Anda di halaman 1dari 13

Bab 12

PAJAK LALU LINTAS BARANG & JENIS BEA MASUK

1. Pajak Lalu Lintas barang dalam Kepabeanan

Pajak dan bea cukai merupakan sumber pendapatan negara yang berfungsi untuk membiayai
keperluan negara dan pembangunan nasional yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Pajak merupakan iuran wajib yang dibebankan oleh negara kepada rakyat baik orang pribadi
maupun badan yang sifatnya memaksa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atas
kewajiban ini, rakyat tidak memperoleh imbalan secara langsung, karena pajak yang dibayarkan
dimanfaatkan untuk membiayai belanja atau keperluan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jadi, pajak bukan merupakan hak, melainkan kewajiban setiap warga negara ikut berpartisipasi dan
berperan aktif dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Bea merupakan pungutan yang dikenakan atas barang yang masuk (impor) maupun keluar (ekspor)
dari wilayah kepabeanan. Perlu dicatat bahwa wilayah pabean Indonesia adalah 200 mil dari pantai
terdepan. Dari definisi tersebut tampak bahwa bea dibebankan kepada orang pribadi atau badan yang
melakukan perdagangan internasional baik impor maupun ekspor. Bea dibedakan menjadi dua, yakni bea
masuk dan bea keluar. Bea masuk merupakan pungutan yang dikenakan pada barang-barang impor.

Bea masuk dalam istilah internasional disebut sebagai duty dan pemungutannya dilakukan saat
barang tersebut melintasi daerah pabean. Selain bea masuk normal, terhadap barang impor juga dapat
dikenakan bea masuk tambahan. Bea masuk tambahan ini menambah besaran bea masuk umum yang
dikenakan terhadap barang impor. Artinya bila suatu barang dikenakan bea masuk 5%, lalu terhadap barang
tersebut juga dikenakan bea masuk tambahan berupa bea masuk antidumping sebesar 10%, maka total bea
masuk yang dibebankan terhadap impor tersebut adalah 15%. Termasuk dalam kategori bea masuk
tambahan adalah bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindak pengamanan.

Bea keluar adalah pungutan yang dibebankan pada barang-barang ekspor yang ditujukan untuk
melindungi kepentingan nasional dan masyarakat dalam negeri yang pada dasarnya bukan merupakan
pajak.

Cukai juga merupakan pungutan resmi yang dibebankan oleh negara pada barang-barang yang
memiliki karakteristik khusus sesuai ketentuan undang-undang cukai. Karakteristik khusus yang dimaksud
adalah sifat barang yang pemakaiannya bisa memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan
masyarakat umum. Sebab itu, barang-barang yang dikenai cukai peredaran dan tingkat konsumsinya perlu
dikendalikan dan diawasi. Beberapa jenis barang yang dikenai cukai adalah rokok, minuman keras,
tembakau, dan bensin. Sebagai pungutan resmi yang dikenakan oleh negara, pajak, bea dan cukai memiliki
keterkaitan satu sama lain. Meskipun demikian, ketiga jenis pungutan tersebut memiliki perbedaan yang
signifikan.

Berikut beberapa perbedaan antara pajak dengan bea cukai.

• Sifat pungutan

a) Pajak merupakan pungutan wajib yang sifatnya memaksa. Sebab itu, mau tidak mau atau suka
tidak suka, setiap warga negara baik orang pribadi maupun badan yang menjadi wajib pajak
diharuskan membayar pajak, tanpa adanya balas jasa secara langsung. Artinya, meski telah
membayar pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku,
namun para wajib pajak tidak memperoleh balas jasa langsung dari negara. Pajak yang
dibayarkan dimanfaatkan untuk membiayai keperluan negara dan pembangunan nasional.
Jadi, balas jasa negara atas pembayaran pajak bukan pada orang per orang atau badan, tetapi
seluruh rakyat berupa pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum seperti jalan, jembatan,
puskesmas, dan lain sebagainya.
b) Bea dan cukai merupakan pungutan resmi yang sifatnya sesuai kebijakan. Untuk bea, subjek
pemungutan tidaklah mencakup seluruh rakyat, tetapi hanya orang pribadi atau badan yang
berkepentingan dalam kegiatan impor dan ekspor saja.
c) Cukai, subjek pemungutan juga hanya pihak-pihak tertentu saja, yakni orang pribadi atau
badan yang mengonsumsi atau memanfaatkan barang-barang yang dikenai cukai seperti
konsumen rokok, minuman keras, bensin, dan lainnya.

• Lembaga pemungut dan pengelola


Meski sama-sama sebagai sumber pendapatan negara, namun pajak, bea dan cukai merupakan
pos-pos yang berbeda. Sebab itu, lembaga pemungut dan pengelolanya juga berbeda.

a) Pemungut dan pengelola pajak digolongkan menjadi dua, yakni pemerintah pusat melalui
Direktorat Jenderal Pajak, dan pemerintah daerah baik kota/kabupaten maupun provinsi
melalui Dinas Pendapatan Daerah. Adapun jenis pajak yang dipungut dan dikelola
pemerintah pusat meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak
pertambahan nilai (PPN), dan pajak penjualan atas barang mewah (PPn-BM). Sementara
jenis pajak yang dipungut dan dikelola pemerintah daerah mencakup pajak kendaraan
bermotor, pajak hiburan, pajak restoran, dan lain sebagainya.
PPN dan PPnBM menganut prinsip akrual, artinya pajak terjadi pada saat penyerahan barang
kena pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan barang tersebut belum sepenuhnya
diterima atau pada saat importasi barang kena pajak.
PPh pasal 22 menjelaskan bahwa pajak dipungut sehubungan dengan pembayaran dan
penyerahan barang dan pemungutan nya dilakukan oleh pabean di pelabuhan bongkar dari
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor.

b) Pemungutan dan pengelolaan bea dan cukai tidak dibedakan antara pemerintah pusat dan
daerah, karena semua kewenangannya tersentralisasi pada pemerintah pusat melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Meski di setiap daerah terdapat Kantor Bea dan Cukai
sebagai perwakilan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi bea dan cukai di daerah,
namun pemungutan dan pengelolaan dana tetap dilakukan secara terpusat, bukan per
daerah.

• Pemungutan Pajak Lalu Lintas Barang

a) Pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor dan bea keluar adalah pada saat
pemberitahuan pabean telah mendapatkan nomor pendaftaran.

b) Pemungutan cukai (BKC) adalah saat barang kena cukai selesai dibuat. Dalam hal BKC
tersebut diimpor maka saat pengenaan cukainya adalah dihitung bersamaan dengan saat
pemberitahuan pabean telah mendapatkan nomor pendaftaran.

• Jatuh Tempo Pembayaran

a) Pembayaran pajak jatuh tempo pada tahun fiskal.


Tahun fiskal yaitu jangka waktu selama dua belas bulan berturut-turut yang digunakan
sebagai dasar penyelenggaraan dan penutupan buku suatu badan usaha. Awal tahun fiskal
tak selalu sama dengan tahun kalender. Untuk pajak, tahun fiskal diawali pada 1 April
sehingga akan berakhir pada 31 Maret. Artinya, jatuh tempo pembayaran pajak adalah 31
Maret setiap tahunnya.
b) Pembayaran jatuh tempo pembayaran untuk bea dan cukai tidak ditetapkan berdasarkan
tahun fiskal, tetapi disesuaikan dengan pemakaian.
Pada bea, pembayaran dilakukan setiap kali orang pribadi atau perusahaan akan mengimpor
atau mengekspor barang. Selama bea baik masuk maupun keluar masih terutang, maka
otoritas bea dan cukai tidak akan meloloskan barang baik yang impor maupun ekspor.
c) Jatuh tempo pembayaran cukai juga berdasarkan pemakaian. Konsumen akan membayar
cukai pada saat mereka mengonsumsi atau memanfaatkan barang yang menjadi objek
cukai.

• Perhitungan tarif

a) Dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan telah diatur tentang proporsi besaran


pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak baik orang pribadi maupun badan. Meski
demikian, perhitungan tarif pajak dan penyusunan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)
pajak dilakukan oleh masing-masing wajib pajak, terutama untuk jenis pajak penghasilan.
Setiap wajib pajak berkewajiban melaporkan penghasilan atau harta kekayaan yang menjadi
objek pajak.
b) Perhitungan tarif bea dan cukai dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini, orang pribadi
atau perusahaan yang melakukan impor atau ekspor membuat dokumen pemberitahuan
kepada pihak bea dan cukai mengenai barang yang akan diimpor atau diekspor. Dokumen
ini disebut dengan Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Atas dasar dokumen tersebut,
kemudian pihak bea dan cukai melakukan perhitungan total nilai bea impor atau ekspor
yang harus dibayarkan. Jika bea impor atau ekspor telah dibayarkan, maka orang pribadi
atau perusahaan selaku pengimpor dapat mengambil barang yang diimpornya. Demikian
pula untuk orang pribadi atau perusahaan selaku pengekspor, setelah bea keluar
dibayarkan, maka barangnya bisa segera dikirimkan ke negara tujuan ekspor.
c) Perhitungan cukai juga dilakukan oleh pemerintah. Cukai dibayarkan oleh konsumen yang
mengonsumsi atau memanfaatkan barang objek cukai. Hanya saja, pembayaran cukai
ditalangi oleh perusahaan selaku produsen atas barang tersebut lebih dulu. Biaya cukai
selanjutkan akan diperhitungkan sebagai komponen dalam harga barang tersebut. Sebagai
gambaran cukai untuk produk rokok. Perusahaan yang memproduksi rokok membayar
cukai lebih dulu kepada pemerintah. Atas pembayaran cukai tersebut, perusahaan
mendapatkan pita cukai yang kemudian disematkan pada kemasan produk rokok. Cukai
yang telah dibayarkan perusahaan selanjutnya dibebankan kepada konsumen yang
mengonsumsi produk rokok tersebut.

Lalu lintas barang merupakan arus barang yang keluar masuk dari/ke daerah pabean Indonesia, yang
dikenal sebagai barang ekspor dan impor, serta pengangkutan antarpulau barang-barang tertentu yang
belum dipenuhi kewajiban pabeannya, meliwati batas-batas negara atau dari pulai satu ke pulau lain di
dalam daerah pabean. Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian atas lallu lintas barang terbseut,
pada prinsipnya akan dipungut pajak berupa bea masuk, cukai, dan bea keluar.

Berdasarkan pengertian di atas, pajak atas lalu lintas barang adalah pungutan negara atas
pemasukan dan pengeluaran barang ke dalam ataupun ke luar daerah pabean yang terutang oleh
pengguna jasa kepabeanan saat barang melintasi batas negara Indonesia.

Pajak atas lalu lintas barang terkait dengan hal-hal sebagai berikut:

(a) Dasar hukum untuk memungut pajak atas lalu lintas barang adalah:

- UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang diubah dengan UU Nomor 17 Tahun
2006,
- UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah dengan UU Nomor 17
Tahun 2000
- UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang diubah dengan UU Nomor 18 Tahun 2000.

(b) Saat Pajak atas Lalu Lintas barang dipungut (taat bestand) adalah saaat baang melintasi batas
daerah pabean. Namun dalam pengawasan dan pemungutan pajak ke seluruh perbatasan
adalah hal yang tidak mungkin, maka garis perbatasan ditarik hingga ke pelabuhan di dalamnya
terletak kawasan pabean.

(c) Proses pemungutan pajak lalu lintas barang dilaksanakan apabila proses pengajuan
pemberitahuan pabean sudah mendapatkan nomor pendaftaran dari petugas bea dan cukai.

2. Bea Masuk

Merujuk pada UU No.17/2006 tentang Kepabeanan, Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan UU
yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Adapun impor adalah kegiatan memasukkan barang ke
dalam daerah pabean.
Kemudian, daerah pabean adalah wilayah RI yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di
atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen yang di
dalamnya berlaku UU Kepabeanan.
Secara lebih terperinci, bea masuk dapat diartikan sebagai pajak lalu lintas barang yang dipungut atas
pemasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menjadi
institusi yang memungut bea masuk ini.
perhitungan bea masuk berdasarkan pada persentase besaran tarif atau secara spesifik yang dihitung
berdasarkan satuan atau unit barang dengan nilai yang telah ditetapkan berkaitan dengan harga transaksi
yaitu harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar.

Dalam skala global, bea masuk disebut import duties. Berdasarkan IBFD International Tax Glossary (2015),
import duties/duty/customs duties—terkadang juga disebut sebagai tariff—adalah pungutan yang
dikenakan pada produk yang diimpor.

Sementara itu, pengertian import duties menurut OECD adalah pungutan yang terdiri atas bea masuk, atau
bea impor lainnya, yang dibayarkan pada jenis barang-barang tertentu ketika memasuki wilayah ekonomi.

Tata Cara Perhitungan Bea Masuk


Di Indonesia, terdapat dua sistem dalam perhitungan bea masuk, yaitu perhitungan dengan tarif spesifik
dan tarif advalorum. Adapun sebagian besar komoditas impor yang masuk ke Indonesia dihitung dengan
tarif advalorum.
Tarif spesifik adalah tarif yang dikenakan berdasarkan satuan barang. Perhitungan dalam tarif spesifik
dilakukan dengan cara mengalikan jumlah satuan barang dengan tarif pembebanan bea masuk.
Hal ini berarti dalam tarif spesifik akan disebutkan besaran tarif bea masuk yang harus dibayar per satuan
barang. Dari sekian banyak komoditas impor yang masuk, hanya sebagian kecil barang impor yang
dikenakan tarif spesifik, di antaranya seperti beras dan gula.
Contohnya tarif pembebanan bea masuk untuk beras pada Juli 2019 ditetapkan sebesar Rp450/kg. Maka,
berapapun nilai atau harga dari beras tersebut tidak akan berpengaruh terhadap besaran bea masuk yang
dibayarkan.
Dengan demikian misalnya terdapat dua importir yang sama-sama mengimpor beras sebanyak 100 ton,
maka kedua importir tersebut akan membayar bea masuk senilai Rp45.000.000.
Tarif spesifik tidak memedulikan apakah kedua importir tersebut membeli beras itu dengan harga yang
sama atau berbeda. Secara ringkas, perhitungan bea masuk dengan menggunakan tarif spesifik.

Contoh Kasus:
Importir A mengimpor 5.000 tons beras jenis Thai Hom Mali dari Thailand dengan harga CIF THB 12.000/ton.
Adapun tarif bea masuk untuk beras sebesar 450/kg.
Maka perhitungannya sebagai berikut:
Bea Masuk = Jumlah Satuan Barang x Pembebanan Bea masuk
= (5.000 ton x 1.000) x 450/kg
= Rp2,25 miliar
Sementara itu, tarif Ad Valorem adalah pungutan bea masuk berdasarkan pada prosentase tarif tertentu
dari harga barang. Merujuk pada Pasal 12 UU Kepabeanan tarif advalorum paling tinggi ditetapkan sebesar
40%.
Secara ringkas, perhitungan bea masuk menggunakan tarif advalorum dihitung dengan cara mengalikan
tarif bea masuk suatu barang impor dengan nilai pabeannya.

Contoh Kasus:

Importir B mengimpor 125 unit kamera produksi dari Jepang dengan harga masing-masing sebesar
JPY40.000/unit. Kemudian, ongkos kirim dan asuransi masing-masing sebesar JPY 300.000 dan asuransi
JPY100.000.
Tarif bea masuk kamera impor dipatok sebesar 10%. Sementara Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk
(NDPBM) tersebut adalah JPY 1=Rp110,98,. berikut perhitungannya:

Bea Masuk = tarif bea masuk (%) x nilai pabean


= tarif bea masuk x (CIF x NDPBM)
= 10% x ((JPY40.000x125) +JPY100.000 + JPY300.000)) x Rp110,98
= 10% x JPY5,4 juta x Rp110,98
= 10% x Rp599,29 juta
= Rp59,92 juta

Bea Masuk Tambahan

Selain itu, ada juga bea masuk lain yaitu bea masuk tambahan (BMT) yang dikenakan untuk barang-barang
tertentu atau untuk kondisi impor tertentu. Perlu diingat, BMT sifatnya tidak menggantikan bea masuk
yang berlaku umum.

Merujuk pada UU Kepabeanan jenis bea masuk lain yang dapat dikenakan pada impor barang diantaranya
adalah sebagai berikut:

1. Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD)


Bea masuk ini merupakan BMT yang dikenakan kepada barang impor di mana harga ekspor barang
tersebut lebih rendah dari harga normal di pasar domestik.
Bea masuk antidumping ini dikenakan terhadap barang impor yang menyebabkan kerugian terhadap
industri barang sejenis yang diproduksi di dalam negeri, dan dinilai menghambat pengembangan industri
barang yang sejenis di dalam negeri.

2. Bea Masuk Imbalan (BMI)


Bea masuk ini merupakan jenis BMT yang dikenakan terhadap barang impor, di mana ditemukan adanya
subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor atas barang tersebut.
Barang impor yang dikenakan bea masuk imbalan lantaran barang impor itu menyebabkan kerugian
terhadap industri yang sejenis di dalam negeri, dan menghambat pengembangan industri yang sejenis.
3. Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP)
Jenis bea masuk yang populer disebut dengan safeguard ini merupakan BMT yang dikenakan terhadap
barang impor, dimana terdapat kondisi lonjakan barang impor terhadap barang sejenis yang diproduksi di
dalam negeri. Barang impor tersebut dinilai menyebabkan kerugian terhadap industri yang sejenis di dalam
negeri, serta menghambat pengembangan industri yang sejenis. Bea masuk tindakan pengamanan paling
tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian
serius terhadap industri dalam negeri.

3. Bea Masuk Pembalasan (BMP)


Bea masuk ini merupakan bea masuk yang dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang
memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif.

Sesuai pasal 12 UU Kepabeanan, barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setingi-
tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk. Dengan memperhatikan
Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum
ditetapkan setinggi-tingginya empat puluh persen termasuk Bea Masuk Tambahan (BMT) yang pada waktu
diundangkannya Undang-undang Kepabeanan masih dikenakan terhadap barang-barang tertentu. Namun,
dengan tetap memperhatikan kemampuan daya saing industri dalam negeri, kebijaksanaan umum di
bidang tarif harus senantiasa ditujukan untuk menurunkan tingkat tarif yang ada dengan tujuan :
➢ melindungi konsumen dalam negeri; dan
➢ meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasaran internasional;
➢ mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dalam rangka mendukung terciptanya
perdagangan bebas.

Sesuai dengan Notifikasi Indonesia pada Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan
(GATT), dikecualikan ketentuan maksimum sebesar 40 % tersebut diatas diatas adalah :

a. barang impor hasil pertanian tertentu, produk pertanian tertentu sebagaimana tercantum dalam
Skedul XXI-Indonesia, tarif Bea Masuknya diikut pada tingkat yang lebih tinggi dari empat puluh
persen, dengan tujuan untuk menghapus penggunaan hambatan nontarif sehingga menjadi tarifikasi;
b. barang impor termasuk dalam daftar eksklusif Skedul XXI-Indonesia pada Persetujuan Umum
Mengenai tarif dan Perdagangan. Tujuannya adalah demi kepentingan nasional, produk tertentu yang
termasuk dalam daftar ekslusif Skedul XXI-Indonesia, tarif Bea Masuknya tidak diikat pada tingkat tarif
tertentu sehingga dikecualikan dari ketentuan pengenaan tarif maksimum 40 %. Namun, dalam jangka
waktu tertentu tarif atas produk tersebut akan diturunkan ;
c. barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU Kepabeanan sebagai berikut :
- barang impor yang dikenakan tarif Bea Masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
internasional. Tarif Bea Masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan yang
dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara
lain, misalnya Bea Masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tarif untuk Asean Free
Trade Area (CEPT for AFTA).
- barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman
melalui pos atau jasa titipan. Dalam rangka mempermudah dan mempercepat penyelesaian
impor barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman
melalui pos atau jasa titipan, dapat dikenakan Bea Masuk berdasarkan tarif yang berbeda,
misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu, mengingat barang-barang yang
dibawa oleh para penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya
terdiri dari beberapa jenis.
- barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara
diskriminatif. Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh suatu
negara misalnya dengan pembatasan, larangan, atau pengenaan tambahan Bea Masuk, barang-
barang dari negara yang bersangkutan dapat dikenakan tarif yang besarnya berbeda dan dapat
melebihi 40 %.

a. Bea Masuk Anti Dumping

Bea masuk antidumping (BMAD) adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang
dumping yang menyebabkan kerugian. Yang dimaksud barang dumping adalah barang yang diimpor dengan
tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor. Sedangkan yang
dimaksud kerugian adalah kerugian material yang telah terjadi, ancaman terjadinya kerugian material atau
terhalangnya pengembangan industri di dalam negeri.

Selain bea masuk antidumping, ada juga bea masuk antidumping sementara. Bea masuk
antidumping sementara adalah pungutan negara yang dikenakan pada masa penyelidikan terhadap barang
dumping yang menyebabkan kerugian berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya bea masuk
antidumping mungkin saja diterapkan meskipun kerugian yang ‘didakwakan’ masih dalam proses
penelitian.

Yang bertugas untuk melakukan menyelidikan adanya kerugian industri dalam negeri dalam
pengenaan bea masuk anti dumping adalah Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Selain bertugas
menyelidiki permasalahan terkait dumping, komite ini juga berperan dalam mengurus dan menetapkan bea
masuk imbalan.

Bea masuk antidumping dikenakan terhadap barang impor setinggi-tingginya sebesar selisih
antara nilai normaldengan harga ekspor dari barang tersebut. Yang dimaksud dengan nilai normal adalah
harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya
di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Sedangkan yang dimaksud dengan harga
ekspor adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang yang diekspor ke daerah
pabean Indonesia.

b. Bea Masuk Imbalan

Bea masuk imbalan (BMI) adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang impor
mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian. Yang dimaksud dengan subsidi adalah setiap bantuan
keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan-badan pemerintah kepada perusahaan, industri,
kelompok industri, atau eksportir. Subsidi ini dapat diberikan secara langsung maupun tidak langsung.
Subsidi dapat juga berbentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga yang diberikan secara langsung
atau tidak langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang
bersangkutan.

Bea masuk imbalan juga dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal barang tersebut:

1. menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan
barang tersebut;
2. mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis
dengan barang tersebut; atau
3. menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor setinggi-tingginya sebesar selisih antara
subsidi dengan biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh
subsidi, atau pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk mengganti subsidi yang diberikan kepada
barang ekspor tersebut.
c. Bea Masuk Tindakan Pengamanan

Bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) adalah pungutan negara untuk memulihkan atau
mencegah ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri. Lonjakan jumlah barang
impor dapat menyebabkan kerugian terhadap barang sejenis yang diproduksi dalam negeri. Bea masuk
tindakan pengamanan dapat dikenakan dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami
kerugian serius atau ancaman kerugian serius dapat melakukan penyesuaian. Yang dimaksud
dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut
harus didasarkan pada fakta-fakta (shall be based on) bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau
perkiraan.

Bea masuk tindakan pengamanan paling tinggi sebesar jumlah untuk mengatasi atau mencegah
ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Dalam hal tindakan pengamanan telah ditetapkan
dalam bentuk kuota (pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan tidak harus dikenakan.

d. Bea Masuk Pembalasan

Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang
memperlakukan barang ekspor secara diskrimatif, yaitu perlakuan tidak wajar misalnya pembatasan,
larangan atau pengenaan tambahan bea masuk. Bea masuk pembalasan adalah merupakan tambahan bea
masuk yang dipungut berdasarkan pasal 12 ayat (1) UU Kepabeanan.

e. Tidak Dipungut Bea Masuk

Barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean untuk diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar
Daerah Pabean tidak dipungut Bea Masuk. Yang dimasud dengan ‘barang diangkut terus’ adalah barang
impor yang diangkut melalaui Kantor Pabean tanpa melalui suatu pembongkaran terlebih dahulu.
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘barang diangkut lanjut’ adalah barang impor yang diangkut melalui
suatu Kantor Pabean melalui pembongkaran terlebih dahulu.
Alasan mengapa barang impor yang diangkut terus atau diangkut lanjut tidak dipungut Bea Masuk
adalah meskipun pada dasarnya barang dari luar Daerah Pabean sejak memasuki Daerah Pabean sudah
terutang Bea Masuk , namun mengingat barang tersebut tidak diimpor untuk dipakai, barang tersebut
tidak dipungut Bea Masuk.

f. Pembebasan Bea Masuk

Pembebasan Bea Masuk yang diberikan dalam ketentuan pasal 25 UU Kepabeanan ini adalah
pembebasan yang bersifat mutlak, dalam arti jika persyaratan yang diatur dalam pasal ini dipenuhi, barang
yang diimpor tersebut diberi pembebasan. Yang dimaksud dengan "pembebasan Bea Masuk" adalah
peniadaan pembayaran Bea Masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Kepabeanan .

Pembebasan Bea Masuk diberikan terhadap barang-barang berikut ini:

i. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas
timbal balik, yaitu barang milik atau untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk
pejabat pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia.
ii. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia, yaitu
barang milik atau untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah
Indonesia, termasuk para pejabatnya yang ditugaskan di Indonesia.
iii. buku ilmu pengetahuan;
iv. barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.
v. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk
umum;
vi. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
vii. barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya;
viii. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara;
ix. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan
keamanan negara;
x. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan, yang diimpor khusus sebagai contoh, antara lain
untuk keperluan produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah dan jenis yang terbatas, baik tipe
maupun merek.
xi. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
xii. barang pindahan;
xiii. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai
batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu;
xiv. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi
kepentingan masyarakat ;
xv. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian;
xvi. barang yang telah diekspor, kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama;
xvii. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan;

Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan Bea Masuk yang ditetapkan menurut
Undang-undang ini (menyalahgunakan fasilitas pembebasan yang diberikan), jika mengakibatkan kerugian
pada penerimaan negara, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk
yang seharusnya dibayar.

g. Keringanan Bea Masuk

Pembebasan Bea Masuk yang diberikan adalah pembebasan yang relatif, dalam arti bahwa
pembebasan yang diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu, sehingga
terhadap barang impor dapat diberikan pembebasan atau hanya keringanan Bea Masuk. Yang dimaksud
dengan "keringanan Bea Masuk" adalah pengurangan sebagian pembayaran Bea Masuk yang diwajibkan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Kepabeanan. Pembebasan atau keringanan Bea Masuk
diberikan kepada barang-barang berikut ini :

i. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka
penanaman modal;
ii. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri
iii. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
iv. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau
perikanan;
v. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin.
vi. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau
berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam Daerah Pabean dan saat diberikan persetujuan
impor untuk dipakai;
vii. barang oleh Pemerintah pusat atau Pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum ;
viii. barang dengan tujuan untuk diimpor sementara.
ix. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.

Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan Bea Masuk yang ditetapkan
menurut Undang-undang Kepabeanan (menyalahgunakan fasilitas), jika mengakibatkan kerugian pada
penerimaan negara, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari Bea Masuk yang
seharusnya dibayar.
3. Pengembalian Bea Masuk

Pengembalian Bea Masuk dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian Bea Masuk yang telah
dibayar atas:
i. kesalahan tata usaha antara lain adalah kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan
pencantuman tarif.
ii. kelebihan pembayaran Bea Masuk yang disebabkan Keputusan Pejabat Bea dan Cukai tentang tarif
dan nilai pabean (Pasal 16 ayat (5) UU Kepabeanan) dan Penetapan Kembali Direktur Jenderal Bea
dan Cukai tentang tarif dan nilai pabean ( Pasal 17 ayat (3) UU Kepabeanan);
iii. impor barang sebagaimana yang setelah dibayar Bea Masuk-nya kemudian mendapat fasilitas
pembebasan Bea Masuk (pasal 25 UU Kepabeanan) atau pembebasan atau keringanan Bea Masuk
(pasal 26 UU Kepabeanan) ;
iv. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah
pengawasan Pejabat Bea dan Cukai; Yang dimaksud dengan "sebab tertentu" pada ayat ini adalah
bahwa hal tersebut bukan merupakan kehendak importir, melainkan disebabkan oleh adanya
kebijaksanaan Pemerintah yang mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat dimasukkan ke
dalam Daerah Pabean sehingga harus diekspor kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan
Pejabat Bea dan Cukai dalam kondisi yang sama.
v. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang
sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan batang yang dipesan,
atau berkualitas lebih rendah; atau
vi. kelebihan pembayaran Bea Masuk sebagai akibat putusan lembaga banding (Pengadilan Pajak).

4. Penghitungan Bea Masuk

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 199 Tahun 2019 tertanggal 26 Desember 2019 tentang Ketentuan
Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman. Ketentuan baru ini mulai berlaku 30 hari setelah
diundangkan atau mulai 31 Januari 2020.

Sebelum kita menghitung Nilai Pabean, Bea Masuk (BM), Nilai Impor, dan Pajak Dalam Rangka Impor
(PDRI), baiklah kita jelaskan dulu dasar perhitungan BM dan PDRI.

PDRI ini terdiri atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM),
dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 impor.

Di sini nanti kita akan fokus pada barang kiriman, yaitu barang yang dikirim untuk dipakai sendiri melalui
penyelenggara pos sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada umumnya barang kiriman ini merupakan pesanan penduduk Indonesia yang berbelanja
secara online (daring) melalui marketplace.

Dasar perhitungan bea masuk dan PDRI:

1. Nilai pabean adalah nilai transaksi. Nilai pabean = CIF (Cost, Insurance, Freight) x NDPBM (Nilai
Dasar Perhitungan Bea Masuk). NPDBM adalah kurs resmi yang dikeluarkan Kementerian
Keuangan.

2. Cost/FOB (Free on Board) atau harga barang adalah nilai barang yang sebenarnya dibayar atau
yang seharusnya dibayar.

3. Insurance (asuransi) adalah yang tercantum dalam polis asuransi, yaitu jumlah biaya
pertanggungan asuransi yang dikenakan terhadap sebuah barang yang masuk ke dalam negeri.
Apabila asuransi ditutup di dalam negeri, maka asuransi dianggap nihil (importir wajib
melampirkan polis asuransi). Lazimnya biaya asuransi adalah 0,5% x (harga barang + ongkos
kirim).

4. Freight adalah ongkos angkut atau ongkos kirim sampai pelabuhan tujuan yang ditunjukkan
dengan bill of leading (B/L), air way bill (AWB) atau dokumen lainnya. Untuk angkutan laut,
lazimnya ongkos kirim dari negara ASEAN 5% x FOB; dari negara Asia non-ASEAN atau Australia
10% x FOB; dan dari negara lain 15% x FOB. Untuk angkutan udara ditentukan berdasarkan Tariff
International Air Transport Association (IATA).

MELALUI Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 34/PMK.04/2020, pemerintah telah memberikan berbagai
fasilitas perpajakan atas impor barang yang diperlukan untuk penanganan pandemi virus Corona atau
Covid-19.
Dalam beleid yang berlaku mulai 17 April 2020 itu, pemerintah memberikan tiga insentif. Pertama,
pembebasan bea masuk dan/atau cukai. Kedua, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas
barang mewah (PPnBM) tidak dipungut. Ketiga, pembebasan PPh Pasal 22.
Hal ini berarti impor barang tertentu yang diperlukan untuk penanganan Covid-19 dibebaskan dari
kewajiban untuk melunasi bea masuk dan/atau cukai serta dikecualikan dari kewajiban pelunasan pajak
dalam rangka impor (PDRI).
Anda juga dapat menyimak kamus ‘Apa itu Bea Masuk dan Bagaimana Perhitungannya’.Lantas, sebenarnya
apakah yang dimaksud dengan pajak dalam rangka impor (PDRI)?
Pungutan DJBC
PAJAK Dalam Rangka Impor (PDRI) adalah pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC) atas impor barang. PDRI menjadi salah satu pungutan yang dikenakan terhadap importir di luar bea
masuk dan cukai.
PDRI hanya memiliki satu jenis tarif yaitu advalorum dan tidak ada tarif yang dikenakan secara spesifik. Hal
ini berbeda dengan bea masuk yang sistem perhitungannya menggunakan dua skema tarif yaitu secara
advalorum dan spesifik.
Lebih lanjut, besaran nilai PDRI yang terutang dihitung berdasarkan pada hasil perkalian tarif pajak dengan
nilai impor. Hal ini berarti, dasar pengenaan pajak (DPP) yang digunakan antara bea masuk dan PDRI
berbeda.
Bea masuk dihitung dengan berdasarkan pada nilai pabean, sementara PDRI dihitung berdaskan nilai
impor. Adapun yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai barang dalam International Commercial
Terms (incoterm) Cost, Insurance, and Freight (CIF) ditambah dengan besaran bea masuk.
Dengan kata lain, nilai impor adalah nilai pabean ditambah besaran bea masuk yang harus dibayar. Secara
lebih terperinci, PDRI terdiri dari beberapa jenis pajak yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal Pasal 22 Impor.
PPN dan PPnBM
PAJAK Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas impor atau penyerahan barang dan
jasa kena pajak. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tarif PPN atas impor barang kena
pajak adalah sebesar 10% dan bersifat tetap.
Sementara itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan terhadap
penyerahan atau impor barang berwujud yang tergolong mewah. Berdasarkan penjelasan Pasal 5 UU
No.42 Tahun 2009, terdapat 4 kriteria barang yang diklasifikasikan sebagai barang mewah.
Pertama, barang bukan merupakan barang kebutuhan pokok. Kedua, barang dikonsumsi masyarakat
tertentu. Ketiga, pada umumnya barang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi. Keempat, barang
dikonsumsi untuk menunjukkan status atau kelas sosial.
Berbeda dengan tarif PPN yang bersifat tetap, tarif PPnBM dikenakan secara bervariasi tergantung pada
jenis barang yang diimpor. Sesuai dengan Pasal 8 UU 42 Tahun 2009 tarif PPnBM ditetapkan paling rendah
10% dan paling tinggi 200%.
PPh Pasal 22 Impor
MERUJUK pada Pasal 22 UU No.36/2008, PPh Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan
pemerintah, instansi atau lembaga pemerintah yang berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang.
Selain itu, PPh Pasal 22 juga dibebankan kepada badan usaha tertentu, baik milik pemerintah (BUMN)
ataupun pihak swasta, yang berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang
lain.
Hal ini berarti cakupan PPh Pasal 22 sangat luas dan salah satunya menyasar kegiatan impor sehingga
dikenal dengan sebutan PPh Pasal 22 Impor. Pengaturan yang lebih terperinci atas PPh Pasal 22 Impor
tertuang dalam PMK No.34/PMK.10/2017.
Berdasarkan Pasal 2 beleid tersebut, dapat diketahui tarif PPh Pasal 22 Impor bervariasi tergantung pada
kelompok barang. Secara lebih terperinci, terdapat 6 tarif untuk PPh Pasal 22 Impor.
Pertama, untuk barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PMK No.34/PMK.10/2017 10%
dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan Angka Pengenal Impor (API);
Kedua, untuk barang tertentu lainnya seperti tercantum dalam Lampiran II PMK No.34/PMK.10/2017 7,5%
dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan API.
Ketiga, untuk barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu sebagaimana tercantum dalam Lampiran
III PMK No.34/PMK.10/2017 0,5% dari nilai impor dengan mengunakan API;
Keempat, untuk barang yang tidak tercantum dalam lampiran PMK No.34/PMK.10/2017 dan menggunakan
API 2,5% dari nilai impor. Kelima, barang lain yang tidak menggunakan API 7,5% dari nilai impor. Keenam,
barang yang tidak dikuasai 7,5% dari harga jual lelang.
Adapun yang dimaksud dengan barang yang tidak dikuasai adalah barang impor yang tidak bertuan/tidak
diketahui siapa pemiliknya. Hal ini bisa disebabkan karena pemilik/importir tidak dapat menyelesaikan
permasalahan dokumen atau sebab lain seperti diatur PMK No. 53/PMK.04/2008.
Sementara itu, yang dimaksud dengan API adalah nomor identitas importir yang diterbitkan Kementerian
Perdagangan untuk importir yang memenuhi persyaratan tertentu. Ketentuan API sendiri tertuang dalam
Peraturan Menteri Perdagangan No.70/M-DAG/PER/9/2015.
Perhitungan PDRI
Contoh:
PT. A memiliki API dan mengimpor parfum dari Prancis dengan cost US$10.000, insurance US$50,
dan freight US$100.
Berdasarkan pos tarif dan pembebananan menurut Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) besar tarif
bea masuk atas parfum tersebut adalah 5% dan NDPBM yang berlaku adalah US$1 = Rp. 13.500. Selanjutnya
parfum tersebut tercantum dalam Lampiran I PMK No.34/PMK.10/2017
Berdasarkan ilustrasi tersebut maka perhitungan besaran bea masuk dan PDRI yang harus dibayar PT.A
adalah sebagai berikut:

1. Bea Masuk
Bea Masuk = tarif bea masuk (%) x nilai pabean
= tarif bea masuk x (CIF x NDPBM)
= 5% x ((USD$10.000 + USD$50 + USD$100) x Rp13.500)
= 5% x Rp137.025.000
= Rp6.851.250
2. PDRI
PPN = tarif x Nilai impor
= 10% x (nilai pabean + bea masuk)
= 10% x (Rp137.025.000+ Rp6.851.250)
= 10% x Rp143.876.250
= Rp14.387.625

PPh Pasal 22 Impor = tarif x nilai impor


= 10% x (Nilai Pabean + Bea Masuk)
= 10% x (Rp137.025.000+ Rp6.851.250)
= 10% x Rp143.876.250\
= Rp14.387.625
Parfum tersebut tidak tergolong barang mewah sehingga tidak dikenakan PPnBM. Dengan demikian, total
pungutan PDRI yang harus dibayar PT.A adalah senilai Rp28.775.250. Selain itu, PT. A juga harus membayar
bea masuk senilai Rp6.851.250.

Anda mungkin juga menyukai