Anda di halaman 1dari 11

Sang Penari - Cerpen Motivasi

SANG PENARI

Cerpen Karya Repa Mustika

Senja yang telah ditunggu oleh warga sekitar, Pak Tono menyuruh istrinya membersihkan halaman. Empat helai tikar
pandan yang telah terpapar. Setelah hari gelap, sebuah lampu minyak besar dinyalakan. Terang, sebab pada sumbu
lampu minyak terpasang sebuah cincin penerang cahaya. Suasana demikian mengundang anak-anak dan warga sekitar.
Mereka bergerombolan datang ke tempat warung Pak Tono itu.

Di dalam rumah, Nyai Dedet sedang merias Syahdu. Tubuhnya yang kecil dan lurus tertutup kain sampai ke dada. Syahdu
didandani seperti laiknya seorang penari ronggeng. Tanggapan terdengar hanya berupa bisik-bisik lirih. Seorang
penonton menggamit lengan temannya di sebelahnya sembari menyambangi Syahdu yang sedang dirias, dan memuji
kecantikannya. Banyak laki-laki, perempuan dan anak-anak memenuhi warung Pak Tono, mereka ingin melihat Syahdu
menari.

Penonton menunda kedipan mata ketika melihat seorang gadis yang berusia tujuh belas tahun bernama Syahdu yang
sedang menari di atas panggung. Syahdu adalah seorang penari di sebuah warung Pak Tono. Tiga tamu duduk bersila
menikmati hidangan kopi di warung tersebut, sembari menyaksikan bidadari cantik yang menari di atas panggung yang
telah disediakan. Setiap malam Syahdu menghibur langganan Pak Tono di warungnya. Dia menari di warung semata-
mata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena kedua orang tuanya tidak tahu entah kemana, semenjak rumahnya
terjual untuk membayar hutang beberapa bulan lalu. Kata warga kampung. Semenjak itu dia menganggap kedua orang
tuanya telah tiada lagi.

Ketika Syahdu menari wajah Syahdu dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang terharu dan kagum
melihat bagaimana Syahdu bisa menari sebagus itu. Bahkan Syahdu bisa melentikkan jari-jarinya sama dengan penari
dewasa. Suara “Cess” tak pernah luput pada saat Syahdu menggoyang pinggul.

Satu babak telah usai. Suara musik yang mengiringi pun berhenti, dan Syahdu kembali duduk. Gumam penonton
terdengar. Seorang perempuan mengisak rasa harunya setelah melihat Syahdu menari menyebabkan air matanya
menetes. Dia adalah Marya pengagum “Sang Penari” yang bernama Syahdu.

“Tak kusangka Syahdu bisa menari sebagus itu,” katanya. “Kalau boleh, aku ingin menggedongnya sampai dia lelap di
pangkuanku, aku takkan membiarkannya sebagai budak di warung ini .”

“Yah, aku pun juga begitu.” Kata perempuan lain.

“Eh, kalian dengar. Syahdu bukan milik orang per orang. Bukan hanya Pak Tono yang bisa memanjakan Syahdu. Sehabis
Syahdu menari nanti, aku ingin minta izin kepada istri Pak Tono.” Kata perempuan ini lagi.

“Engkau mau apa?”

“Memijat Syahdu. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai sebelum tidur.”

“Yah, andaikata Syahdu lahir dari perutku, pasti kusayangi dengan sepenuh hatiku!”, kata dua perempuan lain lagi.
Berkata demikian perempuan itu mengusap matanya sendiri. Dan menghapus air matanya yang tak henti keluar.

Seandainya ada orang warga desa yang pernah bersekolah dulu, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir setengah dua
belas malam masih ada seorang perempuan yang menari jam segitu, alangkah kejam manusianya.

“Sekarang aja, jam sudah menunjukkan jam sebelas malam, hampir tengah malam, tarian ini belum juga disudahi.
Apakah setiap malam seperti ini terus ”Kata Lela, temannya Marya.

“Eh, kamu nggak lihat penontonnya masih begitu ramai menyaksikan tarian ini.” Kata seorang laki-laki yang berdiri
sebelah kanan Marya.

“Iya, tapi kamu nggak kasihan melihat bocah kecil yang ayu itu kelihatan lelah sekali. Dia menari mulai jam delapan tadi
tak henti-henti sampai sekarang, dia juga manusia bukan mesin.” Balas Marya.
Tak lama percakapan Marya itu selesai, terdengar suara gong bertanda tarian sudah selesai. Semua warga yang
menyaksikan tarian ini, pulang kerumah masing-masing. Mereka baik laki-laki maupun perempuan membawa kenangan
yang dalam malam ini. Melihat semua warga bubar dan pulang kerumahnya, Marya pun menghampiri sang penari ini
yang baru saja turun dari panggung.

“Syahdu... Syahdu...” Panggilan Marya. Tanpa menghiraukan panggilan itu Syahdu langsung masuk ke rumah Pak Tono.
Marya heran, mengapa kalau dipanggil Syahdu dia tak mau menoleh, apakah benar Syahdu namanya.” Gumam Marya
dalam hati. Tanpa menghiraukan hal sepele itu, Marya langsung menemui Nyai Dedet istri Pak Tono untuk minta izin
menemui bocah kecil itu.

“Nyai Dedet, apakah saya boleh bertemu dengan Syahdu malam ini?”

“Ada urusan apa?” Tanya Nyai Dedet.

“Aku mau memijatnya, Syahdu pasti sudah lelah sekali malam ini.”

“Untuk malam ini, Nyai tidak bisa mengambulkan permintaan ibu, maaf.”

“Tolonglah Bu, bentar aja kok?”

“Maaf tidak bisa.” Tutup Nyai Dedet.

Jauh dari dugaan Marya, ternyata Nyai Dedet tidak mengizinkan Marya bertemu dengan Syahdu, sebelumnya Marya
menduga Nyai bisa mengambulkan permintaannya tetapi malah sebaliknya. Sedikit kecewa, karena tujuannya tidak
tercapai. Sebenarnya Marya ingin berbincang dengan Syahdu dan memberikan Syahdu sedentir hadiah yang berisi
perlengkapan sekolah. Karena Zoli teman dekat Syahdu waktu kecil memberi tahu kepada Marya bahwa Syahdu sangat
ingin sekolah sebagaimana dirinya. Justru itulah Bu Marya ingin menemuinya dan menghentikannya sebagai budak di
warung Pak Tono, yang hanya diberi upah sebesar lima belas ribu satu malam untuk menjadi sang penari diwarungnya.

Keesokan harinya, terlihat Syahdu pergi mencuci pakaiannya ke sungai. Dan oleh terlihat oleh Marya disaat dia pulang
belanja dari warung Pak Tono. Dengan melihat hal itu. Marya pun bergegas pulang dan menodorkan barang
belanjaannya di belakang pintu rumahnya dan menyegerakan pula membawa baju cuciannya ke sungai. Karena jika
ketahuan Marya mengikutinya dengan sengaja Syahdu akan segera lari, sudah pasti itu. Sebelumnya Syahdu terkenal
dengan perempuan pemalu, karena dia sering diperlakukan seperti budak oleh Pak Tono. Justru itu Marya pura-pura
pergi mencuci ke sungai, padahal tujuan utamanya bukan mencuci.

Setiba di sungai Marya pura-pura mencuci di sebelah Syahdu. Tapi Syahdu kelihatan agak sedikit risih dan bertingkah
aneh setelah melihat Marya tiba. Namun Marya telah menduga bahwa hal ini akan tejadi. Beberapa menit kemudian
cucian Marya selesai. Ia pun menghampiri Syahdu secara pelan-pelan dan berkata.

“Syahdu... bolehkah ibu berbincang dengan kamu, bentaaaar aja.” Ujar Marya dengan sangat lembut.

“Maaf bu, emang ibu ini siapa?”

“Ibu, adalah Marya, teman Mama mu waktu kecil”.

“Iyakah”. Balasnya terkejut.

“Iya, bisakah ibu menemui nanti malam”.

“Tapi....”. Isaknya.

“Ya sudah, ibu sudah tahu jawabannya. Harus minta izin dulu sama Nyai Dedet kan, kamu tenang aja!”

Setelah perbincangan itu selesai keduanya langsung pulang. Setiba dirumah, Syahdu menjemurkan kain cuciannya,
setelah itu Syahdu langsung memasuki kamar dan termenung sambil memikirkan apakah kata Marya tadi “benar” atau
“tidak”. Tapi entahlah tidak usah dipikirkan lagi. “Aku akan melanjutkan pekerjaanku sebagai seorang penari karena aku
sangat ingin sekali melanjutkan sekolahku untuk jenjang yang lebih tinggi sama dengan teman-temanku”. Batinnya
Siang akan segera berganti malam, lampu, tikar pandan, dan perlengkapan lainnya telah dipajang di muka halaman
warung Pak Tono, bertanda Syahdu akan segera menari menghibur para tamu Pak Tono. Syahdu pun akan segera di rias
secantik rupa untuk menarik perhatian orang banyak. Suara calung telah terdengar berarti Syahdu akan segera menari.
Tarian pun berlangsung dan tepuk tangan penonton terdengar dengan meriahnya. Terlihat indah jentikkan jari dan
goyang pinggul Syahdu disaat dia menari. Marya pun ikut menyaksikan pada malam itu tapi Marya punya maksud lain
untuk membawa Syahdu pergi dari kampung itu. Tak lama tarian berlangsung tak disangka hujan turun secara tiba-tiba
dan penoton berbubaran dengan kusut.

Kesempatan yang sangat bagus bagi Marya membawa Syahdu pergi dari tempat itu. Marya pun berhasil membawa
Syahdu pergi dari tempat itu tanpa sepengetahuan Pak Tono dan istrinya dan menyembunyikan di rumahnya.

Setiba dirumahnya, Syahdu diberikan segelas kopi, guna untuk menghangatkan badannya karena mereka kehujanan
dalam perjalanan menuju rumah, keadaannya pasti dalam keadaan kedinginan.

“Syahdu, mengapa kamu lebih memilih bertahan disana sebagai penari cuma digaji lima belas ribu saja.” Tanya Bu
Marya. Tanpa menjawab Syahdu langsung menangis terisak-isak.

“Tak usah menangis lagi Nak, kan ada ibuk disini”.

“Aku sangat ingin punya ibu seperti teman-temanku yang bisa menemani hari-hariku.” Balasnya membatin.

“ Iya, iya, ibuk ngerti dengan perasaanmu sekarang, nggak usah dipikirkan lagi, ayo habiskan kopinya Nak.” Perbincangan
itu selesai dan mereka tidur.

***

Ketika mentari akan segera terbit di sebelah timur, terdengar kabar dari Pak Tono dan warga sekitarnya bahwa Syahdu
“hilang” mereka semuanya panik dan mencarinya dan bahkan Pak Tono mengadakan sayembara untuk menemukan
Syahdu, karena jika Syahdu tidak ditemukan sudah pasti warungnya akan bangkrut, hanya karena Syahdu yang menari
warungnya rami dikunjungi. Kabar itu terdengar oleh Lela temannya Marya dan segera mengabarkan kepada Marya
lewat telepon dan Marya segera mengambil tindakan untuk membawa Syahdu pergi ke kota tempat ibunya Marya
bekerja.

Sesampai disanalah Syahdu memulai hidup baru, bersekolah sebagaimana impiannya sejak dulu, semuanya itu dibiayai
oleh Marya temannya Ibu Syahdu waktu kecil dulu. Sebenarnya kedua orang tua Syahdu telah meninggal karena
kecelakaan maut menuju rumah kakeknya di pulau jawa, tapi Marya tidak pernah memberi tahu kepadanya karena Ibu
Syahdu bernama Aisyah pernah berpesan kepada Marya ketika merenggut nyawa dirumah sakit Wijaya. Pesannya
adalah “Mar, ketika aku tiada lagi melihat anakku kelak tolong jaga dia, Syahdu. Dia adalah harapan satu-satunya dari
keluaga kami.” Itulah perkataan terakhir yang terdengar dari mulut Aisyah ketika mennghembuskan nafas terakhirnya.

“Sekarang aku sudah beranjak dewasa kesemuaan ini berkat pinangan Bunda Marya yang baik hati dan sekarang aku
telah menamatkan pendidikan ku dan langsung diangkat menjadi “Sang Penari” terkenal di kota itu. Sekaligus aku adalah
seorang dosen seni di Institut ternama di kota ini. Kesemuaan itu berkat Bunda Marya yang tak pernah mengeluh
memberiku harapan untuk menjadi sukses. Sekarang aku telah menganggap Bunda Marya sebagai ibu kandungku
sendiri.” Katanya. Marya pun menggelengkan kepalanya dengan penuh rasa haru dan meneteskan air mata kebahagian.

PROFIL PENULIS

Nama : Repa Mustika, Panggil saja Reva,

alamat di padang: Simp. Gia, Tabing. Padang

Asal: Kerinci, Jambi

Faceebook : Repa Mustika


Doa Terakhir Sang Penari

Cerpen Karangan: Ratna Juwita

Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Sedih

Lolos moderasi pada: 29 March 2016

Lagi-lagi, oksigenku dirampas bebas alkohol, tontonanku tetap berkutat pada lampu yang berkedip-kedip manja, tapi
beringas, benar-benar meluluh lantahkan logika manusia-manusia tak beretika ini. Pendengaranku masih dibungkam
gaduh dan riuh yang ku benci. Ah, tempat yang ku benci tapi ku cintai. Mengatakan bahwa aku tak menyukai tempat ini,
ya aku tak menyukainya. Aku tak pernah menyukai laki-laki hidung belang yang selalu datang ke tempat ini dengan mata
jal*ng, nyalang melihat dada-dada mulus kami. Kami para gadis yang dihias sedemikian rupa, ditakdirkan melenggak-
lenggokkan tubuh kotor kami dan rela dipegang di sana-sini.

Di belakang segala riuh ini kami saling duduk di belakang meja rias kami. Diam. Hanya melirik sesekali jika kecanggungan
ini mulai terasa menyiksa. Kami bekerja, kami bertemu, tapi tak saling berkomunikasi. Apa yang harus kami bicarakan?
Tak ada yang bisa dipertanyakan. Kebanyakan dari kami berasal dari panti asuhan dari berbagai kota, tak pernah saling
bertatap muka, sebelum akhirnya kami memiliki nasib yang sama. Tergadaikan di tempat mengerikan ini. Tempat
mengerikan tepat di haluan kotor ibukota yang memberi kami penghidupan.

“Hiks… hiks…” suara sesenggukan itu meremas ibaku. Ku lirik seorang gadis remaja yang duduk di sudut ruangan mungil
ini dengan wajah sembab, sedang air mata terus membanjiri pipinya. Jantungku berdegup keras kala ku tatap mata sayu
itu. Mirip dengan mataku kala pertama kali dibawa ke tempat laknat ini. Kepalaku pusing membayangkan kembali masa
laluku, buru-buru ku tarik paksa sudut mataku yang sedari tadi menjamah gadis itu. Gadis tak berdosa, sebentar lagi
mungkin kau tak akan lagi merasa ketakutan di sini. Di rumah barumu ini. Aku tersenyum kecut.

Seseorang berjalan cepat ke dalam ruangan, membuat kami serentak menaruh perhatian penuh padanya. Alex. Orang
biadab yang telah membawa kami ke mari, dengan pongahnya menatap dada dan paha kami yang dibalut kain dan
selendang tipis, hampir-hampir tel*njang. “Khekhe… pertunjukan akan dimulai.” Ia mengarahkan ibu jarinya ke arah
yang berlawanan, cukup untuk membuat aku dan ‘teman-teman’ senasibku berdiri, berjalan melewatinya menuju ke
panggung maksiat. Geramku sempat memuncak, tapi ku tahan mati-matian ketika tak sengaja menyorot gerakan
tangannya yang mer*mas pantat wanita di depanku.

Kami penari, tapi tak menari untuk seni. Entah bagaimana, kami menari untuk memuaskan bir*hi laki-laki tak tahu diri
yang selalu saja mengantre. Gamelan dan segala gending itu tak ubahnya penabuh nafsi, membuat laki-laki di setiap
sudut tempat ini tak terkendali. Tak pernah terpikirkan barang sejenak bahwa aku bisa bekerja di tempat ini, mungkin
akan lebih tepat jika aku menyebutnya ‘terdampar’. Terdampar seperti paus mati yang tak bisa lagi kembali.

“Aku mencintai pekerjaan ini semata-mata hanya karena di sini aku bisa menari.” Aku bersikukuh, tak ingin membuatnya
mengerti bahwa tak ada alasan lain aku di sini. Aku hanya berpikir, bila memang aku tak menyukai pekerjaan ini, maka
aku harus dan akan menyukai tarian yang selalu ku gandrungi sedari kecil ini. Titik.

“Kau tahu pekerjaan ini kotor, tapi kenapa?” Khali menanyakan pertanyaan yang kesekian kali. Pertanyaan yang sama
dengan inti yang sama serta maksud yang sama, membawaku pergi dari sini. Khali sama saja bagiku seperti kebanyakan
lelaki di sini yang hidup untuk hiburan keji. Yang berbeda, ia adalah orang yang telah memilih para penari di sini, dia
tangan kanan Alex.

Aku selalu berpikir, aku telah terjatuh terlalu dalam pada kemaksiatan ini. Tak akan ada lagi tempat yang ku tuju jikapun
aku bisa ke luar dari tempat ini dengan bantuan Khali. Entah apa yang dia bicarakan mengenai cinta dan tektek-
bengeknya, aku tak pernah mengerti. Aku belum pernah merasakannya dan aku tahu itu hanya sebuah dongeng semata.
Aku melengos ketika kami beradu pandang. Sedikit muak dengannya. Dia bukan lelaki rupawan yang menjadi idaman,
hanya kekayaan yang bisa membuatnya digandrungi baberapa penari di sini yang menganggapnya ‘lumayan baik’.
Setidaknya sekali pun sama bejatnya, ia tak memperlakukan wanita seperti laki-laki yang datang ke mari, menyentuh
penari tanpa permisi, atau sengaja menyicil rupiah untuk menyelipkan uang di antara dada kami. Tapi sama saja jika
pada akhirnya ia pernah tidur dengan hampir semua penari di tempat ini.

Aku membalikkan badan, enggan menjawab pertanyaannya. Pertanyaan simpatik yang patut ku curigai. Sesaat, ku lihat
sekelebat bayangan yang ku kenal melintas di depanku. Masih dengan suara sesenggukan yang sama, tapi pipinya
memerah, darah mengalir hampir di setiap bagian wajahnya. Aku tahu itu akan terjadi cepat atau lambat padanya,
sebagai hukuman karena tak mau menari untuk laki-laki tak tahu malu itu. Aku mengerutkan kening.
“Tapi, mungkin akan ku pikirkan lagi jika kau bisa membantuku sesuatu.” Aku berbicara dengan angkuh tanpa menoleh.
“Hanya jika kau mau.”

“Tentu saja aku mau, katakan padaku apa yang bisa ku lakukan untukmu?” Khali menjawab cepat. Ya, aku sudah tahu
bahwa kau akan berkata seperti itu.

“Bantu aku untuk mengeluarkan gadis itu dari sini.” Aku menggerakkan sedikit daguku ke arah gadis yang telah sedikit
berada jauh dari kami. Aku tak tahu bagaimana ekspresinya, tapi aku tahu bagaimana reaksinya setelah ini.

“Kau gila?”

Aku mondar-mandir memikirkan rencana yang telah ku susun dengan Khali tadi pagi. Ya, malam ini aku harus bisa
mengeluarkan gadis itu dari sini. Bagaimanapun juga, aku tak mau melihatnya bernasib sama sepertiku, jikapun aku tak
punya lagi jalan untuk kembali, aku hanya harus membuat gadis itu kembali sebelum ia sempat ternodai dan merasakan
keganasan tempat ini. Ah, apakah aku sedang berusaha menjadi seorang pahlawan sekarang? Pahlawan yang sama bejat
dengan musuhnya? Aku terkekeh pelan. Orang yang kotor dari awal tak akan merasa bersih meski dicuci berkali-kali.
Dosa yang tak tertera di depan mata itu justru yang paling sering membayangi, membuat dadaku selalu sesak saat
memikirkannya. Dosa yang ku yakin tak akan pernah bisa ku lupakan seumur hidupku, setidaknya aku masih bisa
berkutat dengan kenyataan bahwa keberadaanku di sini bukanlah kesalahanku sendiri.

Aku selalu menyesali nasibku, mengapa aku di sini? Aku ingin pergi, tapi ku telan mentah-mentah semua harapan semu
itu. Aku tak pernah tahu siapa ibuku, siapa sanak saudaraku, atau bahkan apakah mereka semua masih hidup? Jikalau
iya, apakah mereka akan menerimaku yang seperti ini? Yang telah tak punya lagi harga diri? Aku tersenyum kecut. Aku
muak setiap kali melihat pantulan dari diriku sendiri pada gadis itu. Gadis baru yang selalu menyita perhatianku,
biasanya aku tak pernah merasa segelisah ini terhadap apa pun yang terjadi di sekelilingku. Nasibku sendiri telah
mengurai segala nuraniku, tapi mengapa gadis itu bisa menyulamnya lagi walau hanya menjadi helai? Aku kelu melihat
tangisnya, sakit melihat darahnya. Setidaknya sekali saja aku ingin seseorang pergi dari sini, ke luar dari tempat biadab
ini, dengan bantuanku, dengan bantuan yang dulu selalu ku harap tapi tak pernah ku dapat.

Aku tersentak, seketika lamunanku buyar. Pemandangan yang ada di depanku bukan lagi tentang gadis itu, tapi untuk
kesekian kali adalah laki-laki kurang ajar ini. Mereka semua. Aku melenggak-lenggokkan tubuhku dengan lincah, ku
anggap ini sebagai terakhir kali untukku dan untuk mereka. Aku mencibir. Ku tatap sekilas meja penuh b*r yang berada
tak jauh di depanku, pura-pura tak tahu ketika beberapa lelaki mencoba berebut menyisipkan lembaran lima puluh
ribuan di dada. Alex mabuk, ditemani oleh Khali di sampingnya, memandangku gelisah. Rupanya ia berhasil membuat
Alex sampai semabuk itu, dan aku sedikit memujinya meski ia melakukannya dengan ekspresi seperti itu. Cih, aku jijik
melihat wajah itu. Wajah-wajah ini.

“Neng, tariannya bagus.” Celetuk seorang lelaki berjas lengkap yang menari bersamaku. Aku tersenyum, dalam hati ku
artikan perkataan itu sebagai ‘Neng, dadamu mulus’.

“Jaipong memang asyik, Kang. Sering ke sini?” Aku membalasnya dengan acuh meski senyum tetap ku topengkan di
wajahku. “Saya selalu ke sini malah dan yang selalu saya pilih selalu Eneng…” ia menyisipkan lembarannya lagi dengan
mata berkedip. Uh, ku harap aku bisa menahan untuk tak memuntahkan isi perutku sekarang ke wajahnya. “Kenapa,
Kang?” suaraku meninggi, seiring dengan alunan gamelan yang semakin menggila. Sengaja ku buat nada suaraku
mendayu-dayu, membuat wajahnya semakin terlihat genit.

“Urusan rakyat selalu bikin repot, di partai rumit berebut kuasa, stres, Neng!”

Aku hanya membuat mulutku berbentuk seperti huruf O sambil manggut-manggut seolah mengerti. Mereka semua ingin
segera ku lenyapkan. Bukan hal baru jika wakil rakyat datang ke mari dengan alasan hiburan padahal mereka
berselendang kuasa. Mereka dipilih untuk memperjuangkan nasib rakyat. Nasibku. Nasib kami. Tapi apa yang mereka
lakukan? Gaji mereka ditelan mentah-mentah tanpa usaha, kursi jabatan ditinggalkan dan setiap hari datang kemari
untuk menari dan menyentuh tubuh kami. Biadab. Ku lirik beberapa orang yang baru masuk ke tempat ini. Orang-orang
berseragam aparat keamanan. Ah, lagi-lagi. Aku selalu yakin merekalah dalang di balik berdirinya tempat ini, bagian dari
tempat terkutuk ini. Mereka melindungi tempat ini dari mata aparat yang lain demi beberapa lembar uang, bahkan tak
jarang kami disuruh melayani mereka sebagai upah. B*ngsat! Mengapa aku merasa begitu malu tinggal di negara ini?

“Lanjut, Kang!” aku mencoba merebut beberapa lembar uang mereka. Hari sudah beranjak larut, tapi tak ada satu saja
dari mereka yang mengangkat kaki dari sini. Sengaja aku menggila hanya untuk hari ini, melayani tatapan genit dan
tangan-tangan nakal mereka. Hanya untuk hari ini.

Pyaaar!

Alunan gamelan mendadak berhenti setelah bunyi itu. Alex, lebih tepatnya Khali yang membuat Alex seolah menjadi
orang yang memecahkan b*r-b*r itu. Sudah dimulai. Alex menggelepar di atas lantai dengan posisi tengkurap, seolah ia
benar-benar mabuk padahal beberapa dari b*r itu telah kami sisipi dengan obat tidur. Suasana hening sejenak, tapi
sesaat kemudian semua kembali seperti semula. Aku lirik Khali yang menyulut beberapa batang korek api dan
melemparkannya ke lantai yang dipenuhi b*r.

“Kebakaran! Kebakaran!!” Khali berteriak kesetanan, mengalahkan suara gending yang perlahan senyap.

“Kebakaran!”

Beberapa lelaki lain dengan wajah kalut berlari menuju pintu, membuat gaduh riuh suasana di tempat ini. Ah, aku lebih
suka gaduh riuh yang seperti ini. Aku tertawa pelan. Entah setan mana yang berhasil menyusup di pikiranku hingga aku
merasa segembira ini, tak pernah terasa menyenangkan melihat wajah dan teriakan ketakutan mereka. Beberapa penari
juga panik, berebut ke luar dari tempat ini. Dasar bodoh, tak ada dari orang-orang ini yang berusaha untuk
memadamkan api. Mereka bergelut dengan ketakutan mereka dan keselamatan nyawa mereka sendiri. Khali menyeret
tubuh Alex sedikit menjauh dari api, membuka paksa beberapa botol b*r yang telah diganti dengan bensin, lalu
menyiramkannya secara membabi buta ke seluruh ruangan. Tak ada yang melihatnya. Tentu saja karena mereka semua
buta, telah buta pada upaya untuk mencari jalan keluar.

Aku mengangguk pada Khali yang bergidik memandang kobaran api yang semakin membesar, sudah tak bisa lagi
dipadamkan. Aku mengangguk padanya, ia berlari ke ruangan dalam untuk merespon, tapi aku mengikutinya. Gadis itu
juga panik, tapi hanya mampu berdiri di sudut ruangan dengan mata yang rapuh, tubuh yang demikian ringkih. “Kau,
keluarlah!” Ketika aku mengatakan hanya ‘kau’ aku memang benar-benar serius. Khali Membopong gadis itu paksa
meski ia meronta di sisa tenaganya, suara-suara teriakan orang yang terkunci di ruangan luar terus menggigiti
pendengaranku.

Kami bergegas, sebelum orang-orang itu sadar ada pintu di ruangan ini yang tidak terkunci. Beberapa penari rupanya
menyadari dan segera beranjak mengikuti kami. Kini kami semua berada di luar, menghirup udara yang sebagian
terantai alkohol dan bau-bauan lainnya. Khali menurunkan gadis yang gemetaran itu, segera beberapa penari
memeluknya untuk menenangkannya. Ku ambil kayu yang telah ku siapkan sedari awal di samping pintu, menarik napas
dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan berat. “Terima kasih.” Ku ayunkan pukulan bersamaan dengan kata-kata
terakhir itu ke arah Khali yang masih membelakangiku. Para penari memekik keras, aku mengacuhkannya. Khali
tergeletak tak berdaya di depanku dengan kepala bersimbah darah, “…dan maaf.” Aku tersenyum kecut, beberapa
penari memandangku ngeri, aku hanya mengedikkan bahu seolah tak terjadi apa pun.

“Kalian pergilah! Aku memang sama sekali tak mengenal kalian, tapi aku tahu kalian orang-orang baik. Terima kasih
untuk kerja keras kalian selama ini…” aku menatap mereka satu per satu. Merangkai beberapa memori yang sempat
terekam di benakku. “…maaf telah membuat keributan ini.”

“Ha?” seorang penari yang terlihat lebih tua dariku mengerutkan kening. “Kau…” ia tak meneruskan kalimatnya.

“Ya, aku yang membuat semua keributan ini, maafkan aku. Kita sama-sama ada di sini karena kita mencintai jaipong,
tarian impian kita. Sedikit banyak, aku tahu bahwa kalian bertahan hanya untuk tarian ini, hanya karena di tempat lain
hampir jarang ditemukan jaipongan lagi…” ucapku panjang lebar. “…setidaknya tolong teruskan tarian ini, tidak di
tempat seperti ini, aku serahkan nasib tarian ini pada kalian…” aku melirik gadis kecil yang memandangku iba itu, “dan
padamu.”
Aku tersenyum sekilas, tak pernah aku bicara dengan mereka seperti ini. Kali ini entah mengapa aku merasa bahwa kami
-aku dan mereka- sama-sama hidup, bukan seperti boneka mati yang diam saja diperlakukan tak senonoh oleh para
lelaki bejat di dalam sana. Segera ku seret tubuh Khali ke dalam dengan susah payah. Aku juga tak bisa meninggalkannya
hidup, ia dan semua laki-laki yang kini terkurung itu sama. Dan akan ku lenyapkan bersama.

“Kau mau ke mana?” penari yang duduk paling dekat denganku di meja rias memandangku penuh tanya ketika pintu
akan ku tutup dari dalam.

“Kau tak ikut dengan kami?” aku menggeleng sebagai jawaban.

“Tempatku sudah bukan dunia.” Aku mengunci pintu.

Aku harus minta maaf pada Tuhan soal ini nanti. Aku terkekeh. Suara orang-orang yang masih menjerit itu tak ku
hiraukan, terdengar pula beberapa bunyi dobrakan pada pintu, tapi sudah jelas tak akan berhasil. Khali menaruh
beberapa benda besar di pintu sebelum ia memecahkan b*r-b*r itu, atas perintahku. Barang-barang besar yang tak akan
mungkin berpindah dengan hanya sebuah dobrakan. Tapi aku menyukai suara kepanikan dan kobaran api yang semakin
ganas ini. Aku menyukai tempat ini, yang seperti ini, yang dipenuhi kobaran api yang menghancurkan segalanya,
termasuk kami dan mereka semua.

Jikapun nanti aku tak bertemu dengan Tuhan, aku ingin minta maaf pada orang-orang ini di neraka. Aku tertawa, apa
yang ku pikirkan? Aku sungguh membenci orang-orang ini, sudah lama aku berniat melakukan ini dan gadis itu
memberiku alasan terkuat untuk melakukannya. Ku biarkan rasa sakit menjalari seluruh tubuhku yang dijamah api,
panas, nyeri, sakit. Aku mendesah. Bisakah aku mengutuk-Mu untuk semua rasa sakit ini, Tuhan? Aku percaya padamu
bahkan jikapun aku tak sembahyang dan terlalu berkubang dalam dosa, tapi aku menuntut-Mu untuk jaipong yang ku
cintai. Biarkan ia lestari, meski aku harus menjadi bahan bakar nerakamu karena ini, pintaku satu yang pasti, biarkan
jaipongku tetap menari.

Cerpen Karangan: Ratna Juwita

Blog: akihabaranime.blogspot.com

Bisa dihubungi di akun facebook: https://www.facebook.com/tantei.noq

dan email: den.raana[-at-]gmail.com


Sang Penari

Cerpen Karangan: Ali Makki

Kategori: Cerpen Sastra

Lolos moderasi pada: 12 February 2015

“Ting tong” nada pesan diponsel BBnya berdering, sambil mendengarkan penjelasan dosen pada mata kuliah pengantar
filsafat. Perlahan ia ambil BBnya. Ada pesan singkat yang membuatnya tersenyum, lucu, mungkin bahagia ‘jam 19:00 q
jmput’ segera ia balas kalimat itu ‘oke’, sesaat telah terkirim, kini ia kembali pada penjelasan pengantar filsafat yang
melelahkan. Dari pengantar itu ia dapat kesimpulan bahwa di dalam ilmu filsafat, ia adalah makhluk yang diberi akal.

Akal menjalankan kehendak nafsu, dan nafsu sebagian dari kebahagiaan. Ah, tentu menyenangkan, bukan sekedar
aktualisasi hidup dalam kehidupan saja, paling tidak ada pemikiran rekontruksi tubuh untuk melepaskan ikatan
ketergantungan terhadap alam

Adakalanya bertindak positif saja disalahkan, apalagi yang negatif, pastinya disana akan terbentur pada aturan yang
meletihkan. Haha, seru juga permainan pemikiran seperti itu. Barangkali tidak begitu rumit, bukankah tangga selamanya
naik?!. Ruang dan waktu merupakan lingkup materi yang dapat dikaji, maka dapat dibuktikan bahwa ini sebagai inti dari
pengetahuan. Cukup seabrak pernyataan dari pertanyaan tentang diri sebenarnya siapa dan untuk apa, kenapa
menjadikan begini dan begitu jawabannya.

Satu jam telah berlalu, perkuliahan disudahi bersamaan dengan matinya aliran listrik, kemas manis perjalanan
mempesona, keindahan memolek ruang dimana muzaik menari nari di ujung tanduk warna. Di seberang sana terlihat
bangunan menjulang tinggi.

Berhilir mudik kendaraan mewah, dari penampakan yang cukup terang. Negeri ini bernafas bunga, taman hijau tumbuh
dari genangan air mata, terkordinasi dalam pamplet birahi. Dulu desas desus tersebar bahwa negeri ini merupakan
negeri yang tumbuh dari kesuburan. Bahkan katanya telah dianugrakan tuhan untuk penduduknya dengan banyaknya
para perempuan yang cantik jelita. Menjadikan taman kota sebagai tempat mahkota suci yang tersentuh oleh
kebiadaban. Akan tetapi, kepercayaan penduduk itu terkuras lewat kemiskinan. Maka negeri itu pun kering keimanan,
miskin keyakinan

Pada suatu ketika, ada seorang lelaki datang membawa berita bahwa ia dapat menyuburkan kembali negeri itu, negeri
yang di diami oleh para penari.

Setelah sekian lama berdiam, lelaki itu bertamasya pada hamparan bukit. Pohon rimbun telah mengajaknya berdansa
dengan malam. Gelap yang terindah, rembulan kadang menghias diri dengan purnama, cahayanya menyeruak ke
seantero alam. kunang kunang bertebaran, sekali menghisap embun yang hinggap pada pori pori daun.

Burung kalilawar berpesta di atas pohon, mencari manisnya buah yang bergelantungan. Pada saat itu, kisah malam pun
mulai dikunandangkan. Pelakon membaca naskah yang dikarang oleh sang waktu, desas desus tak hanya pandai
bercerita. Namun juga Tak ada sebagian yang terlepas untuk diulas. Malam memang dalangnya cerita, dari rangkaian
tangan melukiskan tubuh di atas kanvas yang bertaburan warna tumpah oleh nyanyian sunyi. Desahan nafas tersendat
oleh gejolak birahi, bahkan malaikat pun ambil peran pada saat itu. Dan kau terlelap padanya

Ketika laki laki itu kembali, ia tersadar pada saat itu ada janji. Janji untuk menjemput kekasihnya ke suatu tempat,
kekasih malam dengan polesan purnama di pipinya, bintang itu mengedipkan zona yang tidak tertulis dalam sekenario
alam. Serupa blitz pada kamera kehidupan, hanya satu klik disana menggantung gambar nyata.

Kekasih malam itu kini sudah mengunggu di amperan kosannya, dengan gaun transparan, rambutnya terurai panjang, ia
seakan dibiarkan bergoyang mengikuti desiran angin yang mencuri pandang. Badannya yang tinggi semampai, matanya
yang lentik tidak henti hentinya memandang jalan. Kadang ia merasa lelah terhadap janji itu. Benarkah ia akan datang
malam ini?
Di tangannya masih tergenggam BBnya. Mungkin disana sudah ada pesan keberadaan kekasihnya. Ah, tak ada.
Kemudian menuliskan kalimat pendek “dimana, jadi ga’?” pesan terkirim selang beberapa detik. balasannya pun telah
nangkring di layar alat tempat curahkan segala gejolak jiwanya. “sebentar lagi sampai” ia tersenyum mendatar.

Senyum yang ia ciptakan oleh gelap malam, gelap hati nurani bila setiap kobaran gejolak menguasai pikirannya, hanya
satu dalam diri untuk mengatakan “tidak”, selebihnya alam melepaskan diri, menyerahkan semuanya kepada empunya.
Halnya laut melayarkan perahu, gelombang dan angin menjadi kendali di setiap dermaga.

Gadis itu bernama tasya. Mahasiswa angkatan baru di universitas harapan, ia terlahir dari seorang sederhana. Hidupnya
yang serba terbatas membawa ia pada keyakinan yang berombak, gejolak dan gelombang terlalu deras untuk
mempertahankan hidup. Dimana keyakinan yang ia ketahui dan dipercayai bahwa segala sesuatu berawal dari
kenyataan, kenyataan pada hidupnya memberi ruang bertindak sesuai dengan apa yang kelihatan, bahkan ia sudah
meyakini itu semua

Ada satu mahkota yang blum disentuh dalam jiwanya, setiap ia mengikat kuat untuk tetap tejaga, sesuatu yang
menjadikan semua mata terperangah olehnya. Paras wajahnya yang elok membuat ia berteman dengan warna. Hitam,
putih, merah adalah bagian bentuk raganya. Pada keyakinan itu ada sebait doa yang selalu ia tanam, hari esok
merupakan lembaran yang lepas, hari ini strukturalisme terindah. Seindah kerlip lampu taman kota, negeri penuh para
penari menggoreskan tinta cinta kepada dunia

Disuatu kesempatan, gadis itu diajak teman sekolahnya waktu SMA ke suatu tempat dan di tempat itu ia memulai
kehidupan baru sebagai bunga yang semerbak wanginya yang tidak habis untuk dihisap. Atas dasar kemiskinan ia
melepas aktribut suci yang ia simpan dengan lautan iman. Ah, itu hal yang telah biasa terjadi pada negeri ini. Negerinya
para bidadari yang telah kau suarakan sebagai negeri paling agamis. Ketakwaan pada sang pencipta semesta dan kepada
yang menjadikan malam tempat dimulainya cerita mengesankan. Ceria, lara, bahagia dan juga luka.

Kini negeri itu telah menjadi dongeng yang selalu dibicarakan orang orang, seakan tak ada habis untuk terlewatkan.
tidak dpat mengerti mengapa mereka tiada henti mendongeng. Sepertinya mereka ingin menikmati kedamaiannya.

Ya, Dongeng dimana perempuan sebagai mahkota yang harus dilindungi supaya kesuburan tetap terjaga. Perempuan
yang melantunkan nyanyian surga. Tapi kemerlap bintang mengedipkan warna yang lebih cerah. Menampakkan polesan
merah pada bibir juga betis yang putih mengudang harapan. Hanya harapan yang selalu indah dalam bayangan.
Sehingga terasa sayang bila tidak ikut menanam bunga di taman, menabur harum di setiap sisi tubuh mereka dengan
keringat dingin.

Tasya, gadis bertubuh indah, tinggi putih itu kini telah menyerupai bulan. ia disanjung oleh semua lelaki di kampusnya,
bahkan di kota itu telah jadi pelabuhan asmaranya yang penuh getir. mereka terkulai ke dalam pelukannya yang hangat.
Sebagian jadi tempat curah lelahnya. Ia merasa hidup dengan berlinang api dosa kadang menjadikan seseorang tambah
dewasa.

Pencarian jati diri itu sebenarnya ketika sudah dewasa, adakala kedewasaan adalah mengerti akan kebutuhan yang
otomatis sebagai sarana hidup di dunia. Apakah anda sudah dewasa? Mari dewasakan dengan kebutuhan kita pada hari
ini.

Cerpen Karangan: Ali Makki

Blog: Http://alibagaskara.blogspot.com/

*ALI MAKKI, lahir di batu tanam, sambung makmur, banjar. Kini sebagai mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin, Fak.
Syariah. Gaet bergabung dengan komunitas Pondok Huruf Sastra (PHS) IAIN Antasari Banjarmasin
Sinopsis Novel "Ronggeng Dukuh Paruk" Karya Ahmad Tohari

Srintil adalah gadis Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap
warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan
hidupnya.

Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh
Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan
kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya
sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama kawan-kawan sebayanya (Rasus, Warta, Darsun).

Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh
berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng
Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat.

Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan
selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus
menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan
keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.

Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau
larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah
Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan
Srintil sendirian di Dukuh Paruk.

Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap
perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar
Dawuan, dan kelak dari tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun
yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang.

Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh
Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang
menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.

Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya.
Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat
fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.

Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat
ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang
kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan
kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam
kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng, bahkan senang mengasuh bayi Goder
(anaknya Tampi, seorang tetangga) dengan gaya asuhan seorang ibu kandung.

Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang
akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan
semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak
Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan.
Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada
tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-
mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.

Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun
yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus
mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan
kesulitan ekonomi secara menyeluruh.

Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang
berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di
rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian
ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil
tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari
sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik.

Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang
kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki
Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan
kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta
pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh
Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin.

Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar
setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok
Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat
pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya
tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.

Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam
bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa
sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-
cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda
setiap saat.

Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan
polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru
sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.

Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat
tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya
untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak
mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi.
Akibatnya, Srintil mengumpat kebodohan neneknya dan meratapi nasibnya sebagai perempuan yang terlanjur dikenal
sebagai ronggeng. Untungah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi.

Selepas dari perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi kehendak Pak
Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus
ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun
mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.

Anda mungkin juga menyukai