hanya berjumlah sekitar 500 jiwa atau 270 KK
dan hanya ada satu desa yaitu Desa Routa sebagai bahagian dari Kecamatan Wiwirano. Pada tahun
2005 Routa dimekarkan menjadi kecamatan tersendiri yang terpisah dari Kecamatan Wiwirano,
sehingga Routa dibagi menjadi empat desa yaitu Parudongka, Tirawonua, Routa dan Walandawe.
Terjadinya pemekaran kecamatan disertai dengan pemekaran desa ini didasari oleh dua
faktor, yaitu adanya keinginan dari pemerintah daerah untuk mempercepat proses pembangunan di
Routa dan melihat fakta pertambahan penduduk yang sudah memungkinkan untuk memekarkan
daerah baru.
Seiring dengan pemekaran ini, gelombang penduduk yang datang ke Routa terus-menerus
bertambah, khususnya dalam sepuluh tahun terakhir ini. Kini setelah semakin bertambahnya
penduduk migrant, maka jumlah penduduk Routa berkembang pesat. Pada tahun 2010 jumlah
penduduk Routa telah menjadi sekitar 2.100 jiwa atau 520 KK.
36
Sejalan dengan pertambahan penduduk tersebut, terjadinya pembentukan desa-desa baru,
di antaranya Tanggola, Bininti, Puu Wiwirano dan Lalomerui. Penduduk baru dan desa baru
diberikan lahan dalam luasan tertentu oleh pemerintah setempat meliputi lahan yang dimiliki oleh
Bisnis kehutanan di Routa juga cukup berkembang pesat, terutama pengolahan kayu rimba
campuran. Dalam kaitan ini, ada enam pemegang izin kehutanan berupa IPKTM. Masing-masing
IPKTM tersebut memiliki luasan antara 10 ha dan 20 ha. Bisnis kehutanan yang dinilai legal karena
memiliki izin ini telah berlangsung semenjak tahun 1990-an. Sedangkan bisnis kehutanan yang
dinilai ilegal sesungguhnya telah berlangsung semenjak dekade 1980-an. Lahan-lahan IPKTM
yang telah selesai masa produksinya selanjutnya dimiliki oleh pemegang izin.
lingkungan tersebut di atas adalah terhadap keleluasaan peladang dalam membuka areal
perladangan. Peladang hanya dapat membuka ladang dengan area yang sempit. Situasi ini
menyebabkan hasil panen yang diperoleh juga ikut menurun dibanding pada masa-masa
sebelumnya. Bahan makanan yang diperoleh dari ladang, khususnya beras hanya cukup untuk
Gambar IV-1. Salah satu ladang di Routa milik Tarende Doc. Sarlan AJ
37
Padi ladang merupakan tanaman utama para peladang. Selain padi mereka juga menanam
sayur-sayuran dalam berbagai jenis seperti bayam, timun dan kadang-kadang juga mereka
menanam jagung. Meskipun demikian hanya padilah yang dihitung sebagai ukuran berhasilnya
ladang. Jumlah padi yang diperoleh peladang dihitung berdasarkan jumlah ikatan dengan besaran
tertentu yang disebut hae. Satu ikat yang disebut hae terdiri dari empat ikat yang disebut
mokunggu, dan satu ikat mokunggu terdiri dari empat genggaman yang disebut taranga.
Jumlah panen yang diperoleh peladang sangat bervariasi, namun faktor utama yang
menentukan banyaknya hasil panen tersebut adalah luas ladang yang diolah. Kondisi lahan seperti
tingkat kesuburan dan kemiringan lahan pengaruhnya tidak begitu signifikan. Peladang yang
membuka ladang yang luas akan memperoleh hasil yang lebih banyak dibanding dengan peladang
Ladang paling luas yang dibuka sekitar dua hektar dan paling sempit sekitar seperempat
hektar. Rata-rata peladang di Routa setiap tahunnya hanya membuka ladang seluas satu hektar.
Setiap hektar menghasilkan padi sebanyak seratus ikat yang berarti sekitar lima ratus liter beras.
Tentu saja dengan catatan ladang tersebut dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Namun bila hanya
dikerja asal-asalan saja maka hasilnya pun akan sangat sedikit bahkan tidak lebih dari separuhnya.
Ladong selanjutnya mengungkapkan bahwa: “…kalau kita serius mengerjakan ladang hasilnya bisa
banyak sekali, kita bisa dapat di atas seratus ikat, tapi kalau tidak diolah baik-baik juga hasilnya
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum ladang di Routa tidak dikelola
dengan baik, di antaranya ladang milik Sanggili, Sainuddin, Rasak Yusuf dan Basir. Mereka ini
merupakan sebahagian dari penduduk Routa yang hingga kini masih aktif berladang berpindah.
Ladang Ismail tidak dikelola dengan baik, masih banyak tegakan-tegakan pohon serta cabang-
cabang kayu yang tidak terbakar dengan baik, namun terbiarkan saja. Begitu pula ladang Sainuddin
dari dua kapling ladang yang dibuka, hanya satu kapling yang terawat dengan baik. Sementara satu
kapling lainnya batang-batang pohon dan cabang-cabang kayu dibiarkan berseliweran. Sama
38
halnya dengan ladang kedua peladang di atas, ladang milik Sanggili, Rasak Yusuf dan Basir juga
Akibat tidak dikelola dengan baik, maka hasil ladang berpindah yang diperoleh juga
sedikit. Idealnya atau di masa lalu seorang peladang dapat menghasilkan seribu ikat besar padi
ladang atau setara dengan tujuh ribu hingga sembilan ribu liter (diasumsikan rata-rata perikat
menghasilkan tujuh hingga sembilan liter beras). Namun sekarang ini hasil yang diperoleh setiap
peladang dalam sekali musim tanam hanya berkisar antara lima puluh ikat hingga seratus ikat atau
setara dengan dua ratus lima puluh liter hingga lima ratus liter beras.
berkebun tanaman jangka panjang, meramu hasil hutan, menjadi buruh/kuli di usaha pengolahan
seperti disebutkan di atas tidak begitu ketat. Pada kenyataannya, seorang penduduk boleh jadi
menekuni dua hingga tiga pekerjaan. Kendati demikian, pengelompokan tersebut dapat dilakukan
berdasarkan karakter yang menonjol dari masing-masing penduduk, misalnya kharakter sebagai
Berkebun tanaman jangka panjang dilakukan pada tanah-tanah bekas ladang, dengan
tanaman utamanya adalah kakao dan lada. Ada pula sejumlah jenis tanaman seperti jambu mete,
cengkeh dan vanili. Pada awalnya penduduk di Routa hanya mengenal tanaman kopi, namun
karena sering terserang hama, akhirnya penduduk meninggalkan tanaman kopi dan beralih
menanam kakao. Tanaman kakao ini dikembangkan khususnya semenjak gelombang migran dari
Usaha perkebunan rakyat di Routa memiliki potensi yang cukup bagus untuk
dikembangkan. Namun sayang penduduk di Routa nampaknya tidak begitu serius mengembangkan
usaha ini, kecuali oleh segelintir penduduk saja. 39,76 persen kapling tanah di Routa dijadikan
sebagai kebun tanaman jangka panjang. Sementara sisanya, yang terdiri dari 6,43 persen tanah
39
persawahan, 18,12 persen tanah perkampungan, dan 35,67 persen adalah tanah kosong (Adijaya,
2009).
Walaupun persentase kapling tanah yang dijadikan sebagai areal perkebunan cukup besar
dibandingkan dengan peruntukan lainnya, namun karena usaha perkebunan ini tidak diseriusi,
maka hasilnya pun juga tidak memuaskan. Hanya sebahagian kecil saja penduduk yang berhasil.
Kendati demikian, hal ini bukan berarti bahwa usaha perkebunan di Routa tidak memiliki prospek.
Penduduk di Routa juga bekerja mengumpulkan damar alam, kayu dan hasil hutan lainnya
seperti rotan, gaharu dan jalapari. Penduduk yang meramu damar umumnya memanen (menyadap)
damar antara dua hingga tiga kali setahun. Walaupun ada juga pendamar yang memanen hingga
lima kali dalam setahun, khususnya mereka yang mengontrak pohon damar. Damar yang dipanen
lebih dari tiga kali dalam setahun umurnya tidak bertahan lama. Kasus semacam ini seringkali
terjadi sehingga sejumlah pohon damar jatuh atau roboh karena banyaknya tebasan pada
batang/kulit damar.
Rata-rata produksi damar di Routa sekitar tiga ratus lima puluh kilogram sekali panen
dengan kisaran produksi dua ratus kilogram sampai seribu kilogram sekali panen. Produksi damar
ini kemudian dijual kepada pedagang pengumpul di desa yang biasa disebut ponggawa.
Selanjutnya ponggawa akan meneruskan kepada pembeli di Timampu. Di Routa terdapat enam
pedagang pengumpul damar yaitu Guli (Routa), Nusa (Routa), Sumarni (Routa), Taheron
kecamatan/wilayah yang ada di Timampu yakni: Ibu Nani dan Haji Atma.
Rp.5.000/kilogram. Tinggi rendahnya harga damar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: 1) keuletan
menawar dari ponggawa, dan; 2) jarak lokasi damar dari Routa. Jauh dekatnya jarak antara lokasi
damar dengan Routa mempengaruhi biaya angkutan dan harga jual. Misalnya harga damar di lokasi
damar Bungousu Rp.2.500/kilogram, sedangkan harga damar di lokasi Tadosolo dan Walandawe
sebesar Rp.3.200/kilogram.
40
Harga di atas lebih murah dibanding dengan poggawa lain yang berdomisili di Routa,
yakni antara Rp.4.000/kilogram dan Rp.5.000/kilogram. Selain pedagang pengumpul dari Routa,
juga ada warga Routa yang menjual damarnya ke Taksir (Kepala Desa Lalomerui) dengan harga
Rp.2.700/ kilogram, dan dijual di Konawe/Kendari dengan harga sebesar Rp.7.000/ kilogram.
Gambar IV-1. Lokasi Persebaran Damar di Routa Doc. Baseline Research RTE,2009
Aktifitas ekonomi berikutnya adalah usaha pengolahan kayu. Ada dua usaha pengolahan
kayu di Kecamatan Routa yaitu milik Hakke dan Tio. Keberadaan kedua industri ini telah banyak
melibatkan tenaga kerja, membuka peluang berusaha bagi penduduk, baik lokal lokal maupun
migran dari luar Routa misalnya dari Sulawesi Tengah (Bungku) dan Sulawesi Selatan (Bugis).
Dalam proses produksi kayu olahan, setiap industri kayu mempekerjakan dua hingga delapan orang
karyawan. Tenaga yang bertugas menebang kayu dua orang dan enam orang karyawan bagian
produksi kayu.
Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan industri kayu meliputi: 1) Biaya penebangan kayu
sebesar Rp.5.000/pangkal; 2) Biaya angkut kayu dari hutan ke jalan menggunakan kerbau
(Pa’jeka) sebesar Rp.5.000/pangkal; 3) Biaya makanan kerbau (rumput) setiap hari sebanyak
41
Hasil kayu olahan dari kedua industri kayu di Routa dibeli oleh Haji Kadas. Misalnya pada
akhir tahun 2009, sebanyak dua ribu meter kubik kayu olahan yang sudah diproduksi oleh Hakke
dan Tio dibeli oleh H. Kaddas. Pembeli lainnya yang berdomisili di Timampu di antaranya adalah
Haji Taju, Haji Hamma, Haji Ombe, Haji Usman, Haji Enal dan Haji Ridwan (pembeli kayu olahan
Penghasilan rata-rata dalam setiap bulan para pekerja kayu berkisar antara lima ratus ribu
rupiah sampai dengan satu juta rupiah. Tinggi rendahnya pendapatan tersebut sangat ditentukan
oleh tingkat produktivitasnya. Semakin tinggi tingkat produktifitasnya akan semakin tinggi hasil
yang diperoleh. Sebaliknya semakin rendah tingkat produktifitasnya, semakin kecil pula hasil yang
diperoleh.
Gambar IV-2. Usaha Pengolahan Kayu Milik Hakke Doc. Baseline Research RTE,2009
Usaha lain penduduk di Routa adalah mengumpulkan rotan alam. Rotan alam memang
banyak terdapat di wilayah hutan Routa, walaupun kini populasinya terus menurun akibat terus
diburu oleh penduduk. Ada tiga jenis rotan yang di kumpulkan, yaitu: 1) rotan batang dengan harga
enam puluh ribu rupiah per seratus kilogram; 2) rotan lambang dengan harga tiga puluh ribu rupiah
per seratus kilogram dan; 3) rotan tarompo dengan harga dua puluh lima ribu rupiah per seratus
kilogram.
42
Penghasilan penduduk dari usaha mengumpulkan rotan berkisar antara lima ratus ribu
rupiah hingga tujuh ratus lima puluh ribu perbulannya dengan masa kerja efektif dalam sebulan
sekitar lima belas hari. Jumlah penghasilan ini bisa saja lebih tinggi jika lagi mujur yakni dapat
Nilai penghasilan yang disebutkan di atas masih terbilang kotor artinya masih harus
dipotong dengan berbagai pengeluaran seperti beras, gula, kopi dan rokok yang biasanya diambil
sebelumnya kepada pedagang pengumpul sebagai hutang. Sehingga pendapatan bersih setiap
perotan dalam sebulannya adalah tiga ratus ribu hingga lima ratus ribu rupiah.
43
BAB V
LADANG BERPINDAH:
peladang hingga kini sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, di tengah situasi yang
sulit dan tidak menguntungkan di satu sisi, serta tersedianya aktifitas ekonomi lainnya yang lebih
menguntungkan di sisi lainnya, paling tidak disebabkan oleh lima alasan. Alasan-alasan tersebut
adalah: 1) karena sudah tradisi nenek moyang; 2) keinginan makan padi ladang; 3) keinginan
memiliki persediaan padi ladang; 4) keinginan untuk berkebun, dan; 5) keinginan memiliki lahan.
Alasan pertama, tradisi nenek moyang. Ismail, salah seorang tetua kampung Routa
menyatakan:
Saya mengenal sistim berladang dari nenek kami sebelumnya, saya sendiri mengenal
dari bapak saya, bapak saya juga mengenal dari bapaknya. Anak-anak saya yang
sekarang yah melihat dari saya. Saya kira begitu, jadi ini kebiasaan yang sifatnya
turun temurun. (Sainuddin, 67 tahun, Petani, 16 April 2011).
Pernyataan yang sama dikemukakan pula oleh Sanggili, seorang pemuda kampung
Routa:
Kita tetap berladang sampai sekarang karena memang dari orang tua kami sudah
begitu. Memang sekarang sudah tidak semua lagi yang berladang, tapi masih banyak
juga yang berladang disini. Jadi berladang ini semacam warisan dari orang tua kami.
(Sanggili, 35 tahun, Petani, 17 April 2011).
Berladang berpindah memang sudah kebiasaan penduduk di Routa disini sejak dulu
nenek moyang kami. Jangankan penduduk lokal, beberapa penduduk pendatang saja
juga sudah berladang (Razak Yusuf, 38 tahun, Petani, 17 April 2011).
44
Ini menunjukkan bahwa faktor perladangan sebagai tradisi nenek moyang yang telah
dijiwai dan melekat pada diri mereka, sehingga menjadi salah satu alasan mengapa aktifitas ini
masih terus dipertahankan di Routa, termasuk ketika usia sudah senja, seperti Ismail dan Sainuddin.
Walau dari segi usia masih tergolong sangat muda, namun Sanggili dan Razak Yusuf—
seperti halnya kedua seniornya di atas--dalam beberapa tahun terakhir ini juga aktif berladang
berpindah. Berbeda dengan Ismail dan Sainuddin, Sanggili dan Razak Yusuf belum begitu
menjiwai benar tradisi ini. Kendati demikian, keduanya menyadari bahwa mereka menjadi
peladang berpindah seperti halnya orang tuanya dan penduduk kampung lainnya, hanya semata
disebabkan karena praktek ini adalah warisan dari leluhur yang dikenalnya ketika mereka sudah
dewasa. Artinya Sanggili dan Razak Yusuf hanyalah generasi penerus belaka yang setia dengan
Dalam konteks ini, aktifitas perladangan berpindah di Routa dianggap sebagai suatu
praktek yang normal saja dilakukan oleh penduduk Routa dewasa ini, seperti halnya yang
dilakukan oleh penduduk di masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu tidak ada yang salah dan aneh
dengan aktifitas perladangan berpindah yang dilakukan oleh peladang seperti Ismail, Sainuddin,
hingga kini, karena alasan melestarikan tradisi nenek moyang adalah kurang tepat. Dalam konteks
perladangan berpindah di Routa, faktor tradisi disini hanya memberikan semacam legitimasi
kultural bagi para peladang untuk melakukan aktifitas perladangan berpindah karena pada
Disini berarti bahwa peladang di Routa tidaklah sepenuhnya berada dalam posisi
melestarikan tradisi, tetapi lebih berada dalam posisi memanfaatkan tradisi. Kedua hal ini yakni
terminologi melestarikan dan memanfaatkan menurut saya adalah kedua hal yang sangat berbeda.
ritualnya, terlepas bahwa beberapa bahagian dari praktek perladangan berpindah ini juga telah
mengalami adaptasi seiring dengan perubahan lingkungan. Sejumlah adaptasi tersebut misalnya
45
dalam hal pengerjaan pembukaan ladang di masa lalu dilakukan secara kelompok, kini dilakukan
sendiri-sendiri; peralatan yang digunakan dalam penebangan pohon di masa lalu adalah kapak, kini
peladang telah menggunakan chainsaw ukuran kecil yang lebih efektif dibandingkan dengan kapak,
dan lain-lain.
arti penting pembukaan lahan dari aktifitas perladangan dengan mengabaikan sejumlah ritual
tertentu yang semestinya turut menyertai pembukaan ladang. Memang benar bahwa perladangan
berpindah sebagai suatu tradisi juga telah mengalami adaptasi seiring dengan perubahan
lingkungan, namun hal itu bukan berarti bahwa ritual menjadi tidak penting sebagaimana
kenyataan yang saya temukan pada aktivitas perladangan berpindah di Routa. Dalam hal ini
orientasi peladang di Routa dengan berladang berpindah lebih ditujukan pada upaya pembukaan
keseimbangan hubungan antar manusia dengan Tuhan dan alam lingkungan, sebagaimana yang
Penduduk Routa bukanlah tipe masyarakat yang taat dengan tradisi nenek moyang. Sebagai
contoh dalam melaksanakan aktifitas perladangan berpindah, peladang di Routa tidak lagi menaati
berbagai tata-krama perladangan berpindah seperti diuraikan pada bab sebelumnya. Para peladang
tidak lagi melakukan ritual monggiikii ando’olo, mohoto o wuta atau ritual-ritual lainnya, yang
lebih penting bagi mereka adalah bagaimana memastikan ketersediaan lokasi perladangan
berpindah.
Lebih lanjut, walau hidup di daerah yang cukup terisolir, namun pengaruh luar sangat
mudah masuk dan menyeret penduduk di Routa. Misalnya sejumlah penduduk Routa telah lama
bekerja sebagai buruh baik di usaha pengolahan kayu maupun di perkebunan sawit. Profesi sebagai
buruh sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi penduduk di Routa. Namun seiring dengan
kapitalisasi pedesaan yang terus berlangsung, penduduk pedalaman juga ikut tercebur ke dalam
46
Jadi sesungguhnya penduduk di Routa adalah tipe penduduk yang pragmatis. Artinya
penduduk di Routa akan melakukan sesuatu yang menurut mereka paling mungkin dilakukan.
Pilihan untuk terus berladang di tengah keterbatasan adalah pilihan rasional, sembari melanjutkan
tradisi nenek moyang di satu sisi, mereka juga sadar betul mengenai keuntungan yang dapat
mereka peroleh pasca perladangan berpindah tersebut, yaitu tanah bekas ladang yang terbentang
luas menjadi milik bersangkutan. Terlalu naïf jika peladang di Routa mesti meninggalkan peluang-
peluang usaha yang ada yang lebih menguntungkan, hanya sekedar untuk mengabdi pada tradisi.
Alasan kedua, keinginan makan padi ladang. Ini merupakan alasan yang hampir
dikemukakan oleh seluruh informan dalam penelitian ini. Bagi kebanyakan penduduk yang
dibesarkan di daerah-daerah pedalaman, termasuk pula penduduk di Routa, kerinduan untuk makan
padi ladang selalu hadir setiap saat. Bahkan pun kendati orang tersebut telah pernah lama
meninggalkan kampung halaman, sesekali tetap akan merindukan aroma dan rasa beras ladang
yang selalu menggoda. Memang padi ladang sudah termasyhur dimana-mana jika memiliki rasa
yang lebih enak dibanding dengan beras dari jenis padi-padi varietas modern.
Padi ladang memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan dengan beras yang dibeli
di pasar. Karena itu kita selalu usahakan untuk menanam setiap tahunnya di ladang.
Orang seperti saya sudah terbiasa sekali makan beras ladang, jadi biar sedikit
hasilnya kami tetap usahakan untuk menanamnya (Sino,60 tahun, Petani, 18 April
2011).
Padi ladang memiliki rasa yang enak sekali, baunya harum apalagi kalau masih baru
dipanen. Padi yang paling bagus nasinya di antaranya padi meteoolu kalau dimakan
biar tidak pake sayur. Karena itulah kami selalu mengusahakan untuk membuka
ladang walau tidak begitu luas yang penting bisa memperoleh padi ladang.
(Salenggo,60 tahun,Petani,18 April 2011).
Ini menunjukkan bahwa rasa padi ladang seolah tak terbandingkan dan tergantikan dengan
padi varietas manapun. Oleh karena itu, walau hasilnya tidak memadai, peladang tetap berusaha
untuk menanamnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa orientasi peladang sehingga terus
47
mempertahankan aktifitas perladangan berpindah adalah dalam rangka memenuhi kebutuhannya
akan padi dengan kualitas rasa terbaik. Dan hal ini nampaknya hanya dapat diperoleh melalui padi
Keinginan untuk makan padi ladang memang merupakan salah satu alasan mengapa
sebahagian masyarakat masih mempertahankan praktek perladangan berpindah. Pada orang Tolaki
di Desa Pamandati misalnya, memanfaatkan sisa-sisa lahan HTI dengan menanaminya padi ladang.
Setelah panen usai mereka akan meninggalkan lahan tersebut kembali menghutan seperti sediakala
(Adijaya, 2000).
Namun fenomena di Desa Pamandati tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan fenomena
perladangan berpindah yang terdapat di Routa. Peladang di Routa tidak saja ingin makan padi
ladang, sebab setelah berladang mereka tidak meninggalkan bekas lahannya begitu saja hingga
kembali menghutan—seperti halnya peladang di Desa Pamandati. Fakta lain pula menunjukkan
bahwa di antara para peladang tersebut tidak begitu serius mengusahakan ladangnya agar dapat
menghasilkan panen yang banyak. Sebahagian di antaranya hanya menanami padi seadanya dan
ada kalanya kurang dirawat. Hal ini menunjukkan bahwa keinginan untuk memperoleh padi ladang
yang nikmat hanyalah salah satu alasan, namun dibalik itu terdapat alasan lain yakni keinginan
Memang betul bahwa padi ladang memiliki rasa yang lebih enak dibanding dengan padi
varietas manapun. Tetapi ini bukan berarti bahwa penduduk di Routa tak terkecuali para
peladangnya tidak dapat mengkonsumsi beras biasa. Bahkan Routa walau terisolir, kebutuhan
berasnya lebih banyak didatangkan dari Sulawesi Selatan melalui para pedagang dan hal ini telah
berlangsung cukup lama. Dibandingkan dengan beras hasil ladang berpindah di Routa, beras yang
Karena itu berdasarkan hal tersebut di atas, tentu saja lidah penduduk di Routa termasuk
pula mereka yang terus berladang, sudah sangat terbiasa dengan rasa beras Sulawesi Selatan
tersebut. Kenikmatan yang diberikan oleh padi ladang hanyalah sesaat dan hal itu kenyataannya
48
tidak pernah menjadi tuntutan tersendiri di kalangan penduduk, apalagi hingga sampai terpaksa
Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa secara umum penduduk di Routa tidak lagi
mempersoalkan apakah nasi yang dimakan berasal dari beras padi ladang ataukah dari beras
Sulawesi Selatan. Justru yang menjadi soal bagi penduduk adalah apabila tidak ada beras di rumah
Fakta lain yakni di Routa telah terdapat irigasi teknis. Walau skalanya kecil, namun irigasi
tersebut dapat mengairi areal persawahan yang memiliki luas sekitar 2.000 ha. Pemilik areal
persawahan ini juga termasuk para peladang berpindah. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi
areal persawahan ini tidak terurus dan hanya dibiarkan terlantar. Bahkan pada beberapa bahagian
telah ditumbuhi alang-alang dan sebahagiannya lagi sudah kembali menghutan. Pada hal menurut
pengakuan penduduk, lahan persawahan tersebut dapat saja ditanami padi ladang dan rasanya tidak
sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya. Sulit rasanya diterima oleh logika jika hanya karena
ingin merasakan nikmatnya padi ladang, mereka mesti meninggalkan peluang-peluang ekonomi
Oleh karena itu, dengan melihat fakta-fakta dan argumentasi di atas, menurut saya alasan
ingin makan padi ladang hanyalah salah satu faktor kecil yang menyebabkan hingga mereka terus
berladang berpindah. Sebab jika demikian adanya, maka dapat saja mereka menanam padi ladang
Ketiga, keinginan memiliki persediaan padi ladang. Menurut para peladang, keberadaan
padi di lumbung sebagai simpanan membuat peladang selalu merasa aman dan nyaman. Mereka
tidak perlu merasa khawatir atau panik akan tidak memiliki beras. Padi di lumbung walau
jumlahnya tidak begitu banyak, berfungsi sebagai bagian dari sekuritas sosial bagi para peladang,
49
Biar tidak banyak hasilnya, tetapi yang penting ada untuk disimpan-simpan. Kalau
adami persediaan padi di lumbung kita tenangmi kerja kebun atau kalau kita sakit
baru belum ada hasil tetap ada yang bisa dimakan. (Tarende, 40 tahun, Petani,18
April, 2011).
Tenang rasanya kalau ada padi di lumbung kita tidak terlalu pusing kalau belum ada
hasil. Memang kita bisa beli beras, tapi kita petani tidak setiap saat punya uang. Jadi
kalau lagi sulit kita makan padi di lumbung, kalau lagi ada uang kita beli beras
(Abdullah, 40 tahun,Petani,18 April 2011).
Kedua informan di atas menekankan arti penting keberadan padi di lumbung sebagai safety
first. Mereka membutuhkan kepastian bahwa esok tetap akan ada beras kendati hasil kebun tidak
ada atau mereka jatuh sakit. Hal ini sejalan dengan pendapat Scott (1994) yang menganggap bahwa
penduduk pedesaan dalam setiap tindakannya selalu mengedepankan sifat dahulukan selamat dari
pada melakukan suatu hal-hal yang berguna bagi masa depannya. Jadi tindakan yang dilakukan
oleh Abdullah, Tarende dan juga penduduk lainnya merupakan sesuatu yang bersifat umum bagi
penduduk pedesaan.
sebagai pemberi rasa aman yang menjadi dasar sehingga mereka tetap berladang berpindah,di satu
sisi dapat ditafsirkan sebagai bahagian dari strategi sekuritas sosial para peladang berupa
ketersediaan padi untuk konsumsi sehari-hari . Namun, di sisi lain dapat pula ditafsirkan sebagai
strategi peladang untuk memperoleh sekuritas sosial lainnya yang jauh lebih besar dari hanya
sekedar ketersediaan padi ladang. Hal ini apabila melihat beberapa fakta berikut ini.
Padi ladang kendati masih mewarnai kehidupan ekonomi rumah tangga penduduk di
Routa, namun keberadaannya tidak lagi memiliki kedudukan yang sentral dalam kehidupan
penduduk termasuk pula para peladangnya. Padi ladang tetap dikonsumsi tetapi bukan berarti
bahwa jika tak ada padi ladang maka kehidupan penduduk akan berakhir. Pada dasarnya kebutuhan
tersebut dapat disubtitusi dengan sumber pangan lainnya yang sejenis yang banyak terdapat di
50
Jika dikatakan sebagai pemberi rasa aman berarti para peladang hanya akan merasa aman
hingga paling lama lima bulan ke depan pasca panen. Hal ini mengingat hasil panen yang diperoleh
jumlahnya kecil dan hanya dapat bertahan selama itu kendati dihemat bagaimanapun. Situasi
semacam ini telah berlangsung lama dan karena itu telah menjadi pola hidup. Artinya ada atau
tidak ada padi ladang di lumbung sesungguhnya situasi masih aman-aman saja. Di sini berarti
bahwa aman dalam pengertian peladang di Routa tidak saja berarti tersedianya beras di lumbung,
Fakta lain selanjutnya adalah beras sebagai konsumsi utama penduduk di Routa selalu
tersedia di kios-kios di Routa. Pedagang beras di Routa seperti Haji Sadda dan Iskandar selalu
memiliki persediaan beras sepanjang tahun baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk di jual.
Oleh karena itu penduduk Routa sesungguhnya tak perlu merasa khawatir akan tidak memperoleh
beras karena faktanya beras selalu ada. Dalam hal ini tak penting beras itu dari mana yang penting
Memang betul bahwa penduduk di Routa kadang-kadang bermasalah dengan uang kes
sehingga jika pun beras itu tersedia untuk dibeli, mereka tidak akan punya kemampuan untuk
membeli. Tetapi faktanya para pedagang beras di Routa seperti H.Sadda dan Iskandar tidak hanya
melayani pembeli kontan, tetapi mereka juga melayani penduduk yang hendak berhutang termasuk
berhutang beras. Nantilah jika sudah punya uang kes atau hasil kebun baru hutang beras tersebut
dibayarkan. Adanya ikatan kekeluargaan dan rasa saling percaya antara pedagang dan penduduk
merupakan faktor utama yang mendukung berjalannya pola transaksi semacam ini.
Hal signifikan lainnya terkait dengan fungsi padi ladang sebagai pemberi rasa aman adalah
penduduk di Routa hingga kini tak pernah ada yang mati kelaparan. Penduduk di Routa tetap bisa
makan kendati tidak punya persediaan padi ladang di lumbung, bahkan pun jika tidak berladang
sepanjang tahun.
Lebih jauh lagi bila dikaitkan dengan tersedianya berbagai peluang usaha di Routa yang
lebih menguntungkan dan dapat dikerjakan oleh peladang. Dengan bekerja pada berbagai usaha
tersebut para peladang dapat memperoleh penghasilan, sehingga dengan penghasilan tersebut
51
mereka dapat memperoleh nafkah, membayar utang, atau membeli beras sebagai bekal dan
faktanya memang demikian. Dalam hal ini berlaku semacam istilah utang ladang dibayar damar
Keempat, keinginan untuk berkebun. Menurut para peladang, lahan-lahan bekas ladang
akan dijadikan sebagai areal perkebunan kakao, lada dan untuk menanam tanaman-tanaman
lainnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh petani-petani berikut ini. Basir menyatakan:
Kita terus berladang berpindah karena lahan-lahan bekas ladangnya kita mau
jadikan kebun. Jika panen telah selesai kita akan bersihkan ulang lahan tersebut
dan kita tanami dengan tanaman-tanaman jangka panjang seperti lada atau kakao.
Kalau tidak begini caranya maka kita tidak akan bisa menambah luasan kebun kita.
(Basir, 38 tahun, Petani, 19 April 2011).
Salah satu tujuan kita berladang berpindah adalah untuk memperoleh lahan
perkebunan nanti. Lahan bekas ladang nanti itulah yang kita olah jadi kebun. Biasa
kita olah semuanya biasa juga tidak. Sering pula kita olah sedikit-sedikit sesuai
kemampuan. Yang pasti orang disini kalau bekas ladangnya sudah pastime nanti
akan jadi kebun. (Juhar,44 tahun, Petani, 19 April 2011).
Poin penting dari kedua pernyataan di atas adalah bahwa lahan bekas ladang nantinya akan
menjadi kebun bagi pemilik ladang tersebut. Berladang dalam hal ini merupakan tahap pertama
dari rencana pembukaan kebun. Artinya, pembukaan ladang akan menuju pada pembukaan kebun.
Penduduk di Routa rata-rata berkebun kakao dan lada, dimana lahan-lahan tersebut
sebelumnya adalah bekas areal perladangan berpindah. Dalam perspektif ekonomi rasional
sebagaimana dikemukakan oleh Popkin (1979), tindakan peladang menjadikan lahan bekas areal
perladangannya menjadi kebun adalah tindakan rasional. Dengan demikian peladang tidak saja
memperoleh manfaat dari lahan tersebut, sebagai ladang dan sebagai kebun.
Namun terlepas dari tindakan rasional peladang di Routa tersebut di atas, sejumlah hasil
pengamatan justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Misalnya tidak semua tanah bekas ladang
dijadikan kebun. Banyak tanah bekas ladang yang tidak diolah dan hanya dibiarkan terlantar oleh
pemiliknya. Sebahagian peladang bukannya berusaha untuk menanami tanah bekas ladang tersebut
52
dengan tanaman jangka panjang, seperti kakao dan lada, namun justru berusaha membuka lagi
ladang baru baik di sekitar ladang lama atau mencari lokasi yang baru.
Fakta lainnya bahwa di antara tanah-tanah yang diolah tersebut, yang diolah dengan baik
diperkirakan hanya sekitar 10%. Sisanya sekitar 90% adalah tanah kosong atau tanah tidak
produktif. Artinya penduduk tersebut tidak sungguh-sungguh hendak mengolah tanahnya atau
membutuhkan tanah untuk pertanian. Apa yang disebut sebagai kebun kakao dan lada sebagian
besar adalah lokasi yang direncanakan untuk ditanami kakao dan lada, dan hanya sedikit yang
Kelima, alasan ingin memiliki tanah. Kendati tidak semua informan mengakui atau
mengemukakan alasan ini, namun fakta yang ada sangat mendukung argumentasi ini. Sainudin,
Ismail, Sanggili dan peladang lainnya yang mengatakan bahwa mereka tetap berladang berpindah
karena lebih disebabkan oleh faktor tradisi, kenyataannya mereka adalah pemburu lahan yang
sangat ulet.
Iskandar, seorang duda kaya pedagang sukses dan imam mesjid Routa, menyatakan bahwa:
Di Routa sini salah satu cara untuk memiliki tanah yang luas harus kuat berladang.
Kalau tidak kuat berladang susah mau punya tanah, kecuali kalau punya uang untuk
beli tanah. Saya sendiri banyak membeli tanah dari lahan-lahan bekas ladang yang
ditinggal pemiliknya. Pak Sainuddin, Pak Ismail dan juga Sanggili termasuk yang
punya banyak tanah karena kuat berladang. Beberapa petak tanah saya itu saya beli
dari mereka. (Iskandar,44 tahun, Pedagang, 21 April 2011).
“…seluruh tanah milik saya sekitar dua puluh lima hektar adalah bekas lahan
perladangan berpindah. Setiap tahun saya selalu membuka ladang dengan maksud
selain dapat hasil padi ladang, yang terpenting juga bisa memiliki tanah.”(Sainuddin,
67 tahun, Petani, 21 April 2011).
Begitu pula Ismail yang menyatakan bahwa: ”…seluruh tanah yang saya miliki sekarang
seluas tiga puluh empat hektar adalah bekas ladang berpindah.”(Ismail, 57 tahun, Petani, 21 April
2011).
53
Sino dan Salenggo pada satu kesempatan keduanya menyatakan bahwa alasan mereka tetap
berladang berpindah adalah untuk memperoleh padi ladang yang rasanya nikmat sekali. Namun,
keduanya juga tidak menyangkal jika keinginan untuk memiliki tanah bekas ladang adalah alasan
yang selalu mendasari keinginan mereka untuk tetap berladang berpindah. Sino dan Salenggo,
Sainuddin dan Ismail, adalah orang-orang yang dikenal sebagai pemilik lahan yang luas di Routa.
Seperti dikatakan oleh Salenggo: “…tanah saya sekarang seluas sepuluh hektar setengah,
seluruhnya adalah lahan bekas ladang.” (Salenggo, 60 tahun, Petani, 21 April 2011).
Tarende dan Abdullah dalam suatu wawancara seperti telah dituliskan di atas menyatakan
bahwa mereka tetap berladang berpindah hingga kini karena ingin memiliki persediaan padi
ladang. Menurut keduanya mereka merasa lebih tenang bila memiliki persediaan padi di lumbung.
Namun, dalam wawancara-wawancara lainnya, mereka juga tidak mengingkari jika alasan ingin
memiliki tanah itulah yang mendorong mereka tetap terus berladang berpindah. Seperti kata
Tarende: “…tanah saya sekarang ada dua kapling luasnya sekitar tujuh hektar, seluruhnya dari hasil
ladang.” (Tarende, 40 Tahun, Petani, 22 April 2011). Begitu pula Abdullah yang menyatakan
bahwa: “…dengan berladang kita tidak hanya bisa punya padi ladang tetapi sekaligus punya tanah.
Saya punya tanah sekitar empat hektar dari hasil ladang.” (Abdullah, 40 tahun, Petani, 22 April
2011).
Basir dan Juhar juga adalah peladang dan sebagaimana pengakuan mereka, keduanya terus
berladang berpindah karena keinginan untuk berkebun. Namun kendati demikian, keduanya pula
terang-terangan mengakui jika memiliki tanah bekas ladang sesungguhnya jauh lebih utama dari
pada sekedar keinginan untuk berkebun. Basir yang memiliki tanah seluas sekitar sembilan hektar
selurunya adalah bekas lahan perladangan berpindah. Begitu pula Juhar yang memiliki luas tanah
sekitar tiga setengah hektar seluruhnya adalah lahan bekas perladangan berpindah.
Pada kenyataannya dari total luas lahan yang dimiliki oleh Basir maupun Juhar hanya
sebagian kecil saja yang ditanami kakao dan lada, sedang selebihnya masih terlantar. Dari hasil
pengamatan diperkirakan luas kebun Basir hanya sekitar tiga hektar dan Juhar sekitar satu hektar.
54
Dan dari total luasan kebun tersebut, baik Basir maupun Juhar yang terrawat tidak lebih dari
separuhnya. Artinya jauh lebih banyak dari luas tanah yang mereka miliki yang tidak dikelola.
Dari uraian-uraian di atas nampak bahwa berladang berpindah telah menjadi cara yang
signifikan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah di Routa. Berladang berpindah berfungsi lebih
dari sekedar sebagai wujud untuk melestarikan tradisi nenek moyang; sarana untuk mendapatkan
padi dengan kualitas rasa terbaik; sarana untuk memperoleh padi ladang guna memenuhi kebutuhan
hidup rumah tangga, dan; sebagai sarana berkebun. Dengan demikian, dalam konteks Routa, tujuan
perladangan berpindah sesungguhnya tidak lagi dan tidak pernah bersifat tunggal. Namun, ladang
berpindah adalah salah satu cara yang signifikan untuk memiliki lahan dan memberikan sekuritas
Mengacu pada motif untuk memiliki tanah bekas ladang inilah sehingga peladang di Routa
cenderung mengabaikan tekanan-tekanan politik, ekologi dan ekonomi yang ada, termasuk
ladang berpindah, tidak mampu menghalangi mereka untuk terus mengerjakan aktifitas ini.
Dipilihnya ladang berpindah sebagai suatu cara bagi peladang untuk memiliki lahan tidak
terlepas dari dari dua alasan: Pertama, dengan perladangan berpindah sebagai konstruksi budaya
yang sudah mapan di Routa, maka kecurigaan terhadap motif yang ada dibalik praktek ini tidak
akan begitu kuat. Hal ini berbeda jika peladang hanya melakukan penebangan hutan seluas-luasnya
Kedua, perladangan berpindah adalah instrumen yang paling familiar dan dapat diakses
oleh peladang di Routa. Sedangkan mekanisme lainnya seperti halnya mengurus izin pengolahan
kayu sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah pihak di Routa, tidak mampu dilakukan oleh
peladang. Sebab mengurus izin pengolahan kayu membutuhkan modal yang besar dan kemampuan
Sementara itu berubahnya tujuan berladang dari memperoleh padi ladang ke memperoleh
lahan juga tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa: Pertama, tanah memiliki nilai ekonomi yang
55
tinggi. Harga tanah di Routa berkisar antara Rp.10.000.000 untuk lahan kosong dan Rp.40.000.000
untuk lahan kebun yang terawat dan harga ini semakin hari semakin naik, dari tahun ke tahun.
Kedua, selain nilainya tinggi, tanah juga dapat dijual cepat. Pembeli tanah selain berasal
dari penduduk Routa sendiri juga berasal dari Selatan. Di antara penduduk Routa yang gemar
membeli tanah adalah Iskandar. Sebagai pedagang sukses, Iskandar memiliki banyak uang untuk
membeli tanah, baik secara kes, tetapi juga secara barter barang, dan cara barter bahkan lebih
banyak dilakukan.
Beberapa peladang sering meminjam uang kes kepada Iskandar. Bila suatu saat yang
bersangkutan tidak mampu membayar, maka hutang tersebut akan dibayarkan dengan lahan. Selain
meminjam uang kes, ada pula peladang yang mengambil barang keperluan sehari-hari seperti beras,
rokok atau gula kepada Iskandar dengan harapan setelah panen atau ada hasil, maka hutang
tersebut akan dikembalikan. Tetapi ketika peladang tidak mampu membayarnya dengan uang kes,
Ketiga, dengan nilainya yang tinggi dan mudah di jual, maka tanah dapat menjadi investasi
masa depan. Dengan memiliki lahan, ini ibarat memiliki simpanan di bank yang nilainya semakin
hari semakin bertambah. Peladang juga tidak perlu panik jika tak memiliki uang atau padi ladang,
sepanjang mereka masih memiliki tanah. Dengan memiliki tanah, dalam keadaan terdesak mereka
dapat saja menjual lahan untuk membiayai segala keperluan, seperti kebutuhan sehari-hari, biaya
56
BAB VI
Usaha penduduk di Routa agar terus bisa berladang berpindah sebagaimana telah diuraikan
pada bab sebelumnya bukannya tanpa hambatan. Hambatan-hambatan tersebut baik berupa
hambatan politik, ekologi maupun ekonomi. Oleh karena itulah, maka peladang melakukan suatu
tindakan atau serangkaian tindakan guna mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dalam perspektif
antropologi ekologi, suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang ditempuh oleh para peladang
disebut pula dengan istilah strategi adaptasi. Berikut ini diuraikan berbagai strategi adaptasi yang
Perubahan lingkungan politik tidak membuat penduduk di Routa mati langkah lantas
menghentikan serta merta aktifitas perladangan berpindah yang telah lama mereka praktekkan.
Paling tidak ada lima strategi yang digunakan oleh masyarakat Routa untuk melanggengkan
aktifitas perladangan mereka. Adapun strategi-strategi dimaksud yaitu: 1) bagi lahan dengan aparat;
Terkait dengan strategi pertama, sudah menjadi hal biasa di kalangan penduduk Routa dan
bahkan di luar Routa, jika aparat yang pernah bertugas atau sementara bertugas disana memiliki
banyak lahan. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh terbangunnya hubungan saling
menguntungkan antara aparat dan penduduk setempat, termasuk dengan para peladang berpindah.
kedekatan dengan aparat setempat. Kedekatan ini membawa manfaat yang saling menguntungkan
bagi kedua belah pihak. Dari sisi peladang, manfaat yang diperoleh adalah adanya keleluasaan
untuk berladang berpindah, sedangkan dari sisi aparat adalah dapat memperoleh sebagian lahan
bekas ladang.
Ada dua mekanisme kerja sama antara aparat dan peladang dalam pembagian lahan
tersebut yakni, pertama, lahan bekas ladang milik peladang disisihkan sebagian untuk aparat dan;
57
kedua, peladang membuka satu bagian lahan tersendiri yang diklaim sebagai milik aparat, tetapi
padinya diambil si peladang. Dalam prakteknya keduanya berjalan seiring, ada kalanya mekanisme
pertama yang dipakai dan ada kalanya pula mekanisme yang kedua, tergantung situasi dan kondisi
(sikon), jika sang aparat telah punya lokasi yang disukai, maka yang digunakan adalah mekanisme
kedua, dan jika tidak ada lokasi yang disukai maka digunakan mekanisme yang pertama. Biasanya
mekanisme kedua digunakan bagi aparat yang sangat bernafsu memiliki lahan, sedangkan
mekanisme pertama seringkali digunakan bagi aparat yang apa adanya saja.
Terkait dengan strategi kedua, para peladang juga memanfaatkan hubungan kekerabatan
dengan aparat setempat, baik aparat pemerintah maupun aparat keamanan. Beberapa aparat yang
bertugas di Routa memiliki hubungan darah dengan penduduk setempat, seperti hubungan sepupu
atau family, khususnya bagi penduduk lokal orang Tolaki. Ada pula hubungan kekerabatan yang
terbangun kemudian yaitu melalui kawin-mawin, biasanya aparat khususnya yang masih bujang
mengawini gadis Routa dan memilih menetap disana, baik untuk sementara waktu maupun
selamanya.
Fenomena hubungan kekerabatan atau famili ini membuat aparat di Routa menjadi serba
salah untuk menegakkan hukum. Akibatnya dalam banyak kasus seringkali mereka tidak peduli
atau masa bodoh dengan situasi yang ada. Seperti kata salah seorang petugas dari kepolisian
“…serba salah kita mau menegakkan hukum disini, ibarat buah simalakama
dibiarkan mati bapak tidak dibiarkan mati ibu. Akhirnya kita masa bodoh saja dari
pada rusak hunungan keluarga, yang penting mereka tidak berkelahi saja.”
(Nyoman, 37 tahun, Polisi, 9 Mei 2011).
Pernyataan serupa dikemukakan pula oleh seorang aparat di Routa, yakni Abu Haseng
Susah ini kita punya keluarga, kita sudah sediakan lahan sawah tapi mereka
terlantarkan saja katanya tidak subur tanahnya. Mereka lebih memilih berladang
berpindah. Kita mau larang kita yang tidak enak malah kadang kita disalahkan
(pinesawa’ako). Yah terpaksa kita biarkan saja hanya saya sudah sampaikan nanti
kalau ada masalah jangan saya dilibatkan, masing-masing tanggung
resikonya.(Abu Haseng, 56 tahun, 9 Mei 2011).
58
Ada satu kasus dimana mertua seorang aparat di Routa adalah seorang peladang ulung. Si
mertua sangat aktif berladang berpindah, sementara si menantu tidak bisa berbuat banyak selain ia
dan istrinya tinggal di rumah mertua. Ia mendapat banyak warisan dari mertuanya mengingat
istrinya hanya dua orang bersaudara. Artinya tanah-tanah bekas ladang yang dimiliki mertuanya
sekarang, suatu saat nanti juga akan menjadi miliknya. Dalam hal ini terlihat bertemunya faktor
kekerabatan dengan kepentingan pragmatis yang menyatu dalam keluarga si aparat bersangkutan.
Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa aparat di Routa memang dibuat
tidak berkutik oleh para peladang. Hal tersebut bukan disebabkan karena sedikitnya aparat
keamanan atau terbatasnya fasilitas yang dimiliki, tetapi lebih disebabkan oleh hubungan kedekatan
atau hubungan kekerabatan dengan penduduk setempat, khususnya dengan para peladang.
Aparat setempat hanya bisa menghimbau atau mengingatkan kepada peladang untuk
menghentikan kegiatan pembukaan areal perladangan berpindah, ketika tim supervisi dari
kabupaten berkunjung. Selain itu aparat setempat juga menyarankan kepada peladang untuk
membatasi luas areal perladangan berpindah yang dibuka dengan maksud tidak terlalu mencolok
atau menarik perhatian tim supervisi atau pihak-pihak lain yang berkunjung ke Routa. Rudin
menyatakan bahwa :
Penduduk disini termasuk peladang hanya disampaikan saja oleh aparat bahwa kalau
ada petugas datang dari kabupaten agar berhenti dulu melakukan aktifitas di hutan
supaya tidak dicurigai. Mereka juga menganjurkan kepada kami agar kalau buka
ladang jangan terlalu luas sedikit-sedikit saja nanti memancing perhatian tim.(Rudin,
55 tahun, Lurah Routa, 9 Mei 2011).
Dari pernyataan nampak bahwa sudah ada semacam kesadaran di kalangan aparat di Routa
atau aparat yang sering bertugas ke Routa bahwa mustahil untuk menegakan hukum disini.
Sehingga yang dapat dilakukan hanyalah berupaya membuat pelanggaran hukum tersebut—jika
Pada suatu kesempatan salah seorang anggota tim supervisi dari Kabupaten Konawe Basir
menyatakan bahwa:
59
“…susah disini karena mereka-merekaji juga (aparat) yang mendukung masyarakat
membuka hutan, jadi kita serba salah. Kalau bukan mertua, ipar, teman
juga”(Basir,55 tahun, Pegawai Negeri Sipil, 10 Mei 2011).
Terkait dengan strategi ketiga, ladang kecil-kecilan merupakan salah satu pilihan strategi
yang ditempuh oleh peladang berpindah di Routa. Strategi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
dengan hanya luas yang tidak seberapa akan dapat dimaklumi oleh aparat karena hanya akan
dianggap sekedar untuk mencari nafkah keluarga. Tasman misalnya mengemukakan bahwa:
Kalau kita hanya buka yang kecil-kecil saja kan wajar karena hanya untuk makan
saja dari pada kita buka yang luas nanti dibilang tidak wajar. Yah paling luasnya
sekitar setengah hektar atau satu hektar saja. Malah ada juga yang hanya buka
sekitar sepertiga atau seperempat hektar. Kalau hanya begini luasnya aparat disini
mereka tidak permasalahkanji dan tidak bahaya juga bagi mereka (Tasman,42
tahun, Petani, 10 Mei 2011).
Pertimbangan lainnya adalah dengan luas yang tidak seberapa pula tidak akan memancing
perhatian aparat khususnya aparat dari kabupaten yang seringkali melakukan supervisi di Routa,
Kalau luasnya tidak seberapa saya kira tidak akan menarik perhatian aparat. Di
Routa ini kan hutan masih luas sekali jadi kalau sempit saja kita buka tidak akan
terlalu diperhatikan, paling mereka cuma kadang tanya-tanya saja ini siapa yang
punya. (Nusa,42 tahun, Pengusaha/Mantan Kades,10 Mei 2011).
Jika merujuk pada kedua kutipan di atas, maka mengolah lahan terbatas menjadi
salah satu pilihan strategi yang dipilih oleh peladang di Routa. Dalam hal ini peladang
menganggap bahwa tidak masalah jika mesti menurunkan luas lahan perladangannya, tetapi
yang jauh lebih penting bagi mereka adalah bagaimana praktek perladangan berpindah ini
terus dapat dilakukan. Karena dengan terus berladang berpindah berarti lahan akan terus
bertambah pula. Sebaliknya jika berhenti berladang berpindah berarti lahan tidak bertambah.
Terkait dengan strategi yang keempat yakni dengan memanfaatkan maraknya kegiatan
investasi di Routa. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kegiatan investasi apalagi yang
dilakukan di daerah yang terpencil seperti Routa cenderung dilakukan dengan cara-cara ilegal.
60
Walau tidak pernah terungkap ke permukaan, namun bukan berarti bahwa kegiatan
investasi di Routa, khususnya yang dilakukan oleh perusahan pengolahan kayu bebas dari masalah.
Kendati perusahan tersebut memiliki izin, tapi sesungguhnya bisnis perkayuan di Routa penuh
dengan cara-cara illegal. Hal ini bisa terjadi karena adanya kerjasama antara aparat dengan
pengusaha kayu. Salah satu modusnya adalah dengan mengolah kayu di luar lokasi izin dan dengan
Fenomena ilegal loging ini dimanfaatkan oleh peladang sebagai kesempatan untuk
meneruskan aktifitas perladangan berpindah. Para peladang menganggap bahwa tindakannya yang
terus berladang semata hanya mengikuti praktek kongkalingkong yang sesungguhnya dilakukan
antara aparat dan pengusaha kayu. Oleh karena itu walau tindakan mereka yang terus berladang
berpindah itu bersimbiosis mutualisme dengan tindakan aparat juga melakukan hal serupa atau
bahkan lebih fatal. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Razak Yusuf yang menyatakan bahwa:
Peladang di Routa ini sebenarnya hanya mengikuti saja apa yang sementara terjadi
di Routa. Kita ini hanya berladang tidak seberapa dibandingkan mereka yang
pengusaha kayu. Mereka itu hanya namanya saja punya izin tapi sesungguhnya itu
tidak benar sebab mereka juga mengolah kayu di luar izin. Aparat juga tau tapi kan
sulit mau bertindak karena mereka dapat juga bagian. (Razak Yusuf,38 tahun,
Petani,10 Mei 2011).
Kalau mereka bisa masuk hutan kenapa kita tidak bisa. Apa yang kita lakukan kan
sama saja dengan apa yang dilakukan oleh pengusaha kayu malah lebih parah karena
menebang hutan dimana-mana. Dari pada mereka senang sendiri, sementara kita
mau tinggal diam saja?(Sanggili,35 tahun,Petani,10 Mei2011).
Dua kutipan di atas menunjukkan signifikannya perilaku pengusaha kayu yang main mata
dengan aparat yang telah menjadi pemicu di kalangan penduduk untuk terus berladang berpindah.
Peladang berpindah dalam hal ini hanyalah mengikuti arus utama yang sedang berlangsung, sebab
jika tidak tentu mereka akan jauh lebih ketinggalan. Tindakan peladang yang demikian merupakan
suatu strategi untuk dapat mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan ekologi Routa yang
terus berlangsung.
61
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikatakan bahwa strategi adaptasi peladang dalam
mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat politik sangat efektif atau berhasil. Dengan strategi
bersedia berbagi lahan bersama aparat atau mencurahkan sedikit tenaga bagi ‘ladang’ aparat,
dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan, dengan mengikuti nasehat aparat untuk hanya
berladang kecil-kecilan, dan dengan memanfaatkan situasi maraknya kegiatan investasi, peladang
di Routa dapat mempertahankan aktifitas perladangan berpindah hingga kini tanpa kendala berarti.
Fameo yang menyatakan bahwa “aparat juga manusia” sungguh bisa dibuktikan oleh peladang di
Routa dalam memoderasi sikap dan perilaku tegas aparat sebagaimana yang seharusnya dalam
penegakan hukum.
Strategi kelima adalah berladang jauh. Perubahan lingkungan ekologi yang diuraikan di
atas telah memaksa para peladang di Routa untuk menemukan strategi yang lebih jitu agar tetap
dapat mempertahankan aktifitas perladangan berpindah. Suatu strategi baru tersebut seperti yang
dikemukakan oleh para informan dalam penelitian ini adalah berladang pada lokasi yang jauh dari
perkampungan.
Berladang jauh merupakan salah satu pilihan strategi yang dinilai tepat oleh peladang guna
mengatasi terjadinya perubahan lingkungan ekologi di Routa. Berladang pada lokasi yang jauh
dilakukan karena pada lahan-lahan hutan yang dekat dengan perkampungan semakin menipis pasca
pertambahan penduduk, pembentukan desa-desa baru dan maraknya kegiatan investasi di Routa.
Akibatnya peladang mesti mencari lahan yang jauh yang masih bebas dari klaim-klaim penduduk
di desa baru maupun investor, sebagaimana dikemukakan oleh Basir yang menyatakan bahwa:
Setelah pembentukan desa-desa baru penduduk di Routa tidak begitu leluasa lagi
untuk berladang berpindah. Hal ini karena adanya kebijakan pemerintah setempat
kala itu yang membagikan lahan-lahan hutan kepada warga desa baru yang datang
62
dari selatan. Akibatnya penduduk di Routa jika mau berladang harus jauh-jauh
melewati lahan-lahan penduduk di desa baru tersebut. (Nusa,42
tahun,Pengusaha/Mantan Kades,14 Mei 2011).
peladang mesti mencari lokasi perladangan yang jauh meninggalkan perkampungan. Tindakan itu
dilakukan oleh peladang bukan sebagai cara untuk menghindari hukum atau aparat, tetapi lebih
keberadaan aparat di Routa telah mampu diatasi oleh peladang dengan berbagai strategi seperti
berada sekitar tiga kilometer dari perkampungan. Perjalanan ke lokasi perladangan berpindah bisa
memakan waktu sekitar satu jam dengan mengendarai sepeda motor atau sekitar dua jam dengan
berjalan kaki. Menurut para peladang, tidak masalah jika mesti berladang di lokasi yang jauh atau
Strategi ini cukup berhasil mengatasi ketiadaan lahan di daerah sekitar perkampungan yang
telah dikuasai oleh penduduk di desa baru dan kegiatan-kegiatan investasi lainnya. Lokasi-lokasi
hutan yang jauh dari perkampungan praktis masih bebas dari klaim berbagai pihak. Oleh
karenanya, penduduk dengan leluasa dapat menjadikannya sebagai areal perladangan berpindah.
Bagi peladang, terlepas dari segala persoalan yang timbul akibat jauhnya lokasi perladangan, yang
jauh lebih penting bagi mereka adalah tetap dapat berladang berpindah.
mempertahankan aktifitas berladang berpindahnya hingga kini. Namun, tentu saja bila hanya
sekedar dapat berladang hal itu belumlah dirasakan memadai. Sebab, selain dapat terus berladang
berpindah, peladang juga butuh hasil yang cukup agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Misalnya saja minimnya hasil panen tentu harus dapat diatasi agar petani dapat merasa nayman
untuk terus berladang berpindah. Dalam konteks inilah petani di Routa menemukan sejumlah
63
Sebagai contoh terhadap minimnya hasil panen. Minimnya hasil panen yang diperoleh
sebagai implikasi dari perubahan lingkungan politik dan ekologi, tidak menjadikan peladang patah
arang dan berhenti berladang. Minimnya hasil penen diatasi oleh peladang dengan cara menjadi
buruh pada perusahan pengolahan kayu atau menjadi pengumpul damar dan rotan serta dalam
keadaan mendesak mereka akan menjual tanah miliknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Taksir bahwa:
Menjadi buruh di perusahan pengolahan kayu atau menjadi pengumpul rotan dan
damar merupakan pekerjaan lain peladang di Routa. Pekerjaan-pekerjaan ini dapat
dilakukan setiap saat sepanjang tahun. Sehingga walaupun hasil ladangnya kecil,
namun peladang masih bisa punya penghasilan dari pekerjaan-pekerjaan lain
tersebut. (Taksir,40 tahun,Petani/Mantan Kades, 14 Mei 2011).
“…dalam keadaan terdesak misalnya harus membayar biaya sekolah atau untuk
biaya perkawinan, peladang di Routa akan menjual tanah miliknya baik yang
masih kosong atau pun yang sudah ada tanamannya.” (Sukman,75
tahun,Petani/Mantan Kades,14 Mei 2011).
Terkait dengan strategi menjadi buruh di perusahan kayu, di Routa sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya memang terdapat perusahan pengolahan kayu, di antaranya milik Hakke dan
Tio. Kedua usaha pengolahan kayu banyak membutuhkan tenaga kuli mulai dari tenaga penebang,
tenaga penarik balok dan tenaga penggergajian. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja tersebut,
pemilik usaha pengolahan kayu mempekerjakan penduduk lokal, termasuk di antara mereka adalah
peladang berpindah.
Peladang yang bekerja di usaha pengolahan kayu milik Tio, misalnya adalah Razak Yusuf
dan Dolken, sedang Sanggili aktif bekerja di usaha pengolahan kayu milik Hakke. Rasak Yusuf
bekerja di bangsal penggergajian, Dolken bekerja sebagai penarik balok karena Ia memiliki dua
ekor kerbau, dan Sanggili bekerja sebagai penebang kayu karena Ia memiliki senso (gergaji mesin).
Peladang lainnya yang tidak bekerja di usaha pengolahan kayu memilih menekuni
pekerjaan lainnya yakni sebagai pengumpul damar dan rotan. Zainudin, Ismail, Sino dan Salenggo
adalah sebahagian di antara peladang yang menekuni usaha sebagai pengumpul damar dan rotan.
64
Damar dan rotan tersebut dijual kepada pengumpul di Routa yang selanjutnya akan dipasarkan ke
Timampu.
usaha pengolahan kayu, sedangkan peladang yang tua menekuni pekerjaan sebagai pengumpul
damar dan rotan. Dari pekerjaan-pekerjaan tersebut, hasil yang diperoleh dirasakan memadai oleh
Selanjutnya menjual tanah sebagaimana disebutkan di atas juga merupakan salah satu
strategi peladang di Routa. Strategi ini khususnya ditempuh oleh peladang bila harus membayar
biaya sekolah atau ongkos perkawinan. Razak Yusuf dan Sanggili adalah contoh peladang yang
mesti menjual beberapa bidang tanahnya ketika mereka menikah. Sedangkan Ismail, Sainudin, Sino
dan Salenggo pernah menjual tanahnya ketika harus membayar uang sekolah dan atau menikahkan
anaknya.
Ismail menjual sebidang tanahnya saat anaknya akan masuk kuliah PGSD di Kendari dan
kemudian menjual lagi sebidang tanahnya yang lain saat hendak menikahkan seorang anak laki-
lakinya. Begitu pula dengan Sainudin yang menjual sebidang tanahnya untuk menyekolahkan
anaknya di SMA Andowia, dan kembali harus menjual sebidang tanahnya yang lain lagi saat
hendak menikahkan seorang anak laki-lakinya. Sino dan Salenggo juga melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan oleh Ismail dan Sainudin rekan sesama peladang.
Keberadaan usaha pengolahan kayu dan ketersediaan damar dan rotan di Routa yang
memiliki nilai ekonomi, bukannya menjadi faktor penghambat bagi peladang untuk meneruskan
aktifitas perladangan berpindahnya. Sebaliknya justru hal tersebut menjadi faktor pendukung,
sebab dengan tersedianya sumber-sumber pendapatan tersebut, maka peladang di Routa dapat
merasa tenang dan nyaman untuk terus berladang berpindah walau dengan hasil panen yang kecil.
Begitu pula dengan keberadaan tanah yang memiliki nilai ekonomi di Routa. Walau hasil
ladang sangat kecil, namun bukan berarti bahwa mereka tidak dapat memiliki uang yang cukup.
Sebab dengan menjual tanah bekas ladang berpindah, maka kebutuhan akan uang seperti untuk
bayar ongkos nikah atau untuk bayar uang sekolah dapat teratasi. Dengan demikian dapat dikatakan
65
bahwa jual beli tanah telah menjadi salah satu faktor penopang bagi bertahannya aktifitas
66
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
tetap berladang berpindah hingga kini disebabkan oleh sejumlah alasan yakni adanya keinginan
untuk melestarikan tradisi, ingin menikmati enaknya beras padi ladang, menganggap padi di
lumbung sebagai pemberi rasa aman, ingin berkebun dan ingin memiliki lahan. Di antara alasan-
alasan tersebut, keinginan memiliki lahan adalah alasan yang merata dibandingkan alasan-alasan
lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk memiliki lahan bekas ladang
merupakan alasan utama yang melatari petani di Routa tetap berladang berpindah hingga kini.
Berdasarkan simpulan di atas, maka saya berpendapat bahwa pandangan Popkin (1979)
tentang petani rasional lebih sejalan dengan situasi penduduk di Routa, dibanding dengan
pandangan Scott (1994) tentang ekonomi moral. Dengan memilih memiliki tanah sebagai tujuan
utama dari aktifitas perladangan berpindah, maka sesungguhnya peladang telah menunjukan
identitas diri mereka sebagai orang yang rasional. Berladang berpindah dalam konteks penduduk di
Routa lebih dipahami sebagai suatu proses investasi untuk memiliki tanah. Sedangkan dipilihnya
ladang berpindah sebagai instrumen lebih disebabkan karena ladang berpindah dapat menjadi
legitimasi kultural bagi peladang untuk memuluskan usahanya membuka hutan, ditengah tidak
dalam memainkan strategi adaptasi terhadap perubahan lingkungan politik, perubahan lingkungan
ekologi dan perubahan lingkungan ekonomi. Strategi-strategi tersebut adalah: a) strategi adaptasi
peladang terhadap perubahan lingkungan politik adalah: berbagi tanah bekas ladang dengan aparat,
kegiatan investasi; b) strategi adaptasi peladang terhadap perubahan lingkungan ekologi adalah
berladang pada lokasi yang jauh dari perkampungan; c) strategi adaptasi terhadap perubahan
67
lingkungan ekonomi adalah: menjadi buruh di usaha pengolahan kayu, memungut damar dan rotan,
dan menjual tanah. Pada dasarnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan alternatif pendapatan lain
selain ladang adalah penopang bagi tetap bertahannya aktifitas perladangan. Begitu pula dengan
Konsep strategi adaptasi dari Bennet (1976) sangat sejalan dengan strategi adaptasi yang
dikembangkan oleh peladang di Routa. Para peladang menyadari betul siasat-siasat yang mereka
jalankan guna memuluskan usaha mereka, agar tetap dapat berladang berpindah di tengah situasi
perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan. Siasat-siasat tersebut tidak saja dirumuskan
dalam bentuk pengetahuan tetapi juga tindakan yang terbukti efektif dan berhasil.
B. Saran-Saran
Berkaitan dengan temuan-temuan dan kesimpulan dalam penelitian ini maka Saya
penguasaan tanah dengan cara merombak kawasan hutan baik yang dilakukan oleh
peladang maupun pihak-pihak lainnya. Langkah-langkah yang diambil tersebut tentu harus
2. Pemerintah Daerah perlu mendorong para pihak termasuk peladang berpindah di Routa
3. Pemerintah Daerah perlu mendorong penduduk di Routa pada umumnya dan peladang
pada khususnya untuk mengembangkan usaha budi daya tanaman perkebunan seperti
68
Daftar Pustaka
Adijaya, Sarlan 2000. Monda’u dan Kelestarian Hutan: Suatu Kajian Mengenai Sistem
Perladangan pada masyarakat Tolaki di Desa Pamandati. Kendari, Skripsi
Antropologi Universitas Haluoleo.
Ahimsa-Putra, Heddy Sri 2003. Prolog: Dari Ekonomi Moral, Rasional ke Politik Usaha.
Dalam Ekonomi Moral, Rasional dan Politik Dalam Industri Kecil di Jawa.
Jogyakarta, Kepel Press.
Bennet, Jhon W 1976. The Ecological Transition: Cultural Anthropology and Human
Adaptation. Washington University at Santa Louis.
Desianti, Rinda 1995. Sistem Perladangan dan Pemilikan Tanah Orang Bentian Di Kalimantan
Timur. Jogyakarta, Skripsi Antropologi UGM.
Dove, R. Michael 1981. Antara Mitos dan Kebenaran dalam Studi Perladangan. Dalam
Agro-Ekonomika, XII, 15.
Fawnia, Syalita 2003. Keadaan Ekologis Hutan dan Lahan Bekas Ladang (reuma) di
Kawasan Adat Baduy. Bandung, Departemen Biologi F-MIPA Bandung.
69
Hardesty, L. Donald 1941. Ecological Anthropology. Toronto, John Willey
& Sons.
Hijjang, Pawennari 2004. Talutn Tanaq : Sistem Pengetahuan Lokal Komunitas Dayak
Benuaq Dalam Aktivitas Perladangan di Desa Melapen Baru Kabupaten Kutai
Barat Kalimantan Timur (Disertasi). Makassar, Universitas Hasanuddin.
Koentjaraningrat 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta, PT. Dian Rakyat
Marzali, Amri 2002. Strategi Peisan Cikalong Kulon Dalam Menghadapi Kemiskinan.
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Popkin, L. Samuel 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in
Vietnam. California, University of California Press.
Raharjana, T Desta 2003. 2003 Siasat Usaha Kaum Santri: Ekonomi Moral dan
Rasional Dalam Usaha Konfeksi di Mlangi, Jogyakarta. Dalam Ekonomi Moral,
Rasional dan Politik Dalam Industri Kecil di Jawa. Jogyakarta, Kepel Press.
Rappaport, Roy A 1978. Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea
People. Yale University Press, New Heaven and London.
Saharuddin 2007. Antropologi Ekologi. Dalam Ekologi Manusia oleh Soeryo Adiwibowo
(Ed). Bogor, Fakultas Ekologi Manusia IPB.
Sairin, Semedi dan Hudayana 2003. Pengantar Antropologi Ekonomi. Jogyakarta, Pustaka
Pelajar.
70
Salim, Agus 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Jogyakarta, Tiara Wacana.
Schrauwers, Albert 2002. “Itu Tidak Ekonomis: Sifat Ekonomi Moral yang
Berakar pada Ekonomi Pasar di Dataran Tinggi Sulawesi, Indonesia. Dalam Proses
Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia oleh Tania Murray Li (Editor).
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Steward, H. Julian 1976. Evolution and Ecology (edited by Jane C. Steward and Robert F.
Murphy). Urbana Chicago London, University Of Illinois Press.
Taridala, Yusran dan Adijaya, Sarlan 2002. Pranata Hutan Rakyat. Jogjakarta, Debut Press
71