Anda di halaman 1dari 13

BAB II

KONSEP DALAM LEMBAR KERJA SISWA

A. Lembar Kerja Siswa

Lembar kerja siswa (LKS) merupakan salah satu media pembelajaran

yang digunakan oleh guru. LKS merupakan salah satu alat bantu pengajaran

berupa lembaran-lembaran berisi tugas yang harus dikerjakan oleh siswa. LKS

berisi petunjuk dan langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu tugas, baik

tugas teori maupun tugas praktikum (Rustaman, 2005). Dalam LKS memuat

materi pokok yang harus dipelajari, dipahami, dan dikuasai oleh siswa. Akan

tetapi, penggunaan LKS saat ini masih kurang optimal. Berdasarkan studi

pendahuluan yang telah dilakukan, ditemukan kekurangan pada LKS yang

digunakan oleh guru. Kekurangan tersebut yaitu kalimat dalam langkah kerja

yang kurang terstruktur dengan baik, sehingga mengakibatkan siswa kurang

memahami kalimat pada langkah kerja pada LKS dan tujuan dari kegiatan

praktikum kurang tercapai serta peran LKS sebagai media pembelajaran dalam

mengembangkan keterampilan proses siswa kurang maksimal. Roth

(Rustaman & Wulan, 2007:1) menyatakan bahwa kegiatan eksperimen dan

praktikum dalam meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan proses

sains. Hal ini disebabkan karena pada saat melakukan kegiatan praktikum,

siswa melakukan observasi, membuat prediksi, membuat hipotesis,

menganalisis data, dan membuat kesimpulan tentang konsep yang telah


8

mereka pelajari melalui berbagai fakta sehingga konsep tersebut menjadi lebih

nyata dan bermakna.

Umumnya kerangka LKS terdiri dari : judul kegiatan, tujuan kegiatan,

alat dan bahan yang digunakan, langkah kerja dan sejumlah pertanyaan.

Adapun ciri-ciri yang dimiliki oleh suatu LKS menurut Rustaman, (2005)

adalah:

1. Memuat semua petunjuk yang perlu bagi siswa

2. Petunjuk ditulis dalam bentuk sederhana dengan kalimat singkat dan

penggunaan kalimat dan kosakata yang sesuai dengan umur dan

kemampuan penggunaan

3. Berisi pertanyaan-pertanyaan yang harus diisi oleh siswa

4. Adanya ruang kosong untuk menulis jawaban serta penemuan siswa

5. Memberikan catatan yang jelas bagi siswa atas apa yang telah

mereka lakukan

6. Memuat gambar yang sederhana dan jelas.

LKS merupakan bagian dari perencanaan pengajaran yang dapat

digunakan dalam penyajian mata pelajaran secara eksperimen atau non

eksperimen seperti diskusi dan demonstrasi sehingga berdasarkan metode

terdapat dua jenis LKS yaitu eksperimen dan LKS non eksperimen. Menurut

Rustaman et al. (2005) LKS eksperimen digunakan sebagai pedoman dalam

melaksanakan kegiatan eksperimen, sedangkan LKS non eksperimen sebagai

pedoman dalam pembelajaran yang menggunakan penyajian dengan cara


9

diskusi atau tanya jawab. LKS eksperimen maupun LKS non eksperimen

mempunyai beberapa kelebihan yang dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.1
Kelebihan LKS Eksperimen dan LKS Non Eksperimen
Lembar Kerja Siswa (LKS)
Eksperimen Non Eksperimen
 Melibatkan banyak indera  Efisiensi waktu dalam
 Banyak keterampilan proses pembuatannya
yang dilatihkan  Relatif murah, aman dan hemat
 Menanamkan disiplin dan tenaga
tanggung jawab  Target kurikulum lebih mudah
 Menantang siswa untuk tercapai
menemukan hal baru  Organisasi dan perencanaan
menggugah gagasan orisinil lebih terkendali
 Lebih mudah penggunaannya
Sumber: Rustaman et al., (2005)

Menurut Johnstone & Shavaili (Rustaman et al., 2005),

mengemukakan bentuk LKS berdasarkan pendekatan yang digunakan

yaitu : a) Bentuk LKS ekspositori yang hasil pengamatan sudah diterapkan

sebelumnya dan prosedurnya telah dirancang oleh guru dan siswa hanya

tinggal mengikuti prosedur tersebut, b) Bentuk LKS inkuiri, hasil

pengamatan belum ditetapkan sebelumnya, sehingga hasil pengamatan

oleh siswa dapat beragam dan prosedur pada LKS dirancang sendiri oleh

siswa, c) Bentuk LKS penemuan, hasil yang didapatkan sudah ditetapkan

sebelumnya dan prosedur telah dirancang oleh guru, d) Bentuk LKS

pemecahan masalah, hasil dari LKS tersebut sudah ditetapkan

sebelumnya dan prosedur dirancang oleh siswa.


10

LKS sebagai media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan

praktikum, setidaknya harus memiliki kemampuan dalam meningkatkan

pemahaman siswa setelah pembelajaran berlangsung. Selain itu, sebuah

LKS sebaiknya dapat membantu guru dalam mencapai kompetensi yang

ingin dicapai dalam kurikulum dan dapat mengembangkan keterampilan

proses sains dengan tuntutan kurikulum dan karakteristik dari materi yang

diajarkan.

B. Konsep

Menurut Dahar (1996) Konsep dapat didefinisikan dalam berbagai hal

seperti berikut :

1. Konsep adalah gambaran dan ciri-ciri sesuatu objek sehingga dapat

membedakannya dengan objek lainnya.

2. Konsep merupakan suatu abstraktis yang mewakili suatu kelas objek-objek

kejadian, kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan yang mempunyai

atribut yang sama (Rosser, 1994).

3. Konsep merupakan pembentukan mental dalam mengelompokkan kata-

kata dengan penjelasan tertentu yang dapat diterima secara umum.

4. Konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas

stimulus-stimulus.

5. Konsep merupakan definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau

gejala.

Sehubungan dengan berbagai pengertian bermacam-macam konsep

tersebut sulit rasanya untuk sampai pada suatu definisi konsep yang tepat. Hal
11

ini karena setiap orang mengalami stimulus-stimulus yang berbeda-beda

dengan orang membentuk konsep-konsep dengan pengelompokkan stimulus-

stimulus dengan cara tertentu serta pengalamannya masing-masing (Sagala,

2007). Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

konsep merupakan suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri, karakter

yang sama dari sekelompok objek dari suatu fakta, baik merupakan suatu

proses, peristiwa, benda atau fenomena di alam yang membedakannya dari

kelompok lainnya. Menurut Flavel (Dahar, 1996) bahwa konsep-konsep dapat

berbeda dalam tujuh dimensi yaitu:

1. Atribut

Setiap konsep mempunyai sejumlah atribut yang berbeda. Atribut

suatu konsep merupakan tanda atau ciri atau sifat-sifat dari suatu konsep

yang membedakannya dengan konsep lain. Konsep dapat mempunyai ciri-

ciri atribut yang relevan, dan juga atribut-atribut yang tidak relevan.

Atribut-atribut dapat berupa fisik seperti warna, tinggi, bentuk atau

fungsional. Contohnya, konsep meja, harus mempuyai suatu permukaan

yang datar, dan sambungan-sambungan yang mengarah ke bawah yang

mengangkat permukaannya dari lantai.

2. Struktur

Struktur menyatakan cara tergabungnya atribut-atribut suatu konsep.

Ada tiga macam struktur yang dikenal, yaitu konsep konjungtif, konsep

disjungtif, konsep relasional. Konsep-konsep konjungtif adalah konsep-

konsep yang memiliki dua atau lebih sifat-sifat, sehingga sehingga dapat
12

memenuhi syarat sebagai contoh konsep. Konsep-konsep disjungtif adalah

konsep-konsep yang menghendaki adanya dua atau lebih sifat yang harus

ada. Konsep-konsep relasional menyatakan hubungan antara atribut-

atribut konsep.

3. Keabstrakan

Konsep dilihat dari tingkat keabstrakannya, dibagi menjadi dua yaitu

konsep abstrak dan konsep konkret. Konsep abstrak adalah konsep-konsep

yang tidak dapat diindrai, sedangkan konsep konkret adalah konsep-

konsep yang dapat diindrai.

4. Keinklusifan

Keinklusifan ditunjukan pada jumlah contoh-contoh yang terlibat

dalam konsep itu. Misalnya, konsep penyerbukan memiliki bermacam-

macam contoh berdasarkan asal-usul serbuk sari, atau berdasarkan faktor-

faktor pembantu penyerbukan.

5. Generalisasi

Berdasarkan tingkatnya, konsep-konsep dapat berbeda dalam posisi

super ordinat atau sub ordinat. Konsep wortel adalah super ordinat

terhadap konsep sayuran, selanjutnya konsep sayuran sub ordinat terhadap

konsep tanaman yang dapat dimakan.

6. Ketepatan

Suatu konsep menyangkut suatu aturan-aturan untuk membedakan

contoh-contoh dari noncontoh-noncontoh suatu konsep.


13

7. Kekuatan

Kekuatan suatu konsep ditentukan oleh sejauh mana orang setuju

bahwa konsep itu penting. Sebagai contohnya adalah konsep mitosis,

sering sekali muncul dalam pembahasan konsep-konsep reproduksi

generatif baik hewan maupun tumbuhan juga dalam pembahasan konsep

genetika.

Menurut Ausubel (Dahar, 1996:81) konsep-konsep diperoleh dengan

dua cara, yaitu formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep atau

pembentukan konsep merupakan bentuk perolehan konsep-konsep

sebelum anak-anak masuk sekolah. Banyak konsep yang diperoleh

berkembang semasa anak-anak, tetapi konsep-konsep itu telah mengalami

modifikasi atau perubahan yang disebabkan karena pengalaman-

pengalaman.

Konsep tersebut di atas, memberi gambaran bahwa sulit rasanya

untuk sampai pada suatu definisi konsep. Orang mengalami stimulus-

stimulus berbeda-beda, membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan

stimulus-stimulus dengan cara tertentu. Konsep-konsep itu adalah

abstraksi-abstraksi berdasarkan pengalaman, dan karena tidak ada dua

orang yang mempunyai pengalaman yang percis sama, maka konsep-

konsep yang dibentuk orang mungkin berbeda. Konsep diperoleh dari

fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi, dan berpikir abstrak.

Konsep dapat mengalami perubahan disesuaikan dengan fakta atau

pengetahuan baru.
14

Asimilasi konsep, setelah masuk sekolah anak-anak diharapkan

belajar banyak konsep melalui proses asimilasi. Dengan pula orang

dewasa. Asimilasi konsep bersifat deduktif dan mengikuti pola aturan

contoh. Dalam proses ini anak-anak diberi nama konsep dan atribut-atribut

dari konsep itu kemudian membuat generalisasi tentang konsep tersebut.

Ini berarti bahwa mereka akan belajar arti konseptual baru dengan

memperoleh penyajian atribut-atribut konsep, kemudian mereka akan

menghubungkan atribut-atribut itu dengan gagasan-gagasan relevan yang

sudah ada dalam struktur kognitif mereka Ausubel (dalam Dahar,

1996:82).

Klaussmeier (Dahar, 1996:88), menghipotesiskan bahwa ada empat

tingkatan dalam pencapaian konsep

1. Tingkat konkret

Seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkret, apabila

orang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapi sebelumnya.

Apabila kepada seorang siswa diperhatikan sejumlah hewan, siswa

tersebut dapat menentukan hewan-hewan mana yang alat bantu

pernapasannya dengan insang. Maka dapat dikatakan siswa tersebut

telah mencapai tingkat konkret dalam memahami konsep-konsep ciri-

ciri morfologi hewan berdasarkan alat bantu bernapas.

2. Tingkat identitas

Pada tingkat identitas seseorang akan mengenal suatu objek

sesudah selang waktu, bila orang itu mempunyai orientasi ruang yang
15

berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu

cara indera yang berbeda.

Selain dibutuhkan operasi memperhatikan, mendiskriminasikan

dan mengingat, siswa harus mengadakan generalisasi untuk mengenal

bahwa ada dua bentuk atau lebih yang identik dari benda yang berbeda

adalah anggota dari kelas yang sama.

3. Tingkat klasifikatori

Pada tingkat klasifikatori, siswa mengenal persamaan dari dua

contoh yang berbeda dari kelas yang sama.

4. Tingkat formal

Untuk pencapaian pada tingkat formal, siswa harus dapat

menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep. Dapat

disimpulkan bahwa siswa telah mencapai suatu konsep pada tingkat

formal, bila siswa itu dapat memberi nama konsep itu, mendefinisikan

konsep itu dalam atribut-atribut kriterianya, mendeskriminasi dan

memberi nama atribut-atribut yang membatasi, serta mengevaluasi

atau memberikan secara verbal contoh-contoh dan noncontoh dari

konsep. Tingkat pencapaian konsep menurut Klaussmeier dapat

berbeda tiap individu.

Pembelajaran konsep hendaknya bukan hanya untuk mencapai konsep,

tetapi juga untuk menanamkan nilai dan moral yang terkandung didalam

konsep tersebut. Konsep yang dipelajari dapat meningkatkan kemampuan

dalam keterampilan siswa mulai dari aspek pemahaman, analisis, sintesis atau
16

mengevaluasi suatu program. Bila konsep tidak diberikan atau tidak dipelajari,

maka beberapa konsep lainnya juga kurang dapat dipahami, karena tidak ada

kesinambungan antara materi sebelumnya dengan materi yang diajarkan pada

tingkat yang lebih tinggi.

Adapun konsep-konsep yang diberikan bersifat memberikan dasar-

dasar berbagai keilmuan dan tanpa konsep dasar ini tujuan pembelajaran tidak

akan tercapai dengan baik. konsep dasar merupakan konsep yang dibutuhkan

bagi pengembangan konsep-konsep lainnya dan biasanya sebagai hal-hal yang

bersifat umum. Menurut Aswasulasikin (2008) konsep adalah abstraksi dari

kejadian-kejadian, benda-benda atau gejala yang memiliki sifat tertentu atau

lambang. Misalnya, sebelum membahas konsep keanekaragaman tumbuhan

dan keanekaragaman hewan perlu dibahas konsep keanekaragaman mahluk

hidup yang membedakan antara kedua kingdom dan ikan memiliki

karakteristik tertentu yang membedakannya dengan reptil dan mamalia.

Konsep dapat dipelajari melalui kegiatan laboratorium dengan

menggunakan LKS. di dalam LKS terdapat beberapa konsep yang harus

dipahami oleh siswa. sehingga dengan bantuan LKS konsep-konsep yang

terdapat di dalam LKS bisa tercapai dengan baik. Dan konsep-konsep yang

belum dipahami oleh siswa dalam kegiatan pembelajaran bisa dipahami

melalui kegiatan laboratorium. Dengan ini LKS dapat meningkatkan

pemahaman mengenai konsep yang dipelajari melalui kegiatan laboratorium.


17

C. Aspek Afektif

Aspek afektif berkaitan erat dengan aspek perasaan, nilai, sikap, dan minat

perilaku peserta didik atau siswa. Sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya

apabila ia telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri belajar

afektif akan tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya

terhadap pelajaran etika dan moral yang akan meningkatkan kedisiplinannya

dalam meningkatkan pelajaran lainnya di sekolah.

Belajar afektif berbeda dengan belajar intelektual (kognitif), karena segi

afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus

yang harus dipelajari, karena lebih menekankan segi penghayatan dan apresiasi.

Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung. Nilai-nilai

yang demikian ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan

secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada

yang absolut, sifat-sifat yang demikian inilah yang menjadi penting dalam

merumuskan tujuan belajar afektif.

Menurut Klarthwohl, Bloom (Sagala, 2004:159) menyatakan bahwa dalam

domain afektif terdapat lima kategori yaitu: (1) Penerimaan, aspek ini mengacu

pada kepekaan dan kesediaan menerima dan menaruh perhatian terhadap nilai

tertentu. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain

afektif; (2) Pemberian respon, aspek ini mengacu pada kecenderungan

memperlihatkan reaksi terhadap norma tertentu. Menunjukkan kesediaan dan

kerelaan untuk merespon, memperhatikan secara aktif, misalnya mulai berbuat

sesuai tata tertib disiplin yang telah diterimanya; (3) Penghargaan/ penilaian,
18

aspek ini mengacu pada penilaian atau penghargaan siswa terhadap suatu objek,

gejala atau perubahan tingkah laku. Penilaian ini ditunjukan oleh perubahan

tingkah laku yang tepat dan cukup stabil; (4) Pengorganisasian, aspek ini mengacu

pada proses membentuk konsep tentang suatu nilai serta menyusun suatu sistem

nilai-nilai dalam diri; (5) Karakteristis, yaitu pembentukan pola hidup, aspek ini

mengacu pada sistem yang mengontrol tingkah laku siswa untuk jangka waktu

yang cukup lama dalam mengembangkan suatu ciri dari siswa. Aspek ini

merupakan tingkat paling tinggi dari domain afektif.

D. Aspek Psikomotorik

Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill)

atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar.

Tujuan-tujuan psikomotor adalah tujuan-tujuan yang paling banyak berkenaan

dengan aspek keterampilan motorik atau gerak dari siswa. Hasil belajar

psikomotor ini sebenarnya lanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu)

dan belajar afektif (kecenderungan untuk berperilaku). Adapun kata kerja untuk

domain psikomotor yaitu: mengukur, mengamati, memasang, menimbang, dan

lain-lain.

Menurut Simpson (Sagala, 2004:160), domain psikomotor terbagi atas

enam kategori yaitu: (1) Persepsi, aspek ini mengacu pada penggunaan alat untuk

memperoleh kesadaran akan suatu objek atau gerakan yang mengalihkannya ke

dalam kegiatan atau perbuatan; (2) Kesiapan, aspek ini mengacu pada kesiapan

memberikan respon secara mental, fisik, maupun perasaan untuk suatu kegiatan;

(3) Respon terbimbing, aspek ini mengacu pada pemberian respon perilaku,
19

gerakan yang memperlihatkan dan didemostrasikan sebelumnya; (4) Mekanisme,

aspek ini mengacu pada keadaan ketika respon fisik yang dipelajari telah menjadi

kebiasaan; (5) Pola penyesuaian gerakan atau adaptasi, aspek ini mengacu pada

kemampuan menyesuaikan respon atau perilaku gerakan dari situasi yang baru;

(6) Organisasi, aspek ini mengacu pada kemampuan menampilkan pola-pola

gerak-gerik yang baru, dalam arti menciptakan perilaku dan gerakan yang baru

dilakukan atas prakarsa atau inisiatif sendiri.

Dengan memperhatikan penggolongan-penggolongan kategori-kategori

tersebut di atas, diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang lingkup dan

tingkatan tujuan-tujuan pengajaran yang dapat dikembangkan dalam

penyelenggaraan pembelajaran. Dengan demikian, perencanaan program

pembelajaran baik dalam penyusunan bahan, penentuan metode dan pendekatan,

penentuan media dan perlengkapan pengajaran mengacu pada aspek kognitif,

afektif, dan psikomotor.

Anda mungkin juga menyukai