Anda di halaman 1dari 43

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan
rahmatNya makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah dengan judul
“Patient Safety, etika dan kewenangan bidan serta evidence based dalam asuhan kebidanan
kehamilan.” ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Keselamatan Pasien.

Kami menyadari dalam proses penyusunan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar meningkatkan kualitas penulisan laporan selanjutnya. Untuk itu Kami menyampaikan
rasa terimakasih kepada setiap pihak yang telah membantu Kami dalam menyelesaikan
laporan ini. Akhirnya semoga Tuhan senantiasa memberkati kita semua.

Bandung, 11 Juli 2022

Penyusun
DAFAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan 2

1.2.1. Tujuan Umum 2

1.2.2. Tujuan Khusus 2

BAB II TINJAUAN TEORI 3

2.1. Patient Safety dan Pencegahan Infeksi dalam Asuhan Kehamilan 3

2.1.1. Patient Safety dalam Asuhan Kehamilan 3

2.1.2. Pencegahan Infeksi dalam Asuhan Kehamilan 11

2.2. Etika dan Kewenangan Bidan dalam Asuhan Kehamilan 22

2.2.1 Etika dalam Asuhan Kehamilan 22

2.2.2 Kewenangan Bidan dalam Asuhan Kehamilan 28

2.3. Evidence Based dalam Asuhan Kehamilan dan Kajian Jurnal 38

2.3.1. Evidence Based dalam Asuhan Kehamilan 38

2.3.2. Kajian Jurnal 45

2.3. 3. Contoh Kasus 45

BAB III PENUTUP 58


3.1. Kesimpulan 58

3.2. Saran 59

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Distribusi Tindakan Yang Memerlukan Sarung Tangan. 15

Tabel 2.2 Distribusi Efektifitas Tindakan dalam Pemrosesan Alat Bekas Pakai 20

Tabel 2.3 Skrining Imunisasi TT 44

Tabel 2.4 Interval dan Masa Perlindungan TT 45


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Bidan muncul sebagai wanita terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu melahirkan.
Bidan adalah profesi yang diakui secara nasional maupun internasional oleh sejumlah praktisi diseluruh
dunia. Pengertian bidan dan bidang praktiknya secara internasional telah diakui oleh International
Confederation of Midwife (ICM), Federation International Of Gynaecologist and Obstertrian (FIGO) dan
World Health Organization (WHO) sedangkan secara nasional telah diakui oleh Ikatan Bidan Indonesia
(IBI) sebagai organisasi profesi bidan di Indonesia. Peran bidan dimasyarakat sangat dihargai dan
dihormati karena tugasnya yang sangat mulia, memberi semangat, membesarkan hati dan mendampingi,
serta menolong ibu melahirkan dan merawat bayinya dengan baik.

Praktik kebidanan merupakan suatu praktik penuh risiko. Tindakan diagnostik maupun terapetik
tidak pernah lepas dari kemungkinan cedera, syok hingga meninggal. Selain itu, pada umumnya hasil
suatu pengobatan tidak dapat diramalkan secara pasti. Seorang bidan dikatakan melakukan malpraktik
jika ia melakukan praktik kebidanan sedimikian buruknya, berupa kelalaian besar, kecerobohan yang
nyata atau kesengajaan yang tidak mungkin dilakukan oleh bidan pada umumnya dan bertentangan
dengan undang-undang, sehingga pasien mengalami kerugian.

Untuk itu menjadi bidan yang profesional dan bertanggung jawab harus selalu memperhatikan
sekecil apapun yang berkaitan dengan keselamatan pasien. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.

Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi risiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan
dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi
terjadinya kesalahan medis (medical errors).

WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara
untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit. Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmen
nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya
adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan
memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit
untuk lebih memperhatian keselamatan pasien.

1.2.Tujuan

1.2.1. Tujuan Umum

Untuk menjelaskan mengenai patient safety, etika dan kewenangan bidan serta evidence
based dalam asuhan kebidanan kehamilan.

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Menjelaskan patient safety dan pencegahan infeksi dalam asuhan kehamilan


2. Menerangkan etika dan kewenangan bidan dalam asuhan kehamilan

3. Menunjukan evidence based dalam asuhan kehamilan dan kajian jurnal


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1.Patient Safety dan Pencegahan Infeksi dalam Asuhan Kehamilan

2.1.1. Patient Safety dalam Asuhan Kehamilan

1. Definisi

Menurut Depkes RI 2006 Patient safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem
yang membuat asuhan klien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

2. Tujuan

1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit

2) Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat

3) Menurunkan KTD

4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD

3. Langkah-langkah

Pelaksanaan patient safety meliputi:

1) Sembilan solusi keselamatan pasien di RS (who Collaborating Center for Patient Safety, 2
Mei 2007) yaitu:

a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan miring

b. Pastikan identifikasi pasien

c. Komunikasi secara benar saat serah terima pasien

d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuhbyang benar

e. Kendalikan cairan elektrolit pekat

f. Pastikan akurasi pemberian obat pada penglihatan pelayanan

g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang

h. Gunakan alat injeksi sekali pakai

i. Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nasokomial

2) Tujuh Standar Keselamatan Pasien (Mengacu pada Hospital Patient Safety Standards
yang di keluarkan oleh Join Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois,
USA, 2002) yaitu:

a. Hak pasien
Standarnya adalah Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan KTD (Kejadian
Tidak Diharapkan).

Kriterianya adalah

a) Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan

b) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan
benar kepadapasien dan keluarga tentang rencana dab hasil pelayanan,
pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemuningkan terjadinya KTD

b. Mendidik keluarga pasien

Standarnya adalah Rumah sakit harus mendidik pasien tentang kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.

Kriterianya adalah Keselamatan dalam memberikan pelayanan dapat di tingkatkan


dengan keterlibatan pasien adalah partner dalam proses pelayanan, karena itu di
rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarga pasien
tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan
pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat :

a) Memberikan informasi yang jelas, lengkap dan jujur

b) Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab

c) Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti

d) Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan

e) Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit

f) Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa

g) Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati

c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

a) Standarnya adalah Rumah Koordinasi pelayanan secara menyeluruh

b) Koordinasi pelayanan disesuaikan kebituhan pasien dan kelayakan sumber daya

c) Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi

d) Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan

Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar


tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriterianya adalah penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk


melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien.

Standarnya adalah Rumah sakit mendisign proses baru atau memperbaiki proses
yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
menganalisis secara intensif KTD dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta KTD.

Kriterianya adalah

a) Setiap rumah sakit melakukan rancangan (design) yang baik sesuai dengan “Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”

b) Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja

c) Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif

d) Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data semua data dan informasi
hasil analisis

d. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.

Standarnya adalah

a) Pimpinan dorong dan jamin implementasi program keselamatan pasien melalui “7


Langkah Menuju Keselamatan Pasien di Rumah Sakit”

b) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif dan indentifikasi risiko


keselamatan pasien dan mengurangi KTD

c) Pimpinan dorong dan tumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien

d) Pemimpin mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji


dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta tingkatkan keselamatan pasien

e) Pemimpin mengukur dan mengkaji efektifitas konstribusi dalam meningkatkan


kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien

Kriterianya adalah

a) Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien

b) Terdapat tim program proaktifuntuk identifikasi risiko keselamatan dan


program meminimalkan insden

c) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari


rumah sakit terintegritas dan berpartisipasi

d) Tersedia prosedur “cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhankepada


pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan
penyimpanan informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis

e) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan


insiden

f) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden

g) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelolaan pelayanan
h) Tersedia sumber daya dan sisitem informasi yang dibutuhkan

i) Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria


objektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien

e. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

Standarnya adalah

a) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap
jabatan mencakup keterkaitan jabatan dnegan keselamatan pasien secara jelas

b) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan


untuk meningkatkan dan memelihara kopetensi staf serta mendukung
pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien

Kriterianya adalah

a) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
keselamatan pasien

b) Mengintegrasi topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice dan


memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden

c) Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna


mendukung pendekatan komunikasi dan kolaboratif dalam rangka melayani
pasien

f. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Standarnya adalah

a) Rumah sakit merencanakan dan mendesign proses manajemen informasi


keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan
eksternal

b) Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat

Kriterianya adalah

a) Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesign proses


manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait
dengan keselamatan pasien

b) Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk


merevisi menejemen informasi yang ada

4. Medical Error

Human error (kesalahan manusia) merupakan hal yang Menurut Reason (1997)
mendefinisikan medical error merupakan deviasi atau penyimpangan dari proses perawatan
yang mungkin (atau tidak) dapat menyebabkan kerugian bagi pasien. Pengertian tentang
medical error ini secara eksplisit mencakup domain kunci dari penyebab kekeliruan
(omission, commission, perencanaan dan pelaksanaan).

Definisi tersebut menggambarkan bahwa setiap tindakan yang dilaksanakan tetapi


tidak sesuai dengan rencana atau prosedur sudah dianggap sebagai medical error.

Dampak medical error sangat beragam mulai dari yang ringan dan sifatnya refersible
hingga yang berat berupa kecacatan atau bahkan kematian, sebagian penderita terpaksa
harus dirawat di rumah sakit lebih lama (prolonged hospitalization) yang akhirnya berdampak
pada biaya perawatan yang lebih besar. (Dwiprahasto, 2004)

1) Tipe-Tipe Medical Error

Secara teknis medical error dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

a) Error of omission. Hal yang termasuk dalam error of omission adalah kesalahan
dalam mendiagnosis, keterlambatan dalam penanganan pasien atau tidak
meresepkan obat. Dalam keseharian, daftar error of omission tentu akan sangat
panjang jika diidentifikasi satu persatu. Melakukan apandiktomi tanpa disertai
dengan pemeriksaan patologi anatomi termasuk error of omission yang sering
terjadi.

b) Error of commission. Hal yang termasuk error of commission adalah kesalahan dalam
memutuskan pilihan terapi, memberikan obat yang salah atau obat diberikan melalui
cara pemberian yang keliru. Kebiasaan untuk meresepkan antibiotika pada penyakit-
penyakit ringan (minor ailment) atau memberikan obat per injeksi padahal
pemberian secara oral lebih aman termasuk dalam kategori error of commission.

Berdasarkan proses terjadinya medical error dapat digolongkan sebagai:

(1) Diagnostik, antara lain berupa: kesalahan atau keterlambatan dalam


menegakkan diagnosis, tidak melakukan suatu pemeriksaan padahal ada indikasi
untuk itu, penggunaan uji atau pemeriksaan atau terapi yang sudah tergolong
usang atau tidak dianjurkan lagi.

(2) Treatment, diantaranya adalah kesalahan (error) dalam memberikan obat, dosis
terapi yang keliru, atau melakukan terapi secara tidak tepat (bukan atas
indikasi).

(3) Preventive, dalam kategori ini termasuk tidak memberikan profilaksi untuk
situasi yang memerlukan profilaksi dan pemantauan atau melakukan tindak
lanjut terapis secara tidak adekuat

(4) Lain-lain, misalnya kegagalan dalam komunikasi, alat medik yang digunakan
tidak memadai atau kesalahan akibat kegagalan sistem (system failure).

Penyebab Medical Error

1) Human Error
Paling sering terjadi dalam kasus medical error. Human error dapat terjadi karena
kurang telitinya tenaga medis dalam memberikan pelayanan kesehatan. Selain itu
dapat dikarenakan karena kurang terlatihnya tenaga medis tersebut.

2) Faktor organization

Faktor organization atau instansi kesehatan dapat menjadi penyebab medical error
karena dalam instansi peralatan medis yang digunakan tidak layak pakai atau tidak
steril. Selebihnya medical error dapat terjadi karena aturan-aturan yang ketat dari
instansi yang menjadikan pasien tidak segara mendapatkan pertolongan. Selain itu
keterlambatan mengambil keputusan dari pihak instansi juga dapat menjadi penyebab
medical error.

2.1.2. Pencegahan Infeksi dalam Asuhan Kehamilan

1. Definisi

Pencegahan infeksi adalah bagian esensial dari asuhan lengkap yang diberikan
kepada ibu dan bayi baru lahir dan harus dilaksakan secara rutin pada saat menolong
persalinan dan kelahiran bayi,saat memberikan asuhan dasar selama kunjungan antenatal
atau pasca persalinan/bayi baru lahir atau saat menatalaksana penyulit. Tindakan ini harus
diterapkan dalam setiap aspek asuhan untuk melindungi ibu, bayi baru lahir, keluarga,
penolong persalinan dan tenaga kesehatan lainnya. Juga upaya-upaya menurunkan resiko
terjangkit atau terinfeksi mikroorganisme yang menimbulkan penyakit-penyakit berbahaya
(Wiknjosastro,G, 2008).

2. Prinsip Pencegahan Infeksi

Pencegahan infeksi yang efektif didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:

1) Setiap orang (ibu, bayi baru lahir, penolong persalinan) harus dianggap dapat menularkan
penyakit karena infeksi yang terjadi bersifat asimptomatik (tanpa gejala)

2) Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi

3) Permukaan tempat pemeriksaan, peralatan dan benda-benda lain yang akan dan telah
bersentuhan dengan kulit tak utuh/selaput mukosa atau darah, harus diangap
terkontaminasi sehingga setelah selesai digunakan harus dilakukan proses pencegahan
infeksi secara benar.

4) Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan atau benda lainnya telah diproses
dengan benar, maka semua itu harus dianggap masih terkontaminasi.

5) Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total, tapi dapat dikurangi hingga sekecil
mungkin dengan menerapkan tindakan-tindakan pencegahan infeksi yang benar dan
konsisten. (Wiknjosastro, G, 2008)

3. Penatalaksanaan Pencegahan Infeksi


Ada berbagai praktek pencegahan infeksi yang membantu mencegah
mikroorganisme berpindah dari satu individu ke individu lainnya (ibu, bayi baru lahir, dan
para penolong persalinan) sehingga dapat memutus rantai penyebar infeksi,
penatalaksanaan pencegahan infeksi antara lain sebagai berikut :

1) Cuci tangan

Cuci tangan adalah prosedur yang paling penting dari pencegahan penyebaran infeksi
yang menyebabkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir. Cuci tangan harus
dilakukan :

a. Segera setelah tiba ditempat kerja

b. Sebelum melakukan kontak fisik secara langsung dengan ibu atau bayi baru lahir

c. Setelah kontak fisik langsung dengan ibu atau bayi baru lahir

d. Sebelum memakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril

e. Setelah melepaskan sarung tangan (kontaminasi melalui lubang atau robekan sarung
tangan)

f. Setelah menyentuh benda yang mungkin terkontaminasi oleh darah atau cairan
tubuh lainnya atau setelah menyentuh selaput mukosa (misalnya hidung, mulut,
mata, vagina) meskipun saat itu sedang menggunakan sarung tangan

g. Setelah kekamar mandi

h. Sebelum pulang kerja

Prosedur cuci tangan :

a. Lepaskan perhiasan di tangan dan pergelangan.

b. Basahi tangan dengan air bersih dan mengalir

c. Gosok dengan kuat kedua tangan, gunakan sabun biasa atau yang mengandung anti
mikroba selama 15 sampai 30 detik (pastikan menggosok sela – sela jari). Tangan
yang terlihat kotor harus dicuci lebih lama.

d. Bilas tangan dengan air bersih yang mengalir.

e. Biarkan tangan kering dengan cara diangin – anginkan atau keringkan dengan kertas
tisu yang bersih dan kering atau handuk pribadi yang bersih dan kering.

f. Bila menggunakan sabun padat (misalnya sabun batangan), gunakan dalam


potongan-potongan kecil dan tempatkan sabun dalam wadah yang berlubang-lubang
untuk mencegah air menggenangi sabun tersebut.

g. Jangan mencuci tangan dengan jalan mencelupkannya ke dalam wadah berisi air
meskipun air tersebut sudah ditambah larutan antiseptik. Mikroorganisme dapat
bertahan hidup dan berkembang biak dalam larutan tersebut.

h. Bila tidak tersedia air mengalir :


(1) Gunakan ember tertutup dengan keran yang bisa ditutup pada saat mencuci
tangan dan dibuka kembali jika akan membilas.

(2) Gunakan botol yang sudah diberi lubang agar air bisa mengalir.

(3) Minta orang lain menyiramkan air ke tangan.

(4) Gunakan pencuci tangan yang mengandung anti mikroba berbahan dasar
alkohol (campurkan 100 mL 60-90% alcohol dengan 2 mL gliserin. Gunakan
kurang lebih 2 mL dan gosok kedua tangan hingga kering, ulangi tiga kali).

i. Keringkan tangan anda dengan handuk bersih dan kering. Jangan menggunakan
handuk yang juga digunakan oleh orang lain. Handuk basah/ lembab adalah tempat
yang baik untuk mikroorganisme berkembang biak.

j. Bila tidak ada saluran air untuk membuang air yang sudah digunakan, kumpulkan air
di baskom dan buang ke saluran limbah atau jamban dikamar mandi. (Wiknjosastro,
G, 2008).

2) Memakai sarung tangan dan perlengkapan pelindung lainnya

Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah (kulit tak utuh,
selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya) atau peralatan, sarung tangan atau
sampah yang terkontaminasi. Jika sarung tangan diperlukan, ganti sarung tangan untuk
menangani setiap ibu atau bayi baru lahir setelah terjadi kontak langsung untuk
menghindari kontaminasi silang atau gunakan sarung tangan yang berbeda untuk situasi
yang berbeda pula.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian sarung tangan:

a. Gunakan sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi untuk prosedur apapun
yang akan mengakibatkan kontak dengan jaringan dibawah kulit seperti persalinan,
penjahitan vagina atau pengambilan darah

b. Gunakan sarung tangan periksa yang bersih untuk menangani darah atau cairan
tubuh

c. Gunakan sarung tangan rumah tangga atau tebal untuk mencuci peralatan,
menangani sampah, juga membersihkan darah atau cairan tubuh.

Sarung tangan sekali pakai lebih dianjurkan, tapi jika sarananya sangat terbatas,
sarung tangan bisa digunakan berulang kali jika dilakukan dekontaminasi, cuci dan bilas,
desinfeksi tingkat tinggi atau sterilisasi. Jika sarung tangan sekali pakai digunakan
berulang kali, jangan diproses lebih dari tiga kali karena mungkin telah terjadi robekan /
lubang yang tidak terlihat atau sarung tangan dapat robek pada saat sedang digunakan.

Tabel 2.1 Distribusi Tindakan yang Memerlukan Sarung Tangan

Prosedur/Tindakan Sarung Sarung Sarug


Tanga Tangan Tangan
n DTT Steril
Memeriksa Tidak Tidak Tidak
tekanan darah
atau suhu,
menyuntik.

Mengambil contoh Ya Ya Tidak


darah/pemasangan
IV

Memegang dan Ya Ya Tidak


membersihkan
peralatan yang
terkontaminasi

Memegang Ya Tidak Tidak


sampah yang
terkontaminasi

Membersihkan Ya Tidak Tidak


cairan darah atau
cairan tubuh

3) Menggunakan teknik asepsis dan aseptik

Teknik aseptik meliputi beberapa aspek :

a. Penggunaan perlengkapan pelindung pribadi. Perlengkapan pelindung pribadi


mencegah petugas terpapar mikroorganisme penyebab infeksi dengan cara
menghalangi atau membatasi (kaca mata pelindung, masker wajah, sepatu boot atau
sepatu tertutup, celemek) petugas dari cairan tubuh, darah atau cedera selama
melaksanakan prosedur klinik. Masker wajah dan celemek plastik sederhana dapat
dibuat sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia di masing-masing
daerah jika alat atau perlengkapan sekali pakai tidak tersedia.

b. Antisepsis. Antisepsis adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah infeksi


dengan cara membunuh atau mengurangi mikroorganisme pada jaringan tubuh atau
kulit. Karena kulit dan selaput mukosa tidak dapat disterilkan maka penggunaan
antiseptik akan sangat mengurangi jumlah mikroorganisme yang akan
mengkontaminasi luka terbuka dan menyebabkan infeksi. Cuci tangan secara teratur
diantara kontak dengan setiap ibu atau bayi baru lahir, juga membantu untuk
menghilangkan sebagian besar mikroorganisme pada kulit.

c. Menjaga tingkat sterilitas atau disinfeksi tingkat tinggi

(1) Gunakan kain steril

(2) Berhati-hati jika membuka bungkusan atau memindahkan bendabenda ke


daerah yang steril/ disinfeksi tingkat tinggi
(3) Hanya benda-benda steril disinfeksi tingkat tinggi atau petugas dengan atribut
yang sesuai yang diperkenankan untuk memasuki daerah steril/ disinfeksi
tingkat tinggi

(4) Anggap benda apapun basah, terpotong atau robek sebagai benda yang
terkontaminasi

(5) Tempatkan daerah steril/disinfeksi tingkat tinggi jauh dari pintu atau jendela

(6) Cegah orang-orang yang tidak memakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi
atau steril menyentuh peralatan yang ada di daerah steril

4) Memproses alat bekas pakai

Pemprosesan peralatan (terbuat dari logam, plastik, dan karet) serta benda–benda
lainnya dengan upaya pencegahan infeksi, direkomendasikan untuk melalui tiga langkah
pokok yaitu :

a. Dekontaminasi. Dekontaminasi adalah langkah pertama yang penting dalam


menangani peralatan, perlengkapan, sarung tangan, dan benda – benda lainnya yang
terkontaminasi. Untuk perlindungan lebih jauh, pakai sarung tangan karet yang tebal
atau sarung tangan rumah tangga dari lateks, jika menangani peralatan yang sudah
digunakan atau kotor. Segera setelah digunakan, masukkan benda-benda yang
terkontaminasi ke dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Daya kerja larutan
klorin akan cepat mengalami penurunan sehingga harus diganti paling sedikit setiap
24 jam, atau lebih cepat jika terlihat telah kotor atau keruh.

b. Pencucian dan pembilasan. Pencucian adalah cara paling efektif mikroorganisme


pada peralatan/perlengkapan yang kotor atau sudah digunakan. Baik sterilisasi
maupun disinfeksi tingkat tinggi menjadi kurang efektif tanpa proses pencucian
sebelumnya jika benda-benda yang terkontaminasi tidak dapat dicuci segera setelah
dikontaminasi, bilas peralatan dengan air untuk mencegah korosi dan menghilangkan
bahan-bahan organik, lalu cuci tangan dengan seksama secepat mungkin.
Perlengkapan / bahan – bahan untuk mencuci peralatan :

(1) Sarung tangan karet yang tebal atau sarung tangan rumah tangga dari lateks.

(2) Sikat halus (boleh menggunakan sikat gigi).

(3) Tabung suntik (minimal ukuran 10 ml, untuk membilas bagian dalam kateter,
termasuk kateter penghisap lendir).

(4) Wadah plastik atau baja antikarat (stainless steel).

(5) Air bersih

(6) Sabun atau deterjen.

Tahap – tahap pencucian dan pembilasan :

a) Pakai sarung tangan karet yang tebal pada kedua tangan.

b) Ambil peralatan bekas pakai yang sudah didekontaminasi.


c) Agar tidak merusak benda – benda yang terbuat dari plastic atau karet, jangan
dicuci segera bersamaan dengan peralatan yang terbuat dari logam.

d) Cuci setiap benda tajam secara terpisah dan hati – hati :

(1). Gunakan sikat dengan air dan sabun untuk menghilangkan sisa darah dan
kotoran.

(2). Buka engsel gunting dan klem.

(3). Sikat dengan seksama terutama di bagian sambungan dan pojok peralatan.

(4). Pastikan tidak ada sisa darah dan kotoran yang tertinggal pada peralatan.

(5). Cuci setiap benda sedikitnya tiga kali (atau lebih jika perlu) dengan air dan
sabun atau deterjen.

(6). Bilas benda – benda tersebut dengan air bersih.

e) Ulangi prosedur tersebut pada benda – benda lain.

f) Jika peralatan akan didesinfeksi tingkat tinggi secara kimiawi tempatkan


peralatan dalam wadah yang bersih dan biarkan kering sebelum memulai proses
DTT.

g) Peralatan yang akan didesinfeksi tingkat tinggi dengan cara dikukus atau
direbus, atau disterilisasi di dalam otoklaf atau oven panas kering, tidak usah
dikeringkan sebelum proses DTT atau sterilisasi dimulai.

h) Selagi masih memakai sarung tangan, cuci sarung tangan dengan air dan sabun
dan kemudian bilas secara seksama dengan menggunakan air bersih.

i) Gantungkan sarung tangan dan biarkan kering dengan cara diangin–anginkan.


Untuk mencuci kateter (termasuk kateter penghisap lendir), lakukan tahap-
tahap berikut ini :

i. Pakai sarung tangan karet yang tebal atau sarung tangan rumah tangga dari
lateks pada kedua tangan.

ii. Lepaskan penutup wadah penampung lendir (untuk kateter penghisap


lendir).

iii. Gunakan tabung suntik besar untuk mencuci bagian dalam kateter sedikitnya
tiga kali (atau lebih jika perlu) dengan air dan sabun atau deterjen.

iv. Bilas kateter menggunakan tabung suntik dan air bersih.

v. Letakkan kateter dalam wadah yang bersih dan biarkan kering sebelum
dilakukan proses DTT.

c. Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) dan Sterilisasi. Disinfeksi adalah tindakan yang
dilakukan untuk menghilangkan hampir semua mikroorganisme penyebab penyakit
pada bendabenda mati / instrumen. Disinfeksi Tingkat Tinggi adalah tindakan yang
dilakukan untuk menghilangkan semua mikroorganisme kecuali endospora bakteri
dengan cara merebus atau secara kimiawi. Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan
untuk menghilangkan semua mikroorganisme (Bakteri, jamur, parasit dan virus)
termasuk endospora bakteri pada benda-benda mati atau instrumen. (Wiknjosastro,
G, 2008).

5) Menangani peralatan tajam dengan aman

Luka tusuk benda tajam (misalnya jarum) merupakan salah satu alur utama
infeksi HIV dan Hepatitis B di antara para penolong persalinan. Oleh karena itu,
perhatikan pedoman sebagai berikut;

(1) Letakkan benda-benda tajam diatas baki steril atau disinfeksi tingkat tinggi atau
dengan menggunakan “daerah aman” yang sudah ditentukan (daerah khusus untuk
meletakkan dan mengambil peralatan tajam).

(2) Hati- hati saat melakukan penjahitan agar terhindar dari luka tusuk secara tidak
sengaja.

(3) Jangan menutup kembali, melengkungkan, mematahkan atau melepaskan jarum


yang akan dibuang.

(4) Buang benda-benda tajam dalam wadah tahan bocor dan segel dengan perekat jika
sudah dua pertiga penuh.Jangan memindahkan bendabenda tajam tersebut ke
wadah lain. Wadah benda tajam yang sudah disegel tadi harus dibakar didalam
insinerator.

(5) Jika benda-benda tajam tidak bisa dibuang secara aman dengan cara insinerasi,bilas
tiga kali dengan larutan klorin 0,5% (dekontaminasi), tutup kembali menggunakan
teknik satu tangan dan kemudian kuburkan.

6) Mengelola sampah medik, menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan.

Sampah terdiri dari yang terkontaminasi dan tidak terkontaminasi. Sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai maka penelitian ini difokuskan kepada sampah terkontaminasi
(darah, nanah, urin, kotoran manusia, dan bendabenda yang tercemar oleh cairan tubuh)
yang berpotensi untuk menginfeksi siapapun yang melakukan kontak atau menangani
sampah tersebut, termasuk anggota masyarakat. Pengelolaan sampah terkontaminasi
meliputi :

(1) Setelah selesai melakukan suatu tindakan dan sebelum melepaskan sarung tangan,
letakkan sampah terkontaminasi (kasa, gulungan kapas, perban, dan lain – lain) ke
dalam tempat sampah kedap air / kantong plastik sebelum dibuang.

(2) Hindarkan terjadinya kontak sampah terkontaminasi dengan permukaan luar


kantong.

(3) Pembuangan benda – benda tajam yang terkontaminasi dengan menempatkannya


dalam wadah tahan bocor (misalnya botol air mineral dari plastik atau botol infus),
kotak karton yang tebal atau wadah yang terbuat dari logam.
(4) Singkirkan sampah terkontaminasi dengan cara dibakar. Jika hal ini tidak
memungkinkan, kubur bersama wadahnya.

(5) Bersihkan percikan darah dengan larutan klorin 0,5% kemudian seka dengan kain
atau pel.

(6) Bungkus atau tutupi linen bersih dan simpan dalam kereta dorong atau lemari
tertutup untuk mencegah kontaminasi debu.

(7) Bersihkan tempat tidur, meja, dan troli dengan kain yang dibasahi klorin 0,5% dan
deterjen.

(8) Seka celemek dengan klorin 0,5%.

(9) Bersihkan lantai dengan lap kering, jangan disapu. Seka lantai dengan campuran
klorin 0,5% dan deterjen.

(10) Gunakan sarung tangan karet tebal atau sarung tangan rumah tangga dari lateks.

(11) Bersihkan dinding, gorden, dan tirai sesering mungkin untuk mencegah terkumpulnya
debu. Bila terpecik darah segera bersihkan dengan klorin 0,5%. (Wiknjosastro, G,
2008)

2.2. Etika dan Kewenangan Bidan dalam Asuhan Kehamilan

2.2.1 Etika dalam Asuhan Kehamilan

1. Definisi Etika

Etika dalah ilmu yang mempelajari baik buruknya suatu tingkah laku. Etika adalah
pengetahuan mengenai moralitas, menilai baik buruknya perbuatan ditinjau dari segi
moral. Legal/Hukum adalah himpunan petunjuk atas kaidah/norma yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat agar msyarakat bisa teratur.

Etika dalam pelayanan kebidanan merupakan issu utama diberbagai tempat. Hal
tersebut membutuhkan bidan yang mampu menyatu dengan ibu dan keluarga. Bidan
harus berpartisipasi dalam memberikan pelayanan kepada ibu sejak konseling,
prakonsepsi, skreming antenatal, layanan intrapartum, perawatan intensive pada
neonatal dan pengakhiran kehamilan.

2. Fungsi Etika dan Moralitas

1) Memenuhi hak-hak pasien

2) Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya bidan dan klien

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi
daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal
dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau
undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur
sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga
sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan
hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan
dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan
bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-
sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

3) Melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan merugikan/membahayakan


orang lain

bidan diatur dalam etika memberikan asuhan pelayanan sesuai standar asuhan
dan dalam melakukan asuhan telah di atur dalam standar dan menerapka etika dalam
asuhannya.

4) Mejaga privasi setiap individu

Dalam melaksanakan pelayanannya bidan memang wajib melakukan


pengakuan menjaga privasi pasien yang berdasarkan perturan y ang di tetapkan
dalam standar.

5) Bersikap adil dan bijaksana

Bidan di tuntut bukan hanya pemberi pelayanan kesehatan melainkan


memberikan asuhan dan pendidikan, contonya seperti konseling baik itu pada orang
dewasa mau pun anak-anak untuk meberikan pendidikan yang sesuai etika.

6) Sebagai acuan dalam berperilaku sesuai norma

7) Memberikan informasi yang benar

8) Melakukan tindakan yang benar

9) Menjadi acuan dalam pemasalahan masalah etik.

10) Berperilaku sesuai dengan etika dan kode etik profesi

11) Mengatur tatacara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara
di dalam organisasi profesi.

3. Hak dan Kewajiban Klien

Hak Klien :

Setiap klien berhak memperoleh:

1) Informasi

2) Akses kesehatan

3) Memilih pelayanan kesehatan

4) Keamanan

5) Privasi

6) Kerahasiaan
7) Dihormati

8) Mengemukakan pendapat

9) Mendapat kenyamanan

10) Pelayanan berkelanjutan (UU Kesehatan no. 36 tahun 2009)

Hak Reproduksi :

1) Hak informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi

2) Hak pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi

3) Hak kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi

4) Hak menentukan jumlah anak dan jarak kehamilan

5) Hak untuk hidup (hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses
melahirkan)

6) Hak kebebasan dan keamana berkaitan dengan kesehatan reproduksi

7) Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari
pemerkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual

8) Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait
dengan kesehatan reproduksi

9) Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya

10) Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan system reproduksi

11) Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan
kehidupan reproduksi

Memperhatikan hak-hak tersebut diatas, maka bidan juga dituntut memberikan


informasi dengan jelas, konseling dan pendidikan kesehatan. Bidan dalam memberikan
pelayanan harus memperhatikan keselamatan pasien (Patient safety), pelayanan prima
(Sevice Excelent) dan hak-hak klien. Pelayanan kebidanan harus memperhatikan Evidence
Based Medicine (EBM) yaitu keterpaduan antara bukti ilmiah yang berasal dari studi yang
dipercaya (Best research evidence) dan keahlian klinik (Clinical Expertise) serta nilai-nilai
yang ada pada masyarakat untuk menemukan, menelaah, mereview dan memanfaatkan
hasil-hasil studi yang digunakan sebagai pengambil keputusan. (Modul Midwifery Update
2016)

Kewajiban Klien :

1) Klien dan keluarganya wajib mentaati peraturan dan tata tertib rumah sakit atau
institusi pelayanan kesehatan

2) Klien berkewajiban untuk memenuhi segala instruksi dokter, bidan dan perawat yang
merawatnya
3) Klien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa
pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan dan perawat.

4) Klien dan atau penanggunggnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang


disepakati/dibuatnya.

4. Hak dan Kewajiban Bidan

Hak Bidan

1) Bidan berhak mendapatakan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai


dengan profesinya.

2) Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat jenjang
pelayanan kesehatan

3) Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang bertentangan dengan
peraturan perundang-udangan dan kode etik profesi.

4) Bidan berhak atas privasi/kediian dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik
oleh pasien, keluarga maupun profesi lain

5) Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan
maupun pelatihan

6) Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenjan karir dan jabatan yang sesuai.

7) Bidan berhak mendapakan kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.

Kewajiban Bidan:

1) Bidan wajib mentaati peraturan sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut
dengan rumah sakit, rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan dimana dia bekerja

2) Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidana yang sesuai dengan standar
profesi dengan menghormati hak-hak pasien.

3) Bidan wajib menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien

4) Bidan wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang
dilakukan

5) Bidan wajib meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan (Permenkes
290/2008)

6) Bidan wajib membuat dan memelihara rekam medis (Permenkes 269/2008).

Hak dan Kewajiban bidan dalam permenkes no. 28 Tahun 2017 adalah sebagai berikut :

Pasal 28

Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan berkewajiban untuk:

a. menghormati hak pasien;


b. memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan;

c. merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat
waktu;

d. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;

e. menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;

f. melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya yang diberikan secara
sistematis;

g. mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional;

h. melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan Praktik Kebidanan termasuk


pelaporan kelahiran dan kematian;

i. pemberian surat rujukan dan surat keterangan kelahiran; dan

j. meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang
tugasnya.

Pasal 29

Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan memiliki hak:

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan pelayanannya sesuai


dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional;

b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya;

c. melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan; dan

d. menerima imbalan jasa profesi.

2.2.2 Kewenangan Bidan dalam Asuhan Kehamilan

1. Permenkes No. 63 tahun 1989

Wewenang bidan dibagi menjadi dua yaitu wewenang umum dan khusus
ditetapkan bila bidan elaksanakan tindakan khusus dibawah pengawasan dokter.
Pelaksanaan dari permenkes ini, bidan melaksanakan praktik perorangan dibawah
pengawasan dokter.

2. Kepmenkes No. 369/Menkes/SK/III/2007 Tentang standar profesi bidan

1) Kompetensi ke 1, Pengetahuan dan keterampilan dasar.

Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan keterampilan dari ilmu-ilmu sosial,


kesehatan masyarakat dan etik yang membentuk dasar dari asuhan yang bermutu
tinggi sesuai dengan budaya, untuk wanita, bayi baru lahir dan keluarganya.

2) Kompetensi yang ke 2, pra konsepsi, KB dan ginekologi


Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, pendidikan kesehatan yang tanggap
terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh dimasyarakat dalam rangka untuk
meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan kesiapan
menjadi orangtua.

3) Kompetensi ke 3, asuhan dan konseling kehamilan

Bidan memberikan asuhan antenatal bermutu tinggi untuk mengoptimalkan


kesehatan selama kehamilan yang meliputi: deteksi dini, pengobatan atau rujukan
dari komplikasi tertentu.

4) Kompetensi ke 4, asuhan selama persalinan dan kelahiran bidan memberikan asuhan


yang bermutu tinggi, tanggapan terhadap kebudayaan setempat selama persalianan,
memimpin selama persalinan yang bersih dan aman, menangani situasi
kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayi yang
baru lahir.

5) Kompentensi ke 5, Asuhan pada ibu nifas dan menyusui

Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui yang bermutu tinggi dan
tanggap terhadap budaya setempat.

6) Kompetensi ke 6, Asuhan pada bayi baru

Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi barulahir
sehat sampai dengan 1 bulan.

7) Kompetesi ke 7, Asuhan pada bayi dan balita

Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita
sehat (1bulan-5tahun).

8) Kompetensi ke 8, Kebidanan komunitas

Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan komperhensif pada keluarga,
kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat.

9) Kompetensi ke 9, Asuhan pada ibu/wanita dengan gangguan reproduksi

Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu/wanita dengan gangguan sistem


reproduksi.

3. Permenkes no. HK 02/Menkes/149/2010

Tentang layanan izin dan penyelenggaraan praktik bidan

Menurut revisi dari kepmenkes 900. Terdiri dari VII Bab, 24 Pasal yaitu :

Bab I ketentuan (pasal 1)

Bab II perizinan (pasal 2-7)

Bab III Penyelenggaraa Praktik (pasal 8-19)

Bab IV pembinaan dan pengawasan (pasal 20-21)


Bab V Ketentuan Peralihan (pasal 22)

Bab VI Ketentuan penutup (pasal 23-24)

Permenkes 149 lebih singkat dari pada Kepmenkes 900. Isinya terdapat banyak
pengurangan dan beberapa penambahan aturan tentang pelaksanaan praktik bidan.

Alur untuk registrasi dan pelaporan bidan dibuat lebih sederhana (BAB II, III, IV Kemenkes
900).

Kewewennangan praktik bidan dalam pelayanan reproduksi wanita ditiadakan


dan diganti dengan pelayanan keluarga berencana. (permenkes 149: BAB III pasal 8:
kepmenkes 900: BAB IV Pasal 14)

Pelayanan kebidanan yang diberikan bukan pelayanan kebidanan ibu dan anak,
tetapi cukup ibu dan bayi baru lahir usia 28 hari. Pelayanan kebidanan pada ibu yang
dimakasud hanyalah kehamilan, persalianan, nifas, dan masa menyusui normal. Bidan
tidak berwewenang untuk melakukan intervensi apapun terhadap penyulit kehamilan,
persalinan dan nifas (suntikan penyulit kehamilan, persalian, nifas, plasenta,
manual,amniotomi, infus, penyuntikkan antibiotik dan sadativa, versi ekstraksi ditiadakan.
Pengobatan yang diperbolehkan bukan obat terbebas tetapi obat terbebas). Pelayan masa
pra pernikanan,prhamil dan masa interval dilakukan pengurang. (pemenkes 149: Bab III :
Kepmenkes 900: bab v)

Bidan sudah lagi berwewenang dalam memberikan pelayan KB suntikan,


kontrasepsi bawah kulit dan bawah rahim secara praktik mandiri, melainkan harus dengan
supervisi dokter dirumah sakit dalam rangka menjalankan tugas pemerintah. Bidan hanya
berwewenang mandiri terhadap kontrasepsi pil, kondom dan konseling KB. (kepmenkes
900: Pasal 19; Permenkes 149: pasal 12).

Pasal 8

Bidan menjalankan praktik berwewenang untuk memberikan pelayanan meliputi:

a) Pelayanan kebidanan

b) Pelayanan reproduksi perempuan dan

c) Pelayanan kesehatan masyarakat

Pasal 9

1. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada


ibu dan bayi.

2. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada
masa kehamilan, masa persalianan, masa nifas dan masa menyusui.

3. Pelayanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi baru
lahir normal sampai usia 28 hari

Pasal 10
1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dala pasal 9 ayat (2)
meliputi:

a. Penyuluhan dan konseling

b. Pemerikasaan fisik

c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

d. Pertolongan persalinan normal

e. Pelayanan ibu nifas normal

2. Pelayanan kebidanan kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (30)
meliputi:

a. Pemeriksaan bayi barulahir

b. Perawatan tali pusat

c. Perawatan bayi

d. Resusitasi pada bayi baru lahir

e. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah

f. Pemberian penyuluhan

4. Pemenkes No 1464/Menkes/per/X/2010

1. Pasal 9

Bidan dalam menyelenggarakan praktik berwewenang untuk memberikan pelayanan


yang meliputi :

a. Pelayanan kesehatan ibu

b. Pelayanan kesehatan anak

c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dalam keluarga berencana

2. Pasal 10

a. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a diberikan


pada masa prahamil , kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui, dan
masa antara kehamilan.

b. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi:

1. Pelayanan konseling pada masa prahamil

2. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

3. Pelayanan persalinan normal

4. Pelayanan ibu nifas normal

5. Pelayanan ibu menyusui


6. Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan

c. Bidan dalam memberikan pelayanan sebgaimana dimaksudkan pada ayat (2)


berwewenang untuk:

1. Episiotomi

2. Penjahitan luka jalan lahir tingkat 1 dan 2

3. Penanganan kegawatdaruratan, dilajutkan dengan perujukan

4. Pemberian tablet FE

5. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas

6. Fasilitas/bimbingan insiasi menyusui dini dan promosi ASI eksklusif

7. Pemberian uterotonika pada menejemen aktif kala III dan post partum

8. Penyuluhan dan konseling

9. Bimbingan pada kelompok ibu hamil

10. Pemberian surat keterangan kematian

11. Pemberian surat keterangan cuti bersalin

3. Pasal 11

a. Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada pasal 9 huruf b diberikan


kepada BBL, bayi, anak balita, dan anak prasekolah

b. Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada


ayat 1 berwewenang untuk:

1. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termaksuk resusitasi, pencegahan


hipotermi, insiasi menyusu dini, ijeksi vitamin K1, perawatan bayi baru lahir
pada masa neonatal (0-28 hari) dan perawatan tali pusat.

2. Penangan hipotermi pada bayi barulahir dan segera merujuk

3. Penangan kegawat daruratan dilanjutkan dengan perujukan.

4. Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah

5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak prasekolah.

6. Pemberian konseling dan penyuluhan

7. Pemberian surat keterangan kelahiran.

8. Pemberian surat kematian

4. Pasal 12

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan


keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c berwenang untuk :

a. Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan KB.


b. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom.

5. Permenkes No. 28 Tahun 2017 tentang izin penyelenggaraan praktik bidan

Pasal 18

Dalam penyelenggaraan Praktik Kebidanan, Bidan memiliki kewenangan untuk


memberikan:

a. pelayanan kesehatan ibu;

b. pelayanan kesehatan anak; dan

c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.

Pasal 19

(1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a diberikan
pada masa sebelum hamil, masa hamil, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui,
dan masa antara dua kehamilan.

(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan:

a. konseling pada masa sebelum hamil;

b. antenatal pada kehamilan normal;

c. persalinan normal;

d. ibu nifas normal;

e. ibu menyusui; dan

f. konseling pada masa antara dua kehamilan.

(3) Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Bidan berwenang melakukan:

a. episiotomi;

b. pertolongan persalinan normal;

c. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;

d. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;

e. pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil;

f. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;

g. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif;

h. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;

i. penyuluhan dan konseling;

j. bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan

k. pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran.


Pasal 22

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Bidan memiliki


kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan:

a. penugasan dari pemerintah sesuai kebutuhan; dan/atau

b. pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan kesehatan secara mandat dari


dokter.

Pasal 23

(1) Kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan penugasan dari pemerintah sesuai


kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, terdiri atas:

a. kewenangan berdasarkan program pemerintah; dan

b. kewenangan karena tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat
Bidan bertugas.

(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Bidan setelah
mendapatkan pelatihan.

(3) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah bersama organisasi profesi terkait berdasarkan modul
dan kurikulum yang terstandarisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(4) Bidan yang telah mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak
memperoleh sertifikat pelatihan.

(5) Bidan yang diberi kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapatkan penetapan dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota

Pasal 24

(1) Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Bidan ditempat kerjanya, akibat kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus sesuai dengan kompetensi yang
diperolehnya selama pelatihan.

(2) Untuk menjamin kepatuhan terhadap penerapan kompetensi yang diperoleh Bidan
selama pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas kesehatan
kabupaten/kota harus melakukan evaluasi pascapelatihan di tempat kerja Bidan.

(3) Evaluasi pascapelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama
6 (enam) bulan setelah pelatihan.

Pasal 25

(1) Kewenangan berdasarkan program pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23


ayat (1) huruf a, meliputi:

a. pemberian pelayanan alat kontrasepsi dalam rahim dan alat kontrasepsi bawah kulit;
b. asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit tertentu;

c. penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai dengan pedoman yang ditetapkan:

d. pemberian imunisasi rutin dan tambahan sesuai program pemerintah;

e. melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak,
anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan;

f. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah;

g. melaksanakan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi


Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya;

h. pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA)


melalui informasi dan edukasi; dan

i. melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas;

(2) Kebutuhan dan penyediaan obat, vaksin, dan/atau kebutuhan logistik lainnya dalam
pelaksanaan Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Kewenangan karena tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat Bidan
bertugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal
telah tersedia tenaga kesehatan lain dengan kompetensi dan kewenangan yang sesuai.

(2) Keadaan tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat Bidan bertugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota setempat.

Pasal 27

(1) Pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan kesehatan secara mandat dari
dokter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b diberikan secara tertulis oleh
dokter pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama tempat Bidan bekerja.

(2) Tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diberikan dalam keadaan di mana terdapat kebutuhan pelayanan yang melebihi
ketersediaan dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama tersebut.

(3) Pelimpahan tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan:

a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kompetensi yang telah dimiliki oleh
Bidan penerima pelimpahan;

b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan dokter pemberi


pelimpahan;

c. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk mengambil keputusan klinis sebagai dasar
pelaksanaan tindakan; dan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat terus menerus.

(4) Tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung
jawab dokter pemberi mandat, sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan
pelimpahan yang diberikan.

2.3. Evidence Based dalam Asuhan Kehamilan dan Kajian Jurnal

2.3.1. Evidence Based dalam Asuhan Kehamilan

1. Pelayanan Antenatal Terintegrasi

Pelayanan kesehatan pada ibu hamil tidak dapat dipisahkan dari pelayanan
persalinan, pelayanan nifas dan pelayanan kesehatan bayi baru lahir. Kualitas pelayanan
antenatal yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnya, ibu
berslain dan bayi baru lahir serta ibu nifas untuk mewujudkan generasi yang berkualitas.

Dalam pelayanan antenatal terintegrasi, tenaga kesehatan harus dapat


memastikan bahwa kehamilan berlangsung normal, mampu mendeteksi dini msalah dan
penyakit yang dialami ibu hamil, melakukan intervensi secara adekuat sehingga ibu hamil
siap untuk menjalani persalinan normal.

Setiap kehamilan dalam perkembangannya mempunyai risiko mengalami penyulit


atau komplikasi. Oleh karena itu, pelayanan antenatal harus dilakukan minimal empat kali
sesuai dengan standar dan terintegrasi untuk pelayanan antenatal yang berkualitas.

Pelayanan antenatal terintegrasi merupakan pelayanan kesehatan komprehensif


dan berkualitas yang dilakukan melalui:

(1) Pemberian pelayanan dan konseling kesehatan termasuk stimulasi dan gizi agar
kehamilan berlangsung sehat dan janinnya lahir sehat dan cerdas.

a. Pola makan ibu selama hamil yang meliputi jumlah, frekuensi, kualitas asupan
makanan terkait dengan kandungan gizinya.

b. Inisiasi menyusu dini dan asi eksklusif selama 6 bulan

c. Perawatan tali pusat

d. Penggunaaan alat kontrasepsi

e. Status imunisasi ibu hamil

f. Jumlah tablet tambah darah (tablet Fe) yang dikonsumsi ibu hamil.

g. Obat-obatan yang dikonsumsi seperti antihipertensi, diuretika, antivormitus,


antipiretika, antibiotika, obat TB dan sebagainya.

h. Di daerah endemis malaria, tanyakan gejala malaria dan riwayat penggunaan obat
malaria

i. Di daerah resiko tiggi IMS, tanyakan gejala IMS dan riwayat penyakit pada
pasangannya. Informasi ini penting untuk langkah penanggulangan penyakit
menular seksual.
(2) Mendeteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan

a. Muntah berlebihan. Rasa mual dan muntah bisa muncul pada kehamilan muda
terutama pada pagi hari namun kondisi ini biasanya hilang setelah kehamilan berumur
3 bulan. Keadaan ini tidak perlu dikhawatirlkan, kecuali kalau memang cukup berat
sehingga tidak dapat makan dan berat badan menurun terus.

b. Pusing. Pusing biasa muncul pada kehamilan muda. Apabila pusing mengganggu
aktivitas sehari-hari perlu diwaspadai.

c. Sakit kepala. Sakit kepala yang hebat atau yang menetap timbul pada ibu hamil
mungkin dapat membahayakan kesehatan ibu dan janin.

d. Perdarahan. Perdarahan waktu hamil, walaupun hanya sedikit sudah termasuk tanda
bahaya sehingga ibu hamil harus waspada.

e. Sakit perut hebat. Nyeri perut hebat dapat membahayakan kesehatan ibu dan bayinya.

f. Demam. Demam tinggi lebih dari 2 hari atau keluarnya cairan berlebihan dari jalan
lahir dan kadang-kadang berbau merupakan tanda bahaya pada kehamilan

g. Batuk lama. Batuk lama lebih dari 2 minggu perlu ada pemeriksaan lanjut dan dapat
dicurigai ibu hamil menderita TB.

h. Berdebar-debar. Jantung berdebar-debar pada ibu hamil merupakan salah satu


masalah pada kehamilan yang harus diwaspadai.

i. Cepat lelah. Dalam dua atau tiga bulan pertama kehamilan, biasanya timbul rasa lelah,
mengantuk yang berlebihan dan pusing, yang biasanya terjadi pada sore hari.
Kemungkinan ibu mengalami kurang darah (Anemia)

j. Sesak nafas atau sukar nafas. Pada akhir bulan ke delapan ibu hamil sering merasa
sedikit sesak karena bayi menekan paru-paru ibu. Namun apabila hal ini terjadi
berlebihan maka perlu diwaspadai.

k. Keputihan yang berbau. Keputihan yang berbau merupakan tanda bahaya pada ibu
hamil.

l. Gerakan janin. Gerakan bayi mulai dirasakan ibu pada kehamilan akhir bulan keempat.
Apabila gerakan janin belum muncul pada usia kehamilan ini, gerakan janin berkurang
atau tidak ada gerakan pada janin ibu hamil harus waspada.

m. Perilaku berubah selama hamil seperti gaduh, gelisah, menarik diri, bicara sendiri,
tidak mandi dsb. Selama kehamilan ibu bisa mengalami perubahan perilaku yang
disebabkan karena perubahan hormonal. Pada kondisi yang mengganggu kesehatan
ibu dan janinnya maka akan dikonsuktasikan kepada psikiater.

n. Riwayat kekerasan terhadap perempuan (KtP) selama kehamilan. Informasi mengenai


kekerasan terhadap perempuan terutama ibu hamil seringkali sulit untuk digali.
Korban kekerasan selalu mau berterus terang pada kunjungan pertama, yang mungkin
disebabkan oleh rasa takut atau belum mampu mengemukakan masalahnya kepada
orang lain termasuk petugas kesehatan. Dalam hal ini, petugas kesehatan diharapkan
dapat mengenali korban dan memberikan dukungan agar mau membuka diri.

(3) Persiapan persalinan yang aman

Menanyakan kesiapan menghadapi persalinan dan menyikapi kemungkinan


terjadinya komplikasi dalam kehamilan, antara lain:

a. Siapakah yang akan menolong persalinan?

b. Dimana akan bersalin?

c. Siapakah yang mendampingi ibu selama bersalin?

d. Jelaskan tanda-tanda persalinan dan tanda-tanda bahaya persalinan.

e. Apakah sudah disiapkan biaya untuk persalinan?

Suami diharapkan dapat menyiapkan dana untuk persiapan ibu. Biaya persalinan
ini dapat berupa TABULIN atau DASOLIN yang dapat dipergunakan untuk membantu
pembiayaan mulai antenatal, persalinan dan kegwatdaruratan.

(4) Perencanaan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi
penyulit/komplikasi

a. Deteksi dini masalah : ibu hamil, suami dan keluarga mengenal tanda-tanda bahaya.

b. Pengambilan keputusan dalam keluarga siapa yang sangat berperan untuk


mengantisipasi dan persiapan dini dalam melakukan tindakan rujukan jika terjadi
komplikasi/penyulit.

c. Siapa yang akan menjadi pendonor darah apabila terjadi pendarahan? Suami, keluarga
dan masyarakat menyiapkan calon donor darah minimal 3 orang yang sewaktu-waktu
dapat menyumbangkan darahnya untuk keselamatan ibu melahirkan.

d. Transportasi apa yang akan digunakan jika suatu saat harus dirujuk? Alat transportasi
bisa berasal dari masyarakat sesuai dengan kesepakatan bersama yang dapat
dipergunakan untuk mengantar calon ibu bersalin ke tempat persalinan termasuk
tempat rujukan, alat transportasi tersebut dapat berupa mobil,mojek, becak, sepeda,
tandu, perahu, dsb.

(5) Penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila diperlukan

(6) Melibatkan ibu hamil, suami dan keluarga dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil,
menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/komplikasi.

2. Program Integrasi Pelayanan ANC

1) Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE)

Pada kunjungan pertama ANC, dilakukan skrining status imunisasi TT pada ibu
hamil, apabila diperlukan, diberikan imunisasi pada saat pelayanan Antenatal. Tujuan :

a. Untuk mencegah Terjadinya Tetanus pada bayi baru lahir


b. Melengkapi status imunisasi TT

Tabel 2.3 Skrining Imunisasi TT

Riwayat Imunisas Status


Imunisasi i yang Imunisasi
Ibu Hamil didapat

Imunisasi DPT-HB TT1 dan TT2


dasar 1, DPT-
Lengkap HB 2,
DPT-HB
3

Anak
sekolah
dasar kelas
1 SD DT T3

Kelas 2 SD TD T4

Kelas 3 SD TD T5

Calon TT Jika ada status


pengantin, T diatas yang
Masa tidak terpenuhi
hamil lanjutkan
dengan urutan
T yang belum
terpenuhi,
dengan
memperhatikan
interval
pemberian

Tabel 2.4 Interval dan Masa Perlindungan TT

Imunisas Pemberian Selang watu Masa


i Imunisasi pemberian Minimal perlindungan

TT WUS T1 - -

T2 4 minggu 3 tahun
setelah T1

T3 6 bulan 5 tahun
setelah T2

T4 1 tahun 10 tahun
setelah T3

T5 1 tahun 25 tahun
setelah T4

2) Antisipasi Defisiensi Gizi dalam Kehamilan (Anemia dan KEK)

a. Pencegahan dan penatalaksanaan Anemia pada kehamilan

(1) Skrining anemi melalui pemeriksaan HB darah pada ANC K1

(2) Pemberian tablet Fe minimal 90 tablet selama kehamilan.

b. Kekurangan Energi Kronis (KEK) pada kehamilan

(1) Pengukuran LILA pada ANC K1 untuk menemukan adanya bumil KEK

(2) Pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil KEK

3) Pencegahan Malaria dalam Kehamilan (PMDK)

Untuk daerah endemis malaria, pada kunjungan 1 ANC semua ibu hamil dilakukan:

a. Pemberian kelambu berinsektisida

b. Skrining darah malaria (RDT/Mikroskopis)

c. Pemberian terapi pada ibu hamil positif malaria

4) Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke bayi (PPIA)

Berdasarkan surat edaran menteri kesehatan no. GK/MENKES/001/I/2013


tentang layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA), maka disepakati 4
prong dalam program PPIA :

a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

b. Mencegah Kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV

c. Mencegah terjadinya penularan HIV pada ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya

d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV
beserta bayi dan keluarga

Pada daerah epidemic meluas dan terkonsentrasi: Tes HIV dan sifilis dilakukan
untuk semua ibu hamil besamaan dengan perutinann lainnya pada layanan antenatal
terpadu, disetiap kunjungan mulai dari K1 hingga menjelang persalinan. Sedangkan pada
daerah epidemic rendah : tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan indikasi
adanya perilaku beresiko, keluhan gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TBC),
bersama pemeriksaan rutin lainnya pda layanan antenatal terpadu, disetiap kunjungan
mulai K1 hingga menjelang persalinan.

5) Pencegahan pengobatan IMS/ISK dalam Kehamilan


a. Skrining IMS-Sifilis/ISK bagi ibu hami pada tiap kunjungan ANC melalui anamnesa
terarah yang dapat dilanjutka dengan pemeriksaan fisik dan penunjang (bila sarana
tersedia dan bila dianjurkan)

b. Terapi pada ibu hamil dan bayi yang positit IMS-Sifilis/ISK.

6) Eliminasi sifilis kongenital (ESK/CSE)

7) Penatalaksanaan TB dalam kehamilan

8) Pelayanan Kesehatan Jiwa pada Ibu hamil

(Modul Midwifery Update 2016)

2.3.2. Kajian Jurnal


1. Frequency of HIV status disclosure, associated factors and outcomes among HIV positive pregnant
women at Mbarara Regional Referral Hospital, southwestern Uganda (Frekuensi pengungkapan status
HIV, faktor terkait dan hasil luaran wanita hamil yang positif HIV di Rumah Sakit Rujukan Regional
Mbarara, Uganda)
Penulis : Joseph Ngonzi, Godfrey Mugyenyi, Mukasa Kivunike, Julius Mugisha, Wasswa Salongo,
Sezalio Masembe, Ronald Mayanja, Francis Bajunirwe.
Sumber : Pan African Medical Journal melalui Pubmed. Diunduh tanggal 1 Oktober 2019.
Publikasi : 24 April 2019
Hasil :
Pengungkapan hasil HIV positif memainkan peran penting dalam keberhasilan pencegahan dan
perawatan pasien yang terinfeksi HIV. Pengungkapan ini memberikan manfaat sosial dan kesehatan
yang signifikan bagi individu dan masyarakat. Tidak adanya pengungkapan adalah salah satu faktor
kontekstual yang mendorong epidemi HIV di Uganda. Tujuan penelitian: untuk menentukan frekuensi
pengungkapan HIV, faktor terkait dan hasil pengungkapan di antara wanita hamil yang HIV positif di
Rumah Sakit Mbarara, Uganda barat daya. Metode: Penelitian cross-sectional dengan menggunakan
metode kuantitatif dan kualitatif di antara kelompok wanita hamil yang HIV-positif yang menghadiri
klinik antenatal telah dilakukan dan pengambilan sampel secara berurutan dilakukan. Hasil: Total
rekrutmen peserta adalah 103, di mana 88 (85,4%) telah mengungkapkan status mereka dengan 57%
pengungkapan kepada mitra mereka. Sekitar 80% telah mengungkapkan dalam waktu kurang dari 2
bulan pengujian HIV positif. Alasan pengungkapan termasuk pasangan mereka yang telah
mengungkapkan kepada mereka (27,3%), mitra perawatan (27,3%) dan dorongan oleh petugas
kesehatan (25,0%). Setelah pengungkapan, (74%) merasa terhibur dan 6,8% dilecehkan secara verbal.
Alasan untuk tidak diungkapkan adalah takut ditinggalkan (33,3%), dipukuli (33,3%) dan kehilangan
dukungan finansial dan emosional (13,3%). Faktor-faktor yang terkait dengan pengungkapan adalah
usia 26-35 tahun (OR 3,9, 95% CI 1,03-15,16), pendidikan dasar (OR 3,53, 95% CI 1,10-11,307) dan
tempat tinggal kota (OR 4,22, 95% CI 1,27-14,01) . Kesimpulan: Peserta diungkapkan terutama
kepada pasangan mereka dan dihibur dan banyak dari mereka didorong oleh petugas kesehatan. Ada
kebutuhan untuk mengoptimalkan manfaat pengungkapan untuk memungkinkan peningkatan
partisipasi dalam program pengobatan dan dukungan.
2. Determinants of intermittent preventive treatment of malaria among women attending antenatal clinics
in primary health care centers in Ogbomoso, Oyo State, Nigeria (Faktor-faktor pengobatan preventif
intermiten malaria pada wanita di klinik antenatal di pusat perawatan kesehatan primer Ogbomoso,
Oyo State, Nigeria)
Penulis : Adefisoye Oluwaseun Adewole, Olufunmilayo Fawole, Ike Oluwapo Ajayi, Bidemi Yusuf,
Abisola Oladimeji, Endie Waziri, Patrick Nguku, Olufemi Ajumobi.
Sumber : Pan African Medical Journal melalui Pubmed diakses tanggal 1 Oktober 2019.
Publikasi : 11 Juni 2019
Hasil :
Meskipun efektivitas pengobatan preventif intermiten pada kehamilan menggunakan sulphadoxine-
pyrimethamine (IPTp-SP), penyerapan dan cakupan di barat daya Nigeria rendah, jurnal ini meneliti
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan IPTp-SP. Metode: teknik multistage
sampling digunakan untuk memilih 400 wanita hamil dari enam pusat kesehatan primer di Negara
Bagian Oyo. Data karakteristik sosial-demografis, pengetahuan, sikap terhadap IPTp-SP dan
pemanfaatannya diperoleh dengan menggunakan kuesioner semi-terstruktur. Data dianalisis
menggunakan perangkat lunak SPSS. Focus Group Discusssion (FGD) dan wawancara informan
diadakan untuk wanita hamil dan petugas kesehatan dan dianalisis secara tematis. Hasil: usia rata-rata
responden adalah 27,2 (SD ± 5,5) tahun. Usia kehamilan rata-rata adalah 29,5 minggu (SD ± 5,4).
Secara keseluruhan, 320 (80,0%) menggunakan SP, di mana 152 (47,5%) mengambil 2 dosis dan 112
(35,0%) menggunakan terapi yang diamati secara langsung (DOT). Kami menemukan bahwa
pemesanan awal untuk ANC, lebih dari dua kunjungan ke ANC (rasio odds yang disesuaikan (aOR) =
5,6; 95% CI: 1,2 - 26,6), pengetahuan yang baik tentang IPTp (aOR = 9,3; 95% CI: 5,4 - 16,0) , sikap
positif terhadap IPTp (aOR = 2.1; 95% CI: 1.5 - 2.9) dan dipekerjakan (aOR = 1.4; 95% CI: 1.1 - 1.7)
adalah faktor yang terkait dengan pemanfaatan IPTp-SP. FGD dan KII mengungkapkan bahwa obat
IPTp-SP sebagian besar diambil di rumah karena kehabisan persediaan. Kesimpulan: keterlambatan
pemesanan ANC dengan stok obat IPTpSP bertanggung jawab atas pemanfaatannya yang rendah. Ada
kebutuhan untuk mendorong wanita hamil untuk memesan lebih awal untuk ANC. Ketaatan terhadap
praktik skema DOT direkomendasikan untuk meningkatkan pemanfaatan IPTp-SP.
3. Presentation for care and antenatal management of HIV in the UK, 2009-2014 (Presentasi perawatan
dan manajemen antenatal HIV di Inggris, 2009-2014)
Penulis : CE French, C Thorne, L Byrne, M Cortina-Borja and PA Tookey
Sumber : Pubmed diakses tanggal 1 Oktober 2019.
Publikasi : 17 Maret 2016
Hasil :
Tingkat penularan HIV yang sangat rendah di Inggris secara keseluruhan, tingkatnya lebih tinggi di
antara perempuan yang memulai terapi antenatal antiretroviral (ART) terlambat. Kami menyelidiki
waktu elemen kunci perawatan ibu hamil yang HIV-positif [pemesanan perawatan antenatal, penilaian
laboratorium HIV (jumlah CD4 dan viral load HIV) dan inisiasi antenatal ART], untuk menilai apakah
praktik klinis berubah sesuai dengan rekomendasi, dan untuk menyelidiki faktor-faktor yang terkait
dengan keterlambatan perawatan. Metode Kami menggunakan Studi Nasional HIV Inggris dalam
Kehamilan dan Masa Kecil untuk tahun 2009-2014. Data dianalisis dengan menggunakan regresi
logistik dan model bahaya proporsional Cox. Hasil Total 5693 kelahiran dilaporkan; 79,5% pada
wanita didiagnosis dengan HIV sebelum kehamilan itu. Kehamilan rata-rata pada pemesanan antenatal
adalah 12,1 minggu [rentang interkuartil (IQR) 10,0-15,6 minggu] dan pemesanan secara signifikan
lebih awal selama 2012-2014 vs 2009-2011 (P <0,001), meskipun hanya pada wanita yang sebelumnya
didiagnosis. Secara keseluruhan, 42,2% kehamilan terlambat dipesan (≥ 13 minggu kehamilan). Di
antara wanita yang belum menggunakan pengobatan, ART antenatal dimulai pada median 21,4
(IQR18.1-24,4) minggu dan mulai secara signifikan lebih awal dalam periode waktu terbaru (P
<0,001). Dibandingkan dengan wanita yang sebelumnya didiagnosis, mereka yang baru didiagnosis
selama kehamilan saat ini dipesan kemudian untuk perawatan antenatal dan mulai ART antenatal
kemudian (keduanya P <0,001). Analisis multivariabel mengungkapkan variasi demografis dalam
akses atau pengambilan perawatan, dengan kelompok-kelompok termasuk migran dan wanita parous
yang memulai perawatan nanti. Kesimpulan Meskipun wanita mengakses perawatan antenatal dan
HIV di awal kehamilan, beberapa tetap menghadapi hambatan untuk inisiasi perawatan antenatal dan
ART secara tepat waktu.
4. Pemberian Jus Bayam dan Tomat Untuk Meningkatkan Hemoglobin Pada Ibu Hamil dengan Anemia
di PMB Syafrida S.ST Kretek Rowokele Kebumen
Penulis : Lintang Oktaviana, Eti Sulastri
Sumber : Jurnal Universitas Muhammadiyah Gombong
Publikasi : Juni, 2018
Hasil :
Anemia adalah suatu keadaan kekurangan jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari 11
gr/dL. Masih tingginya anemia pada ibu hamil di Indonesia sebesar 37,1%. Anemia sering disebabkan
oleh kurangnya kandungan zat besi dalam makanan, penyerapan zat besi dari makanan yang sangat
rendah, adanya zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi. Upayaupaya pemerintah dalam
melakukan program penanggulangan anemia pada ibu hamil yaitu dengan program memberikan 90
tablet Fe selama periode kehamilan. Selain itu terdapat inovasi untuk mempercepat peningkatan kadar
hemoglobin yaitu dengan cara pemberian jus bayam dan tomat. Metode : Menggunakan metode
deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sampel yang diambil yaitu 5 responden ibu hamil
dengan anemia melalui pengkajian menggunakan wawancara dan observasi pada ibu hamil dengan
anemia. Hasil : Setelah diberikan jus bayam dan tomat, adanya peningkatan kadar hemoglobin pada
semua partisipan dengan rata-rata 2 gr/dL
5. Pemberian Lemon Inhalasi Aromaterapy Untuk Mengurangi Mual Muntah Pada Kehamilan Trimester
I di BPM Istianatul Kabupaten Kebumen
Penulis : Melinda Susanti, Juni Sofiana, S. ST., M.Keb
Sumber : Jurnal Universitas Muhammadiyah Gombong
Publikasi : Agustus, 2017
Hasil :
Latar belakang: Kasus mual muntah di Indonesia terdapat 50-90% kasus yang dialami oleh ibu hamil.
Masalah ini dapat menimbulkan efek yang negatif bagi ibu hamil seperti dehidrasi, ketidak
seimbangan elektrolit, hipertensi vena dan perdarahan, rupture esofageal, dan lebih jauh lagi mereka
akan mengalami dehidrasi berat. Oleh sebab itu diperlukan penangan yang tepat untuk mengatasi
masalah tersebut. Cara penangan yang tepat tanpa menimbulkan efek samping yaitu dengan cara non
farmakologi, misalnya lemon inhalasi aromaterapi. Metode: Jenis penelitian ini adalah deskriftif
analitik dengan pendekatan studi kasus. Dalam hal ini penulis menggambarkan fakta-fakta dari
pengkajian yang didapatkan dari wawancara dan observasi langsung. Hasil: Setelah deberikan lemon
inhalasi aromaterapi, terjadi penurunan frekuensi mual muntah pada ketiga partisipan, yaitu 4 kali
menjadi 2 kali (partisipan 1 dan 2), 5 kali menjadi 3 kali (parisipan 3). Kesimpulan: Pemeberian
Lemon inhalasi aromaterapi dapat menurunkan frekuensi mual muntah pada ibu hamil trimester 1 di
bpm istianatul.
6. The Effect Of Nurse Empowerment Educational Program On Patient Safety Culture: A Randomized
Controlled Trial (Efek pemberdayaan program pendidikan perawat tentang budaya keselamatan
pasien: uji coba terkontrol secara acak)
Penulis : Maryam Amiri, Zahra Khademian and Reza Nikandish
Sumber : BMC Medical Education
Publikasi: 2 Maret 2016
Hasil :
Pada kelompok eksperimen, skor rata-rata post-test total budaya keselamatan pasien (3,46 ± 0,26)
adalah secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok kontrol (2,84 ± 0,37, P <0,001). Itu juga lebih
tinggi dari pretest (2,91 ± 0,4, P <0,001). Selain itu, peningkatan yang signifikan diamati pada 5 dari
12 dimensi di kelompok eksperimen. Namun, dimensi seperti respons non-hukuman untuk kesalahan
dan peristiwa yang dilaporkan terjadi tidak membaik secara signifikan. Memberdayakan perawat dan
supervisor dapat meningkatkan budaya keselamatan pasien secara keseluruhan. Meskipun begitu,
tindakan tambahan diperlukan untuk meningkatkan bidang-bidang seperti melaporkan peristiwa dan
tanggapan non-hukuman untuk kesalahan.
7. The Long Way Ahead To Achieve An Effective Patient Safety Culture: Challenges Perceived By
Nurses (Pandangan masa depan untuk mencapai yang efektif budaya keselamatan pasien: tantangan
yang dirasakan oleh perawat)
Penulis : Jamileh Farokhzadian, Nahid Dehghan Nayeri and Fariba Borhani
Sumber : BMC Medica Education
Publikasi: 2018
Hasil :
Analisis data mencerminkan tema utama penelitian ini, Tema ini mencakup empat kategori: 1)
infrastruktur organisasi yang tidak memadai, 2) efektivitas kepemimpinan yang tidak memadai, 3)
upaya yang tidak memadai untuk mengimbangi standar nasional dan internasional, dan 4) menaungi
nilai-nilai tim partisipasi. Walaupun strategi praktis untuk menciptakan budaya keselamatan mungkin
tampak sederhana, implementasinya tidak tentu mudah. Ada beberapa tantangan ke depan untuk
menumbuhkan budaya keselamatan yang efektif dan positif di organisasi kesehatan. Untuk
mengimbangi standar internasional, manajer layanan kesehatan harus mempekerjakan yang modern
metode manajemen untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pelembagaan budaya keselamatan
dan untuk membuat perbedaan dalam sistem perawatan kesehatan.
8. Safety Work And Risk Management As Burdens Of Treatment In Primary Care: Insights From A
Focused Ethnographic Study Of Patients With Multimorbidity (keselamatan kera dan manajemen
risiko sebagai beban pengobatan dalam perawatan primer: wawasan dari studi etnografi terfokus
pasien dengan multimorbiditas)
Penulis : Gavin Daker-White, Rebecca Hays, Thomas Blakeman, Sarah Croke, Benjamin Brown,
Aneez Esmail and Peter Bower.
Sumber : BMC Family Practice
Publikasi: 2018
Hasil :
Dua puluh enam pasien direkrut. Peristiwa yang dapat menyebabkan kerusakan ditemukan di semua
area kerangka kerja berdasarkan literatur yang diterbitkan. Konsultasi "Under" dan "over" sebagai
prekursor kegagalan keselamatan muncul melalui analisis tematik bahan observasi dan wawancara.
Temuan lain menyangkut beban kerja (untuk dokter dan pasien) dan keterbatasan waktu konsultasi
singkat. Ada perbedaan dalam data kesehatan yang dikumpulkan secara langsung dari pasien versus
yang ditemukan di EHRs. Contohnya termasuk referensi untuk riwayat stroke dan diagnosa untuk
CKD dan hipertensi. Analisis studi kasus mengungkapkan masalah spesifik yang muncul secara
kontekstual untuk masalah keselamatan, sebagian besar seputar manajemen polifarmasi dan kepatuhan
minum obat. Keharusan klinis muncul di sekitar manajemen risiko, tetapi temuan penelitian
menunjukkan potensi konflik dengan harapan pasien sekitar investigasi, diagnosis dan perawatan.
keselamatan pasien melibatkan beban lebih lanjut di atas beban kerja yang ada untuk kedua dokter dan
pasien. Dalam konseptualisasi ini, pekerjaan keselamatan tampaknya membentuk bagian dari umpan
balik negatif dengan keselamatan pasien diri. Garis argumen yang diambil dari triangulasi temuan dari
berbagai sumber, menunjuk pada ketegangan antara keinginan obat yang sedikit mengganggu versus
risiko keselamatan yang mungkin terkait dengan 'under' atau Konsultasi 'over'. Multimorbiditas
bertindak sebagai pembesar ketegangan dalam pemberian layanan kesehatan dan perawatan berkualitas
dalam praktik umum. Lebih banyak perhatian harus diberikan pada desain sistem daripada perilaku
pasien atau professional.

9. The German Version Of The Highperformance Work Systems Questionnaire (HPWS-G) In The
Context Of Patient Safety: A Validation Study In A Swiss University Hospital (Versi Jerman dari
kuesioner sistem kerja berkinerja tinggi (HPWS-G) dalam konteks keselamatan pasien: a studi validasi
di rumah sakit universitas Swiss)
Penulis : Juliane Mielke, Sabina De Geest, Sonja Beckmann, Lynn Leppla, Xhyljeta Luta, Raphaelle-
Ashley Guerbaai, Sabina Hunziker and René Schwendimann
Sumber : BMC Health service Research
Publikasi: 2019
Hasil :
Sebanyak 281 kuesioner selesai (tingkat respons: 35,9%). Secara keseluruhan, 10-item HPWS-G
kuesioner menunjukkan validitas konten yang baik (I-CVI = 0,83-1; S-CVI = 0,86) dan konsistensi
internal (Cronbach's α = .853). Skor HPWS-G berkorelasi signifikan dengan iklim keselamatan (rs
= .657, p <.01) dan iklim kerja tim (rs = .615, p <.01). Model 1-faktor yang diusulkan diterima dengan
mempertimbangkan hasil dari peringkat minimum yang diterapkan analisis faktor; analisis faktor
konfirmasi menunjukkan kesesuaian model yang dapat diterima dan baik (GFI = .968; CFI = .902;
RMSEA=.043) HPWS-G menunjukkan sifat psikometrik yang baik. Dalam praktek klinis dapat
digunakan untuk menilai Praktik HPWS dan untuk pembandingan dalam dan antar rumah sakit.
Beberapa adaptasi kecil terhadap kata-kata bisa dibuat serta menilai kembali sifat psikometrik di situs
klinis lainnya.
10. Effect Of Prenatal Yoga On Anxiety, Blood Pressure, And Fetal Heart Rate In Primigravida Mothers
(Pengaruh Program Yoga Terhadap Kecemasan, Tekanan Darah, dan Tingkat Jantung Fetal pada Ibu
Primigravida)
Penulis : Hamdiah, Ari Suwondo, Triana Sri Hardjanti, Ariawan Soejoenoes, M Choiroel Anwar
Sumber : Belitung Nursing Journal
Publikasi: 18 Februari 2017
Hasil :
Ada perbedaan yang signifikan secara statistik yoga prenatal pada kecemasan (P = 0,005), tekanan
darah sistolik (P = 0,045), dan denyut jantung janin (P = 0,010). Namun, tidak ada perbedaan yang
signifikan dari yoga prenatal pada tekanan darah diastolik dengan p-value 0,586 (> 0,05). Ada efek
signifikan yoga prenatal pada tingkat kecemasan, tekanan darah sistolik, dan detak jantung janin pada
ibu primigravida. Temuan penelitian ini dapat menjadi pengobatan alternatif bagi bidan untuk
mengatasi kecemasan selama kehamilan, dan masukan pada program kelas ibu hamil untuk
meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan janin.

2.3.3. Contoh Kasus Patient Safety

Kasus seorang ibu nifas saat bersalin mengalami luka robek di vaginanya sampai hampir ke
anus, sehingga tidak bisa buang air. ibu nifas tersebut harus buang air besar melalui organ
kewanitaannya, hal ini disebabkan kelalaian bidan praktek mandiri yang menangani
persalinannya.

Ibu nifas Bernama Y, melahirkan anak pertamanya di PMB D 1 bulan yang lalu. Berat lahir
bayi Ny Y adalah 4100 gram dengan Panjang badan 52 cm.

Bidan yang menangani persalinan Ny. Y di duga ceroboh berani menjahit luka robek vagina
ibu bersalin, derajat 3-4, sehingga mengakibatkan Ny. Merasa kesakitan dan terkadang keluar
feces melalui vaginanya saat buang air besar.

Saat menjalani proses persalinan Ny. Y dibantu oleh rekan bidan lainnya di PMB D.

Terkait kasus ini bidan PMB D saat ini belum memberikan keterangan resmi. Namun Kepala
Dinas Kesehatan Kota Bandung tengah menangani kasus ini. Jika terbukti terjadi malpraktek,
Dinas Kesehatan berjanji akan menjatuhkan sanksi terhadap petugas persalinan tersebut,
sesuai ketentuan yang berlaku.

Pada kasus diatas seorang bidan yang menangani pasien namun tidak mementingkan
keselamatan pasien atau patient safety. Berdasarkan teknisnya kasus tersebut termasuk tipe
dari medical error yaitu error of pmission. Medical error dalam kasus tersebut disebabkan
oleh human error yaitu kelalaian bidan dalam pengontrolan postpartum. Sedangkan menurut
proses terjadinya, kasus tersebut termasuk ke dalam tipe preventive karena bidan
seharusnya melakukan pemantauan kepada ibu postpartum.

Pada kasus tersebut bidan seharusnya mengetahui tentang keadaan pasien dan wewenang
bidan di PMB hanya boleh melakukan penjahitan perineum derajat 1 dan 2 saja. seharusnya
bidan melakukan rujukan ke RS sehingga bisa menghindari hal yang tidak diinginkan seperti
kasus diatas. Kemudian kesalahan bidan dalam kasus tersebut adalah tidak mengontrol
keadaan pasien setelah melahirkan. Pengontrolan pasien setelah melahirkan dimulai 2 jam
setelah postpartum untuk mengetahui kondisi ibu termasuk luka robek atau luka
episiotominya sehingga bidan dapat mengetahui lebih dini tentang gejala yang timbul.

Pada kasus tersebut dapat dilihat sisi positifnya, bidan ingin membantu persalinan ibu
tersebut dengan begitu ibu tetap merasa nyaman dan tidak usah berdarah-darah dirujuk ke
Rumah Sakit. Sedangkan sisi negatifnya, bidan tersebut melakukan tugas di luar wewenang
sehingga terjadi kesalahan.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Patient safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan klien di
rumah sakit menjadi lebih aman. Pencegahan infeksi adalah bagian esensial dari asuhan
lengkap yang diberikan kepada ibu dan bayi baru lahir dan harus dilaksakan secara rutin
pada saat menolong persalinan dan kelahiran bayi,saat memberikan asuhan dasar selama
kunjungan antenatal atau pasca persalinan/bayi baru lahir atau saat menatalaksana
penyulit.

2. Etika dalam pelayanan kebidanan merupakan issu utama diberbagai tempat. Hal tersebut
membutuhkan bidan yang mampu menyatu dengan ibu dan keluarga. Bidan harus
berpartisipasi dalam memberikan pelayanan kepada ibu sejak konseling, prakonsepsi,
skreming antenatal, layanan intrapartum, perawatan intensive pada neonatal dan
pengakhiran kehamilan. Bidan dalam menyelenggarakan praktik berwewenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi : Pelayanan kesehatan ibu, Pelayanan kesehatan
anak, Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dalam keluarga berencana.

3. Evidence based dalam asuhan kehamilan diantaranya adalah pelayanan antenatal


terintegrasi dengan berbagai program disesuaikan dengan kebutuhan ibu hamil. Ada
banyak kajian jurnal mengenai Asuhan Kehamilan terbaru, salah satunya adalah factor-
faktor yang mempengaruhi pengungkapan HIV, Pengobatan malaria pada ibu hamil,
presentasi kejadian HIV di UK, pemberian jus bayam tomat untuk meningkatkan HB pada
ibu hamil serta pemberian inhalasi lemon untuk mengurangi mual muntah.

3.2. Saran

Diharapkan mahasiswa kebidanan dapat dan mau mengkaji lebih banyak jurnal mengenai
asuhan kebidanan terbaru, baik jurnal berbahasa Indonesia maupun jurnal dengan sumber Negara
lain, agar bisa diaplikasikan dan memberikan pelayanan asuhan kehamilan yang lebih baik sesuai
dengan kebutuhan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Adewole, dkk. 2019. Determinants of intermittent preventive treatment of malaria among women
attending antenatal clinics in primary health care centers in Ogbomoso, Oyo State, Nigeria. Pan African
Medical Journal. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6713488/pdf/PAMJ-33-101.pdf.
Diunduh Tanggal 1 Oktober 2019.

Aiken, L. H., Walter, S., Den, H. K. Van, M, S. D., Reinhard, B., Martin, M., Strømseng, I. 2012. Patient
safety, satisfaction, and quality of hospital care: cross sectional surveys of nurses and patients in 12
countries in Europe and the United States. BMJ, 1717(March), 1–14. https://doi.org/10.1136/bmj.e1717\

Amiri, Maryam dkk. 2016. The Effect Of Nurse Empowerment Educational Program On Patient Safety
Culture: A Randomized Controlled Trial. BMC Medical Education.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6029022/pdf/12909_2018_Article_1255.pdf Diakses
pada 9 Oktober 2019

Brown, J. K. 2016. Relationship between Patient Safety Culture and Safety Outcome Measures among
Nurses. ProQuest Dissertations Publishing, 1–80.

CE French, dkk. 2019. Presentation for care and antenatal management of HIV in the UK, 2009-2014.
Jurnal Pubmed. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5298001/pdf/HIV-18-161.pdf Diunduh
Tanggal 1 Oktober 2019

Dapertemen Kesehatan. 2006. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety).
Jakarta: Depkes RI

Dwiprahasto, I. 2004. Medical Error di Rumah Sakit dan Upaya Meminimalkan Risiko. JMPK Vol.
07/No.01/Maret/2004.

Gavin, dkk. 2018. Safety Work And Risk Management As Burdens Of Treatment In Primary Care: Insights
From A Focused Ethnographic Study Of Patients With Multimorbidity. BMC Family Practice.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6128995/pdf/12875_2018_Article_844.pdf diakses pada
9 Oktober 2019

Hadi, Dadi Anwar. dkk. 2005.Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Hamidah, dkk. 2017. Effect Of Prenatal Yoga On Anxiety, Blood Pressure, And Fetal Heart Rate In
Primigravida Mothers. Belitung Nursing Jurnal. http://belitungraya.org/BRP/index.php/bnj/ Diakses Pada
1 Oktober 2019.

Jamileh, dkk. 2018. The Long Way Ahead To Achieve An Effective Patient Safety Culture: Challenges
Perceived By Nurses. BMC Medical Education.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6106875/pdf/12913_2018_Article_3467.pdf diakses
pada 9 Oktober 2019

Kemenkes Republik Indoneasia. 2008. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.

Latiff, A., Yunus, M., Din, C., Ma’on, N. 2013. Patient Satisfaction and Service Quality with Access to
1Malaysia Clinic. Scientific & Academic Publishing. https://doi.org/10.5923/j.mm.20130302.01.
Mielke, dkk. 2019. The German Version Of The Highperformance Work Systems Questionnaire (HPWS-G)
In The Context Of Patient Safety: A Validation Study In A Swiss University Hospital. BMC Health Service
Research. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6555712/pdf/12913_2019_Article_4189.pdf
diakses pada 9 Oktober 2019

Ngonzi, Jhosep dkk. 2019. Frequency of HIV status disclosure, associated factors and outcomes among
HIV positive pregnant women at Mbarara Regional Referral Hospital, southwestern Uganda. Pan African
Medical Journal. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6620078/pdf/PAMJ-32-200.pdf.
Diakses Tanggal 1 Oktober 2019.

Oktaviana, Lintang. 2018. Pemberian Jus Bayam dan Tomat Untuk Meningkatkan Hemoglobin Pada Ibu
Hamil dengan Anemia di PMB Syafrida S.ST Kretek Rowokele Kebumen. Jurnal Universitas Muhammadiyah
Gombong. http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/934/1/LINTANG%20OKTAVIANA%20NIM.
%20B1501289.pdf Diakses tanggal 1 Oktober 2019.

Pengurus Daerah Ikatan Bidan Indonesia. 2016. Modul Midwifery Update.

PMK RI. Peraturan menteri kesehatan RI nomor 11 tahun 2017 tentang keselamatan pasien 2017. Jakarta,
Indonesia.

Susanti, Melinda. 2017. Pemberian Lemon Inhalasi Aromaterapy Untuk Mengurangi Mual Muntah Pada
Kehamilan Trimester I di BPM Istianatul Kabupaten Kebumen. Jurnal Universitas Muhammadiyah
Gombong. http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/433/1/MELINDA%20SUSANTI%20NIM.%20B1401182.pdf
diakses tanggal 1 Oktober 2019

WHO. 2013. Patients for patient safety partnerships for safer health care (2nd ed.). Geneva

Wiknjosastro. 2008. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Cetakan 1. Jakarta: PT. Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai