Anda di halaman 1dari 82

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berladang berpindah adalah aktifitas membuka hutan untuk menghasilkan sejumlah bahan

makanan, terutama beras guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Agar dapat memperoleh hasil

yang banyak seorang peladang mesti membuka ladang yang luas. Semakin luas ladang, semakin

banyak pula hasil panen yang diperoleh, sebaliknya semakin sempit ladang, akan semakin kecil

pula hasil yang diperoleh.

Di masa lalu setiap peladang dapat memperoleh hasil yang banyak atau disebut dengan

istilah mondaweako yaitu hasil panen yang mencapai di atas seribu seratus ikat besar padi ladang.

Hasil semacam ini dapat diperoleh karena setiap peladang dapat membuka ladang yang luas dengan

sangat leluasa. Kala itu rata-rata peladang dapat membuka ladang antara tiga hingga sepuluh hektar

atau bahkan lebih, tergantung kemampuan tenaga yang dimiliki peladang. Sehingga itulah aktifitas

perladangan berpindah menjadi sentrum perekonomian penduduk kala itu (Taridala dan Adijaya

2002:15).

Ketika itu kegiatan perladangan berpindah terutama bertujuan untuk memperoleh hasil padi

ladang sebanyak-banyaknya. Ini selalu dapat dicapai oleh peladang karena lahan hutan yang

tersedia masih sangat luas. Satu-satunya yang dibutuhkan peladang saat itu adalah kekuatan fisik

yang prima agar dapat membuka hutan seluas mungkin dengan hanya menggunakan kapak atau

parang seadanya.

Dalam melakukan aktifitas perladangan berpindah, peladang leluasa memilih lokasi yang

dikehendaki dan secara berkelompok melakukan pembukaan lahan pada satu hamparan yang luas.

Ketika panen usai lahan bekas areal perladangan (anahoma) akan ditinggalkan, dan para peladang

akan mencari lagi lokasi yang lain pada tahun berikutnya. Kegiatan membuka hutan untuk areal

perladangan semacam ini dilakukan secara terus-menerus, dari tahun ke tahun tanpa pernah

mendapat hambatan atau larangan dari pihak manapun.

1
Dewasa ini aktifitas perladangan berpindah sebagaimana dimaksudkan di atas semakin

sulit dilakukan tak terkecuali bagi peladang di Routa. Hal ini disebabkan oleh terjadinya berbagai

perubahan lingkungan—perubahan-perubahan tersebut yaitu perubahan lingkungan politik,

perubahan lingkungan ekologi dan perubahan lingkungan ekonomi—yang semakin tidak

memungkinkan peladang mengembangkan aktifitas berladang berpindahnya seperti dimasa lalu.

Data yang ada menunjukkan bahwa baik dari segi lahan yang diolah maupun dari segi hasil

produksi padi ladang di Kabupaten Konawe terus mengalami penurunan. Meskipun lahan yang

diolah pada tahun 2006 seluas 945 Ha mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 1.412 Ha,

tetapi lahan olahan cenderung mengalami penurunan setelahnya, yakni 1.404 Ha (2008) dan

menjadi 690 Ha (2009). Terjadinya penurunan luas lahan perladangan, boleh jadi disebabkan oleh

sejumlah faktor di antaranya semakin kurangnya areal hutan yang tersedia untuk perladangan,

ekspannsi usaha perkebunan dan pertambangan, serta semakin ketatnya pengawasan dari

pemerintah.

Sedangkan dari segi hasil produksi padi ladang, pada tahun 2006 mencapai 2.298 ton,

meningkat pada tahun 2007 menjadi 3.427 ton. Pada tahun 2008 produksi padi ladang mengalami

peningkatan dari tahun sebelumnya yakni 3.555 ton. Sebaliknya pada tahun 2009 produksi padi

ladang mengalami penurunan cukup drastis dengan jumlah produksi hanya mencapai 2.052 ton.

Penurunan hasil produksi ini sejalan dengan semakin kecilnya areal perladangan yang dibuka

(Konawe Dalam Angka, 2010).

Jika merujuk pada perubahan-perubahan yang terjadi di atas, maka dari sisi perubahan

lingkungan politik ditandai dengan keluarnya regulasi pemerintah di bidang kehutanan yaitu

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang pada pokoknya melarang dan

membatasi segala aktifitas pembukaan hutan untuk tujuan apapun, termasuk aktifitas berladang.

Sesungguhnya proses pelarangan dan pembatasan ini telah berlangsung lama yakni semenjak

Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa

pengelolaan hutan pada dasarnya adalah untuk tujuan komersil (Lynch dan Talbott 2001:81).

2
Namun, karena sejumlah factor seperti belum efektifnya penyelenggaraan pemerintahan di daerah-

daerah terisolir seperti Routa, sehingga dampak dari kebijakan tersebut belum terasa.

Perubahan lingkungan ekologi dimulai dengan masuknya penduduk dari luar ke Routa,

yang secara langsung maupun tidak langsung, telah memicu kompetisi perebutan lahan. Situasi

seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Seiring dengan itu, pemerintah membentuk desa-desa

baru yang kemudian menguasai sebahagian lahan-lahan hutan di Routa. Akibatnya sebahagian

kawasan hutan yang potensial menjadi areal perladangan diambil alih dan dikuasai oleh penduduk

dan desa-desa baru tersebut.

Perubahan lingkungan ekologi selanjutnya dipicu dengan kehadiran berbagai perusahan

yang menanamkan modalnya di Routa. Potensi kayu yang melimpah di belantara Routa telah

menarik minat beberapa pengusaha dari luar untuk mengusahakan pengolahan kayu di Routa.

Selain bisnis kayu, di Routa juga telah masuk perusahan perkebunan sawit yaitu PT. Duta Sulawesi

Agro (DSA), PT. Damai Jaya Lestari (DJL) dan perusahan pertambangan PT. Rio Tinto

Exploration. Akibatnya sebahagian kawasan hutan dikuasai oleh perusahan-perusahan tersebut

melalui pemberian izin pengolahan kayu, hak guna usaha dan izin usaha pertambangan.

Perubahan lingkungan ekonomi sebagai implikasi langsung dari kedua perubahan

lingkungan tersebut di atas adalah terhadap keleluasaan peladang dalam membuka areal

perladangan. Peladang hanya dapat membuka ladang dengan luasan yang sempit yakni sekitar 0,5

Ha hingga 1 Ha. Akibatnya hasil panen yang diperoleh juga ikut menurun dibanding pada masa-

masa sebelumnya. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa bahan makanan yang

didapatkan dari ladang, khususnya beras hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan paling lama lima

bulan.

Di tengah situasi tersebut di atas, ternyata beberapa penduduk di Routa masih terus

mengusahakan praktek perladangan berpindah. Pembatasan atau pelarangan pemerintah untuk

membuka lahan, nampaknya tidak begitu berpengaruh atau diindahkan oleh para peladang. Begitu

pula dengan faktor semakin terbatasnya lahan hutan dan kecilnya hasil panen sebagai akibat kian

bertambahnya penduduk dan pembentukan desa-desa baru serta hadirnya bisnis kehutanan,

3
perkebunan dan pertambangan, juga tidak membuat peladang di Routa menghentikan praktek

perladanganya.

Berkerasnya peladang yang terus mengusahakan praktek perladangan berpindah ini

menarik untuk disimak jika dikaitkan dengan sejumlah faktor. Misalnya, resiko hukum yang

mungkin diterima oleh peladang, seperti pidana kurungan badan atau denda dengan jumlah

tertentu; konsekuensi besarnya energi yang dikeluarkan oleh peladang tidak sepadan dengan hasil

panen yang diperoleh; banyaknya pilihan pekerjaan yang tersedia di Routa yang sesungguhnya

lebih ekonomis dan dapat dikerjakan oleh peladang, seperti bekerja di usaha pengolahan kayu

sebagai penebang, penarik dan pengangkut balok atau tukang gergaji, mengumpulkan damar dan

rotan alam atau bekerja di perkebunan sawit.

Ini menimbulkan pertanyaan besar yang tidak saja terkait dengan alasan-alasan peladang

yang terus mempertahankan aktifitas perladangan di tengah minimnya hasil panen yang diperoleh,

serta terdapatnya berbagai alternatif pekerjaan yang lebih menguntungkan, tapi juga berhubungan

dengan strategi para peladang dalam menyiasati perubahan lingkungan politik, ekologi dan

ekonomi yang cenderung tidak menguntungkan bagi aktifitas perladangan.

B. Masalah Penelitian

Dengan merujuk pada fakta-fakta di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Apakah alasan-alasan yang mendasari sehingga para peladang terus mempertahankan

aktifitas perladangan di tengah minimnya hasil panen yang diperoleh, serta terdapatnya

berbagai alternatif pekerjaan yang lebih menguntungkan?

2. Bagaimanakah strategi adaptasi peladang menyiasati perubahan lingkungan politik, ekologi

dan ekonomi yang cenderung tidak menguntungkan bagi aktifitas perladangan?

4
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengungkap fenomena bertahannya aktifitas perladangan

berpindah dengan mengambil setting penelitian di Routa Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi

Tenggara:

1. Menjelaskan alasan-alasan yang mendasari sehingga para peladang terus mempertahankan

aktifitas perladangan berpindah di tengah minimnya hasil panen yang diperoleh, serta

terdapatnya berbagai alternatif pekerjaan yang lebih menguntungkan.

2. Menggambarkan strategi adaptasi peladang menyiasati perubahan lingkungan politik,

ekologi dan ekonomi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat positif kepada pemerhati antropologi

ekologi, khususnya kalangan akademisi, bagi pengayaan bahan-bahan studi antropologi ekologi.

Penelitian ini juga diharapkan akan memberikan manfaat yang besar dalam rangka pelestarian

lingkungan hidup, khususnya yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait pemerintah dan

pemerintah daerah, serta kalangan LSM yang konsern dalam bidang lingkungan hidup.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Petani Rasional

Petani pada dasarnya adalah rasional. Hal ini merupakan pandangan yang sebaliknya

mengenai moral ekonomi petani yang dikemukakan oleh Scott (1994). Popkin melalui bukunya

The Rational Peasant (1979) lebih menekankan pada pengambilan keputusan dan strategi interaksi

secara individual yang merupakan fenomena pada petani tradisional, sebagaimana dinyatakannya :

... in this political economy, as opposite to moral economy, approach, I am above


all seeking a different strategy of inquiry, one wich emphasizes individual decision
making and strategic interaction (Popkin 1979:66).

Petani tradisional pada dasarnya memiliki sikap rasional dalam pengambilan keputusan

yang menyangkut dirinya, dan mereka dapat dianggap sebagai melakukan tindakan ekonomi atas

dasar prinsip-prinsip yang rasional, yang hasilnya akan memberi manfaat secara individu ataupun

sosial. Para ekonom moral menekankan bahwa petani-petani lebih menyukai strategi-strategi kecil,

tapi mampu mendatangkan hasil-hasil yang pasti daripada strategi-strategi yang bisa mendatangkan

hasil-hasil yang banyak, namun juga mungkin mendatangkan resiko kegagalan yang besar.

Sebaliknya, kaum rasional menjelaskan bahwa petani masih mempunyai keberanian untuk

melakukan tindakan-tindakan investasi yang beresiko, meskipun mereka termasuk miskin dan

enggan beresiko. Oleh sebab itu, petani melakukan investasi-investasi berjangka panjang maupun

pendek dan mereka juga mengalami krisis jangka panjang dan jangka pendek (Rahardjana

2003:126).

Popkin (dalam Sairin dkk 2002:221) mengatakan bahwa ketika kaum petani melibatkan

diri dalam ekonomi pasar, menanam tanaman komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal itu

terjadi bukan karena mereka melihat bahwa pasar menawarkan peluang kehidupan yang lebih baik

daripada yang ada di desa. Pemberontakan kaum petani, bukanlah upaya restoratif untuk menjaga

kelangsungan struktur sosial lama, melainkan upaya untuk menciptakan struktur sosial baru yang

6
lebih menguntungkan, agar akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi menjadi semakin

besar. Hal ini sejalan dengan pandangan Wolf (2004:8) yang mengatakan bahwa untuk menjamin

keberlanjutan atas tanah dan makanan untuk rumah tangganya, petani seringkali memelihara pasar

pada kekuatan lengannya, untuk keterlibatan terbatas di pasar yang mengancam kepemilikannya

atas sumber kehidupan.

Selanjutnya Popkin (dalam Sairin dkk 2002:222) mengatakan bahwa desa peasant

tradisional sama sekali jauh dari kondisi harmonis dan penuh dengan eksploitasi. Menurutnya, desa

petani lebih tepat dipandang sebagai korporasi, bukan sebagai komun dan hubungan patron-klien

yang terjadi di dalamnya harus dilihat sebagai eksploitasi bukan sebagai hubungan paternal.

Pendapat ini berbada dengan Pelras (2000:393-432) dalam penelitiannya pada masyarakat Bugis-

Makassar menemukan kenyataan bahwa hubungan patron-klien adalah hubungan saling

menguntungkan dan melindungi.

Di Routa sendiri pola hubungan patron-klien bersifat saling menguntungkan antara

pedagang seperti halnya Iskandar dan para petani di Routa seperti Sanggili atau Rasak Yusuf.

Walaupun Iskandar memberikan suplay bahan-bahan kebutuhan sehari-hari kepada para petani

yang membutuhkan, namun Iskandar tidak pernah mematok batas maksimum keuntungan yang

diperolehnya, sehingga kelak memberatkan para petani. Dengan menyediakan bahan-bahan

kebutuhan sehari-hari kepada para petani di Routa, Iskandar hanya ingin memastikan bahwa kelak

hasil-hasil panen yang diperoleh para petani akan dijual kepadanya.

Pasar menurut Popkin bukanlah ancaman bagi kaum petani di pedesaan, sebaliknya pasar

justru membuka peluang agar produk mereka memperoleh harga yang lebih baik serta

menyediakan bahan makanan dalam jumlah yang melimpah sepanjang waktu. Pemberontakan

kaum petani juga tidak disebabkan oleh terjadinya gangguan terhadap pemenuhan kebutuhan

subsistensi mereka, tetapi lebih karena adanya keinginan untuk merebut masa depan yang lebih

baik (dalam Sairin dkk 2002:223-230).

Pendekatan petani rasional sangat tepat digunakan dalam melihat melihat fenomena

perladangan berpindah di Routa yang masih bertahan hingga kini. Dengan melihat fakta bahwa

7
peladang pada dasarnya sekaligus menjadi pemilik tanah bekas ladang berpindah tersebut, maka

tanah bekas ladang ini dapat menjadi investasi jangka panjang yang menguntungkan bagi peladang.

B. Perspektif Ekologi

Salah satu perkembangan penting dari sudut pandang teori kultural adalah munculnya

pendekatan evolusionari/ekologis terhadap budaya sebagai sistem adaptif. Para ahli yang

mengembangkan perspektif ini di antaranya adalah Leslie White, dan selanjutnya disusul oleh ahli-

ahli yang muncul belakangan seperti Sahlins, Rappaport, Steward, Harris, Carneiro, Service, dan

Vayda (Keezing,1974:6). Walau sama-sama mengembangkan perspektif ekologis, namun di

kalangan para ahli tersebut terdapat perbedaan sekte antara yang satu dengan lainnya.

Secara garis besar perpektif ekologis terhadap budaya terbagi ke dalam empat sekte yaitu:

1) cultural evolutionism yang dipelopori oleh Service; 2) cultural materialism yang dipelopori oleh

Harris; 3) cultural ecology yang dipelopori oleh Steward, dan; 4) human ecology yang dipelopori

oleh Vayda dan Rappaport (Keezing 1947:7).

Sementara itu Little (Saharuddin 2007:47) menyatakan, bahwa ada dua pendekatan pokok

dalam antropologi ekologi, yaitu pendekatan fungsionalisme ekologi (termasuk di dalamnya

pendekatan ekologi budaya, pendekatan ekosistem, dan pendekatan sistem) dan pendekatan

environmentalism (populer dengan istilah pendekatan action oriented). Jika pendekatan

fungsionalis-ekologi adalah suatu pendekatan yang menitikberatkan penjelasannya pada kaitan

berbagai gejala dalam suatu sistem ekologi, maka pendekatan action-oriented lebih menekankan

pada aspek historis dan tindakan-tindakan individual sebagai suatu proses. Kedua pendekatan ini

dapat saling melengkapi dalam memaknai interaksi sosio-ekologis dengan memberikan tekanan

pada proses (Saharuddin 2007:48).

Selanjutnya Keezing (1974:6-7) mengatakan bahwa kendati terdapat perbedaan sekte

tersebut—antara sekte cultural evolutionism, cultural materialism, cultural ecology dan human

ecology—namun sebagian besar sarjana yang mengikuti tradisi perspektif ekologis (cultural

adaptionist) sepakat dalam empat asumsi pokok. Pertama, budaya adalah sistem tingkah laku yang

8
diturunkan secara sosial yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan

ekologi mereka. Kedua, perubahan kultural pada dasarnya adalah suatu proses adaptasi dan

maksudnya sama dengan seleksi alam. Ketiga, teknologi, ekonomi secukup hidup (subsistence

economy), dan elemen organisasi sosial yang terikat langsung dengan produksi adalah bidang

pokok budaya yang paling bersifat adaptif. Keempat, komponen-komponen ideasional dari sistem

kultural bisa punya konsekwensi adaptif, seperti mengontrol penduduk, membantu mata

pencaharian hidup, menjaga ekosistem, dan lain-lain.

Berdasarkan paparan di atas, nampak bahwa konsep adaptasi selalu hadir dalam analisis

ekologi. Sehingga dapat dikatakan bahwa adaptasi merupakan konsep kunci dalam kajian-kajian

antropologi ekologi, tidak terkecuali dalam kajian mengenai perladangan berpindah, khususnya

kegiatan perladangan berpindah di Routa.

Adaptation is the central concept in ecological studies because it is the process whereby

beneficial organism/environment relationships are established (Hardesty 1941:21). Penekanan

Hardesty pada adaptasi sebagai konsep sentral dalam kajian ekologi, meliputi pula kajian

antropologi ekologi. Hal ini mengingat antropologi ekologi sebagai cabang ilmu antropologi yang

melibatkan diri dalam studi-studi lingkungan ekologis atau menjadikan lingkungan sebagai latar

belakang kajiannya (Hardesty 1941:1, Steward 1976:43-57, Moran 1979:4, Ellen 1982:1, Rambo

1983:1, Saharuddin 2007:44).

Dalam ilmu antropologi terdapat suatu konsep adaptasi yang paling relevan dengan

penelitian ini yaitu yang dikemukakan oleh Bennet (1976). Bennet (1976:246) menganggap bahwa

adaptasi adalah kapasitas manusia untuk melakukan self-objectification, belajar dan

mengantisipasi. Adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang berulang-ulang sebagai

proses penyesuaian terhadap terhadap lingkungan tersebut. Menurut Bennet, adaptasi bukan hanya

persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup

persoalan transformasi sumberdaya lokal dengan mengikuti model standar konsumsi manusia yang

umum serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional.

9
Kajian Bennet tentang adaptasi memiliki kelebihan dibandingkan dengan studi adaptasi

lainnya, karena keajegan dan konsistensinya, sehingga perangkat konseptualnya juga tampak lebih

komprehensif. Dalam paradigma yang digunakan oleh Bennet, kita menemukan titik temu antara

antropologi ekologi dan antropologi ekonomi (dalam Ahimsa-Putra 2003:9). Di satu sisi, aktifitas

perladangan yang dilakukan oleh penduduk dengan membuka hutan merupakan masalah ekologis.

Namun di sisi lain, perladangan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dengan

menghasilkan sejumlah bahan makanan berkaitan dengan ekonomi.

Bennet (1976:251-252) menyatakan bahwa terdapat 3 jenis adaptasi yang berbeda satu

dengan lainnya, yaitu adaptive behavior (perilaku adaptif), adaptive strategies (siasat-siasat

adaptif), dan adaptive processes (proses-proses adaptif). Adaptive behavior adalah “coping

mechanism or ways of dealing with people and resources in order to attain goals and solve

problems”. Sementara itu adaptive strategies adalah “the patterns formed by the many separated

adjustments that people device in order to obtain and use resources and to solve the immediate

problems confronting them’’. Sedangkan adaptive processes adalah “the changes introduced over

relatively long periods of time by the repeated use of such strategies or the making of many

adjustment”. Pendapat serupa dengan pandangan Bennet ini dikemukakan pula oleh Alland,Jr

(1970:88) yang menyatakan bahwa adaptasi meliputi behavioral adaptation dan adaptive process.

Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku adaptif

berkenaan dengan perilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan mengatasi masalah yang

dihadapi; strategi adaptif berkenaan dengan pola-pola dari berbagai perilaku adaptif dan proses-

proses adaptif berkenaan dengan periode berlangsungnya perilaku adaptif tersebut.

Lebih lanjut Bennet menyatakan bahwa siasat-siasat adaptif tersebut berada pada tingkat

yang disadari oleh mereka yang menjalankannya. Dengan kata lain, para pelaku dapat merumuskan

siasat-siasat tersebut baik dalam bentuk pengetahuan maupun tindakan. Ini berbeda dengan proses-

proses adaptif, yang merupakan pernyataan, formulasi dari pengamat atau/peneliti (Ahimsa-Putra

2003:10).

10
Suatu perilaku dinyatakan adaptif apabila berkenaan dengan pencapaian tujuan atau

penyelesaian masalah, yang secara spesifik merupakan perilaku untuk mengatasi kendala-kendala

yang sulit, yang antara lain meliputi keterbatasan atau kelangkaan sumberdaya guna mencapai

tujuan-tujuan tertentu atau mewujudkan harapan-harapan yang diinginkan (Bennet dalam Ahimsa-

Putra 2003:10-11).

Selanjutnya Bennet (dalam Ahimsa-Putra 2003:11) mengungkapkan, bahwa suatu tindakan

coping yang berhasil haruslah berarti bahwa orang yang melakukannya dapat mewujudkan apa

yang diinginkannya. Ini lebih menekankan pada cara-cara menangani yang antara lain meliputi

“problem-solving, decision making, consuming or not consuming inventing, innovating, migrating

and staying.”

Sejalan dengan pendapat para ahli di atas, Barlett (dalam Marzali 2003:26) menyatakan,

bahwa tujuan dari kajian-kajian dengan pendekatan strategi adaptif adalah untuk menghasilkan

empat hal berikut ini. Pertama, penggambaran yang jelas tentang strategi nyata yang dilancarkan

para petani, dan keanekaragaman pilihan strategi yang mereka aplikasikan. Kedua, gambaran

tentang variabel-variabel dan kondisi-kondisi yang menciptakan dan memperkuat strategi-strategi

tersebut. Ketiga, eksplanasi tentang mengapa variabel yang satu lebih menentukan daripada

variabel yang lain. Keempat, ramalan tentang arah perkembangan dan implikasi jangka panjang

dari pilihan-pilihan strategi terhadap perubahan struktur agraria.

Suatu perilaku atau serangkaian perilaku sebagai strategi adaptif terhadap lingkungan tidak

muncul begitu saja, tetapi selalu terkait dengan konteks sosial politik dimana para aktor, dalam hal

ini peladang berpindah berada. Oleh karena itu, maka dalam rangka memahami fenomena tetap

bertahannya aktifitas perladangan berpindah di Routa, selain konsep strategi adaptif tersebut di

atas, yang tidak kalah pentingnya juga adalah penggunaan konsep ekologi politik.

Kajian ekologi politik mulai berkembang sejak akhir decade 1970an dan awal 1980an

(Satria 2007:88). Forsyth (2003;Satria 2007:88) menjelaskan bahwa ekologi politik merupakan

kelanjutan dari kajian ekologi budaya (cultural ecology). Hal ini bisa dilihat dari kajian-kajian

cultural ecology tahun 1960an. Sebagaimana dikatakan oleh Netting (1993;Satria 2007:88) yang

11
mengatakan bahwa ekologi budaya memfokuskan diri pada “particular circumstances of

geography, demography, technology, and history that result in a splendid variety of cultural

values, religion, kinship systems, and political structures in local environmental strategies”.

Sementara itu ekologi politik sendiri memfokuskan diri pada penjelasan politik terhadap perubahan

dan kerusakan lingkungan (Satria 2007:88).

Salah satu pendekatan ekologi politik yang paling relevan dengan kajian mengenai tetap

bertahannya aktifitas perladangan di Routa adalah pendekatan aktor (actor oriented). Pendekatan

ini berpijak pada konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan

lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah

itu muncul. Menurut Bryant dan Bailey (2001;Satria 2007:93) ada beberapa asumsi yang mendasari

pendekatan aktor ini, yaitu bahwa: 1) biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan

dinikmati para aktor secara tidak merata; 2) distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut

mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi; 3) dampak sosial ekonomi yang berbeda dari

perubahan lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik dalam arti bahwa terjadi perubahan

kekuasaan dalam hubungan antar aktor dengan lainnya.

C. Perladangan Berpindah

Perladangan berpindah yang dalam Bahasa Inggris berpadanan dengan shifting cultivation,

rotary cultivation dan swidden agriculture, sementara dalam Bahasa Indonesia ditemui pula istilah

sistem pertanian gilir balik. Kendati demikian, istilah-istilah tersebut merujuk kepada makna yang

serupa tapi tak sama yakni suatu kegiatan pertanian yang dilakukan dengan membuka kawasan

hutan dan dengan sistim tebang bakar.

Rambo dan Seavoy mengemukakan definisi terkait perladangan berpindah, sebagai berikut:

Swidden agriculture is a system in which farmer cuts a plot of land in the forest,
allows the vegetation to dry and then burns it before planting a crop”(Rambo
1983:8).

Shifting cultivation is commonly defined as clearing trees and then cultivating this
land for one or more years before abandoning it in favor of others patches (Seavoy
dalam Adijaya 2000:11).

12
Definisi Rambo di atas menekankan pada adanya praktek penebangan, pengeringan,

pembakaran dan penanaman dari ladang berpindah. Sementara itu Seavoy lebih menekankan pada

praktek penebangan pepohonan dan pengolahan tanah untuk beberapa tahun sebelum kemudian

ditinggalkan.

Pada dasarnya perladangan berpindah adalah suatu bentuk penggunaan lahan/tanah yang

sering dihubung-hubungkan dengan masyarakat tradisional yang ada di dalam atau di sekitar hutan

yang hidup secara relatif terisolir. Perladangan berpindah lebih dicirikan oleh adanya pola daur

ulang pemanfaatan suatu lahan ketimbang jenis tanaman yang dihasilkan dari lahan yang

bersangkutan, dan sering pula diterapkan teknik-teknik tebang bakar (Zakaria 1997:72).

Koentjaraningrat (1990:43) menyatakan bahwa perladangan berpindah dilakukan pada

suatu daerah di hutan atau di sabana yang dibersihkan (ditebang dan dibakar), ditanami satu sampai

tiga kali setahun. Lalu lahan tersebut dibiarkan untuk waktu yang lama (10-15 tahun), sehingga

menjadi hutan kembali. Sesudah itu hutan bekas ladang tadi dibuka atau diolah seperti siklus

awalnya.

Gourou (dalam Geertz 1976:16) menyatakan bahwa secara garis besar terdapat

empat ciri perladangan, yaitu dijalankan di tanah tropis yang gersang; menggunakan teknik

pertanian yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak; terjadi pada

masyarakat yang kepadatan penduduknya rendah, dan pada masyarakat yang tingkat

konsumsinya rendah.

Sementara itu Taridala dan Adijaya (2002:27) mengatakan bahwa perladangan berpindah

atau monda’u adalah suatu bentuk usaha perladangan dengan membuka hutan untuk kemudian

ditanami. Monda’u dilakukan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya (slash and

burn) dan terdiri beberapa tahapan, sebagai berikut: 1) monggiikii ando’olo (pemilihan lokasi

perladangan); 2) mohoto o wuta (upacara pra monda’u); 3) mosalei (menebang pepohonan kecil,

menebas akar-akaran, dan lain-lain); 4) monduehi (menebang pepohonan besar); 5) humunu

(membakar); 6) mo’enggai (membersihkan sisa-sisa pembakaran); 7) motasu (menanam padi); 8)

13
mosaira dan mete’ia (membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman); 9) mosowi (panen); 10)

molonggo (memasukkan ke dalam lumbung).

Tahapan dan proses sebagaimana disebutkan di atas, dewasa ini telah mengalami

perubahan. Beberapa tahapan dan proses tidak lagi dilakukan oleh peladang, di antaranya

pemilihan lokasi perladangan, upacara penanaman dan molonggo. Aktifitas perladangan dewasa ini

lebih difokuskan pada adanya ketersediaan lahan yang akan diolah sebagai ladang—yang nantinya

lahan tersebut dapat dimiliki.

D. Penelitian Terdahulu

Guna memberikan arahan yang dapat membantu dalam menjelaskan dan memahami

masalah penelitian yang hendak diungkap, maka Saya perlu mengemukakan beberapa hasil

penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Selain itu pula hal ini penting untuk menunjukkan

bahwa penelitian yang hendak Saya lakukan merupakan hal baru yang belum pernah diteliti

sebelumnya.

Penelitian atau kajian tentang perladangan berpindah telah banyak dilakukan di antaranya

oleh Dove (1981), Babcock (1999), Zakaria (1991), Desianti (1995), Fawnia (2004), H.E.

Benyamine (2009), Hijjang (2004), M. Matinahoru (2010), BP.Bhatt, LB Singha, KK Satapathy,

YP Sharma & KM Bujarbaruah (2010), Tawulo (1998) dan Adijaya (2000).

Dove (1981) memfokuskan kajiannya pada berbagai sistem perladangan dalam kaitannya

dengan apa yang disebutnya sebagai citra lingkungan, khususnya yang bercorak kosmis-magis.

Menurut pandangan citra lingkungan yang bercorak kosmis-magis (sering pula disebut religio-

magis) manusia adalah sebagian dari alam lingkungan itu sendiri. Manusia tidak terpisah dan

berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan komponen lingkungan yang lain. Dengan

demikian, wawasannya bersifat holistik atau menyeluruh; tidak ada pemilah-milahan antara

manusia dengan alam semesta; tidak ada batasan antara dunia lahir dengan dunia ghaib. Segala

yang di alam semesta berbaur menjadi satu, bersangkut paut, jalin menjalin, dan saling

14
mempengaruhi satu sama lainnya, karena manusia senantiasa bertalian dengan semua komponen

yang ada dalam alam semesta.

Kajian Babcock (1999) mengenai sistem perladangan difokuskan pada beberapa

keuntungan ekonomis maupun ekologis yang dapat diperoleh para peladang. Menurutnya dari segi

ekonomis, peladang tidak saja dapat menghasilkan beragam komoditi yang dapat dipasarkan tetapi

juga mereka memperoleh waktu luang untuk mengerjakan pekerjaan lain pada masa antara tanam

dan panen. Hal ini berbeda dengan sistem pertanian sawah yang menuntut kehadiran petani setiap

saat di sawahnya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa dengan menanam berbagai jenis tanaman,

sesungguhnya peladang telah mempraktekkan sistem hetero-kultur sebagaimana istilah yang

dikenal dalam sistem pertanian moderen.

Kajian Zakaria (1994) memfokuskan pada sejauhmana sistem perladangan berpindah telah

menyebabkan kerusakan hutan di Indonesia. Menurutnya perladangan berpindah kendati dilakukan

dengan sistem tebang bakar, namun tidak dapat dipandang begitu saja sebagai tindakan merusak

hutan. Hal itu disebabkan karena sistem pertanian seperti itu merupakan suatu sistem adaptif

terhadap alam lingkungan yang di dalamnya terdapat berbagai kearifan lingkungan. Menurutnya,

banyak faktor yang menyebabkan deforestasi dan peladang berpindah hanyalah salah satu bahagian

saja yang sangat kecil kontribusinya, jika memang harus dimasukkan sebagai salah satu faktor

perusak.

Penelitian Desianti (1995) pada suku Dayak Bentian di Kalimantan Timur lebih diarahkan

pada usaha menemukan kearifan lingkungan yang terdapat dalam praktek perladangan.

Menurutnya orang Dayak Bentian mengenal konsep keserasian dan perawatan hutan, dimana dalam

adat mereka dikenal adanya kawasan-kawasan hutan yang tidak boleh dirusak dan hanya boleh

diambil hasilnya saja.

Fawnia (2004) dalam kajiannya melihat implikasi ekologis dari adanya sistem perladangan

berpindah terhadap kondisi ekosistem dengan membandingkan struktur dan komposisi vegetasi dari

beberapa tahapan suksesi komunitas sekunder (reuma) dengan komunitas hutan tua (leuweung

15
kolot) di Kawasan Adat Baduy, Desa Kanekes, Banten, dan melihat kaitan perbedaan struktur dan

komposisi vegetasi terhadap kondisi faktor-faktor lingkungan.

H.E.Benyamine (2009) melakukan kajian mengenai sistem perladangan berpindah dengan

menyoroti sifat konservasi dari usaha pertanian tersebut. Menurutnya walaupun terdapat sisi negatif

dari usaha pertanian semacam ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perladangan berpindah

memiliki keunggulan bila dihubungkan dengan konservasi karena adanya prinsip pemberaan

(fallow) dalam konservasi tanah. Konservasi lahan melalui pemberaan (fallow) yang panjang dapat

dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah. Hal ini dapat memberikan efek

yang menguntungkan terhadap penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan

produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang telah terdegradasi.

Hijjang (2004) dalam kajiannya pada orang Dayak Benuaq mengkaji masalah perladangan

dalam kaitannya dengan upaya menemukan pengetahuan lokal yang terdapat di dalamnya. Salah

satu kesimpulan penting dari kajian tersebut yaitu pengetahuan lokal komunitas Dayak Benuaq

yang menjadi acuan dalam aktivitas perladangan bersumber dari sistem nilai budaya yang

berorientasi pada pembangunan berbasis kelestarian lingkungan.

M. Matinahoru (2010) menyatakan bahwa perladangan berpindah adalah sebuah sistem

bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat secara berpindah-pindah dari satu tempat ke

tempat lain dengan cara membuka lahan hutan primer maupun sekunder. Dalam kajiannya

mengenai kegiatan perladangan berpindah di Maluku, ia menemukan bahwa peladang di Maluku

membuka areal hutan untuk berladang karena alasan kesuburan tanah. Hal ini karena secara umum

para peladang berpendapat bahwa hutan memiliki tanah yang subur sehingga hasil ladang yang

dicapai akan lebih tinggi.

BP Bhatt, LB Singha, KK Satapathy, YP Sharma & KM Bujarbaruah (2010)

mengarahkan kajiannya pada dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perladangan berpindah

terhadap lingkungan. Hal ini ditunjukkannya dalam penelitiannya pada masyarakat peladang

berpindah yang bermukim di bukit utara-timur wilayah India. Beberapa efek samping dari

16
perladangan berpindah di antaranya adalah deforestasi, deplesi tanaman dan sumber daya genetik

ternak, penggurunan, erosi tanah merangsang kehilangan hara, dan pendangkalan pada badan air.

Tawulo (1998) dalam penelitiannya pada masyarakat Tolaki di Palangga Konawe Selatan

memfokuskan kajiannya pada aspek perladangan berpindah semata. Penelitian tersebut bersifat

etnografis dan hanya mendeskripsikan mengenai proses pelaksanaan perladangan berpindah

sebagaimana yang dilihatnya pada orang Tolaki di Palangga. Ia menganggap bahwa perladangan

berpindah telah mengakibatkan rusaknya kelestarian hutan di Palangga.

Penelitian Adijaya (2000) pada suku Tolaki di Desa Pamandati juga difokuskan pada

unsur-unsur ramah lingkungan dan tidak ramah lingkungan yang terdapat dalam praktek

perladangan. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa beberapa tindakan peladang yang

dipandang ramah lingkungan di antaranya adalah tidak menebang seluruh pohon besar, menyisakan

pepohonan di dekat areal mata air, dan membersihkan pinggir ladang ketika hendak melakukan

pembarakan. Sementara itu tindakan yang dipandang tidak ramah lingkungan di antaranya adalah

kebiasaan peladang membersihkan tunas kayu yang mulai tumbuh karena mengganggu tanaman

padi, dan kebiasaan mengumpulkan potongan sisa-sisa pembakaran pada tunggak pohon lalu

kemudian dibakar. Akibat tindakan ini tunggak pohon yang masih memiliki kemungkinan untuk

tumbuh akhirnya mati.

Dari berbagai penelitian di atas, sedikit (jika ada) penelitian yang menyoroti tentang

fenomena bertahannya aktifitas perladangan berpindah di tengah perubahan lingkungan yang tidak

menguntungkan bagi aktifitas ini di satu sisi, serta tersedianya lapangan pekerjaan yang lebih

ekonomis dan dapat dikerjakan oleh peladang, di sisi lainnya.

E. Kerangka Konseptual

Berladang berpindah adalah aktifitas membuka hutan untuk menghasilkan sejumlah bahan

makanan, terutama beras guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Agar dapat menghasilkan

bahan makanan yang banyak seorang peladang mesti membuka ladang yang luas. Semakin luas

17
ladang semakin banyak pula hasil panen yang diperoleh, sebaliknya semakin sempit ladang akan

semakin kecil pula hasil yang diperoleh.

Dewasa ini aktifitas perladangan berpindah terus mengalami tekanan baik dari pemerintah

maupun dari masyarakat. Tekanan tersebut berupa pelarangan atau pembatasan pembukaan hutan

untuk areal perladangan serta orientasi pemerintah yang lebih mengutamakan bisnis kehutanan

yang menguntungkan bagi peningkatan pendapatan. Di samping itu pula adalah bertambahnya

penduduk, pembentukan desa baru serta hadirnya berbagai kegiatan investasi yang berarti

bertambahnya tekanan terhadap lahan, termasuk lahan hutan untuk areal perladangan. Akibatnya

usaha perladangan berpindah tidak dapat lagi dilakukan dengan leluasa, sehingga jumlah hasil

panen yang diperoleh peladang pun semakin menurun.

Pada sisi lainnya, di Routa terdapat berbagai kegiatan yang secara ekonomi lebih

menguntungkan di antaranya adalah bekerja di perusahan pengolahan kayu sebagai penarik dan

pengangkut balok, mengumpulkan damar alam, rotan atau bekerja di perkebunan sawit yang tidak

jauh dari Routa. Guna lebih memahami kerangka konseptual ini akan dituangkan dalam bentuk

diagram berikut ini:

Kerangka Konseptual

Berladang Berpindah

Terdapat beberapa
Perub. Lingk. Politik Perub. Lingk. Ekologi Perub. Lingk. Ekonomi
kegiatan yang lebih
ekonomis

Alasan-Alasan Strategi Adaptasi

18
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang berusaha

memahami native’s point of view (Spradley 2007:3) dan memaparkan data secara deskriptif dan

sistematis mengenai fakta-fakta di lapangan.

B. Tahapan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode etnografi karena itu penelitian ini akan mengikuti

tahapan-tahapan yang lazim digunakan dalam penelitian etnografi. Tahapan-tahapan penelitian

etnografi menurut Spradley (1997:131) adalah sebagai berikut: 1) memilih masalah penelitian; 2)

mengumpulkan data kebudayaan; 3) menganalisis data kebudayaan; 4) memformulasikan hipotesis

etnografis; 4) menuliskan etnografi.

Walaupun penelitian etnografi dibagi menjadi lima tahap, namun kelima tahap itu tetap

dilakukan secara serentak dalam waktu yang sama sebagai suatu siklus berantai dari tahap awal

sampai pada tahap akhir. Dengan kata lain, masalah penelitian yang telah dipilih masih bersifat

sementara sehingga bisa berubah sesuai dengan kondisi fenomena komunitas setempat setelah

berada di lapangan. Sementara memodifikasi permasalahan penelitian, sudah dimulai pengumpulan

data lapangan, sementara pengumpulan data berlangsung maka dirumuskan hipotesis kerjanya dan

analisis data serta penulisan laporan yang bersifat sementara (Hijjang, 2004).

C. Lokasi Penelitian

Sebelum penelitian ini, saya sudah empat kali ke Routa ketika terlibat dalam baseline

research Sulawesi Nickel Project. Penelitian tersebut dilakukan atas kerja sama PT. Riontinto

Exploration, Universitas Haluoleo, Universitas Tadulako dan Australian National University.

19
Kunjungan dalam rangka melakukan penelitian telah dilakukan empat kali, yakni sekali di akhir

tahun 2008 dan tiga kali selama tahun 2009.

Penelitian saya ketika itu mengambil tema ’Tanah dan Permasalahannya’, salah satu yang

menjadi fokus dalam penelitian tersebut adalah mengenai pola penguasaan tanah di Routa (Adijaya

2009). Ketika itu saya menemukan fenomena yang menarik yang saat itu tidak menjadi fokus

penelitian saya, yaitu :

1. Di Routa hingga kini sebahagian penduduknya masih mengembangkan aktifitas

perladangan, walaupun pemerintah sesungguhnya sudah melarang pembukaan hutan,

termasuk untuk tujuan perladangan.

2. Ada fenomena yang menarik yakni kendati berladang hanya menghasilkan panen yang

kecil dan di sisi lain banyak pekerjaan yang lebih ekonomis dan dapat dikerjakan, namun

sebahagian penduduk di Routa masih mengusahakan aktifitas perladangan.

Oleh karena itulah berdasarkan kenyataan di atas, maka saya memilih untuk kembali

melakukan penelitian di Routa dengan tema bertahannya aktifitas berladang berpindah tersebut.

Routa dalam konteks penelitian ini tidak saja dipahami sebagai suatu wilayah administratif

pemerintahan, tetapi juga sebagai suatu wilayah ekologis.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian lapangan dilakukan selama dua bulan yakni pada bulan April dan Mei 2011. Ada

dua faktor yang memudahkan saya dalam mengumpulkan data di lapangan yaitu: 1) sebahagian

informasi terkait dengan penelitian ini sudah diperoleh ketika saat pertama saya melakukan

penelitian di Routa; 2) karena saya sudah pernah berada disana, saya sudah relatif kenal dengan

Routa dan orang-orangnya, dan dengan siapa saya memperoleh informasi terkait dengan penelitian

ini.

20
E. Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling

yaitu penentuan informan berdasarkan kebutuhan penelitian. Menurut Spradley (1997:68) seorang

informan yang baik minimal memenuhi lima persyaratan yaitu: 1) enkulturasi penuh;

2) keterlibatan langsung; 3) suasana budaya yang tidak dikenal; 4) waktu yang cukup; dan 5) non

analitik. Berdasarkan hal tersebut maka Informan penelitian ditetapkan terdiri atas informan kunci

dan informan biasa:

1. Informan kunci adalah Camat Routa dan pemuka masyarakat yang mengetahui banyak

mengenai seluk-beluk kehidupan penduduk di Routa.

2. Informan biasa adalah yakni petani ladang yang masih aktif berladang berjumlah 12 orang

dan yang sudah tidak berladang berjumlah 2 orang. Dalam melakukan wawancara dengan

petani ladang, kadang kala dilakukan di ladang dan ada pula yang dilakukan di rumah

bersangkutan. Pada saat wawancara dengan sejumlah petani ladang kadangkala mereka

disertai dengan istrinya yang ikut duduk mengikuti proses wawancara. Selain petani

ladang, saya juga mewawancarai petugas kehutanan, personil polisi, pengusaha kayu dan

pedagang.

F. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini terdiri data primer dan data sekunder. Data primer adalah data

yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan, sebagai berikut:

1. Wawancara mendalam

Pada dasarnya wawancara mendalam dalam penelitian adalah suatu percakapan yang

mengandung maksud atau a conversation with purpose. Menurut Endraswara (2003:212)

menyatakan bahwa tujuan utama wawancara antara lain: a) untuk menggali pemikiran konstruktif

seorang informan, yang menyangkut peristiwa, organisasi, perasaan, perhatian, dan sebagainya

yang terkait dengan aktivitas budaya; b) untuk merekonstruksi pemikiran ulang tentang hal ihwal

21
yang dialami informan masa lalu atau sebelumnya; c) untuk mengungkap proyeksi pemikiran

informan tentang kemungkinan budaya miliknya di masa mendatang.

Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (guide

interview) dan alat perekam. Adapun topik-topik wawancara dalam penelitian ini yang menyangkut

masalah strategi peladang di antaranya adalah: 1) bentuk-bentuk dan proses pelarangan dan

pembatasan pembukaan hutan oleh pemerintah; 2) seputar bisnis kehutanan di Routa dan

tekanannya terhadap hutan; 3) tekanan pertambahan penduduk terhadap ketersediaan hutan, dan; 4)

respon peladang terhadap kebijakan pelarangan dan pembatasan pembukaan hutan, bisnis

kehutanan dan tekanan penduduk; 5) luas areal perladangan; 6) jumlah hasil panen padi yang

diperoleh; 7) jumlah hasil panen non padi lainnya yang diperoleh, dan; 8) respon peladang terhadap

hasil panen yang diperoleh.

Sedangkan masalah alasan-alasan peladang hingga tetap bertahan dengan aktifitas

berladang di antaranya adalah: 1) alasan-alasan yang bersifat moral, dan; 2) alasan-alasan yang

bersifat rasional.

2. Pengamatan

Pengamatan merupakan a powerful tool indeed. Menurut Endraswara (2003:208)

pengamatan dilakukan pada saat terjadi aktivits budaya dan wawancara secara mendalam. Adapun

sasaran pengamatan di antaranya adalah: 1) kondisi hutan dan kawasan hutan; 2) aktifitas

pengamanan hutan oleh aparat berwenang; 3) aktifitas perladangan; 4) aktifitas ekonomi lainnya,

dan; 5) pengelolaan lahan bekas ladang.

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui kantor desa, biro pusat statistik, atau

instansi lain yang terkait dengan data-data demografis, kehutanan dan lain-lain yang berhubungan

dengan tema penelitian.

G. Analisis Data

Analisis data adalah suatu cara pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan

bagian-bagiannya, hubungan di antara bagian-bagian itu, serta hubungan bagian-bagian itu dengan

22
keseluruhannya (Spradley 1997:129). Analisa data dilakukan mulai dari awal hingga akhir

penelitian atau semenjak diperolehnya data di lapangan (Endraswara 2003:215). Data yang sudah

terhimpun diklasifikasi dan dideskripsi secara holistik-integratif, dan ditafsirkan secara kualitatif

dari perspektif masyarakat yang diteliti (emik) dan dari perspektif peneliti (etik) guna menjawab

permasalahan penelitian.

Komponen-komponen analisis data (yang mencakup reduksi, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan) secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data.

Kharakter yang demikian menjadikan analisis data kualitatif disebut pula sebagai model interaktif

(Salim 2006:22).

Pengumpulan Data Penyajian Data

Reduksi
Data

Kesimpulan dan
Verifikasi

Gambar III-1. Komponen Analisis Data Model Interaktif


(Interaktif Model) (Matthew B.Milles & Michael Huberman 1992;
Salim 2006)

Data yang dianalisis dengan perspektif interpretatif adalah data-data mengenai: bentuk-

bentuk dan proses pelarangan dan pembatasan pembukaan hutan oleh pemerintah, seputar bisnis

kehutanan di Routa dan tekanannya terhadap hutan, tekanan pertambahan penduduk terhadap

ketersediaan hutan, respon peladang terhadap kebijakan pelarangan dan pembatasan pembukaan

hutan, bisnis kehutanan dan tekanan penduduk, luas areal perladangan, jumlah hasil panen padi

yang diperoleh, jumlah hasil panen non padi lainnya yang diperoleh, respon peladang terhadap

23
hasil panen yang diperoleh, alasan-alasan yang bersifat moral dan rasional, kondisi hutan dan

kawasan hutan, aktifitas pengamanan hutan oleh aparat berwenang, aktifitas perladangan, aktifitas

ekonomi lainnya, dan pengelolaan lahan bekas ladang.

24
BAB IV

EKOLOGI PENELITIAN

A. Letak Geografis dan Lingkungan Alam

Routa merupakan wilayah ekologis di daratan paling utara Kabupaten Konawe, berbatasan

langsung dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah, dengan luas seluruhnya

adalah 2.188,58 km². Daerah ini terdiri dari jejeran pegunungan dan lembah yang dialiri oleh

sungai dan anak sungai, salah satu di antaranya yang paling besar yaitu Sungai Wuaki atau dikenal

juga dengan sebutan Sungai Lalindu. Pegunungannya berlapis-lapis memanjang dari timur ke barat

dengan didominasi oleh vegetasi gunung hutan, padang savana dan sebahagiannya lagi gunung

batu kapur. Pada celah-celah antar pegunungan terbentuk lembah yang landai dan datar, dengan

batas-batas ekologis sebagai berikut:

 Di sebelah Utara berbatasan dengan Torukuno (punggung gunung) Lasampala;

 Di sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Wataraki;

 Di sebelah Selatan berbatasan dengan Gunung Hiuka, dan

 Di sebelah Barat berbatasan dengan Danau Towuti.

Secara administratif, Routa merupakan satu wilayah kecamatan yang meliputi tujuh desa

yaitu Parudongka, Tirawonua, Routa, Puuwiwirano, Tanggola, Walandawe, Bininti dan Lalomerui.

Sebelumnya Routa adalah bagian dari Kecamatan Wiwirano yang dimekarkan pada tanggal 27 Juli

2005. Adapun batas-batas administratifnya adalah sebagai berikut:

 Disebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah;

 Disebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Wiwirano;

 Disebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Abuki, dan

 Disebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan.

Lingkungan alam Routa terdiri dari kawasan hutan dengan vegetasi yang sangat beragam,

khususnya kayu, rotan dan dammar. Beberapa jenis kayu yang terdapat di dalam kawasan hutan

Routa di antaranya adalah bayam, kayu hitam, dammar alam, meranti, kolaka, cendana, pondo,

25
kulipapo, asana, silae, wewu, bolongita, benua, koni, kulipapo, nguru, kulahi, eha, sisio dan lain-

lain. Kini, kendati hutan alamnya masih merupakan bahagian terbesar dari lingkungan alam Routa,

namun pada beberapa tempat sudah berubah menjadi areal pertanian dan perkebunan penduduk.

Gambar 1. Salah satu sisi lingkungan alam Routa Doc. SAJ 09

Selain kayu, beberapa jenis rotan yang ada di Routa di antaranya yang paling dominan dan

memiliki nilai ekonomi tinggi adalah rotan batang dan lambang. Sedangkan lokasi-lokasi hutan

damar terpenting di antaranya adalah kawasan hutan Bunggu’osu, Tadosolo dan Walandawe.

Kedua jenis tumbuhan ini dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber mata pencaharian, selain

kayu.

Gambar 2. Perkebunan kakao penduduk di Routa Doc. SAJ 09

26
Pada areal budidaya terdiri dari tanaman kakao, merica, gaharu, kelapa, cengkeh dan

tanaman campuran lainnya. Tanaman lada dan kakao merupakan tanaman inti penduduk sementara

tanaman-tanaman lainnya seperti disebutkan hanya ditanam seadanya saja dan kurang berkembang.

Pada beberapa lokasi juga khsususnya di Desa Tirawonua terdapat areal persawahan penduduk.

B. Nama, Asal-Usul, dan Sejarahnya

Routa berasal dari bahasa Tolaki terdiri dari dua suku kata yaitu ’ro’ diambil dari kata

’ihiro’ atau ’mbeihiro’ yang berarti mereka dan ’uta’ yang berarti hutang sehingga routa berarti

berhutang. Penamaan Routa sebagai sebuah nama kampung memiliki riwayat sendiri. Dahulu

orang Tolaki gemar berkeliling negeri mencari kepala orang yang dianggap sebagai musuh untuk

jadi pajangan. Dalam bahasa Tolaki hal itu disebut Ponga’E. Suatu ketika Orang Wiwirano telah

mendapat dua buah kepala orang (masih tanda tanya), sementara orang Kuliasa (Routa, sekarang)

tidak mendapatkan kepala musuh sama sekali. Oleh karena itu maka orang Kuliasa meminta untuk

mengutang sebuah kepala orang dari orang Wiwirano. Menurut cerita bahwa kebiasaan memajang

kepala musuh ini merupakan tradisi nenek moyang yang telah berlangsung lama. Kemampuan

memajang kepala musuh dianggap sebagai simbol superioritas suatu kelompok suku atas kelompok

suku lainnya.

Setelah Orang Kuliasa berhutang kepala, Orang Wiwirano mengatakan bahwa hutang itu

tidak usah dibayar dengan catatan nama kampung Kuliasa mereka ganti menjadi Routa yang berarti

berhutang. Sejak itu Routa menjadi nama kampung Kuliasa. Peristiwa ini diprakirakan terjadi

ketika Wiwirano belum menjadi distrik yakni pada masa penjajahan Belanda.

Nama lain daerah Routa dahulu juga dinamakan Luhundokulo. Luhundokulo berasal dari

dua suku kata yakni ‘luhu’ arti lekukan sungai yang membentuk lubang dengan bagian atasnya

bertebing dan ‘ndokulo’ atau ‘tokulo’ salah satu jenis pohon yang sering tumbuh dipinggiran

sungai berdaun lebar dan dapat dimakan sebagai sayur-sayuran. Demikianlah daerah itu diberikan

nama oleh orang di Routa. Daerah ini secara geografis berada dalam wilayah pegunungan Pu’u

Mo’au.

27
Sejalan dengan perkembangan wilayah ini, khususnya semenjak datangnya orang-orang

Tator untuk tujuan mendamar, maka oleh orang Tator daerah ini dinamakan Kulijassa yang berarti

hopa atau walahopa yaitu sejenis pohon yang sering digunakan untuk mewarna merah air minum.

Di masa lalu dan hingga kini beberapa penduduk memiliki kebiasaan memberi pewarnah merah

untuk air minumnya. Konon ini bersumber dari kebiasaan orang di masa lalu yang gemar

berperang, sehingga warnah merah diyakini sebagai simbol keberanian.

Pohon ini juga banyak tumbuh di daerah itu. Kulijassa atau yang populer disebut orang

sebagai Kuliasa—dimana orang Tator tinggal—kini tepatnya terletak di belakang Routa kampung

lama di Puuwatu. Kuliasa sekarang dinamakan Tirawonua. Tirawonua berasal dari bahasa Tolaki

yang artinya batas negeri. Batas negeri antara orang Tolaki di Routa dan orang Bugis di Kuliasa.

Nama lain dari kampung Routa adalah Polihe. Dalam bahasa orang To Routa—demikian

orang Tolaki di Routa menyebut dirinya—Polihe berarti mengintip atau mengawasi, yaitu mereka

mengintip atau mengawasi gerak-gerik musuh orang Padoe yang hendak menyerang orang Tolaki

di Routa. Molihe dilakukan pada sebuah benteng yang juga disebut Benteng Polihe. Benteng

tersebut dibuat dari batu yang disusun di atas ketinggian. Sekarang ini benteng tersebut masih ada

dan telah menjadi kebun kakao penduduk setempat.

Anak pinak orang Luhundokulo juga biasa disebut orang Kuliasa atau orang Polihe atau

orang Tirawonua kini menempati kampung baru Routa—sebagai wilayah tak terpisahkan dari

kampung lama dan menamakan dirinya sebagai orang Routa. Mereka telah bermukim di Routa

semenjak sebelum jaman Belanda. Pada tahun 1951 penduduk di Routa dievakuasi ke Linomoyo

karena alasan keamanan, ketika itu Routa merupakan salah satu jalur pergerakan pemberontakan

gerombolan DI/TII. Proses evakuasi penduduk tersebut dilakukan saat Batalyon 526 Brawijaya tiba

tahun 1951 di Routa dengan tujuan melakukan penumpasan terhadap pemberontakan DI/TII.

Ketika itu batalyon 526 bekerja sama dengan PDK (Pasukan Djihad Konawe)—representasi

kelompok perlawanan orang Tolaki yang dibentuk oleh Idrus, Hamid Hasan, Lambauta, dkk---

diseluruh daratan Konawe termasuk Routa. Setelah situasi keamanan sudah normal, penduduk

kembali ke Routa tahun 1957 dibawah pimpinan Sukman. Kembalinya penduduk ke Routa

28
dilakukan atas restu Danrem 143 Haluoleo yang saat itu dijabat oleh Kolonel Oprastolada. Pada

tahun 1968 karena alasan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah Kecamatan Asera yang saat

itu jabat oleh Camat Latif memerintahkan orang di Routa untuk kembali ke Asera, namun

permintaan tersebut ditolak oleh penduduk.

Orang Tolaki di Routa berasal dari Danau Matano dan sebahagian lagi berasal dari Unaaha.

Orang Tolaki dari Danau Matano datang ke Routa karena terdesak setelah berperang melawan

orang Padoe. Pada awalnya orang Tolaki bermukim di Matano kemudian mundur ke Lambatu

karena perang dengan Padoe (kristen) kira-kira sebelum jaman Belanda. Penyebab terjadinya

perang antara orang Tolaki dengan orang Padoe karena mereka ingin datang untuk memerintah

Matano tetapi orang Tolaki tidak mau. Setelah tinggal di Lambatu orang Tolaki hidup dengan

bersawah hingga datangnya orang Torongkong. Sebelum orang Tolaki datang ke Lambatu, belum

ada orang yang menghuni daerah tersebut. Lambatu pertama kali dihuni oleh Langodi dan

pengikutnya. Lambatu berasal dari kata tula artinya kowuna/bambu dan watu artinya batu.

Diperkirakan peristiwa ini terjadi pada masa sebelum era kemerdekaan/masa penjajahan Belanda.

Sedangkan orang Tolaki dari Unaaha datang ke Routa sebagai bagian dari proses pembagian

kekuasaan dari Kerajaan Konawe yang menugaskan salah seorang staf kerajaan untuk memimpin

di daerah ini yaitu di Wiwirano dan salah satu kampungnya adalah Routa.

Selain orang Tolaki, dahulu Routa juga dihuni oleh orang Bungku. Awalnya Routa dihuni

oleh orang Tolaki dan orang Bungku, tetapi karena orang Bungku tidak bisa perang maka mereka

disuruh pindah ke Labua atau Bende. Pada saat itu Raja Bungku adalah Lapatiku yang kemudian

melahirkan Anakiya Sule (anak raja Bungku). Pada saat itu Distrik Wiwirano pertama adalah

Kapita Ronga bersaudara dengan Wotiti dengan gelar Bokeo Motu’o. Kepala kampung Routa

berturut-turut adalah Lameta, Mudi, Lapomi (jaman Belanda), Badolo orang Bugis (pada masa

gerombolan), Sukman orang Tolaki menjadi kepala desa pada tahun 1964 hingga tahun 1994.

Sukman kemudian digantikan oleh Taksir anaknya yang memerintah dari tahun 1994–1999, dan

kemudian digantikan oleh Nusa yang memerintah dari tahun 1999–Juli 2005. pada tanggal 27 Juli

29
2005 Desa Routa seiring dengan pemekaran kecamatan berubah status menjadi kelurahan yang

dipimpin oleh Rudin M hingga kini.

Ketika pertama kali datang di Routa mereka melakukan usaha perladangan selain

mendamar. Beberapa lokasi yang menjadi areal perladangan adalah ta’u i batubara, ta’u i laroawu,

ta’u i pombole’a o nohu, ta’u i o ou, ta’u i pombala’a o dopi, dan ta’u i angkeu. Daerah bekas areal

perladangan lainnya orang Routa yang dimasa lalu pernah dijadikan sebagai perkampungan yaitu

Puntiko (telah masuk wilayah Sulawesi Selatan), Lerea, Pambada, Heo Epe, Tokaluku, Sampalawa,

Wiwirano Motu’o, Leperi, Tetemondoe, Lingato, Tapuwuri, Tetedopi, Hiuka, Laeu, Lawali, Asera

Tua, Mandawa, Kuia, Pondoa, Watupali, Mopute, Po’ona, Dambata, Epe Pu’u, Tetenggowuna,

Mosiku, dan Walandawe. Sedangkan lokasi mendamar orang Routa di antaranya Larondoko,

Bininti, Parubada, Teo, Epe, Kakia, dan Wana-Wana.

Beberapa daerah bekas perladangan dijadikan sebagai pemukiman penduduk seperti di

Polihe dan kampung baru Routa, dan ada pula yang ditanami tanamanan perkebunan. Di lokasi

yang dijadikan sebagai tempat pemukiman, penduduk juga sering mananam tanaman jangka

panjang seperti kelapa, mangga, durian, dan langsat. Tanaman-tanaman tersebut ditaman di sekitar

rumah atau dipekarangan.

Setelah bertahun-tahun hanya mengandalkan hidup dari usaha berladang, orang di Routa

menanam tanaman kopi dan merica. Kedua jenis tanaman ini menjadi komoditi utama

perekonomian penduduk, di samping mendamar. Penghasilan penduduk dari kedua sumber ini

hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belakangan kedua jenis tanaman ini terserang

hama, khususnya merica yang sering menjadi keputih-putihan dan tak berbiji. Akhirnya penduduk

meninggalkan tanaman ini dan beralih ke tanaman kakao. Era tanaman kakao menjadi populer

ketika gelombang migrasi penduduk dari Sulawesi Selatan pada tahun 1990-an semakin intens

yang membawa tradisi berkebun kakao dari negeri asalnya.

Beberapa bukti sejarah yang menunjukkan keberadaan Routa sebagai kampung tua di

antaranya adalah sebagai berikut, Pertama, adanya tanaman tumbuh dan bekas tanaman tumbuh.

Pepohonan kelapa tua yang terdapat di Wowa Polihe adalah kelapa Lameta dan Lamadua.

30
Sekarang ini kelapa tersebut dimiliki oleh Bese anak dari Haura istri Saidu. Pohon mangga tua

terdapat di Polihe yang sekarang sudah menjadi areal kebun kakao, pohon mangga ini sekarang

tinggal tunggaknya. Pohon damar tua jumlahnya sekitar sepuluh pohon namun sekarang sudah

ditebang pada tahun 1992. Pohon durian ada empat pohon tetapi yang ada sekarang sisa tiga pohon,

satunya sudah mati. Ada juga dua pohon durian milik Sirei di Polihe tetapi sudah ditebang tahun

1991. Pohon langsat di Wowa Polihe, hingga sekarang pohon langsat ini masih banyak. Sagu juga

banyak terdapat di Laroawu, Tambangkori, Lano’awu dan Polihe.

Gambar 3. Pepohonan kelapa tua penduduk di Routa Doc. SAJ 09

Pada masa DI/TII dahulu, tanaman tumbuh seperti kelapa, mangga, langsat dan durian

menjadi bahan makanan tambahan gerombolan DI/TII dan karena itu terawat dengan baik.

Batalyon 526 Sriwijaya yang datang ke Routa pada tahun 1952 kemudian menebang pepohonan

tersebut dengan maksud memutus sumber makanan gerombolan DI/TII.

Kedua, Pekuburan Tua. Di Polihe tepatnya di sebelah utara Desa Routa sekarang di dalam

kebun kakao H. Sadda, ditemukan salah satu tempat pekuburan tua yang terdapat di salah satu

mulut gua batu yang tidak begitu dalam. Disitu ditemukan tulang-belulang manusia, tulang lengan,

tulang kaki dan kebanyakan tengkorak kepala baik yang masih tersusun rapi di atas sebuah batu

besar maupun yang sudah berserakan. Selain tulang-belulang manusia tersebut, ditemukan pula

pecahan-pecahan guci yang bermotif ukiran Cina berwarna biru langit dan berwarna cokelat. Tidak

31
diketahui pasti kapan tempat itu mulai dipakai sebagai kompleks pekuburan dan hingga kapan tidak

lagi digunakan. Kompleks pekuburan lainnya terdapat di Matambolihe, Parasapia, Loko,

Wawolinggau, Lambetea, Kuliasa, dan Uluno Bangka-Bangka. Seluruhnya diyakini sebagai

kompleks pekuburan orang Tolaki pra Islam.

Gambar 4. Pekuburan tua penduduk di Routa Doc. SAJ 09

Ketiga, Benteng Polihe. Salah satu tanda yang menunjukkan bahwa Routa telah lama

menjadi pemukiman penduduk adalah terdapatnya benteng Polihe yang digunakan oleh orang

Tolaki untuk berperang melawan orang Padoe. Benteng ini sesungguhnya lebih sebagai suatu

gundukan tanah yang terbentuk secara alamiah berbentuk layaknya lingkaran yang ditengah-

tengahnya menyerupai sebuah lembah. Pada beberapa bahagian gundukan tanah ini terdapat

susunan batu-batu kali untuk menambah ketinggian permukaan benteng ini. Di bawah benteng ini

terdapat sungai kecil yang mengalir yang dinamakan sungai O’ou, sehingga selain nama benteng

Polihe sering juga disebut sebagai benteng O’ou. Sekarang benteng ini telah menjadi areal

perkebunan kakao saudara Aliman anak Nde’e cucu Paloawi dari Po’asa’a. Benteng ini dapat

dijangkau dengan naik kendaraan roda dua atau roda empat sekitar satu setengah kilometer dari

perkampungan.

32
Gambar 5. Salah satu sisi benteng O’ou di Routa Doc. SAJ 09

C. Kependudukan

Penduduk Routa berjumlah 1.301 jiwa dan 289 kepala keluarga (KK). Tingkat kepadatan

penduduknya hanyalah 0,6 jiwa/km², yang tersebar di 7 (tujuh) desa meliputi: Desa Walandawe

dengan jumlah penduduk 126 jiwa (31 KK), Kelurahan Routa dengan jumlah penduduk 408 jiwa

(85 KK), Desa Tirawonua dengan jumlah penduduk 158 jiwa (32 KK), Desa Parudongka dengan

jumlah penduduk 233 jiwa (55 KK), Desa Tanggola dengan jumlah penduduk 115 jiwa (23 KK),

Desa Puuwiwirano dengan jumlah penduduk 145 jiwa (40 KK), dan Desa Lalomerui dengan

jumlah penduduk 116 jiwa (23 KK). Adapun desa persiapan Bininti tidak memiliki penduduk sama

sekali (KRDA, 2008).

Dari segi etnik, penduduk Routa cukup heterogen ada orang Tolaki, orang Bugis, orang

Tator, orang Bungku dan berbagai etnik lainnya. Tidak ada data resmi mengenai sebaran penduduk

menurut suku bangsa. Namun berdasarkan prakiraan jumlah populasi mereka disominasi orang

Tolaki dan orang Luwu.

Pergaulan antar suku bangsa dan hubungan kawin-mawin sudah berlangsung lama, proses

akulturasi diantara berbagai etnik telah menjadi telah pengikat dan penentu kemantapan sistem

sosial penduduk di Routa. Oleh karenanya walaupun penduduknya heterogen, hingga kini tidak

pernah terjadi ketegangan atau konflik antar suku bangsa.

33
Dari segi pendidikan, hanya segelintir saja penduduknya yang mengenyam pendidikan

hingga pendidikan tinggi, bahkan ada yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama

sekali dan/atau memiliki pengalaman sekolah alakadarnya. Di sana hanya terdapat empat sekolah

dasar, satu tsanawiyah dan satu sekolah menengah pertama dengan kondisi bangunan dan fasilitas

yang tidak memadai, tenaga guru yang terbatas dan proses belajar mengajar yang tidak reguler

karena selalu ditinggal pergi gurunya tanpa alasan dan waktu yang jelas. Sekolah tanpa gedung,

sekolah tanpa kelas, sekolah tanpa buku dan murid kehilangan induk adalah fenomena yang merata

pada semua sekolah di Routa.

D. Perubahan Lingkungan di Routa

Situasi lingkungan politik di Indonesia telah mengalami perubahan secara mendasar.

Perubahan tersebut tidak saja berpengaruh pada tingkat nasional tetapi juga hingga ke pelosok

pedesaan, termasuk di Routa. Salah satu dari perubahan lingkungan politik tersebut adalah dalam

bidang kehutanan.

Perubahan ini ditandai dengan keluarnya regulasi pemerintah di bidang kehutanan yaitu

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang pada pokoknya melarang dan

membatasi segala aktifitas pembukaan hutan untuk tujuan apapun, termasuk aktifitas berladang.

Sesungguhnya proses pelarangan dan pembatasan ini telah berlangsung lama yakni semenjak

Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa

pengelolaan hutan pada dasarnya adalah untuk tujuan komersil (Lynch dan Talbott 2001:81).

Pada tingkat daerah seperti di Kabupaten Konawe khususnya di Routa, perubahan tersebut

terwujud dalam berbagai bentuk, di antaranya kebijakan membangun satu unit pos polisi kehutanan

di Desa Parudongka. Pos ini dijaga oleh dua orang polisi kehutanan. Aparat pemerintah kecamatan,

khususnya Camat juga diberikan tugas oleh Bupati Konawe untuk melakukan pengawasan dan

penjagaan hutan di Routa. Pemberian tugas semacam ini seringkali dilakukan pada saat pelantikan

dan serah terima jabatan camat di Routa. Aparat lainnya yang juga diberikan tanggung jawab untuk

34
melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap hutan adalah kepolisian melalui satuan Polisi

Sektor Routa dan juga Bintara Pembantu Desa (Babinsa).

Camat Routa pada setiap kesempatan baik pada forum resmi maupun tidak resmi dalam

sambutannya selalu menyampaikan mengenai larangan untuk membuka hutan secara illegal, baik

untuk perladangan maupun usaha kehutanan. Camat juga selalu menyampaikan ancaman penjara

yang dapat ditimbulkan oleh karena pelanggaran kebijakan tersebut. Sebagaimana

diungkapkannya:

Setiap kesempatan saya selalu menyampaikan kepada saudara-saudaraku dan


keluargaku di Routa bahwa merambah hutan itu tidak boleh di larang. Hutan ini
milik negara karena itu pengelolaan hutan harus ada izin pemerintah (Abu Haseng,
56 tahun, Camat Routa, 15 April 2011).

Selain aparat kepolisian, Babinsa dan Camat yang disebutkan di atas, aparat kehutanan dari

kabupaten juga secara periodik melakukan monitoring dan supervisi di Routa. Aparat ini biasanya

berjumlah tiga orang dan berada di Routa untuk waktu paling lama satu minggu. Dalam

melaksanakan tugasnya di Routa tim ini langsung melakukan pemantauan di lapangan pada daerah-

daerah yang bisa dijangkau dan melakukan koordinasi dengan arapat pemerintah dan keamanan

setempat. Hasil monitoring dan supervisi tersebut selanjutnya diserahkan ke Bupati melalui Kepala

Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah seorang aparat

yang selalu ditugaskan ke Routa:

…kami selalu mengadakan survey dan monitoring setiap saat di Routa. Biasanya
satu minggu kami berada di Routa bertemu dengan aparat setempat dan melakukan
kunjungan langsung ke lokasi (Basir,55 tahun, Pegawai Dinas Kehutanan Kab.
Konawe,15 April 2011).

Terlepas dari efektif dan konsistennya pengawasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah

dan keamanan di Routa, keberadaan dan kehadiran pos polisi kehutanan, pengarahan camat,

keberadaan polsek dan babinsa serta kehadiran tim supervisi dari kabupaten, sudah cukup membuat

penduduk tidak begitu leluasa melakukan aktifitas perberladangan berpindah. Ladong mantan

gerombolan DI/TII yang juga seorang peladang tangguh, misalnya, mengemukakan:

Sekarang kita berladang tidak lagi sebebas dulu melakukan aktifitas perladangan
berpindah. Kalau dulu tidak ada aturan, tapi sekarang aturannya terlalu banyak, kita
dilarangmi menebang pohon pada hal pohon itu tumbuh liar. Kita juga dilarangmi

35
masuk hutan pada hal hutan itu sudah ada memang dari dulu. (Ladong, 81 tahun,
Petani, 16 April 2011).

Perubahan lingkungan ekologi dimulai dengan masuknya penduduk dari luar ke Routa,

yang secara langsung maupun tidak langsung, telah memicu kompetisi perebutan lahan. Situasi

seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Seiring dengan itu, pemerintah membentuk desa-desa

baru yang kemudian menguasai sebahagian lahan hutan di Routa. Akibatnya, sebahagian kawasan

hutan yang potensial menjadi areal perladangan diambil alih dan dikuasai oleh penduduk di desa-

desa baru tersebut.

Perubahan lingkungan ekologi selanjutnya dipicu dengan kehadiran berbagai perusahan

yang menanamkan modalnya di Routa. Potensi kayu yang melimpah di belantara Routa telah

menarik minat sejumlah pengusaha dari luar untuk mengolah kayu di Routa. Selain bisnis kayu, di

Routa juga telah masuk perusahan perkebunan sawit yaitu PT. Duta Sulawesi Agro (DSA), PT.

Damai Jaya Lestari (DJL) dan perusahan pertambangan PT. Rio Tinto Exploration (RTE).

Akibatnya, sebahagian kawasan hutan dikuasai oleh perusahan-perusahan tersebut melalui

pemberian izin pengolahan kayu, hak guna usaha dan izin usaha pertambangan.

Hingga pada tahun 2.000 penduduk Routa hanya berjumlah sekitar 500 jiwa atau 270 KK

dan hanya ada satu desa yaitu Desa Routa sebagai bahagian dari Kecamatan Wiwirano. Pada tahun

2005 Routa dimekarkan menjadi kecamatan tersendiri yang terpisah dari Kecamatan Wiwirano,

sehingga Routa dibagi menjadi empat desa yaitu Parudongka, Tirawonua, Routa dan Walandawe.

Terjadinya pemekaran kecamatan disertai dengan pemekaran desa ini didasari oleh dua

faktor, yaitu adanya keinginan dari pemerintah daerah untuk mempercepat proses pembangunan di

Routa dan melihat fakta pertambahan penduduk yang sudah memungkinkan untuk memekarkan

daerah baru.

Seiring dengan pemekaran ini, gelombang penduduk yang datang ke Routa terus-menerus

bertambah, khususnya dalam sepuluh tahun terakhir ini. Kini setelah semakin bertambahnya

penduduk migrant, maka jumlah penduduk Routa berkembang pesat. Pada tahun 2010 jumlah

penduduk Routa telah menjadi sekitar 2.100 jiwa atau 520 KK.

36
Sejalan dengan pertambahan penduduk tersebut, terjadinya pembentukan desa-desa baru,

di antaranya Tanggola, Bininti, Puu Wiwirano dan Lalomerui. Penduduk baru dan desa baru

diberikan lahan dalam luasan tertentu oleh pemerintah setempat meliputi lahan yang dimiliki oleh

masing-masing penduduk pendatang dan juga lahan untuk pengembangan desa.

Bisnis kehutanan di Routa juga cukup berkembang pesat, terutama pengolahan kayu rimba

campuran. Dalam kaitan ini, ada enam pemegang izin kehutanan berupa IPKTM. Masing-masing

IPKTM tersebut memiliki luasan antara 10 ha dan 20 ha. Bisnis kehutanan yang dinilai legal karena

memiliki izin ini telah berlangsung semenjak tahun 1990-an. Sedangkan bisnis kehutanan yang

dinilai ilegal sesungguhnya telah berlangsung semenjak dekade 1980-an. Lahan-lahan IPKTM

yang telah selesai masa produksinya selanjutnya dimiliki oleh pemegang izin.

Perubahan lingkungan ekonomi sebagai implikasi langsung dari berbagai perubahan

lingkungan tersebut di atas adalah terhadap keleluasaan peladang dalam membuka areal

perladangan. Peladang hanya dapat membuka ladang dengan area yang sempit. Situasi ini

menyebabkan hasil panen yang diperoleh juga ikut menurun dibanding pada masa-masa

sebelumnya. Bahan makanan yang diperoleh dari ladang, khususnya beras hanya cukup untuk

memenuhi kebutuhan sampai lima bulan.

Gambar IV-1. Salah satu ladang di Routa milik Tarende Doc. Sarlan AJ

37
Padi ladang merupakan tanaman utama para peladang. Selain padi mereka juga menanam

sayur-sayuran dalam berbagai jenis seperti bayam, timun dan kadang-kadang juga mereka

menanam jagung. Meskipun demikian hanya padilah yang dihitung sebagai ukuran berhasilnya

ladang. Jumlah padi yang diperoleh peladang dihitung berdasarkan jumlah ikatan dengan besaran

tertentu yang disebut hae. Satu ikat yang disebut hae terdiri dari empat ikat yang disebut

mokunggu, dan satu ikat mokunggu terdiri dari empat genggaman yang disebut taranga.

Jumlah panen yang diperoleh peladang sangat bervariasi, namun faktor utama yang

menentukan banyaknya hasil panen tersebut adalah luas ladang yang diolah. Kondisi lahan seperti

tingkat kesuburan dan kemiringan lahan pengaruhnya tidak begitu signifikan. Peladang yang

membuka ladang yang luas akan memperoleh hasil yang lebih banyak dibanding dengan peladang

yang hanya membuka ladang yang sempit.

Ladang paling luas yang dibuka sekitar dua hektar dan paling sempit sekitar seperempat

hektar. Rata-rata peladang di Routa setiap tahunnya hanya membuka ladang seluas satu hektar.

Setiap hektar menghasilkan padi sebanyak seratus ikat yang berarti sekitar lima ratus liter beras.

Tentu saja dengan catatan ladang tersebut dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Namun bila hanya

dikerja asal-asalan saja maka hasilnya pun akan sangat sedikit bahkan tidak lebih dari separuhnya.

Ladong selanjutnya mengungkapkan bahwa: “…kalau kita serius mengerjakan ladang hasilnya bisa

banyak sekali, kita bisa dapat di atas seratus ikat, tapi kalau tidak diolah baik-baik juga hasilnya

sedikit sekali saja”(Ladong, 81 tahun,Petani,16 April 2011).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum ladang di Routa tidak dikelola

dengan baik, di antaranya ladang milik Sanggili, Sainuddin, Rasak Yusuf dan Basir. Mereka ini

merupakan sebahagian dari penduduk Routa yang hingga kini masih aktif berladang berpindah.

Ladang Ismail tidak dikelola dengan baik, masih banyak tegakan-tegakan pohon serta cabang-

cabang kayu yang tidak terbakar dengan baik, namun terbiarkan saja. Begitu pula ladang Sainuddin

dari dua kapling ladang yang dibuka, hanya satu kapling yang terawat dengan baik. Sementara satu

kapling lainnya batang-batang pohon dan cabang-cabang kayu dibiarkan berseliweran. Sama

38
halnya dengan ladang kedua peladang di atas, ladang milik Sanggili, Rasak Yusuf dan Basir juga

tidak jauh beda.

Akibat tidak dikelola dengan baik, maka hasil ladang berpindah yang diperoleh juga

sedikit. Idealnya atau di masa lalu seorang peladang dapat menghasilkan seribu ikat besar padi

ladang atau setara dengan tujuh ribu hingga sembilan ribu liter (diasumsikan rata-rata perikat

menghasilkan tujuh hingga sembilan liter beras). Namun sekarang ini hasil yang diperoleh setiap

peladang dalam sekali musim tanam hanya berkisar antara lima puluh ikat hingga seratus ikat atau

setara dengan dua ratus lima puluh liter hingga lima ratus liter beras.

E. Aktifitas Ekonomi Lainnya

Selain berladang berpindah, aktifitas perekonomian lain penduduk di Routa adalah

berkebun tanaman jangka panjang, meramu hasil hutan, menjadi buruh/kuli di usaha pengolahan

kayu dan berdagang. Di kalangan penduduk di Routa, pengelompokan berdasarkan pekerjaan

seperti disebutkan di atas tidak begitu ketat. Pada kenyataannya, seorang penduduk boleh jadi

menekuni dua hingga tiga pekerjaan. Kendati demikian, pengelompokan tersebut dapat dilakukan

berdasarkan karakter yang menonjol dari masing-masing penduduk, misalnya kharakter sebagai

pedagang atau sebagai peladang atau pula sebagai pegawai negeri.

Berkebun tanaman jangka panjang dilakukan pada tanah-tanah bekas ladang, dengan

tanaman utamanya adalah kakao dan lada. Ada pula sejumlah jenis tanaman seperti jambu mete,

cengkeh dan vanili. Pada awalnya penduduk di Routa hanya mengenal tanaman kopi, namun

karena sering terserang hama, akhirnya penduduk meninggalkan tanaman kopi dan beralih

menanam kakao. Tanaman kakao ini dikembangkan khususnya semenjak gelombang migran dari

Sulawesi Selatan datang ke Routa sekitar dekade 1990-an.

Usaha perkebunan rakyat di Routa memiliki potensi yang cukup bagus untuk

dikembangkan. Namun sayang penduduk di Routa nampaknya tidak begitu serius mengembangkan

usaha ini, kecuali oleh segelintir penduduk saja. 39,76 persen kapling tanah di Routa dijadikan

sebagai kebun tanaman jangka panjang. Sementara sisanya, yang terdiri dari 6,43 persen tanah

39
persawahan, 18,12 persen tanah perkampungan, dan 35,67 persen adalah tanah kosong (Adijaya,

2009).

Walaupun persentase kapling tanah yang dijadikan sebagai areal perkebunan cukup besar

dibandingkan dengan peruntukan lainnya, namun karena usaha perkebunan ini tidak diseriusi,

maka hasilnya pun juga tidak memuaskan. Hanya sebahagian kecil saja penduduk yang berhasil.

Kendati demikian, hal ini bukan berarti bahwa usaha perkebunan di Routa tidak memiliki prospek.

Penduduk di Routa juga bekerja mengumpulkan damar alam, kayu dan hasil hutan lainnya

seperti rotan, gaharu dan jalapari. Penduduk yang meramu damar umumnya memanen (menyadap)

damar antara dua hingga tiga kali setahun. Walaupun ada juga pendamar yang memanen hingga

lima kali dalam setahun, khususnya mereka yang mengontrak pohon damar. Damar yang dipanen

lebih dari tiga kali dalam setahun umurnya tidak bertahan lama. Kasus semacam ini seringkali

terjadi sehingga sejumlah pohon damar jatuh atau roboh karena banyaknya tebasan pada

batang/kulit damar.

Rata-rata produksi damar di Routa sekitar tiga ratus lima puluh kilogram sekali panen

dengan kisaran produksi dua ratus kilogram sampai seribu kilogram sekali panen. Produksi damar

ini kemudian dijual kepada pedagang pengumpul di desa yang biasa disebut ponggawa.

Selanjutnya ponggawa akan meneruskan kepada pembeli di Timampu. Di Routa terdapat enam

pedagang pengumpul damar yaitu Guli (Routa), Nusa (Routa), Sumarni (Routa), Taheron

(Routa/timampu), Syarir (Walandawe). Mereka menjual damarnya ke pedagang pengumpul

kecamatan/wilayah yang ada di Timampu yakni: Ibu Nani dan Haji Atma.

Harga damar di Kecamatan Routa sangat bervariasi antara Rp.2.500/kilogram dan

Rp.5.000/kilogram. Tinggi rendahnya harga damar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: 1) keuletan

menawar dari ponggawa, dan; 2) jarak lokasi damar dari Routa. Jauh dekatnya jarak antara lokasi

damar dengan Routa mempengaruhi biaya angkutan dan harga jual. Misalnya harga damar di lokasi

damar Bungousu Rp.2.500/kilogram, sedangkan harga damar di lokasi Tadosolo dan Walandawe

sebesar Rp.3.200/kilogram.

40
Harga di atas lebih murah dibanding dengan poggawa lain yang berdomisili di Routa,

yakni antara Rp.4.000/kilogram dan Rp.5.000/kilogram. Selain pedagang pengumpul dari Routa,

juga ada warga Routa yang menjual damarnya ke Taksir (Kepala Desa Lalomerui) dengan harga

Rp.2.700/ kilogram, dan dijual di Konawe/Kendari dengan harga sebesar Rp.7.000/ kilogram.

Pendapatan rata-rata yang diperoleh pendamar sebesar Rp.527.000/ sekali panen.

Gambar IV-1. Lokasi Persebaran Damar di Routa Doc. Baseline Research RTE,2009

Aktifitas ekonomi berikutnya adalah usaha pengolahan kayu. Ada dua usaha pengolahan

kayu di Kecamatan Routa yaitu milik Hakke dan Tio. Keberadaan kedua industri ini telah banyak

melibatkan tenaga kerja, membuka peluang berusaha bagi penduduk, baik lokal lokal maupun

migran dari luar Routa misalnya dari Sulawesi Tengah (Bungku) dan Sulawesi Selatan (Bugis).

Dalam proses produksi kayu olahan, setiap industri kayu mempekerjakan dua hingga delapan orang

karyawan. Tenaga yang bertugas menebang kayu dua orang dan enam orang karyawan bagian

produksi kayu.

Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan industri kayu meliputi: 1) Biaya penebangan kayu

sebesar Rp.5.000/pangkal; 2) Biaya angkut kayu dari hutan ke jalan menggunakan kerbau

(Pa’jeka) sebesar Rp.5.000/pangkal; 3) Biaya makanan kerbau (rumput) setiap hari sebanyak

Rp.7.000/tanduk, dan; 4) Biaya pengolahan dengan sistem borong sebanyak Rp.200.000/kubik.

41
Hasil kayu olahan dari kedua industri kayu di Routa dibeli oleh Haji Kadas. Misalnya pada

akhir tahun 2009, sebanyak dua ribu meter kubik kayu olahan yang sudah diproduksi oleh Hakke

dan Tio dibeli oleh H. Kaddas. Pembeli lainnya yang berdomisili di Timampu di antaranya adalah

Haji Taju, Haji Hamma, Haji Ombe, Haji Usman, Haji Enal dan Haji Ridwan (pembeli kayu olahan

khusus kayu kumia untuk ekspor).

Penghasilan rata-rata dalam setiap bulan para pekerja kayu berkisar antara lima ratus ribu

rupiah sampai dengan satu juta rupiah. Tinggi rendahnya pendapatan tersebut sangat ditentukan

oleh tingkat produktivitasnya. Semakin tinggi tingkat produktifitasnya akan semakin tinggi hasil

yang diperoleh. Sebaliknya semakin rendah tingkat produktifitasnya, semakin kecil pula hasil yang

diperoleh.

Gambar IV-2. Usaha Pengolahan Kayu Milik Hakke Doc. Baseline Research RTE,2009

Usaha lain penduduk di Routa adalah mengumpulkan rotan alam. Rotan alam memang

banyak terdapat di wilayah hutan Routa, walaupun kini populasinya terus menurun akibat terus

diburu oleh penduduk. Ada tiga jenis rotan yang di kumpulkan, yaitu: 1) rotan batang dengan harga

enam puluh ribu rupiah per seratus kilogram; 2) rotan lambang dengan harga tiga puluh ribu rupiah

per seratus kilogram dan; 3) rotan tarompo dengan harga dua puluh lima ribu rupiah per seratus

kilogram.

42
Penghasilan penduduk dari usaha mengumpulkan rotan berkisar antara lima ratus ribu

rupiah hingga tujuh ratus lima puluh ribu perbulannya dengan masa kerja efektif dalam sebulan

sekitar lima belas hari. Jumlah penghasilan ini bisa saja lebih tinggi jika lagi mujur yakni dapat

mencapai di atas satu juta rupiah.

Nilai penghasilan yang disebutkan di atas masih terbilang kotor artinya masih harus

dipotong dengan berbagai pengeluaran seperti beras, gula, kopi dan rokok yang biasanya diambil

sebelumnya kepada pedagang pengumpul sebagai hutang. Sehingga pendapatan bersih setiap

perotan dalam sebulannya adalah tiga ratus ribu hingga lima ratus ribu rupiah.

43
BAB V

LADANG BERPINDAH:

TAK LEKANG KARENA PANAS, TAK LAPUK KARENA HUJAN

Keberadaan aktifitas perladangan berpindah di Routa yang masih dipraktekan oleh

peladang hingga kini sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, di tengah situasi yang

sulit dan tidak menguntungkan di satu sisi, serta tersedianya aktifitas ekonomi lainnya yang lebih

menguntungkan di sisi lainnya, paling tidak disebabkan oleh lima alasan. Alasan-alasan tersebut

adalah: 1) karena sudah tradisi nenek moyang; 2) keinginan makan padi ladang; 3) keinginan

memiliki persediaan padi ladang; 4) keinginan untuk berkebun, dan; 5) keinginan memiliki lahan.

Alasan pertama, tradisi nenek moyang. Ismail, salah seorang tetua kampung Routa

menyatakan:

Meski tak semua, kebanyakan peladang mengungkapkan tentang ketangguhan,


nenek moyang mereka sebagai peladang, sehingga sulit bagi mereka untuk
meninggalkan kebiasaan berladang berpindah (Ismail, 57 tahun, Petani, 16 April
2011).

Tetua adat lainnya, Sainuddin mengatakan bahwa:

Saya mengenal sistim berladang dari nenek kami sebelumnya, saya sendiri mengenal
dari bapak saya, bapak saya juga mengenal dari bapaknya. Anak-anak saya yang
sekarang yah melihat dari saya. Saya kira begitu, jadi ini kebiasaan yang sifatnya
turun temurun. (Sainuddin, 67 tahun, Petani, 16 April 2011).

Pernyataan yang sama dikemukakan pula oleh Sanggili, seorang pemuda kampung
Routa:

Kita tetap berladang sampai sekarang karena memang dari orang tua kami sudah
begitu. Memang sekarang sudah tidak semua lagi yang berladang, tapi masih banyak
juga yang berladang disini. Jadi berladang ini semacam warisan dari orang tua kami.
(Sanggili, 35 tahun, Petani, 17 April 2011).

Serupa dengan pernyataan-pernyataan di atas, juga dikemukakan oleh Razak Yusuf:

Berladang berpindah memang sudah kebiasaan penduduk di Routa disini sejak dulu
nenek moyang kami. Jangankan penduduk lokal, beberapa penduduk pendatang saja
juga sudah berladang (Razak Yusuf, 38 tahun, Petani, 17 April 2011).

44
Ini menunjukkan bahwa faktor perladangan sebagai tradisi nenek moyang yang telah

dijiwai dan melekat pada diri mereka, sehingga menjadi salah satu alasan mengapa aktifitas ini

masih terus dipertahankan di Routa, termasuk ketika usia sudah senja, seperti Ismail dan Sainuddin.

Walau dari segi usia masih tergolong sangat muda, namun Sanggili dan Razak Yusuf—

seperti halnya kedua seniornya di atas--dalam beberapa tahun terakhir ini juga aktif berladang

berpindah. Berbeda dengan Ismail dan Sainuddin, Sanggili dan Razak Yusuf belum begitu

menjiwai benar tradisi ini. Kendati demikian, keduanya menyadari bahwa mereka menjadi

peladang berpindah seperti halnya orang tuanya dan penduduk kampung lainnya, hanya semata

disebabkan karena praktek ini adalah warisan dari leluhur yang dikenalnya ketika mereka sudah

dewasa. Artinya Sanggili dan Razak Yusuf hanyalah generasi penerus belaka yang setia dengan

tradisi nenek moyangnya.

Dalam konteks ini, aktifitas perladangan berpindah di Routa dianggap sebagai suatu

praktek yang normal saja dilakukan oleh penduduk Routa dewasa ini, seperti halnya yang

dilakukan oleh penduduk di masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu tidak ada yang salah dan aneh

dengan aktifitas perladangan berpindah yang dilakukan oleh peladang seperti Ismail, Sainuddin,

Sanggili, Razak Yusuf dan yang lainnya.

Alasan bahwa penduduk di Routa tetap mempertahankan praktek perladangan berpindah

hingga kini, karena alasan melestarikan tradisi nenek moyang adalah kurang tepat. Dalam konteks

perladangan berpindah di Routa, faktor tradisi disini hanya memberikan semacam legitimasi

kultural bagi para peladang untuk melakukan aktifitas perladangan berpindah karena pada

kenyataannya justru bertolak-belakang dengan pernyataan tersebut.

Disini berarti bahwa peladang di Routa tidaklah sepenuhnya berada dalam posisi

melestarikan tradisi, tetapi lebih berada dalam posisi memanfaatkan tradisi. Kedua hal ini yakni

terminologi melestarikan dan memanfaatkan menurut saya adalah kedua hal yang sangat berbeda.

Melestarikan berarti mempraktekan aktifitas perladangan berpindah lengkap dengan berbagai

ritualnya, terlepas bahwa beberapa bahagian dari praktek perladangan berpindah ini juga telah

mengalami adaptasi seiring dengan perubahan lingkungan. Sejumlah adaptasi tersebut misalnya

45
dalam hal pengerjaan pembukaan ladang di masa lalu dilakukan secara kelompok, kini dilakukan

sendiri-sendiri; peralatan yang digunakan dalam penebangan pohon di masa lalu adalah kapak, kini

peladang telah menggunakan chainsaw ukuran kecil yang lebih efektif dibandingkan dengan kapak,

dan lain-lain.

Berbeda dengan terminologi melestarikan, terminologi memanfaatkan lebih menekankan

arti penting pembukaan lahan dari aktifitas perladangan dengan mengabaikan sejumlah ritual

tertentu yang semestinya turut menyertai pembukaan ladang. Memang benar bahwa perladangan

berpindah sebagai suatu tradisi juga telah mengalami adaptasi seiring dengan perubahan

lingkungan, namun hal itu bukan berarti bahwa ritual menjadi tidak penting sebagaimana

kenyataan yang saya temukan pada aktivitas perladangan berpindah di Routa. Dalam hal ini

orientasi peladang di Routa dengan berladang berpindah lebih ditujukan pada upaya pembukaan

lahan dengan mengabaikan orientasi-orientasi lainnya, seperti pentingnya memelihara

keseimbangan hubungan antar manusia dengan Tuhan dan alam lingkungan, sebagaimana yang

ditemukan dalam praktek perladangan penduduk di masa-masa sebelumnya (Adijaya, 2000).

Penduduk Routa bukanlah tipe masyarakat yang taat dengan tradisi nenek moyang. Sebagai

contoh dalam melaksanakan aktifitas perladangan berpindah, peladang di Routa tidak lagi menaati

berbagai tata-krama perladangan berpindah seperti diuraikan pada bab sebelumnya. Para peladang

tidak lagi melakukan ritual monggiikii ando’olo, mohoto o wuta atau ritual-ritual lainnya, yang

lebih penting bagi mereka adalah bagaimana memastikan ketersediaan lokasi perladangan

berpindah.

Lebih lanjut, walau hidup di daerah yang cukup terisolir, namun pengaruh luar sangat

mudah masuk dan menyeret penduduk di Routa. Misalnya sejumlah penduduk Routa telah lama

bekerja sebagai buruh baik di usaha pengolahan kayu maupun di perkebunan sawit. Profesi sebagai

buruh sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi penduduk di Routa. Namun seiring dengan

kapitalisasi pedesaan yang terus berlangsung, penduduk pedalaman juga ikut tercebur ke dalam

rantai kapitalisme, termasuk penduduk di pedalaman Routa.

46
Jadi sesungguhnya penduduk di Routa adalah tipe penduduk yang pragmatis. Artinya

penduduk di Routa akan melakukan sesuatu yang menurut mereka paling mungkin dilakukan.

Pilihan untuk terus berladang di tengah keterbatasan adalah pilihan rasional, sembari melanjutkan

tradisi nenek moyang di satu sisi, mereka juga sadar betul mengenai keuntungan yang dapat

mereka peroleh pasca perladangan berpindah tersebut, yaitu tanah bekas ladang yang terbentang

luas menjadi milik bersangkutan. Terlalu naïf jika peladang di Routa mesti meninggalkan peluang-

peluang usaha yang ada yang lebih menguntungkan, hanya sekedar untuk mengabdi pada tradisi.

Alasan kedua, keinginan makan padi ladang. Ini merupakan alasan yang hampir

dikemukakan oleh seluruh informan dalam penelitian ini. Bagi kebanyakan penduduk yang

dibesarkan di daerah-daerah pedalaman, termasuk pula penduduk di Routa, kerinduan untuk makan

padi ladang selalu hadir setiap saat. Bahkan pun kendati orang tersebut telah pernah lama

meninggalkan kampung halaman, sesekali tetap akan merindukan aroma dan rasa beras ladang

yang selalu menggoda. Memang padi ladang sudah termasyhur dimana-mana jika memiliki rasa

yang lebih enak dibanding dengan beras dari jenis padi-padi varietas modern.

Sino, misalnya, mengungkapkan, bahwa :

Padi ladang memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan dengan beras yang dibeli
di pasar. Karena itu kita selalu usahakan untuk menanam setiap tahunnya di ladang.
Orang seperti saya sudah terbiasa sekali makan beras ladang, jadi biar sedikit
hasilnya kami tetap usahakan untuk menanamnya (Sino,60 tahun, Petani, 18 April
2011).

Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Salenggo berikut ini:

Padi ladang memiliki rasa yang enak sekali, baunya harum apalagi kalau masih baru
dipanen. Padi yang paling bagus nasinya di antaranya padi meteoolu kalau dimakan
biar tidak pake sayur. Karena itulah kami selalu mengusahakan untuk membuka
ladang walau tidak begitu luas yang penting bisa memperoleh padi ladang.
(Salenggo,60 tahun,Petani,18 April 2011).

Ini menunjukkan bahwa rasa padi ladang seolah tak terbandingkan dan tergantikan dengan

padi varietas manapun. Oleh karena itu, walau hasilnya tidak memadai, peladang tetap berusaha

untuk menanamnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa orientasi peladang sehingga terus

47
mempertahankan aktifitas perladangan berpindah adalah dalam rangka memenuhi kebutuhannya

akan padi dengan kualitas rasa terbaik. Dan hal ini nampaknya hanya dapat diperoleh melalui padi

ladang yang dibudidayakan oleh peladang di Routa.

Keinginan untuk makan padi ladang memang merupakan salah satu alasan mengapa

sebahagian masyarakat masih mempertahankan praktek perladangan berpindah. Pada orang Tolaki

di Desa Pamandati misalnya, memanfaatkan sisa-sisa lahan HTI dengan menanaminya padi ladang.

Setelah panen usai mereka akan meninggalkan lahan tersebut kembali menghutan seperti sediakala

(Adijaya, 2000).

Namun fenomena di Desa Pamandati tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan fenomena

perladangan berpindah yang terdapat di Routa. Peladang di Routa tidak saja ingin makan padi

ladang, sebab setelah berladang mereka tidak meninggalkan bekas lahannya begitu saja hingga

kembali menghutan—seperti halnya peladang di Desa Pamandati. Fakta lain pula menunjukkan

bahwa di antara para peladang tersebut tidak begitu serius mengusahakan ladangnya agar dapat

menghasilkan panen yang banyak. Sebahagian di antaranya hanya menanami padi seadanya dan

ada kalanya kurang dirawat. Hal ini menunjukkan bahwa keinginan untuk memperoleh padi ladang

yang nikmat hanyalah salah satu alasan, namun dibalik itu terdapat alasan lain yakni keinginan

memperoleh lahan bekas ladang.

Memang betul bahwa padi ladang memiliki rasa yang lebih enak dibanding dengan padi

varietas manapun. Tetapi ini bukan berarti bahwa penduduk di Routa tak terkecuali para

peladangnya tidak dapat mengkonsumsi beras biasa. Bahkan Routa walau terisolir, kebutuhan

berasnya lebih banyak didatangkan dari Sulawesi Selatan melalui para pedagang dan hal ini telah

berlangsung cukup lama. Dibandingkan dengan beras hasil ladang berpindah di Routa, beras yang

didatangkan dari luar jauh lebih besar.

Karena itu berdasarkan hal tersebut di atas, tentu saja lidah penduduk di Routa termasuk

pula mereka yang terus berladang, sudah sangat terbiasa dengan rasa beras Sulawesi Selatan

tersebut. Kenikmatan yang diberikan oleh padi ladang hanyalah sesaat dan hal itu kenyataannya

48
tidak pernah menjadi tuntutan tersendiri di kalangan penduduk, apalagi hingga sampai terpaksa

mesti berladang karenanya.

Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa secara umum penduduk di Routa tidak lagi

mempersoalkan apakah nasi yang dimakan berasal dari beras padi ladang ataukah dari beras

Sulawesi Selatan. Justru yang menjadi soal bagi penduduk adalah apabila tidak ada beras di rumah

atau yang tersedia untuk dibeli.

Fakta lain yakni di Routa telah terdapat irigasi teknis. Walau skalanya kecil, namun irigasi

tersebut dapat mengairi areal persawahan yang memiliki luas sekitar 2.000 ha. Pemilik areal

persawahan ini juga termasuk para peladang berpindah. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi

areal persawahan ini tidak terurus dan hanya dibiarkan terlantar. Bahkan pada beberapa bahagian

telah ditumbuhi alang-alang dan sebahagiannya lagi sudah kembali menghutan. Pada hal menurut

pengakuan penduduk, lahan persawahan tersebut dapat saja ditanami padi ladang dan rasanya tidak

akan berbeda dengan padi ladang yang ditanam di ladang.

Fakta-fakta tersebut di atas belum lagi dikaitkan dengan peluang-peluang ekonomi

sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya. Sulit rasanya diterima oleh logika jika hanya karena

ingin merasakan nikmatnya padi ladang, mereka mesti meninggalkan peluang-peluang ekonomi

yang lebih menguntungkan tersebut.

Oleh karena itu, dengan melihat fakta-fakta dan argumentasi di atas, menurut saya alasan

ingin makan padi ladang hanyalah salah satu faktor kecil yang menyebabkan hingga mereka terus

berladang berpindah. Sebab jika demikian adanya, maka dapat saja mereka menanam padi ladang

di areal persawahan teknis dan tidak perlu membuka hutan baru.

Ketiga, keinginan memiliki persediaan padi ladang. Menurut para peladang, keberadaan

padi di lumbung sebagai simpanan membuat peladang selalu merasa aman dan nyaman. Mereka

tidak perlu merasa khawatir atau panik akan tidak memiliki beras. Padi di lumbung walau

jumlahnya tidak begitu banyak, berfungsi sebagai bagian dari sekuritas sosial bagi para peladang,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Tarende berikut ini:

49
Biar tidak banyak hasilnya, tetapi yang penting ada untuk disimpan-simpan. Kalau
adami persediaan padi di lumbung kita tenangmi kerja kebun atau kalau kita sakit
baru belum ada hasil tetap ada yang bisa dimakan. (Tarende, 40 tahun, Petani,18
April, 2011).

Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Abdullah:

Tenang rasanya kalau ada padi di lumbung kita tidak terlalu pusing kalau belum ada
hasil. Memang kita bisa beli beras, tapi kita petani tidak setiap saat punya uang. Jadi
kalau lagi sulit kita makan padi di lumbung, kalau lagi ada uang kita beli beras
(Abdullah, 40 tahun,Petani,18 April 2011).

Kedua informan di atas menekankan arti penting keberadan padi di lumbung sebagai safety

first. Mereka membutuhkan kepastian bahwa esok tetap akan ada beras kendati hasil kebun tidak

ada atau mereka jatuh sakit. Hal ini sejalan dengan pendapat Scott (1994) yang menganggap bahwa

penduduk pedesaan dalam setiap tindakannya selalu mengedepankan sifat dahulukan selamat dari

pada melakukan suatu hal-hal yang berguna bagi masa depannya. Jadi tindakan yang dilakukan

oleh Abdullah, Tarende dan juga penduduk lainnya merupakan sesuatu yang bersifat umum bagi

penduduk pedesaan.

Tindakan peladang di Routa yang membutuhkan ketersediaan padi ladang di lumbung

sebagai pemberi rasa aman yang menjadi dasar sehingga mereka tetap berladang berpindah,di satu

sisi dapat ditafsirkan sebagai bahagian dari strategi sekuritas sosial para peladang berupa

ketersediaan padi untuk konsumsi sehari-hari . Namun, di sisi lain dapat pula ditafsirkan sebagai

strategi peladang untuk memperoleh sekuritas sosial lainnya yang jauh lebih besar dari hanya

sekedar ketersediaan padi ladang. Hal ini apabila melihat beberapa fakta berikut ini.

Padi ladang kendati masih mewarnai kehidupan ekonomi rumah tangga penduduk di

Routa, namun keberadaannya tidak lagi memiliki kedudukan yang sentral dalam kehidupan

penduduk termasuk pula para peladangnya. Padi ladang tetap dikonsumsi tetapi bukan berarti

bahwa jika tak ada padi ladang maka kehidupan penduduk akan berakhir. Pada dasarnya kebutuhan

tersebut dapat disubtitusi dengan sumber pangan lainnya yang sejenis yang banyak terdapat di

Routa, terutama beras asal Sulawesi Selatan atau dari Unaaha.

50
Jika dikatakan sebagai pemberi rasa aman berarti para peladang hanya akan merasa aman

hingga paling lama lima bulan ke depan pasca panen. Hal ini mengingat hasil panen yang diperoleh

jumlahnya kecil dan hanya dapat bertahan selama itu kendati dihemat bagaimanapun. Situasi

semacam ini telah berlangsung lama dan karena itu telah menjadi pola hidup. Artinya ada atau

tidak ada padi ladang di lumbung sesungguhnya situasi masih aman-aman saja. Di sini berarti

bahwa aman dalam pengertian peladang di Routa tidak saja berarti tersedianya beras di lumbung,

tetapi juga berarti tersedianya beras di Routa.

Fakta lain selanjutnya adalah beras sebagai konsumsi utama penduduk di Routa selalu

tersedia di kios-kios di Routa. Pedagang beras di Routa seperti Haji Sadda dan Iskandar selalu

memiliki persediaan beras sepanjang tahun baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk di jual.

Oleh karena itu penduduk Routa sesungguhnya tak perlu merasa khawatir akan tidak memperoleh

beras karena faktanya beras selalu ada. Dalam hal ini tak penting beras itu dari mana yang penting

beras itu ada setiap dibutuhkan.

Memang betul bahwa penduduk di Routa kadang-kadang bermasalah dengan uang kes

sehingga jika pun beras itu tersedia untuk dibeli, mereka tidak akan punya kemampuan untuk

membeli. Tetapi faktanya para pedagang beras di Routa seperti H.Sadda dan Iskandar tidak hanya

melayani pembeli kontan, tetapi mereka juga melayani penduduk yang hendak berhutang termasuk

berhutang beras. Nantilah jika sudah punya uang kes atau hasil kebun baru hutang beras tersebut

dibayarkan. Adanya ikatan kekeluargaan dan rasa saling percaya antara pedagang dan penduduk

merupakan faktor utama yang mendukung berjalannya pola transaksi semacam ini.

Hal signifikan lainnya terkait dengan fungsi padi ladang sebagai pemberi rasa aman adalah

penduduk di Routa hingga kini tak pernah ada yang mati kelaparan. Penduduk di Routa tetap bisa

makan kendati tidak punya persediaan padi ladang di lumbung, bahkan pun jika tidak berladang

sepanjang tahun.

Lebih jauh lagi bila dikaitkan dengan tersedianya berbagai peluang usaha di Routa yang

lebih menguntungkan dan dapat dikerjakan oleh peladang. Dengan bekerja pada berbagai usaha

tersebut para peladang dapat memperoleh penghasilan, sehingga dengan penghasilan tersebut

51
mereka dapat memperoleh nafkah, membayar utang, atau membeli beras sebagai bekal dan

faktanya memang demikian. Dalam hal ini berlaku semacam istilah utang ladang dibayar damar

atau utang ladang dibayar kayu.

Keempat, keinginan untuk berkebun. Menurut para peladang, lahan-lahan bekas ladang

akan dijadikan sebagai areal perkebunan kakao, lada dan untuk menanam tanaman-tanaman

lainnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh petani-petani berikut ini. Basir menyatakan:

Kita terus berladang berpindah karena lahan-lahan bekas ladangnya kita mau
jadikan kebun. Jika panen telah selesai kita akan bersihkan ulang lahan tersebut
dan kita tanami dengan tanaman-tanaman jangka panjang seperti lada atau kakao.
Kalau tidak begini caranya maka kita tidak akan bisa menambah luasan kebun kita.
(Basir, 38 tahun, Petani, 19 April 2011).

Senada dengan pernyataan Basir, Juhar yang menyatakan bahwa:

Salah satu tujuan kita berladang berpindah adalah untuk memperoleh lahan
perkebunan nanti. Lahan bekas ladang nanti itulah yang kita olah jadi kebun. Biasa
kita olah semuanya biasa juga tidak. Sering pula kita olah sedikit-sedikit sesuai
kemampuan. Yang pasti orang disini kalau bekas ladangnya sudah pastime nanti
akan jadi kebun. (Juhar,44 tahun, Petani, 19 April 2011).

Poin penting dari kedua pernyataan di atas adalah bahwa lahan bekas ladang nantinya akan

menjadi kebun bagi pemilik ladang tersebut. Berladang dalam hal ini merupakan tahap pertama

dari rencana pembukaan kebun. Artinya, pembukaan ladang akan menuju pada pembukaan kebun.

Penduduk di Routa rata-rata berkebun kakao dan lada, dimana lahan-lahan tersebut

sebelumnya adalah bekas areal perladangan berpindah. Dalam perspektif ekonomi rasional

sebagaimana dikemukakan oleh Popkin (1979), tindakan peladang menjadikan lahan bekas areal

perladangannya menjadi kebun adalah tindakan rasional. Dengan demikian peladang tidak saja

memperoleh manfaat dari lahan tersebut, sebagai ladang dan sebagai kebun.

Namun terlepas dari tindakan rasional peladang di Routa tersebut di atas, sejumlah hasil

pengamatan justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Misalnya tidak semua tanah bekas ladang

dijadikan kebun. Banyak tanah bekas ladang yang tidak diolah dan hanya dibiarkan terlantar oleh

pemiliknya. Sebahagian peladang bukannya berusaha untuk menanami tanah bekas ladang tersebut

52
dengan tanaman jangka panjang, seperti kakao dan lada, namun justru berusaha membuka lagi

ladang baru baik di sekitar ladang lama atau mencari lokasi yang baru.

Fakta lainnya bahwa di antara tanah-tanah yang diolah tersebut, yang diolah dengan baik

diperkirakan hanya sekitar 10%. Sisanya sekitar 90% adalah tanah kosong atau tanah tidak

produktif. Artinya penduduk tersebut tidak sungguh-sungguh hendak mengolah tanahnya atau

membutuhkan tanah untuk pertanian. Apa yang disebut sebagai kebun kakao dan lada sebagian

besar adalah lokasi yang direncanakan untuk ditanami kakao dan lada, dan hanya sedikit yang

sungguh-sungguh berisi kakao dan lada.

Kelima, alasan ingin memiliki tanah. Kendati tidak semua informan mengakui atau

mengemukakan alasan ini, namun fakta yang ada sangat mendukung argumentasi ini. Sainudin,

Ismail, Sanggili dan peladang lainnya yang mengatakan bahwa mereka tetap berladang berpindah

karena lebih disebabkan oleh faktor tradisi, kenyataannya mereka adalah pemburu lahan yang

sangat ulet.

Iskandar, seorang duda kaya pedagang sukses dan imam mesjid Routa, menyatakan bahwa:

Di Routa sini salah satu cara untuk memiliki tanah yang luas harus kuat berladang.
Kalau tidak kuat berladang susah mau punya tanah, kecuali kalau punya uang untuk
beli tanah. Saya sendiri banyak membeli tanah dari lahan-lahan bekas ladang yang
ditinggal pemiliknya. Pak Sainuddin, Pak Ismail dan juga Sanggili termasuk yang
punya banyak tanah karena kuat berladang. Beberapa petak tanah saya itu saya beli
dari mereka. (Iskandar,44 tahun, Pedagang, 21 April 2011).

Sainuddin, pada kesempatan lain yang menyatakan bahwa:

“…seluruh tanah milik saya sekitar dua puluh lima hektar adalah bekas lahan
perladangan berpindah. Setiap tahun saya selalu membuka ladang dengan maksud
selain dapat hasil padi ladang, yang terpenting juga bisa memiliki tanah.”(Sainuddin,
67 tahun, Petani, 21 April 2011).

Begitu pula Ismail yang menyatakan bahwa: ”…seluruh tanah yang saya miliki sekarang

seluas tiga puluh empat hektar adalah bekas ladang berpindah.”(Ismail, 57 tahun, Petani, 21 April

2011).

53
Sino dan Salenggo pada satu kesempatan keduanya menyatakan bahwa alasan mereka tetap

berladang berpindah adalah untuk memperoleh padi ladang yang rasanya nikmat sekali. Namun,

keduanya juga tidak menyangkal jika keinginan untuk memiliki tanah bekas ladang adalah alasan

yang selalu mendasari keinginan mereka untuk tetap berladang berpindah. Sino dan Salenggo,

Sainuddin dan Ismail, adalah orang-orang yang dikenal sebagai pemilik lahan yang luas di Routa.

Seperti dikatakan oleh Salenggo: “…tanah saya sekarang seluas sepuluh hektar setengah,

seluruhnya adalah lahan bekas ladang.” (Salenggo, 60 tahun, Petani, 21 April 2011).

Tarende dan Abdullah dalam suatu wawancara seperti telah dituliskan di atas menyatakan

bahwa mereka tetap berladang berpindah hingga kini karena ingin memiliki persediaan padi

ladang. Menurut keduanya mereka merasa lebih tenang bila memiliki persediaan padi di lumbung.

Namun, dalam wawancara-wawancara lainnya, mereka juga tidak mengingkari jika alasan ingin

memiliki tanah itulah yang mendorong mereka tetap terus berladang berpindah. Seperti kata

Tarende: “…tanah saya sekarang ada dua kapling luasnya sekitar tujuh hektar, seluruhnya dari hasil

ladang.” (Tarende, 40 Tahun, Petani, 22 April 2011). Begitu pula Abdullah yang menyatakan

bahwa: “…dengan berladang kita tidak hanya bisa punya padi ladang tetapi sekaligus punya tanah.

Saya punya tanah sekitar empat hektar dari hasil ladang.” (Abdullah, 40 tahun, Petani, 22 April

2011).

Basir dan Juhar juga adalah peladang dan sebagaimana pengakuan mereka, keduanya terus

berladang berpindah karena keinginan untuk berkebun. Namun kendati demikian, keduanya pula

terang-terangan mengakui jika memiliki tanah bekas ladang sesungguhnya jauh lebih utama dari

pada sekedar keinginan untuk berkebun. Basir yang memiliki tanah seluas sekitar sembilan hektar

selurunya adalah bekas lahan perladangan berpindah. Begitu pula Juhar yang memiliki luas tanah

sekitar tiga setengah hektar seluruhnya adalah lahan bekas perladangan berpindah.

Pada kenyataannya dari total luas lahan yang dimiliki oleh Basir maupun Juhar hanya

sebagian kecil saja yang ditanami kakao dan lada, sedang selebihnya masih terlantar. Dari hasil

pengamatan diperkirakan luas kebun Basir hanya sekitar tiga hektar dan Juhar sekitar satu hektar.

54
Dan dari total luasan kebun tersebut, baik Basir maupun Juhar yang terrawat tidak lebih dari

separuhnya. Artinya jauh lebih banyak dari luas tanah yang mereka miliki yang tidak dikelola.

Dari uraian-uraian di atas nampak bahwa berladang berpindah telah menjadi cara yang

signifikan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah di Routa. Berladang berpindah berfungsi lebih

dari sekedar sebagai wujud untuk melestarikan tradisi nenek moyang; sarana untuk mendapatkan

padi dengan kualitas rasa terbaik; sarana untuk memperoleh padi ladang guna memenuhi kebutuhan

hidup rumah tangga, dan; sebagai sarana berkebun. Dengan demikian, dalam konteks Routa, tujuan

perladangan berpindah sesungguhnya tidak lagi dan tidak pernah bersifat tunggal. Namun, ladang

berpindah adalah salah satu cara yang signifikan untuk memiliki lahan dan memberikan sekuritas

sosial dan prestise bagi mereka.

Mengacu pada motif untuk memiliki tanah bekas ladang inilah sehingga peladang di Routa

cenderung mengabaikan tekanan-tekanan politik, ekologi dan ekonomi yang ada, termasuk

ketersediaan peluang-peluang ekonomi yang lebih prospektif dibandingkan dengan pengelolaan

ladang berpindah, tidak mampu menghalangi mereka untuk terus mengerjakan aktifitas ini.

Dipilihnya ladang berpindah sebagai suatu cara bagi peladang untuk memiliki lahan tidak

terlepas dari dari dua alasan: Pertama, dengan perladangan berpindah sebagai konstruksi budaya

yang sudah mapan di Routa, maka kecurigaan terhadap motif yang ada dibalik praktek ini tidak

akan begitu kuat. Hal ini berbeda jika peladang hanya melakukan penebangan hutan seluas-luasnya

tanpa disertai dengan praktek berladang berpindah.

Kedua, perladangan berpindah adalah instrumen yang paling familiar dan dapat diakses

oleh peladang di Routa. Sedangkan mekanisme lainnya seperti halnya mengurus izin pengolahan

kayu sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah pihak di Routa, tidak mampu dilakukan oleh

peladang. Sebab mengurus izin pengolahan kayu membutuhkan modal yang besar dan kemampuan

itu tidak dimiliki oleh peladang.

Sementara itu berubahnya tujuan berladang dari memperoleh padi ladang ke memperoleh

lahan juga tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa: Pertama, tanah memiliki nilai ekonomi yang

55
tinggi. Harga tanah di Routa berkisar antara Rp.10.000.000 untuk lahan kosong dan Rp.40.000.000

untuk lahan kebun yang terawat dan harga ini semakin hari semakin naik, dari tahun ke tahun.

Kedua, selain nilainya tinggi, tanah juga dapat dijual cepat. Pembeli tanah selain berasal

dari penduduk Routa sendiri juga berasal dari Selatan. Di antara penduduk Routa yang gemar

membeli tanah adalah Iskandar. Sebagai pedagang sukses, Iskandar memiliki banyak uang untuk

membeli tanah, baik secara kes, tetapi juga secara barter barang, dan cara barter bahkan lebih

banyak dilakukan.

Beberapa peladang sering meminjam uang kes kepada Iskandar. Bila suatu saat yang

bersangkutan tidak mampu membayar, maka hutang tersebut akan dibayarkan dengan lahan. Selain

meminjam uang kes, ada pula peladang yang mengambil barang keperluan sehari-hari seperti beras,

rokok atau gula kepada Iskandar dengan harapan setelah panen atau ada hasil, maka hutang

tersebut akan dikembalikan. Tetapi ketika peladang tidak mampu membayarnya dengan uang kes,

maka hutang tersebut dapat pula ditebus dengan lahan.

Ketiga, dengan nilainya yang tinggi dan mudah di jual, maka tanah dapat menjadi investasi

masa depan. Dengan memiliki lahan, ini ibarat memiliki simpanan di bank yang nilainya semakin

hari semakin bertambah. Peladang juga tidak perlu panik jika tak memiliki uang atau padi ladang,

sepanjang mereka masih memiliki tanah. Dengan memiliki tanah, dalam keadaan terdesak mereka

dapat saja menjual lahan untuk membiayai segala keperluan, seperti kebutuhan sehari-hari, biaya

sekolah, biaya menikah dan lain sebagainya.

56
BAB VI

STRATEGI ADAPTASI PELADANG

Usaha penduduk di Routa agar terus bisa berladang berpindah sebagaimana telah diuraikan

pada bab sebelumnya bukannya tanpa hambatan. Hambatan-hambatan tersebut baik berupa

hambatan politik, ekologi maupun ekonomi. Oleh karena itulah, maka peladang melakukan suatu

tindakan atau serangkaian tindakan guna mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dalam perspektif

antropologi ekologi, suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang ditempuh oleh para peladang

disebut pula dengan istilah strategi adaptasi. Berikut ini diuraikan berbagai strategi adaptasi yang

ditempuh oleh para peladang di Routa.

Perubahan lingkungan politik tidak membuat penduduk di Routa mati langkah lantas

menghentikan serta merta aktifitas perladangan berpindah yang telah lama mereka praktekkan.

Paling tidak ada lima strategi yang digunakan oleh masyarakat Routa untuk melanggengkan

aktifitas perladangan mereka. Adapun strategi-strategi dimaksud yaitu: 1) bagi lahan dengan aparat;

2) memanfaatkan hubungan keluarga; 3) berladang-kecil-kecilan; 4) memanfaatkan situasi

maraknya kegiatan investasi, dan;5) berladang jauh.

Terkait dengan strategi pertama, sudah menjadi hal biasa di kalangan penduduk Routa dan

bahkan di luar Routa, jika aparat yang pernah bertugas atau sementara bertugas disana memiliki

banyak lahan. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh terbangunnya hubungan saling

menguntungkan antara aparat dan penduduk setempat, termasuk dengan para peladang berpindah.

Para peladang berpindah, seperti halnya kebanyakan penduduk di Routa memiliki

kedekatan dengan aparat setempat. Kedekatan ini membawa manfaat yang saling menguntungkan

bagi kedua belah pihak. Dari sisi peladang, manfaat yang diperoleh adalah adanya keleluasaan

untuk berladang berpindah, sedangkan dari sisi aparat adalah dapat memperoleh sebagian lahan

bekas ladang.

Ada dua mekanisme kerja sama antara aparat dan peladang dalam pembagian lahan

tersebut yakni, pertama, lahan bekas ladang milik peladang disisihkan sebagian untuk aparat dan;

57
kedua, peladang membuka satu bagian lahan tersendiri yang diklaim sebagai milik aparat, tetapi

padinya diambil si peladang. Dalam prakteknya keduanya berjalan seiring, ada kalanya mekanisme

pertama yang dipakai dan ada kalanya pula mekanisme yang kedua, tergantung situasi dan kondisi

(sikon), jika sang aparat telah punya lokasi yang disukai, maka yang digunakan adalah mekanisme

kedua, dan jika tidak ada lokasi yang disukai maka digunakan mekanisme yang pertama. Biasanya

mekanisme kedua digunakan bagi aparat yang sangat bernafsu memiliki lahan, sedangkan

mekanisme pertama seringkali digunakan bagi aparat yang apa adanya saja.

Terkait dengan strategi kedua, para peladang juga memanfaatkan hubungan kekerabatan

dengan aparat setempat, baik aparat pemerintah maupun aparat keamanan. Beberapa aparat yang

bertugas di Routa memiliki hubungan darah dengan penduduk setempat, seperti hubungan sepupu

atau family, khususnya bagi penduduk lokal orang Tolaki. Ada pula hubungan kekerabatan yang

terbangun kemudian yaitu melalui kawin-mawin, biasanya aparat khususnya yang masih bujang

mengawini gadis Routa dan memilih menetap disana, baik untuk sementara waktu maupun

selamanya.

Fenomena hubungan kekerabatan atau famili ini membuat aparat di Routa menjadi serba

salah untuk menegakkan hukum. Akibatnya dalam banyak kasus seringkali mereka tidak peduli

atau masa bodoh dengan situasi yang ada. Seperti kata salah seorang petugas dari kepolisian

setempat, Nyoman mengungkapkan:

“…serba salah kita mau menegakkan hukum disini, ibarat buah simalakama
dibiarkan mati bapak tidak dibiarkan mati ibu. Akhirnya kita masa bodoh saja dari
pada rusak hunungan keluarga, yang penting mereka tidak berkelahi saja.”
(Nyoman, 37 tahun, Polisi, 9 Mei 2011).

Pernyataan serupa dikemukakan pula oleh seorang aparat di Routa, yakni Abu Haseng

yang menyatakan, bahwa :

Susah ini kita punya keluarga, kita sudah sediakan lahan sawah tapi mereka
terlantarkan saja katanya tidak subur tanahnya. Mereka lebih memilih berladang
berpindah. Kita mau larang kita yang tidak enak malah kadang kita disalahkan
(pinesawa’ako). Yah terpaksa kita biarkan saja hanya saya sudah sampaikan nanti
kalau ada masalah jangan saya dilibatkan, masing-masing tanggung
resikonya.(Abu Haseng, 56 tahun, 9 Mei 2011).

58
Ada satu kasus dimana mertua seorang aparat di Routa adalah seorang peladang ulung. Si

mertua sangat aktif berladang berpindah, sementara si menantu tidak bisa berbuat banyak selain ia

dan istrinya tinggal di rumah mertua. Ia mendapat banyak warisan dari mertuanya mengingat

istrinya hanya dua orang bersaudara. Artinya tanah-tanah bekas ladang yang dimiliki mertuanya

sekarang, suatu saat nanti juga akan menjadi miliknya. Dalam hal ini terlihat bertemunya faktor

kekerabatan dengan kepentingan pragmatis yang menyatu dalam keluarga si aparat bersangkutan.

Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa aparat di Routa memang dibuat

tidak berkutik oleh para peladang. Hal tersebut bukan disebabkan karena sedikitnya aparat

keamanan atau terbatasnya fasilitas yang dimiliki, tetapi lebih disebabkan oleh hubungan kedekatan

atau hubungan kekerabatan dengan penduduk setempat, khususnya dengan para peladang.

Aparat setempat hanya bisa menghimbau atau mengingatkan kepada peladang untuk

menghentikan kegiatan pembukaan areal perladangan berpindah, ketika tim supervisi dari

kabupaten berkunjung. Selain itu aparat setempat juga menyarankan kepada peladang untuk

membatasi luas areal perladangan berpindah yang dibuka dengan maksud tidak terlalu mencolok

atau menarik perhatian tim supervisi atau pihak-pihak lain yang berkunjung ke Routa. Rudin

menyatakan bahwa :

Penduduk disini termasuk peladang hanya disampaikan saja oleh aparat bahwa kalau
ada petugas datang dari kabupaten agar berhenti dulu melakukan aktifitas di hutan
supaya tidak dicurigai. Mereka juga menganjurkan kepada kami agar kalau buka
ladang jangan terlalu luas sedikit-sedikit saja nanti memancing perhatian tim.(Rudin,
55 tahun, Lurah Routa, 9 Mei 2011).

Dari pernyataan nampak bahwa sudah ada semacam kesadaran di kalangan aparat di Routa

atau aparat yang sering bertugas ke Routa bahwa mustahil untuk menegakan hukum disini.

Sehingga yang dapat dilakukan hanyalah berupaya membuat pelanggaran hukum tersebut—jika

memang dapat dikatakan demikian--tidak nampak mencolok bagi pihak-pihak lainnya.

Pada suatu kesempatan salah seorang anggota tim supervisi dari Kabupaten Konawe Basir

menyatakan bahwa:

59
“…susah disini karena mereka-merekaji juga (aparat) yang mendukung masyarakat
membuka hutan, jadi kita serba salah. Kalau bukan mertua, ipar, teman
juga”(Basir,55 tahun, Pegawai Negeri Sipil, 10 Mei 2011).

Terkait dengan strategi ketiga, ladang kecil-kecilan merupakan salah satu pilihan strategi

yang ditempuh oleh peladang berpindah di Routa. Strategi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa

dengan hanya luas yang tidak seberapa akan dapat dimaklumi oleh aparat karena hanya akan

dianggap sekedar untuk mencari nafkah keluarga. Tasman misalnya mengemukakan bahwa:

Kalau kita hanya buka yang kecil-kecil saja kan wajar karena hanya untuk makan
saja dari pada kita buka yang luas nanti dibilang tidak wajar. Yah paling luasnya
sekitar setengah hektar atau satu hektar saja. Malah ada juga yang hanya buka
sekitar sepertiga atau seperempat hektar. Kalau hanya begini luasnya aparat disini
mereka tidak permasalahkanji dan tidak bahaya juga bagi mereka (Tasman,42
tahun, Petani, 10 Mei 2011).

Pertimbangan lainnya adalah dengan luas yang tidak seberapa pula tidak akan memancing

perhatian aparat khususnya aparat dari kabupaten yang seringkali melakukan supervisi di Routa,

sebagaimana dikemukakan oleh Nusa yang menyatakan bahwa:

Kalau luasnya tidak seberapa saya kira tidak akan menarik perhatian aparat. Di
Routa ini kan hutan masih luas sekali jadi kalau sempit saja kita buka tidak akan
terlalu diperhatikan, paling mereka cuma kadang tanya-tanya saja ini siapa yang
punya. (Nusa,42 tahun, Pengusaha/Mantan Kades,10 Mei 2011).

Jika merujuk pada kedua kutipan di atas, maka mengolah lahan terbatas menjadi

salah satu pilihan strategi yang dipilih oleh peladang di Routa. Dalam hal ini peladang

menganggap bahwa tidak masalah jika mesti menurunkan luas lahan perladangannya, tetapi

yang jauh lebih penting bagi mereka adalah bagaimana praktek perladangan berpindah ini

terus dapat dilakukan. Karena dengan terus berladang berpindah berarti lahan akan terus

bertambah pula. Sebaliknya jika berhenti berladang berpindah berarti lahan tidak bertambah.

Terkait dengan strategi yang keempat yakni dengan memanfaatkan maraknya kegiatan

investasi di Routa. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kegiatan investasi apalagi yang

dilakukan di daerah yang terpencil seperti Routa cenderung dilakukan dengan cara-cara ilegal.

Situasi ini rupanya dipahami benar oleh peladang di Routa.

60
Walau tidak pernah terungkap ke permukaan, namun bukan berarti bahwa kegiatan

investasi di Routa, khususnya yang dilakukan oleh perusahan pengolahan kayu bebas dari masalah.

Kendati perusahan tersebut memiliki izin, tapi sesungguhnya bisnis perkayuan di Routa penuh

dengan cara-cara illegal. Hal ini bisa terjadi karena adanya kerjasama antara aparat dengan

pengusaha kayu. Salah satu modusnya adalah dengan mengolah kayu di luar lokasi izin dan dengan

volume di luar batas yang ditentukan dalam izin (Adijaya, 2009).

Fenomena ilegal loging ini dimanfaatkan oleh peladang sebagai kesempatan untuk

meneruskan aktifitas perladangan berpindah. Para peladang menganggap bahwa tindakannya yang

terus berladang semata hanya mengikuti praktek kongkalingkong yang sesungguhnya dilakukan

antara aparat dan pengusaha kayu. Oleh karena itu walau tindakan mereka yang terus berladang

berpindah itu bersimbiosis mutualisme dengan tindakan aparat juga melakukan hal serupa atau

bahkan lebih fatal. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Razak Yusuf yang menyatakan bahwa:

Peladang di Routa ini sebenarnya hanya mengikuti saja apa yang sementara terjadi
di Routa. Kita ini hanya berladang tidak seberapa dibandingkan mereka yang
pengusaha kayu. Mereka itu hanya namanya saja punya izin tapi sesungguhnya itu
tidak benar sebab mereka juga mengolah kayu di luar izin. Aparat juga tau tapi kan
sulit mau bertindak karena mereka dapat juga bagian. (Razak Yusuf,38 tahun,
Petani,10 Mei 2011).

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Sanggili yang menyatakan bahwa:

Kalau mereka bisa masuk hutan kenapa kita tidak bisa. Apa yang kita lakukan kan
sama saja dengan apa yang dilakukan oleh pengusaha kayu malah lebih parah karena
menebang hutan dimana-mana. Dari pada mereka senang sendiri, sementara kita
mau tinggal diam saja?(Sanggili,35 tahun,Petani,10 Mei2011).

Dua kutipan di atas menunjukkan signifikannya perilaku pengusaha kayu yang main mata

dengan aparat yang telah menjadi pemicu di kalangan penduduk untuk terus berladang berpindah.

Peladang berpindah dalam hal ini hanyalah mengikuti arus utama yang sedang berlangsung, sebab

jika tidak tentu mereka akan jauh lebih ketinggalan. Tindakan peladang yang demikian merupakan

suatu strategi untuk dapat mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan ekologi Routa yang

terus berlangsung.

61
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikatakan bahwa strategi adaptasi peladang dalam

mengatasi hambatan-hambatan yang bersifat politik sangat efektif atau berhasil. Dengan strategi

bersedia berbagi lahan bersama aparat atau mencurahkan sedikit tenaga bagi ‘ladang’ aparat,

dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan, dengan mengikuti nasehat aparat untuk hanya

berladang kecil-kecilan, dan dengan memanfaatkan situasi maraknya kegiatan investasi, peladang

di Routa dapat mempertahankan aktifitas perladangan berpindah hingga kini tanpa kendala berarti.

Fameo yang menyatakan bahwa “aparat juga manusia” sungguh bisa dibuktikan oleh peladang di

Routa dalam memoderasi sikap dan perilaku tegas aparat sebagaimana yang seharusnya dalam

penegakan hukum.

Strategi kelima adalah berladang jauh. Perubahan lingkungan ekologi yang diuraikan di

atas telah memaksa para peladang di Routa untuk menemukan strategi yang lebih jitu agar tetap

dapat mempertahankan aktifitas perladangan berpindah. Suatu strategi baru tersebut seperti yang

dikemukakan oleh para informan dalam penelitian ini adalah berladang pada lokasi yang jauh dari

perkampungan.

Berladang jauh merupakan salah satu pilihan strategi yang dinilai tepat oleh peladang guna

mengatasi terjadinya perubahan lingkungan ekologi di Routa. Berladang pada lokasi yang jauh

dilakukan karena pada lahan-lahan hutan yang dekat dengan perkampungan semakin menipis pasca

pertambahan penduduk, pembentukan desa-desa baru dan maraknya kegiatan investasi di Routa.

Akibatnya peladang mesti mencari lahan yang jauh yang masih bebas dari klaim-klaim penduduk

di desa baru maupun investor, sebagaimana dikemukakan oleh Basir yang menyatakan bahwa:

Dulu tahun-tahun 1990-an ladangnya orang di Routa masih dekat-dekat kampungji.


Tapi sekarang sudah jauh-jauh karena lahan yang ada sudah ada pemiliknya
walaupun belum di olah. Pemerintah disini membagikan sebahagian lahan-lahan
hutan kepada penduduk pendatang tanpa memikirkan kita yang penduduk asli.
(Basir,38 tahun,Petani,14 Mei 2011).

Nusa mengungkapkan hal serupa:

Setelah pembentukan desa-desa baru penduduk di Routa tidak begitu leluasa lagi
untuk berladang berpindah. Hal ini karena adanya kebijakan pemerintah setempat
kala itu yang membagikan lahan-lahan hutan kepada warga desa baru yang datang

62
dari selatan. Akibatnya penduduk di Routa jika mau berladang harus jauh-jauh
melewati lahan-lahan penduduk di desa baru tersebut. (Nusa,42
tahun,Pengusaha/Mantan Kades,14 Mei 2011).

Kedua pernyataan di atas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintahlah yang membuat

peladang mesti mencari lokasi perladangan yang jauh meninggalkan perkampungan. Tindakan itu

dilakukan oleh peladang bukan sebagai cara untuk menghindari hukum atau aparat, tetapi lebih

sebagai konsekwensi ketiadaan lahan yang dekat dengan perkampungankarena sesungguhnya

keberadaan aparat di Routa telah mampu diatasi oleh peladang dengan berbagai strategi seperti

telah diuraikan sebelumnya.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lokasi perladangan berpindah penduduk di Routa

berada sekitar tiga kilometer dari perkampungan. Perjalanan ke lokasi perladangan berpindah bisa

memakan waktu sekitar satu jam dengan mengendarai sepeda motor atau sekitar dua jam dengan

berjalan kaki. Menurut para peladang, tidak masalah jika mesti berladang di lokasi yang jauh atau

mesti menempuh perjalanan yang panjang untuk ke lokasi perladangan berpindah.

Strategi ini cukup berhasil mengatasi ketiadaan lahan di daerah sekitar perkampungan yang

telah dikuasai oleh penduduk di desa baru dan kegiatan-kegiatan investasi lainnya. Lokasi-lokasi

hutan yang jauh dari perkampungan praktis masih bebas dari klaim berbagai pihak. Oleh

karenanya, penduduk dengan leluasa dapat menjadikannya sebagai areal perladangan berpindah.

Bagi peladang, terlepas dari segala persoalan yang timbul akibat jauhnya lokasi perladangan, yang

jauh lebih penting bagi mereka adalah tetap dapat berladang berpindah.

Dari uraian-uraian di atas mengenai strategi adaptasi, peladang telah mampu

mempertahankan aktifitas berladang berpindahnya hingga kini. Namun, tentu saja bila hanya

sekedar dapat berladang hal itu belumlah dirasakan memadai. Sebab, selain dapat terus berladang

berpindah, peladang juga butuh hasil yang cukup agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Misalnya saja minimnya hasil panen tentu harus dapat diatasi agar petani dapat merasa nayman

untuk terus berladang berpindah. Dalam konteks inilah petani di Routa menemukan sejumlah

strategi dengan memanfaatkan situasi-situasi ekonomi yang menguntungkan di Routa, untuk

menopang praktek berladang berpindahnya.

63
Sebagai contoh terhadap minimnya hasil panen. Minimnya hasil panen yang diperoleh

sebagai implikasi dari perubahan lingkungan politik dan ekologi, tidak menjadikan peladang patah

arang dan berhenti berladang. Minimnya hasil penen diatasi oleh peladang dengan cara menjadi

buruh pada perusahan pengolahan kayu atau menjadi pengumpul damar dan rotan serta dalam

keadaan mendesak mereka akan menjual tanah miliknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh

Taksir bahwa:

Menjadi buruh di perusahan pengolahan kayu atau menjadi pengumpul rotan dan
damar merupakan pekerjaan lain peladang di Routa. Pekerjaan-pekerjaan ini dapat
dilakukan setiap saat sepanjang tahun. Sehingga walaupun hasil ladangnya kecil,
namun peladang masih bisa punya penghasilan dari pekerjaan-pekerjaan lain
tersebut. (Taksir,40 tahun,Petani/Mantan Kades, 14 Mei 2011).

Pernyataan lain pula dikemukakan oleh Sukman bahwa:

“…dalam keadaan terdesak misalnya harus membayar biaya sekolah atau untuk
biaya perkawinan, peladang di Routa akan menjual tanah miliknya baik yang
masih kosong atau pun yang sudah ada tanamannya.” (Sukman,75
tahun,Petani/Mantan Kades,14 Mei 2011).

Terkait dengan strategi menjadi buruh di perusahan kayu, di Routa sebagaimana telah

diuraikan sebelumnya memang terdapat perusahan pengolahan kayu, di antaranya milik Hakke dan

Tio. Kedua usaha pengolahan kayu banyak membutuhkan tenaga kuli mulai dari tenaga penebang,

tenaga penarik balok dan tenaga penggergajian. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja tersebut,

pemilik usaha pengolahan kayu mempekerjakan penduduk lokal, termasuk di antara mereka adalah

peladang berpindah.

Peladang yang bekerja di usaha pengolahan kayu milik Tio, misalnya adalah Razak Yusuf

dan Dolken, sedang Sanggili aktif bekerja di usaha pengolahan kayu milik Hakke. Rasak Yusuf

bekerja di bangsal penggergajian, Dolken bekerja sebagai penarik balok karena Ia memiliki dua

ekor kerbau, dan Sanggili bekerja sebagai penebang kayu karena Ia memiliki senso (gergaji mesin).

Peladang lainnya yang tidak bekerja di usaha pengolahan kayu memilih menekuni

pekerjaan lainnya yakni sebagai pengumpul damar dan rotan. Zainudin, Ismail, Sino dan Salenggo

adalah sebahagian di antara peladang yang menekuni usaha sebagai pengumpul damar dan rotan.

64
Damar dan rotan tersebut dijual kepada pengumpul di Routa yang selanjutnya akan dipasarkan ke

Timampu.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peladang yang muda-muda rata-rata bekerja di

usaha pengolahan kayu, sedangkan peladang yang tua menekuni pekerjaan sebagai pengumpul

damar dan rotan. Dari pekerjaan-pekerjaan tersebut, hasil yang diperoleh dirasakan memadai oleh

peladang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Selanjutnya menjual tanah sebagaimana disebutkan di atas juga merupakan salah satu

strategi peladang di Routa. Strategi ini khususnya ditempuh oleh peladang bila harus membayar

biaya sekolah atau ongkos perkawinan. Razak Yusuf dan Sanggili adalah contoh peladang yang

mesti menjual beberapa bidang tanahnya ketika mereka menikah. Sedangkan Ismail, Sainudin, Sino

dan Salenggo pernah menjual tanahnya ketika harus membayar uang sekolah dan atau menikahkan

anaknya.

Ismail menjual sebidang tanahnya saat anaknya akan masuk kuliah PGSD di Kendari dan

kemudian menjual lagi sebidang tanahnya yang lain saat hendak menikahkan seorang anak laki-

lakinya. Begitu pula dengan Sainudin yang menjual sebidang tanahnya untuk menyekolahkan

anaknya di SMA Andowia, dan kembali harus menjual sebidang tanahnya yang lain lagi saat

hendak menikahkan seorang anak laki-lakinya. Sino dan Salenggo juga melakukan hal yang sama

seperti yang dilakukan oleh Ismail dan Sainudin rekan sesama peladang.

Keberadaan usaha pengolahan kayu dan ketersediaan damar dan rotan di Routa yang

memiliki nilai ekonomi, bukannya menjadi faktor penghambat bagi peladang untuk meneruskan

aktifitas perladangan berpindahnya. Sebaliknya justru hal tersebut menjadi faktor pendukung,

sebab dengan tersedianya sumber-sumber pendapatan tersebut, maka peladang di Routa dapat

merasa tenang dan nyaman untuk terus berladang berpindah walau dengan hasil panen yang kecil.

Begitu pula dengan keberadaan tanah yang memiliki nilai ekonomi di Routa. Walau hasil

ladang sangat kecil, namun bukan berarti bahwa mereka tidak dapat memiliki uang yang cukup.

Sebab dengan menjual tanah bekas ladang berpindah, maka kebutuhan akan uang seperti untuk

bayar ongkos nikah atau untuk bayar uang sekolah dapat teratasi. Dengan demikian dapat dikatakan

65
bahwa jual beli tanah telah menjadi salah satu faktor penopang bagi bertahannya aktifitas

perladangan berpindah di Routa.

66
BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, ditemukan bahwa petani di Routa

tetap berladang berpindah hingga kini disebabkan oleh sejumlah alasan yakni adanya keinginan

untuk melestarikan tradisi, ingin menikmati enaknya beras padi ladang, menganggap padi di

lumbung sebagai pemberi rasa aman, ingin berkebun dan ingin memiliki lahan. Di antara alasan-

alasan tersebut, keinginan memiliki lahan adalah alasan yang merata dibandingkan alasan-alasan

lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk memiliki lahan bekas ladang

merupakan alasan utama yang melatari petani di Routa tetap berladang berpindah hingga kini.

Berdasarkan simpulan di atas, maka saya berpendapat bahwa pandangan Popkin (1979)

tentang petani rasional lebih sejalan dengan situasi penduduk di Routa, dibanding dengan

pandangan Scott (1994) tentang ekonomi moral. Dengan memilih memiliki tanah sebagai tujuan

utama dari aktifitas perladangan berpindah, maka sesungguhnya peladang telah menunjukan

identitas diri mereka sebagai orang yang rasional. Berladang berpindah dalam konteks penduduk di

Routa lebih dipahami sebagai suatu proses investasi untuk memiliki tanah. Sedangkan dipilihnya

ladang berpindah sebagai instrumen lebih disebabkan karena ladang berpindah dapat menjadi

legitimasi kultural bagi peladang untuk memuluskan usahanya membuka hutan, ditengah tidak

adanya instrumen lain yang dapat diandalkan.

Tetap bertahannya aktifitas perladangan di Routa disebabkan karena kesuksesan peladang

dalam memainkan strategi adaptasi terhadap perubahan lingkungan politik, perubahan lingkungan

ekologi dan perubahan lingkungan ekonomi. Strategi-strategi tersebut adalah: a) strategi adaptasi

peladang terhadap perubahan lingkungan politik adalah: berbagi tanah bekas ladang dengan aparat,

memanfaatkan hubungan keluarga, berladang kecil-kecilan dan memanfaatkan situasi maraknya

kegiatan investasi; b) strategi adaptasi peladang terhadap perubahan lingkungan ekologi adalah

berladang pada lokasi yang jauh dari perkampungan; c) strategi adaptasi terhadap perubahan

67
lingkungan ekonomi adalah: menjadi buruh di usaha pengolahan kayu, memungut damar dan rotan,

dan menjual tanah. Pada dasarnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan alternatif pendapatan lain

selain ladang adalah penopang bagi tetap bertahannya aktifitas perladangan. Begitu pula dengan

keberadaan tanah yang memiliki nilai ekonomi.

Konsep strategi adaptasi dari Bennet (1976) sangat sejalan dengan strategi adaptasi yang

dikembangkan oleh peladang di Routa. Para peladang menyadari betul siasat-siasat yang mereka

jalankan guna memuluskan usaha mereka, agar tetap dapat berladang berpindah di tengah situasi

perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan. Siasat-siasat tersebut tidak saja dirumuskan

dalam bentuk pengetahuan tetapi juga tindakan yang terbukti efektif dan berhasil.

B. Saran-Saran

Berkaitan dengan temuan-temuan dan kesimpulan dalam penelitian ini maka Saya

menyampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan laju

penguasaan tanah dengan cara merombak kawasan hutan baik yang dilakukan oleh

peladang maupun pihak-pihak lainnya. Langkah-langkah yang diambil tersebut tentu harus

berdasarkan pada asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum;

2. Pemerintah Daerah perlu mendorong para pihak termasuk peladang berpindah di Routa

untuk peduli terhadap kelestarian hutan.

3. Pemerintah Daerah perlu mendorong penduduk di Routa pada umumnya dan peladang

pada khususnya untuk mengembangkan usaha budi daya tanaman perkebunan seperti

kakao dan lada.

68
Daftar Pustaka

Adijaya, Sarlan 2000. Monda’u dan Kelestarian Hutan: Suatu Kajian Mengenai Sistem
Perladangan pada masyarakat Tolaki di Desa Pamandati. Kendari, Skripsi
Antropologi Universitas Haluoleo.

…………………. 2009. Tanah dan Permasalahannya. Penelitian Dalam Rangka Sulawesi


Nickel Project Riotinto Exploration, Kerja Sama PT. Riotinto Exploration-
Universitas Haluoleo-Universitas Tadulako dan Australian National University.
Laporan Penelitian.

Ahimsa-Putra, Heddy Sri 2003. Prolog: Dari Ekonomi Moral, Rasional ke Politik Usaha.
Dalam Ekonomi Moral, Rasional dan Politik Dalam Industri Kecil di Jawa.
Jogyakarta, Kepel Press.

Alland Jr, Alexander 1970. Adaptation in Cultural Evolution: an Approach to Medical


Anthropology. New York and Londong, Columbia University Press.

Babcock, J. Tim 1999. Kearifan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup:


Implikasi untuk Penelitian dan Praktis. Makalah dipresentasekan pada Seminar dan
Lokakarya Masyarakat dalam Kawasan Konservasi, diselenggarakan oleh Yayasan
Bina Insani, Pusat Studi Lingkungan Unhalu, Commite Comite Artze Fur Die
Dritte Welt, di Kendari.

Bennet, Jhon W 1976. The Ecological Transition: Cultural Anthropology and Human
Adaptation. Washington University at Santa Louis.

BP Bhatt, LB Singha, KK Satapathy, YP Sharma & KM Bujarbaruah 2010. Rehabilitation


Of Shifting Cultivation Areas Through Agroforestry: A Case Study In Eastern
Himalaya, India. Meghalaya, Journal of Tropical Forest Science 22 (1) : 13–20.

Desianti, Rinda 1995. Sistem Perladangan dan Pemilikan Tanah Orang Bentian Di Kalimantan
Timur. Jogyakarta, Skripsi Antropologi UGM.

Dove, R. Michael 1981. Antara Mitos dan Kebenaran dalam Studi Perladangan. Dalam
Agro-Ekonomika, XII, 15.

Ellen, Roy 1981. Environment, Subsistence and System: The Ecology of


Small-Scale Social Formations. Cambridge, Cambridge University Press.

Endraswara, Suwardi 2003. Metode Penelitian Kebudayaan. Jogyakarta,


Universitas Gajah Mada Press.

Fawnia, Syalita 2003. Keadaan Ekologis Hutan dan Lahan Bekas Ladang (reuma) di
Kawasan Adat Baduy. Bandung, Departemen Biologi F-MIPA Bandung.

Geertz, Clifford 1976. Involusi Pertanian. Jakarta, Bharatara K.A

69
Hardesty, L. Donald 1941. Ecological Anthropology. Toronto, John Willey
& Sons.

H.E. Benyamine 2009. Perladangan Berpindah: Bentuk Pertanian Konservasi Pada


Wilayah Tropis Basah. Borneojarjua2008’s Weblog.

Hijjang, Pawennari 2004. Talutn Tanaq : Sistem Pengetahuan Lokal Komunitas Dayak
Benuaq Dalam Aktivitas Perladangan di Desa Melapen Baru Kabupaten Kutai
Barat Kalimantan Timur (Disertasi). Makassar, Universitas Hasanuddin.

Keezing, M. Roger 1974. Teori-Teori tentang Budaya (terjemahan). Dalam


Jurnal Antropologi Indonesia No.52 Tahun 1997. Jakarta, FISIP UI.

Koentjaraningrat 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta, PT. Dian Rakyat

Lynch, J. Owen dan Talbott, Kirk 1999. Keseimbangan Tindakan: Sistem


Pengelolaan Hutan Kerakyatan dan Hukum Negara di Asia dan Pasifik
(terjemahan). Jakarta, World Research Institute dan Elsam.

Marzali, Amri 2002. Strategi Peisan Cikalong Kulon Dalam Menghadapi Kemiskinan.
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

M. Matinahoru, Johan 2010. Dampak Perladangan Berpindah Bagi Kerusakan Ekosistem


Hutan. Dalam Jurnal Urip Santoso, Menuju Pemikiran Mandiri.

Moran, F. Emilio 1979. Human Adaptability. North Scituate, Massachusetts, Duxbury


Press.
Pelras, Christian 2000. Patron-client ties among the Bugis and Makassarese of South
Sulawesi. In Bijdragen Tot de Tall-, Land-en Volkenkunde, Authority and
Enterprise Among the Peoples of South Sulawesi. No.3 Leiden,393-432.

Popkin, L. Samuel 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in
Vietnam. California, University of California Press.

Raharjana, T Desta 2003. 2003 Siasat Usaha Kaum Santri: Ekonomi Moral dan
Rasional Dalam Usaha Konfeksi di Mlangi, Jogyakarta. Dalam Ekonomi Moral,
Rasional dan Politik Dalam Industri Kecil di Jawa. Jogyakarta, Kepel Press.

Rambo, A. Terry 1983. Conceptual Approaches to Human Ecology. Reasearch Report


No.14. June 1983. Honolulu, East-West Environment and Policy Institute.

Rappaport, Roy A 1978. Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea
People. Yale University Press, New Heaven and London.
Saharuddin 2007. Antropologi Ekologi. Dalam Ekologi Manusia oleh Soeryo Adiwibowo
(Ed). Bogor, Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Sairin, Semedi dan Hudayana 2003. Pengantar Antropologi Ekonomi. Jogyakarta, Pustaka
Pelajar.

70
Salim, Agus 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Jogyakarta, Tiara Wacana.

Scott, C. James 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi


di Asia Tenggara (terjemahan). Jakarta, LP3ES.

Schrauwers, Albert 2002. “Itu Tidak Ekonomis: Sifat Ekonomi Moral yang
Berakar pada Ekonomi Pasar di Dataran Tinggi Sulawesi, Indonesia. Dalam Proses
Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia oleh Tania Murray Li (Editor).
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Spradley, P. James 2007. Metode Etnografi (terjemahan). Jogyakarta, Tiara Wacana.

Steward, H. Julian 1976. Evolution and Ecology (edited by Jane C. Steward and Robert F.
Murphy). Urbana Chicago London, University Of Illinois Press.

Taridala, Yusran dan Adijaya, Sarlan 2002. Pranata Hutan Rakyat. Jogjakarta, Debut Press

Tawulo, Asrul 1998. Perladangan Berpindah dan Dampaknya Terhadap Kelestarian


Hutan. Kendari, Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo.

Wolf, Eric R 2004. Perang Petani (terjemahan). Jogyakarta, Insist Press.

Zakaria, Yando, R 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta, Walhi

…………………….. Menghitung Kembali Kontribusi Perladangan Berpindah dalam


Proses Penyusutan Kawasan Hutan di Indonesia. Dalam Jurnal Antropologi
Indonesia No.52 Tahun 1997. Jakarta, FISIP UI.

71

Anda mungkin juga menyukai